Anda di halaman 1dari 24

RESPONSI

Systemic Lupus Eritematosus

Oleh:

Arika Latashia 180070200011115

Adolf Gideon 180070200011069

Maria Evelyn S. 180070200011078

Pembimbing:

dr. Perdana Aditya, SpPD

DEPARTEMEN/SMF ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH Dr. SAIFUL ANWAR

MALANG

2019

1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Systemic lupus erythematosus (SLE) atau yang akrab dikenal dengan


Lupus Eritematosus Sistemik merupakan penyakit autoimun kronis dengan
etiologi yang belum diketahui secara pasti serta memiliki manifestasi klinis,
perjalanan penyakit dan prognosis yang beragam tetapi dapat menyebabkan
inflamasi pada banyak target anggota tubuh (CDC, 2018). Penyakit ini
terutama menyerang wanita usia reproduksi dengan angka kematian yang
cukup tinggi. Faktor genetik, imunologik dan hormonal serta lingkungan
diduga berperan dalam patofisiologi SLE. (Tassiulas, et al., 2009)

Insiden SLE di setiap Negara berbeda-beda, suatu studi sistemik di


Asia Pasifik memperlihatkan data insidensi sebesar 0.9-3.1 per 100.000
populasi/tahun. The Lupus Foundation of America memperkirakan sekitar 1,5
juta kasus terjadi di Amerika dan setidaknya lima juta kasus di dunia. Di
Indonesia, dari 858 rumah sakit yang melaporkan datanya, terdapat 2.166
pasien rawat inap yang didiagnosis penyakit lupus, dengan 550 pasien atau
25% diantaranya meninggal dunia pada tahun 2016 (Kemenkes, 2017).

Manifestasi klinis SLE sangat luas, meliputi keterlibatan kulit dan


mukosa, sendi, darah, jantung, paru, ginjal, susunan saraf pusat (SSP) dan
sistem imun. Pada tahun-tahun pertama mortalitas SLE berkaitan dengan
aktivitas penyakit dan infeksi (termasuk infeksi M. tuberculosis, virus, jamu
dan protozoa, sedangkan dalam jangka panjang berkaitan dengan penyakit
vaskular aterosklerosis (Cervera, et al., 2003; CDC, 2018).

Oleh karena itu, melihat meningkatnya kasus ini di masyarakat bahkan


muncul dikalangan laki-laki dan cukup banyak kasus ini di RSUD Saiful Anwar
Malang, maka penulis tertarik untuk membahas lebih lanjut mengenai penyakit
autoimun yang cukup unik dan berat dengan berbagai macam manifestasi
klinis ini. Penulisan makalah ini juga untuk membantu meningkatkan
kesadaran akan kasus-kasus SLE di masyarakat yang masih tidak
terdiagnosis karena manifestasi klinis yang kurang jelas.

2
BAB II

LAPORAN KASUS
2.1 Identitas Penderita

Nama : Ny. Waziatul Wauza


Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 27 tahun
Alamat : Dusun Kudu RT3/RW1 Tempuran Pasrepan
Pasuruan
Agama : Islam
Suku : Jawa
Pekerjaan : Petani
Status : Menikah
No register : 11448061
Ruang diawat : Ruang Rawat Inap 28 RSUD Saiful Anwar Malang

2.2 Anamnesis
 Keluhan Utama :
 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang karena timbul ruam kulit kemerahan di perut, kedua
betis, kedua lengan atas, punggung sejak 1 minggu SMRS. Ruam tidak
nyeri dan tidak gatal.
Pasien merasa lebih mudah lelah sejak 1 bulan lalu dan didapatkan
penurunan aktivitas ringan.
Demam hilang timbul setiap sore hari sejak 10 hari lalu.
Nyeri sendi di kedua lutut, jari telunjuk dan jari tengah kiri, jari
telunjuk kanan sejak 1 tahun lalu. Nyeri hilang timbul, muncul terutama
ketika digerakkan. Pasien merasakan kesulitan beraktivitas terutama
karena nyeri pada lututnya.
Batuk tidak berdahak hilang timbul sejak 3 hari lalu timbul hanya
sesekali saja dan tidak mengganggu.
Riwayat sering mimisan, mimisan terakhir sebanyak kurang lebih 20
ml dari lubang hidung kiri dan terdiagnosis demam berdarah sejak 3
tahun lalu.

3
Penurunan berat badan (-), sariawan (-), rambut rontok (-), merah
dan perih pada wajah ketika terkena sinar matahari (-).

 Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat sering mimisan, terakhir mimisan kurang lebih 20 ml dari
lubang hidung kiri dan terdiagnosa demam berdarah 3 tahun yang lalu.

 Riwayat Penyakit Keluarga


Keluarga pasien dengan keluhan serupa (-)
 Riwayat Sosial
Pekerjaan pertani, baru menikah dan belum memiliki anak.
 Tinjauan Sistemik
Lelah (+), mual (-), muntah (-), nyeri perut (-) kesemutan (-),
penurunan berat badan (-), gangguan BAK dan BAB (-).

2.3 Pemeriksaan Fisik

Keadaan  GCS 456


Umum  Kesan gizi cukup (BB=55, TB=155, IMT=22,89)
 Wajah anemis, tidak dismorfik, tidak ikterik, tidak
sianosis, dan tidak edema
 Kulit berwarna sawo matang, tidak pucat, tidak biru, tidak
ikterus
 Pakaian dan higienitas cukup baik
Tanda-tanda Tekanan darah : 120/70mmHg
Vital Denyut jantung : 68 kali/menit, reguler, kuat angkat
Laju napas : 20 kali/menit, reguler, spontan
Suhu aksila : 35,9 0C
Saturasi Oksigen : 99% Room Air

Kepala/leher Konjungtiva anemis (+)

Thorax Dalam batas normal

Cor Dalam batas normal

Abdomen Terdapat ptekie, purpura, dan ekimosis

Ekstremitas Pemeriksaan Atas Bawah

4
Kanan Kiri Kanan Kiri

Akral Hangat Hangat Hangat Hangat


kering kering kering kering

Anemis - - - -

Ikterik - - - -

Edema - - + pada -
lutut

Sianosis - - - -

Petekie + + + +

Purpura + + - -

Ekimosis - - - -

Waktu < 2 detik < 2 detik < 2 detik < 2 detik


pengisian
kapiler

Tonus otot Normal

Laboratorium (25/7/2019)

Laboratorium Hasil Kisaran Normal Unit

Hb 8,80 11,4-15,1 g/dL

Leukosit 12,07 4.7-11,3 /µL

Hematokrit 27,70 38-42 %

Thrombosit 4.000 142.000-424.000 /µL

MCV 79,40 80-93 fL

MCH 25,20 27-31 Pg

MCHC 31,80 32-36 g/dL

Hitung Jenis 0,0/0,1/86,6/9,8/3,5 0-4/0-1/51-67/25-33/2-5 %

Natrium 139 136-145 mmol/L

Kalium 2,96 3,5-5,0 mmol/L

Klorida 105 98-106 mmol/L

5
Laboratorium (24/7/2019)

Laboratorium Hasil Kisaran Normal Unit

Bilirubin total 0,74 <1 mg/dL

Bilirubin direk 0,31 <0,25 mg/dL

Bilirubin indirek 0,43 <0,75 mg/dL

SGOT 16 0-32 u/L

SGPT 6 0-33 u/L

LDH 937 240-480 u/L

Ureum 18,6 16,6-48,5 mg/dL

Kreatinin 0,77 <1,2 mg/dL

Tes ANA 2,3 <1 (negatif)

Urinalisis (25/7/2019)

6
7
Laboratorium Hasil Kisaran Normal Unit

Kekeruhan Agak Keruh

Warna Kuning

pH 7,0 4,5 – 8,0

Berat Jenis 1,020 1,005 – 1,030

Glukosa Negatif Negatif

Protein +2 Negatif

Keton Negatif Negatif

Bilirubin Negatif Negatif

Urobilinogen 16 < 17 mmol/L

Nitrit Negatif Negatif

Leukosit Negatif Negatif

Darah +3 Negatif

10 x

Epitel 4,1 ≤3 LPK

Silinder Negatif Negatif LPK

40 x

Eritrosit 886,1 ≤3 LPB

Eumorfik 98 %

Dismorfik 2 %

Leukosit 11,8 ≤5 LPB

Kristal - ≤5 LPB

Bakteri 278,9 ≤ 93 103/ml

Lain lain - - -

8
2.5 Problem Oriented Medical Record

Cue and Clue Problem List Initial Planning Planning Therapy Planning Planning
Diagosis Diagnosis Monitoring Education

Wanita / 27th/ R. 28 1. SLE Profil Non Farmakologi  Keluhan Menjelaskan


derajat lipid subjektif kepada pasien
- Purpura di perut, betis, - Bedrest
 Tanda- dan kelurga
lengan, punggung sejak Albumin
berat, tanda vital mengenai
1 minggu MRS Farmakologi
MEX Fungsi /15 menit penyakitnya,
- Mudah lelah
SLED hati - Pulse  GDS pre terapi yang
- Demam hilang timbul
AI metilprednisolo dan post sedang dan akan
- Nyeri sendi pada lutut dilakukan.
13 n 500 mg habis pulse
dan jari telunjuk.
dalam 1 jam metilpred
- Riwayat mimisan,
selama 3 hari nisolon
terdiagnosis demam Menjelaskan
- Lanjut PO
berdarah. terapi yang akan
dengan
metilprednisolo kita berikan,
Pem. Fisik: n 3x8mg tindakan, yang
- PO AZA akan dilakukan
- Konjungtiva anemis (+)
2x50mg pada pd pasien ini.
- Abdomen: ptekie,
hari ke-4

9
purpura, ekimosis - Chloroquine
- Ekstremitas: 1x250mg
Menjelaskan ttg
 Ptekie, purpura 
prognosis, serta
Brachii, regio tibia,
komplikasi yang
betis.
dapat terjadi.
 Nyeri (+) pada
squeeze test, gerak
aktif, gerak pasif 
kedua sendi lutut, jari
1 sinistra (PIP dan
DIP) dan dextra (PIP)

Lab :

Hb = 8,80 g/dL ()

MCV = 79,40 ()

MCH = 25,20 ()

PLT = 4.000/µL ()

Limfosit = 9,8% (1.182) ()

ANA Test: 2,3 (positif)

10
K+ = 2,98

Urinalisis:

Proteinuria 2+

Eritrosit 886,1 LPB ()

Wanita / 27th/ R. 28 2. Severe 2.1. ITP Blood Non Farmakologi


trombosito smear  Keluhan
- Ruam kemerahan di - Bedrest Menjelaskan
penia subjektif
perut, betis, lengan, kepada pasien
(tanda
punggung sejak 1 Farmakologi dan kelurga
perdaraha
minggu SMRS mengenai
- Tranfusi TC n)
penyakitnya,
sampai target  DL (PLT
Pemeriksaan Fisik : terapi yang
PLT 20.000 post
sedang dan akan
- Abdomen: ptekie, atau tanda koreksi)
dilakukan.
perdarahan

11
purpura, ekimosis berhenti
- Ekstremitas (brachii,
Menjelaskan
tulang kering, betis):
terapi yang akan
ptekie, purpura
kita berikan,
Lab : tindakan, yang
akan dilakukan
PLT 4000//µL
pd pasien ini.

Menjelaskan ttg
prognosis, serta
komplikasi yang
dapat terjadi.

Wanita / 27th/ R. 28 3. Anemia a. Anemi Reticulosit Non Farmakologi - Tanda Menjelaskan


hipokrom a count Vital tentang penyakit,
- Mudah merasa lelah - Bed rest
mikrositer chronic - Subjektif penyebab dan
- Treat
diseas management
Pemeriksaan Fisik : underlying
e dt. penyakit
disease
- Konjungtiva anemis SLE

(+)

12
Laboratorium :

- Hb 8.8 g/dL ()


- MCV 79.40 fL ()
- MCH 25.20 Pg ()

13
BAB III
PEMBAHASAN

Pasien wanita usia reproduksi datang dengan gejala mudah merasa lelah,
demam, atralgia, purpura dan dilakukan beberapa pemeriksan laboratorium
dengan hasil proteinuria, anemia, limfostipenia, dan trombositopenia dan
kecurigaan mengarah pada lupus. Lupus adalah penyakit inflamasi kronis
sistemik yang disebabkan oleh sistem kekebalan tubuh yang keliru sehingga
mulai menyerang jaringan dan organ tubuh sendiri. Penyebab kondisi autoimun
pada lupus belum diketahui. Inflamasi akibat lupus dapat menyerang berbagai
bagian tubuh, misalnya kulit, sendi, sel darah, paru-paru, jantung sehingga
manifestasi yang ditimbulkan beragam hal ini sesuai dengan kondisi pasien
(Rekomendasi Lupus, 2011); Kemenkes RI, 2017). Kewaspadaan akan penyakit
SLE perlu dipikirkan bila dijumpai 2 (dua) atau lebih kriteria sebagaimana
tercantum di bawah ini, yaitu:
1. Wanita muda dengan keterlibatan dua organ atau lebih.
2. Gejala konstitusional: kelelahan, demam (tanpa bukti infeksi) dan penurunan
berat badan.
3. Muskuloskeletal: artritis, artralgia, miositis
4. Kulit: ruam kupu-kupu (butterfly atau malar rash), fotosensitivitas, lesi
membrana mukosa, alopesia, fenomena Raynaud, purpura, urtikaria,
vaskulitis.
5. Ginjal: hematuria, proteinuria, silinderuria, sindroma nefrotik.
6. Gastrointestinal: mual, muntah, nyeri abdomen
7. Paru-paru: pleurisy, hipertensi pulmonal,lesi parenkhim paru.
8. Jantung: perikarditis, endokarditis, miokarditis.
9. Retikulo-endotel: organomegali (limfadenopati, splenomegali, hepatomegaly).
10. Hematologi: anemia, leukopenia, dan trombositopenia.
11. Neuropsikiatri: psikosis, kejang, sindroma otak organik, mielitis transversus,
gangguan kognitif neuropati kranial dan perifer.

14
Sesuai dengan teori diatas karena ditemukan lebih dari 2 kriteria kewaspadaan pada
pasien baik dari pemeriksaan fisik maupun laboratorium maka dilakukan
pemeriksaan lanjutan.

Diagnosis SLE ditegakkan berdasarkan kriteria EULAR 2019

15
Menurut EULAR 2019, riwayat titer ANA positif ≥ 1:80 diperlukan untuk
memasukkan pasien ke dalam klasifikasi LES. Pada pasien ini tes ANA positif
dan didapatkan skor ≥ 10 (yaitu 12) sehingga ditegakkan diagnosis SLE.
Pada penyakit LES dapat menimbulkan manifestasi klinis hampir pada
seluruh organ. Adapun manifestasi klinis pada pasien ini melibatkan sistem
muskuloskeletal berupa artralgia pada kedua sendi lutut, sendi PIP dan DIP jari 1
sinistra, serta sendi PIP jari 1 dextra. Nyeri dirasakan sepanjang hari dan
menetap, serta memberat saat aktivitas. Berdasarkan teori, nyeri sendi pada
pasien SLE umumnya dirasakan di jari tangan dan kaki, bersifat asimetris,
berpindah-pindah, tidak sebanding dengan pembengkakan sendi, dan disertai
kekakuan di pagi hari selama 30 menit atau lebih (REKOMENDASI LUPUS 2019)
Manifestasi lainnya berupa keterlibatan sistem hematologi, dimana
didapatkan anemia, limfopenia, dan trombositopenia dengan dugaan mengarah
pada PTI. Purpura Trombositopenia Imun (PTI) adalah suatu gangguan autoimun
ditandai dengan trombositopenia yang menetap (angka trombosit darah perifer
<150.000/mL). Autoantibodi yang mengikat antigen trombosit menyebabkan
destruksi prematur trombosit dalam sistem retikuloendotel terutama di limpa.
Berdasarkan etiologi, PTI dibagi menjadi 2 yaitu primer (idiopatik) dan sekunder.
Pada pasien, diduga mengalami PTI sekunder karena penyakit LES (Papdi,
2014).
Pada pasien juga ditemukan proteinuria +2 yang mengarah pada gangguan
renal awal. Sesuai teori, kriteria penggolongan pasien nefritis lupus jika
didapatkan proteinuria menetap >0,5 gram/hari atau >+3 (ACR, 1997). Selain itu,
pada pasien ini ditemukan kondisi hipokalemia. Berdasarkan sabathine ed 6th
Pada pasien LES dengan gangguan renal yang GFRnya normal disertai turun
ekskresi kalium, hal ini berlawanan dengan kondisi pasien yang mengalami
peningkatan kalium

16
3.1 Derajat Berat Ringannya Penyakit SLE

Tabel 1.3 Kriteria Tatalaksana LES Nonrenal Berdasarkan Derajatnya (IRA, 2019)

Pada pasien ini didapatkan nilai skor MEX-SLEDAI lebih dari 10, yang dapat
diklasifikasikan sebagai SLE berat. Skor tersebut akan dibahas lebih lanjut pada
subab dibawah ini.

3.2 Penilaian Aktivitas Penyakit SLE

17
Perjalanan penyakit SLE yang ditandai dengan eksaserbasi dan remisi, memerlukan
pemantauan yang ketat akan aktivitas penyakitnya. Dianjurkan untuk menggunakan

MEX-SLEDAI atau SLEDAI. MEX-SLEDAI lebih mudah diterapkan pada pusat


kesehatan primer yang jauh dari tersedianya fasilitas laboratorium canggih (PRI,
2011).

18
Tabel 1.2 Penilaian Aktivitas Penyakit SLE Menggunakan MEX-SLEDAI (PRI, 2011)

Pada pasien ini didapatkan skor mex sledai 13 yang tediri dari
gangguan ginjal (6), hemolisis (3), trombostopenia, artritis (2), demam (1),
fatigue, dan limfopenia (1).

3.3 Penatalaksanaan
Tujuan dari tatalaksana SLE yaitu meningkatkan kualitas hidup pasien SLE
melalui pengenalan dini, mendapatkan masa remisi yang panjang, menurunkan
aktivitas penyakit seringan mungkin, mengurangi rasa nyeri dan memelihara
fungsi organ agar aktivitas hidup keseharian tetap baik guna mencapai kualitas
hidup yang optimal. Pilar pengobatan SLE ini dilakukan secara bersamaan dan
berkesinambungan agar tujuan pengobatan tercapai. Pilar Pengobatan Lupus
Eritematosus Sistemik antara lain: (1) Edukasi dan konseling , (2) Program
rehabilitasi, dan (3) Pengobatan medikamentosa (OAINS, anti malaria, steroid,
imunosupresan / sitotoksik ataupun terapi lainnya)

3.7.1 Edukasi dan Konseling


Pada dasarnya pasien SLE memerlukan informasi yang benar dan dukungan
dari sekitarnya agar dapat hidup mandiri. Informasi tersebut antara lain mengenai
penjelasan tentang apa itu lupus dan penyebabnya, perjalanan penyakit SLE,
aktivitas fisik yang dapat dilakukan, perlunya mengurangi atau mencegah
kekambuhan. Pasien perlu dijelaskan pula untuk mengatur dietnya agar tidak
kelebihan berat badan, osteoporosis maupun dislipidemia (PRI, 2011).

19
3.7.2 Program Rehabilitasi
Terdapat berbagai modalitas yang dapat diberikan pada pasien dengan SLE
tergantung maksud dan tujuan dari program ini. Salah satu hal yang penting
adalah pemahamannya akan turunnya masa otot hingga 30% jika pasien SLE
dalam kondisi immobilitas selama 2 minggu. Berbagai latihan diperlukan untuk
mempertahankan kestabilan sendi dan juga untuk mempertahankan masa otot
serta kekuatan otot pada pasien SLE (IRA, 2011).

3.7.3 Terapi Medikamentosa


Kortikosteroid digunakan sebagai pengobatan utama pada pasien dengan
SLE. Karena tingginya potensi efek samping, maka dosis kortikosteroid mulai
dikurangi segera setelah penyakitnya terkontrol. Tapering tergantung dari
penyakit dan aktivitas penyakit, dosis dan lama terapi, serta respon klinis, untuk
tapering dosis prednison lebih dari 40 mg sehari maka dapat dilakukan penurunan
5-10 mg setiap 1-2 minggu. Diikuti dengan penurunan 5 mg setiap 1-2 minggu
pada dosis antara 40-20 mg/hari. Selanjutnya diturunkan 1-2,5 mg/hari setiap 2-3
minggu bila dosis prednison < 20 mg/hari. Selanjutnya dipertahankan dalam dosis
rendah untuk mengontrol aktivitas penyakit (Hoes, et al., 2007).

20
Gambar 2.1 Algoritma penatalaksanaan SLE sesuai dengan tingkat keparahan
manifestasinya (IRA, 2019)

Pada pasien yang tergolong SLE berat, diberikan pengobatan awal sesuai
dengan guideline terbaru yaitu diberikan pulse metilprednisolon 500-750 gram iv
selama 3 hari dilanjutkan metilprednisolon PO 3x8mg , AZA juga diberikan sebanyak
2x50mg PO pada hari ke-4 , dan chloroquine 1x250mg.

21
BAB IV
KESIMPULAN

Lupus eritematosus sistemik atau yang biasa dikenal dengan systemic lupus
erythematosus (SLE) merupakan penyakit inflamasi autoimun kronis dengan etiologi
yang belum diketahui secara pasti serta memiliki manifestasi klinis, perjalanan
penyakit dan prognosis yang beragam. Gejala yang paling umum biasanya meliputi
demam, malaise, atralgia, myalgia, sakit kepala, penurunan nafsu makan dan
penurunan berat badan. Kadang didapatkan juga gejala-gejala khas SLE pada
pasien

Prevalensi di Indonesia, dari 858 rumah sakit yang melaporkan datanya,


terdapat 2.166 pasien rawat inap yang didiagnosis penyakit lupus, dengan 550
pasien atau 25% diantaranya meninggal dunia pada tahun 2016. Presentasi
penyakit bervariasi tergantung etiologi, usia, dan keadaan klinis. Penyakit SLE
dikategorikan ringan, sedang, berat sampai mengancam nyawa.

Pasien ini terdiagnosa SLE saat MRS di RSSA, dengan hasil ANA tes positif
dan keterlibatan beberapa organ. Lupus tersebut menyebabkan gangguan aktivitas
pada kehidupan pasien. Tujuan pengobatan SLE adalah mendapatkan masa remisi
yang panjang, menurunkan aktivitas penyakit seringan mungkin, mengurangi rasa
nyeri dan memelihara fungsi organ agar aktivitas hidup keseharian tetap baik guna
mencapai kualitas hidup yang optimal. Pilar Pengobatan Lupus Eritematosus
Sistemik antara lain edukasi dan konseling, program rehabilitasi, dan pengobatan
medikamentosa.

22
DAFTAR PUSTAKA

American College of Rheumatology Ad Hoc Committee on systemic lupus


erythematosus guidelines. Arthritis Rheum 1999;42(9):1785-96

Hahn BH, Tsao BP – Pathogenesis of systemic lupus erythematosus. In: Firestein


GS, Budd RC, Harris ED Jr., et al., eds. Kelley’s Textbook of
Rheumatology.8th ed. Philadelphia, Pa: Saunders Elsevier; 2008:chap 74

Bertsias G, Cervera R, Boumpas D. EULAR Systemic Lupus Erythematosus. Ann


Rheum Dis, 2012; 20: 476-505

Kemenkes RI, SIRS Online, 2017

Nieman LK, Kovacs W, Pharmacologic use of glucocorticoid. UpToDate 2010

Ntali S, Tzabakakis M, Bertsias G, Boumpas DT. What’s new in clinical trials in


lupus. Int J Clin Rheum. 2009;4(4):473-485.

PAPDI, Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia untuk Diagnosis dan


Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik, 2011.

Perhimpunan SLE Indonesia, Data On SLE, 2017

Petri M – Monitoring systemic lupus erythematosus in standard clinical care. Best


Pract Res Clin Rheumatol 2007; 21: 887-897

Tassiulas IO, Boumpas DT. Clinical features and treatment of SLE. In: Firestein GS,
Budd RC,

Teichmann LL, Ols ML, Kashgarian M, Reizis B, Kaplan DH, Shlomchik MJ.
Dendritic cells in lupus are not required for activation of T and B cells but
promote their expansion, resulting in tissue damage. Immunity. 2010; 33:967–
978. [PubMed: 21167752] Dendritic cells surprisingly play a major role in
expansion of both autoreactive T and B cells in murine lupus.

23
24

Anda mungkin juga menyukai