Dalam edisi kali ini kita akan melihat salah satu pilar dari Lingkungan
Pengendalian Internal yang ke – 7, yaitu : Perwujudan Peran aparat
pengawasan intern yang efektif. Ukuran efektivitas apa sih yang harus ada
dan menjadi prasyarat untuk mengukur peran aparat pengawasan intern
tersebut telah efektif atau tidak ? Pertanyaan yang wajar, yang pasti muncul
untuk mengetahui salah satu dari lingkungan pengendalian internal ini
menjadi salah satu pilar di dalamnya.
Peran APIP adalah melaksanakan salah satu fungsi sebagai auditor internal.
Sebagai auditor internal, maka secara normatif, harus mewujudkan prinsip-
prinsip yang berlaku umum dalam organisasi Internal Audit. Definisi yang
berlaku, sesuai pemahaman yang dikembangkan oleh IIA adalah sebagai
berikut : “ Internal auditing in an independent, objective assuranse and
consulting activity designed to add value and improve an organization’s
operations. It helps an organization accomplish its objectives by bringing a
systematic, disciplined approach to evaluate an improve the effectiveness of
risk management, control and governance processes (IIA, 1999).
Sesuai dengan definisi tersebut, maka untuk mewujudkan peran yang efektif,
maka peran Internal Auditing oleh APIP harus juga mengacu pada praktek2
modern yang berorientasi kepada pencapaian tujuan organisasi, melalui
kegiatan :
Yang lebih penting dari orientasi pelaksanaan tugas seperti tersebut di atas,
efektivitas perwujudan peran APIP juga sangat tergantung pada :
Peran Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) yang efektif mengacu pada
Peraturan Pemerintah Nomor 60 tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian
Intern Pemerintah pasal 11, yakni : a).Memberikan keyakinan yang memadai
atas ketaatan, kehematan, efisiensi, dan efektivitas pencapaian tujuan
penyelenggaraan tugas dan fungsi instansi pemerintah; b).Memberikan
peringatan dini dan meningkatkan efektivitas manajemen risiko dalam
penyelenggaraan tugas dan fungsi instansi pemerintah;dan c).Memelihara dan
meningkatkan kualitas tata kelola penyelenggaraan tugas dan fungsi instansi
pemerintah.
Aparatur Pengawasan Internal Pemerintah Daerah merupakan instansi
pengawasan yang beperan sangat penting dan menjadi ujung tombak, dalam
rangka mewujudkan penyelenggaraan tata kelola pemerintahan daerah yang
sehat, bersih, bebas dari KKN. Dalam hal ini, APIP harus dapat menjadi
problem solving untuk memberikan masukan atau rekomendasi bagi
manajemen perangkat daerah dan terlebih kepada pimpinan tertinggi selaku
pemangku kepentingan dan yang memiiki kebijakan untuk mengambil
keputusan.
Dalam PP 60 Tahun 2008 tentang SPIP telah menjelaskan dalam definisi
pengawasan intern salah satunya adalah kegiatan pengawasan lainnya.
Kegiatan Pengawasan lainnya menurut PP 60 Tahun 2008 ini antara lain
berupa sosialisasi mengenai pengawasan, pendidikan dan pelatihan
pengawasan, pembimbingan dan konsultansi, pengelolaan hasil pengawasan,
dan pemaparan hasil pengawasan. Berdasarkan pemahaman dari PP 60 tahun
2008 ini seharusnya APIP tidak hanya fokus pada pelaksanaan audit, evaluasi,
reviu dan pemantauan namun harus dapat memprioritaskan melakukan
pengawasan lainnya seperti memberikan konsultansi dan pembimbingan bagi
manajemen. APIP juga bukan hanya bekerja melakukan perannya mengaudit,
mereviu, mengevaluasi dan pemantaun pada akhir atau setelah pelaksanakan
tugas oleh manajemen organisasi, namun diawal APIP juga seharusnya sudah
dapat menjalankan perannya memberikan pembimbingan dan konsultansi.
Tujuannya adalah untuk mendeteksi dini dan mengurangi risiko kesalahan
maupun pelanggaran yang akan terjadi dikemudian hari terhadap
penyelenggaraan tugas manajemen perangkat daerah.
Menjadi APIP yang memiliki kualitas pengawasan intern yang efektif. Maka,
Inspektorat harus mempersipakan sumber daya manusia (auditor) yang
handal seperti, memiliki integritas kerja yang tinggi, skill kerja dan kompetensi
berbagai ilmu yang disertai dengan sertifikat pelatihan/kelulusan.
Yang lebih penting dari orientasi pelaksanaan tugas seperti tersebut di atas,
efektivitas perwujudan peran APIP juga sangat tergantung pada :
1. Komitment pimpinan di tingkat stakeholder (pemangku kepentingan),
yaitu : pimpinan tertinggi di lingkungan instansi pemerintah dan manajemen
instansi pemerintah yang diawasi, terutama dukungan atas akses
informasi / data / sumber daya, persamaan persepsi dan penentuan fokus,
bidang, sektor, ruang lingkup pengawasan, pelaksanaan rekomendasi tindak
lanjut dan penilaian kinerja APIP.
2. Pengelolaan manajerial pengawasan internal, mulai dari perencanaan,
kegiatan tahunan, pelaksanaan kegiatan sampai dengan pelaporan dan
pemantauan tindak lanjut.
3. Pengembangan kemampuan / inovasi dalam kegiatan pengawasan
intern, seperti pengembangan kompetensi SDM, penggunaan tehnologi dan
pemahaman terhadap lingkungan pengawasan.
Yang biasanya APIP yaitu auditor yang lebih menitik beratkan pencarian
kesalahan manajemen organisasi, yang ujung-ujungnya membuat daftar
kesalahan (daftar dosa) manajemen, melalui pemahaman kita saat ini sudah
tidak relevan lagi. APIP yaitu auditor harus menjadi bagian dari problem
solving, harus mampu memberikan rekomendasi perbaikan yang
dapat mengeliminasi penyebab yang sistemik dari suatu penyimpangan.
Peran konsultatif, pendampingan dan perbaikan manajemen
melalui bimbingan, pemberian petunjuk menjadi salah satu point utama peran
auditor saat ini. Namun demikian peran watch dog juga masih diperlukan,
paling tidak sebagai salah satu upaya penjaminan yang memadai bahwa
seluruh tugas dan fungsi telah dilaksanakan oleh manajemen.
Sebelumnya, pada Mei lalu, KPK juga menangkap seorang APIP Kementerian.
KPK menduga Inspektur Jenderal Kementerian Desa, Pembangunan Daerah
Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) menyuap Auditor Utama Badan
Pemeriksa Keuangan Rochmadi Saptogiri agar Kemendes PDTT mendapatkan
predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).
Tidak hanya di KPK. Sekitar Juli 2016, Kejaksaan Negeri Mejayan pernah
menetapkan seorang APIP sebagai tersangka kasus korupsi. APIP dimaksud
adalah Inspektur Kabupaten Madiun Benny Adiwijaya. Beny diduga
menyalahgunakan anggaran Inspektorat Kabupaten Madiun yang sebelumnya
bernama Badan Pengawasan pada tahun anggaran 2012-2014.
Masih di tahun yang sama, pada Mei 2016, Kejaksaan Agung melakukan
penahanan terhadap Sekretaris Daerah Kabupaten Bengkalis Burhanuddin
dan Inspektur Kabupaten Bengkalis Mukhlis. Keduanya bersama-sama Bupati
Bengkalis periode 2010-2015, Herliyan Saleh diduga melakukan korupsi
dalam penyertaan modal pemerintah ke PT Bumi Laksana Jaya (BLJ).
Atas tindak pidana yang dilakukan tiga pejabat Kabupaten Bengkalis dan
Komisaris PT BLJ Ribut Susanto tersebut, kerugian keuangan negara ditaksir
Rp265 miliar. Alhasil, sesuai putusan Pengadilan Tipikor Pekanbaru, Herliyan
divonis enam tahun penjara, sedangkan Burhanuddin, Mukhlis, dan Ribut,
masing-masing divonis tiga tahun empat bulan penjara.
Terkait sejumlah kasus korupsi yang menjerat APIP, Guru Besar Ilmu
Pemerintahan Universitas Padjajaran Prof Nandang Alamsah Deliarnoor
berpendapat, kasus-kasus tersebut sebagai fenomena yang positif. Proses
hukum terhadap para APIP itu membuktikan bahwa check and balances
system telah berjalan.
"APIP juga harus dikontrol, KPK juga harus dikontrol. Ingat, power tend to
corrupt, absolut power tend to corrupt absolutely. Persoalannya, ada di mental
juga selain sistem," katanya kepada Hukumonline.
"Di Inggris semangat agama Protestan dan mazhab utilitarianisme yang sangat
berpengaruh," imbuhnya.
Walau begitu, ironis, mungkin kata yang tepat jika melihat kasus-kasus
korupsi yang menjerat para APIP. Padahal, pembentukan APIP sebagaimana
amanat Pasal 58 UU No.1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara,
dimaksudkan untuk meningkatkan kinerja, transparansi, dan akuntabilitas
pengelolaan keuangan negara.
Kedua, APIP menyampaikan laporan tidak hanya kepada kepala daerah, tetapi
juga kepada APIP pusat. Kedua opsi ini membutuhkan persyaratan agar
penempatan pimpinan APIP di masing-masing daerah, selain ditetapkan oleh
kepala daerah, harus disetujui pula oleh APIP nasional dengan mengacu pada
beberapa persyaratan profesional. Ketiga, opsi yang juga merupakan usulan
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) bersama KPK adalah APIP di Provinsi
diangkat oleh Mendagri, sedangkan di kabupaten/kota oleh Gubernur.
Dari ketiga opsi tersebut, memang kami akan menempatkan APIP untuk dapat
melakukan pengawasan kepada Kepala Daerah secara langsung. Kami sedang
mengkaji berbagai opsi tersebut, mana yang paling efektif untuk
meningkatkan peran APIP,” imbuh Didid.
Di lain pihak, KPK juga telah melakukan koordinasi dan supervisi dalam
rangka penguatan APIP. Pada Mei 2017 lalu, Menteri Dalam Negeri Tjahjo
Kumolo mendatangi KPK untuk berkoordinasi terkait penguatan APIP. Tjahjo
berharap agar independensi, sumber daya manusia, dan tata kelola birokrasi
APIP di daerah dapat ditingkatkan.
Dikutip dari Laporan Tahunan KPK 2016, KPK telah memberikan rekomendasi
atas hasil koordinasi dan supervisi yang mereka lakukan. Salah satu sektor
yang dianggap harus dibenahi adalah penguatan APIP. Sebab, selama ini,
peran APIP yang seharusnya independen dan bisa menjadi pengawas
pemerintah daerah justru tidak berjalan.
Pada tahap awal penguatan APIP, KPK memberikan pelatihan bagi dua orang
auditor dari setiap inspektorat kabupaten/kota dan provinsi. Tujuannya, agar
para peserta nantinya bisa melakukan audit berdasarkan modul yang dibuat
BPK terkait penggunaan dana desa, proses pengadaan barang dan jasa, dan
pengantar audit investigasi.
Melihat fenomena keterlibatan APIP dalam "mata rantai" korupsi, Kepala Biro
Hukum dan Humas BPKP Syaifudin Tagamal mengatakan, pimpinan
Kementerian/Lembaga maupun pemerintah daerah
merupakan shareholders APIP. Jadi, untuk meningkatkan kapabilitas APIP,
diperlukan dukungan dan komitmen dari seluruh shareholders, serta
pimpinan APIP itu sendiri.
Dikutip dari Lampiran Peraturan Kepala BPKP No.6 Tahun 2015, pemerintah
melalui RPJMN 2015-2019 telah mentargetkan kapabilitas APIP di tahun 2019
berada pada level 3 dari skor level 1-5 sesuai kriteria penilaian internasional.
Sementara, kondisi tingkat kapabilitas APIP peraturan ini dibuat sebagian
besar masih berada pada level 1.
Pada level demikian, terdapat risiko APIP tidak dapat secara optimal
memberikan nilai tambah dari kontribusi di bidang pengawasan intern bagi
keberhasilan penyelenggaraan kegiatan pemerintahan. Begitu juga dengan
hasil penilaian tingkat kapabilitas 474 APIP pada K/L/D yang dilakukan oleh
BPK per 31 Desember 2014, menunjukan sebanyak 404 APIP atau 85,23
persen berada pada level 1, 69 APIP atau 14,56% berada pada level 2, dan
baru satu APIP atau 0,21% yang berada pada level 3.