Konsep Dan Pengertian Sosiologi Politik
Konsep Dan Pengertian Sosiologi Politik
BAB I
KONSEP DAN PENGERTIAN SOSIOLOGI POLITIK
A. Konsep Sosiologi Politik
Max Weber adalah seorang sosiolog besar yang ahli kebudayaan, politik, hukum, dan
ekonomi. Ia dikenal sebagai seorang ilmuwan yang sangat produktif. Makalah-makalahnya
dimuat di berbagai majalah, bahkan ia menulis beberapa buku. The Protestant Ethic and the
Spirit of Capitalism (1904) merupakan salah satu bukunya yang terkenal. Dalam buku
tersebut dikemukakan tesisnya yang sangat terkenal, yaitu mengenai kaitan antara Etika
Protestan dengan munculnya Kapitalisme di Eropa Barat.
Weber sebenarnya hidup tatkala Eropa Barat sedang menjurus ke arah pertumbuhan
kapitalisme modern. Situasi sedemikian ini barangkali yang mendorongnya untuk mencari
sebab-sebab hubungan antar tingkah laku agama dan ekonomi, terutama di masyarakat Eropa
Barat yang mayoritas memeluk agama Protestan. Apa yang menjadi bahan perhatian Weber
dalam hal ini sesungguhnya juga sudah menjadi perhatian Karl Marx, di mana pertumbuhan
kapitalisme modern pada masa itu telah menimbulkan keguncangan-keguncangan hebat di
lapangan kehidupan sosial masyarakat Eropa Barat. Marx dalam persoalan ini
mengkhususkan perhatiannya terhadap sistem produksi dan perkembangan teknologi, yang
menurut beliau akibat perkembangan itu telah menimbulkan dua kelas masyarakat, yaitu
kelas yang terdiri dari sejumlah kecil orang-orang yang memiliki modal dan yang dengan
modal yang sedemikian itu lalu menguasai alat-alat produksi, di satu pihak dan orang-orang
yang tidak memiliki modal/alat-alat produksi di pihak lain. Golongan pertama, yang
disebutnya kaum borjuis itu, secara terus menerus berusaha untuk memperoleh untung yang
lebih besar yang tidak di gunakan untuk konsumsi, melainkan untuk mengembangkan modal
yang sudah mereka miliki.
Ajaran Calvinisme mewajibkan umatnya hidup sederhana dan melarang segala bentuk
kemewahan, apalagi digunakan untuk berpoya-poya. Akibat ajaran Kalvinisme, para
penganut agama ini menjadi semakin makmur karena keuntungan yang mereka perolehnya
dari hasil usaha tidak dikonsumsikan, melainkan ditanamkan kembali dalam usaha mereka.
Melalui cara seperti itulah, kapitalisme di Eropa Barat berkembang. Demikian menurut
Weber.
Sosiologi menurut Weber adalah suatu ilmu yang mempelajari tindakan sosial. Tidak
semua tindakan manusia dapat dianggap sebagai tindakan sosial. Suatu tindakan hanya dapat
disebut tindakan sosial apabila tindakan tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan
perilaku orang lain dan berorientasi pada perilaku orang lain.
Suatu tindakan adalah perilaku manusia yang mempunyai makna subjektif bagi
pelakunya. Sosiologi bertujuan untuk memahami (verstehen) mengapa tindakan sosial
mempunyai arah dan akibat tertentu, sedangkan tiap tindakan mempunyai makna subjektif
bagi pelakunya, maka ahli sosiologi yang hendak melakukan penafsiran bermakna, yang
hendak memahami makna subjektif suatu tindakan sosial harus dapat membayangkan dirinya
di tempat pelaku untuk dapat ikut menghayati pengalamannya. Hanya dengan menempatkan
diri di tempat seorang pekerja seks atau mucikari misalnya, seorang ahli sosiologi dapat
memahami makna subjektif tindakan sosial mereka, memahami mengapa tindakan sosial
tersebut dilakukan serta dampak dari tindakan tersebut.
Secara ideal sistem kelas merupakan suatu sistem stratifikasi terbuka karena status di
dalamnya dapat diraih melalui usaha pribadi. Dalam kenyataan sering terlihat bahwa sistem
kelas mempunyai ciri sistem tertutup, seperti misalnya endogami kelas. Pergaulan dan
pernikahan, misalnya lebih sering terjadi antara orang-orang yang kelasnya sama dari pada
dengan orang dan kelas lebih rendah atau lebih tinggi
Simmel, yang mengawali studinya di Universitas Berlin pada tahun 1876, lulus doktor
filsafat tahun 1881 dengan disertasi yang berjudul The Nature of Matter According to Kant’s
Physical Monadology. Ia tidak pernah menjadi dosen tetap di universitas di Jerman, namun
berbagai tulisannya yang brilian sangat mempengaruhi perkembangan sosiologi. Di Jerman,
Simmel berupaya menanamkan dasar-dasar sosiologinya di mana ia berhadapan dengan
konsep sosiologi yang positivistik yang dikembangkan oleh Comte, serta teori evolusi yang
dikembangkan oleh Spencer. Dalam mengembangkan konsep sosiologinya, Simmel merujuk
kepada doktrin-doktrin atomisme logis yang dikemukakan oleh Fechner di mana masyarakat
lebih merupakan sebuah interaksi individu-individu dan bukan merupakan sebuah interaksi
substansial. Dengan demikian, sosiologi memfokuskan pada atom-atom empirik, dengan
berbagai konsep dan individu-individu di dalamnya, serta kelompok-kelompok yang
kesemuanya berfungsi sebagai suatu kesatuan. Masyarakat, dalam skala yang paling luas,
justru ditemukan di dalam individu-individu yang melakukan interaksi. Bagi Simmel,
sosiologi haruslah diarahkan untuk merujuk kepada konsep utamanya yang mencakup
bentuk-bentuk sosiasi dari yang paling umum sampai yang paling spesifik. Bila kita dapat
menunjukkan totalitas berbagai bentuk hubungan sosial dalam berbagai tingkatan dan
keragaman, maka kita akan memiliki pengetahuan yang lengkap mengenai ‘masyarakat’.
Simmel yang berupaya keras untuk memisahkan sosiologi dari psikologi menganggap bahwa
perlakuan ilmiah atas data psikis, tidak secara otomatis menjadi data psikologis manakala
suatu realitas dari studi ilmiah ilmu-ilmu sosial dianggap sebagai konsep yang berbeda. Di
sini, struktur-struktur yang spesifik di dalam kehidupan sosio-kultural yang sangat kompleks
harus dihubungkan kembali, tidak saja dengan berbagai interaksi sosial tetapi juga dengan
berbagai pernyataan psikologis. Jadi, sosiologi harus membatasi diri dari hal-hal yang
bermakna psikologis. Sosiologi harus jauh melampui pemikiran-pemikiran yang bermakna
psikologis dengan melakukan abstraksi-abstraksinya sendiri.
Teori yang dikemukakan Simmel mengenai realitas sosial terlihat dari konsepnya yang
menggambarkan adanya empat tingkatan yang sangat mendasar. Pertama, asumsi-asumsinya
yang merujuk kepada konsep-konsep yang sifatnya makro dan menyangkut komponen-
komponen psikologis dari kehidupan sosial. Kedua, dalam skala luas, mengungkap masalah-
masalah yang menyangkut berbagai elemen sosiologis terkait dengan hubungan yang bersifat
inter-personal. Ketiga, adalah konsep-konsepnya mengenai berbagai struktur dan perubahan-
perubahan yang terjadi dan terkait dengan apa yang dinamakannya sebagai spirit (jiwa, ruh,
substansi), yaitu suatu esensi dari konsep sosio-kultural. Keempat, yaitu penyatuan dari
ketiga unsur di atas yang melibatkan prinsip-prinsip kehidupan metafisis individu maupun
kelompok.
Menurut Simmel, ada tiga elemen yang masing-masing ‘menempati’ wilayahnya sendiri
di dalam sosiologi yang terkait dengan tingkatan-tingkatan realitas sosial. Elemen pertama
adalah apa yang dijelaskannya sebagai sosiologi murni (pure sociology), di mana variabel-
variabel psikologis dikombinasikan dengan bentuk-bentuk interaksi. Konsepnya yang
dianggap bersifat mikro adalah yang menyangkut bentuk-bentuk (forms) di mana interaksi
yang terjadi di dalamnya melibatkan berbagai tipe (types) dan ini menyangkut individu yang
terlibat di dalam interaksi itu. Elemen kedua adalah sosiologinya yang bersifat umum dan
terkait dengan produk-produk sosio-kultural dari sejarah manusia. Sedangkan elemen ketiga
adalah konsepnya mengenai sosiologi filsafat yang terkait dengan pandangan-pandangannya
menyangkut konsepsi dasariah (hukum) alam serta takdir manusia. Untuk mengatasi
masalah-masalah interrelasi di antara tiga tingkatan dari realitas sosial itu, Simmel melakukan
pendekatan dialektik seperti yang terdapat di dalam ajarannya Marx, meskipun tujuannya
berbeda. Dengan pendekatan ini, Simmel berupaya menyatukan fakta dan nilai, menolak ide-
ide yang memisahkan antara berbagai fenomena sosial, memfokuskan pada kurun waktu
masa lalu dan masa yang akan datang, serta sangat memperhatikan konflik dan kontradiksi.
Simmel mewujudkan komitmen atas konsep-konsepnya melalui cara (berpikir) dialektis,
dengan selalu mengkaji berbagai hubungan yang ada, dan selalu merujuk kepada konsep
dualisme yang menggambarkan konflik dan kontradiksi.
B. Pengertian Sosiologi Politik
Politik adalah suatu proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat
yang berwujud proses pembuatan kekuasaan, khususnya Negara.
Menurut Aristoteles politik adalah usaha yang di tempuh warga Negara untuk
mewujudkan kebaikan bersama.
Pengertian sosilogi politik menurut para ahli
- Secara umum sosiologi politik adalah cabang ilmu pengetahuan sosiologi yang
memperhatikan sebab dan akibat dari distribusi kekuatan di dalam masyarakat, dan dengan
konflik-konflik social dan politik yang berakibat pada perubahan terhadap alokasi perubahan
tersebut.
- Gordon Marshal sosiologi politik adalah focus terhadap deskripsi, analisis, dan penjelasan
tentang suatu Negara, suatu lembaga yang mengklaim monopoli terhadap legitimasi
pengunaan kekuatan terhadap suatu wilayah di masyarakat. Sementara ilmu politik terutama
membahas dengan mesin pemerintahan, mekanisme adminitrasi public, dan bidang politik
formal pada pemilihan umum, opini public dan perilaku politik.
- Genealogy of morality sosiologi politik adalah upaya untuk memahami dan campur tangan
ke dalam hubungan yang selalu berubah antara social dan politik .
- Kesimpulan sosiologi politik adalah ilmu tentang kekuasaan, pemerintahan, otoritas,
komando di dalam semua masyarakat, dan membedakan antara penguasa dan yang di atur
dalam masyarakat.
BAB II
MASYARAKAT DAN KONFLIK
A. Definisi Masyarakat
Masyarakat adalah sekelompok orang atau manusia yang mendiami suatu tempat , hidup
bersama dan melakukan aktifitas-aktifitas secara bersama-sama.
Masyarakat (society) merupakan istilah yang digunakan untuk menerangkan komuniti
manusia yang tinggal bersama-sama. Boleh juga dikatakan masyarakat itu merupakan
jaringan perhubungan antara pelbagai individu.
Masyarakat Menurut Para Ahli
1. Menurut Selo Sumardjan masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama dan
menghasilkan kebudayaan.
2. Menurut Karl Marx masyarakat adalah suatu struktur yang menderita suatu ketegangan
organisasi atau perkembangan akibat adanya pertentangan antara kelompok-kelompok yang
terbagi secara ekonomi.
3. Menurut Emile Durkheim masyarakat merupakan suau kenyataan objektif pribadi-pribadi
yang merupakan anggotanya.
4. Menurut Paul B. Horton & C. Hunt masyarakat merupakan kumpulan manusia yang relatif
mandiri, hidup bersama-sama dalam waktu yang cukup lama, tinggal di suatu wilayah
tertentu, mempunyai kebudayaan sama serta melakukan sebagian besar kegiatan di dalam
kelompok / kumpulan manusia tersebut.
B. Ciri-ciri masyarakat
Masyarakat Matriarchat mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
Pembagian masyarakat dalam klan-klan yang dirunut dari garis ibu (matrilineal).
Keluarga adalah keluarga “besar” yang biasanya “dikepalai” oleh nenek tertua atau
perempuan lainnya di dalam keluarga yang dianggap sesuai untuk mengatur urusan keluarga.
Laki-laki dewasa yang bertanggung jawab untuk mengurus anak-anak adalah saudara laki-
laki Ibu
Kata Ibu tidak hanya terbatas pada Ibu yang melahirkan kita saja, melainkan juga saudara-
saudara perempuan Ibu lainnya dari Nenek yang sama.
Seluruh anak-anak yang dilahirkan oleh saudara perempuan Ibu adalah juga adik dan kakak.
Tidak ada istilah sepupu.
Perkawinan biasanya dalam bentuk, perkawinan “berkunjung”. Dimana pihak laki-laki
mendatangi pihak perempuan hanya pada malam hari sampai pagi menjelang. Sedangkan sisa
hari-hari seorang laki-laki akan dihabiskan di rumah Ibunya atau di tempat kerja. Pilihan
lainnya adalah pihak laki-laki tinggal di rumah keluarga istrinya.
Anak yang dilahirkan digolongkan ke dalam klan Ibunya dan akan dinamakan berdasarkan
nama Klan Ibunya.
Pengambilan keputusan adalah demokratis dan melibatkan semua pihak, perempuan, laki-
laki, tua dan muda. Semua dapat menyuarakan pendapatnya
Masyarakat yang tidak mengenal tingkátan atau penggolong-golongan (misalnya dalam
bentuk kasta) dan tidak mempunyai kelas/kasta/kelompok penguasa.
Masyarakat yang cinta damai. Tidak mempunyai kelas/kasta/kelompok tukang perang/ksatria
dan tidak mengenal budaya pembentukan tentara/ksatria/tukang perang. Walaupun pengaruh-
pengaruh dari masyarakat patriarchaat, yang memiliki kasta/kelas/kelompok
ksatria/tentara/tukang perang, sangat besar. Tidak mengenal budaya kekerasan dan perang.
Karena alasan itulah ksatria tidak diperlukan, dan budaya-budaya kekerasan seperti
pembunuhan, perang, perampokan, pemerkosaan tidak dikenal dan tidak membudaya.
Banyak daripada masyarakat matriarchal ini yang bahkan tidak mengenal kata “membunuh”,
“memperkosa”, dan lain-lain kata-kata yang merupakan perlambang daripada kekerasan dan
penindasan. Dengan persentuhan daripada masyarakat patriarchal dengan masyarakat
matriarchal ini, beberapa kata-kata yang melambangkan kekerasan, penindasan dan
kekejaman masuk ke dalam kosa kata masyarakat matriarchal. Akan tetapi konsep yang
dikandung dalam kata-kata tersebut tetap saja tidak membudaya.
Memuja seorang Dewi atau seorang Ibu Suci yang dipuja sebagai Ibu Asal dari masyarakat
tersebut yang merupakan perwujudan dari Ibu Alam.
Tidak mengenal pandangan mengenai “kepemilikan pribadi”, melainkan kepemilikan
bersama dalam keluarga atau kepemilikan kolektiv. Karena itulah harta-harta seperti harta
pusaka (tanah, ladang, dll) merupakan milik keluarga dengan kepemilikan diturunkan dari
pihak Ibu(-Ibu) kepada anak perempuannya ataupun pihak perempuan lainnya dalam
keluarga besar. Akan tetapi seluruh anggota keluarga mempunyai hak guna. Adapun hasil-
hasil dari harta-harta (termasuk harta pusaka) tersebut akan dikelola oleh pihak perempuan
dewasa atau nenek tertua untuk kepentingan seluruh anggota keluarga.
Tidak mengenal kepala-kepala dan lain-lain kedudukan yang bertumpu pada kekuasaan
melainkan konsep perwakilan yang bertumpu kepada mufakat atau konsensus. Wakil dari
klan ini bisa laki-laki maupun perempuan.
Tidak mengenal kelompok penguasa agama yang mengatur segala perizinan tentang urusan-
urusan dalam masyarakat yang biasanya mengaku-ngaku serbagai perwakilan penguasa langit
(Tuhan) yang merasa berhak menghukum dan mengadili masyarakat.
Tidak mengenal kebencian terhadap hubungan kasih sayang antara laki-laki dan perempuan.
Perkawinan adalah merupakan urusan keluarga dan tidak memerlukan “izin” dari kelas
“penguasa agama” melainkan dari pihak yang bertanggung jawab dalam keluarga. hubungan
badan antara laki-laki tidak dianggap suatu yang hina, melainkan sebagai salah satu
ungakapan kasih sayang antara laki-laki dan perempuan. Karena itulah masyarakat
matriarchal tidak mengenal konsep-konsep perversitas dalam bidang seksual seperti
“pelacuran” (baik laki-laki maupun perempuan), istri/suami simpanan (konkubine),
homoseksualitas, dan pemerkosaan yang umum terjadi pada masyarakat patriarchal.
Anak adalah mahluk yang dihargai dan dihormati keberadaannya. Karena itulah masyarakat
Matriarchal tidak mengenal konsep anak haram, anak tidak ber-Bapak. Karena setiap anak
adalah mahluk yang sangat dihoramti kelaihiran dan keberadaannya, dan setiap anak jelas
mempunyai Ibu(-Ibu) dan mempunyai keluarga (keluarga besar). Karena itulah masayarakat
matriarchal tidak mengenal budaya pembunuhan anak-anak, karena kekejian masyarakat
terhadap perempuan hamil yang menyebabkan sang Ibu menggugurkan bayi dengan paksa.
Tidak mengenal konsep anak berdasakan kelaminnya. Karena itulah anak laki-laki maupun
perempuan adalah sama dihormati dan dihargai. Tidak mengenal budaya pembunuhan anak
perempuan maupun anak laki-laki karena kelamin yang satu lebih dihargai daripada yang
lainnya. Anak adalah bakal individu, baik laki-laki maupun perempuan.
C. KONFLIK
Konflik berasal dari kata kerja latin configure yang berarti saling memukul. Secara
sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga
kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan
menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Definisi dari konflik adalah :
1. Suatu kondisi dimana tujuan, kebutuhan dan nilai-nilai kelompok yang bersaing, bertabrakan
dan akibatnya terjadilah agrasi walaupun belum tentu berbentuk kekerasan (schelling).
2. Situasi yang terjadi ketika ada perbedaan pendapat atau perbedaan cara pandang diantara
beberapa orang, kelompok atau organisasi.
3. Konflik domestik : isu utamanya adalah suatu kondisi dimana terdapat masalah-masalah
antara pemegang kekuasaan dengan penantangnya yang diselesaikan dengan cara damai.
4. Konflik regional : isu utama menekankan proses negosiasi dan hubungan antara negara
tetangga. Bentuk hubungan bisa bersifat cooperative, competitive, dan transforming.
5. Konflik internasional : isunya sama dengan konflik regional tetapi cakupannya lebih luas.
Konflik dapat menjadi alat yang efektif dalam percaturan internasional. Ia dapat
mengemban fungsi sebagai upaya untuk mendapatkan atau mempertahankan kekuatan
(power), memelihara kohesifitas internal dan memeperluas hubungan ke luar. Kekerasan
seringkali merupakan alat yang ampuh untuk bargaining position. Meskipun demikian
penyelesaian konflik selalu merupakan tujuan yang secara politik paling diharapkan, karena
hal itu mengurangi korban jiwa manusia, mencegah disorganisasi suatu bangsa dan
memulihkan stabilitas dalam hubungan luar negeri mereka. Penyelesaian konflik (conflict
resolution) adalah suatu jalan menuju perdamaian, sekurang-kurangnya perdamaian negative,
dan mempunyai fungsi lain, misalnya menjamin stabilitas politik dan kesinambungan
pembangunan sosial maupun ekonomi.
Ada beberapa pengertian konflik menurut beberapa ahli.
1. Menurut Taquiri dalam Newstorm dan Davis (1977), konflik merupakan warisan
kehidupan sosial yang boleh berlaku dalam berbagai keadaan akibat daripada
berbangkitnya keadaan ketidaksetujuan, kontroversi dan pertentangan di antara dua
pihak atau lebih pihak secara berterusan.
2. Menurut Gibson, et al (1997: 437), hubungan selain dapat menciptakan kerjasama,
hubungan saling tergantung dapat pula melahirkan konflik. Hal ini terjadi jika
masing-masing komponen organisasi memiliki kepentingan atau tujuan sendiri-sendiri
dan tidak bekerja sama satu sama lain.
3. Menurut Robbin (1996), keberadaan konflik dalam organisasi dalam organisasi
ditentukan oleh persepsi individu atau kelompok. Jika mereka tidak menyadari adanya
konflik di dalam organisasi maka secara umum konflik tersebut dianggap tidak ada.
Sebaliknya, jika mereka mempersepsikan bahwa di dalam organisasi telah ada konflik
maka konflik tersebut telah menjadi kenyataan.
4. Dipandang sebagai perilaku, konflik merupakan bentuk minteraktif yang terjadi pada
tingkatan individual, interpersonal, kelompok atau pada tingkatan organisasi
(Muchlas, 1999). Konflik ini terutama pada tingkatan individual yang sangat dekat
hubungannya dengan stres.
5. Menurut Minnery (1985), Konflik organisasi merupakan interaksi antara dua atau
lebih pihak yang satu sama lain berhubungan dan saling tergantung, namun
terpisahkan oleh perbedaan tujuan.
6. Konflik dalam organisasi sering terjadi tidak simetris terjadi hanya satu pihak yang
sadar dan memberikan respon terhadap konflik tersebut. Atau, satu pihak
mempersepsikan adanya pihak lain yang telah atau akan menyerang secara negatif
(Robbins, 1993).
7. Konflik merupakan ekspresi pertikaian antara individu dengan individu lain,
kelompok dengan kelompok lain karena beberapa alasan. Dalam pandangan ini,
pertikaian menunjukkan adanya perbedaan antara dua atau lebih individu yang
diekspresikan, diingat, dan dialami (Pace & Faules, 1994:249).
8. Konflik dapat dirasakan, diketahui, diekspresikan melalui perilaku-perilaku
komunikasi (Folger & Poole: 1984).
9. Konflik senantisa berpusat pada beberapa penyebab utama, yakni tujuan yang ingin
dicapai, alokasi sumber – sumber yang dibagikan, keputusan yang diambil, maupun
perilaku setiap pihak yang terlibat (Myers,1982:234-237; Kreps, 1986:185; Stewart,
1993:341).
10. Interaksi yang disebut komunikasi antara individu yang satu dengan yang lainnya, tak
dapat disangkal akan menimbulkan konflik dalam level yang berbeda – beda (Devito,
1995:381)
Ada pertentangan pendapat mengenai perbedaan pandangan terhadap peran konflik dalam
organisasi yang disebut oleh Robbin (1996: 431) sebagai The Conflict Paradoks, yaitu
pandangan bahwa di sisi konflik dianggap dapat meningkatkan kinerja kelompok, tetapi di
sisi lain kebanyakan kelompok dan organisasi berusaha untuk meminimalisasikan konflik.
Pandangan ini dibagi menjadi tiga bagian, antara lain:
1. Pandangan tradisional (The Traditional View). Pandangan ini menyatakan bahwa konflik itu
hal yang buruk, sesuatu yang negatif, merugikan, dan harus dihindari. Konflik disinonimkan
dengan istilah violence, destruction, dan irrationality. Konflik ini merupakan suatu hasil
disfungsional akibat komunikasi yang buruk, kurang kepercayaan, keterbukaan di antara
orang – orang, dan kegagalaan manajer untuk tanggap terhadap kebutuhan dan aspirasi
karyawan.
2. Pandangan hubungan manusia (The Human Relation View. Pandangan ini menyatakan
bahwa konflik dianggap sebagai suatu peristiwa yang wajar terjadi di dalam kelompok atau
organisasi. Konflik dianggap sebagai sesuatu yang tidak dapat dihindari karena di dalam
kelompok atau organisasi pasti terjadi perbedaan pandangan atau pendapat antar anggota.
Oleh karena itu, konflik harus dijadikan sebagai suatu hal yang bermanfaat guna mendorong
peningkatan kinerja organisasi. Dengan kata lain, konflik harus dijadikan sebagai motivasi
untuk melakukan inovasi atau perubahan di dalam tubuh kelompok atau organisasi.
3. Pandangan interaksionis (The Interactionist View). Pandangan ini cenderung mendorong
suatu kelompok atau organisasi terjadinya konflik. Hal ini disebabkan suatu organisasi yang
kooperatif, tenang, damai, dan serasi cenderung menjadi statis, apatis, tidak aspiratif, dan
tidak inovatif. Oleh karena itu, menurut pandangan ini, konflik perlu dipertahankan pada
tingkat minimum secara berkelanjutan sehingga tiap anggota di dalam kelompok tersebut
tetap semangat, kritis – diri, dan kreatif.
Stoner dan Freeman (1989:392) membagi pandangan menjadi dua bagian, yaitu
pandangan tradisional (Old view) dan pandangan modern (Current View):
1. Pandangan tradisional. Pandangan tradisional menganggap bahwa konflik dapat dihindari.
Hal ini disebabkan konflik dapat mengacaukan organisasi dan mencegah pencapaian tujuan
yang optimal. Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan yang optimal, konflik harus
dihilangkan. Konflik biasanya disebabkan oleh kesalahan manajer dalam merancang dan
memimpin organisasi. Dikarenakan kesalahan ini, manajer sebagai pihak manajemen
bertugas meminimalisasikan konflik.
2. Pandangan modern. Konflik tidak dapat dihindari. Hal ini disebabkan banyak faktor, antara
lain struktur organisasi, perbedaan tujuan, persepsi, nilai – nilai, dan sebagainya. Konflik
dapat mengurangi kinerja organisasi dalam berbagai tingkatan. Jika terjadi konflik, manajer
sebagai pihak manajemen bertugas mengelola konflik sehingga tercipta kinerja yang optimal
untuk mencapai tujuan bersama.
Selain pandangan menurut Robbin dan Stoner dan Freeman, konflik dipahami
berdasarkan dua sudut pandang, yaitu: tradisional dan kontemporer (Myers, 1993:234)
1. Dalam pandangan tradisional, konflik dianggap sebagai sesuatu yang buruk yang harus
dihindari. Pandangan ini sangat menghindari adanya konflik karena dinilai sebagai faktor
penyebab pecahnya suatu kelompok atau organisasi. Bahkan seringkali konflik dikaitkan
dengan kemarahan, agresivitas, dan pertentangan baik secara fisik maupun dengan kata-kata
kasar. Apabila telah terjadi konflik, pasti akan menimbulkan sikap emosi dari tiap orang di
kelompok atau organisasi itu sehingga akan menimbulkan konflik yang lebih besar. Oleh
karena itu, menurut pandangan tradisional, konflik haruslah dihindari.
2. Pandangan kontemporer mengenai konflik didasarkan pada anggapan bahwa konflik
merupakan sesuatu yang tidak dapat dielakkan sebagai konsekuensi logis interaksi manusia.
Namun, yang menjadi persoalan adalah bukan bagaimana meredam konflik, tapi bagaimana
menanganinya secara tepat sehingga tidak merusak hubungan antarpribadi bahkan merusak
tujuan organisasi. Konflik dianggap sebagai suatu hal yang wajar di dalam organisasi.
Konflik bukan dijadikan suatu hal yang destruktif, melainkan harus dijadikan suatu hal
konstruktif untuk membangun organisasi tersebut, misalnnya bagaimana cara peningkatan
kinerja organisasi.
Berdasarkan penjabaran pandangan-pandangan di atas, ada dua hal penting yang bisa
disorot mengenai konflik:
1. Konflik terjadi karena adanya interaksi yang disebut komunikasi. Hal ini dimaksudkan
apabila kita ingin mengetahui konflik berarti kita harus mengetahui kemampuan dan perilaku
komunikasi. Semua konflik mengandung komunikasi, tapi tidak semua konflik berakar pada
komunikasi yang buruk. Menurut Myers, Jika komunikasi adalah suatu proses transaksi yang
berupaya mempertemukan perbedaan individu secara bersama-sama untuk mencari kesamaan
makna, maka dalam proses itu, pasti ada konflik (1982: 234). Konflik pun tidak hanya
diungkapkan secara verbal tapi juga diungkapkan secara nonverbal seperti dalam bentuk raut
muka, gerak badan, yang mengekspresikan pertentangan (Stewart & Logan, 1993:341).
Konflik tidak selalu diidentifikasikan sebagai terjadinya saling baku hantam antara dua pihak
yang berseteru, tetapi juga diidentifikasikan sebagai ‘perang dingin’ antara dua pihak karena
tidak diekspresikan langsung melalui kata – kata yang mengandung amarah.
2. Konflik tidak selamanya berkonotasi buruk, tapi bisa menjadi sumber pengalaman positif
(Stewart & Logan, 1993:342). Hal ini dimaksudkan bahwa konflik dapat menjadi sarana
pembelajaran dalam memanajemen suatu kelompok atau organisasi. Konflik tidak selamanya
membawa dampak buruk, tetapi juga memberikan pelajaran dan hikmah di balik adanya
perseteruan pihak – pihak yang terkait. Pelajaran itu dapat berupa bagaimana cara
menghindari konflik yang sama supaya tidak terulang kembali di masa yang akan datang dan
bagaimana cara mengatasi konflik yang sama apabila sewaktu – waktu terjadi kembali.
BAB III
MASALAH-MASALAH SOSIAL POLITIK
Contoh konflik ruang yang terjadi di Riau, mudah2an bisa dipakai sebagai referensi
(Contoh kasus) dalam pembuatan PP tentang peran serta masyarakat dalam penataan ruang,
kasus seperti ini banyak terjadi di pulau sumatra. Dimana hak hak atas ruang dari masyarakat
bisa diabaikan atas nama investasi. dan ketika terjadi konflik maka masyarakat selalu berada
pada pihak yang kalah. Sudah Saatnya UU penataan ruang bisa mewujudkan kedaulatan
rakyat terhadap sumberdaya alam sebagaimana diamanatkan oleh pasal 33 ayat 3 UUD 1945.
Kronologis Penyerangan Dusun Suluk Bongkal Desa Beringin Kecamatan Pinggir
Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau Kamis, 18 Desember 2008 "Ini Perintah Atasan"
(Pernyataan Dir. Reskrim Polda Riau Kombes Pol. Alex Mandalika dilokasi saat hendak
melakukan pembakaran rumah masyarakat Dusun Suluk Bongkal, 18 Desember 2008).
Pada tanggal 18 Desember 2008 tepatnya pukul 10.00 WIB pasukan Brimob Polda Riau
beserta 500-an pasukan Samapta serta pasukan kepolisian dari Polres Bengkalis yang
dipimpin langsung oleh Dir. Reskrim Polda Riau Kombes. Alex Mandalika mendatangi
Dusun Suluk Bongkal untuk melakukan pengusiran terhadap warga yang berdiam di Dusun
tersebut karena dianggap telah melakukan penyerebotan terhadap areal HPHTI PT. Arara
Abadi. Pasukan tersebut dilengkapi dengan persenjataan (pentungan dan senjata api) serta
water cannon. Kedatangan pasukan tersebut telah diketahui kabarnya oleh warga Dusun sejak
sehari sebelumnya sehingga membuat warga Dusun seluruhnya melakukan mobilisasi ke
jalan masuk Dusun untuk mempertahankan kampung. Beberapa saat kemudian masyarakat
coba untuk melakukan perundingan dengan kepolisian yang dipimpin oleh Kepala Dusun
Suluk Bongkal Khalifah Ismail, Ketua RW 03 Rasyidin, Tokoh masyarakat Suluk Bongkal
Pongah, Loceng dan beberapa tokoh masyarakat lainnya yang didampingi oleh Ketua Umum
Serikat Tani Riau Riza Zuhelmy. Perundingan dilakukan dengan pihak kepolisian yang
langsung dipimpin oleh Dir. Reskrim Polda Riau yang didampingi aparat kepolisian lainnya.
Awalnya warga menanyakan tentang operasi yang dilakukan dan surat perintah, namun pihak
kepolisian hanya menjawab ini perintah atasan. Hal yang sangat aneh operasi yang
menggunakan banyak perlengkapan dan dipimpin langsung oleh perwira polri ini tidak ada
pemberitahuan resmi sebelumnya, tidak ada surat perintah resmi pelaksanaan penggusuran
serta tidak ada keputusan pengadilan untuk melakukan eksekusi ini. Warga meminta kepada
pihak kepolisian untuk tidak melakukan tindakan represif karena Dusun tersebut syah
merupakan sebuah perkampungan berdasarkan peta administrasi wilayah Dusun Suluk
Bongkal yang ditandatangani oleh Bupati Bengkalis pada 12 Maret 2007 seluas 4.856 ha
(tertuang dalam lembaran Pemerintahan Kabupaten Bengkalis no. 0817-22 0817-31.0618-54
0616 63).
Secara historis, catatan yang kami peroleh tentang bahwa dusun Suluk Bongkal termasuk
dalam Besluit yang dipetakan sejak Belanda menjalin kerjasama dengan kerajaan Siak,
diperkirakan tahun 1940. Sekitar tahun 1959, dibuatlah peta yang mempunyai ketentuan
pembagian wilayah memiliki hutan tanah ulayat batin (keabsahan suku Sakai) termasuk
didalamnya wilayah Suluk Bongkal. Setelah sekian lama masyarakat Suluk Bongal hidup
berdampingan dengan suku-suku lain di dusunnya, sejak diterbitkannya Surat Keputusan
Menteri Kehutanan dimaksud, konflik pun mulai mencuat, dan beberapa masyarakat dusun
terpaksa pindah, karena tidak tahan lagi dengan pola kekerasan yang dilakukan oleh 911
selaku pengaman asset perusahaan.
Perlu kami sampaikan bahwa, sah-sah saja PT. Arara Abadi menegaskan kepada publik
mereka memiliki Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan nomor 743/Kpts-II/1996 tentang
PEMBERIAN HAK PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI ATAS AREAL
HUTAN SELUAS ± 299.975 (DUA RATUS SEMBILAN PULUH SEMBILAN RIBU
SEMBILAN RATUS TUJUH PULUH LIMA) HEKTAR DI PROPINSI DAERAH
TINGKAT I RIAU KEPADA PT. ARARA ABADI. Perlu kami sampaikan disini pokok-
pokok yang tertuang dalam SK tersebut adalah: Ketetapan pertama point kedua disebutkan:
Luas dan letak definitif areal kerja Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI)
ditetapkan oleh Departemen Kehutanan setelah dilaksanakan pengukuran dan penataan batas
di lapangan." Persoalannya kemudian adalah, kami belum mendapatkan satu info pun tentang
sosialisasi hasil pengukuran dan penataan batas di lapangan, terkait SK tersebut.
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Politik adalah suatu proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat
yang berwujud proses pembuatan kekuasaan, khususnya Negara.
Politik adalah suatu proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat
yang berwujud proses pembuatan kekuasaan, khususnya Negara.
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari seluruh seluk beluk yang berhubungan dengan
sosial. Banyak aspek yang dipelajari dalam ilmu sosiologi dimana berkait dengan kehidupan
sosial, hubungan antar sesama, kekeluargaan, kasta, rumpun, bangsa, agama dan asosiasi
kebudayaan, ekonomi dan organisasi politik.
Masyarakat (society) merupakan istilah yang digunakan untuk menerangkan komuniti
manusia yang tinggal bersama-sama. Boleh juga dikatakan masyarakat itu merupakan
jaringan perhubungan antara pelbagai individu.
Konflik berasal dari kata kerja latin configure yang berarti saling memukul. Secara
sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga
kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan
menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.
Ada pertentangan pendapat mengenai perbedaan pandangan terhadap peran konflik dalam
organisasi yang disebut oleh Robbin (1996: 431) sebagai The Conflict Paradoks, yaitu
pandangan bahwa di sisi konflik dianggap dapat meningkatkan kinerja kelompok, tetapi di
sisi lain kebanyakan kelompok dan organisasi berusaha untuk meminimalisasikan konflik.
Mengapa perlu alat bantu untuk menganalisis konflik? Beberapa jawaban dapat
dikemukakan sebagai berikut :
1. Untuk memahami latar belakang dan sejarah suatu situasi dan kejadian-kejadian saat ini;
2. Untuk mengidentifikasi semua kelompok yang terlibat, tidak hanya kelompok yang menonjol
saja;
3. Untuk memahami pandangan semua kelompok dan lebih mengetahui bagaimana
hubungannya satu sama lain;
4. Untuk mengidentifikasi faktor-faktor dan kecenderungan-kecenderungan yang mendasari
konflik;
5. Untuk belajar dari kegagalan dan juga kesuksesan.
Konflik berubah setiap saat, melalui berbagai tahap aktivitas, intensitas, ketegangan dan
kekerasan yang berbeda. Tahap-tahap ini penting sekali diketahui dan digunakan bersama alat
bantu lain untuk menganalisis berbagai dinamika dan kejadian yang berkaitan dengan
masing-masing tahap konflik.
Urutan kejadian adalah suatu alat bantu yang sederhana. Alat ini berupa grafik yang
menunjukkan kejadian-kejadian yang telah ditempatkan menurut waktu. Urutan kejadian
merupakan daftar waktu (tahun, bulan atau hari, sesuai skalanya) dan menggambarkan
kejadian-kejadian secara kronologis. Anda dapat menggunakan metode ini untuk
menunjukkan urutan-urutan kejadian dalam kehidupan anda, misalnya, atau sejarah negara
anda. Dalam hal ini, anda dapat menggunakan urutan kejadian untuk menunjukkan sejarah
suatu konflik.
B. SARAN
1. Diharapkan kepada teman-teman mahasiswa agar kiranya dapat mengerti bagaimana
2. Sebagai tindak lanjut makalah ini, sebenarnya kita seharusnya dapat membahas dan
menggambarkan terjadinya konflik dalam proses interaksi social atau dikatakan sebagai