Anda di halaman 1dari 12

Pembalikan Tatanan Dependensi: Dari Ontologi

Berorientasi Objek ke Ontologi Berorientasi Struktur

Moh. Gema

Pembaca One Piece. Tertarik pada filsafat sains dan metafisika.

Realisme struktural[1] memiliki dua pilihan, yaitu dengan mengakui adanya sesuatu yang melampaui
struktur—sebutlah X—di dunia, yang biar bagaimanapun kita tidak memiliki aksesibilitas untuk
mengetahuinya (apalagi memahaminya), atau memang tidak ada sesuatu yang lain yang melampaui
struktur.[2] Realisme struktural epistemik seperti yang diadvokasi oleh Worrall memilih pilihan pertama
sedangkan realisme struktural ontik memilih pilihan kedua.

Setelah Worrall mengajukan realisme struktural sebagai ‘yang terbaik dari dua dunia’ dan mendapat
banyak perhatian dari banyak filsuf, realisme struktural mengambil arah yang berbeda pada akhir 90-an
ketika James Ladyman (1998) dan Steven French (1998) mengajukan pembaharuan atas realisme
struktural sebagai sebuah posisi ontologis. Menurut Ladyman realisme struktural tidak memiliki kelebihan
yang berarti daripada realisme ilmiah tradisional jika hanya dimengerti sebagai perbaikan epistemologis
belaka, realisme struktural harus dikembangkan sebagai posisi metafisik.[3] Posisi ini membutuhkan
pandangan tentang dunia macam apa yang dibicarakan, dan pandangan tersebut adalah dengan mengambil
struktur sebagai basis ontologis. Dalam kata-katanya Ladyman,

“WE SHOULD SEEK TO ELABORATE STRUCTURAL REALISM IN SUCH A WAY THAT IT


CAN DIFFUSE PROBLEMS OF TRADITIONAL REALISM [. . .] THIS MEANS TAKING
STRUCTURE TO BE PRIMITIVE AND ONTOLOGICALLY SUBSISTENT.”[4]

Posisi ini kemudian disebut realisme struktural ontik. Inti dari pandangan ini adalah bahwa struktur
merupakan basis secara ontologis: apa yang awalnya nampak sebagai struktur dari ‘sesuatu’ yang memiliki
segi kualitatif yang tidak diketahui sesungguhnya hanya struktur lah yang pada dasarnya ada. Dengan kata
lain, realisme struktural ontik menolak presumsi bahwa objek dan segi kualitatifnya merupakan basis
secara ontologis dan struktur, sejauh eksis, dependen pada eksistensi objek dan propertinya. Realisme
struktural ontik memutar-balik tatanan dependensi ini dan menempatkan struktur sebagai basis secara
ontologis, dan mempositnya sejauh objek dan properti eksis, eksistensinya dependen pada eksistensi
struktur.[5]

Tesis metafisik realisme struktural ontik tentang apa yang fundamental secara ontologis dimotivasi oleh
dua hal: (a) kebutuhan untuk membangun sebuah ontologi yang cocok untuk fisika kontemporer, dan
sebuah jalan pelarutan beberapa teka-teki dasar metafisik yang muncul darinya; dan (b) kebutuhan untuk
membangun sebuah konsepsi bagaimana teori merepresentasikan dunia yang kompatibel dengan apa yang
diperankan oleh model dan idealisasi dalam fisika.[6] Di atas disebutkan bahwa realisme mensyaratkan
komitmen metafisik tentang pandangan bagaimana dunia eksternal. Tapi komitmen metafisik ini tidak
ditentukan oleh eviden, khususnya fisika. Ini merupakan teka-teki metafisik yang ingin dilampaui oleh
realisme struktural ontik, yaitu ketaktertentuan metafisik (metaphysical underdetermination).

Dalam filsafat ilmu ketaktertentuan semacam ini dikenal sebagai tesis ketaktertentuan teori oleh eviden
(underdetermination theory by evidence) untuk menunjukkan bahwa pemilihan teori dalam ilmu tidak
rasional. Tesis ini adalah sebagai berikut:

ANDAIKAN ADA DUA TEORI, TEORI T1 DAN T2  YANG EKUIVALEN SECARA EMPIRIS,
ARTINYA BAHWA KEDUA TEORI TERSEBUT MEMBUAT PREDIKSI TERAMATI YANG
SAMA. MAKA [MENURUT TESIS INI] TIDAK ADA EVIDEN TERAMATI YANG DAPAT
MENENTUKAN PILIHAN ANTARA T1  DAN T2 SECARA KONKLUSIF.[7] 

Menurut Laudan dan Leplin tesis di atas dapat menjadi motivasi bagi relativisme dalam ranah ontologis
maupun epistemologis yang menghantarkan kita pada skeptisisme.[8] Jadi selain meruntuhkan rasionalitas
pemilihan teori, komitmen metafisik kita tentang dunia sebagaimana yang dikatakan teori juga runtuh.
Non-realis dapat menunjukkan bahwa eksistensi teori yang ekuivalen secara empiris tidak meruntuhkan
rasionalitas pilihan teori satu di antara teori lainnya pada tingkat tertentu dalam perkembangan ilmu, yaitu
dengan menunjukkan bahwa ekuivalensi empiris dari dua teori tidak mensyaratkan ekuivalensi
evidensialnya. Contohnya, jika, seperti Larry Laudan (1981), kita pragmatis, maka kita dapat berpikir
bahwa pemilihan teori secara keseluruhan rasional karena adanya pembatasan pragmatik, tapi meskipun
demikian komitmen ontologis pada teori yang dipilih demikian rupa tidak dapat dijustifikasi karena adanya
kemungkinan teori yang ekuivalen secara empiris dengan ontologi alternatif. Lebih jauh, Roger Jones
(1991) berargumen bahwa ketika kita menghadapi teori yang mengakui formulasi alternatif yang
mengajukan metafisika yang berbeda (contohnya mekanika Newtonian dan ‘aksi pada sebuah jaraknya’,
‘variasional’, ‘teoretika-medan’, dan bahkan formulasi ‘ruangwaktu lengkung’), kita tidak dapat menjadi
realis tentang teori tersebut karena kita tidak tahu versi mana untuk dipercaya tentang bagaimana dunia
sebenarnya bekerja.

Meskipun kita dapat menentukan formulasi kanonis dari sebuah teori, masih terdapat problem lain dari
ketaktertentuan metafisik, contohnya problem individualitas dan non-individualitas dalam fisika
fundamental. Contoh ini merupakan problem yang menjadi titik berangkat orientasi ontologis dari realisme
struktural ontik. Dalam fisika klasik, partikel elementer merupakan objek individu seperti objek dalam
kehidupan sehari-hari kita (meja, rumah, motor, dan sebagainya) yang dapat kita acu dengan term singular
(kita dapat menamainya, atau mengacunya dengan ekspresi indeksikal atau deskripsi definit) dan
membandingkannya secara bermakna dengan objek lainnya. Tapi dalam mekanika kuantum gagasan
individualitas ini menjadi problematik, bahkan dalam babak awal sejarah mekanika kuantum banyak yang
mengajukan bahwa partikel kuantum bukanlah individu.[9]

Untuk menunjukkan klaim ini kita membutuhkan sebuah asas individualitas, yaitu kriteria untuk
menentukan suatu objek dengan objek lainnya berbeda (distinct). Asas yang digunakan dalam disputasi
metafisik mekanika kuantum adalah asasnya Leibniz di mana individuasi objek sesuai dengan properti
yang dimilikinya. Asas ini juga disebut sebagai asas identitas takterbedakan (principle of identity of
indiscernibles): ∀x∀y[(∀P)(Px↔Py)→(x=y)], di mana x dan y adalah variabel tatanan pertama (meliputi
objek) dan P adalah sebuah variabel tatanan kedua (meliputi properti). Asas ini mengatakan bahwa jika
objek x dan y memiliki properti yang sama (share all properties), maka x dan y identik; atau sebaliknya,
jika dua objek adalah sesungguhnya bukan satu dan sama, maka pasti terdapat paling tidak satu properti
yang dimiliki oleh satu objek tapi tidak dimiliki oleh objek lainnya. Properti yang diliputi oleh P adalah (a)
properti monadik, (b) properti monadik dan relasional yang tidak termasuk properti spasial, dan (c)
properti monadik dan relasional termasuk properti spasial.[10] Berdasarkan asas ini partikel klasik adalah
objek individu karena sifat tak dapat ditembusnya (imprenetability) di mana dua partikel tidak dapat
menempati lokasi spasio-temporal yang sama. Maka dari itu partikel klasik dapat dibedakan menurut
trajektorinya dalam ruangwaktu.[11]

Tapi asas identitas takterbedakan gagal dikenakan dalam mekanika kuantum. Mengikuti French dan
Redhead (1988), anggaplah terdapat dua partikel kuantum yang memiliki properti intrinsik sama yang
tidak tergantung pada keadaannya (non-state dependent) (massa, muatan listrik, …) dan asumsikan bahwa
kedua partikel tersebut, paling tidak pada awalnya, dianggap sebagai individu yang dilabeli ‘1’ dan ‘2’.
Problem yang harus kita pecahkan adalah bagaimana kita mendistribusikan kedua partikel ini pada dua
keadaan kuantum dengan |a> dan |b>. Kemudian kita tulis |a>|b> untuk menyatakan bahwa partikel
pertama dalam keadaan |a> dan partikel kedua dalam keadaan |b>. Jadi sistem kedua-partikel dapat berada
dalam empat keadaan berbeda: |a>|a>, |a>|b>, |b>|a>, |b>|b>. Keadaan ini benar jika partikelnya adalah
partikel klasik. Tapi mekanika kuantum memberitahu kita bahwa sistemnya hanya dapat berada dalam
salah-satu dari keadaan berikut:

(1) |a>|a>

(2) 1/√2 (|a>|b> + |b>|a>)

(3) 1/√2 (|a>|b> – |b>|a>)

(4) |b>|b>

Lebih jauhnya, keadaan ini tidak tersedia untuk semua partikel. Terdapat dua jenis partikel fundamental:
fermion dan boson. Status partikel tidak dapat berubah melalui waktu: jika sebuah partikel adalah fermion
(atau boson) pada satu titik waktu maka partikel tersebut adalah fermion (atau boson) selamanya. Maka
dalam mekanika kuantum fermion hanya dapat berada dalam keadaan (3), sementara boson dapat berada
dalam keadaan (1), (2), dan (4).[12]

French dan Redhead[13] menunjukkan bahwa partikel yang berada dalam salah-satu keadaan di atas
memiliki properti monadik dan relasional yang bergantung pada keadaan (state-dependent) yang sama
dalam pengertian berikut:

MONADIK: UNTUK SETIAP PROPERTI P DAN SETIAP NILAI P DARI P,


PROBABILITAS PENGUKURAN PROPERTI  P  PADA PARTIKEL 1 YANG MEMILIKI
HASIL  P  SAMA DENGAN PROBABILITAS PENGUKURAN PROPERTI P PADA PARTIKEL
2 YANG MEMILIKI HASIL  P.

RELASIONAL: UNTUK SETIAP DUA PROPERTI P DAN Q DAN SEMUA


NILAI P DAN Q DARI PROPERTI TERSEBUT, PROBABILITAS PENGUKURAN P PADA
PARTIKEL 1 MEMILIKI HASIL P MENGINGAT BAHWA PENGUKURAN  Q  PADA
PARTIKEL 2 MEMILIKI HASIL Q SAMA DENGAN PROBABILITAS
PENGUKURAN  P  PADA PARTIKEL 2 YANG MEMILIKI HASIL P MENGINGAT BAHWA
PENGUKURAN Q PADA PARTIKEL 1 MEMILIKI HASIL  Q.
Hasil di atas diturunkan menggunakan mekanika kuantum standar, dan maka dari itu berdasarkan pada
mekanika kuantum standar dua partikel tidak dapat dibedakan. Karena posisi ini adalah properti yang
bergantung pada keadaan dalam mekanika kuantum maka hasilnya berdampak pada properti spasial dan
maka dari itu partikel kuantum juga tidak dapat dibedakan dengan berdasar pada properti spasialnya.[14]

Non-individualitas partikel kuantum di atas dapat diterima jika asas identitas takterbedakan benar. Jika kita
tidak ingin menyimpulkan bahwa kedua partikel identik karena sudah jelas bahwa kita memiliki dua sistem
partikel dan bukan satu sistem partikel, maka asas identitas takterbedakan salah dan tidak dapat digunakan
untuk menentukan individualitas dalam partikel kuantum. Tapi jika kita tidak menerima asas identitas
takterbedakan maka kita harus mendasarkan individualitas pada kriteria lain, yaitu ke-ini-an (thisness)
primitif atau haecceity yang tidak dapat dipertahankan karena bertentangan dengan mekanika kuantum.
[15]

Pokok persoalan di atas adalah untuk mempertimbangkan natur metafisik dari partikel kuantum. Dua
pilihan yang tersedia adalah (a) partikel sebagai individu (memiliki kondisi identitas yang didefinisikan
secara ketat, dapat diidentifikasi dan dire-identifikasi) atau (b) partikel sebagai non-individu (identitas
untuk partikel kuantum tidak didefinisikan secara ketat, tidak adanya kondisi identitas). Pilihan ini hanya
tersedia untuk ontologi beroreintasi-objek (object-oriented ontologies) yang dalam artian luasnya objek
tidak membutuhkan kondisi identitas yang didefinisikan secara ketat untuk sesuatu menjadi sebuah objek.
Kedua pilihan di atas, sejauh mekanika kuantum terlibat, sama-sama dapat diterima dan realisme standar
harus dapat menentukan natur entitas yang realis percaya.[16] Situasi ini merupakan ketaktertentuan
metafisik, yang realisme struktural ontik berusaha untuk melampauinya dengan meninggalkan objek—
yang secara partikular status metafisiknya tidak dapat ditentukan—dan berkomitmen pada struktur yang
secara umum dimiliki oleh kedua pilihan di atas.

Ladyman melihat problem di atas sebagai kegagalan teori mutakhir untuk menentukan karakteristik
ontologis fundamental dari entitas pokok yang dipostulatkan. Problem ini merupakan bentuk ersatz dari
realisme yang menganjurkan komitmen pada eksistensi entitas yang memiliki status metafisik ambigu.
Problem individualitas di atas memang muncul dari mekanika kuantum partikel-banyak dan tentu saja teori
mutakhir dari teori kuantum adalah teori medan. Realisme mungkin akan mengabaikan problem
ketaktertentuan metafisik pada basis perbedaan kemutakhiran teori. Tapi terdapat beberapa problem juga
dengan pengabaian ini. Pertama, seperti halnya mekanika klasik, fakta bahwa partikel non-relativistik
mekanika kuantum memiliki kesuksesan empiris yang sangat besar dan untuk sebuah paradigma teori
ilmiah yang bagus berarti bahwa realis harus memiliki pemahaman; realis tentang apa. Jika tidak realisme
hanya akan dipakai untuk satu teori yang benar tentang dunia, jika memang ada, dan sejak kita belum
memilikinya maka realisme tidak memiliki relevansinya dengan teori-teori yang aktual. Kedua, kita harus
memiliki konsep tertentu dari partikel fundamental yang digunakan secara luas oleh para fisikawan dan
ilmuan kimia dari ontologi teori medan, dan maka dari itu pertanyaan tentang naturnya masih akan tetap
bermakna. Ketiga, teori medan kuantum tidak mudah untuk diinterpretasikan secara realistik daripada teori
kuantum biasa dan memunculkan problem interpretatif baru dan sama-sama mendesaknya.[17] Teller
mengatakan bahwa medan kuantum tidak analog dengan medan klasik, di mana medannya terdiri dari
operator yang diparameterisasi dengan titik ruang-waktu:

THESE OPERATOR VALUES ASSOCIATED WITH THE SPACE-TIME POINTS ARE NOT
SPECIFIC VALUES OF SOME PHYSICAL QUANTITY. THE SPECIFIC OR CONCRETE
VALUES ARE, AS ON INITIALLY EXPECTS, THE STATES, OR EQUIVALENTLY, THE
CATALOGUE OF PROBABILITY AMPLITUDES FOR ALL POSSIBLE MEASUREMENTS.
[18]

Maka dari itu operatornya tidak merepresentasikan nilai dari kuantitas fisiknya tapi kuantitas itu sendiri
(quantities themselves). Problem interpretatif dari teori medan kuantum ini diwariskan dari mekanika
kuantum non-relativistik.
Keempat, problem individualitas tidak dapat dipecahkan dengan bergeser pada teori medan. Teller
menegaskan bahwa mekanika kuantum konvensional memang tampak inkompatibel dengan gagasan klasik
tentang properti yang mana semua kuantitas selalu memiliki nilai yang jelas. Dengan mengatakan bahwa
bilangan ‘partikel’ selalu memiliki nilai yang jelas, teori medan kuantum juga menghadirkan problem yang
persis sama.[19]

Dalam teori medan kuantum, bilangan partikel untuk keadaan medan tertentu (berapa banyak partikel yang
ada) bergantung pada kerangka acuan yang diadopsi. Dalam situasi ini partikel seperti kehilangan
realitasnya dalam pendekatan teoretika medan. Teller sendiri menganjurkan interpretasi dalam pengertian
“kuanta” yang merupakan eksitasi medan yang dapat diagregasi seperti partikel (kita dapat mengatakan
ada sebuah keadaan dengan kuanta yang sangat banyak), tapi tidak dapat dienumerasi (kita tidak dapat
mengatakan yang ini yang pertama, yang ini yang kedua, dan seterusnya); kuanta bukanlah individu.
[20] Jika demikian problem individualitas muncul kembali; apakah medan itu sendiri individu atau apakah
medan itu sebenarnya properti dari titik ruangwaktu. Problem ini kemudian akan menghantarkan kita pada
disputasi antara substantifalisme dan relasionalisme dalam metafisika relativitas umum.

Secara kasar substantifalisme memandang bahwa titik lipatan ruangwaktu eksis secara independen dari
konten material semesta. Sedangkan relasionalisme memandang bahwa fakta spasio-temporal hanyalah
relasi di antara elemen yang berbeda dari konten material ruangwaktu. Jika ditelusuri ulang disputasi ini
mungkin dapat ditelusuri kembali hingga disputasi Newton dan Leibniz, meskipun anakronistik. Problem
bagi relasionisme adalah bahwa persamaan medan dari relativitas umum memiliki solusi di mana
ruangwaktu kosong secara keseluruhan, yang disebut solusi de Sitter. Karena itu teori relativitas umum
seperti menyiratkan bahwa ruangwaktu dapat eksis dan memiliki properti dan struktur, yang independen
dari konten materialnya. Di sisi lain, problem bagi substantifalisme adalah kararan umum persamaan
medan yang menunjukkan bahwa model ruangwaktu dan gambarannya yang berada di bawah sebuah
keadaan yang disebut diffeomorfhism, yaitu sebuah pemetaan bijektif (memiliki fungsi satu-satu (one-one)
dan pada (onto)) yang dapat dibedakan dari modelnya pada dirinya sendiri dengan mempertahankan
struktur topologis, ekuivalen satu sama lain dalam semua hal; semua properti fisiknya diekspresikan dalam
pengertian objek geometrik kararan umum.[21] Dengan kata lain, jika titik ruangwaktu secara keseluruhan
tidak dapat dibedakan satu sama lain maka tidak ada perbedaan jika kita menukarnya sejauh strukturnya
secara keseluruhan tetap sama. Menurut argumen lubangnya Earman dan Norton (1987), jika
model diffeomorphic diperlakukan secara berbeda secara fisik maka akan ada sebuah kerusakan
deternimisme. Tentu saja substantifalisme tidak dapat menerima ini karena pertanyaan tentang
determinisme harus ditetapkan pada tataran empiris atau fisik, dan bukan tataran filosofis.

Apa yang kemudian harus dilakukan oleh realis? van Fraassen—memahami bahwa realisme sudah
sewajarnya harus memiliki pengetahuan metafisik—bersikeras bahwa kita harus “mengucapkan selamat
tinggal” pada metafisika, dan maka dari itu realisme itu sendiri. Tapi Ladyman mengajukan usul lain.
Menurut Ladyman yang kita butuhkan adalah sebuah pergeseran pada basis ontologis yang berbeda secara
keseluruhan di mana pertanyaan seperti individualitas tidak muncul. Kita dapat memandang paket individu
dan non-individu, seperti partikel dan gambaran medan dalam teori kuantum, sebagai representasi yang
berbeda dari struktur yang sama. Situasi ini juga analog dengan disputasi tentang substantifalisme dalam
relativitas umum. Robert DiSalle (1994) mengusulkan bahwa struktur ruangwaktu berlaku sebagai eksisten
tanpa bertopang (supervenient) pada eksistensi titik-titik ruangwaktu. Ladyman mengindetifikasi ini
sebagai uraian baru dari posisi yang dikembangkan oleh Howard Stein yang memandang ruangwaktu
bukan sebagai substansi maupun himpunan relasi di antara substansi, tapi struktur dalam dirinya sendiri.
[22] Untuk mengatakannya secara sederhana, realisme yang memiliki ontologi yang berorientasi objek
harus beralih ke realisme ontologis yang berorientasi struktur di mana struktur dan/atau relasi memiliki
status ontologis subsisten dengan mengorbankan individu yang subsisten-pada-dirinya, objek, dan properti
intrinsiknya.
Yang Terbaik dari Dua Dunia: Antara Realisme dan
Antirealisme

Moh. Gema

Pembaca One Piece. Tertarik pada filsafat sains dan metafisika.

Perdebatan realisme-antirealisme dalam filsafat sains adalah mengenai realitas yang takteramati yang
diposit oleh sains, bukan tentang pro atau anti sains. Misalnya positivisme logis, positivisme logis adalah
aliran filsafat yang paling gencar dalam mempromosikan sains. Tapi meskipun positivisme logis pro-sains,
positivisme logis adalah sebuah antirealisme karena tidak mempercayai realitas yang takteramati.
Ketidakpercayaan terhadap realitas yang takteramati ini didasarkan pada ciri pemahaman positivisme logis
yang empiristik dan anti-metafisika—bahwa realitas yang takteramati itu terlalu metafisik dan tidak dapat
kita ketahui.

Distingsi antara realitas yang teramati  dan yang takteramati adalah mengenai hal-hal yang dalam kondisi
tertentu dapat dicerap oleh indera tanpa bantuan alat tertentu dan hal-hal yang tidak dapat dicerap oleh
indera. Penggunaan term ‘yang teramati’ dan ‘yang takteramati’ ini berbeda dari praktik ilmiah dalam
sains itu sendiri. Dalam praktik ilmiah label ‘yang teramati’ biasa digunakan secara permisif pada apapun
yang dapat ditempa oleh jenis kontak kausal tertentu, seperti menggunakan instrumen (contohnya
mikroskop) untuk medeteksinya. Dalam disputasi realisme-antirealisme, yang teramati  adalah hal-hal
yang dapat dicerap oleh indera tanpa mediasi apapun.[1] (Kriteria ini didasarkan pada klaim antirealis
empirisme konstruktif yang digagas oleh Bas van Fraassen bahwa instrumen teknologis dibangun
berdasarkan teori ilmiah tertentu (misalnya hukum-hukum ilmiah dan algoritma). Jadi jika pencerapan
inderawi dimediasi oleh instrumen teknologis maka apa yang dicerap oleh indera tersebut telah selalu
dimediasi oleh teori-teori tertentu.

Di satu sisi, realisme, secara metafisik berkomitmen pada realitas tersebut, dan di sisi lain, antirealisme,
bersikap agnostik. Terdapat dua argumen yang secara substansial sama-sama kuat dalam perdebatan
tersebut. Argumen utama dari realisme adalah argumen tanpa-keajaiban yang dirumuskan oleh Hilary
Putnam. Argumen ini menyatakan bahwa realisme ilmiah adalah satu-satunya filsafat yang tidak membuat
kesuksesan sains sebagai suatu keajaiban. Premis dari argumen ini adalah kesuksesan sains itu sendiri yang
berhasil membuat deskripsi dan prediksi baik itu tentang realitas yang teramati maupun tentang realitas
yang takteramati. Jika kesuksesan ini tidak benar atau hanya sebuah kebetulan maka kita dapat menyebut
kesuksesan sains sebagai sebuah keajaiban yang begitu saja dapat membuat deskripsi dan prediksi akurat
tentang dunia, maka dari itu kita harus percaya bahwa teori-teori ilmiah (secara aproksimatif) benar. 
Argumen ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

 (P1) Sains sangat sukses (extremely successful).

 (P2) Realisme ilmiah menyediakan sebuah eksplanasi yang baik untuk


kesuksesan sains.
 (P3) Kita harus percaya filsafat sains yang memberikan eksplanasi terbaik
tentang sains.

 (⸫) Kita harus mempercayai realisme ilmiah.


Dengan dukungan argumen tanpa-keajaiban ini kita dapat mempercayai eksistensi realitas yang takteramati
yang digambarkan oleh sains, yaitu karena keyakinan (belief) kita bahwa teori-teori ilmiah adalah benar
memerlukan keyakinan bahwa entitas-entitas yang dipostulasikan oleh teori ilmiah eksis.[2]

Selain kesuksesan sains antirealsime melihat fakta lain yaitu terdapat banyak pergantian teori dalam
sejarah sains, Pergantian teori ini menjadi argumen bagi antirealisme. Pergantian teori merupakan fakta
dalam sejarah sains. Banyak teori pada waktu t dipercayai sebagai teori yang benar namun pada t2 tidak.
Bentuk penalaran induksi-meta pesimistik dapat dirumuskan sebagai berikut[3]:

 (P1) Entitas a, diusulkan sebagai fakta dalam periode historis p1, kemudian
pada periode berikutnya telah disepakati tidak ada.
 (P2) Entitas b, diusulkan sebagai fakta dalam periode historis p2, kemudian
pada periode berikutnya telah disepakati tidak ada.
 (P3) Entitas c, diusulkan sebagai fakta dalam periode historis p3, kemudian
pada periode berikutnya telah disepakati tidak ada.
 (Pn) Entitas i, diusulkan sebagai fakta dalam periode historis pn, kemudian
pada periode berikutnya telah disepakati tidak ada.

 (⸫) Entitas yang diusulkan sebagai fakta saat ini akan ditunjukkan pada
periode berikutnya bahwa entitas tersebut tidak ada.
Konsekuensi dari pergantian teori dalam sejarah sains ini adalah bahwa entitas yang takteramati, beserta
properti dan prosesnya, yang sering dipostulatkan oleh sains sebagai dasar bagi fenomena empiris tidak
dapat dipercaya. Antirealisme seperti empirisme konstruktif mengambil sikap empiris terhadap fakta yang
disuguhkan oleh sejarah sains ini.[4] Menurut empirisme konstruktif kita dapat mendukung kesuksesan
sains tanpa perlu mempercayai semua pengetahuan yang diproduksi oleh sains. Kita hanya perlu percaya
pada teori-teori ilmiah yang adekuat secara empiris. Karakterisasi teori yang adekuat secara empiris adalah
sebagai berikut: sebuah teori adalah adekuat secara empiris jika dan hanya jika apa yang dikatakan oleh
teori tersebut tentang hal-hal dan peristiwa yang teramati benar.[5] Dari karakterisasi ini kita tidak perlu
mempercayai hal-hal dan peristiwa yang tidak dapat diobservasi, kita hanya perlu mengambil sikap
agnostik karena eksistensinya melampaui pengalaman kita. Selain itu antirealis juga dapat mengakomodasi
inferensi pada eksplanasi terbaik sebagai inferensi pada adekuasi empirik dari eksplanasi terbaik (inference
to the empirical adequacy of best explanation). Kita dapat mengakui bahwa sains membuat hipotesis
tertentu ketika hendak menjelaskan sebuah fenomena tapi kita juga dapat menolak bahwa sains
menyimpulkan kebenaran dari hipotesis ini. Dalam contoh inferensi pada eksplanasi terbaik tentang
elektron, kita dapat menarik kesimpulan bahwa hipotesis elektron adekuat secara empiris, bukan bahwa
elektron benar-benar eksis.[6]

Kita dapat melihat bahwa kedua argumen yang saling bertentangan ini sama-sama kuat. Akibat dari kedua
argumen yang sama-sama kuat ini perdebatan dalam filsafat sains mengalami kemandekan. Dengan
munculnya realisme struktural kemandekan itu dapat di atasi.

Realisme Struktural Epistemik


Pernyataan eksplisit pertama dari program strukturalis dalam filsafat sains dapat ditelusuri kembali hingga
Henri Poincaré, Pierre Duhem, dan Bertrand Russell. Strukturalis lain atau filsuf yang-berorientasi-
strukturalis diikuti oleh Arthur Eddington, Ernst Cassirer, Rudolph Carnap, Moritz Schick, W. V. Quine,
dan Grover Maxwell. Dalam satu setengah dekade terakhir posisi tersebut telah dihidupkan kembali,
direformulasi, dan dipertahankan oleh beberapa filsuf, di antaranya John Worrall, Elie Zahar, James
Ladyman, Steven French, Michael Redhed, Otávio Bueno, Anjan Chakravartty, Tian Yu Cao, dan Bas van
Fraassen. Beberapa di antara filsuf tersebut menggunakan pendekatan strukturalisme dalam filsafat sains
untuk mengartikulasikan sebuah versi struktural dari realisme ilmiah yang kemudian melahirkan realisme
struktural.

Secara kasar struktur dapat didefinisikan sebagai sistem relasi di antara beberapa sistem elemen. Dalam
kehidupan sehari-hari misalnya ketika kita diminta untuk menggambarkan struktur sebuah bingkai gambar
pada sebuah dinding. Untuk menggambarkannya kita dapat mendaftar bagian-bagian dari bingkai tersebut
—kacanya, bagian pinggirnya, bagian belakangnya, penyekatnya—dan menggambarkan bagaimana
bagian-bagian dari bingkai tersebut berhubungan satu sama lain—secara geometrik, oleh perekat, dan
sebagainya. Strukturalisme fokus pada relasi-relasi dalam dirinya sendiri (relations themselves) dari pada
sesuatu yang mendirikan relasi tersebut, yaitu relata.[7]

Definisi standar dari struktur sering menggunakan pembingkaian formal teori himpunan. Sebuah
struktur S terdiri dari (a) sebuah himpunan non-kosong U dari objek, yang kadang disebut sebagai domain
struktur, dan (b) sebuah himpunan non-kosong R  dari relasi (monadik dan/atau poliadik) yang
didefinisikan pada U. Struktur ini sering ditulis sebagai sebuah sekuens teratur (ordered tuple): S=<U, R>.
Dua struktur, S1=<U1, R1> dan S2=<U2, R2>, adalah isomorpik jika dan hanya jika terdapat sebuah
pemetaan satu-ke-satu (bijective) f: U1→U2  sedemikian rupa f mempertahan sistem relasi dari kedua
struktur dalam artian berikut: untuk semua relasi r1  ∈ R1  dan r2  ∈  R2, elemen a1, . . ., an dari U1 memenuhi
(satisfy) relasi r1 jika dan hanya jika berkorespondensi pada elemen b1=f(a1), . . ., bn=f(an)
dalam U2 memenuhi r2, di mana r1 adalah relasi dalam R1 yang berkorespondensi pada r2  dalam R2 (yaitu
memiliki indeks yang sama dalam himpunan terindeks R1 dan R2). Struktur yang didefinisikan ini juga
mengacu pada ‘struktur abstrak’ untuk menekankan bahwa baik objek dalam domainnya maupun relasinya
tidak memiliki konten material apapun. Berbeda dengan struktur abstrak, struktur konkret memiliki objek
dan relasi yang diinterpretasi.[8] Contohnya struktur dengan domain U = {Ohang, Mokhsa} dan sebuah
himpunan R yang hanya mengandung relasi r = ‘menjadi ayah dari’.

Bagaimana struktur yang didefinisikan di atas bertalian dengan sains? Ingatlah bahwa dalam sains banyak
pernyataan matematis yang menjadi sentral, misalnya fungsi, persamaan, hukum, simetri, asas-asas,
pernyataan kararan bentuk, dan sebagainya. Pernyataan matematis ini dapat diekspresikan dalam struktur
di atas. Ambillah hukum dan persamaan. Hukum ilmiah sering ditulis dalam persamaan matematis.
Persamaan ini menentukan relasi dalam sebuah domain. Frigg dan Votsis memberikan contoh hukum
Hooke.[9] Hukum Hooke adalah sebuah hukum fisika mengenai gaya yang terjadi karena sifat elastisitas
dari sebuah pegas. Besarnya gaya Hooke secara proporsional akan berbanding lurus dengan jarak
peregangannya (pergerakan pegas dari posisi normalnya). Persamaan matematis dari hukum Hooke ini
dapat dirumuskan sebagai F=  –ks, di mana F  adalah gaya (force), k  adalah konstanta pegas, dan s adalah
peregangan. Persamaan ini melibatkan dua kuantitas yang dapat memiliki nilai riil, jadi domain strukturnya
adalah bidang riil R2. Relasi yang didefinisikan oleh persamaan tersebut adalah r={(x, y): y= –kx}, yaitu
himpunan semua sekuens (x, y) ∈ R2  demikian rupa y adalah sama dengan –kx. Jika R adalah himpunan
yang (hanya) mengandung relasi r, maka S=<R2  , R> adalah struktur yang didefinisikan oleh F= –ks.

Dalam struktur hukum Hooke di atas kita juga dapat menemukan ‘karakter material’ dari term asalnya
dalam persamaan: peregangan s menjadi bilangan riil x dan gaya F menjadi bilangan riil y. Tapi di dalam
struktur di atas tidak ada yang bergantung pada x menjadi peregangan dan tidak ada yang bergantung
pada y menjadi gaya dari sebuah pegas; faktanya, kita dapat menginterpretasikan x dan y secara berbeda
dan tidak ada yang berubah dalam strukturnya sendiri, sama halnya seperti tidak ada yang bergantung pada
relasinya “menjadi ayah dari” dalam contoh struktur konkret di atas. Jika persamaannya menjadi semakin
kompleks (banyak hukum fisika yang merupakan persamaan diferensial) maka struktur yang dispesifikasi
oleh persamaan menjadi semakin kompleks pula. Tapi ide dasar dari koneksi di antara struktur dan
persamaan tetap sama.
Setelah mengetahui bagaimana peran struktur dalam sains mari kita beralih ke pembahasan realisme
struktural dalam disputasi realisme-antirealisme dalam filsafat sains kontemporer. Realisme struktural
adalah sebuah pandangan dalam filsafat sains yang sejauh teori-teori ilmiah (yang sukses secara prediktif,
dewasa, non-ad hoc, dan sebagainya) memberikan deskripsi yang benar secara aproksimatif tentang
realitas yang independen, teori tersebut tidak memberitahu kita tentang naturnya, atau lebih spesifiknya
natur dari bagian yang takteramati, melainkan strukturnya. Dengan menyokong klaim tentang struktur
tertentu, realisme struktural secara umum skeptik tentang natur dari entitas yang diajukan oleh teori ilmiah.
Meskipun demikian karena pandangan ini adalah realisme maka realisme struktural menyokong
pengetahuan struktur yang takteramati.[10]

Dalam literatur kontemporer realisme struktural tergolong menjadi dua varian yaitu realisme
struktural epistemik dan realisme struktural ontik, yang dapat diekspresikan secara singkat dalam bentuk
slogan berikut:

 Realisme struktural epistemik: semua yang kita ketahui adalah struktur.


 Realisme struktural ontik: semua yang ada, adalah struktur.
Dalam artikel ini saya hanya akan membahas realisme struktural epistemik. Realisme struktural epistemikk
memperkenankan eksistensi entitas ‘yang tersembunyi’ di balik strukturnya, yang natur ontik entitas
tersebut tidak dapat kita ketahui.

Realisme struktural epistemik pertama kali diintrodusir oleh John Worrall (1989) meskipun dia
mengakuinya sendiri bahwa realisme struktural epistemik pertama kali diformulasikan oleh Henri
Poincaré. Introduksi realisme struktural ke dalam filsafat sains ini Worrall lakukan untuk mengatasi
perdebatan argumen tanpa-keajaiban–nya realisme ilmiah dan induksi-meta pesimistik-nya antirealisme.
Dari usahanya tersebut Worrall mengajukan ‘yang terbaik dari dua dunia’ sebagai solusi atas kebuntuan
dari disputasi realisme-antirealisme, yaitu realisme struktural. Maksud dari ‘yang terbaik dari kedua dunia’
adalah bahwa realisme struktural merupakan filsafat sains yang (a) mampu menghindari serangan induksi-
meta pesimistik dengan tidak berkomitmen (commiting) pada entitas yang takteramati yang diajukan oleh
teori-teori ilmiah, dan (b) tidak membuat kesuksesan sains (terutama prediksi baru dari teori-teori fisikal
yang dewasa) menjadi seperti sebuah keajaiban dengan berkomitmen pada klaim bahwa struktur teori
bertahan melalui pergantian teori.[11]

Untuk sampai pada kesimpulan ini Worrall menggunakan kasus transisi dalam teori optik abad ke-19
Fresnel tentang eter ke teori medan elektromagnetiknya Maxwell. Kasus ini juga sebelumnya dijadikan
contoh oleh Poincaré sebagai reaksi terhadap induksi-meta pesimistik: teori T 1 digantikan oleh teori T2, dan
T2 digantikan oleh T3, dan seterusnya, entitas yang dipostulatkan oleh T1 digantikan oleh entitas yang
berbeda yang dipostulatkan oleh teori yang selanjutnya (contohnya eter diganti oleh medan
elektromagnetik); tapi persamaan dasarnya (yaitu persamaannya Maxwell), yang menangkap struktur yang
mendasari sesuatu (things) bertahan dan benar secara aproksimatif.[12] Worrall meneliti transisi teori eter-
elektromagnetik ini dengan detil sehingga mendapatkan struktur yang dimaksud.

Untuk mengilustrasikan penelitian Worrall kita akan memulainya dari abad ke-18, mengikuti Newton,
bahwa cahaya adalah sesuatu yang sama dengan sebuah pancaran partikel yang takteramati. Pada awal
abad berikutnya ontologi ini ditolak dengan beralih pada pemikiran bahwa cahaya adalah jenis tertentu dari
gerak yang bergetar melalui eter bercahaya. Pandangan yang diajukan oleh Fresnel ini kemudian ditolak
oleh Maxwell dan digantikan oleh pemikiran bahwa cahaya adalah sebuah rentetan perubahan mirip-
gelombang (wave-like) dalam gelombang elektromagnetik; yaitu getaran elektrik dan vektor medan
magnetik. Ontologi ini berbeda; sebuah getaran mekanik dan (pemindahan) elektrik yang beredar adalah
jenis yang berbeda secara radikal.[13] Dan pada abad ke-20 terdapat beberapa yang memandang bahwa
cahaya menunjukkan sebuah dualitas partikel-gelombang yang problematik, atau pandangan bahwa cahaya
adalah sebuah berkas foton, yang dalam kasus keduanya mematuhi mekanika yang sangat berbeda dari
pancaran ontologi partikel optik abad ke-18. Meskipun sering dikatakan terdapat perubahan revolusioner
pada tingkat ontologi fundamental dari teori, tetapi juga terdapat akumulasi pada tingkat fenomenal yang
mana adanya peningkatan hukum-yang-sama (law-like) yang menangkap fenomena cahaya dari mulai
refleksi, refraksi, interferensi dan difraksi, polarisasi, efek elektrik dan magnetik, efek fotoelektrik, dan
seterusnya. Meskipun tidak terdapat ontologi objek yang tetap karar dengan pergantian teori, tapi terdapat
kararan persamaan: yaitu dengan dipertahankan sedemikian rupa atau diinkorporasikan ke dalam
persamaan yang lebih umum.[14]

Peristiwa historis singkat ini diambil oleh Worrall sebagai kasus di mana persamaan matematisnya
bertahan melalui pergantian teori. Pertimbangkan sebuah pancaran cahaya yang terefleksi dan terefraksi
ketika melewati satu medium ke medium lainnya, katakanlah dari udara ke cermin. Tentang kasus ini
Worrall mengatakan[15]:

“ORDINARY UNPOLARISED LIGHT CAN BE ANALYSED INTO TWO COMPONENTS:


ONE POLARIZED IN THE PLANE OF INCIDENCE [THE PLANE CONTAINING THE
INCIDENT, REFLECTED, AND REFRACTED BEAMS], THE OTHER POLARIZED AT
RIGHT ANGLES TO IT. LET I, R AND X BE THE INTENSITIES OF THE COMPONENTS
POLARISED IN THE PLANE OF INCIDENCE OF THE INCIDENT,  REFLECTED AND
REFRACTED BEAMS RESPECTIVELY; WHILE I’, R’, AND X’ ARE COMPONENTS
POLARIZED AT RIGHT ANGLES TO THE PLANE OF INCIDENCE. FINALLY, LET I AND R
BE THE ANGLES MADE BY THE INCIDENT AND REFRACTED BEAMS WITH THE
NORMAL TO A PLANE, REFLECTING SURFACE. FRESNEL’S EQUATIONS STATE:

 R/I = tan (i-r)/tan (i+r)


 R’/I’ = sin (i-r)/sin (i+r)
 X/I = (2sin r.cos i)(sin (i+r)cos (i-r))
 X’/I’ = 2sin r.cos i)/sin (i+r)

Mari kita sebut keempat persamaan Fresnel ini sebagai persamaan-F dan properti (kerapkali relasional)
sudut refleksi dan refraksi, intensitas, dan seterusnya, sebagai properti-F. Secara lebih eksplisit,
persamaan-F dan properti-F adalah fungsi dari 8 variabel berikut yang dapat ditulis sebagai ‘F(R, R’, I, I’,
X, X’, i, r)’. Begitu juga intensitas I, R dan X adalah akar kuadrat dari besaran amplitudo dari gelombang
yang mengonstitusi getaran. Meskipun besarannya terhubung dalam cara langsung, intensitas dan
amplitudo adalah properti yang berbeda, dan harus diperlakukan secara demikian. Lebih besar getarannya
(Fresnel berpikir bahwa yang bergetar tersebut adalah eter), maka lebih besar intensitas dari cahayanya.
[16] Jadi persamaan di atas dapat dipahami untuk merepresentasikan rasio intensitas, atau rasio amplitudo
dari ‘apapun-itu’ yang bergetar.

Worrall memberitahu kita perbedaan antara Fresnel dan Maxwell tentang apa yang bergetar[17]:

“FRESNEL DEVELOPED THESE EQUATIONS ON THE BASIS OF THE FOLLOWING


PICTURE OF LIGHT. LIGHT CONCIST OF VIBRATIONS TRANSMITTED THROUGH A
MECHANICAL MEDIUM. THESE VIBRATIONS OCCUR AT RIGHT ANGLES TO THE
DIRECTION OF TRANSMISSION OF LIGHT THROUGH THE MEDIUM. . . . FROM THE
VINTAGE POINT OF MAXWELL,S THEORY AS EVENTUALLY ACCEPTED THIS
ACCOUNT, TO REPEAT, IS ENTIRELY WRONG. HOW COULD IT BE ANYTHING ELSE
WHEN THERE IS NO ELASTIC ETHER TO DO ANY VIBRATING? NONETHELESS FROM
THIS VANTAGE POINT, FRESNEL’S THEORY HAS EXACTLY THE RIGHT STRUCTURE—
IT’S ‘JUST’ THAT WHAT VIBRATES ACCORDING TO MAXWELL’S THEORY, ARE THE
ELECTRIC AND MAGNETIC FIELD STRENGTHS. AND IF WE IN FACT INTERPRET I, R,
X, ETC. AS THE AMPLITUDES OF THE ‘VIBRATION’ OF RELEVANT ELECTRIC
VECTORES, THEN FRESNEL’S EQUATIONS ARE DIRECTLY AND FULLY ENTAILED BY
MAXWELL’S THEORY.”

‘Sesuatu’ yang bergetar menurut Fresnel adalah medium mekanis, tapi ‘sesuatu’ yang bergetar menurut
Maxwell adalah medan elektrik dan magnetik yang diekspresikan sebagai vektor. Tapi keduanya setuju
bahwa terdapat intensitas, dan maka dari itu sebuah amplitudo, untuk ‘sesuatu’ yang bergetar tersebut.
Tapi ‘sesuatu’ yang dikatakan oleh mereka berdua sangatlah berbeda. Dan pada permukaannya benar;
medium mekanis yang elastis tidak mirip sebuah vektor medan yang bergetar.  Kedua ‘sesuatu’ yang
sangat berbeda ini terletak pada inti model tentang cahaya yang berbeda. Jika ontologi kita berorientasi
objek maka di sinilah, perbedaan ontologi muncul. Dan dapat dikatakan bahwa sekuensi teori cahaya tidak
memiliki kontinuitas pada tingkatan ontologi ‘sesuatu’.

Tapi model Maxell mengandung properti-F dan persamaan Maxwell membawa persamaan-F. Apa yang
kita hadapi di sini adalah sebuah sinar teramati dari cahaya (sesuatu) yang melwati satu medium ke
medium lainnya, yang menimbulkan sinar yang terefleksi dan terefraksi; dan sama halnya untuk cahaya
yang terpolarisasi pada sudut kiri. Tentang sinar cahaya ini dapat kita spesifikasi (1) sudut insidensi dan
refraksi, (2) rasio intensitas (pada sebelah kiri persamaan), atau yang berjumlah sama, rasio amplitudo dari
‘sesuatu’ yang bergetar, (3) himpunan empat persamaan yang mengatur propertinya (yaitu (amplitudo)
sudut dan intensitas) yang tidak dapat berubah secara independen dan dibatasi seturut dengan
persamaannya.[18] Menurut Worrall kita dapat mengesampingkan pembicaraan tentang ‘sesuatu, yang
tidak kita ketahui apa’ dan tidak perlu berkomitmen terhadap ontologi ‘sesuatu’ tersebut. Jika memang
terdapat kontinuitas dalam sejarah sains maka bukan ontologi objek yang diposit oleh teori, tapi struktur
matematis. Dalam kasus transisi dari persamaannya Fresnel ke persamaannya Maxwell terdapat kesamaan
struktur matematis yang bertahan.

Worrall, dengan berangkat dari penelitian mendetail kasus transisi dalam sejarah sains, menyarankan
bahwa kita tidak seharunya menerima realisme ilmiah secara keseluruhan, yang menegaskan
bahwa natur sesuatu digambarkan dengan benar oleh konten metafisik dan fisik dari teori terbaik. Lebih
baik kita mengadopsi realisme struktural yang menekankan pada konten matematis atau struktural dari
teori. Alur penalaran Worrall ini dapat kita sebut sebagai jalan menurun, yaitu dengan mengambil titik
berangkat dari teori-teori ilmiah aktual dan membuktikan bahwa ketika kita mengupas elemen non-
strukturalnya kita dapat meraih pengetahuan ilmiah yang benar pada tingkat dasar. Titik berangkat Worrall
tersebut disertai dengan premis realis, bahwa terdapat dunia yang independen dan dapat kita ketahui, untuk
kemudian membangun posisi realis yang lebih lemah, bahwa yang dapat kita ketahui hanyalah struktur
dunia.[19]

Argumen Worrall untuk realisme strukturalnya dapat dirumuskan sebagai berikut[20]:

 (P1) Hanya dua elemen teori yang bertahan melalui pergantian teori: (a)
formulasi matematis teori, bukan hanya teori yang secara eksplisit
termatematisasi tapi juga teori yang dapat diberi formulasi matematis, dan (b)
interpretasi empiris dari term yang diajukan teori.
 (P2) Formulasi matematis sebuah teori mengkodekan struktur domain target
teori.
 (P3) Preservasi elemen adalah penunjuk reliabel pada (aproksimasi)
kebenaran.
 (P4) Non-preservasi elemen adalah penunjuk reliabel pada (aproksimasi)
kesalahan.

 (⸫) Preservasi elemen struktural melalui pergantian teori adalah sebuah


penunjuk reliabel dari (aproksimasi) kebenaran. Non-preservasi elemen non-
struktural adalah sebuah penunjuk reliabel pada (aproksimasi) kesalahan.
Kasus yang diangkat Worrall hanyalah salah-satu kasus dari beberapa kasus yang dapat kita temukan
dalam sejarah sains. Saunders (1993) memberikan beberapa contoh untuk suplementasi kasus yang
diangkat Worrall dan menunjukkan kesamaan struktur yang dimiliki oleh astronomi Ptolemic dan
Copernican. Presentasi Friedman (1983) dari struktur teori ruang Newtonian dan teori ruang-waktu
relativistik menunjukkan adanya kontinuitas dalam beberapa hal tertentu. Penggunaan asas korespondensi
dalam pengembangan mekanika kuantum memberi kita contoh kontinuitas struktural. Contohnya operator
Hamiltonian yang digunakan dalam mekanika kuantum untuk sistem seperti sebuah osilator selaras yang
sederhana atau sebuah partikel yang tunduk pada potensi Coulumb merupakan dari bentuk yang sama
seperti rekan klasiknya (perbedaannya terletak pada pengutamaan operator Hermitian yang tepat daripada
variabelnya yang merepresentasikan nilai kuantitas dari posisi dan momentum secara klasik). Selain itu
juga terdapat analogi yang signifikan antara relasi operator komutasi  kuantum dan akolade Poisson klasik
yang dikembangkan oleh Paul Dirac. Lagi-lagi terdapat sebuah bentuk matematis bersama. Contoh lainnya
adalah persamaan yang dikenal sebagai teorema Ehrenfest, yaitu F(〈r〉) = md2〈r〉/dt2. Persamaan ini
menunjukkan kontinuitas antara mekanika klasik dan mekanika kuantum; persamaan ini memiliki bentuk
yang mirip dengan persamaan F = ma. Tapi persamaan kuantum memiliki nilai ekspektasi dari operator
Hermitian, sedangkan persamaan klasik mengutamakan variabel riil yang kontinu. Tentu saja kontinuitas
ini adalah kontinuitas struktural, di mana relasinya bertahan tapi tidak dengan relata dan tipe logisnya.
Kasus lainnya lagi adalah transisi dari mekanika klasik ke mekanika relativistik khusus di mana massa
ditransformasi ke massa relativistik, dan maka dari itu berubah dari sebuah properti objek yang sederhana
menjadi sebuah relasi di antara properti massa diam sederhana, relasi dua-tempat kecepatan cahaya, dan
tiga-tempat relasi kecepatan relatif. Tapi, ekstensi dari teori klasik tidak sama dengan penggantinya.
[21] Untuk menyebut lagi beberapa contoh kasus lainnya adalah korespondensi antara Relativitas Khusus
dan mekanika klasik yang dijelaskan oleh Brown (1993), kontinuitas struktural dalam deskripsi elektron
didiskusikan oleh Bain dan Norton (2001), dan hubungan antara elektrodinamik Maxwellian dan
Elektrodinamika Kuantum dipertimbangkan oleh Holgar Lyre (2004) sebagai perluasan contohnya
Worrall.

Anda mungkin juga menyukai