TUGAS MANDIRI
OLEH :
PROGRAM PASCASARJANA
MANAJEMEN AGRIBISNIS
UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2021
1
KATA PENGANTAR
Penulis
i
GAMBARAN KRISIS PETANI MUDA DI INDONESIA
I. LATAR BELAKANG
Penyerapan tenaga kerja indonesia di sektor pertanian memiliki
kontribusi terbesar yaitu sekitar 35,3% namun sampai saat ini masih
terdapat masalah mengenai ketenagakerjaan pertanian yakni perubahan
struktur demografi yang kurang menguntungkan bagi sektor pertanian.
Berdasarkan hasil survei pertanian antar sensus 2018 menunjukkan bahwa
jumlah rumah tangga usaha pertanian menurut kelompok umur kepala
rumah tangga diatas 54 tahun berjumlah 10.379.211,-. Sedangkan petani
muda berumur 25-34 tahun berjumlah 2.722.446 ,-. Data kementerian
pertanian menujukkan penurunan jumlah tenaga kerja selama tahun 2017-
2018. Pada tahun 2017 jumlah tenaga kerja sebesar 36.956.111 jiwa
mengalami penurunan sebesar 1.080.722 pada tahun 2018.
Struktur umur petani di Indonesia sebesar 60,8 % diatas 45 tahun
yang sudah tua dengan 73,97 % hanya berpendidikan tingkat SD dan
kemampuan dalam menerapkan teknologi masih rendah. Hal tersebut
menyebabkan produktivitas petani Indonesia lebih rendah dibandingkan
negara-negara ASEAN.
II. MASALAH
1. Sebagian besar orang tua di daerah pedesaan tidak menginginkan anak-
anaknya bekerja sebagai petani sebagaimana pekerjaan mereka saat ini
menyebabkan berkurangnya keinginan pemuda untuk keberlanjutan usahatani
di masa yang akan datang.
2. Sektor pertanian masih memiliki citra yang kurang bergengsi karena adopsi
teknologi masih rendah, risiko yang tinggi, keuntungan yang tidak mencukupi
dibandingkan dengan usaha di sektor lain membuat usaha di bidang pertania
menjadi pilihan terakhir.
III. TUJUAN
1
1. Menjelaskan perubahan struktural tenaga kerja pertanian dilihat dari
fenomena aging farmer dan menurunnya jumlah tenaga kerja usia muda
sektor pertanian di indonesia.
2. Menjelaskan berbagai faktor penyebab perubahan struktural tenaga kerja
pertanian dan keengganan tenaga kerja usia muda masuk ke sektor pertanian.
3. Menjelaskan kebijakan yang diperlukan untuk mendukung tenaga kerja muda
masuk ke sektor pertanian.
V. METODE PENELITIAN
Pada penelitian ini digunakan metode deskriptif dan studi literatur. Informasi-
informasi dari literatur dan data dikumpulkan kemudian dianalisis dan dijelaskan.
Data literatur didapatkan dari penelitian-penelitian terdahulu , buku dan referensi
lainnya. Sedangkan data sekunder yang berasal dari BPS berupa hasil sensus
2
pertanian tahun 2003-2013, data perkembangan tenaga kerja pertanian dan non-
pertanian tahun 2013-2017, data tenaga kerja pertanian tahun 2017-2018, data dari
Food Agriculture Organization berupa data perkembangan jumlah penduduk
perkotaan dan pedesaan dari tahun 1950-2017.
Arvianti, E. Y., Asnah, & Prasetyo, A. (2015). Minat Pemuda Tani terhadap
Transformasi Sektor Pertanian di Kabupaten Ponorogo. Buana Sains, 15(2),
181–188.
3
Bednarikofa, Z., Bavorov, M., & Ponkina, E. V. (2016). Migration Motivation of
Agriculturally Educated Rural Youth : The case of Russian Siberia. Journal
of R, 45, 99–111. https://doi. org/10.1016/j.jrurstud.2016.03.006
Coxhead, I., & Shrestha, R. (2016). Could a Resource Export Boom Reduce
Workers ’ Earnings ? The Labour Market Channel in Indonesia. Bulletin of
Indonesian Economics Studies, 4918(May). https://doi.org/10.1080/0
0074918.2016.1184745
Graeub, B. E., Chappell, M. J., & Wittman, H. (2016). The State of Family Farms
in the World. World Development, 87, 1–15. https://doi.org/10.1016/j.
worlddev.2015.05.012
Karlina, E., & Arif, M. (2017). Pengaruh Bekerja di Luar Negeri terhadap Tingkat
Ekonomi dan Perceraian. Social Science Education Journal, 4(1), 54–60.
https://doi.org/10.15408/ sd.v4i1.4342.Permalink/DOI
Mahudin, F. N., & Shabahati, I. (2017). Krisis Petani Muda Masa Depan. Kinerja
Logistik Indonesia Hingga Kini, 2(21), 3–8.
May, D., Arancibia, S., Behrendt, K., & Adams, J. (2019). Preventing Young
Farmers from Lleaving the Farm : Investigating the Farm Effctiveness of the
Young Farmer Payment Using a Behavioural Approach. Land Use Policy,
82(2019), 317– 327. https://doi.org/10.1016/j. landusepol.2018.12.019
4
Nugroho, A. D., & Waluyati, L. R. (2018). Upaya Memikat Generasi Muda
Bekerja pada Sektor Pertanian di Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal Ilmu
Pemerintahan Dan Sosial Politik UMA, 6(1), 76–95.
Oktaviani, L., Azhar, & Usman, M. (2017). Analisis Pendapatan dan Faktor-
faktor yang Mempengaruhi Minat Petani Terhadap Usahatani Padi Sawah
Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat. Jurnal Ilmiah Pertanian
Unsyiah, 2(1), 191–199.
Pardian, P., Rasmikayati, E., Djuwendah, E., & Saefudin, B. R. (2017). Persepsi
dan Minat Petani Muda dalam Budidaya Sayuran Swiss Chard Organik.
Jurnal Aplikasi Ipteks untuk Masyarakat, 6(3), 163–166.
Pechrová, M. Š., Šimpach, O., Medonos, T., Spěšná, D., & Delín, M. (2018).
Agris on-line Papers in Economics and Informatics What Are the
Motivation and Barriers of Young Farmers to Enter the Sector ? Agris
Online Papers in Economics and Informatics, X(4), 79–87. https://
doi.org/10.7160/aol.2018.100409. Introduction.
Prawesti, N., Witjaksono, R., & Raya, A. B. (2010). Motivasi Anak Petani
menjadi Petani. Agro Ekonomi, 17(1), 11–18.
5
FENOMENA PENUAAN PETANI DAN BERKURANGNYA TENAGA
KERJA MUDA SERTA IMPLIKASINYA BAGI KEBIJAKAN
PEMBANGUNAN PERTANIAN
I. LATAR BELAKANG
Berbagai alasan penyebab menurunnya minat tenaga kerja muda di
sektor pertanian terutama adalah citra sektor pertanian yang kurang
bergengsi dan kurang bisa memberikan imbalan memadai. Hal ini
berpangkal dari relatif sempitnya rata-rata penguasaan lahan usaha tani.
Alasan lain adalah cara pandang dan way of life tenaga kerja muda telah
berubah di era perkembangan masyarakat post modern seperti sekarang.
Bagi anak-anak muda di pedesaan, sektor pertanian makin kehilangan
daya tarik. Bukan sekedar karena secara ekonomi sektor pertanian makin
tidak menjanjikan, tetapi keengganan anak-anak muda untuk bertani
sesungguhnya juga dipengaruhi oleh subkultur baru yang berkembang di
era digital seperti sekarang. Krisis petani muda di sektor pertanian dan
dominannya petani tua memiliki konsekuensi terhadap pembangunan
sektor pertanian berkelanjutan, khususnya terhadap produktivitas
pertanian, daya saing pasar, kapasitas ekonomi pedesaan dan lebih lanjut
hal itu akan mengancam ketahanan pangan serta keberlanjutan sektor
pertanian.
II. MASALAH
1. Menurunnya minat tenaga kerja muda di sektor pertanian.
2. Cara pandang tenaga kerja muda telah berubah di era perkembangan
masyarakat post modern seperti sekarang.
3. Adanya konsekuensi terhadap pembangunan sektor pertanian berkelanjutan
yang akan mengancam ketahanan pangan.
III. TUJUAN
1. Me-review tentang perubahan struktural tenaga kerja pertanian dilihat dari
6
fenomena aging farmer dan menurunnya jumlah tenaga kerja usia muda
sektor pertanian di Indonesia dan berbagai negara lainnya.
2. Mengidentifikasi berbagai faktor penyebab perubahan struktural tersebut.
3. Faktor-faktor keengganan tenaga kerja usia muda masuk ke sektor pertanian
4. Kebijakan yang diperlukan untuk mendukung tenaga kerja muda masuk ke
sektor pertanian.
7
menurunnya proporsi petani muda di sektor pertanian.
V. METODE PENELITIAN
Pada penelitian ini digunakan metode deskriptif dan studi literatur. Informasi-
informasi dari literatur dan data dikumpulkan kemudian dianalisis dan dijelaskan.
Data literatur didapatkan dari penelitian-penelitian terdahulu , buku dan referensi
lainnya. Sedangkan data sekunder yang berasal dari BPPSD MP berupa
perkembangan tenaga kerja pertanian tingkat nasional 2010-2014, data struktur
tenaga kerja pertanian tahun 1978-2007, perkembangan populasi petani Jepang
tahun 1960-2010, perkembangan proporsi tenaga kerja pertanian di Jepang tahun
1997-2010, data petani menurut umur di beberapa negara di Uni Eropa tahun
2007-2010, Proporsi tenaga kerja pertanian di pedesaan vietnam tahun 1996-2007.
8
mempermudah berusaha di sektor pertanian baik on farm maupun off
farm, jaminan pasar serta membangun institusi pertanian dari hulu sampai
hilir. Program-program pemberdayaan dan pelatihan petani muda juga
diperlukan dalam rangka meningkatkan kapasitas dan kualitas tenaga kerja
muda pertanian.
Dang BQ. 2014. Technological consultation and backup for young generation
entry into farming. FFTC-RDA 2014 International Seminar on Enhanced
Entry of Young Generation into Farming; 2014 Oct 20-24; Jeonju, Korea.
Davis J, Caskie P, Wallace M. 2013. How effective are new entrant schemes for
farmers? Euro Choices. 12(3):32-37.
Daryanto A. 2009. Dinamika daya saing industri peternakan. Bogor (ID): IPB
Press.
9
Erabaru. 2015 Agu 19. WHO mengeluarkan kriteria baru kelompok usia
[Internet]. [diunduh 2016 Mar 12]. Tersedia dari:
http://erabaru.net/2015/08/19/ who-mengeluarkan-kriteria-baru-kelompok-
usia/.
FarmLast Project. 2010. Farm land access, succession, tenure and stewardship.
Washington, DC (US): US Department of Agriculture, The National
Institute of Food and Agriculture.
Katchova AL, Ahearn M. 2014. Farm land ownership and leasing: implication for
young and beginning farmers. Agricultural Economics Staff Paper # 486.
Lexington, KY (US): University of Kentucky, Department of Agricultural
Economics
Kauffman N. 2013a. Financing young and beginning farmer. The Main Street
Economist. Agricultural and Rural Analysist. Issue 2. Kansas City (US):
Federal Reserve Bank of Kansas City.
Kauffman NS. 2013b. Credit markets and land ownership for young and
beginning farmers. Choices. 28(2):1-5.
Lokollo EM, Rusastra IW, Saliem HP, Supriyati, Friyatno S, Budhi GS. 2007.
Dinamika sosial ekonomi pedesaan: analisis perbandingan antar- Sensus
Pertanian. Laporan Akhir Penelitian. Bogor (ID): Pusat Analisis Sosial
Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.
10
Ma SJ. 2014. How to encourage young generation to engage in farming: Korea’s
case. FFTC-RDA 2014 International Seminar on Enhanced Entry of Young
Generation into Farming; 2014 Oct 20-24; Jeonju, Korea.
Murphy D. 2012. Young farmer finance. Nuffield Australia Project No. 1203,
Australia.
Shute LL. 2011. Building a future with farmers: challenges faced by young,
American farmers and a national strategy to help them succeed. New York
(US): National Young Farmers’ Coalition.
Sinuraya JF, Saptana. 2007. Migrasi tenaga kerja pedesaan dan pola
pemanfaatannya. SOCA. 7(3):1-23.
Sumaryanto, Hermanto, Ariani M, Suhartini SH, Yofa RD, Azahari DH. 2015.
Pengaruh urbanisasi terhadap suksesi sistem pengelolaan usaha tani dan
implikasinya terhadap keberlanjutan swasembada pangan. Laporan Akhir
Penelitian. Bogor (ID): Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.
Susilowati SH, Purwantini TB, Hidayat D, Maulana M, Ar-Rozi AM, Yofa RD,
Supriyati, Sejati WK. 2012. Panel petani nasional (Patanas): Dinamika
Indikator pembangunan pertanian dan perdesaan. Laporan Akhir Penelitian.
Bogor (ID): Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.
11
Upaya Meningkatkan Minat Generasi Muda terhadap Pertanian; 2016 Feb
23; Bogor, Indonesia. Bogor (ID): Pusat Perpustakaan dan Penyebaran
Informasi.
Syahwanto I. 2004. Pertanian pangan lokal, mulok dan hak murid-murid SD.
Majalah Salam. 7(Juni):18-20.
Uchiyama T. 2014. Recent trends in young people's entry into farming in Japan:
an international perspective. FFTC-RDA 2014 International Seminar on
Enhanced Entry of Young Generation into Farming; 2014 Oct 20-24;
Jeonju, Korea.
Wang JH. 2014. Recruiting young farmers to join smallscale farming: a structural
policy perspective. FFTC-RDA 2014 International Seminar on Enhanced
Entry of Young Generation into Farming; 2014 Oct 20-24; Jeonju, Korea.
12
13
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MELALUI PEMANFAATAN
TANAH PEKARANGAN (PTP) UNTUK KONSERVASI DAN
WIRAUSAHA AGRIBISNIS DI KELURAHAN KEDUNG PANE
KOTA SEMARANG
I. LATAR BELAKANG
Pada saat yang sama, pertumbuhan perkotaan juga menyebabkan
masalah lain, yakni terlampauinya daya dukung dan daya tampung
lingkungan, karena pemukiman yang semakin padat akan mempengaruhi
sistem prasarana dan sarana di perkotaan maupun di pedesaan seiring
dengan adanya perubahan fungsi lahan untuk permukiman. Kejadian yang
paling sering dialami adalah terjadinya banjir pada saat penghujan, tetapi
pada saat musim kemarau akan mengalami kekeringan. Pada debit yang
cukup tinggi, air hujan akan menjadi air larian yang menyebabkan banjir.
Sementara pada saat musim kemarau, akibat tidak adanya air yang
meresap ke dalam tanah maka menyebabkan daerah bagian atas menjadi
kering
Minimnya ketersediaan lahan akibat pertumbuhan permukiman di
perkotaan juga menyebabkan masalah lain, yakni ketahanan pangan,
terutama ketahanan pangan keluarga. Contoh yang paling sederhana
adalah begitu tergantungnya masyarakat akan kebutuhan sayur dan bahan
bumbu dapur seperti cabai dan kangkung dari pasar. Pada saat harga cabai
melambung tinggi para ibu rumah tangga mengalami shok. Kondisi
semacam ini sebenarnya bisa ditangani dengan upaya pertanian mandiri
rumah tangga dengan pemanfaatan tanah pekarangan (PTP), sehingga
kebutuhan akan sayur dan bumbu dapur dapat dipenuhi secara mandiri
dengan biaya yang murah dengan menggunakan teknologi tepat guna
sederhana.
II. MASALAH
1. Terlampauinya daya dukung dan daya tampung lingkungan yang disebabkan
14
oleh pemukiman yang semakin padat sehingga mempengaruhi sistem
prasarana dan sarana diperkotaan maupun pedesaan seiring perubahan alih
fungsi lahan untuk pemukiman.
III. TUJUAN
1. Kemandirian pangan berdasarkan pada inisiatif lokal yang merupakan bagian
dari model-model pembangunan yang dapat mensejahterakan masyarakat
desa.
15
Mardikanto& Poerwoko Soebiato, 2012:29).
Pemberdayaan masyarakat sebagai tahapan awal menuju kesuksesan
masyarakat, menurut Drijver dan Sajise memiliki lima macam prinsip utama,
yaitu: Pertama, pendekatan dari bawah (bottom up approach). Pada kondisi ini
pengelolaan dan stakeholder sepakat pada tujuan yang ingin dicapai untuk
kemudian mengembangkan gagasan dan beberapa tahapan kegiatan untuk
mencapai tujuan yang telah dirumuskan sebelumnya. Kedua, partisipasi
(participation) dimana setiap aktor yang terlibat memiliki kekuasaan dalam setiap
fase perencanaan dan pengelolaan. Ketiga, konsep keberlanjutan (sustainability)
yaitu merupakan pengembangan kemitraan dengan seluruh lapisan masyarakat
sehingga program pembangunan berkelanjutan dapat diterima secara sosial dan
ekonomi. Keempat, memiliki keterpaduan atau kohesivitas kebijakan dan strategi
pada tingkat lokal, regional dan nasional. Kelima, keuntungan sosial dan ekonomi
merupakan bagian dari program pengelolaan (Loekman Soetrisno, 1995: 17).
V. METODE PENELITIAN
Proses pelaksanaan studi pendahuluan dilakukan dengan cara mengadakan
komunikasi dan koordinasi dengan pihak-pihak stakeholders yang terkait dan
akan terlibat baik langsung maupun tidak langsung sesuai dengan kapasitasnya
masing-masing, serta mendapatkan informasi secara mendetail dan komprehensif
tentang potret riil dan kondisi obyektif masyarakat yang akan menjadi sasaran
program (subyek kegiatan), untuk menggali problem yang dihadapi masyarakat,
tanah pekarangan yang bisa dikembangkan, sumber daya yang ada, fasilitas sarana
dan prasarana pendukung yang bisa dimanfaatkan, untuk mengetahui kebutuhan
obyektif masyarakat yang akan menjadi sasaran program (subyek kegiatan), juga
untuk mengkomunikasikan kesediaan pihak-pihak stakeholders untuk membantu
dan terlibat.
Dari kegiatan komunikasi dan koordinasi dengan pihak-pihak stakeholders di
atas, selanjutnya disusun langkah-langkah pelaksanaan program melalui beberapa
tahapan kegiatan yang meliputi: 1) kegiatan rembug warga;2) pelatihan
manajemen kelompok; 3) pelatihan life skill dan bimbingan teknis (bimtek); 4)
16
Praktek Pengalaman Lapangan (PPL) di Dinas Pertanian Kota Semarang; 5)
monitoring dan evaluasi (monev) pelaksanaan program; 6) pemberian stimulan
modal usaha; dan 7) evaluasi dan penyusunan program tindak lanjut (follow up)
17
adanya potensi lokal di sekelilingnya yang bisa dikembangkan menjadi
komuditas yang bernilai jual tinggi. 2) Terjadinya perubahan dan
terciptanya habituasi pola kerja subyek dampingan yang mengedepankan
konsep kerja keras dan cerdas, yang pada akhirnya diharapkan dapat
meningkatkan produktifitas. 3) Lahirnya subyek dampingan yang memiliki
seperangkat pengetahuan dan ketrampilan (life skill) untuk
mengembangkan potensi lokal menjadi komoditas hasil produksi yang
memiliki nilai jual lebih tinggi. 5) Lahirnya kelompok subyek dampingan
sebagai sebuah teamwork yang memiliki kesadaran dan semangat yang
tinggi, serta memiliki cita-cita bersama untuk membangun home industry
yang dapat memproduksi kekayaan melalui pemanfaatan tanah pekarangan
menjadi komoditas ekonomi yang bernilai jual tinggi.
18
Dinas Pertanian Jatim. Rumah Hijau dalam Rangka Optimalisasi Pemanfaatan
Pekarangan diPropinsi Jawa Timur, (Dinas Pertanian Propinsi JawaTimur,
2011).
Lili Baridi, Muhammad Zein, dan M. Hudri, Zakat Dan Wirausaha, (Jakarta:
CED, 2007).
Moh. Ali Azis, dkk (ed), Dakwah Pemberdayaan Masyarakat; Paradigma Aksi
Metodologi, (Yogyakarta: LKis, 2009).
Penny, D.H. dan M. Ginting, Pekarangan Petani dan Kemiskinan, (Gadjah Mada
University Press. Yayasan Agro Ekono- mika, 1984).
Robert Adams, Social Work and Empowerment. 3rd ed.( New York: Palgrave
Macmillan, 2003)
19
Sajogyo, Menuju Gizi Baik Yang Merata di PedesaandanDiKota,( Yogyakarta:
GajahMadaPress, 1994).
20
SUSTAINABLE COMMUNITY DEVELOPMENT IN RURAL AND
URBAN AREAS
I. LATAR BELAKANG
Dimensi budaya dalam pembangunan telah diterima secara luas untuk
mengusulkan pendekatan alternatif dalam pembangunan. Ini mengusulkan
pendekatan bottom-up di mana pandangan masyarakat setempat tentang
pembangunan serta partisipasi mereka dalam proses pembangunan, tergabung
[1]. Tidak adanya pertimbangan budaya dalam kebijakan dan implementasi
pembangunan akan menyebabkan kegagalan pencapaian tujuan pembangunan
[2].
Sebagai faktor budaya yang terkait dengan karakteristik spesifik
masyarakat di tingkat masyarakat, pandangan emic pembangunan
disarankan kepada setiap perencana pembangunan, tidak hanya untuk
memahami masalah pembangunan dari mata rakyat, tetapi juga untuk
memahami pengetahuan, keyakinan, dan mata pencaharian masyarakat
setempat, termasuk untuk menganalisis lembaga lokal yang ada, yang
terkait dengan pembangunan lokal [2-4]. Hal ini membawa pada konsep
pembangunan masyarakat berkelanjutan - dalam referensi lain yang
dinamai sebagai pengembangan endogen, yang menekankan bagaimana
lembaga lokal dapat diintegrasikan dalam rencana pembangunan,
kebijakan dan praktik, dan bagaimana faktor ekonomi juga harus
diintegrasikan dengan faktor-faktor lain yaitu sosial, lingkungan, politik
sebagai pendekatan bottom-up dalam pembangunan di tingkat masyarakat,
yang sampai batas tertentu , telah diabaikan dalam kebijakan dan praktik
pembangunan [5, 6].
Gintingan adalah contoh inisiatif bottom-up, yang telah
berkontribusi pada pembangunan lokal di kabupaten Subang, Jawa Barat.
Ini adalah lembaga sosial budaya, yang didasarkan pada kesamaan dalam
hal partisipasi bersama individu untuk memberikan kontribusi kolektif
kepada masyarakat dan bantuan individu mereka kepada sesama penduduk
21
desa yang membutuhkan, yang dikenal sebagai Gotong Royong dalam
budaya Jawa.
II. MASALAH
1. Tidak adanya pertimbangan budaya dalam kebijakan dan implementasi
pembangunan sehingga menyebabkan kegagalan pencapaian tujuan
pembangunan.
III. TUJUAN
1. Apakah lokasi lingkungan masyarakat setempat Subang, yaitu lokasi
Perkotaan dan Pedesaan, kondisi zonasi, serta status migrasi rakyat,
mempengaruhi perilaku pemanfaatan untuk memanfaatkan Gintingan atau
sebaliknya
22
Timbal Balik') kosmologi Sunda [9- 11].
23
V. METODE PENELITIAN
Pendekatan sistem etno, pendekatan terkemuka dari penelitian ini, memiliki
akar di sekolah klasik pemikiran sosiologi dan sosiolinguistik yang disebut
'etnomethodology'. Penelitian ini juga menggunakan Pendekatan sistem Leiden
Ethno, yang menggabungkan 3 pendekatan metodologis Pandangan Peserta (PV)
yang dalam penelitian Antropologis yang dikenal sebagai Ethnography, Historical
Dimension (HD) dan analisis komparatif di Bidang Studi Etnologis (FES). Karena
pendekatan geografis terkait erat dengan pendekatan FES, makalah ini akan
membatasi analisis untuk metode ketiga Studi Etnologi Lapangan.
Fungsi analitis yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagaimana
diadaptasi dari model analitis, yang diperkenalkan oleh Slikkerveer [20], dan
singkat diwakili sebagai berikut:
Pemanfaatan Gintingan = f (Psiko-sosial, Sosial-Demografi, Kebutuhan
yang Dirasakan, Memungkinkan, Lingkungan, Kelembagaan, Variabel
Intervensi)
Faktor lingkungan yang dipertimbangkan dalam analisis adalah zonasi desa
(bergunung-gunung, non-pegunungan), lokasi lingkungan (pedesaan, perkotaan)
desa dan status hunian HH (pribumi, migran).
Selain analisis deskriptif dan penjelasan, penelitian ini juga menggunakan
analisis multivariat dengan korelasi non-kanonis untuk menjawab apakah faktor
lingkungan mempengaruhi perilaku pemanfaatan. Koefisien korelasi Pearson
dengan distribusi statistik chi-squares dan pengujian digunakan dalam statistik
inferensial.
24
masyarakat. Preferensi masyarakat untuk memanfaatkan Gintingan di
Kabupaten Subang, lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang lebih
memilih menggunakan lembaga transisi dan modern. Faktor lingkungan
sangat berkorelasi dengan preferensi masyarakat dalam pemanfaatan
Gintingan. Sedangkan untuk faktor lingkungan, lokasi lingkungan
kawasan pedesaan-perkotaan merupakan variabel signifikan terkuat,
dibandingkan dengan lokasi zonasi dan status hunian responden.
K Saefullah Gintingan in the Sunda Region of West Java: The Role of Traditional
Institutions in Sustainable Community Management and Development in
Kabupaten Subang, Indonesia PhD Dissertation Leiden Ethnosystems and
Development Programme (LEAD) Studies No. 11 (Leiden: Leiden
University, in press)
25
Poverty Reduction and Sustainable Community Development in Indonesia,
Cooperative Management Series, Springer, in press
Ibui A K 2007 Indigenous Knowledge, Belief and Practice of Wild Plants among
the Meru of Kenya PhD Dissertation Leiden Ethnosystems and Development
Programme (LEAD) Studies No. 3 (Leiden: Leiden University) 327
L J Slikkerveer 1990 Plural Medical Systems in the Horn of Africa: The Legacy
of ‘Sheikh’ Hippocrates (London: Kegan Paul International)
26
Dissertation Leiden Ethnosystems and Development Programme (LEAD)
Studies No. 8 (Leiden: Leiden University) 235
27
STRATEGY COMMUNITY DEVELOPMENT BASED ON LOCAL
RESOURCES
I. LATAR BELAKANG
Kondisi kemiskinan yang dialami masing-masing masyarakat di
suatu daerah tidak sama, ada perbedaan karakteristik kemiskinan antar
daerah satu sama lain. Seperti yang diungkapkan oleh Mubyarto[1] bahwa
sulit membayangkan suatu daerah memiliki program penanggulangan
kemiskinan lebih baik dibandingkan dengan daerah lain. Penyebabnya
karena setiap daerah memiliki ciri khas kemiskinan masing-masing,
sehingga strategi bantuan apapun juga berbeda.
Menurut Santosa [3] program pemberdayaan masyarakat miskin
berfokus pada penciptaan peluang kerja dan mencari sumber daya lokal
yang produktif, kreatif, dan inovastif. Menurut Efendi [2] Pemerintah
membuat program penanggulangan kemiskinan dibagi menjadi tiga
klaster, yaitu: (1) Klaster Bantuan dan Perlindungan Sosial, (2) Klaster
Pemberdayaan Masyarakat, (3) Klaster pemberdayaan usaha kecil dan
menengah. Upaya pemberdayaan masyarakat diperlukan penyusunan skala
program prioritas yang disesuaikan dengan kondisi, persoalan dan
kebutuhan riil masing-masing daerah. Program pemberdayaan masyarakat
tidak hanya menyelesaikan masalah yang terlihat di permukaan tetapi juga
masalah yang laten atau tersembunyi. Hal ini penting untuk diungkapkan
sebagai pertimbangan dalam menetapkan prioritas pembangunan skala
masyarakat. Tanggung jawab dalam pemberdayaan masyarakat tidak
hanya dilaksanakan oleh Pemerintah saja tetapi juga dilaksanakan oleh
masyarakat, pemerintah bersama dengan pemangku kepentingan.
II. MASALAH
1. Setiap daerah memiliki ciri khas kemiskinan masing-masing, sehingga
strategi bantuan apapun juga berbeda.
28
III. TUJUAN
1. Upaya pemberdayaan masyarakat diperlukan penyusunan skala program
prioritas yang disesuaikan dengan kondisi, persoalan dan kebutuhan riil
masing-masing daerah.
IV. TINJAUAN PUSTAKA
Menurut Adisasmita [5] pengembangan masyarakat didefinisikan sebagai
gerakan yang dirancang untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara
keseluruhan melalui partisipatif aktif dan inisiatif dari masyarakat. Pendapat
Padangaran [6] menyatakan bahwa pengembangan masyarakat merupakan upaya
untuk mencapai enam tujuan, yaitu:(1) Memenuhi kebutuhan pokok masyarakat
yang terdiri dari kebutuhan konsumsi dan kebutuhan usaha produktif, (2)
Meningkatkan kesadaran, pengetahuan dan partisipasi masyarakat dalam
berbagai kegiatan pembangunan, (3) Meningkatkan rasa tanggung jawab
terhadap hasil pembangunan masyarakat, (4) Menumbuhkan kemampuan
masyarakat untuk memantapkan diri , (5) Menetapkan dan memelihara prasarana
dan sarana fisik di antaranya, (6) Meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan
masyarakat.
Pemberdayaan masyarakat, menurut Supriyanto dan Subejo [7]
mendefinisikan proses pemberdayaan masyarakat merupakan upaya yang
disengaja untuk memfasilitasi masyarakat setempat dalam merencanakan,
memutuskan dan mengelola sumber daya lokal dimiliki melalui aksi kolektif dan
jejaring sehingga pada akhirnya mereka memiliki kemampuan dan kemandirian
di bidang ekonomi, ekologi dan sosial. Menurut Huraerah [8] tujuan dasar adalah
pemberdayaan keadilan sosial dengan memberikan kedamaian kepada
masyarakat yang lebih besar serta belajar melalui pengembangan langkah-
langkah kecil untuk mencapai tujuan yang lebih besar.
Menurut Warren [3] pengetahuan indigeneuos berarti pengetahuan lokal
yang unik berdasarkan proses turun temurun di komunitas tertentu yang menjadi
kekayaan budaya lokal. Pengetahuan indigeneuos menjadi dasar pengambilan
keputusan di masyarakat setempat di berbagai bidang seperti pertanian,
kesehatan, pendidikan dan pengelolaan sumber daya alam.
29
Pendapat Lawson [2] membedakan penyebab kemiskinan dalam tiga
kategori yaitu: (1) Deskripsi perilaku. Perilaku pendekatan menjelaskan bahwa
gaya hidup dan perilaku orang miskin tidak memungkinkan untuk mandiri.
Mengandalkan berbagai pihak yang berlangsung begitu lama menumpulkan
kemandirian. Solusi ini melalui pengembangan perilaku pembaruan. (2)
Penjelasan Situasional.Pendekatan ini menekankan pada asusmsi bahwa situasi
sosial, politik, lingkungan dan ekonomi sebagai penyebab kurang mandiri
dihilangkan keras. Solusinya dengan menggerakkan kesadaran masyarakat untuk
berpartisipasi dalam berbagai program pemberdayaan partisipatif yang sesuai
dengan kebutuhan masyarakat miskin. (3) Penjelasan Struktural.Pendekatan ini
memperjelas bahwa penyebab kemiskinan struktural yang disebabkan oleh
blokade. Jalan keluar dengan menciptakan perintah politik dan ekonomi yang
memungkinkan orang miskin keluar dari ketergantungan dan kemerosotan
karena hemming blokade struktural.
V. METODE PENELITIAN
Artikel ini didasarkan pada tinjauan literatur, ulasan kritis. Menurut Sugiyono
[4] Studi literatur adalah studi teoritis, referensi dan literatur ilmiah lainnya yang
berkaitan dengan budaya, nilai-nilai dan norma-norma pengembangan dalam
situasi sosial yang sedang dipelajari.
30
inovatif. Keberhasilan pengembangan masyarakat ini terletak pada
kecerdasan dalam mengelola kesadaran masyarakat menggunakan
berbagai sumber daya lokal potensial termasuk penggunaan teknologi
berbasis pengetahuan. Proses pemberdayaan masyarakat merupakan upaya
yang disengaja untuk memfasilitasi masyarakat setempat dalam
merencanakan, memutuskan dan mengelola sumber daya lokal yang
dimiliki melalui aksi kolektif dan jejaring sehingga pada akhirnya mereka
memiliki kemampuan dan kemandirian di bidang ekonomi, ekologis dan
sosial, sehingga perlu strategi yang tepat untuk menjadi sukses.
31
In The Perspective of Public Policy (Bandung: Alfabeta)
XI. Sajogyo, Pudjiwati 1992 Rural Sociology Guided Pratikum (Jakarta: Yayasan
Obor)
XVI. Dumasari dan Watemin. (2010). Empowerment of poor farmers through the
development of micro enterprises from the Doods Souvenirs Toursm
agricultural Waste Utilization Technology Modifications with eco-friendly
products. Report Of The Results Of The Research Phase III Competitive
Grants Dikti (Jakarta:Universitas Muhammadiyah Purwokerto.
XVIII. Nawawi I 2009 Development and Problems of the Society The study of
Concepts, Models, Theories and Ekonomi Aspects of Sociology (Surabaya:
Putra Media Nusantara AZ-24)
32