Lapsus HHS
Lapsus HHS
Diajukan kepada:
dr. Heri Sutanto, Sp.PD
dr. Anita Mardiana K.
dr. Vika Cahyani Yoningsih
Disusun oleh:
dr. Ayu Rizky Widowati
LAPORAN KASUS
KASUS ILMU PENYAKIT DALAM
KOMA HIPERGLIKEMIA EC HHS (HYPEROSMOLAR HYPERGLYCEMIC STATE)
Oleh :
Dokter Penanggung Jawab Pasien
i
HALAMAN PENGESAHAN
LAPORAN KASUS
KASUS ILMU PENYAKIT DALAM
KOMA HIPERGLIKEMIA EC HHS (HYPEROSMOLAR HYPERGLYCEMIC STATE)
Oleh :
Dokter Pendamping Unit Rawat Jalan Dan Unit Rawat Inap
ii
HALAMAN PENGESAHAN
LAPORAN KASUS
KASUS ILMU PENYAKIT DALAM
KOMA HIPERGLIKEMIA EC HHS (HYPEROSMOLAR HYPERGLYCEMIC STATE)
Oleh :
Dokter Pendamping Unit Gawat Darurat
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami haturkan kepada Tuhan Semesta Alam atas bimbingan-
Nya sehingga penulis telah berhasil menyelesaikan portofolio laporan kasus yang
berjudul “KOMA HIPERGLIKEMIA EC HHS (HYPEROSMOLAR
HYPERGLYCEMIC STATE)”. Dalam penyelesaian portofolio laporan kasus ini
penulis ingin mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada:
1. dr. Heri Sutanto, Sp.PD selaku dokter penanggung jawab pasien
2. dr. Anita Mardiana K. selaku dokter pendamping unit rawat jalan dan unit
rawat inap
3. dr. Vika Cahyani Yoningsih selaku dokter pendamping unit gawat darurat
4. Serta paramedis yang selalu membimbing dan membantu penulis
Portofolio laporan kasus ini masih jauh dari kesempurnaan. Dengan
kerendahan hati penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya dan
mengharapkan saran dan kritik yang membangun. Semoga laporan kasus ini
dapat menambah wawasan dan bermanfaat bagi semua pihak.
Malang,
Penulis
iv
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN.................................................................................. i
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................. ii
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................. iii
KATA PENGANTAR .......................................................................................... iv
DAFTAR ISI ....................................................................................................... 1
BAB 1 PENDAHULUAN .................................................................................... 2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 4
2.1. Definisi.............................................................................................. 4
2.2. Epidemiologi...................................................................................... 4
2.3. Patogenesis...................................................................................... 4
2.4. Faktor Presipitasi.............................................................................. 6
2.5. Pendekatan Diagnosis ..................................................................... 7
2.6. Penatalaksanaan..............................................................................
.............................................................................................................10
2.7. Diagnosis Banding ...........................................................................
.............................................................................................................14
2.8. Komplikasi.........................................................................................
.............................................................................................................14
2.9 Prognosis...........................................................................................
.............................................................................................................14
BAB 3 LAPORAN KASUS..................................................................................
........................................................................................................................ 15
BAB 4 PEMBAHASAN ......................................................................................
........................................................................................................................ 26
BAB 5 PENUTUP ...............................................................................................
........................................................................................................................ 29
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................
........................................................................................................................ 30
1
BAB I
PENDAHULUAN
Diabetes adalah salah satu penyakit yang paling sering diderita dan
penyakit kronik yang serius di Indonesia saat ini. Setengah dari jumlah kasus
Diabetes Mellitus (DM) tidak terdiagnosa karena pada umumnya diabetes tidak
disertai gejala sampai terjadinya komplikasi. Prevalensi penyakit diabetes
meningkat karena terjadi perubahan gaya hidup, kenaikan jumlah kalori yang
dimakan, kurangnya aktifitas fisik dan meningkatnya jumlah populasi manusia
usia lanjut. Dengan makin majunya keadaan sosio ekonomi masyarakat
Indonesia serta pelayanan kesehatan yang makin baik dan merata, diperkirakan
tingkat kejadian penyakit diabetes mellitus (DM) akan makin meningkat. Penyakit
ini dapat menyerang segala lapisan umur dan sosio ekonomi (Larsen et al,
2003).
Dari berbagai penelitian epidemiologis di Indonesia di dapatkan
prevalensi sebesar 1,5-2,3 % pada penduduk usia lebih besar dari 15 tahun.
Pada suatu penelitian di Manado didapatkan prevalensi 6,1 %. Penelitian di
Jakarta pada tahun 1993 menunjukkan prevalensi 5,7%. Melihat pola
pertambahan penduduk saat ini diperkirakan pada tahun 2020 nanti akan ada
sejumlah 178 juta penduduk berusia di atas 20 tahun dan dengan asumsi
prevalensi Diabetes Mellitus sebesar 2 %, akan didapatkan 3,56 juta pasien
Diabetes Mellitus, suatu jumlah yang besar untuk dapat ditanggani sendiri oleh
para ahli DM (Larsen et al, 2003).
Krisis hiperglikemia merupakan komplikasi akut yang dapat terjadi pada
Diabetes Mellitus (DM), baik tipe 1 maupun tipe 2. Keadaan tersebut merupakan
komplikasi serius yang mungkin terjadi sekali pun pada DM yang terkontrol baik.
2
Krisis hiperglikemia dapat terjadi dalam bentuk ketoasidosis diabetik
(KAD), status hiperosmolar hiperglikemik (SHH) atau kondisi yang mempunyai
elemen kedua keadaan diatas. KAD adalah keadaan yang ditandai dengan
asidosis metabolik akibat pembentukan keton yang berlebihan, sedangkan SHH
ditandai dengan hiperosmolalitas berat dengan kadar glukosa serum yang
biasanya lebih tinggi dari KAD murni (Larsen et al, 2003).
Menurut penelitian Pasquel dan Umpierrez pada 2014, mortalitas pada
status hiperosmolar hiperglikemik yang dilaporkan antara 10-20%, yang mana 10
kali lebih besar dibanding tingkat mortalitas pasien ketoasidosis diabetik. Akan
tetapi, tatalaksana HHS kerap dipersulit oleh beberapa keadaan yang menyertai
presentasinya, misalnya usia tua, infeksi, malignansi, dan sebagainya. Pada
laporan kasus ini, penulis akan membahas tentang kasus HHS pada pasien
tanpa riwayat DM dengan faktor pencetus infeksi.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Hyperosmolar hyperglycemic state (HHS) adalah sindroma yang dicirikan
dengan hiperglikemia berat, hiperosmolalitas, dan dehidrasi tanpa adanya
ketoasidosis (Pasquel dan Umpierrez, 2014). Hyperosmolar hyperglycemic state
(HHS) pertama dijelaskan pada tahun 1957. HHS merupakan sindrom dengan
istilah yang termasuk di dalamnya yaitu hyperosmolar nonketotic state,
hyperosmolar coma, hyperglycemic hyperosmolar syndrome atau nonketotic
hyperosmolar syndrome. HHS merupakan nomenklatur yang direkomendasikan
oleh American Diabetes Association (ADA) untuk menekankan bahwa terdapat
perubahan tingkat kesadaran. Diagnostik dari HHS meliputi (Francisco, 2014):
2.2 Epidemiologi
Di Amerika Serikat, diperkirakan pasien diabetes yang dirawat inap dengan
HHS sebesar < 1%. Mortalitas yang dilaporkan antara 10-20%, yang mana 10
kali lebih besar dibanding tingkat mortalitas pasien ketoasidosis diabetik
(Pasquel dan Umpierrez, 2014).
2.3 Patogenesis
HHS dimulai dengan adanya diuresis glukosurik. Glukosuria menyebabkan
kegagalan pada kemampuan ginjal dalam mengkonsentrasikan urin. Keadaan
ini semakin memperberat derajat kehilangan air. Pada keadaan normal, ginjal
berfungsi mengeliminasi glukosa di atas ambang batas tertentu. Namun
demikian, penurunan volume intravaskular atau penyakit ginjal yang telah ada
4
sebelumnya akan menurunkan laju filtrasi glomerular, menyebabkan kadar
glukosa meningkat. Hilangnya air yang lebih banyak dibanding natrium
menyebabkan keadaan hiperosmolar. Insulin yang ada tidak cukup untuk
menurunkan kadar glukosa darah. Terlebih jika terdapat resistensi insulin
(Longmore et al, 2010).
Pasien HHS tidak mengalami ketoasidosis, namun tidak diketahui dengan
jelas alasannya. Faktor yang diduga ikut berpengaruh antara lain adalah
keterbatasan ketogenesis karena keadaan hiperosmolar, kadar asam lemak
bebas yang rendah untuk ketogenesis, ketersediaan insulin yang cukup untuk
menghambat ketogenesis namun tidak cukup untuk mencegah hiperglikemia,
dan resistensi hati terhadap glukagon (Abbott et al, 2003).
Tidak tercukupinya kebutuhan insulin menyebabkan timbulnya
hiperglikemia. Penurunan pemakaian glukosa oleh jaringan perifer termasuk
oleh sel otot dan sel lemak, ketidakmampuan menyimpan glukosa sebagai
glikogen pada otot dan hati, dan stimulasi glukagon pada sel hati untuk
glukoneogenesis mengakibatkan semakin naiknya kadar glukosa darah. Pada
keadaan dimana insulin tidak mencukupi, maka besarnya kenaikan kadar
glukosa darah juga tergantung dari status hidrasi dan masukan karbohidrat oral
(Abbott et al, 2003).
Adanya hiperglikemia mengakibatkan timbulnya diuresis osmotik dan
mengakibatkan menurunnya cairan tubuh total. Dalam ruang vaskular, dimana
glukoneogenesis dan masukan makanan terus menambah glukosa, kehilangan
cairan akan semakin mengakibatkan hiperglikemia dan hilangnya volume
sirkulasi. Hiperglikemia dan peningkatan konsentrasi protein plasma yang
mengikuti hilangnya cairan intravaskuler menyebabkan keadaan hiperosmolar.
Adanya keadaan hiperosmolar akan memicu sekresi hormon anti diuretik dan
timbul rasa haus.
Apabila keadaan hiperglikemia dan hiperosmolar yang menyebabkan
kehilangan cairan ini tidak dikompensasi, yaitu dengan masukan cairan oral,
maka akan timbul dehidrasi dan kemudian hipovolemia. Hipovolemia akan
mengakibatkan hipotensi dan nantinya akan menyebabkan gangguan pada
perfusi jaringan. Keadaan koma merupakan suatu stadium terakhir pada proses
hiperglikemik ini, dimana telah timbul gangguan elektrolit berat dalam kaitannya
dengan hipotensi (Abbott et al, 2003).
5
Gambar 2.1 Perbedaan Patogenesis DKA dan HHS
6
Tabel 2.1 Faktor presipitasi yang mempercepat adanya HHS
7
selama beberapa minggu, penurunan berat badan, dan asupan oral berkurang
yang berpuncak pada disorientasi, letargi, atau koma (Kasper, 2015).
Secara klinis HHS akan sulit dibedakan dengan KAD terutama bila hasil
laboratorium seperti kadar glukosa darah, keton dan analisis gas darah belum
ada hasilnya. Berikut di bawah ini adalah beberapa gejala dan tanda sebagai
pegangan (Setyohadi, 2011):
a. Sering ditemukan pada usia lanjut yaitu lebih dari 60 tahun, semakin
muda semakin berkurang dan pada anak belum pernah ditemukan.
8
Perubahan pada status mental dapat berkisar dari disorientasi sampai
koma. Derajat gangguan neurologis yang timbul berhubungan secara langsung
osmolaritas efektif serum. Koma terjadi saat osmolaritas serum mencapai lebih
dari 350 mOsm per kg (350mmol/kg). Kejang ditemukan pada 25% pasien, dan
dapat berupa kejang umum, lokal maupun mioklonik. Dapat juga terjadi
hemiparesis yang bersifat reversibel dengan koreksi defisit cairan (Setyohadi,
2011).
Berbeda dengan DKA, asidosis dan ketonemia adalah tidak ada atau
ringan pada HSS. Ketonuria moderat, jika ada, adalah akibat sekunder dari
proses starvasi. Jika anion gapnya berat (>12), harus dipikirkan diagnosis
diferensial asidosis laktat atau penyebab lain. Muntah dan penggunaan diuretik
tiazid dapat menyebabkan alkalosis metabolik yang dapat menutupi tingkat
keparahan asidosis. Kadar kalium dapat meningkat atau normal. Kadar kreatinin,
ureum dan hematokrit hampir selalu meningkat. HHS menyebabkan tubuh
banyak kehilangan berbagai elektrolit (Kasper, 2015).
Kriteria diagnosis HHS yang digunakan saat ini adalah level glukosa
plasma > 600 mg/dl dan osmolalitas plasma efektif > 320 mOsm/kg tanpa
adanya ketoasidosis, dengan penurunan kesadaran (stupor/koma) (Pasquel dan
Umpierrez, 2014).
9
Tabel 2.2 Perbandingan nilai laboratorium HHS dan DKA (Kasper, 2015)
2.6 Penatalaksanaan
Secara umum, pasien HHS memerlukan pemantauan yang lebih cermat.
Beberapa kasus memerlukan perawatan intensif. Pemantauan kadar glukosa
darah harus lebih ketat, dan pemberian insulin harus lebih cermat dan hati-hati.
Respons penurunan kadar gula darah lebih baik. Walaupun demikian, angka
kematian lebih tinggi, karena lebih banyak terjadi pada usia lanjut, yang tentu
saja lebih banyak disertai kelainan organ-organ lainnya (Hanas et al, 2009).
Penatalaksanaan HHS meliputi lima pendekatan : (Longmore et al, 2010)
1. Rehidrasi intravena
2. Penggantian elektrolit
3. Pemberian insulin intravena
4. Diagnosis dan manajemen faktor pencetus dan penyakit penyerta
5. Pencegahan
2.6.1 Cairan
10
Terapi cairan merupakan terapi utama yang ditujukan untuk memperluas
volume intravaskular dan memperbaiki perfusi ginjal serta jaringan. Kehilangan
cairan umumnya sekitar 20-25% dari total cairan tubuh atau sekitar 12-15% berat
badan. Kehilangan cairan yang terjadi sekitar 8-12 L atau dalam rata-rata sekitar
9 L. Untuk memudahkan, kehilangan cairan yang terjadi sekitar 150 mL/kgBB.
Tujuan utama terapi pengganti cairan dalam 12 jam pertama adalah dapat
mengganti satu setengah kali total kehilangan cairan (Longmore et al, 2010).
Pada awal terapi, kadar glukosa darah akan menurun, bahkan sebelum
insulin diberikan, dan hal ini dapat menjadi indikator yang baik akan cukupnya
terapi cairan yang diberikan. Jika kadar glukosa darah tidak bisa diturunkan
sebesar 75-100 mg per dL per jam, hal ini biasanya menunjukkan penggantian
cairan yang kurang atau gangguan ginjal (Longmore et al, 2010).
11
Gambar 2.2 Rangkuman Terapi Cairan DKA dan HHS pada Dewasa (Goguen dan
Gilbert, 2018)
2.6.2 Elektrolit
Kehilangan kalium tubuh total seringkali tidak diketahui pasti, karena kadar
kalium dalam tubuh dapat normal atau tinggi. Kadar kalium yang sebenarnya
akan terlihat ketika diberikan insulin, karena ini akan mengakibatkan kalium
serum masuk ke dalam sel. Kadar elektrolit harus dipantau terus-menerus dan
irama jantung pasien juga harus dimonitor (Longmore et al, 2010).
Jika kadar kalium awal < 3,3 mEq per L (3,3 mmol per L), pemberian insulin
ditunda dan diberikan kalium (2/3 kalium klorida dan 1/3 kalium fosfat sampai
tercapai kadar kalium setidaknya 3,3 mEq per L). Jika kadar kalium lebih besar
dari 5,0 mEq per L (5,0 mmol per L), kadar kalium harus diturunkan sampai di
bawah 5,0 mEq per L, namun sebaiknya kadar kalium ini perlu dimonitor tiap dua
jam. Jika kadar awal kalium antara 3,3-5,0 mEq per L, maka 20-30 mEq kalium
harus diberikan dalam tiap liter cairan intravena yang diberikan (2/3 kalium
klorida dan 1/3 kalium fosfat) untuk mempertahankan kadar kalium antara 4,0
mEq per L (4,0 mmol per L) dan 5,0 mEq per L (Longmore et al, 2010).
2.6.3 Insulin
12
hipotensi, kolaps vaskuler, atau kematian. Pemberian insulin dosis rendah,
diberikan apabila kondisi hemodinamik pasien dan perfusi ginjal pasien sudah
baik dan stabil.
13
Gambar 2.3 Tatalaksana DKA dan HHS pada Dewasa (Goguen dan Gilbert, 2018)
HHS dapat dibedakan dari DKA apabila dilihat dari gejala klinis dan hasil
laboratorium. Selain itu, DKA cenderung memiliki onset dalam hitungan jam
sementara HHS biasanya baru muncul dalam hitungan hari dan akibat yang
ditimbulkan yaitu dehidrasi dan gangguan metabolisme biasanya lebih ekstrim.
Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan adanya HHS dan DKA. Beberapa
pasien memiliki hipertonisitas berat disertai ketosis dan asidosis (mixed DKA and
14
HHS). Ini mungkin mencerminkan defisiensi insulin yang disebabkan oleh
kelelahan sel-β sebagai akibat dari glukotoksisitas sementara. Pada kasus-kasus
seperti ini diperlukan modifikasi pedoman tatalaksana yang memperhitungkan
aspek yang dominan di antara kedua kondisi ini (Scott, 2015).
2.8 Komplikasi
Komplikasi dari terapi yang tidak adekuat meliputi oklusi vaskuler, infark
miokard, low-flow syndrome, disseminated intravascular coagulopathy dan
rabdomiolisis. Overhidrasi dapat menyebabkan acute respiratory distress
syndrome dan edema serebri yang jarang ditemukan namun fatal. Edema serebri
ditatalaksana dengan infus manitol dengan dosis 1 – 2 g/kgBB selama 30 menit
dan pemberian dexamethasone intravena (Setyohadi, 2011).
Kejang, edema serebral dan mielinolisis pons sentral komplikasi jarang terjadi
tetapi juga didapatkan pada HHS. Ada beberapa bukti bahwa perubahan yang
cepat dalam osmolalitas selama pengobatan mungkin merupakan pencetusnya.
Meskipun komplikasi trombotik seperti infark miokard, stroke atau trombosis
arteri perifer lebih sering terjadi, tidak diketahui apakah ini dapat dicegah dengan
profilaksis dengan low molecular weight heparin atau terapi antiplatelet, tetapi
pemberian low molecular weight heparin profilaksis secara subkutan dapat
dianjurkan (Scott, 2015).
2.9 Prognosis
BAB III
LAPORAN KASUS
15
Usia : 47 tahun
Alamat : Blandit barat 004/003 Ds. Wonorejo Kec. Singosari
Suku : Jawa
Pekerjaan : Petani
No. Register : 087204
Tanggal MRS : 15 Desember 2018
mengeluh badan terasa lemas sejak 1 hari SMRS. Pasien juga mengalami
penurunan nafsu makan sejak 1 hari SMRS karena perut terasa sebah dan mual.
diabetes melitus. Pasien sebelumnya sering terbangun malam hari untuk BAK,
bulan terakhir. Pasien sering minum minuman manis untuk mengatasi rasa
hausnya.
16
3.2.5 Riwayat Sosial
Pasien seorang petani. Menikah kurang lebih 20 tahun dan memiliki 2 orang
anak. Pasien suka makan makanan manis, gorengan dan bersantan. Pasien
tidak merokok dan tidak minum minuman beralkohol.
Keadaan umum
Tambak sakit berat, apatis, kesan gizi cukup, hygiene baik.
GCS : 345
TD : 126/84 mmHg
Nadi : 120x/menit reguler, kuat angkat (+)
RR : 24x/menit
Suhu : 36,8oC
SpO2 : 97%
Antropometri
Berat badan : 50 kg
Tinggi badan : 160 cm
Indeks Massa Tubuh : 19,5 kg/m2 (normoweight)
Kulit
Kulit teraba kering, turgor menurun
Kepala
a. Rambut : hitam
b. Wajah : simetris, deformitas (-), rash (-), sianosis (-), mukosa bibir
dan lidah kering
c. Mata : konjungtiva : anemis - | -
sklera : ikterik - | -
17
palpebra : edema - | -
refleks cahaya (+|+), pupil bulat isokor 3mm | 3mm
Leher
Trakea normal di tengah, bruit (-), JVP + 3 cm H2O (posisi 30o)
Toraks
a. Inspeksi : bentuk dada simetris, retraksi dinding dada (-) deformitas
(-)
b. Palpasi : pembesaran KGB aksila -|-
c. Jantung
- Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
- Palpasi : ictus cordis teraba di MCL ICS V sinistra
- Perkusi : batas jantung kiri pada ictus, batas jantung kanan
pada sternal line dextra
- Auskultasi : bunyi jantung S1S2 normal, reguler, gallop (-),
murmur (-)
d. Paru
- Inspeksi : gerakan dinding simetris, retraksi dinding dada (-)
- Palpasi : chest expansion simetris, statis - dinamis D=S
stem fremitus : normal | normal
normal | normal
normal | normal
- Perkusi : sonor | sonor
sonor | sonor
sonor | sonor
- Auskultasi : suara nafas vesikuler | vesikuler
vesikuler | vesikuler
vesikuler | vesikuler
Ronki - | - Wheezing - | -
- | - - | -
- | - - | -
18
Abdomen
a. Inspeksi : dalam batas normal
b. Auskultasi : bising usus (+), meteorismus (-), tidak ditemukan bruit
pada proyeksi aorta abdominalis, arteri renalis, arteri iliaca, maupun pada
arteri femoralis, friction rub (-)
c. Perkusi : timpani pada seluruh kuadran abdomen, traube's space
timpani, shifting dullness (-), liver span 9 cm
d. Palpasi : soefl, turgor kulit kembali lambat, nyeri tekan epigastrium
(+)
Hepar : dalam batas normal
Lien : dalam batas normal
Ekstremitas
Akral teraba hangat CRT < 2 detik
Edema -|- sianosis -|- anemis -|- ikterik -|- eritema palmaris -|-
Genitalia
Tidak dilakukan pemeriksaan
Rektum
Tidak dilakukan pemeriksaan
Laboratorium
Pemerikaan Nilai Nilai Normal
Darah Lengkap
Hb 18,3 L: 14-18 gr/dl, P: 12-16 gr/dl
Leukosit 15.200 5.000-10.000 /mm3
Hitung Jenis
- Eosinofil - 1-3 %
- Basofil - 0-1 %
- Neutrofil Stab - 2-6 %
19
- Neutrofil Segment 82 35-65 %
- Lymfosit 9 20-35 %
- Monosit 9 2-6 %
LED 50 L: <15 mm/jam, P: <20 mm/jam
Eritrosit 6,11 L: 4,5-5,5 jt/mm3, P: 4,5-5,5
jt/mm3
Hematokrit 55,9 L: 40-54 %, P: 38-47 %
Trombosit 307.000 150.000-500.000 /mm3
Elektrolit
Natrium (Na) 142 135-145 mmol/L
Kalium (K) 5,13 3,5-5,5 mmol/L
Chlorida (Cl) 106 98-108 mmol/L
Faal Ginjal
Ureum Darah 165 10-50 mg/dl
Creatinin Darah 3,35 L: 0,7-1,5 mg/dl, P: 0,6-1,1
mg/dl
Faal Hati
SGOT 19 L: 6-37 U/L, P: 5-31 U/L
SGPT 8 L: 6-40 U/L, P: 5-31 U/L
Glukosa darah
Sewaktu 291 70-200 mg/dl
Profil lipid
Kolesterol total 321 < 220 mg/dl
HDL 54 L : > 55 mg/dl, P : > 65 mg/dl
LDL 233 < 150 mg/dl
Trigliserida 504 < 150 mg/dl
EKG
20
- Rhytm : Sinus rhytm
- Rate : 118 bpm
- Axis horizontal : normal
- Axis vertikal : normal
- Interval PR : 0,13 s
- Interval QRS : 0,08 s
- ST segment : normal
Kesimpulan : sinus rhytm HR 118 bpm
Thoraks PA
21
Kesimpulan : cor dan pulmo RO normal
3.6 Penatalaksanaan
Bed rest
Novorapid 3 x 4 IU
22
Inj. Cefoperazone 2 x 1 gr
Inj. Ranitidine 2 x 50 mg
Pro ICU
Follow Up Ruangan
Tgl S O A P
23
22.00 : 431 mg/dl
24
GD I : 235 mg/dl - PO Aspilet 1 x 80 mg
DL : - PO Gemfibrozil 2 x 300
mg
Hb : 13,2
- Besok cek DL, IgM dan
WBC : 9.700 IgG dengue, IgM dan IgG
Salmonella
Ht : 41,2
PLT : 91.000
Serum elektrolit :
Na/K/Cl :
147/3,87/121
Ur/Cr : 74/1,67
Urinalisis :
Kimia
WBC : (-)
Blood : trace
Protein : trace
Glukosa : (+4)
PH : 6,5
Nitrit : (-)
Keton : (-)
Sedimen
WBC : 0-2
Eritrosit : 1-3
Bakteri : (-)
Kristal : Ca sulfat
Silinder : (-)
25
GCS : 456 2. DM tipe II Obat pulang :
RR : 20 x/mnt PO Atorvastatin 1 x 20 mg
DL : PO Cefixime 2 x 100 mg
Hb : 14,1
WBC : 7.900
Ht : 44,9
PLT : 110.000
Serologis :
26
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Diagnosis
Pada kasus ini, pasien laki-laki berusia 47 tahun dibawa ke IGD RSMW
karena mengalami penurunan kesadaran sejak kurang lebih 6 jam SMRS secara
perlahan-lahan. Pasien masih dapat mengenali orang namun tidak nyambung
saat diajak bicara, dan semakin memberat. Sebelumnya pasien mengeluh badan
terasa lemas sejak 1 hari SMRS. Pasien juga mengalami penurunan nafsu
makan sejak 1 hari SMRS karena perut terasa sebah dan mual. Pasien
sebelumnya tidak pernah mengetahui/didiagnosis dirinya mengalami diabetes
melitus. Pasien sebelumnya sering terbangun malam hari untuk BAK, sering
haus, dan belakangan mengalami penurunan berat badan ±5 kg dalam 1 bulan
terakhir. Pasien sering minum minuman manis untuk mengatasi rasa hausnya.
Dari pemeriksaan fisik, didapatkan GCS 345, nadi 120 kali per menit, napas 24
kali per menit, dan suhu aksila 36,80 C. Bibir dan lidah tampak kering dan turgor
kulit kembali lambat, tanda bahwa pasien dehidrasi. Hasil pemeriksaan darah
vena didapatkan leukositosis (15.200/mm3), GDS 291 mg/dL, peningkatan ureum
(165 mg/dL) dan kreatinin (3,35 mg/dL), hipernatremia (147 mmol/L),
27
peningkatan kolesterol total (321 mg/dL), LDL (233 mg/dL) dan trigliserida (504
mg/dL).
4.2 Tatalaksana
28
osmolalitas plasma efektif ≥ 3 mmol/kg/jam, lanjutkan dengan NaCl 0,9%. Bila
glukosa plasma mencapai 14,0 mmol/L (250 mg/dL), tambahkan infus D5 atau
D10 untuk menjaga kadar glukosa plasma antara 12,0-14,0 mmol/L. Dengan re-
ekspansi ECFV dan osmotik diuresis, kadar glukosa plasma normalnya akan
turun sebesar 75-100 mg/dL per jam. Jika kadar glukosa darah tidak bisa
diturunkan sebesar 75-100 mg per dL per jam, hal ini biasanya menunjukkan
penggantian cairan yang kurang atau gangguan ginjal (Goguen dan Gilbert,
2018; Miles dan Fisher, 2009).
29
BAB V
PENUTUP
30
Daftar Pustaka
Abbott KC, Bernet VJ, Agodoa LY, et al, 2003. Diabetic ketoacidosis and
hyperglycemic hyperosmolar syndrome after renal transplantation in the
united states. Diunduh pada tanggal 24 Februari 2019 dari
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC153547/
Colledge NR; Walker BR; Ralston SH. 2010. Davidson’s Principles and Practice
of Medicine, 21th Edition. Elsevier
Fauci, AS., Kasper, DL., Longo, DL., Braunwald, E., Hauser, SL., Jameson, JL,
Loscalzzo, J. 2008. Harrison’s Principles of Internal Medicine 17th Edition.
Boston: McGraw-Hill. 7108:9
Kasper DL, et al, 2015. Harrison’s Principles of Internal Medicine, 19th Edition.
New York: McGraw-Hill Education
Miles JM, Fisher JN. 2009. Hyperglycemic crises in adult patients with diabetes.
Diabetes Care32:1335-43
31
Pasquel, FJ., Umpierrez, GE. 2014. Hyperosmolar Hyperglycemic State: A
Historic Review of the Clinical Presentation, Diagnosis, and Treatment.
Diabetes Care 37: 3124-31
32
33