Anda di halaman 1dari 34

MELIHAT PERKEMBANGAN

APARAT PENGAWASAN INTRN PEMERINTAH (APIP)


DARI MASA KE MASA

Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) adalah instansi


pemerintah yang dibentuk dengan tugas melaksanakan pengawasan intern
(audit intern) di lingkungan pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah
Sesuai pasal 47 ayat 2 huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008
tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP), kemudian pasal 49
ayat 1 menyebutkan APIP terdiri dari :
 Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP);
 Inspektorat jenderal atau nama lain yang secara fungsional
melaksanakan pengawasan intern;
 Inspektorat provinsi;
 Inspektorat Kabupaten/Kota.

Pembentukan APIP Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan


(BPKP);

Cikal bakal terbentuknya BPKP berawal dari berdirinya organisasi


Djawatan Akuntan Negara (DAN) atau Regering Accountantsdienst pada tahun
1936 yang secara struktural berada di bawah Thesauri Jenderal pada
Departemen Keuangan. Tugasnya adalah melakukan penelitian terhadap
pembukuan berbagai perusahaan negara dan jawatan tertentu. Pada tahun
1966, tugas DAN ini digantikan oleh Direktorat Djendral Pengawasan
Keuangan Negara (DDPKN) yang levelnya dinaikkan menjadi unit eselon I di
bawah Departemen Keuangan. DDPKN yang selanjutnya lebih dikenal dengan
nama DJPKN (karena perubahan ejaan bahasa Indonesia) memiliki tugas di
bidang pengawasan anggaran dan pengawasan badan usaha/jawatan. Baik
DAN maupun DJPKN pada waktu itu tugasnya didesain untuk membantu
Menteri Keuangan dalam melakukan pengawasan keuangan negara. Seiring
berjalannya waktu, terjadi perubahan konsep organisasi pengawasan.
Tepatnya pada tahun 1983, DJPKN dipisahkan dari Departemen Keuangan
menjadi lembaga pemerintah non departemen (LPND) berdasarkan Keppres
Nomor 31 Tahun 1983. Lembaga baru itu bernama BPKP. Salah satu
pertimbangannya adalah diperlukan badan atau lembaga pengawasan yang
dapat melaksanakan fungsinya secara leluasa tanpa mengalami kemungkinan
hambatan dari unit organisasi pemerintah yang menjadi objek
pemeriksaannya. Saat ini, selain melakukan pengawasan akuntabilitas
keuangan negara atas kegiatan tertentu, BPKP juga berperan dalam
pembinaan penyelenggaraan sistem pengendalian intern pemerintah.

Pembentukan APIP di level departemen/kementerian

Pembentukan APIP di level departemen/kementerian juga telah mulai


terjadi pada periode yang sama dengan terbentuknya DJPKN yaitu tahun
1966. Landasannya adalah Keputusan Presidium Kabinet
No.15/U/KEP/8/1966 tentang Kedudukan, Tugas pokok, Wewenang dan
Tatakerdja Sekretariat Djenderal, Direktorat Djenderal dan Inspektorat
Djenderal pada Departemen-departemen dalam Kabinet Ampera. Perlu
dipahami bahwa praktik pengawasan di Indonesia banyak dipengaruhi oleh
gaya kolonial Belanda, yaitu dilakukan oleh para Inspecteur yang kemudian
diterjemahkan terminologinya menjadi Inspektur. Hal tersebut yang
melatarbelakangi pembentukan unit pengawasan di level
departemen/kementerian dengan sebutan inspektorat jenderal dan
pimpinannya disebut inspektur jenderal. Pada mulanya pembentukan
inspektorat jenderal hanya dilakukan pada departemen/kementerian yang
tugasnya luas dan administrasinya kompleks. Sementara instansi pemerintah
lainnya membentuk fungsi pengawasan sebagai bagian di bawah unit yang
membidangi fungsi kesekretariatan. Keputusan Presidium Kabinet No.
15/U/KEP/8/1966 selanjutnya dicabut dengan Keppres Nomor 44 Tahun
1974 tentang Pokok-pokok Organisasi Departemen. Selanjutnya organisasi
APIP kementerian/lembaga terus berkembang sesuai dinamika pemerintahan.
Pada saat ini kementerian/lembaga telah memiliki APIP masing-masing
walaupun dengan level organisasi dan sebutan yang masih belum seragam.

Pembentukan APIP Pada level pemerintah daerah

Pada level pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota


pada dasarnya telah ada fungsi APIP yang juga panjang sejarahnya. Dinamika
perkembangan tata kerja organisasi pemerintahan daerah menyebabkan
terjadinya beberapa kali perubahan nomenklatur APIP pemerintah daerah.
Nomenklatur pertama APIP provinsi adalah inspektorat wilayah daerah
provinsi yang muncul pada tahun 1975. Kedudukannya secara taktis
operasional berada di  bawah  gubernur dan secara teknis administratif berada
di bawah Menteri Dalam Negeri. Pada tahun 1979, nomenklaturnya diubah
menjadi inspektorat wilayah provinsi (kata ”daerah” ditiadakan).
Kedudukannya lebih dipertegas yaitu sebagai perangkat pengawasan umum
yang langsung berada di bawah dan bertanggung jawab kepada gubernur.
Namun pada tahun 1991 kedudukan inspektorat  wilayah provinsi
dikembalikan lagi seperti pola sebelum tahun 1979. Setelah berlakunya UU
Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, yaitu mulai tahun 2001
organisasi APIP provinsi diatur dengan peraturan daerah dan diubah
nomenklaturnya menjadi badan pengawas daerah. Kedudukan badan
pengawas daerah adalah di bawah dan bertanggung jawab kepada gubernur
melalui sekretaris daerah. Lalu pada tahun 2007 nomenklaturnya diubah lagi
menjadi inspektorat provinsi.
Sementara itu, organisasi APIP di level kabupaten/kota juga mengalami
dinamika perubahan nomenklatur yang hampir sama dengan provinsi.
Dimulai dengan munculnya inspektorat wilayah kabupaten/kota pada tahun
1979, lalu diubah menjadi badan pengawas daerah pada tahun 2001 dan
diubah lagi menjadi inspektorat pada tahun 2007. Nomenklatur inspektorat
provinsi dan inspektorat kabupaten/kota menjadi nama yang masih dipakai
sampai dengan saat ini.

Kemudian bagaimana Eksistensi APIP Saat Ini

Reformasi pengelolaan keuangan negara turut memperkuat eksistensi APIP,


terutama terkait perannya dalam mendukung penguatan sistem pengendalian
intern instansi pemerintah. Di dalam PP Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem
Pengendalian Intern Pemerintah disebutkan bahwa untuk memperkuat dan
menunjang efektivitas sistem pengendalian intern dilakukan pengawasan
intern oleh APIP (pasal 47 dan 48). Dengan demikian pekerjaan utama APIP
berdasarkan konsep PP Nomor 60 Tahun 2008 adalah melakukan pengawasan
intern. 

Pengawasan Intern didefinisikan sebagai seluruh proses kegiatan audit, reviu,


evaluasi, pemantauan, dan kegiatan pengawasan lain terhadap
penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi dalam rangka memberikan
keyakinan yang memadai bahwa kegiatan telah dilaksanakan sesuai dengan
tolok ukur yang telah ditetapkan secara efektif dan efisien untuk kepentingan
pimpinan dalam mewujudkan tata kepemerintahan yang baik. Dari definisi
tersebut dapat dijabarkan bentuk pengawasan intern yang dilakukan oleh
APIP, yaitu:
 Audit: proses identifikasi masalah, analisis, dan evaluasi bukti yang
dilakukan secara independen, objektif dan profesional berdasarkan standar
audit, untuk menilai kebenaran, kecermatan, kredibilitas, efektivitas,
efisiensi, dan keandalan informasi pelaksanaan tugas dan fungsi instansi
pemerintah.
 Reviu: penelaahan ulang bukti-bukti suatu kegiatan untuk memastikan
bahwa kegiatan tersebut telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan,
standar, rencana, atau norma yang telah ditetapkan.
 Evaluasi: rangkaian kegiatan membandingkan hasil atau prestasi suatu
kegiatan dengan standar rencana, atau norma yang telah ditetapkan, dan
menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan atau
kegagalan suatu kegiatan dalam mencapai tujuan.
 Pemantauan: proses penilaian kemajuan suatu program atau kegiatan
dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
 Kegiatan pengawasan lainnya: antara lain berupa sosialisasi mengenai
pengawasan, pendidikan dan pelatihan pengawasan, pembimbingan dan
konsultasi, pengelolaan hasil pengawasan, dan pemaparan hasil
pengawasan.

Perwujudan Peran APIP yang Efektif

APIP dapat dikatakan efektif apabila mampu menunjukkan peran


sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 PP Nomor 60 Tahun 2008, yaitu:
 memberikan keyakinan yang memadai atas ketaatan, kehematan,
efisiensi, dan efektivitas pencapaian tujuan penyelenggaraan tugas dan
fungsi instansi pemerintah;
 memberikan peringatan dini dan meningkatkan efektivitas manajemen
risiko dalam penyelenggaraan tugas dan fungsi instansi pemerintah; dan
 memelihara dan meningkatkan kualitas tata kelola penyelenggaraan
tugas dan fungsi instansi pemerintah.
Perwujudan
Peran Aparat Pengawasan Intern
Yang Efektif
Berita Utama 

 Dalam edisi kali  ini kita akan  melihat salah satu pilar dari Lingkungan
Pengendalian Internal yang ke – 7, yaitu : Perwujudan Peran aparat
pengawasan intern yang efektif. Ukuran efektivitas apa sih yang harus ada
dan menjadi prasyarat untuk mengukur peran aparat pengawasan intern
tersebut telah efektif atau tidak ? Pertanyaan yang wajar, yang pasti muncul
untuk mengetahui salah satu dari lingkungan pengendalian internal ini
menjadi salah satu pilar di dalamnya.
 

Gambaran umum APIP :

Peran APIP adalah  melaksanakan salah satu fungsi sebagai auditor internal. 
Sebagai auditor internal, maka secara normatif, harus mewujudkan prinsip-
prinsip yang berlaku umum dalam organisasi Internal Audit. Definisi yang
berlaku, sesuai pemahaman yang dikembangkan oleh IIA adalah sebagai
berikut : “ Internal auditing in an independent, objective assuranse and
consulting activity designed to add value and improve an organization’s
operations. It helps an organization accomplish its objectives by bringing a
systematic, disciplined approach to evaluate an improve the effectiveness of
risk management, control and governance processes (IIA, 1999).

 
Sesuai dengan definisi tersebut, maka untuk mewujudkan peran yang efektif,
maka peran Internal Auditing oleh APIP harus juga mengacu pada praktek2
modern yang berorientasi kepada pencapaian tujuan organisasi, melalui
kegiatan :

1. Pemberian kepastian, keyakinan dan penjaminan yang memadai


(assurance) dengan melakukan kegiatan antara lain : audit, reviu,
penilaian, evaluasi, verifikasi, pengujian dan pemantauan atau
monitoring.
2. Konsulting  untuk memberikan  solusi atas berbagai macam
permasalahan dan pencapaian tujuan organisasi, dengan kegiatan2 :
sosialisasi, bimbingan, pendampingan, pemberian saran / petunjuk,
konsultasi, pelatihan2 dan survei.

Yang lebih penting dari orientasi pelaksanaan tugas seperti tersebut di atas,
efektivitas perwujudan peran APIP juga sangat tergantung pada :

1. Komitment pimpinan di tingkat stakeholder (pemangku kepentingan),


yaitu : pimpinan tertinggi di lingkungan instansi pemerintah dan
manajemen instansi pemerintah yang diawasi, terutama dukungan atas
akses informasi / data / sumber daya, persamaan persepsi dan
penentuan fokus, bidang, sektor, ruang lingkup pengawasan,
pelaksanaan rekomendasi tindak lanjut dan penilaian kinerja APIP.
2. Pengelolaan manajerial pengawasan internal, mulai dari perencanaan,
kegiatan tahunan, pelaksanaan kegiatan sampai dengan pelaporan dan
pemantauan tindak lanjut.
3. Pengembangan kemampuan / inovasi dalam kegiatan pengawasan
intern, seperti pengembangan kompetensi SDM, penggunaan tehnologi
dan pemahaman terhadap lingkungan pengawasan.
 Masa lalu unit pengawasan internal yang lebih menitik beratkan pencarian
kesalahan manajemen, yang ujung-ujungnya membuat list daftar dosa dan
kesalahan manajemen, melalui  pemahaman yang baru ini sudah menjadi
tidak relevan. Unit internal audit harus menjadi bagian dari solusi, harus
mampu memberikan  rekomendasi perbaikan yang mampu mengeliminir
penyebab yang sistemik dari suatu  penyimpangan.  Peran konsultatif,
pendampingan dan  perbaikan manajemen melalui bimbingan, pemberian
petunjuk menjadi salah satu titik berat peran internal audit saat ini.  Namun
demikian peran watch dog juga masih diperlukan, paling tidak sebagai salah
satu upaya penjaminan yang memadai bahwa seluruh tugas dan fungsi  telah
dilaksanakan oleh manajemen.

 Apa yang harus dilakukan ?

Pemahaman unit Internal Audit yang baru, yang lebih mengedepankan


peran konsultatif bagi sebagian  auditor yang terlibat di dalam  penegasan
peran yang baru ini, bisa berakibat pada keresahan-keresahan. Muncul
pertanyaan, seolah Unit Internal Audit pada era sekarang, sudah tidak
memliki “GIGI” lagi,  sebagai penjaga “organisasi” dalam bingkai yang lebih
mengesankan menyeramkan. Atau paling tidak ditakuti.  Tidak salah memang.
Merubah budaya kerja, merubah mind set, melakukan reformasi atas
kelemahan-kelemahan yang  ada dan melaksanakan hal yang baru pasti juga 
akan menimbulkan benturan-benturan. Namun, untuk lebih melengkapi
pemahaman perubahan itu, ada lebih baiknya juga melihat peristiwa-peristiwa
dramatis yang akhirnya harus merubah pola pikir dasar kita tentang Internal
Audit.  Dalam kasus penyalahgunaan di Lehman Brothers, peran Internal
Audit juga akan dipertanyakan, seandainya hanya berperan dalam sisi audit,
tetapi tidak pernah melihat dan menguji pilar-pilar pengendalian internal yang
seharusnya lebih didalami melalui sisi peran konsultatif,  verifikasi,
pemantauan, dll.
Efektivitas yang diminta dari perubahan paradigma tentang internal audit
melaui kegiatan-kegiatan Audit, reviu, evaluasi, penilaian, verifikasi, pengujian
maupun pemantauan  harus di dasarkan pada pola kerja yang profesional.
Artinya, harus bisa  dipastikan seluruh proses tersebut  telah dimulai dengan
perencanaan yang baik. Perencanaan yang  mampu memberi keyakinan yang
memadai bahwa output dari kegiatan-kegiatan tersebut mampu memberikan
keyakinan bagi manajemen dan pengambilan keputusan, terhadap
permasalahan-permasalahan yang muncul dan harus ditindaklanjuti oleh
manajemen.  Dokumentasi atas proses-proses  kegiatan yang dilakukan 
harus betul-betul mampu menunjang bahwa seluruh permasalah yang
diangkat bukan disebabkan semata karena opini, tetapi berdasarkan fakta
yang digali dari proses yang due profesional. Penggunaan tools sistem
manajemen audit, adalah salah satu bukti arah kegiatan audit internal
tersebut  diharapkan mendapatkan output yang efektif dan efisien, baik bagi
manajemen maupun proses kerja yang dilakukan oleh unit internal audit yang
ada.

Peran sebagai konsultan, mensyaratkan pentingnya kompetensi tehnis


dari proses bisnis yang dilakukan oleh manajemen.   Tantangan  dunia
Tehnologi Informasi yang sangat cepat menjadi bagian dari pola kerja dan
informasi bagi auditan dan auditee, juga harus tumbuh dan berkembang oleh
dunia internal audit.   Tidak bisa dibayangkan, bilamana peran sebagai
pendamping, asisten, sosialisasi bila  auditor tidak mengetahui secara pasti
proses bisnis yang ada. Yang muncul pasti, proses yang lebih mengedepankan 
kewenangan, yang ujung-ujungnya mencari-cari kesalahan.

 Akhirnya, membangun unit Pengawasan Internal yang efektif adalah menjadi


tugas bersama.  Janga lagi muncul penolakan-penolakan dari  auditan karena
yang ditemui dari proses audit bukan sebuah solusi tetapi tambahnya
apersoalan baru karena ketidakefektifan kegaitan internaal aaudit.
Memberikan keyakinan bagi pihak luar, khususnya bagi manajemen  adalah
sebuah keutamaan bagi unit pengawasan internal. Dan semuanya itu harus
dibangun dari nilai-nilai profesional, kejujuran dan mau selalu belajar dari
kesalahan. Mari kita kembangkan unit Internal Audit, khususnya Inspektorat
Jenderal Kementeria Keuanga yang semakin efektif, mampu membangun
kepercayaan publik dan diterima oleh manajemen sebagai bagian dari solusi.
Semoga. 

PENGAWASAN APIP YANG EFEKTIF

Berdasarkan UU 23 Tahun 2014, dalam pasal 216 ayat 2, menyebutkan


bahwa inspektorat daerah, mempunyai tugas membantu kepala daerah
membina dan mengawasi pelaksanaan Urusan Pemerintahan yang menjadi
kewenangan Daerah dan Tugas Pembantuan oleh Perangkat Daerah. Dalam PP
60 tahun 2008 tentang SPIP menjelaskan bahwa definisi dari Pengawasan
Intern adalah seluruh proses kegiatan audit, reviu, evaluasi, pemantauan, dan
kegiatan pengawasan lain terhadap penyelenggaraan tugas dan fungsi
organisasi dalam rangka memberikan keyakinan yang memadai bahwa
kegiatan telah dilaksanakan sesuai dengan tolok ukur yang telah ditetapkan
secara efektif dan efisien untuk kepentingan pimpinan dalam mewujudkan
tata kepemerintahan yang baik.

Peran Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) yang efektif mengacu pada
Peraturan Pemerintah Nomor 60 tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian
Intern Pemerintah pasal 11, yakni : a).Memberikan keyakinan yang memadai
atas ketaatan, kehematan, efisiensi, dan efektivitas pencapaian tujuan
penyelenggaraan tugas dan fungsi instansi pemerintah; b).Memberikan
peringatan dini dan meningkatkan efektivitas manajemen risiko dalam
penyelenggaraan tugas dan fungsi instansi pemerintah;dan c).Memelihara dan
meningkatkan kualitas tata kelola penyelenggaraan tugas dan fungsi instansi
pemerintah.
Aparatur Pengawasan Internal Pemerintah Daerah merupakan instansi
pengawasan yang beperan sangat penting dan menjadi ujung tombak, dalam
rangka mewujudkan penyelenggaraan tata kelola pemerintahan daerah yang
sehat, bersih, bebas dari KKN. Dalam hal ini, APIP harus dapat menjadi
problem solving untuk memberikan masukan atau rekomendasi bagi
manajemen perangkat daerah dan terlebih kepada pimpinan tertinggi selaku
pemangku kepentingan dan yang memiiki kebijakan untuk mengambil
keputusan.
Dalam PP 60 Tahun 2008 tentang SPIP telah menjelaskan dalam definisi
pengawasan intern salah satunya adalah kegiatan pengawasan lainnya.
Kegiatan Pengawasan lainnya menurut PP 60 Tahun 2008 ini antara lain
berupa sosialisasi mengenai pengawasan, pendidikan dan pelatihan
pengawasan, pembimbingan dan konsultansi, pengelolaan hasil pengawasan,
dan pemaparan hasil pengawasan. Berdasarkan pemahaman dari PP 60 tahun
2008 ini seharusnya APIP tidak hanya fokus pada pelaksanaan audit, evaluasi,
reviu dan pemantauan namun harus dapat memprioritaskan melakukan
pengawasan lainnya seperti memberikan konsultansi dan pembimbingan bagi
manajemen. APIP juga bukan hanya bekerja melakukan perannya mengaudit,
mereviu, mengevaluasi dan pemantaun pada akhir atau setelah pelaksanakan
tugas oleh manajemen organisasi, namun diawal APIP juga seharusnya sudah
dapat menjalankan perannya memberikan pembimbingan dan konsultansi.
Tujuannya adalah untuk mendeteksi dini dan mengurangi risiko kesalahan
maupun pelanggaran yang akan terjadi dikemudian hari terhadap
penyelenggaraan tugas manajemen perangkat daerah.
Menjadi APIP yang memiliki kualitas pengawasan intern yang efektif. Maka,
Inspektorat  harus mempersipakan sumber daya manusia (auditor) yang
handal seperti, memiliki integritas kerja yang tinggi, skill kerja dan kompetensi
berbagai ilmu yang disertai dengan sertifikat pelatihan/kelulusan.
Yang lebih penting dari orientasi pelaksanaan tugas seperti tersebut di atas,
efektivitas perwujudan peran APIP juga sangat tergantung pada :
1. Komitment pimpinan di tingkat stakeholder (pemangku kepentingan),
yaitu : pimpinan tertinggi di lingkungan instansi pemerintah dan manajemen
instansi pemerintah yang diawasi, terutama dukungan atas akses
informasi / data / sumber daya, persamaan persepsi dan penentuan fokus,
bidang, sektor, ruang lingkup pengawasan, pelaksanaan rekomendasi tindak
lanjut dan penilaian kinerja APIP.
2. Pengelolaan manajerial pengawasan internal, mulai dari perencanaan,
kegiatan tahunan, pelaksanaan kegiatan sampai dengan pelaporan dan
pemantauan tindak lanjut.
3. Pengembangan kemampuan / inovasi dalam kegiatan pengawasan
intern, seperti pengembangan kompetensi SDM, penggunaan tehnologi dan
pemahaman terhadap lingkungan pengawasan.
Yang biasanya APIP yaitu auditor yang lebih menitik beratkan pencarian
kesalahan manajemen organisasi, yang ujung-ujungnya membuat daftar
kesalahan (daftar dosa) manajemen, melalui  pemahaman kita saat ini sudah
tidak relevan lagi. APIP yaitu auditor harus menjadi bagian dari problem
solving, harus mampu memberikan  rekomendasi perbaikan yang
dapat mengeliminasi  penyebab yang sistemik dari suatu  penyimpangan. 
Peran konsultatif, pendampingan dan  perbaikan manajemen
melalui bimbingan, pemberian petunjuk menjadi salah satu point utama peran
auditor saat ini.  Namun demikian peran watch dog juga masih diperlukan,
paling tidak sebagai salah satu upaya penjaminan yang memadai bahwa
seluruh tugas dan fungsi  telah dilaksanakan oleh manajemen.

Apa yang harus dilakukan???

Pemahaman, yang lebih mengedepankan peran konsultatif bagi sebagian 


auditor yang terlibat di dalam  penegasan peran yang baru ini, bisa berakibat
pada keresahan-keresahan. Seperti bahwa saat ini APIP sudah tidak memliki
“GIGI” lagi,  sebagai penjaga “organisasi” yang familiar  dengan kata
menyeramkan. Atau paling tidak ditakuti oleh auditan. Apakah salah merubah
budaya? Tidak salah memang apabila, mau merubah budaya kerja, merubah
mind set, melakukan reformasi atas kelemahan-kelemahan yang  ada dan
melakukan inovasi yang baru. Semua itu pasti juga  akan menimbulkan
benturan-benturan. Namun, untuk lebih melengkapi pemahaman perubahan
itu, ada lebih baiknya juga melihat peristiwa-peristiwa dramatis yang akhirnya
harus merubah pola pikir dasar kita tentang Internal Audit.  Dalam kasus
penyalahgunaan di Lehman Brothers, peran Internal Audit juga akan
dipertanyakan, seandainya hanya berperan dalam sisi audit, tetapi tidak
pernah melihat dan menguji pilar-pilar pengendalian internal yang seharusnya
lebih didalami melalui sisi peran konsultatif,  verifikasi, pemantauan, dll.
Peran konsultan, mensyaratkan pentingnya kompetensi tehnis dari proses
kerja yang dilakukan oleh manajemen.   Tantangan  dunia tehnologi informasi
yang sangat cepat menjadi bagian dari pola kerja dan informasi bagi auditan
dan audite. Tidak bisa dibayangkan, bilamana peran sebagai pendamping,
asisten, sosialisasi bila  auditor tidak mengetahui secara pasti proses kerja
oleh manajemen. Yang muncul pasti, proses yang lebih mengedepankan 
kewenangan, yang ujung-ujungnya mencari-cari kesalahan.
Membangun Pengawasan Internal yang efektif adalah menjadi tugas bersama. 
Jangan sampai ada penolakan-penolakan dari  auditan karena yang ditemui
dari proses audit bukan sebuah solusi tetapi, tambahnya masalah-masalah
baru karena ketidakefektifan kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh APIP.
Memberikan keyakinan yang memadai bagi pihak luar, khususnya bagi
manajemen  adalah sebuah prioritas bagi APIP. Dan semuanya itu harus
dibangun dari nilai-nilai profesional, kejujuran dan mau selalu belajar dari
kesalahan.
Mari kita kembangkan APIP, khususnya Inspektorat Daerah agar semakin
efektif, mampu membangun kepercayaan publik dan diterima oleh manajemen
sebagai bagian dari problem solving. Sehingga Pemerintah dapat lebih Prestasi
seperti diantaranya Laporan Keuangan Pemerintah Daerah mendapat opini
WTP dari pengawasan eksternal yaitu BPK RI selaku akuntan publik, dapat
meningkatkan nilai Laporan Kinerja (LapKin) Pemerintah Daerah dari
Kemenpan RB. Demikian juga kita berharap tidak ada lagi penyelenggara
pemerintah yang masuk penjara karena perbuatan pidana/KKN. Semoga ya…
Sumber2
1. UU 23 Tahun 2014
2. PP 60 Tahun 2008
3. http://www.itjen.kemenkeu.go.id Penulis C.M. Susetya (Kepala Bagian
Umum Sekretariat Itjen)

APIP Berintegritas, Mendorong Pengawasan yang Berkualitas

Hingga memasuki tahun ke 15 (lima belas)sejak reformasi digulirkan,


perbaikan birokrasi pemerintah belum memperlihatkan tanda-tanda kemajuan
yang signifikan. Hal ini tercermin dari masih tingginya penyalahgunaan
kewenangan dalam bentuk korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), tidak
efisiennya organisasi pemerintahan di pusat dan daerah, rendahnya kualitas
pelayanan publik, dan lemahnya fungsi lembaga pengawasan sehingga banyak
kelemahan birokrasi yang belum menampakkan tanda-tanda dilakukannya
perbaikan. Kiranya tidak berlebihan jika Presiden menyatakan bahwa ”kinerja
birokrasi amburadul, sulit dikendalikan dan tidak memiliki inisiatif untuk
turut menyukseskan agenda negara”.
Peran birokrasi yang profesional, yang mampu menciptakan kondisi
yang kondusif dan mendukung terpenuhinya kebutuhan masyarakat agar
masyarakat mampu melakukan kegiatan lainnya secara mandiri belumlah
nampak. Salah satu penyebab ketidakprofesionalan tersebut adalah adanya
ketidakseimbangan antara kewenangan, hak dan tanggung jawab.
Ketidakseimbangan ini pada akhirnya mengakibatkan kecenderungan yang
tinggi di kalangan pegawai pemerintah untuk menyalahgunakan kewenangan
dan bersikap apatis atau tidak termotivasi dalam melaksanakan tugas dan
fungsinya. Oleh karena itu diperlukan berbagai upaya yang serius dan tegas
dalam mencoba memperbaiki birokrasi kita. Upaya tersebut sangat perlu
dilakukan agar birokrasi mampu keluar dari penyakit kronis KKN yang
diidapnya dalam semua tingkatan pemerintahan, pada hampir semua lini
lembaga dan pada hampir semua kegiatan.
Istilah reformasi secara populer digunakan sejak bangsa Indonesia
mengalami pergerakan menuju demokratisasi di segala bidang dengan
meninggalkan era Orde Baru. Semenjak itu, bangsa ini mengalami era baru,
salah satunya di bidang birokrasi yang dianggap banyak menyimpan
masalah. Hal yang sama juga menjadi tatanan baru di lingkungan
Kementerian Agama. Ada banyak hal yang harus dibenahi Kementerian Agama
agar birokrasi menjadi lebih baik menuju kepemerintahan yang baik dan
bersih (good government and clean governance), terpenting lagi bagaimana
menjadikan wilayah satuan kerja bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Reformasi birokrasi dilakukan untuk pembenahan praktik birokrasi
secara komprehensif menuju terwujudnya good governance. Dalam
menciptakan birokrasi pemerintah yang lebih efektif dan efisien bukan hanya
dari aspek organisasi, Sumber Daya Manusia (SDM), prosedur dan peraturan,
melainkan juga pembenahan dari aspek pengawasan dan akuntabilitas yang
dapat memberikan nilai tambah terhadap kualitas pelayanan publik.
Aparatur negara sebagai abdi masyarakat harus mampu melaksanakan
tugas dan fungsi yang diemban secara professional dan bertanggung jawab,
sehingga dapat memberikan pelayanan publik secara memuaskan.
Pembaharuan sistem manajemen pemerintahan, pendekatan dan strategi yang
dapat digunakan, antara lain:
a) Menciptakan pola dasar organisasi atau lembaga pemerintah (termasuk
unit pelaksana pelayanan publik);
b) Mengubah sistem manajemen kepegawaian dari manajemen
ketatausahaan ke manajemen SDM aparatur;
c) Menyederhanakan dan menyempurnakan ketatalaksanaan, sistem
prosedur dan mekanisme pelayanan publik;
d) Memperbaiki sistem pengelolaan barang milik negara;
e) Menyempurnakan sistem manajemen keuangan unit pelayanan publik;
f) Mengembangkan sistem pengawasan dan akuntabilitas kinerja aparatur.

Sasaran yang akan dicapai dalam pelaksanaan reformasi birokrasi


meliputi:
a) Kelembagaan/organisasi, yakni tepat fungsi dan tepat ukuran;
b) Budaya organisasi, yakni birokrasi dengan integritas dan kinerja yang
tinggi;
c) Ketatalaksanaan, yakni sistem proses dan prosedur kerja yang jelas,
efektif, efisien, terukur dan sesuai dengan prinsip-prinsip good
governance;
d) Regulasi dan deregulasi birokrasi, yakni regulasi yang tertib, tidak
tumpang tindih, berjalan secara kondusif; dan
e) SDM, yakni memiliki integritas, kompeten, professional, produktif dan
sejahtera.

Dalam rangka mewujudan pemerintahan yang baik, berdaya guna,


berhasil guna, bersih dan bebas dari KKN, serta bertanggung jawab di
lingkungan Kementerian Agama diperlukan adanya peningkatan pengawasan
terhadap aparatur negara. Pengawasan ini dapat dilakukan secara internal,
yaitu pengawasan oleh Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) yang
berkualitas dan profesional. Ini bertujuan untuk mengurangi praktik KKN di
lingkungan lingungan Kementerian Agama dan sangat berkaitan dengan upaya
untuk memulihkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah.
Untuk meningkatkan citra APIP, pola kerja profesional harus lebih
dikedepankan dengan mengembangkan sistem akuntabilitas kinerja birokrasi
pemerintah sebagai tolok ukur keberhasilan dan atau kegagalan pelaksanaan
tugas dan fungsi instansi pemerintah kepada masyarakat, dengan melakukan
pemantauan, evaluasi dan penilaian kinerja yang didasarkan atas
profesionalisme, etika dan moral APIP.
Dalam mewujudkan pemerintahan seperti itu tidak semudah
membalikkan telapak tangan. Tantangan tugas bagi seluruh aparat
pengawasan intern pemerintah (APIP) tidaklah ringan. Tugas APIP memerlukan
tenaga dan pemikiran tindakan serta ketegasan sikap secara sungguh-
sungguh. Konteks pemikiran ini tidak bisa lepas dengan proses filosofi. Jadi
para auditor berperan dalam tugas audit juga merumuskan filosofi audit itu
sendiri. Terhadap tugas audit ini sangat mutlak diperlukan pemikiran yang
cermat, teoritis, sistimatis, objektif, dan independen.
Menurut PP. 60 Tahun 2008 tentang SPIP, maka tugas pengawasan APIP
adalah melakukan audit kinerja dan audit dengan tujuan tertentu yang di
dalamnya adalah audit Investigasi. Satuan kerja (satker) di lingkungan
Kementerian Agama merupakan satker terbesar di dunia tidak hanya di
Indonesia karena sebanyak 4.474 satker. Sehingga APIP harus bisa
meningkatkan perbaikan ke semua satker baik pusat maupun daerah agar
Kementerian Agama bisa bebas dari KKN. Oleh karena itu, berbagai temuan
yang sifatnya berulang tahun dan tidak terdeteksi harus bisa diperbaiki dan
selalu diingatkan pada satker yang bersangkutan, karena fungsi pengawasan
harus memberikan masukan penyempurnaan dan tindakan koreksi. Perlu
disadari bahwa paradigma pengawasan dewasa ini menempatkan peran APIP
sebagai konsultan dan katalisator untuk membantu pihak manajemen
birokrasi pemerintah dalam mempercepat proses pencapaian instansi
pemerintahan.
Secara universal diakui bahwa pengawasan intern dan berperan dalam
mendorong perwujudan kepemerintahan yang baik (good governance) melalui
peningkatan akuntabilitas dan transparansi instansi pemerintah yang diawasi.
Pengawasan intern pemerintah merupakan alat pengawasan eksekutif. Ruang
lingkup pengawasan intern lebih luas daripada pengawasan ekstern yang
hanya melakukan pengawasan melalui kegiatan audit. Pengawasan intern
pemerintah merupakan salah satu unsur manajemen yang sangat penting
dalam penyelenggaraan pemerintahan. Tujuan utama pengawasan intern
adalah membantu pimpinan instansi pemerintah meningkatkan keberdayaan
institusi pemerintah melalui kegiatan pengawasan yang mampu memberikan
keyakinan/jaminan yang memadai bagi pencapaian kinerja pemerintah yang
telah ditetapkan, dalam rangka mewujudkan kepemerintahan yang baik.
Pengawasan intern pemerintah dilaksanakan melalui berbagai bentuk kegiatan
pengawasan yaitu audit, evaluasi, review, pemantauan, dan kegiatan kegiatan
asistensi, konsultasi serta sosialisasi tentang masalah masalah yang
berhubungan dengan sistem administrasi keuangan dan penyelenggaraan
pemerintahan. Dalam penyelenggaraan pengawasan intern, kegiatan kegiatan
di luar kegiatan audit mempunyai kedudukan dan manfaat yang sama
pentingnya dengan kegiatan kegiatan audit, karena seluruh kegiatan tersebut
bersifat membantu pimpinan instansi pemerintah dalam meningkatkan kinerja
organisasi.
Sebagai aparat pengawasan internal pemerintah, lnspektorat Jenderal
Kementerian Agama memiliki visi menjadi pengendali dan penjamin mutu
kinerja Kementerian Agama. Untuk mencapai visi tersebut dibutuhkan aparat
pengawas yang berintegritas, profesional, dan independen dalam menjalankan
tugas dan fungsinya. Profesionalitas dan independensi harus didukung dengan
peraturan dan pedoman yang memuat ketentuan ketentuan pokok
pengawasan intern dalam bentuk standar audit. Standar audit yang
dipedomani oleh para auditor akan berdampak pada kualitas hasil
pengawasan di lingkungan Kementerian Agama.
Pengawasan intern diarahkan untuk menciptakan penyelenggaraan
pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat yang bersih, transparan,
profesional, dan memiliki budaya kerja yang baik. Pemerintahan yang bersih di
lingkungan Kementerian Agama dapat diartikan sebagai institusi yang bebas
dari praktik KKN yang berpotensi merugikan masyarakat dan bangsa
Indonesia. Transparansi dalam kegiatan di lingkungan Kementerian Agama
merupakan wujud akuntabilitas publik yang diperlukan agar anggota
masyarakat dapat berpartisipasi secara aktif dalam mengawasi pelaksanaan
tugas, menciptakan kelancaran informasi dan komunikasi yang diperlukan
bagi efektivitas penyelenggaraan pemerint ahan dan pelayanan kepada
masyarakat di bidang keagamaan. Untuk itu diperlukan pemerintahan yang
profesional pada tataran aparaturnya, karena aparatur menempati garis depan
dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat.
Profesionalisme aparatur tersebut akan tercermin pada tingkat kinerja
aparatur dalam penyeleng garaan pemerintahan dan pelayanan kepada
masyarakat. Kinerja yang terpantau, terukur, dan selalu diperbaiki, lambat
laun akan menyatu dalam pelaksanaan tugas dan sikap perilaku aparatur,
sebagai pencerminan dari terbentuknya kerja yang baik dengan prinsip ikhlas
beramal.
Keberadaan APIP perlu ditetapkan dan diberdayakan secara tepat agar
dapat berperan secara  efektif dan efisien. Hal lain yang perlu dibangun dalam
penyelenggaraan lingkungan pengendalian  yang baik adalah menciptakan
hubungan kerja sama yang baik antara instansi pemerintah yang terkait. Agar
lembaga pengawasan intern dapat berperan secara efektif dan efisien, terdapat
dua faktor mendasar yang perlu dipenuhi yaitu: pertama, adanya standar
profesi kegiatan pengawasan intern yang diterima secara umum dan diakui
secara meluas dalam dunia pengawasan intern, dan kedua, adanya
lingkungan yang mendukung, yang meliputi : a) Dasar hukum yang
memberikan batasan tentang sistem, prinsip, dan fungsi pengawasan intern,
b) Sistem manajemen yang jelas dan berfungsi dengan baik pada objek  yang
diawasi, c) Independensi yang cukup, d) Mandat pengawasan yang jelas
meliputi ruang lingkup dan jenis kegiatan pengawasan, e) Supervisi atas
pelaksanaan tugas pengawasan.
Pengawasan intern mempunyai hubungan yang sangat erat dengan
pengendalian intern karena pengawasan intern merupakan bagian dari pengen
dalian intern instansi pemerintah yang bersifat menyeluruh. Pengawasan
intern diperlukan oleh pimpinan instansi pemerintah untuk memberikan
keyakinan bahwa sistem pengendalian intern di dalam instansi yang
dipimpinnya telah berjalan secara efektif. Lembaga pengawasan intern
melakukan evaluasi secara berkala maupun sewaktu-waktu terhadap
kehandalan dan efektivitas sistem pengendalian intern. Hasil evaluasi sistem
pengendalian intern di sampaikan kepada pimpinan instansi pemerintah serta
unsur unsur pimpinan lainnnya dalam instansi pemerintah yang dipandang
perlu untuk menindaklanjuti hasil evaluasi dan pengawasan tersebut. Hasil
pengawasan intern berman faat bagi pimpinan organisasi karena dapat
memberikan penilaian yang bersifat independen dan obyektif tentang
keandalan sistem pengendalian intern, tingkat pencapaian kinerja (efektivitas,
efisiensi, dankehematan), hambatan, kelemahan dan penyimpangan yang
mungkin terjadi dalam pelak sanaan kegiatan unit-unit kerja di bawahnya.
Apabila hasil pengawasan mengidentifikasikan adanya temuan-temuan
tersebut, pimpinan organisasi dapat mengambil tindakan korektif untuk
meyakinkan bahwa temuan-temuan tersebut tidak terulang lagi.
Dalam hal ini, pengawasan intern juga dapat berperan sebagai
katalisator dalam hal peningkatan kinerja organisasi, pemberi rekomendasi
yang berkesinambungan bagi perbaikan/peningkatan teknis pelaksanaan yang
sedang berjalan, pemberi masukan tentang perlunya mengganti/mengubah
pendekatan dalam kegiatan yang sedang berjalan, yang terbukti kurang
operasional atau sudah terlalu ketinggalan zaman.
Di era transparansi saat ini, peran APIP sangat strategis sebagai bagian
dari organisasi yang dapat membantu manajemen dalam meningkatkan
kinerja, terutama aspek pengendalian, di mana dalam perkembangannya telah
terjadi perubahan pandangan Profesi internal auditor dari paradigma baru
yang lebih mengedepankan peran sebagai konsultan. Ini diharapkan dapat
menciptakan komitmen APIP untuk meningkatkan kinerja pengawasan yang
mendorong tercapainya tujuan penyelenggaraan pemerintahan pusat maupun
daerah.
APIP harus dapat menyamakan persepsi dan menyatukan langkah
dalam menjalankan tugas sesuai fungsi dan perannya sebagai aparat
pengawasan intern. Tidak kalah pentingnya melaksanakan koordinasi dan
komunikasi yang baik antara aparat pengawasan dengan para SKPD (Satuan
Kereja Perangkat Daerah) untuk meningkatkan komitmen dan kesepahaman
bersama dari unsur pimpinan tingkat atas, sampai ke bawah dalam
memperbaiki tata kelola keuangan daerah sesuai ketentuan peraturan dan
perundang undangan yang berlaku.
Pengawasan intern pemerintah merupakan fungsi manajemen yang
penting dalam penyelenggaraan pemerintahan yang transparan, partisipatif,
dan akuntabel. Melalui pengawasan intern dapat diketahui apakah suatu
instansi pemerintah telah melaksanakan kegiatan sesusai dengan tugas dan
fungsinya secara efektif dan efisien, serta sesuai dengan rancana, kebijakan
yang telah ditetapkan. Selain itu, pengawasan intern atas penyelenggaraan
pemerintahan diperlukan untuk mendorong good governance dan clean
goverment dan mendukung penyelenggaraan pemerintahan yang efektif,
efisien, transparan, akuntabel, serta bersih dan bebas dari praktik korupsi,
kolusi, dan nepotisme.
Hasil kerja APIP diharapkan bermanfaat bagi pimpinan dan unit-unit
kerja serta pengguna lainnya untuk meningkatkan kinerja instansi
pemerintahan secara keseluruhan. Hasil kerja ini akan dapat digunakan
dengan penuh keyakinan jika pemakai jasa mengetahui dan mengakui tingkat
profesionalisme auditor yang bersangkutan. Untuk memastikan dan
memberikan jaminan yang memadai (quality assurance) apakah audit yang
dilaksanakan telah sesuai dengan standar yang telah ditetapkan maka perlu
dilakukan pengendalian mutu terhadap mutu audit yang dilakukan oleh APIP.
Dengan diikutinya standar tersebut, maka perencanaan, pelaksanaan dan
pelaporan audit akan memberikan hasil yang dapat diyakini validitas dan
keakuratannya.
Dengan adanya pengawasan intern melalui APIP diharapkan seluruh
sendi-sendi organisasi Kementerian Agama dapat berfungsi secara maksimal
sehingga terwujud tata kelola birokrasi Kementerian Agama yang profesional
berbasiskan semangat religi dan berslogan “Ikhlas Beramal”, bahwa bekerja
adalah ibadah. Hal ini dimaksudkan agar tugas Kementerian Agama yaitu
melakukan pembangunan di bidang agama terhadap kehidupan berbangsa
dan bernegara dapat diwujudkan. Selain itu, diharapkan seluruh aparatur
Kementerian Agama mampu menjadi tauladan sebagai aparatur negara yang
paling bersih dan bermoral serta paling taat dalam beragama.

APIP Sang Pengawas, Bukan Bagian Mata Rantai Korupsi


Meski Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
terhadap Bupati Pamekasan Achmad Syafii, Inspektur Kabupaten Pamekasan
Sutjipto Utomo, dan Kepala Kejaksaan Negeri Pamekasan Rudy Indra Prasetya
mendapat cibiran dari sejumlah pihak, ternyata ada beberapa hal menarik
yang dapat "dipetik" dari peristiwa OTT tersebut.

Salah satunya mengenai keterlibatan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah


(APIP) dalam dugaan penyuapan yang dilakukan Kepala Desa Dasok Agus
Mulyadi bersama-sama Bupati Pamekasan. Dari hasil OTT Rabu (2/8) lalu,
Sutijipto dan anak buahnya, Kepala Bagian Inspektur Kabupaten Pamekasan
Noer Solehhoddin juga ditetapkan sebagai tersangka.
Terkait adanya keterlibatan APIP dalam kasus ini, Wakil Ketua KPK Laode M
Syarif sangat menyesalkan. Ia mengatakan, Inspektorat merupakan
pengawasan internal pemerintahan daerah. Namun, mengapa orang-orang
yang seharusnya bertugas sebagai pengawas internal justru ikut menjadi mata
rantai dalam proses penyuapan? 

Untuk diketahui, pengawasan intern Kementerian/Lembaga ataupun


pemerintah daerah dilakukan oleh APIP. APIP sendiri terdiri dari Inspektorat
Jenderal Kementerian, Unit Pengawasan Lembaga Pemerintah Non
Kementerian, seperti Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP),
Inspektorat Provinsi, serta Inspektorat Kabupaten/Kota.
Sesuai ketentuan UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang
terakhir kali diubah dengan UU No.9 Tahun 2015, kepala daerah wajib
melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap perangkat daerah.
Dalam melakukan pembinaan dan pengawasan itu, kepala daerah dibantu
oleh Inspektorat Provinsi atau Inspektorat Kabupaten/Kota.

Lantas, bagaimana jika APIP bukannya membantu kepala daerah melakukan


pengawasan, tetapi ikut terlibat dalam mata rantai korupsi? Terlebih lagi,
tindak pidana korupsi dilakukan bersama-sama kepala daerah atau perangkat
daerah lain yang seharusnya diawasi? Kasus Pamekasan di atas, salah satu
contoh kasus teranyar yang ditangani KPK.

Sebelumnya, pada Mei lalu, KPK juga menangkap seorang APIP Kementerian.
KPK menduga Inspektur Jenderal Kementerian Desa, Pembangunan Daerah
Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) menyuap Auditor Utama Badan
Pemeriksa Keuangan Rochmadi Saptogiri agar Kemendes PDTT mendapatkan
predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).

Tidak hanya di KPK. Sekitar Juli 2016, Kejaksaan Negeri Mejayan pernah
menetapkan seorang APIP sebagai tersangka kasus korupsi. APIP dimaksud
adalah Inspektur Kabupaten Madiun Benny Adiwijaya. Beny diduga
menyalahgunakan anggaran Inspektorat Kabupaten Madiun yang sebelumnya
bernama Badan Pengawasan pada tahun anggaran 2012-2014.

Akibat perbuatan Benny, keuangan negara diduga dirugikan Rp2 miliar.


Berdasarkan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Surabaya,
Benny divonis empat tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsidair dua
bulan kurungan. Benny juga diwajibkan membayar uang pengganti Rp1,302
miliar subsidair dua tahun penjara.

Masih di tahun yang sama, pada Mei 2016, Kejaksaan Agung melakukan
penahanan terhadap Sekretaris Daerah Kabupaten Bengkalis Burhanuddin
dan Inspektur Kabupaten Bengkalis Mukhlis. Keduanya bersama-sama Bupati
Bengkalis periode 2010-2015, Herliyan Saleh diduga melakukan korupsi
dalam penyertaan modal pemerintah ke PT Bumi Laksana Jaya (BLJ).
Atas tindak pidana yang dilakukan tiga pejabat Kabupaten Bengkalis dan
Komisaris PT BLJ Ribut Susanto tersebut, kerugian keuangan negara ditaksir
Rp265 miliar. Alhasil, sesuai putusan Pengadilan Tipikor Pekanbaru, Herliyan
divonis enam tahun penjara, sedangkan Burhanuddin, Mukhlis, dan Ribut,
masing-masing divonis tiga tahun empat bulan penjara.
Terkait sejumlah kasus korupsi yang menjerat APIP, Guru Besar Ilmu
Pemerintahan Universitas Padjajaran Prof Nandang Alamsah Deliarnoor
berpendapat, kasus-kasus tersebut sebagai fenomena yang positif. Proses
hukum terhadap para APIP itu membuktikan bahwa check and balances
system telah berjalan.

"APIP juga harus dikontrol, KPK juga harus dikontrol. Ingat, power tend to
corrupt, absolut power tend to corrupt absolutely. Persoalannya, ada di mental
juga selain sistem," katanya kepada Hukumonline.

 Prof Nandang mengungkapkan, menurut Peter Carey, praktik Inggris terbebas


dari korupsi setelah melewati empat movement secara simultan. Pertama,
mendorong kemitraan pemerintah dengan publik-swasta. Kedua, membentuk
komisi khusus parlemen untuk memeriksa laporan keuangan negara. Ketiga,
meningkatkan upah pegawai negeri sipil termasuk hakim, dan keempat,
revolusi mental.

"Di Inggris semangat agama Protestan dan mazhab utilitarianisme yang sangat
berpengaruh," imbuhnya.
Walau begitu, ironis, mungkin kata yang tepat jika melihat kasus-kasus
korupsi yang menjerat para APIP. Padahal, pembentukan APIP sebagaimana
amanat Pasal 58 UU No.1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara,
dimaksudkan untuk meningkatkan kinerja, transparansi, dan akuntabilitas
pengelolaan keuangan negara.

Amanat ini dijawantahkan dalam Peraturan Pemerintah No.60 Tahun 2008


tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP). Pasal 48 ayat (2) PP
No.60 Tahun 2008 menyebutkan, APIP melakukan pengawasan intern
melalui : a. audit; b. reviu; c. evaluasi; d. pemantauan; dan e. kegiatan
pengawasan lainnya.
Pasal 49 PP No.60 Tahun 2008

(1) Aparat pengawasan intern pemerintah sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 48 ayat (1) terdiri atas :
a. BPKP;
b. Inspektorat Jenderal atau nama lain yang secara fungsional
melaksanakan pengawasan intern;
c. Inspektorat Provinsi; dan d. Inspektorat Kabupaten/Kota.

(2) BPKP melakukan pengawasan intern terhadap akuntabilitas


keuangan negara atas kegiatan tertentu yang meliputi :
a. kegiatan yang bersifat lintas sektoral;
b. kegiatan kebendaharaan umum negara berdasarkan penetapan
oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara; dan
c. kegiatan lain berdasarkan penugasan dari Presiden.
(3) Inspektorat Jenderal atau nama lain yang secara fungsional
melaksanakan pengawasan intern melakukan pengawasan
terhadap seluruh kegiatan dalam rangka penyelenggaraan tugas
dan fungsi kementerian negara/lembaga yang didanai dengan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

(4) Inspektorat Provinsi melakukan pengawasan terhadap seluruh


kegiatan dalam rangka penyelenggaraan tugas dan fungsi satuan
kerja perangkat daerah provinsi yang didanai dengan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah provinsi.

(5) Inspektorat Kabupaten/Kota melakukan pengawasan terhadap


seluruh kegiatan dalam rangka penyelenggaraan tugas dan fungsi
satuan kerja perangkat daerah kabupaten/kota yang didanai
dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
kabupaten/kota.
Kemudian, Pasal 16 ayat (2) PP No.12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan
Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah menegaskan, APIP
melaksanakan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah
berdasarkan prinsip-prinsip profesional, independen, objektif, serta
berorientasi pada perbaikan dan peringatan dini.

Tiga Opsi Kedudukan APIP

Sebagaimana diatur Pasal 1 PP No.60 Tahun 2008, BPKP merupakan APIP


yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden, sedangkan Inspektorat
Jenderal atau pengawas intern lembaga bertanggung jawab langsung kepada
menteri/pimpinan lembaga. Begitu pula dengan Inspektorat di daerah.
Inspektorat Provinsi dan Inspektorat Kabupaten/Kota, masing-masing
bertanggung jawab langsung kepada Gubernur dan Bupati/Walikota.
Mengingat struktur pertanggungjawaban APIP, sudah barang tentu
kedudukan APIP berada di bawah pimpinan negara, pimpinan
Kementerian/Lembaga, atau pimpinan daerah. Khusus untuk APIP di daerah,
posisi dan kedudukan APIP yang berada di bawah kepala daerah dianggap
berpotensi mengurangi independensi APIP.

Dilansir dari situs resmi Kementerian Pendayaangunaan Aparatur Negara dan


Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB), Sekretaris Deputi Bidang Reformasi
Birokrasi, Akuntabilitas Aparatur dan Pengawasan KemenPAN-RB Didid
Noordiatmoko menyatakan, peran dan fungsi APIP di daerah, terutama dalam
memberikan peringatan (early warning system) masih kurang optimal.
Salah satunya disebabkan oleh kedudukan dan peran APIP yang setara
dengan kepala dinas lainnya. Bahkan, kedudukan APIP yang berada di bawah
Sekretaris Daerah membuat peran APIP hanya sebagai pelengkap semata. Saat
ini, APIP hanya bertanggung jawab kepada kepala daerah. Hal ini tentu
membuat independensi APIP menjadi tidak optimal.
Karena itu, sambung Didid, KemenPAN-RB tengah melakukan upaya untuk
memperbaiki kebijakan tentang pengawasan, terutana terkait penguatan
peran APIP. "Kami akan mencoba memperbaiki kebijakan yang memungkinkan
kedudukan APIP lebih baik dan optimal,” ujarnya sebagaimana dikutip dari
situs KemenPAN-RB.

Lebih lanjut, Didid mengungkapkan, terdapat beberapa opsi dalam rangka


memperkuat peran APIP. Pertama, APIP di daerah akan bertanggung jawab
langsung kepada APIP pusat, sehinggga setiap potensi penyimpangan dapat
segera terdeteksi dan segera dilaporkan ke pusat. Dengan demikian, langkah-
langkah koreksi dapat secepatnya dilakukan.

Kedua, APIP menyampaikan laporan tidak hanya kepada kepala daerah, tetapi
juga kepada APIP pusat. Kedua opsi ini membutuhkan persyaratan agar
penempatan pimpinan APIP di masing-masing daerah, selain ditetapkan oleh
kepala daerah, harus disetujui pula oleh APIP nasional dengan mengacu pada
beberapa persyaratan profesional. Ketiga, opsi yang juga merupakan usulan
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) bersama KPK adalah APIP di Provinsi
diangkat oleh Mendagri, sedangkan di kabupaten/kota oleh Gubernur.

Dari ketiga opsi tersebut, memang kami akan menempatkan APIP untuk dapat
melakukan pengawasan  kepada Kepala Daerah secara langsung. Kami sedang
mengkaji berbagai opsi tersebut, mana yang paling efektif untuk
meningkatkan peran APIP,” imbuh Didid.

Di lain pihak, KPK juga telah melakukan koordinasi dan supervisi dalam
rangka penguatan APIP. Pada Mei 2017 lalu, Menteri Dalam Negeri Tjahjo
Kumolo mendatangi KPK untuk berkoordinasi terkait penguatan APIP. Tjahjo
berharap agar independensi, sumber daya manusia, dan tata kelola birokrasi
APIP di daerah dapat ditingkatkan.

Dikutip dari Laporan Tahunan KPK 2016, KPK telah memberikan rekomendasi
atas hasil koordinasi dan supervisi yang mereka lakukan. Salah satu sektor
yang dianggap harus dibenahi adalah penguatan APIP. Sebab, selama ini,
peran APIP yang seharusnya independen dan bisa menjadi pengawas
pemerintah daerah justru tidak berjalan.

Sebaliknya, APIP seolah-olah berada pada posisi “melindungi” jika pemerintah


daerah melakukan penyelewengan. Faktanya, hingga kini, KPK belum pernah
menerima laporan terkait dugaan tindak pidana korupsi dari APIP. Padahal,
sebagai pengawas, harusnya APIP yang terlebih dahulu mengetahui indikasi
tersebut.

Pada tahap awal penguatan APIP, KPK memberikan pelatihan bagi dua orang
auditor dari setiap inspektorat kabupaten/kota dan provinsi. Tujuannya, agar
para peserta nantinya bisa melakukan audit berdasarkan modul yang dibuat
BPK terkait penggunaan dana desa, proses pengadaan barang dan jasa, dan
pengantar audit investigasi.

Terkait penguatan APIP, Ketua Ombudsman periode 2011-2016, Danang


Girindrawardana pernah mengusulkan pembentukan "Kementerian
Pengawasan", menggantikan KemenPAN-RB. Kementerian ini akan
mengangkat dan bertanggung jawab terhadap fungsi inspektorat di seluruh
Kementerian/Lembaga dan daerah, sehingga APIP pun akan lebih independen
jika berhadapan dengan kekuasaan pimpinan Kementerian/Lembaga dan
daerah.
Namun, Kepala Pusat Penerangan Kemendagri Arief Mulya Edie berpendapat,
terlepas dari kasus dugaan korupsi yang terjadi beberapa waktu lalu di
Pamekasan, kedudukan APIP yang ada sekarang sudah ideal. Ia mengatakan,
meski berada dalam struktur Kementerian/Lembaga dan pemerintah daerah,
Inspektorat diberikan kewenangan untuk bersikap independen.
"Nah, kalau untuk berdiri sendiri, APIP itu banyak ya. Pengawas itu tidak
hanya dari Inspektorat. Ada Polri, ada Kejaksaan, ada juga LSM (Lembaga
Swadaya Masyarakat) yang mengawasi kinerja lembaga pemerintah. Ya
sebenarnya sudah ideal menurut saya karena kewenangan Inspektorat itu
juga independen. Dia tidak tidak terpengaruh oleh kepala daerah," tuturnya.
Menurut Arief, dengan independensi yang diberikan kepada APIP, APIP dapat
melakukan pencegahan sejak dini terhadap potensi penyimpangan
penggunaan anggaran. Salah satunya dengan cara pendampingan. "Dalam
artian, mengecek anggaran di mana penyimpangannya, di mana kesalahan
administrasinya. Kan ada APIP yang selalu mengecek. Tugas Inspektorat itu
kan membina, membetulkan yang salah," imbuhnya.

Peningkatan Kapabilitas APIP

Melihat fenomena keterlibatan APIP dalam "mata rantai" korupsi, Kepala Biro
Hukum dan Humas BPKP Syaifudin Tagamal mengatakan, pimpinan
Kementerian/Lembaga maupun pemerintah daerah
merupakan shareholders APIP. Jadi, untuk meningkatkan kapabilitas APIP,
diperlukan dukungan dan komitmen dari seluruh shareholders, serta
pimpinan APIP itu sendiri.

"Mengingat terdapat tiga variabel utama yang mempengaruhi kapabilitas APIP,


yaitu aktivitas audit internal, lingkungan organisasi di mana unit audit
internal bernaung, dan lingkungan sektor publik di suatu
negara/pemerintahan, kalau ternyata ada oknum APIP yang melakukan
perbuatan yang dilarang hukum, berarti APIP tersebut belum konsisten
menerapkan lingkungan pengendalian sebagai salah satu unsur SPIP,"
terangnya kepada Hukumonline.

Sebagaimana diketahui, Kepala BPKP telah menerbitkan Peraturan No.6


Tahun 2015 tentang Grand Design Peningkatan Kapabilitas Aparat Pengawas
Intern Pemerintah Tahun 2015-2019. Peningkatan kapabilitas APIP itu sesuai
dengan arahan Presiden dan untuk memenuhi Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019.

Dikutip dari Lampiran Peraturan Kepala BPKP No.6 Tahun 2015, pemerintah
melalui RPJMN 2015-2019 telah mentargetkan kapabilitas APIP di tahun 2019
berada pada level 3 dari skor level 1-5 sesuai kriteria penilaian internasional.
Sementara, kondisi tingkat kapabilitas APIP peraturan ini dibuat sebagian
besar masih berada pada level 1.

Pada level demikian, terdapat risiko APIP tidak dapat secara optimal
memberikan nilai tambah dari kontribusi di bidang pengawasan intern bagi
keberhasilan penyelenggaraan kegiatan pemerintahan. Begitu juga dengan
hasil penilaian tingkat kapabilitas 474 APIP pada K/L/D yang dilakukan oleh
BPK per 31 Desember 2014, menunjukan sebanyak 404 APIP atau 85,23
persen berada pada level 1, 69 APIP atau 14,56% berada pada level 2, dan
baru satu APIP atau 0,21% yang berada pada level 3.

Demi mewujudkan kapabilitas APIP yang berkelas dunia, setidaknya


kapabilitas APIP berada pada level 3 pada 2019. Hal ini selaras dengan Visi
Reformasi Birokrasi Tahun 2010-2025 (Peraturan Presiden No.81 Tahun 2010)
yang menghendaki terwujudnya pemerintahan berkelas dunia, di mana
perubahan pada area pengawasan bertujuan untuk mewujudkan
pemerintahan yang bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN)
menuju clean government.

Untuk mewujudkan hal tersebut, pemerintahan di era Presiden Joko Widodo


juga mengeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No.76 Tahun 2017
tentang Kebijakan Pengawasan di Lingkungan Kemendagri dan
Penyelenggaraan Pemerintah Daerah Tahun 2017. Peraturan ini menggariskan
empat tujuan kebijakan pengawasan di lingkungan Kemendagri dan
Penyelenggaraan Pemerintah Daerah tahun 2017. 

Pasal 3 Permendagri No. 76 Tahun 2017 menyebutkan, "tujuan Kebijakan


Pengawasan di Lingkungan Kementerian Dalam Negeri dan Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah Tahun 2017 untuk:

a. Meningkatkan kualitas pengawasan internal di lingkungan Kementerian


Dalam Negeri;
b. Mensinergikan pengawasan yang dilakukan oleh Kementerian/Lembaga
Pemerintah Non Kementerian, Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat,
Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota terhadap
penyelenggaraan pemerintahan daerah;dan

c. Meningkatkan penjaminanmutu atas penyelenggaraan pemerintahan; dan

d. Meningkatkan kepercayaan masyarakat atas pengawasan APIP."


Peningkatan Kapabilitas APIP Jamin Pengendalian Intern Yang Efektif

sistem pengendalian intern yang diselenggarakan secara menyeluruh di lingkungan


pemerintah sesuai dengan peraturan pemerintah No 60 tahun 2008 tentang sistem
pengendalian intern pemerintah adalah proses integral pada tindakan dan kegiatan
yang dilakukan secara terus menerus oleh pimpinan dan seluruh pegawai.

“Untuk memberikan keyakinan memadai atas tercapainya tujuan organisasi


melalui kegiatan yang efektif dan efisien, keandalan pelaporan keuangan,
pengamanan aset negara dan ketaatan terhadap peraturan perundang
undangan,” ujar Gubsu didampingi inspektur Provsu Dr H OK Hendry MSi.

dengan hadirnya peraturan pemerintah ini mewajibkan menteri/pimpinan


lembaga, gubernur dan bupati/walikota untuk melakukan pengendalian
terhadap penyelenggaraan kegiatan pemerintahannya.

“Peran inspektorat daerah diharapkan dapat menjamin agar penyelenggaraan


pemerintahan daerah dilaksanakan secara tertib, efisien dan efektif sesuai
dengan rencana dan ketentuan peraturan perundang-undangan dan juga
mendorong terwujudnya pemerintahan yang baik bersih dan bebas dari
penyimpangan dan penyalahgunaan kekuasaan serta praktik praktik korupsi
kolusi dan nepotisme. Karena itu perlu dilakukan peningkatan kapabilitas
APIP untuk menjamin terlaksananya pengendalian intern yang efektif,”
ujarnya.

dengan perubahan paradigma pengawasan bahwa inspektorat daerah selaku


APIP tidak lagi mencari cari kesalahan. Tetapi berperan sebagai konsultan,
fasilitator dan early warning system (sistem peringatan dini). Sehingga
penyimpangan dan kesalahan dapat segera terdeteksi dan dihindari.

Apabila terdapat permasalahan, inspektorat daerah dapat mengklarifikasi


terlebih dahulu melalui audit, reviw maupun evaluasi. Sehingga dapat
diketahui apakah permasalahan tersebut dalam ranah administrasi ataupun
pidana.
”Sesuai arahan Bapak Presiden Joko Widodo dan target yang tertuang dalam
rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) 2015-2019
kapabilitas APIP di tahun 2019 wajib berada di level III atau 85% APIP sudah
berada di level III. Oleh karena itu, sosialisasi ini menjadi momentum dan
komitmen bersama dalam rangka peningkatan level kapabilitas APIP pada
pemerintah daerah.

Anda mungkin juga menyukai