Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan limpahan rahmat
dan kasih sayangNya, sehingga kita dapat menikmati sebuah kehidupan yang sungguh penuh
dengan kenikmatan-kenikmatan yang tiada tara.
Dan tak lupa sholawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi besar
Muhammad Saw yang telah membawa dunia dari zaman yang penuh kezaliman menuju zaman
yang penuh dengan rahmat Allah SWT, yakni dengan ajaran Islam. beserta keluarganya dan para
sahabat serta umatnya yang senantiasa mendakwahkan Islam.
Penyusun sangat bersyukur, tugas proposal ini telah penulis selesaikan dengan baik
dan tepat waktu. Ada kalanya penulis mengalami beberapa kendala untuk menyelesaikan tugas
makalah ini terutama waktu, namun berkat bantuan doa, tenaga dan fasilitas dari orang-orang
terdekat penulis, akhirnya tugas ini dapat segera diselesaikan.
Ucapan terima kasih tidak lupa penyusun ucapkan kepada kedua orang tua, yang telah
memberikan semua keperluan penyusun untuk menyelesaikan tugas ini. Yang kedua, ucapan
terima kasih penyusun sampaikan kepada Ibu Susy Sukarni,S.Pd., selaku guru mata pelajaran
PKWU yang telah membimbing penyusun untuk dapat mengerjakan tugas ini dengan baik.
Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada seluruh pihak yang telah membantu hingga
terselesaikannya tugas ini, yang tentunya tidak dapat penyusun sampaikan satu-persatu.
Semoga dengan tersusunnya proposal ini dapat menambah pengetahuan dan memberi
inspirasi kepada para pembaca, sehingga dapat memperluas wawasan dan pengetahuan
Kewirausahaan serta menjadi orang yang cerdas dan bertaqwa.
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
Kegiatan pengembangan Budi daya Singkong dengan cara optimalisasi lahan – lahan yang belum
dan dalam rangka membangun agro bisnis dan agro industri yang terintegrasi dimana didalamnya
memuat aspek pemanfaatan lahan tidur secara optimal guna meningkatkan produktivitas
pertanian.
1.2. Visi dan Misi Usaha
1.2.1. Visi
“Menjaga dan meningkatkan potensi ketahanan bahan pangan dan kemahiran tenaga kerja
Indonesia”
1.2.2. Misi
Menjadikan perusahaan sebagai penghasil bahan pangan berbasis ubi kayu bekualitas
Menjadikan perusahaan sebagai penghasil ubi kayu terbesar Indonesia bahkan dunia
Memberikan kualitas dan pelayanan yang terbaik bagi konsumen.
AZAS PEDOMAN
SEJARAH SINGKAT
Ubi kayu merupakan tanaman pangan berupa perdu dengan nama lain ubi kayu, singkong atau
kasape. Ketela pohon berasal dari benua Amerika, tepatnya dari negara Brazil. Penyebarannya
hampir ke seluruh dunia, antara lain: Afrika, Madagaskar, India, Tiongkok. Ketela pohon
berkembang di negara-negara yang terkenal wilayah pertaniannya dan masuk ke Indonesia pada
tahun 1852.
JENIS TANAMAN
Varietas-varietas ubi kayu unggul yang biasa ditanam, antara lain: Valenca, Mangi, Betawi, Basiorao,
Bogor, SPP, Muara, Mentega, Andira 1, Gading, Andira 2, Malang 1, Malang 2, dan Andira 4
Tabel 6. Deskripsi varietas singkong yang diusahakan
No Varietas Deskripsi
.
1. Adira I a) Asal
b) Daun
c) Batang
d) Umbi
b) Daun
c) Batang
d) Umbi
b) Batang
Brazil
b) Daun
c) Batang
d) Umbi
Di Indonesia, ubi kayu menjadi makanan bahan pangan pokok setelah beras dan jagung.
Manfaat daun ubi kayu sebagai bahan sayuran memiliki protein cukup tinggi, atau untuk
keperluan yang lain seperti bahan obat-obatan. Kayunya bisa digunakan sebagai pagar kebun
atau di desa-desa sering digunakan sebagai kayu bakar untuk memasak. Dengan perkembangan
teknologi, ketela pohon dijadikan bahan dasar pada industri makanan dan bahan baku industri
pakan. Selain itu digunakan pula pada industri obat-obatan.
SENTRA PENANAMAN
Di dunia ubi kayu merupakan komoditi perdagangan yang potensial. Negara – Negarasentra
ketela pohon adalah Thailand dan Suriname. Sedangkan sentra utama ubi kayu di Indonesia di
Jawa Tengah dan Jawa Timur.
SYARAT PETUMBUHAN
Iklim
a) Curah hujan yang sesuai untuk tanaman ubi kayu antara 1.500-2.500 mm/tahun.
b) Suhu udara minimal bagi tumbuhnya ubi kayu sekitar 10 derajat C. Bila suhunya di bawah 10
derajat C menyebabkan pertumbuhan tanaman sedikit terhambat, menjadi kerdil karena
pertumbuhan bunga yang kurang sempurna.
c) Kelembaban udara optimal untuk tanaman ubi kayu antara 60-65%.
d) Sinar matahari yang dibutuhkan bagi tanaman ubi kayu sekitar 10 jam/hari terutama untuk
kesuburan daun dan perkembangan umbinya.
Media Tanam
a) Tanah yang paling sesuai untuk ubi kayu adalah tanah yang berstruktur remah, gembur, tidak
terlalu liat dan tidak terlalu poros serta kaya bahan organik. Tanah dengan struktur remah
mempunyai tata udara yang baik, unsur hara lebih mudah tersedia dan mudah diolah. Untuk
pertumbuhan tanaman ubi kayu yang lebih baik, tanah harus subur dan kaya bahan organik
baik unsur makro maupun mikronya.
b) Jenis tanah yang sesuai untuk tanaman ubi kayu adalah jenis aluvial latosol, podsolik merah
kuning, mediteran, grumosol dan andosol.
c) Derajat keasaman (pH) tanah yang sesuai untuk budidaya ubi kayu berkisar antara 4,5-8,0
dengan pH ideal 5,8. Pada umumnya tanah di Indonesia ber-pH rendah (asam), yaitu berkisar
4,0-5,5, sehingga seringkali dikatakan cukup netral bagi suburnya tanaman ubi kayu.
Ketinggian Tempat
Ketinggian tempat yang baik dan ideal untuk tanaman ubi kayu antara 10–700 m dpl, sedangkan
toleransinya antara 10–1.500 m dpl. Jenis ubi kayu tertentu dapat ditanam pada ketinggian
tempat tertentu untuk dapat tumbuh optimal.
BAB II
PROFIL USAHA
Nama perusahaan :
Perusahaan ini memiliki nama The 7’ Cassava, yang memiliki nama sesuai dengan dimana
bidang perusahaan ini bergerak dan apa produk yang dihasilkan perusahaan ini. Pengambilan
nama The 7’ Cassava ini juga tentunya diambil sesingkat dan sesederhana mungkin agar
konsumen mudah mengingat nama perusahaan ini. Selain itu, pemberian nama The 7’ Cassava
ditujukan agar mudah untuk dikenal oleh konsumen baik yang konsumen baru maupun
konsumen lama.
Pasar Sasaran
Melihat banyaknya peminat ubi kayu pada zaman sekarang, sehingga dapat kita manfaatkan.
Untuk pasar sasaran budidaya ubi kayu ini adalah pasar – pasar terdekat dengan lokasi budidaya,
toko - toko makanan yang berbahan dasar ubi kayu, pabrik pangan serta pasar ekspor. Dapat kita
lihat bahwa sekarang tingginya permintaan pasar ekspon akan kebutuhan bahan pangan.
Disinilah kita dapat menggunakan kondisi tersebut sebagai sasaran penjualan bahan pangan ini.
Dan tentunya dengan kualitas ubi kayu yang terjamin serta harga yang ekonomis dapat
memenuhi tingkat permintaan para konsumen maupun distributor (pabrik pangan).
Estimasi pasar
Budidaya ubi kayu yang memiliki peluang pasar yang menjanjikan tentu dapat menguasai
setidaknya setengahnya dari pasar. Selain karena belum banyak produksi inovasi ubi kayu yang
harganya cukup ekonomis dapat menarik minat para pembeli. Selain itu, daya beli masyarakat
dalam maupun luar negeri yang cukup tinggi akan bahan pangan menjadikan peluang untuk
usaha ini semakin tinggi untuk menguasai pasar dan mencapai sasaran.
Di pasar Indonesia, produksi Ketela pohon rata-rata mencapai 8,24 ton/ha (data tahun 1969-
1978). Tahun 1983-1991 rata-rata mencapai 11,43 ton/ha.Peningkatan produksi umbi ketela
pohon kurun waktu 1988-1992 terjadi karena adanya peningkatan rata-rata hasil per hektar.
Walaupun demikian, rata-rata produktivitas usaha tani ketela pohon ditingkat petani (3 ton/ha)
masih lebih rendah dibandingkan dengan potensi hasilnya (6-10 ton/ha). Luas panen komoditas
ketela pohon yang cenderung terus menurun selama kurun waktu tersebut ternyata tidak
berpengaruh terhadap produksi total. Sementara itu, sekitar 58% dari total luas panen per tahun
masih tersebar di Pulau Jawa. Dari segi ekspor, selama periode 1990-1994 ekspor ketela pohon
Indonesia mengalami peningkatan yang cukup besar. Bila pada tahun 1990, ekspor ketela pohon
adalah sebanyak 100 ton, maka pada tahun 1994 jumlah tersebut sudah menjadi 500 ton.
Permintaan ketela pohon pada tahun-tahun yang akan datang diperkirakan akan terus meningkat.
Hal ini merupakan peluang besar bagi Indonesia untuk usaha agribisnis ketela pohon.
Tetapi produktivitas dari komoditas singkong di Indonesia masih sangat renadah, apabila
dibandingakan dengan potensi dari singkong sendiri. Rata-rata nasional, produktivitas
singkong/ha masih pada angka 20-30 ton bahkan bisa saja dibawahnya. Rendahnya produktivitas
dari tanaman singkong masih diperparah dengan semakin menyempitnya lahan untuk bertanam
singkong. Sementara itu, berdasarkan survey, 58 % lahan tanaman singkong hanya tersebar di
Jawa, hal terseut tentu bertolak belakang dengan padatnya pulau jawa dengan penduduk.
Sempitnya lahan tersebut secara umum disebabkan masih rendahnya minat dari masyarakat
untuk bertanam singkong. Rendahnya minat masyarakat secara umum disebabkan masih
minimya pengetahuan atau informasi tentang tanaman singkong sendiri.
Sebagaimana diuraikan di atas peluang pengembangan usaha budi daya singkong sangat terbuka,
hal ini tidak lain karena kebutuhan produk dan beragamnya produk olahan dari bahan dasar
singkong seperti Gaplek, Chips, Pellet, tepung, dengan pangsa pasar untuk dalam negeri seperti
industri makanan & minuman ( kerupuk, Sirup), industri textile, industri bahan bangunan ( Gips
& Keramik ), Industri kertas, industri pakan ternak, sedagkan untuk pangsa pasar luar negeri
dengan tujuan eksport adalah Negara Masyarakat Ekonomi Eropa, Jepang, Korea, China,
Amerika Serikat, Jerman, dengan pemanfaatan untuk bahan baku farmasi, bahan baku industri
lem, bahan baku industri kertas, dan bahan baku industri pakan ternak.
Singkong atau ubi kayu merupakan salah satu komoditas tanaman pangan yang tumbuh subur
di Indonesia. Pada saat krisis pangan atau langkanya komoditas beras, singkong merupakan
alternatif pengganti beras walau hanya dimanfaatkan oleh masyarakat kelas ekonomi menengah
ke bawah. Sepanjang tahun 2006 sampai 2007 komoditas singkong yang telah diubah menjadi
tepung tapioka harga/ton terus mengalami kenaikan dari harg Rp 100.000 menjad Rp 300.000.
Saat ini hasil olahan singkog menjadi makanan kemasan berupa kripik singkong, telah mampu
merebut pangsa pasar masyarakat ekonomi kelas menengah ke atas, hal tersebut dibuktikan
dengan semakin meningkatnya jumlah perusahaan kripik singkog dalam kemasan. Makanan
kripik singkong dalam kemasan, diaharapkan kedepanpannya mampu menggantikan makana
kripik kentang yang bahan bakunya lebih mahal dan sulit didapat.
Melihat semakin diminatinya singkong oleh pihak industri, diperlukan peningkatan produktivitas
dan pembukaan lahan baru, terutama diluar jawa.
a. Penawaran dan permintaan
Tinginya permintaan suatu produk, tentu akan diukuti dengan meningkatnya harga dari produk
tersebut. Demikian juga apabila terjadi penurunan permintaan, akan diikuti dengan penurunan
harga. Hukum ekonomi tersebut, juga berlaku pada permintaan dan penawaran komoditas
singkong dipasaran dunia.
Permintaan ubi kayu dunia, dari tahun ke tahun mengalami kenaikan kenaikan yang cukup
signifikan. Pada tahun 2005, total ekspor ubi kayu dunia sebesar 92, 908 ton, sedangkan pada
tahun 2006 total ekspor meningkat sejumlah 139, 906 ton. Peningkatan ekspor ubi kayu basah,
juga diikuti dengan peningkatan ekspor ubi kayu olahan, dimana pada tahun 2006 sebesar 14 juta
ton dan tahun 2007 menjadi 31 juta ton. Diperkirakan untuk beberapa tahun kedepan, permintaan
ubi kayu akan terus. Tingginya permintaan ubi kayu baik dari dalam maupun luar negeri,tidak
diikuti dengan peningkatan produktivitas ubi kayu nasional. Berdasarkan survei, rata-rata
produktivitas ubi kayu per ha nasional Indonesia hanya 20-30 ton. Hal tersebut diperparah
dengan semakin sempitnya lahan produksi.
Dilihat dari semakin meningkatnya permintaan komoditas ubi kayu, baik dari dalam maupun luar
negeri, prospek usaha di bidang produksi ubi kayu di masa mendatang sungguh sangat
menjanjikan keuntungan. Selain itu secara agroklimat dan ketersedian lahan, proses produksi ubi
kayu di Indonesia juga sangat mendukung.
b. Harga Pasar
Harga dari komoditas ubi kayu dalam beberapa waktu belakangan ini terus meningkat. Saat ini,
harga ubi kayu segar naik menjadi Rp 500 samapi Rp 600 per kg. Dalam melihat peluang bisnis
di produksi ubi kayu besar, peluang terbesar yang belum dimaksimalkan ialah produktivitas
yang masih sangat rendah antara 20-30 ton/ha. Padahal produktivitas ubi kayu segar mempunyai
potensi sampai 100 ton/ha. Apabila potensi tersebut bisa di dekati sampai angka 50 ton/ha,
keutungan yang akan diperoleh tentu sangat besar.
Kondisi resesi seperti saat ini memang menurunkan komsumsi komoditas ubi kayu. Selain itu
pemakaian ubi kayu sebagai bahan baku olahan untuk sektor pangan tentu akan terus meningkat,
mengingat sektor pangan adalah kebutuhan primer.
Perkembangan pasar ubi kayu diperkirakan akan terus berkembang selayaknya komoditas kelapa
sawit. Hal tersebut dibuktikan dengan semakin meningkatnya jumlah pabrik-pabrik yang
menggunakan bahan baku ubi kayu. Dilihat dari semakin meningkatnya ekspor ubi kayu dari
tahun ke tahun dan belum banyaknya bermunculan pesaing, maka prospek usaha produksi ubi
kayu di massa mendatang akan sangat cerah dengan sekmen pasar yang akan semakin
meningkat.
Supplier
Pabrik Pangan
↓
Tempat lelang
Meskipun komoditas ubi kayu saat ini banyak dibutukan oleh banyak industri baik dalam
maupun luar negeri. Panjangnya rantai pemasaran membuat semakin kecilnya margin
keuntungan yang diterima produsen ubi kayu dan menjadi hambatan terhadap ekspor ubi kayu.
Hambatan dalam ekspor yang sering menjadi ganjalan sehingga menjadikan mutu dari ubi kayu
yang akan diekspor berkurang.
STRATEGI
Jangka Panjang
Penetrasi pasar untuk memperluas pasar dan lebih mengenalkan produk perusahaan
kepada masyarakat
Jangka Pendek
Diversifikasi produk yang ada untuk menghindari persaingan dengan perusahaan dengan
komoditas yang sama
UNIDO (UN Industrial Development Organization) atau Badan PBB di bidang Pembangunan
Industri sudah sejak awal tahun 1980-an menerbitkan beberapa laporan tentang potensi ubi kayu
atau sampeu atau manioc, terutama di negara berkembang seperti di Indonesia yang memiliki
lahan luas dan memungkinkan. Dari data UNIDO sejak tahun 1982, Indonesia tercatat sebagai
negara penghasil manioc terbesar ke-3 (13.300.000 ton) setelah Brasil (24.554.000 ton),
kemudian Thailand (13.500.000 ton), serta disusul oleh negara-negara seperti Nigeria
(11.000.000 ton), India (6.500.000 ton), dan sebagainya, dari total produk dunia sebesar
122.134.000 ton per tahun. Walau dari hasil kebun per hektar (ha), Indonesia masih rendah,
yaitu 9,4 ton, kalau dibandingkan dengan India (17,57 ton), Angola (14,23 ton), Thailand (13,30
ton), Cina (13,06 ton), Brasil (10,95 ton). Tetapi, lahan yang tersedia untuk budidaya ubi kayu
cukup luas, terutama dalam bentuk lahan di dataran rendah serta lahan di dataran tinggi
berdekatan dengan kawasan hutan.
Pada umumnya, di Indonesia masih jarang budidaya ubi kayu berbentuk perkebunan dengan luas
di atas lima hektar, karena umumnya masih merupakan kebun sela atau tumpang sari setelah
penanaman padi huma, kebun hortikultura, ataupun hanya merupakan kebun sambilan, yang
lebih banyak ditujukan untuk panenan daun/pucuknya yang dapat dijual untuk lalap, urab,
ataupun makanan lainnya. Sedang dari ubi kayunya, merasa sudah cukup hanya menjadi
makanan panganan, baik dalam bentuk keripik, goreng ubi kayu, rebus ubi kayu , urab ubi kayu,
ketimus, opak, sampai ke bubuy ubi kayu. Kadang – kadang dapat pula ditingkatkan menjadi
makanan yang lebih "bergengsi" kalau menjadi "misro" (atau amis di jero/di dalam) atau
"comro" (oncom di jero), dan sebagainya.
Ekspor ubi kayu Indonesia dalam bentuk gaplek (keratan ubi kayu yang dikeringkan), tepung
gaplek, ataupun tepung tapioka cukup meyakinkan dan dapat bersaing, seperti gaplek Indonesia
yang sangat terkenal di mancanegara, terutama di Masyarakat Eropa (ME) sehingga harganya
mampu bersaing dengan produk sejenis dari beberapa negara di Afrika, juga dari India dan
Thailand, yaitu rata-rata dengan harga 65-75 dollar AS/ton, kemudian meningkat sampai 130
dollar AS/ ton, padahal produk yang sama dari India, Thailand, dan apalagi dari negara-negara di
Afrika, hanya mencapai 60 dollar AS/ ton dan tidak lebih dari 80 dollar AS/ton.
Masalahnya adalah, bahwa di dalam tepung tapioka hasil Indonesia terdapat residu (sisa)
pestisida yang membahayakan, bahkan di atas ambang batas.
Memang budidaya ubi kayu, pada umumnya di Indonesia, tidak menggunakan pestisida,
terutama insektisida (pembasmi hama). Tetapi, mohon untuk diketahui, bahwa pada umumnya
pabrik tapioka, yaitu pengolah ubi kayu menjadi tepung, umumnya berada di lingkungan
kawasan pertanian padi, serta untuk keperluan pabrik, sejak mencuci ubi sebelum dihancurkan
(diparut), menghasilkan "larutan" tapioka dari parutan sampai ke pengendapan dan memisahkan
larutan menjadi "bubur" tapioka, dari selokan yang keluar dari kotakan sawah. Jadi kalau
dihitung secara teoretis (on paper) penggunaan pestisida, apakah itu organofosfor ataupun
lainnya, rata-rata dua kilogram (kg) per ha sawah, maka sisa yang terdapat di dalam air sawah,
sekitar 150-200 ppm (part per million atau 1 mg per liter). Dengan begitu, wajar saja kalau
sisa/residu tersebut akan terdapat antara 20-35 ppm pada tepung tapioka, sedangkan persyaratan
WHO harus kurang dari 0,05 ppm. Saat produk tapioka Indonesia jatuh dan terpuruk, maka
kalau mau dijadikan komoditas ekspor, khususnya ke Eropa, harus dijual dulu melalui
Singapura, karena di negara tersebut tapioka kita yang sudah tercemar residu pestisida akan
"dicuci" terlebih dahulu hingga memenuhi syarat, kemudian baru diekspor ke beberapa negara di
Eropa dengan nama "Made in Singapore", padahal, kelakar banyak pakar pertanian, di Singapura
tersebut jangankan ada kebun ubi kayu, mencari untuk obat saja sudah susah, dan baru ada di
Malaysia.
Tahun 1980-an, ekspor produk ubi kayu Indonesia, terutama dalam bentuk gaplek dan tepung
tapioka, umumnya ke negara-negara ME. Sedangkan yang membutuhkan produk ubi kayu
Indonesia, banyak negara di luar ME. Akibatnya keluar semacam SK Direktorat Jenderal
Perdagangan Luar Negeri tahun 1990, yang menyatakan bahwa eksportir Indonesia yang mau
mengekspor ke luar ME akan dapat rangsangan 1:2, yaitu dalam bentuk mereka akan dapat jatah
ekspor ke ME sebesar dua kali jumlah ekspornya ke non-ME.
Makin menurunnya jumlah ekspor gaplek, karena penurunan produk ubi kayu Indonesia,
misalnya dari 17,1 juta ton tahun 1989, menjadi 16,3 juta ton tahun 1990. Ini disebabkan pula
karena konsumsi di dalam negeri untuk banyak kegunaan dalam bentuk ubi kayu mencapai 12,65
juta ton, sehingga sisa ubi kayu yang akan digaplekkan hanya sekitar tiga juta ton saja. Dengan
catatan konversi (perubahan) dari ubi kayu segar menjadi gaplek sekitar 30 persen saja. Karena
itu, tidak heran kalau ekspor juga ikut anjlok, yaitu dari sekitar 790.000 ton ke ME dan 657.104
ke luar ME hanya menjadi 122.845 ton (tahun 1989-1990). Ternyata penurunan tersebut terkait
dengan banyak petani ubi kayu yang sudah tidak mau lagi menanam ubi kayu lagi disebabkan
antara lain karena "tanah bekas" ubi kayu menjadi lebih kurus karena selama penanaman tidak
pernah dilakukan pemberian pupuk, misalnya pupuk organik dalam bentuk pupuk hijau (tanaman
polong-polongan), serta faktor lainnya lagi, antara lain, banyak pabrik tapioka daerah yang
kemudian gulung tikar, sehingga produk para petani kemudian banyak yang rusak, misalnya
perubahan warna menjadi kehitam-hitaman ataupun membusuk. Juga ubi kayu untuk bahan
baku tapioka berbeda dengan ubi kayu konsumsi, yaitu kandungan senyawa cyanida lebih
tinggi dan terasa pahit.
Petani, bukan saja disebabkan karena keterbatasan lahan untuk budidaya ubi kayu yang
menyebabkan mereka tidak tertarik, tetapi juga karena pemasaran yang bertahap, sehingga dari
petani bernilai antara Rp 36 - Rp 50/kg segar, dan para pengumpul menerima sekitar Rp 75-Rp
100/kg segar. Dulu ketika di hampir tiap daerah/desa banyak bermunculan pabrik pengolah ubi
kayu menjadi tapioka, hasil jerih payah mereka banyak membantu pendapatan.
Bahwa bertani ubi kayu menguntungkan, banyak dialami petani di beberapa daerah di Jawa
Barat, mulai dari Kabupaten Purwakarta, Subang, Sumedang, Tasik, Ciamis, Garut, sampai
sukabumi dan Cianjur.
Mereka menanam ubi kayu bukan sekadar sambilan, tetapi sudah dikhususkan pada lahan yang
sudah ada, dengan luas antara 1-4 ha, umumnya terletak di lereng pegunungan, berbatasan
dengan lahan Kehutanan/Perhutani. Lahan untuk tanaman ubi kayu tidak harus khusus, dan tidak
memerlukan penggarapan seperti halnya untuk tanaman hortikultura lainnya, misal sayuran. Juga
selama penanaman, tidak perlu pemupukan dan pemberantasan hama atau penyakit.
Ternyata hasil tiap panen (antara 5-6 bulan setelah penanaman) dari luas 1 ha akan dapat diraih
keuntungan sekitar Rp 2.500.000, yaitu dari hasil penjualan umbinya (4-6 ton) serta pucuk
daunnya. Yang perlu diketahui, bahwa selama budidaya tidak banyak pekerjaan yang harus
dilakukan, misal menyiangi gulma (hama). Tentu saja kalau hal ini dilakukan, hasilnya akan
dapat lebih baik lagi. Padahal bibit ubi kayu yang mereka tanam masih jenis tradisi, yang hanya
memberikan hasil ubi sekitar 4-8 ton/ha.
Sekarang, seperti yang dilakukan oleh para pengusaha ubi kayu di daerah Lampung, Sulawesi
Selatan, serta daerah lainnya, di samping lahan yang digunakan dapat lebih dari 500 ha/kebun,
bahkan ada yang mencapai ribuan ha, juga bibit ubi kayu umumnya merupakan bibit unggul
seperti Manggi (berasal dari Brasil) dengan hasil rata-rata 16 ton/ha, Valenca (berasal dari
Brasil) dengan hasil rata-rata 20 ton/ha, Basiorao (berasal dari Brasil) dengan hasil rata-rata 30
ton/ ha, Muara (berasal dari Bogor) dengan hasil rata-rata 30 ton/ ha, Bogor (asal dari Bogor)
dengan hasil rata-rata 40 ton/ha. Bahkan, sekarang ada pula jenis unggul dan genjah (cepat
dipanen), seperti Malang-1, dengan produksi antara 45-59 ton/ha atau rata-rata 37 ton, Malang-2,
dengan produksi rata-rata antara 34 - 35 ton/ha.
Semakin banyak petani berdasi yang saat ini mulai melirik budidaya ubi kayu dengan luas tanam
di atas 50 ha, terutama di Sumatera, Sulawesi, dan Kalimantan, karena permintaan produk yang
terus meningkat dengan tajam, yang dapat bersaing dengan produk sejenis dari negara-negara di
Afrika, juga dari Thailand dan India.
STANDAR PRODUKSI
Ruang Lingkup
Standar produksi ini meliputi: klasifikasi, syarat mutu, cara pengambilan contoh, cara uji,
syarat penandaan, cara pengemasan dan rekomendasi untuk tapioka.
Diskripsi
Standar mutu ketela pohon (tepung tapioka) di Indonesia tercantum dalam Standar Nasional
Indonesia SNI 01-345-1994.
Keterangan:
** Dipersyaratkan bila dipergunakan sebagai bahan makanan.
1. Kadar air ialah jumlah kandungan air yang terdapat dalam ketela pohon dinyatakan dalam
persen dari berat bahan.
2. Kadar abu ialah banyaknya abu yang tersisa apabila tapioka dipijar pada suhu 500 derajat C
yang dinyatakan dalam persen berat bahan.
3. Serat, ialah bagian dari tapioka dalam bentuk cellulosa dan dinyatakan dalam persen berat
bahan.
4. Benda asing ialah semua benda lain (pasir, kayu, kerikil, logam-logam kecil) yang tercampur
pada ketela pohon, dinyatakan dalam persen dari berat bahan.
5. Derajat putih, ialah tingkat atau derajat keputihan dari pada ketela pohon yang dibandingkan
dengan derajat putih BaSO4 = 100 % dinyatakan dalam angka.
6. Kekentalan ialah derajat kekentalanm dari pada larutan ketela pohon dinyatakan dengan
derajat Elger.
7. Derajat asam ialah derajat asam pada ketela pohon yang dinyatakan dalam mililiter per
gram.
Untuk mendapatkan mutu singkong yang sesuai dengan standar maka harus dilakukan
pengujian mutu singkong yang diantaranya adalah :
a) Kadar air: timbang dengan teliti kira-kira 5 gram contoh, tempatkan dalam cawan
porselen/silika/platina panaskan dalam oven dengan suhu 105 ± 1 derajat C selama 5 jam.
Dinginkan dalam eksikator sampai tercapai suhu kamar, lalu timbang. Panaskan lagi 30
menit lalu dinginkan dalam eksikator. Ulangi pengerjaan tersebut 3-4 kali sampai diperoleh
berat antara 2 penimbangan berturut-turut lebih kecil dari 0,001 gram.
b) Kadar abu: timbang 5 gram contoh kedalam cawan porselen,/silika/platina yang sudah
ditimbang beratnya. Pijarkan cawan berisi contoh diatas pembakar mecer kira-kira 1 jam,
mula-mula api kecil lalu api dibesarkan sampai terjadi perubahan contoh menjadi arang.
Sempurnakan pemijaran arang didalam tanur pada suhu 580-620 derajat C sampai menjadi
abu. Pindahkan cawan dalam tanur kedalam oven pada pada suhu sekitar 100 derajat C,
selama 1 jam. Dinginkan cawan berisi abu dalam eksikator sampai tercapai suhu kamar
antara 15-30 derajat C, lalu timbang. Ulangi pengerjaan pemijaran dan pendinginan,
sehingga diperoleh perbedaan berat antara dua pertimbangan berturut-turut lebih kecil
daripada 0,001 gram.
c) Kadar serat dan benda asing: timbang kira-kira 2,5 gram contoh yang telah dikeringkalalu
dituangkan kedalam labu dengan ditambah asam sulfat encer 1,25% yang telah dididih
sebanyak 200 ml, pasangkan segera labu dengan pendingin balik yang dialiri air. Panaskan
abu hingga mendidih selama 30 menit, pada saat mendidih sesekali labu digoyangkan agar
semua contoh terasam dan tidak terjadi gosong pada dinding dalam labu. Tanggalkan labu,
lalu saring dengan kain halus 18 serat/cm yang dipasang pada corong penyaring. Cuci
residu dengan air mendidih sampai filtrat bersifat netral dan 200 ml larutan natrium
hidroksida lalu pindahkan residu di atas kain kedalam labu. Didihkan kembali labu selama
30 menit, lalu tanggalkan labu dan segera saring dengan kain saring kemudian cuci residu
dengan air mendidih sampai filtrat bersifat netral. Pindahkan residu kedalam cawan Gooch
yang telah dilapisi serat asbes dibantu pompa air, cuci residu dengan air panas dan dibilas
dengan 15 ml etil alkohol 95 %. Keringkan cawan dan isinya pada suhu 104-106 derajat C
dalam oven, kemudian dinginkan hingga tercapai suhu kamar, lalu ditimbang. Ulangi
pengeringan dan penurunan suhu dalam eksikator 2-3 kali masing-masing 30 menit hingga
mencapai bobot tetap. Pijarkan cawan gooch dan isinya pada suhu 580–620 derajat C
sampai menjadi abu lalu tempatkan dalam oven (suhu ± 100 derajat C) selama 30 menit,
dinginkan dalam eksikator sampai suhu kamar, lalu timbang. Ulangi pengeringan dan
penurunan suhu dalam eksikator 2-3 kali, masing masing 30 menit hingga diperoleh bobot
tetap (W2).
d) Derajat Putih: tuangkan BaSO4 murni kedalam cuvet dan tentukan reflaktan pada skala
100, lalu tuangkan contoh kedalam cuvet lainnya.
e) Derajat kekentalan Engler: timbang 10 gram bahan, tuangkan edalam gelas piala (500 ml)
lalu tambahkan 100 ml etanol 70 % yang sudah dinetralkan dengan indikator phenol
ptalein, lalu kocok selama 1 jam pada alat penggosok mekanik natrium hidroksida 0,1 N.
Saring dengan cepat melalui kertas saring kering, pipet 50 ml saring, tuangkan kedalam
erlenmeyer 500 ml dan titar saringan dengan larutan natrium hidroksida 0,1 N dengan
indikator phenol ptalein.
f) Cemaran logam: masukan contoh kedalam erlenmeyer 250 ml, 10 ml H2SO4, 0,5 gram
KMn04 dan direfluks hingga mendidih serta warna violet hilang. Tamabah 0,2 gram
KMn04 dan pemanas diteruskan hingga KMn04 1,5 gram. Didihkan kembali selama 5
menit, dinginkan dan tambahkan Hydroxylamine Hydrochoride samapi warna hilang,
setelah itu tambahkan 1 ml Hydroxylamine hydrochoride dan 2 ml asam asetan, pindahkan
larutan kedalam labu pemisah tambahkan 10 ml larutan Dhitizone, kocok selama 2 menit.
Pindahkan lapisan chloroform ke dalam corong pemisah yang mengandung 25 ml NH40H
kemudian kocok, cuci dengan 10 ml H2S04 IN dan buat larutan baku (larutkan 0,9155 grm
Pb Ac2 3H20 dalam air, tambahkan 5 ml HNO3 encerkan 500 ml dengan air), dari larutan
ini diambil 1 ml diencerkan menjadi 100 ml.
Sedangkan cara uji tembaga dan seng, raksa, arsen, angka lempeng total, bakteri coliform dan
eschericia coli sesuai dengan SNI 01–3451–1994.
Aspek Produksi
Produksi ubi kayu Indonesia tersebar di seluruh provinsi dengan wilayah sentra produksi
utama adalah Provinsi Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera Utara, Bali, NTT,
dan Papua. Potensi pengembangan komoditas ubi kayu masih dapat ditingkatkan baik dari
sisi ketersediaan lahan maupun produktivitas. Dalam hal ini, ubi kayu dapat dibudidayakan
pada lahan sawah maupun lahan kering atau tegalan, di dataran tinggi maupun rendah dengan
6pengembangan teknologi budidaya, pasca panen, dan pengolahannya (Rahayuningsih, et al.
2000; Rahayuningsih, et al. 1999). Secara umum, topografi areal yang ditanami di
perkebunan ubi kayu sebaiknya merupakan Daerah topografis berombak sampai
bergelombang, dengan kemiringan antara 8 % – 15 % , dan ketinggian antara 300 meter
sampai dengan 500 meter diatas permukaan laut. Curah hujan yang sesuai untuk tanaman ubi
kayu antara 1500-2000 mm/tahun. Kelembaban udara optimal antara 60-65%. Suhu udara
minimal bagi tumbuhnya ubi kayu yaitu 10° C. Jika suhunya dibawah 10° C maka
pertumbuhan tanaman akan terhambat, tanaman menjadi kerdil karena pertumbuhan bunga
yang kurang sempurna. Sinarmatahari sekitar 10 jam/hari terutama untuk kesuburan daun dan
perkembangan umbinya. Jenis lahan yang sesuai yaitu alluvial, latosol, podsolik merah
kuning, mediteran, grumosol dan andosol dengan kedalaman efektif sekitar 60-100 cm.
Topografi tanahnya datar serta mudah diolah, berstruktur remah dan gembur. Hal ini sesuai
dengan kebutuhan tanaman ubi kayu yang memerlukan tanah gembur dan kaya akan humus.
Tujuan pengolahan tanah agar ubi kayu berkembang pesat dan tumbuh leluasa.
bahan baku
Perkiraan analisis budidaya ubi kayu seluas 1 hektar pola monokultur dalam satu musim
tanam (8 bulan), dengan jarak tanam 100 X 100 cm (populasi + 9.998 tanaman)
Pada akhir masa panen terdapat sisa penggunaan bahan baku berupa pupuk kompos sebesar Rp
50.000,00
Total biaya bahan baku = 550.000 + (250.000 – 50.000) + 200.000 + 180.000 + 330.000 +
100.000
= 1.560.000
- Proses produksi
Persiapan Tanam
Pengairan Penyulaman dan Penanaman
Penyiangan
Pemupukan Panen
Penyortiran Pengemasan
Penyimpanan
5. Pengairan
Pengairan tanaman ubi kayu dilakukan ketika tanaman berumur 1-2 bulan secara kontinu
mengairi tanah selama 20-30 menit sampai tanaman basah dengan sistem lep. Pengairan pada ubi
kayu dibutuhkan ketika tanaman dalam proses pertumbuhan daun dan batang. Pengairan
dikurangi ketika penumbuhan umbi dengan tujuan meminimalisir busuknya ubi kayu.
6. Penyiangan
Penyiangan dilakukan untuk membersihkan gulma yang ada. Menyiang gulma yang ada
dilakukan pada umur tanaman 2-3 minggu menyiang gulma dengan munggunakan tangan secara
manual , menggunakan sabit, dan menggunakan parang. Penyiangan dikalakukan dengan tujuan
mengendalikan gulma dalam persaingan memperoleh unsur hara dalam tanah.
a) Produksi Indonesia.
b) Nama barang atau jenis barang.
c) Nama perusahaan atau ekspiotir.
d) Berat bersih.
e) Berat kotor.
f) Negara/tempat tujuan.
- Kapasitas Produksi
Perkiraan dari analisis budidaya ubi kayu ini, yang diperkirakan seluas 1 hektar dengan
pola monokultur dalam satu musim tanam atau sekitar 8 bulan, dengan jarak tanam 100 X
100 cm. Pada budidaya yang dilakukan ini diperkirakan dapat mencapai kapasitas produksi
kurang lebih 9.998 tanaman atau sekitar 30.000 Kg.
- Biaya Produksi
Total biaya bahan baku = 550.000 + (250.000 – 50.000) + 200.000 + 180.000 + 330.000 +
100.000
= 1.560.000
= Rp. 5.962.000,00
Aspek Keuangan
- Biaya Pemasaran
Total : Rp 1.714.000
- Sumber Pembiayaan :
Pada usaha budidaya ubi kayu ini, The 7’ Cassava menggunakan sumber pembiayaan
dari dana pribadi perusahaan/grup.
- Penggunaan dana :
Dana yang telah dikumpulkan dipergunakan untuk:
1. Biaya sewa lokasi (lahan) perusahaan
2. Pembelian bahan – bahan
3. Pembelian dan biaya sewa peralatan – peralatan
4. Gaji tenaga kerja
5. Biaya air (PDAM)
6. Biaya listrik (PLN)
7. Pembayaran pajak
8. Biaya transportasi/angkut
9. Biaya bahan bakar
10. Biaya keamanan
11. Biaya asuransi
12. Biaya perawatan
Setelah panen, diperkirakan dari usaha budidaya ini dapat mengasilkan Ubi Kayu
sebanyak ± 1,0 ton atau 10 kuintal.
Jadi HJP/Unit untuk produk yang dihasilkan usaha ini adalah sebesar Rp.1.228.160,00. Yang
artinya untuk 1 Kg Ubi Kayu dapat dijual dengan harga Rp. 12.281,6
Penjualan Rp.12.281.600,00
Harga Pokok Penjualan Rp. 7.676.000,00
Laba Kotor Rp. 4.605.600,00
Beban Operasional
Biaya Iklan Rp 1.759.000,00
Biaya Depresiasi Biaya Penyusutan Peralatan Rp. 285.067,00 x 8 bulan (1 Periode)
= Rp. 2.280.536,00
Total Beban Operasional Rp. 4.039.536,00
Laba Operasi Rp. 566.064,00
http://nuninan.blogspot.co.id/2017/01/proposal-tanaman-budidaya-ubi-jalar.html
https://pertaniantangguh.wordpress.com/2013/02/13/perencanaan-agribisnis-ubi-jalar/
Dwijoseputro,D.1980 ,Pengantar Fisiologi Tumbuhan.Gramedia.Jakarta
Lingga, P. dkk.1985. Bertanam Ubi-ubian.PenerbitPT. Penebar Swadaya. Anggota IKAPI.
Jakarta