Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN

RDS (RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME)

Oleh

Candra Eva Wana


NIM 19020011

PROGRAM STUDI PROFESI NERSSEKOLAH TINGGI ILMU


KESEHATAN dr. SOEBANDI JEMBER YAYASAN
JEMBER INTERNATIONAL SCHOOL
2019/2020
1.1. Definisi
Sindrom gawat napas pada neonatus (SGNN), dalam bahasa Inggris
disebut neonatal respiratory distress syndrome (RDS) merupakan kumpulan
gejala yang terdiri dari dispnea atau hiperpnea dengan frekuensi pernapasan
lebih dari 60 kali per menit; sianosis; merintih waktu ekspirasi (expiratory
grunting); dan retraksi di daerah epigastrium, suprasternal, intekostal pada saat
inspirasi. Bila di dengar dengan stetoskop akan terdengar penurunan masukan
udara dalam paru.
RDS (Respiratoy disstres sindrome) adalah istilah yang digunakan untuk
disfungsi pernafasan pada neonatus, gangguan ini merupakan penyakit yang
berhubungan dengan keterlambatan perkembangan maturitas paru atau tidak
adekuatnya jumlah surfaktan dalam paru (marmi &rahardjo, 2012)

1.2. Etiologi
1. Bayi Prematur
2. Maternal diabetes
3. Secsio cesaria

1.3. Patofisiologi
Bayi prematur lahir dengan kondisi paru yang belum siap sepenuhnya
untuk berfungsi sebagai organ pertukaran gas yang efektif. Hal ini merupakan
faktor kritis dalam terjadinya RDS. Ketidaksiapan paru menjalankan fungsinya
tersebut terutama disebabkan oleh kekurangan atau tidak adanya surfaktan.
Surfaktan adalah substansi yang merendahkan tegangan permukaan
alveolus sehingga tidak terjadi kolaps pada akhir ekspirasi dan mampu
memohon sisa udara fungsional (kapasitas residu fungsional ) (Ilmu Kesehatan
Anak, 1985). Surfaktan juga menyebabkan ekspansi yang merata dan jarang
ekspansi paru pada tekanan intraalveolar yang rendah. Kekurangan atau
ketidakmatangan fungsi sufaktan menimbulkan ketidakseimbangan inflasi saat
inspirasi dan kolaps alveoli saat ekspirasi tanpa surfaktan, janin tidak dapat
menjaga parunya tetap mengembang. Oleh karena itu, perlu usaha yang keras
untuk mengembangkan parunya pada setiap hembusan napas (ekspirasi),
sehingga untuk bernapas berikutnya dibutuhkan tekanan negatif intratoraks yang
lebih besar dengan disertai usaha inspirasi yang lebih kuat. Akibatnya, setiap
kali perapasan menjadi sukar seperti saat pertama kali pernapasan (saat
kelahiran). Sebagai akibatnya, janin lebih banyak menghabiskan oksigen untuk
menghasilkan energi ini daripada ia terima dan ini menyebabkan bayi kelelahan.
Dengan meningkatnya kekelahan, bayi akan semakin sedikit membuka
alveolinya, ketidakmampuan mempertahankan pengembangan paru ini dapat
menyebabkan atelektasis.
Tidak adanya stabilitas dan atelektasis akan meningkatkan pulmonary
vaskular resistem (PVR) yang nilainya menurun pada ekspansi paru normal.
Akibatnya, terjadi hipoperfusi jaringan paru dan selanjutnya menurunkan aliran
darah pulmonal. Di samping itu, peningkatan PVR juga menyebabkan
pembalikan parsial sirkulasi, darah janin dengan arah aliran dari kanan ke kiri
melalui duktus arteriosus dan foramen ovale.
Kolaps paru (atelektasis) akan menyebabkan gangguan vektilisasi
pulmonal yang menimbulkan hipoksia. Akibat dari hipoksia adalah kontraksi
vaskularisasi pulmonal yang menimbulkan penurunan oksigenasi jaringan dan
selanjutnya menyebabkan metabolisme anaerobik. Metabolisme anaerobik
menghasilkan timbunan asam laktat sehingga terjadi asidosis metabolik pada
bayi dan penurunan curah jantung yang menurunkan perfusi ke organ vital.
Akibat lain adalah kerusakan endotel kapiler dan epitel duktus alveolus yang
menyebabkan terjadinya transudasi ke dalam alveoli dan terbentuknya fibrin.
Fibrin bersama-sama dengan jaringan epitel yang nekrotik membentuk suatu
lapisan yang disebut membran hialin. Membran hialin ini melapisi alveoli dan
menghambat pertukaran gas.
Atelektasis menyebabkan paru tidak mampu mengeluarkan karbon
dioksida dari sisa pernapasan sehingga terjadi asidosis respiratorik. Penurunan
pH menyebabkan vasokonstriksi yang semakin berat. Dengan penurunan
sirkulasi paru dan perfusi alveolar, PaO2 akan menurun tajam, pH juga akan
menurun tajam, serta materi yang diperlukan untuk produksi surfaktan tidak
mengalir ke dalam alveoli.
Sintesis surfaktan dipengaruhi sebagian oleh pH, suhu dan perfusi
normal, asfiksia, hipoksemia dan iskemia paru terutama dalam hubungannya
dengan hipovolemia, hipotensi dan stress dingin dapat menekan sintesis
surfaktan. Lapisan epitel paru dapat juga terkena trauma akibat kadar oksigen
yang tinggi dan pengaruh penatalaksanaan pernapasan yang mengakibatkan
penurunan surfaktan lebih lanjut (Asrining Surasmi, dkk, 2003).
Secara singkat dapat diterangkan bahwa dalam tubuh terjadi lingkaran
setan yang terdiri dari : atelektasis  hipoksia  asidosis  transudasi 
penurunan aliran darah paru  hambatan pembentukan substansi surfaktan 
atelektasis. Hal ini akan berlangsung terus sampai terjadi penyembuhan atau
kematian bayi (Staf Pengajar IKA, FKUI, 1985)
1.4 Pathway

Bayi Prematur Seksio Cesaria


Ibu Diabetes
vv

Janin tidak bisatetap Penurunan produksi surfaktan


rongga paru tetap
mengembang
Meningkatnya tegangan permukaan alveoli
Tekanan negatif
intrathoraks yang besar
Ketidakseimbangan saat insipirasi

Usaha inspirasi yang kuat


Kolaps paru saat ekspirasi
(Takipnea , retraksi dinding,
pernafsan cuping hidung)
RDS
Ketidakefektifan Pola
nafas (00032)
Kolaps paru

Retensi bersama
Gangguan ventilasi Pulmonal
Asidosi respiratorik

Hipoksia
Penurunan pH dan paO2
Kerusakan endotel kapiler dan
Kontriksi vaskulerisasi
epitel duktus arteriosus
pulmonal
Vasokontriksi berat

Transudasi alveoli Penurunan oksigenasii


Penurunan sirkulasi paru
dan pulmonal
Pembentukan fibrin Metabolisme anaerob

Hambatan Pertukaran
Timbunan asam laktat Gas (00030)
Fibrin dan jaringan yang nekrotik
membentuk lapisan membran hialin
Asidosi metabolik

Resiko Penurunan
Curah Jantung ( 00240 ) Kurangnya cadanagan
glikogen

Suhu tubuh tidak


naik/ menggil

Ketidakefektifan
Termogulasi
1.4. Manifestasi Klinis
Gangguan pernapasan pada bayi terutama disebabkan oleh atelektasis
dan perfusi paru yang menurun. Keadaan ini akan memperlihatkan gambaran
klinis seperti dispnea atau hiperpneu, sianosis karena saturasi O 2 yang menurun
dan karena pirau vena-arteri dalam paru atau jantung, retraksi suprasternal,
epigastrium, interkostal dan respiratory grunting. Selain tanda gangguan
pernapasan, ditemukan gejala lain misalnya bradikardia (sering ditemukan pada
penderita penyakit membran hialin berat), hipotensi, kardiomegali, pitting
oedema terutama di daerah dorsal tangan/kaki, hipotermia, tonus otot yang
menurun, gejala sentral dapat terlihat bila terjadi komplikasi (Staf Pengajar IKA,
FKUI, 1985).

1.5. Pemeriksaan Diagnostik


1. Radiologis
Diagnosis yang tepat hanya dapat dibuat dengan pemeriksaan foto
rontgen toraks. Pemeriksaan ini juga sangat penting untuk menyingkirkan
kemungkinan penyakit lain yang diobati dan mempunyai gejala yang mirip
penyakit membran hialin, misalnya pneumotoraks, hernia diafragmatika dan
lain-lain. Gambaran klasik yang ditemukan pada foto rontgen paru ialah
adanya bercak difus berupa infiltrate retikulogranuler ini, makin buruk
prognosis bayi. Beberapa sarjana berpendapat bahwa pemeriksaan radiologis
ini dapat dipakai untuk mendiagnosis dini penyakit membran hialin,
walaupun manifestasi klinis belum jelas.
2. Laboratorium
Kelainan yang ditemukan pada pemeriksaan laboratorium
diantaranya adalah :
a. Pemeriksaan darah
Kadar asam laktat dalam darah meninggi dan bila kadarnya lebih dari 45
mg%, prognosis lebih buruk, kadar bilirubin lebih tinggi bila
dibandingkan dengan bayi normal dengan berat badan yang sama. Kadar
PaO2 menurun disebabkan kurangnya oksigenasi di dalam paru dan
karena adanya pirau arteri-vena. Kadar PaO2 meninggi, karena gangguan
ventilasi dan pengeluaran CO2 sebagai akibat atelektasis paru. pH darah
menurun dan defisit biasa meningkat akibat adanya asidosis respiratorik
dan metabolik dalam tubuh.
b. Pemeriksaan fungsi paru
Pemeriksaan ini membutuhkan alat yang lengkap dan pelik, frekuensi
pernapasan yang meninggi pada penyakit ini akan memperhatikan pula
perubahan pada fungsi paru lainnya seperti ‘tidal volume’ menurun, ‘lung
compliance’ berkurang, functional residual capacity’ merendah disertai
‘vital capacity’ yang terbatas. Demikian pula fungsi ventilasi dan perfusi
paru akan terganggu.
c. Pemeriksaan fungsi kardiovaskuler
Penyelidikan dengan kateterisasi jantung memperhatikan beberapa
perubahan dalam fungsi kardiovaskuler berupa duktus arteriosus paten,
pirau dari kiri ke kanan atau pirau kanan ke kiri (bergantung pada
lanjutnya penyakit), menurunnya tekanan arteri paru dan sistemik.
3. Gambaran patologi/histopatologi
Pada otopsi, gambaran dalam paru menunjukkan adanya atelektasis dan
membran hialin di dalam alveolus dan duktus alveolaris. Di samping itu
terdapat pula bagian paru yang mengalami enfisema. Membran hialin yang
ditemukan yang terdiri dari fibrin dan sel eosinofilik yang mungkin berasal
dari darah atau sel epitel ductus yang nekrotik.

1.6. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan medik tindakan yang perlu dilakukan
a. Memberikan lingkungan yang optimal, suhu tubuh bayi harus selalu
diusahakan agar tetap dalam batas normal (36,5o-37oC) dengan cara
meletakkan bayi dalam inkubator. Kelembaban ruangan juga harus
adekuat (70-80%).
b. Pemberian oksigen. Pemberian oksigen harus dilakukan dengan hati-hati
karena berpengaruh kompleks terhadap bayi prematur. Pemberian O2
yang terlalu banyak dapat menimbulkan komplikasi seperti : fibrosis
paru, kerusakan retina (fibroplasias retrolental), dll.
c. Pemberian cairan dan elektrolit sangat perlut untuk mempertahankan
homeostasis dan menghindarkan dehidrasi. Pada permulaan diberikan
glukosa 5-10% dengan jumlah yang disesuaikan dengan umur dan berat
badan ialah 60-125 ml/kg BB/hari. asidosis metabolik yang selalu
dijumpai harus segera dikoreksi dengan memberikan NaHCO3 secara
intravena.
d. Pemberian antibiotik. Bayi dengan PMH perlu mendapatkan antibiotik
untuk mencegah infeksi sekunder. Dapat diberikan penisilin dengan dosis
50.000-100.000 u/kg BB/hari atau ampisilin 100 mg/kg BB/hari, dengan
atau tanpa gentamisin 3-5 mg/kg BB/hari.
e. Kemajuan terakhir dalam pengobatan pasien PMH adalah pemberian
surfaktan eksogen (surfaktan dari luar), obat ini sangat efektif, namun
harganya amat mahal.
1.7. Komplikasi
1. Pneumotoraks / pneumomediastinum
2. Pulmonary interstitial dysplasia
3. Patent ductus arteriosus (PDA)
4. Hipotensi
5. Asidosis
6. Hiponatermi / hipernatremi
7. Hipokalemi
8. Hipoglikemi
9. Intraventricular hemorrhage
10. Retinopathy pada prematur
11. Infeksi sekunder
(Suriadi dan Yuliani, 2006).
ASUHAN KEPERAWATAN RDS

(RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME)

A. Pengkajian
1. Identitas klien
Meliputi nama, jenis kelamin, suku bangsa, tanggal lahir, alamat, agama,
tanggal pengkajian.
2. Riwayat kesehatan
a. Riwayat maternal
Menderita penyakit seperti diabetes mellitus, kondisi seperti perdarahan
plasenta, tipe dan lamanya persalinan, stress fetal atau intrapartus.
b. Status infant saat lahir
Prematur, umur kehamilan, apgar score (apakah terjadi asfiksia), bayi lahir
melalui operasi caesar.
3. Data dasar pengkajian
a. Cardiovaskuler
 Bradikardia (< 100 x/i) dengan hipoksemia berat
 Murmur sistolik
 Denyut jantung DBN
b. Integumen
 Pallor yang disebabkan oleh vasokontriksi peripheral
 Pitting edema pada tangan dan kaki
 Mottling
c. Neurologis
 Immobilitas, kelemahan
 Penurunan suhu tubuh
d. Pulmonary
 Takipnea (> 60 x/i, mungkin 30-100 x/i)
 Nafas grunting
 Pernapasan cuping hidung
 Pernapasan dangkal
 Retraksi suprasternal dan substernal
 Sianosis
 Penurunan suara napas, crakles, episode apnea
e. Status behavioral
 Letargi
4. Pemeriksaan Doagnostik
a. Sert rontgen dada : untuk melihat densitas atelektasi dan elevasi
diafragma dengan over distensi duktus alveolar
b. Bronchogram udara : untuk menentukan ventilasi jalan napas
c. Data laboratorium :
 Profil paru, untuk menentukan maturitas paru, dengan bahan cairan
amnion (untuk janin yang mempunyai predisposisi RDS)
 Lesitin/spingomielin (L/S) ratio 2 : 1 atau lebih mengindikasikan
maturitas paru
 Phospatidyglicerol : meningkat saat usia gestasi 35 minggu
 Tingkat phospatydylinositol
 AGD : PaO2< 50 mmHg, PaCO2> 50 mmHg, saturasi oksigen 92%-
94%, pH 7,3-7,45.
 Level potassium : meningkat sebagai hasil dari release potassium dari
sel alveolar yang rusak.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Ketidakefektifan Pola nafas (00032),
2. Resiko Penurunan Curah Jantung ( 00240 )
3. Ketidakefektifan Termogulasi
4. Hambatan Pertukaran Gas (00030)
No. Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi

(NOC) (NIC)

1 Ketidakefektifan Pola nafas NOC : NIC

Batasan Karakteristik : Respiratory status : Ventilation Oxygen Therapy

 Bradipnea Setelah dilakukan tindakan  Bersihkan mulut, hidung dan sec


keperawatan ..x.. jam diharapkan  Pertahankan jalan nafas yang pat
 Dispnea
pola nafas pasien teratur dengan  Siapkan peralatan oksigenasi
 Fase ekspirasi memanjang kriteria :  Monitor aliran oksigen

 Irama pernafasan teratur/  Monitor respirasi dan status O2


 Ortopnea
tidak sesak  Pertahankan posisi pasien
 Penggunaan otot bantu  Monitor volume aliran oksigen d
 Pernafasan dalam batas normal
pernafasan yang digunakan.
(dewasa: 16-20x/menit)

 Penggunaan posisi tiga titik  Kedalaman pernafasan normal  Monitor keefektifan terapi oksig

 Suara perkusi jaringan paru diberikan


 Peningkatan diameter  Observasi adanya tanda tanda hip
normal (sonor)
anterior-posterior  Monitor tingkat kecemasan
 Cemas berkurang
 Penurunan kapasitas vital kemungkinan diberikan terapi O2

 Penurunan tekanan ekspirasi

 Penurunan tekanan inspirasi

 Penurunan ventilasi semenit

 Pernafasan bibir

 Pernafasan cuping hidung

 Pernafasan ekskursi dada

 Pola nafas abnormal (mis.,


irama, frekuensi, kedalaman)

 Takipnea

Faktor yang berhubungan

 Ansietas
DAFTAR PUSTAKA

Doenges dan Moorhouse. 2001. Rencana Perawatan Maternal/Bayi : Pedoman untuk


Perencanaan dan Dokumentasi Perawatan Klien. Edisi 2. Jakarta : EGC.

Nelson. 1999. Ilmu Kesehatan Anak. Volume I. Edisi 15. Jakarta : EGC.

Ngastiyah. 2005. Perawatan Anak Sakit. Edisi 2. Jakarta : EGC.

Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. 1985. Buku Kuliah 3. Ilmu Kesehatan Anak.
Jakarta : Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran UI.

Surasmi, A, dkk. 2003. Perawatan Bayi Risiko Tinggi. Jakarta : EGC.

Suriadi & Yuliani. 2006. Buku Pegangan Praktik Klinik. Asuhan keperawatan pada Anak
Edisi 2. Jakarta : Sagung Seto.

Wong L. Donna. 2003. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai