Anda di halaman 1dari 38

LAPORAN KASUS

ILMU PENYAKIT DALAM


KOMA HIPERGLIKEMIA EC HHS (HYPEROSMOLAR HYPERGLYCEMIC STATE)

DIAJUKAN DALAM RANGKA PRAKTEK DOKTER INTERNSIP SERTA


SEBAGAI BAGIAN PERSYARATAN MENYELESAIKAN PROGRAM INTERNSIP DI
RS MARSUDI WALUYO, SINGOSARI, KAB. MALANG

Diajukan kepada:
dr. Heri Sutanto, Sp.PD
dr. Anita Mardiana K.
dr. Vika Cahyani Yoningsih

Disusun oleh:
dr. Ayu Rizky Widowati

RUMAH SAKIT MARSUDI WALUYO SINGOSARI


KABUPATEN MALANG
2019
HALAMAN PENGESAHAN

LAPORAN KASUS
KASUS ILMU PENYAKIT DALAM
KOMA HIPERGLIKEMIA EC HHS (HYPEROSMOLAR HYPERGLYCEMIC STATE)

DIAJUKAN DALAM RANGKA PRAKTEK DOKTER INTERNSIP SERTA


SEBAGAI BAGIAN PERSYARATAN MENYELESAIKAN PROGRAM INTERNSIP DI
RS MARSUDI WALUYO, SINGOSARI, KAB. MALANG

Telah diperiksa dan disetujui


pada tanggal :
2 Februari 2019

Oleh :
Dokter Penanggung Jawab Pasien

dr. Heri Sutanto, Sp.PD

i
HALAMAN PENGESAHAN

LAPORAN KASUS
KASUS ILMU PENYAKIT DALAM
KOMA HIPERGLIKEMIA EC HHS (HYPEROSMOLAR HYPERGLYCEMIC STATE)

DIAJUKAN DALAM RANGKA PRAKTEK DOKTER INTERNSIP SERTA


SEBAGAI BAGIAN PERSYARATAN MENYELESAIKAN PROGRAM INTERNSIP DI
RS MARSUDI WALUYO, SINGOSARI, KAB. MALANG

Telah diperiksa dan disetujui


pada tanggal :
2 Februari 2019

Oleh :
Dokter Pendamping Unit Rawat Jalan Dan Unit Rawat Inap

dr. Anita Mardiana K.

ii
HALAMAN PENGESAHAN

LAPORAN KASUS
KASUS ILMU PENYAKIT DALAM
KOMA HIPERGLIKEMIA EC HHS (HYPEROSMOLAR HYPERGLYCEMIC STATE)

DIAJUKAN DALAM RANGKA PRAKTEK DOKTER INTERNSIP SERTA


SEBAGAI BAGIAN PERSYARATAN MENYELESAIKAN PROGRAM INTERNSIP DI
RS MARSUDI WALUYO, SINGOSARI, KAB. MALANG

Telah diperiksa dan disetujui


pada tanggal :
2 Februari 2019

Oleh :
Dokter Pendamping Unit Gawat Darurat

dr. Vika Cahyani Yoningsih

iii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkan kepada Tuhan Semesta Alam atas bimbingan-
Nya sehingga penulis telah berhasil menyelesaikan portofolio laporan kasus yang
berjudul “KOMA HIPERGLIKEMIA EC HHS (HYPEROSMOLAR
HYPERGLYCEMIC STATE)”. Dalam penyelesaian portofolio laporan kasus ini
penulis ingin mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada:
1. dr. Heri Sutanto, Sp.PD selaku dokter penanggung jawab pasien
2. dr. Anita Mardiana K. selaku dokter pendamping unit rawat jalan dan unit
rawat inap
3. dr. Vika Cahyani Yoningsih selaku dokter pendamping unit gawat darurat
4. Serta paramedis yang selalu membimbing dan membantu penulis
Portofolio laporan kasus ini masih jauh dari kesempurnaan. Dengan
kerendahan hati penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya dan
mengharapkan saran dan kritik yang membangun. Semoga laporan kasus ini
dapat menambah wawasan dan bermanfaat bagi semua pihak.

Malang,

Penulis

iv
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN.................................................................................. i
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................. ii
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................. iii
KATA PENGANTAR .......................................................................................... iv
DAFTAR ISI ....................................................................................................... 1
BAB 1 PENDAHULUAN .................................................................................... 2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 4
2.1. Definisi.............................................................................................. 4
2.2. Epidemiologi...................................................................................... 4
2.3. Patogenesis...................................................................................... 4
2.4. Faktor Presipitasi.............................................................................. 6
2.5. Pendekatan Diagnosis ..................................................................... 7
2.6. Penatalaksanaan..............................................................................
.............................................................................................................10
2.7. Diagnosis Banding ...........................................................................
.............................................................................................................14
2.8. Komplikasi.........................................................................................
.............................................................................................................14
2.9 Prognosis...........................................................................................
.............................................................................................................14
BAB 3 LAPORAN KASUS..................................................................................
........................................................................................................................ 15
BAB 4 PEMBAHASAN ......................................................................................
........................................................................................................................ 26
BAB 5 PENUTUP ...............................................................................................
........................................................................................................................ 29
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................
........................................................................................................................ 30

1
BAB I
PENDAHULUAN

Diabetes adalah salah satu penyakit yang paling sering diderita dan
penyakit kronik yang serius di Indonesia saat ini. Setengah dari jumlah kasus
Diabetes Mellitus (DM) tidak terdiagnosa karena pada umumnya diabetes tidak
disertai gejala sampai terjadinya komplikasi. Prevalensi penyakit diabetes
meningkat karena terjadi  perubahan gaya hidup, kenaikan jumlah kalori yang
dimakan, kurangnya aktifitas fisik dan meningkatnya jumlah populasi manusia
usia lanjut. Dengan makin majunya keadaan sosio ekonomi masyarakat
Indonesia serta pelayanan kesehatan yang makin  baik dan merata, diperkirakan
tingkat kejadian penyakit diabetes mellitus (DM) akan makin meningkat. Penyakit
ini dapat menyerang segala lapisan umur dan sosio ekonomi (Larsen et al,
2003). 
Dari berbagai penelitian epidemiologis di Indonesia di dapatkan
prevalensi sebesar 1,5-2,3 % pada penduduk usia lebih besar dari 15 tahun.
Pada suatu penelitian di Manado didapatkan prevalensi 6,1 %. Penelitian di
Jakarta pada tahun 1993 menunjukkan prevalensi 5,7%. Melihat pola
pertambahan penduduk saat ini diperkirakan pada tahun 2020 nanti akan ada
sejumlah 178 juta penduduk berusia di atas 20 tahun dan dengan asumsi
prevalensi Diabetes Mellitus sebesar 2 %, akan didapatkan 3,56 juta pasien
Diabetes Mellitus, suatu jumlah yang besar untuk dapat ditanggani sendiri oleh
para ahli DM (Larsen et al, 2003). 
Krisis hiperglikemia merupakan komplikasi akut yang dapat terjadi pada
Diabetes Mellitus (DM), baik tipe 1 maupun tipe 2. Keadaan tersebut merupakan
komplikasi serius yang mungkin terjadi sekali pun pada DM yang terkontrol baik.

2
Krisis hiperglikemia dapat terjadi dalam bentuk ketoasidosis diabetik
(KAD), status hiperosmolar hiperglikemik (SHH) atau kondisi yang mempunyai
elemen kedua keadaan diatas. KAD adalah keadaan yang ditandai dengan
asidosis metabolik akibat pembentukan keton yang berlebihan, sedangkan SHH
ditandai dengan hiperosmolalitas berat dengan kadar glukosa serum yang
biasanya lebih tinggi dari KAD murni (Larsen et al, 2003).
Menurut penelitian Pasquel dan Umpierrez pada 2014, mortalitas pada
status hiperosmolar hiperglikemik yang dilaporkan antara 10-20%, yang mana 10
kali lebih besar dibanding tingkat mortalitas pasien ketoasidosis diabetik. Akan
tetapi, tatalaksana HHS kerap dipersulit oleh beberapa keadaan yang menyertai
presentasinya, misalnya usia tua, infeksi, malignansi, dan sebagainya. Pada
laporan kasus ini, penulis akan membahas tentang kasus HHS pada pasien
tanpa riwayat DM dengan faktor pencetus infeksi.

Dengan latar belakang tersebut sebagai dokter umum, diharapkan


mampu membuat diagnosis klinis HHS berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang sehingga mampu memberikan tatalaksana
awal yang rasional untuk mengurangi morbiditas.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Hyperosmolar hyperglycemic state (HHS) adalah sindroma yang dicirikan
dengan hiperglikemia berat, hiperosmolalitas, dan dehidrasi tanpa adanya
ketoasidosis (Pasquel dan Umpierrez, 2014). Hyperosmolar hyperglycemic state
(HHS) pertama dijelaskan pada tahun 1957. HHS merupakan sindrom dengan
istilah yang termasuk di dalamnya yaitu hyperosmolar nonketotic state,
hyperosmolar coma, hyperglycemic hyperosmolar syndrome atau nonketotic
hyperosmolar syndrome. HHS merupakan nomenklatur yang direkomendasikan
oleh American Diabetes Association (ADA) untuk menekankan bahwa terdapat
perubahan tingkat kesadaran. Diagnostik dari HHS meliputi (Francisco, 2014):

a. Glukosa plasma 600 mg/dL atau lebih

b. Osmolalitas serum 320 mOsm/kg atau lebih

c. Dehidrasi berat (biasanya 8-12 L) dengan peningkatan ureum

d. Ketonuria minimal, tidak ada ketonemia

e. Bikarbonat > 15 mEq/L

f. Perubahan dalam kesadaran

2.2 Epidemiologi
Di Amerika Serikat, diperkirakan pasien diabetes yang dirawat inap dengan
HHS sebesar < 1%. Mortalitas yang dilaporkan antara 10-20%, yang mana 10
kali lebih besar dibanding tingkat mortalitas pasien ketoasidosis diabetik
(Pasquel dan Umpierrez, 2014).

2.3 Patogenesis
HHS dimulai dengan adanya diuresis glukosurik. Glukosuria menyebabkan
kegagalan pada kemampuan ginjal dalam mengkonsentrasikan urin. Keadaan
ini semakin memperberat derajat kehilangan air. Pada keadaan normal, ginjal
berfungsi mengeliminasi glukosa di atas ambang batas tertentu. Namun
demikian, penurunan volume intravaskular atau penyakit ginjal yang telah ada

4
sebelumnya akan menurunkan laju filtrasi glomerular, menyebabkan kadar
glukosa meningkat. Hilangnya air yang lebih banyak dibanding natrium
menyebabkan keadaan hiperosmolar. Insulin yang ada tidak cukup untuk
menurunkan kadar glukosa darah. Terlebih jika terdapat resistensi insulin
(Longmore et al, 2010).
Pasien HHS tidak mengalami ketoasidosis, namun tidak diketahui dengan
jelas alasannya. Faktor yang diduga ikut berpengaruh antara lain adalah
keterbatasan ketogenesis karena keadaan hiperosmolar, kadar asam lemak
bebas yang rendah untuk ketogenesis, ketersediaan insulin yang cukup untuk
menghambat ketogenesis namun tidak cukup untuk mencegah hiperglikemia,
dan resistensi hati terhadap glukagon (Abbott et al, 2003).
Tidak tercukupinya kebutuhan insulin menyebabkan timbulnya
hiperglikemia. Penurunan pemakaian glukosa oleh jaringan perifer termasuk
oleh sel otot dan sel lemak, ketidakmampuan menyimpan glukosa sebagai
glikogen pada otot dan hati, dan stimulasi glukagon pada sel hati untuk
glukoneogenesis mengakibatkan semakin naiknya kadar glukosa darah. Pada
keadaan dimana insulin tidak mencukupi, maka besarnya kenaikan kadar
glukosa darah juga tergantung dari status hidrasi dan masukan karbohidrat oral
(Abbott et al, 2003).
Adanya hiperglikemia mengakibatkan timbulnya diuresis osmotik dan
mengakibatkan menurunnya cairan tubuh total. Dalam ruang vaskular, dimana
glukoneogenesis dan masukan makanan terus menambah glukosa, kehilangan
cairan akan semakin mengakibatkan hiperglikemia dan hilangnya volume
sirkulasi. Hiperglikemia dan peningkatan konsentrasi protein plasma yang
mengikuti hilangnya cairan intravaskuler menyebabkan keadaan hiperosmolar.
Adanya keadaan hiperosmolar akan memicu sekresi hormon anti diuretik dan
timbul rasa haus.
Apabila keadaan hiperglikemia dan hiperosmolar yang menyebabkan
kehilangan cairan ini tidak dikompensasi, yaitu dengan masukan cairan oral,
maka akan timbul dehidrasi dan kemudian hipovolemia. Hipovolemia akan
mengakibatkan hipotensi dan nantinya akan menyebabkan gangguan pada
perfusi jaringan. Keadaan koma merupakan suatu stadium terakhir pada proses
hiperglikemik ini, dimana telah timbul gangguan elektrolit berat dalam kaitannya
dengan hipotensi (Abbott et al, 2003).

5
Gambar 2.1 Perbedaan Patogenesis DKA dan HHS

2.4 Faktor Presipitasi


HHS sering terjadi pada pasien-pasien usia lanjut dengan diabetes tipe 2.
Infeksi merupakan faktor pemicu paling sering pada HHS, dengan pneumonia
dan infeksi saluran kemih menjadi infeksi tertinggi pemicu HHS. Penyakit-
penyakit lain seperti stroke, infark myokard, dan trauma membatasi asupan
cairan pasien dan memicu pelepasan hormon-hormon kortisol, katekolamin,
serta glukagon. Keterbatasan asupan air pada pasien-pasien yang tirah baring
lama akan diperburuk oleh respon haus yang berubah pada pasien. Obat-obatan
tertentu juga dapat memicu HHS, misalnya glukokortikoid, thiazide, dan
phenytoin (Pasquel dan Umpierrez, 2014).

6
Tabel 2.1 Faktor presipitasi yang mempercepat adanya HHS

Kondisi hiperglikemia Hemodialysis peritoneal


Infeksi: pneumonia, sepsis, infeksi Rhabdomyolisis
saluran kemih
Trauma
Penyakit vascular oklusif
Obat-obatan: beta blocker,
Cerebral vascular accident kalsium channel blocker,
karbamazepin, klorpromazin,
Thrombosis mesenterika
cimetidine, kortikosteroid,
Infark miokard glukokokortikois,
imunosupresan, lithium,
Emboli paru manitol, neuroleptik,
Penyakit metabolik olanzapine, pentamidin,
fenitoin, thiazide dan diuretic
Pankreatitis akut loop
Hipotermia Total parenteral nutrition atau
Obstruksi usus enteral nutrition
Gagal ginjal Ketidakpatuhan terapi DM
Endokrin: akromegali, sindrom Pasca operasi
Cushing, diabetes mellitus yang Coronary artery bypass graft
belum terdiagnosis sebelumnya,
tirotoksikosis Neurosurgery
Ketergantungan alkohol, kokain Orthopedic surgery
Luka bakar Transplantasi ginjal
Perdarahan GI Usia tua
Perempuan

2.5 Pendekatan Diagnosis


2.5.1 Anamnesis
Karakteristik pasien HHS, umumnya berusia lanjut, belum diketahui
mempunyai DM, dan pasien DM tipe 2 yang mendapat pengaturan diet dan atau
obat hipoglikemik oral. Sering dijumpai kasus dengan penggunaan obat yang
semakin memperberat masalah, misalnya diuretik (Longmore et al, 2010).
Keluhan pasien HHS ialah rasa lemah, gangguan penglihatan atau kaki
kejang. Dapat pula ditemukan keluhan mual dan muntah, namun lebih jarang jika
dibandingkan dengan KAD. Pasien juga dapat datang dengan riwayat poliuria

7
selama beberapa minggu, penurunan berat badan, dan asupan oral berkurang
yang berpuncak pada disorientasi, letargi, atau koma (Kasper, 2015).

Secara klinis HHS akan sulit dibedakan dengan KAD terutama bila hasil
laboratorium seperti kadar glukosa darah, keton dan analisis gas darah belum
ada hasilnya. Berikut di bawah ini adalah beberapa gejala dan tanda sebagai
pegangan (Setyohadi, 2011):

a. Sering ditemukan pada usia lanjut yaitu lebih dari 60 tahun, semakin
muda semakin berkurang dan pada anak belum pernah ditemukan.

b. Hampir separuh pasien tidak mempunyai riwayat DM atau DM tanpa


insulin.

c. Mempunyai penyakit dasar lain, ditemukan 85% mengidap penyakit ginjal


atau kardiovaskular, pernah ditemukan penyakit akromegali, tirotoksikosis
dan penyakit Cushing.

d. Sering disebabkan oleh obat-obatan antara lain tiazid, furosemide,


manitol, digitalis, reserpine, steroid, klorpromazin, hidralazin, dilantin,
simetidin, dan haloperidol (neuroleptik).

e. Mempunyai faktor pencetus misalnya infeksi, penyakit kardiovaskular,


aritmia, pendarahan, gangguan keseimbangan cairan, pankreatitis, koma
hepatik dan operasi.

2.5.2 Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik ditemukan tanda-tanda dehidrasi berat seperti


turgor yang buruk, mukosa pipi yang kering, mata cekung, perabaan ekstremitas
yang dingin, hipotensi dan denyut nadi yang cepat dan lemah. Dapat pula
ditemukan peningkatan suhu tubuh yang tak terlalu tinggi. Akibat gastroparesis
dapat pula dijumpai distensi abdomen yang membaik setelah rehidrasi adekuat.
Meskipun defisit elektrolit yang berat dan penurunan volume cairan tubuh, khas
pada HHS, pasien mungkin tidak terlihat seperti dehidrasi karena hipertonisitas
mengakibatkan preservasi volume intravaskular (menyebabkan pergerakan air
dari intraseluler ke kompartemen ekstraseluler) (Scott, 2015).

8
Perubahan pada status mental dapat berkisar dari disorientasi sampai
koma. Derajat gangguan neurologis yang timbul berhubungan secara langsung
osmolaritas efektif serum. Koma terjadi saat osmolaritas serum mencapai lebih
dari 350 mOsm per kg (350mmol/kg). Kejang ditemukan pada 25% pasien, dan
dapat berupa kejang umum, lokal maupun mioklonik. Dapat juga terjadi
hemiparesis yang bersifat reversibel dengan koreksi defisit cairan (Setyohadi,
2011).

2.5.3 Pemeriksaan Penunjang

Pada pemeriksaan laboratorium HHS ditandai dengan adanya


hiperglikemia (glukosa plasma dapat mencapai > 55,5 mmol/L [1000 mg/dL]),
hiperosmolalitas (> 350 mOsm/L), dan azotemia prerenal. Kadar natrium serum
mungkin normal atau sedikit rendah. Osmolalitas plasma dapat dihitung dengan
rumus (Kasper, 2015):

2[Na+] + 2[K+] + [glucose] + [urea]

Nilai normal osmolalitas adalah 280-290 mmol/kg dan tingkat kesadaran


mulai tertekan apabila osmolalitas > 340 mmol/kg (Colledge, 2015).

Berbeda dengan DKA, asidosis dan ketonemia adalah tidak ada atau
ringan pada HSS. Ketonuria moderat, jika ada, adalah akibat sekunder dari
proses starvasi. Jika anion gapnya berat (>12), harus dipikirkan diagnosis
diferensial asidosis laktat atau penyebab lain. Muntah dan penggunaan diuretik
tiazid dapat menyebabkan alkalosis metabolik yang dapat menutupi tingkat
keparahan asidosis. Kadar kalium dapat meningkat atau normal. Kadar kreatinin,
ureum dan hematokrit hampir selalu meningkat. HHS menyebabkan tubuh
banyak kehilangan berbagai elektrolit (Kasper, 2015).

Kriteria diagnosis HHS yang digunakan saat ini adalah level glukosa
plasma > 600 mg/dl dan osmolalitas plasma efektif > 320 mOsm/kg tanpa
adanya ketoasidosis, dengan penurunan kesadaran (stupor/koma) (Pasquel dan
Umpierrez, 2014).

9
Tabel 2.2 Perbandingan nilai laboratorium HHS dan DKA (Kasper, 2015)

2.6 Penatalaksanaan
Secara umum, pasien HHS memerlukan pemantauan yang lebih cermat.
Beberapa kasus memerlukan perawatan intensif. Pemantauan kadar glukosa
darah harus lebih ketat, dan pemberian insulin harus lebih cermat dan hati-hati.
Respons penurunan kadar gula darah lebih baik. Walaupun demikian, angka
kematian lebih tinggi, karena lebih banyak terjadi pada usia lanjut, yang tentu
saja lebih banyak disertai kelainan organ-organ lainnya (Hanas et al, 2009).
Penatalaksanaan HHS meliputi lima pendekatan : (Longmore et al, 2010)
1. Rehidrasi intravena
2. Penggantian elektrolit
3. Pemberian insulin intravena
4. Diagnosis dan manajemen faktor pencetus dan penyakit penyerta
5. Pencegahan
2.6.1 Cairan

10
Terapi cairan merupakan terapi utama yang ditujukan untuk memperluas
volume intravaskular dan memperbaiki perfusi ginjal serta jaringan. Kehilangan
cairan umumnya sekitar 20-25% dari total cairan tubuh atau sekitar 12-15% berat
badan. Kehilangan cairan yang terjadi sekitar 8-12 L atau dalam rata-rata sekitar
9 L. Untuk memudahkan, kehilangan cairan yang terjadi sekitar 150 mL/kgBB.
Tujuan utama terapi pengganti cairan dalam 12 jam pertama adalah dapat
mengganti satu setengah kali total kehilangan cairan (Longmore et al, 2010).

Penggantian cairan harus dapat menstabilkan status hemodinamik pasien (1-


3 L normal saline pada 2-3 jam pertama (Fauci et al, 2008), atau 15-20
ml/kgBB/jam (Miles dan Fisher, 2009)). Yang harus diperhatikan dalam
penggantian cairan cepat pada kasus HHS adalah perburukan fungsi neurologis
jika koreksi dilakukan terlalu cepat. Jika kadar natrium darah > 150 mmol/L,
cairan yang digunakan adalah NaCl 0,45%. Setelah hemodinamik stabil, cairan
yang dimasukkan untuk membalikkan free water deficit adalah dengan cairan
hipotonis (normal saline 0,45% lalu D5%). Rata-rata defisit (9-10 L) harus
dikembalikan pada 1-2 hari berikutnya, dengan kecepatan infus 200 ml/jam
(Fauci et al., 2008). Monitoring pada terapi cairan ini adalah hemodinamik,
balans cairan, nilai lab, dan pemeriksaan klinis (Miles dan Fisher, 2009).

Pada awal terapi, kadar glukosa darah akan menurun, bahkan sebelum
insulin diberikan, dan hal ini dapat menjadi indikator yang baik akan cukupnya
terapi cairan yang diberikan. Jika kadar glukosa darah tidak bisa diturunkan
sebesar 75-100 mg per dL per jam, hal ini biasanya menunjukkan penggantian
cairan yang kurang atau gangguan ginjal (Longmore et al, 2010).

11
Gambar 2.2 Rangkuman Terapi Cairan DKA dan HHS pada Dewasa (Goguen dan
Gilbert, 2018)
2.6.2 Elektrolit

Kehilangan kalium tubuh total seringkali tidak diketahui pasti, karena kadar
kalium dalam tubuh dapat normal atau tinggi. Kadar kalium yang sebenarnya
akan terlihat ketika diberikan insulin, karena ini akan mengakibatkan kalium
serum masuk ke dalam sel. Kadar elektrolit harus dipantau terus-menerus dan
irama jantung pasien juga harus dimonitor (Longmore et al, 2010).

Jika kadar kalium awal < 3,3 mEq per L (3,3 mmol per L), pemberian insulin
ditunda dan diberikan kalium (2/3 kalium klorida dan 1/3 kalium fosfat sampai
tercapai kadar kalium setidaknya 3,3 mEq per L). Jika kadar kalium lebih besar
dari 5,0 mEq per L (5,0 mmol per L), kadar kalium harus diturunkan sampai di
bawah 5,0 mEq per L, namun sebaiknya kadar kalium ini perlu dimonitor tiap dua
jam. Jika kadar awal kalium antara 3,3-5,0 mEq per L, maka 20-30 mEq kalium
harus diberikan dalam tiap liter cairan intravena yang diberikan (2/3 kalium
klorida dan 1/3 kalium fosfat) untuk mempertahankan kadar kalium antara 4,0
mEq per L (4,0 mmol per L) dan 5,0 mEq per L (Longmore et al, 2010).

2.6.3 Insulin

Dalam penatalaksanaan HHS, insulin bukan merupakan prioritas terapi.


Insulin akan menyebabkan glukosa masuk ke dalam intrasel, sehingga cairan
akan berpindah juga ke intrasel. Hal ini berpotensi menyebabkan perburukan

12
hipotensi, kolaps vaskuler, atau kematian. Pemberian insulin dosis rendah,
diberikan apabila kondisi hemodinamik pasien dan perfusi ginjal pasien sudah
baik dan stabil.

Insulin sebaiknya diberikan dengan bolus awal 0,15U/kgBB secara intravena,


dan diikuti dengan drip 0,1U/kgBB per jam sampai kadar glukosa darah turun
antara 250 mg per dL (13,9 mmol per L) sampai 300 mg per dL. Jika kadar
glukosa dalam darah tidak turun 50-70 mg/dL per jam, dosis dapat ditingkatkan.
Ketika kadar glukosa darah sudah mencapai di bawah 300 mg/dL, sebaiknya
diberikan dekstrosa secara intravena dan dosis insulin dititrasi secara sliding
scale sampai pulihnya kesadaran dan keadaan hiperosmolar (Longmore et al,
2010).

2.6.4 Identifikasi dan mengatasi faktor penyebab

Walaupun tidak direkomendasikan untuk memberikan antibiotik kepada


semua pasien yang dicurigai mengalami infeksi, namun terapi antibiotik
dianjurkan sambal menunggu hasil kultur pada pasien usia lanjut dan pada
pasien dengan hipotensi. Berdasarkan penelitian terkini, peningkatan kadar C-
reactive protein dan interleukin-6 merupakan indikator awal sepsis pada pasien
dengan HHS (Longmore et al, 2010).

13
Gambar 2.3 Tatalaksana DKA dan HHS pada Dewasa (Goguen dan Gilbert, 2018)

2.7 Diagnosis Banding

HHS dapat dibedakan dari DKA apabila dilihat dari gejala klinis dan hasil
laboratorium. Selain itu, DKA cenderung memiliki onset dalam hitungan jam
sementara HHS biasanya baru muncul dalam hitungan hari dan akibat yang
ditimbulkan yaitu dehidrasi dan gangguan metabolisme biasanya lebih ekstrim.
Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan adanya HHS dan DKA. Beberapa
pasien memiliki hipertonisitas berat disertai ketosis dan asidosis (mixed DKA and

14
HHS). Ini mungkin mencerminkan defisiensi insulin yang disebabkan oleh
kelelahan sel-β sebagai akibat dari glukotoksisitas sementara. Pada kasus-kasus
seperti ini diperlukan modifikasi pedoman tatalaksana yang memperhitungkan
aspek yang dominan di antara kedua kondisi ini (Scott, 2015).

2.8 Komplikasi

Komplikasi dari terapi yang tidak adekuat meliputi oklusi vaskuler, infark
miokard, low-flow syndrome, disseminated intravascular coagulopathy dan
rabdomiolisis. Overhidrasi dapat menyebabkan acute respiratory distress
syndrome dan edema serebri yang jarang ditemukan namun fatal. Edema serebri
ditatalaksana dengan infus manitol dengan dosis 1 – 2 g/kgBB selama 30 menit
dan pemberian dexamethasone intravena (Setyohadi, 2011).

Kejang, edema serebral dan mielinolisis pons sentral komplikasi jarang terjadi
tetapi juga didapatkan pada HHS. Ada beberapa bukti bahwa perubahan yang
cepat dalam osmolalitas selama pengobatan mungkin merupakan pencetusnya.
Meskipun komplikasi trombotik seperti infark miokard, stroke atau trombosis
arteri perifer lebih sering terjadi, tidak diketahui apakah ini dapat dicegah dengan
profilaksis dengan low molecular weight heparin atau terapi antiplatelet, tetapi
pemberian low molecular weight heparin profilaksis secara subkutan dapat
dianjurkan (Scott, 2015).

2.9 Prognosis

Angka kematian secara keseluruhan diperkirakan sebesar 20%, yaitu sekitar


10 kali lebih tinggi dari angka kematian pada pasien dengan diabetic
ketoacidosis (DKA). Prognosis ditentukan oleh tingkat keparahan dehidrasi, ada
tidaknya komorbiditas, dan usia lanjut (Francisco, 2014).

BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : Tn. Y
Jenis kelamin : Laki-laki

15
Usia : 47 tahun
Alamat : Blandit barat 004/003 Ds. Wonorejo Kec. Singosari
Suku : Jawa
Pekerjaan : Petani
No. Register : 087204
Tanggal MRS : 15 Desember 2018

3.2 Anamnesis (Heteroanamnesis)

3.2.1 Keluhan utama


Penurunan kesadaran

3.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien mengalami penurunan kesadaran sejak kurang lebih 6 jam SMRS

secara perlahan-lahan. Pasien masih dapat mengenali orang namun tidak

nyambung saat diajak bicara, dan semakin memberat. Sebelumnya pasien

mengeluh badan terasa lemas sejak 1 hari SMRS. Pasien juga mengalami

penurunan nafsu makan sejak 1 hari SMRS karena perut terasa sebah dan mual.

Pasien sebelumnya tidak pernah mengetahui/didiagnosis dirinya mengalami

diabetes melitus. Pasien sebelumnya sering terbangun malam hari untuk BAK,

sering haus, dan belakangan mengalami penurunan berat badan ±5 kg dalam 1

bulan terakhir. Pasien sering minum minuman manis untuk mengatasi rasa

hausnya.

3.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu dan Pengobatan


HT (+) tidak rutin kontrol, DM tidak diketahui

3.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada keluarga pasien yang memiliki keluhan yang sama. Riwayat DM dan
HT dalam keluarga disangkal.

16
3.2.5 Riwayat Sosial
Pasien seorang petani. Menikah kurang lebih 20 tahun dan memiliki 2 orang
anak. Pasien suka makan makanan manis, gorengan dan bersantan. Pasien
tidak merokok dan tidak minum minuman beralkohol.

3.3 Pemeriksaan Fisik

Keadaan umum
Tambak sakit berat, apatis, kesan gizi cukup, hygiene baik.

GCS : 345
TD : 126/84 mmHg
Nadi : 120x/menit reguler, kuat angkat (+)
RR : 24x/menit
Suhu : 36,8oC
SpO2 : 97%

Antropometri
Berat badan : 50 kg
Tinggi badan : 160 cm
Indeks Massa Tubuh : 19,5 kg/m2 (normoweight)

Kulit
Kulit teraba kering, turgor menurun

Kepala
a. Rambut : hitam
b. Wajah : simetris, deformitas (-), rash (-), sianosis (-), mukosa bibir
dan lidah kering
c. Mata : konjungtiva : anemis - | -
sklera : ikterik - | -

17
palpebra : edema - | -
refleks cahaya (+|+), pupil bulat isokor 3mm | 3mm

Leher
Trakea normal di tengah, bruit (-), JVP + 3 cm H2O (posisi 30o)

Toraks
a. Inspeksi : bentuk dada simetris, retraksi dinding dada (-) deformitas
(-)
b. Palpasi : pembesaran KGB aksila -|-
c. Jantung
- Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
- Palpasi : ictus cordis teraba di MCL ICS V sinistra
- Perkusi : batas jantung kiri pada ictus, batas jantung kanan
pada sternal line dextra
- Auskultasi : bunyi jantung S1S2 normal, reguler, gallop (-),
murmur (-)
d. Paru
- Inspeksi : gerakan dinding simetris, retraksi dinding dada (-)
- Palpasi : chest expansion simetris, statis - dinamis D=S
stem fremitus : normal | normal
normal | normal
normal | normal
- Perkusi : sonor | sonor
sonor | sonor
sonor | sonor
- Auskultasi : suara nafas vesikuler | vesikuler
vesikuler | vesikuler
vesikuler | vesikuler
Ronki - | - Wheezing - | -
- | - - | -
- | - - | -

18
Abdomen
a. Inspeksi : dalam batas normal
b. Auskultasi : bising usus (+), meteorismus (-), tidak ditemukan bruit
pada proyeksi aorta abdominalis, arteri renalis, arteri iliaca, maupun pada
arteri femoralis, friction rub (-)
c. Perkusi : timpani pada seluruh kuadran abdomen, traube's space
timpani, shifting dullness (-), liver span 9 cm
d. Palpasi : soefl, turgor kulit kembali lambat, nyeri tekan epigastrium
(+)
Hepar : dalam batas normal
Lien : dalam batas normal

Ekstremitas
Akral teraba hangat CRT < 2 detik
Edema -|- sianosis -|- anemis -|- ikterik -|- eritema palmaris -|-

Genitalia
Tidak dilakukan pemeriksaan

Rektum
Tidak dilakukan pemeriksaan

3.4 Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium
Pemerikaan Nilai Nilai Normal
Darah Lengkap
Hb 18,3 L: 14-18 gr/dl, P: 12-16 gr/dl
Leukosit 15.200 5.000-10.000 /mm3
Hitung Jenis
- Eosinofil - 1-3 %
- Basofil - 0-1 %
- Neutrofil Stab - 2-6 %

19
- Neutrofil Segment 82 35-65 %
- Lymfosit 9 20-35 %
- Monosit 9 2-6 %
LED 50 L: <15 mm/jam, P: <20 mm/jam
Eritrosit 6,11 L: 4,5-5,5 jt/mm3, P: 4,5-5,5
jt/mm3
Hematokrit 55,9 L: 40-54 %, P: 38-47 %
Trombosit 307.000 150.000-500.000 /mm3
Elektrolit
Natrium (Na) 142 135-145 mmol/L
Kalium (K) 5,13 3,5-5,5 mmol/L
Chlorida (Cl) 106 98-108 mmol/L
Faal Ginjal
Ureum Darah 165 10-50 mg/dl
Creatinin Darah 3,35 L: 0,7-1,5 mg/dl, P: 0,6-1,1
mg/dl
Faal Hati
SGOT 19 L: 6-37 U/L, P: 5-31 U/L
SGPT 8 L: 6-40 U/L, P: 5-31 U/L
Glukosa darah
Sewaktu 291 70-200 mg/dl
Profil lipid
Kolesterol total 321 < 220 mg/dl
HDL 54 L : > 55 mg/dl, P : > 65 mg/dl
LDL 233 < 150 mg/dl
Trigliserida 504 < 150 mg/dl
EKG

20
- Rhytm : Sinus rhytm
- Rate : 118 bpm
- Axis horizontal : normal
- Axis vertikal : normal
- Interval PR : 0,13 s
- Interval QRS : 0,08 s
- ST segment : normal
Kesimpulan : sinus rhytm HR 118 bpm

Thoraks PA

21
Kesimpulan : cor dan pulmo RO normal

3.5 Diagnosis Kerja

1. DOC ec. HHS

2. Diabetes Mellitus tipe II

3.6 Penatalaksanaan

 Bed rest

 O2 nasal canul 2-4 lpm

 Rehidrasi NS 1 L dalam 2 jam lanjut 16 tpm

 Novorapid 4 IU/jam SC target GDS < 200 mg/dL

 GDS < 200 mg/dL  Ezelin 0-0-10 IU

Novorapid 3 x 4 IU

22
 Inj. Cefoperazone 2 x 1 gr

 Inj. Ranitidine 2 x 50 mg

 Cek GDS per jam hingga GDS < 200 mg/dL

 Pro ICU

Follow Up Ruangan

Tgl S O A P

16/12/18 Gelisah, KU : tampak lemas 1. DOC ec. - Rehidrasi NS 1 L/1 jam


bicara HHS lanjut 18 tpm
melantur GCS : 345
2. DM tipe II - Drip Novorapid 5 IU/jam
TD : 117/90 mmHg
- Puasa sementara  GDS
N : 135 x/mnt < 200 mg/dl baru diet cair 6
x 100 cc
RR : 17 x/mnt
- Inj. Ranitidine 2 x 50 mg
Suhu : 36,6 oC
- Inj. Metoclopramide 3 x 10
GDS (15-12-18) mg
21.00 : HI - Inj. Cefoperazone 2 x 1 gr
22.00 : HI - Inj. Ezelin 0-0-10 IU
GDS (16-12-18) Pukul 14.00  GDS < 250
00.00 : HI mg/dl

01.00 : HI - Drip Novorapid stop lanjut


inj. Novorapid 6 x 3 IU SC
02.00 : HI
Inj. Ezelin 0-0-12 IU
05.00 : 536 mg/dl
Diet cair 6 x 100 cc
06.00 : 414 mg/dl

08.00 : 294 mg/dl

10.00 : 301 mg/dl

12.00 : 254 mg/dl

14.00 : 153 mg/dl

20.00 : 386 mg/dl

23
22.00 : 431 mg/dl

17/12/18 Gelisah, KU : tampak lemas 1. DOC ec.HHS - IVFD NS 18 tpm


bicara
melantur GCS : 445 2. DM tipe II - Inj. Novorapid 3 x 10 IU
SC
TD :136/81 mmHg
- Inj. Levemir 0-0-20 IU SC
N : 72 x/mnt
- Drip Farbion 1 x 1
RR : 20 x/mnt
- PO Aspilet 1 x 80 mg
Suhu : 37,1 oC
- PO Atorvastatin 1 x 20 mg
GDS
- PO Gemfibrozil 2 x 300
05.00 : 499 mg/dl mg
14.30 : 261 mg/dl - Diet lunak

18/12/18 Lemas KU : tampak lemas 1. Post DOC - IVFD NS 18 tpm


ec.HHS
GCS : 456 - Inj. Levemir 0-0-24 IU SC
2. DM tipe II
TD :148/91 mmHg - Inj. Novorapid 3 x 15 IU
SC
N : 74 x/mnt
- Drip Farbion 1 x 1
RR : 23 x/mnt
- PO Cefixime 2 x 100 mg
Suhu : 37,4 oC
- PO Aspilet 1 x 80 mg
GD I : 318 mg/dl
- PO Atorvastatin 1 x 20 mg
GD II : 443 mg/dl
- PO Gemfibrozil 2 x 300
mg

- ACC pindah ruangan

- Besok cek DL, UL, ur/cr,


elektrolit

19/12/18 Lemas KU : cukup 1. Post DOC ec. - IVFD NS 18 tpm


HHS
GCS : 456 - Inj. Novorapid 3 x 20 IU
2. DM tipe II SC
TD :120/78 mmHg
- Inj. Levemir 0-0-24 IU SC
N : 63 x/mnt
- Drip Farbion 1 x 1
RR : 20 x/mnt
- PO Cefixime 2 x 100 mg
Suhu : 36,2 oC

24
GD I : 235 mg/dl - PO Aspilet 1 x 80 mg

GD II : 287 mg/dl - PO Atorvastatin 1 x 20 mg

DL : - PO Gemfibrozil 2 x 300
mg
Hb : 13,2
- Besok cek DL, IgM dan
WBC : 9.700 IgG dengue, IgM dan IgG
Salmonella
Ht : 41,2

PLT : 91.000

Serum elektrolit :

Na/K/Cl :
147/3,87/121

Ur/Cr : 74/1,67

Urinalisis :

Kimia

WBC : (-)

Blood : trace

Protein : trace

Glukosa : (+4)

PH : 6,5

Berat jenis : 1,015

Nitrit : (-)

Keton : (-)

Sedimen

WBC : 0-2

Eritrosit : 1-3

Bakteri : (-)

Kristal : Ca sulfat

Silinder : (-)

20/12/18 Lemas KU : cukup 1. Post DOC ACC KRS


ec.HHS

25
GCS : 456 2. DM tipe II Obat pulang :

TD :109/86 mmHg Inj. Ezelin 0-0-20 IU SC

N : 66 x/mnt Inj. Novorapid 3 x 16 IU SC

RR : 20 x/mnt PO Atorvastatin 1 x 20 mg

Suhu : 36,4 oC PO Gemfibrozil 1 x 600 mg

DL : PO Cefixime 2 x 100 mg

Hb : 14,1

WBC : 7.900

Ht : 44,9

PLT : 110.000

Serologis :

IgG dengue : (-)

IgM dengue : (-)

IgM Salmonella (-)

IgG Salmonella (-)

26
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Diagnosis

Karakteristik pasien HHS, umumnya berusia lanjut, belum diketahui


mempunyai DM, dan pasien DM tipe 2 yang mendapat pengaturan diet dan/atau
obat hipoglikemik oral. Pemeriksaan fisik menunjukkan adanya dehidrasi berat
dan perubahan status mental yang berkisar dari disorientasi sampai koma.

Kelainan laboratorium yang paling mencolok adalah hiperglikemia yang


signifikan (lebih dari 600 mg/dL), hiperosmolalitas (> 320 mOsm/mL), dan
azotemia prerenal (Fauci et al, 2008). Kriteria diagnosis HHS yang digunakan
saat ini adalah level glukosa plasma > 600 mg/dL dan osmolalitas plasma efektif
> 320 mOsm/kg tanpa adanya ketoasidosis, dengan penurunan kesadaran
(stupor/koma) (Pasquel dan Umpierrez, 2014).

Pada kasus ini, pasien laki-laki berusia 47 tahun dibawa ke IGD RSMW
karena mengalami penurunan kesadaran sejak kurang lebih 6 jam SMRS secara
perlahan-lahan. Pasien masih dapat mengenali orang namun tidak nyambung
saat diajak bicara, dan semakin memberat. Sebelumnya pasien mengeluh badan
terasa lemas sejak 1 hari SMRS. Pasien juga mengalami penurunan nafsu
makan sejak 1 hari SMRS karena perut terasa sebah dan mual. Pasien
sebelumnya tidak pernah mengetahui/didiagnosis dirinya mengalami diabetes
melitus. Pasien sebelumnya sering terbangun malam hari untuk BAK, sering
haus, dan belakangan mengalami penurunan berat badan ±5 kg dalam 1 bulan
terakhir. Pasien sering minum minuman manis untuk mengatasi rasa hausnya.
Dari pemeriksaan fisik, didapatkan GCS 345, nadi 120 kali per menit, napas 24
kali per menit, dan suhu aksila 36,80 C. Bibir dan lidah tampak kering dan turgor
kulit kembali lambat, tanda bahwa pasien dehidrasi. Hasil pemeriksaan darah
vena didapatkan leukositosis (15.200/mm3), GDS 291 mg/dL, peningkatan ureum
(165 mg/dL) dan kreatinin (3,35 mg/dL), hipernatremia (147 mmol/L),

27
peningkatan kolesterol total (321 mg/dL), LDL (233 mg/dL) dan trigliserida (504
mg/dL).

Sesuai dengan teori mengenai diagnosis HHS, pasien mengalami


penurunan kesadaran. Sebelumnya tidak mengetahui/didiagnosis dirinya
mengalami diabetes mellitus. Pasien sering haus yang merupakan gejala
dehidrasi, tetapi pasien mengatasinya dengan minum minuman manis yang
dapat meningkatkan kadar glukosa darah, sehingga memperberat dehidrasi.
Adanya keluhan batuk-batuk mengarahkan kecurigaan infeksi sebagai faktor
pencetus HHS yang lain. Pada pemeriksaan fisik pun, didapatkan penurunan
GCS dan tanda dehidrasi. Leukositosis (15.200/mm3) dan trombositopenia
(91.000/mm3) mengarahkan kecurigaan infeksi sebagai faktor pencetus HHS,
namun dari hasil pemeriksaan penunjang thoraks PA, urinalisis, dan serologis
tidak didapatkan kelainan yang signifikan. Faktor pencetus lainnya yaitu kondisi
hiperglikemia pasien, DM yang belum terdiagnosis sebelumnya, dan gangguan
metabolik pasien yaitu dislipidemia.

Kriteria diagnosis HHS terpenuhi pada pasien ini. Pasien mengalami


penurunan kesadaran. Kadar glukosa darah pasien yang menetap tinggi. Tanda
dehidrasi berat dengan peningkatan ureum. Tidak didapatkannya ketonemia dan
ketonuria. Osmolalitas serum pada pasien, jika dihitung menggunakan rumus 2
x Na + (BUN/3) + (glukosa/18), adalah 327,7 mOsm/kg, yang juga sudah
melebihi batas 320 mOsm/kg.

4.2 Tatalaksana

Berdasarkan teori, terapi penggantian cairan bergantung pada status


hidrasi pasien. Bila terdapat defisit cairan yang berat hingga pasien mengalami
syok, diberikan NaCl 0,9% IV 1 hingga 2 L per jam untuk mengkoreksi syok
kemudian dilanjutkan 500 mL/jam selama 4 jam, kemudian 250 mL/jam selama 4
jam, kemudian disesuaikan dengan kebutuhan pasien. Bila defisit cairan ringan
atau sedang, diberikan NaCl 0,9% IV 500 mL/jam selama 4 jam, kemudian 250
mL/jam selama 4 jam, kemudian disesuaikan dengan kebutuhan pasien. Setelah
tercapai keadaan euvolemik, bila corrected plasma [Na+] normal atau tinggi dan
laju penurunan osmolalitas plasma efektif < 3 mmol/kg/jam, ganti NaCl 0,9%
dengan NaCl 0,45%. Bila corrected plasma [Na+] rendah dan laju penurunan

28
osmolalitas plasma efektif ≥ 3 mmol/kg/jam, lanjutkan dengan NaCl 0,9%. Bila
glukosa plasma mencapai 14,0 mmol/L (250 mg/dL), tambahkan infus D5 atau
D10 untuk menjaga kadar glukosa plasma antara 12,0-14,0 mmol/L. Dengan re-
ekspansi ECFV dan osmotik diuresis, kadar glukosa plasma normalnya akan
turun sebesar 75-100 mg/dL per jam. Jika kadar glukosa darah tidak bisa
diturunkan sebesar 75-100 mg per dL per jam, hal ini biasanya menunjukkan
penggantian cairan yang kurang atau gangguan ginjal (Goguen dan Gilbert,
2018; Miles dan Fisher, 2009).

Meskipun penurunan kadar glukosa plasma secara dominan terjadi


karena re-ekspansi ECFV dan osmotik diuresis, penggunaan insulin intravena
tetap direkomendasikan untuk menurunkan kadar glukosa plasma. Sebelum
pemberian insulin, harus dilakukan pemeriksaan serum [K+] terlebih dahulu. Bila
serum [K+] <3,3 mmol/L, dilakukan koreksi hipokalemia sebelum memulai insulin.
Bila serum [K+] sudah terkoreksi ≥3,3 mmol/L, diberikan insulin drip short-acting
IV 0,1 U/kg/jam. Bila kadar glukosa darah telah mencapai <250 mg/dL dosis
insulin diturunkan menjadi 50% dari dosis sebelumnya. Infus insulin tetap
diberikan hingga kriteria resolusi HHS tercapai yaitu jika osmolalitas plasma dan
status mental pasien telah normal. Ketika itu terjadi, insulin subkutan dapat
dimulai (Goguen dan Gilbert, 2018; PERKENI 2015).

Pada pasien, dilakukan rehidrasi 1000 mL NS selama 2 jam pertama.


Kemudian, untuk mengembalikan defisit cairan, dilakukan terapi cairan rumatan
dengan kecepatan 48 cc/jam (16 tpm). Diberikan pula injeksi Novorapid 4 IU/jam
SC dengan target GDS < 200 mg/dL. Keesokan paginya pasien tidak mengalami
perbaikan, dilakukan rehidrasi 1000 mL NS dalam 1 jam dilanjutkan terapi cairan
rumatan dengan kecepatan 54 cc/jam (18 tpm). Diberikan drip Novorapid 5
IU/jam IV karena berat badan pasien diperkirakan 50 kg, dengan monitoring
GDS/jam. Setelah GDS mencapai < 250 mg/dL insulin diganti ke subkutan long
acting insulin (Glargine) 0-0-12 U dan rapid acting insulin (Novorapid) 6 x 3 U
sebelum makan (diet DM cair 6 x 100 cc).

Untuk mengatasi dugaan infeksi dan dislipidemia pasien, diberikan


antibiotik spektrum luas injeksi Cefoperazone 2 x 1 gram dan Atorvastatin 1 x 20
mg.

29
BAB V
PENUTUP

Hyperosmolar hyperglycemic state (HHS) adalah sindroma yang dicirikan


dengan hiperglikemia berat, hiperosmolalitas, dan dehidrasi tanpa adanya
ketoasidosis (Pasquel dan Umpierrez, 2014). HHS sering terjadi pada pasien-
pasien usia lanjut dengan DM tipe 2 atau tidak diketahui memiliki DM tipe 2
sebelumnya. Infeksi merupakan faktor pemicu paling sering pada HHS. Penyakit-
penyakit lain seperti stroke, infark myokard, dan trauma yang membatasi intake
cairan pasien juga dapat menjadi pemicu. Keterbatasan intake air pada pasien-
pasien yang tirah baring lama akan diperburuk oleh respon haus yang berubah
pada pasien. Obat-obatan tertentu juga dapat memicu HHS, misalnya
glukokortikoid, thiazide, dan phenytoin (Pasquel dan Umpierrez, 2014).

Penegakan diagnosis HHS adalah dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan


pemeriksan penunjang. Dalam anamnesis, riwayat poliuri, penurunan berat
badan, dan intake oral menurun yang akhirnya menimbulkan kebingungan,
letargi, hingga koma. Pemeriksaan fisik menunjukkan adanya dehidrasi berat,
hiperosmolalitas, hipotesi, takikardi, dan perubahan status mental. Ciri-ciri DKA
seperti mual, muntah, nyeri perut, dan pernapasan Kussmaul tidak didapatkan.
HHS sering didahului oleh penyakit berat lain seperti infark myokard, stroke,
sepsis, dan sebagainya. Kelainan laboratorium yang paling mencolok adalah
hiperglikemia yang signifikan (dapat lebih dari 1000 mg/dL), hiperosmolalitas (>
350 mOsm/L), dan azotemia prerenal. Asidosis dan ketonemia jarang
didapatkan, bila ada hanya ringan. Ketonuria sedang, bila ada, merupakan efek
dari kelaparan (starvasi). Kriteria diagnosis HHS yang digunakan saat ini adalah
level glukosa plasma > 600 mg/dl dan osmolalitas plasma efektif > 320 mOsm/kg
tanpa adanya ketoasidosis, dengan penurunan kesadaran (stupor/koma)
(Pasquel dan Umpierrez, 2014). Volume deplesi dan hiperglikemia adalah kunci
dari HHS, maka pengawasan ketat terhadap status hidrasi pasien dan pemberian
insulin sangat penting.

30
Daftar Pustaka

Abbott KC, Bernet VJ, Agodoa LY, et al, 2003. Diabetic ketoacidosis and
hyperglycemic hyperosmolar syndrome after renal transplantation in the
united states. Diunduh pada tanggal 24 Februari 2019 dari
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC153547/

Colledge NR; Walker BR; Ralston SH. 2010. Davidson’s Principles and Practice
of Medicine, 21th Edition. Elsevier

Francisco JP; Guillermo EU. 2014. Hyperosmolar Hyperglycemic State: A


Historic Review of the Clinical Presentation, Diagnosis, and Treatment.
Diabetes Care; 37:3124–3131

Fauci, AS., Kasper, DL., Longo, DL., Braunwald, E., Hauser, SL., Jameson, JL,
Loscalzzo, J. 2008. Harrison’s Principles of Internal Medicine 17th Edition.
Boston: McGraw-Hill. 7108:9

Goguen J dan Gilbert J, 2018. Hyperglycemic Emergencies in Adults. Can J


Diabetes;42:S109-S114

Hanas R, Lindgren F, Lindbald B, 2009. A 2-yr national population study of


pediatric ketoacidosis in Sweden: predisposing conditions and insulin pump
use. Diunduh pada tanggal 24 Februari 2019 dari
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/18761647

Kasper DL, et al, 2015. Harrison’s Principles of Internal Medicine, 19th Edition.
New York: McGraw-Hill Education

Larsen et,al Williams Textbook of Endocrinology, 10th ed. 2003. Elsevier

Longmore M, Wilkinson IB, Davidson EH, et al, 2010. Diabetic ketoacidosis.


Dalam: Oxford Handbook of Clinical Medicine 8th ed. P842-3

Miles JM, Fisher JN. 2009. Hyperglycemic crises in adult patients with diabetes.
Diabetes Care32:1335-43

31
Pasquel, FJ., Umpierrez, GE. 2014. Hyperosmolar Hyperglycemic State: A
Historic Review of the Clinical Presentation, Diagnosis, and Treatment.
Diabetes Care 37: 3124-31

Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. 2015. Konsensus Penggunaan Insulin.


Hal 31-34.

Setyohadi B, 2011. Kegawatdaruratan Penyakit Dalam. Jakarta: Perhimpunan


Dokter Spesialis Penyakit Dalam

Scott AR, 2015. Management of Hyperosmolar Hyperglycaemic State in Adults


with Diabetes. Diabet. Med; 32: 714–724

32
33

Anda mungkin juga menyukai