LN Char6021 01 R0
LN Char6021 01 R0
Week 1
1
Materi ini merupakan sintesis antara Antonius Atosokhi Gea, Noor Rachmat dan Antonia Wulandari (2004).
CB III: Relasi dengan Tuhan. Elex Media Komputindo: Jakarta; dengan Frederikus Fios et all (2012). CB:
Spiritual Development. Jakarta: CBDC Bina Nusantara University.
Agama pada dasarnya merupakan sikap dasar manusia (beriman) yang seharusnya
kepada Tuhan. Agama mengungkapkan diri dalam sembah bakti yang sepenuh hati atas dasar
iman kepada Tuhan. Agama adalah wadah yang mengatur berbagai hal yang
dikembangan/ditata untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhan. Dengan demikian
maka agama beda dengan iman. Agama itu lebih condong kepada
institusional/organisasi/kelompok orang. Sedangkan iman lebih bersifat pribadi/individual
sebagai tanggapan manusia atas undangan/wahyu Tuhan. Bagaimana cara manusia
memberikan tanggapan/jawaban atas wahyu/sapaan Tuhan itulah yang kemudian diatur,
diarahkan dan dikembangkan di dalam agama. Jadi, agama lebih merupakan
wadah/lembaga/institusi yang mengatur bagaimana iman diekspresikan.
Pada umumnya, orang yang beragama biasanya memiliki iman yang dianut di dalam
agamanya itu. Agama dan iman mestinya berjalan seiring sejalan dalam kehidupan manusia
baik sebagai makhluk pribadi maupun sosial. Agama semestinya disinergikan dengan iman
sehingga seseorang sungguh bisa memiliki agama dan beriman dengan baik dan benar pula.
Idealnya orang beragama seharusnya memiliki iman yang baik sesuai dengan ajaran-ajaran
luhur yang diatur di dalam tatanan agama yang dianutnya entah Islam, Katolik, Protestan,
Hindu, Budha, Konghucu dll.
Dipandang dari perspektif linguistik, terminologi “agama” diadopsi dari kata din
(bahasa Arab dan Semit). Sedangkan dalam bahasa-bahasa Eropa, agama searti dengan kata
religion (Inggris), la religion (Perancis), de rielegie (Belanda), die Religion (Jerman). Agama
berasal dari bahasa Sanskerta yang mempunyai arti “tidak pergi, tetap di tempat, turun-
temurun”. Sedangkan makna dari kata din adalah menguasai, menaklukkan, patuh, utang,
balasan, atau kebiasaan”.
Sebagai konsekuensi logisnya, maka menjadi tidak gampang bagi kita untuk
merumuskan satu konsep tunggal yang seragam tentang arti dari terminologi agama itu.
Mengapa? Karena term agama dipahami dan dihayati oleh berbagai kelompok masyarakat di
berbagai belahan dunia ini dengan latar belakang kehidupan yang kompleks dari dimensi
perilaku, keyakinan, struktur organisasi, simbol dan tradisi budaya khas-unik. Sejauh ini
berbagai disiplin ilmu memberikan definisi yang beragam dan variatif. Penelitian-penelitian
B. TERMINOLOGI IMAN
Apa itu Iman? Secara etimologis dalam bahasa Arab, kata ”iman”berarti: percaya,
merasa aman. Arti ini sejalan dengan pengertian kata Ibrani dalam Perjanjian Lama, ”emuna’,
’he emin’ yang berasal dari kata ’mn’ yang berarti tetap. Kata Ibrani ini memiliki padanannya
dalam bahasa Yunani sebagaimana terdapat dalam Septuaginta. Dalam Bahasa Yunani ada
kata ’pistis’ yang artinya memberikan kepercayaan kepada seseorang. Kata ini merupakan
rumpun dari kata ’peithomai’ yang artinya: percaya kepada, mengandalkan seseorang,
mempercayakan diri kepada. Ada juga unsur Semit lain, yaitu kata ’batah’ yang artinya
mengandalkan seseorang, percaya kepada.
Baik kata Arab ’Iman’ maupun kata Ibrani dan Yunani tadi sama-sama berkaitan
dengan kata ’aman’, keamanan. Di dalam kata-kata itu terdapat pengertian mantap, teguh,
kokoh, stabil dan tidak tergoncangkan (Gea: 2004, hal. 63-64). Dalam konteks keyakinan
keagamaan, terminologi iman dipahami sebagai percaya di dalam batin/hati, pasti tentang
sesuatu, pasti tentang Tuhan dan wahyuNya. Artinya seseorang yang beriman tidak ragu
Sudah disinggung pada bagian sebelumnya bahwa sangat sulit merumuskan satu
definisi yang lengkap dan memuaskan tentang agama. Karena itulah para peneliti bidang
agama lebih memilih untuk menkonsentrasikan diri pada karakter dasar atau elemen umum
yang terdapat pada semua agama yang dihayati manusia di planet bumi ini.
Umumnya terdapat lima (5) elemen dasar yang terdapat di dalam agama yakni:
Simbol biasanya berkaitan dengan filosofi atau cara pandang para penganut
agama berkaitan dengan Tuhan yang mereka sembah dalam agama mereka. Simbol
diklaim sebagai unsur bersifat suci, sakral, istimewa dan unik Simbol biasanya dapat
menjadi sarana yang mendukung praktik ibadat atau ritus kelompok penganut agama
bersangkutan. Simbol sangat penting artinya bagi penganut agama.
Praktik keagamaan yang dapat dilihat dalam kehidupan religius para penganut
agama misalnya berdoa, sembahyang/sholat/yoga, berpuasa pada waktu-waktu
tertentu, berpantang makan daging hewan tertentu dan lain sebagainya. Para penganut
agama lazim menjalankan praktik keagamaan ini secara serius dan konsisten. Praktik
ini pun menjadi tanda penunjuk identitas untuk mengenali jenis agama yang dianut
oleh pemeluk agama tertentu.
Salah satu unsur dasar yang menyertai praktik agama adalah dimensi sikap
patuh untuk melakukan praktik itu dengan penuh ketaatan dan loyalitas. Hal inilah
yang lalu membuat praktik agama itu sebagai hal yang rutin dilakukan oleh para
penganut agama. Praktik agama itu ada yang bersifat wajib dan harus, ada pula yang
bersifat tidak wajib atau fakultatif disertai berbagai konsekuensi aturan dan ketentuan
yang menyertainya.
Individu atau orang yang kemudian bergabung dalam kelompok jenis agama
tertentu akhirnya membentuk apa yang disebut kelompok atau komunitas pemeluk
agama. Lazimnya orang yang memeluk agama tertentu disebut penganut agama atau
umat. Umat merupakan kumpulan orang-orang yang memiliki iman, keyakinan dan
kepercayaan yang sama akan Tuhan atau Allah ataupun sebutan lain yang searti
dengannya.
Di Budha orang yang mengalami pengalaman keagamaan akan merasa terpanggil untuk
menjadi biksu atau pewarta agama yang baik.
Orang yang mengalami pengalaman keagamaan akan merasa kukuh dan kuat
menghayati agama yang telah dipilih dan dianutnya. Ia tidak akan mudah tergoncangkan
Peran utama agama terletak pada kekuatan nilai-nilai yang dikandungnya. Agama
bergelut dengan persoalan nilai-nilai etis-moral sebagai nilai-nilai kebijaksanaan yang sangat
dibutuhkan manusia dalam menjalankan kehidupan ini. Manusia tak layak hidup sebagai
manusia jika mengabaikan nilai-nilai luhur religius di dalam agama seperti moralitas religius,
cinta kasih, empati, peduli, memaafkan, damai dengan sesama dll. Manusia yang hidup tanpa
dasar agama akan mudah terpenjara dalam pengaruh materialisme dan profanisme
(sekularisme) yang menyesatkan diri.
Agama membentuk pribadi yang religius, beriman dan percaya teguh pada Tuhan
dalam seluruh ziarah eksistensinya sebagai manusia. Pribadi yang religius menghargai nilai-
nilai rohani dan nilai-nilai ke-Tuhanan dalam totalitas dinamika hidupnya. Nilai-nilai rohani
sekaligus nilai ke-Tuhanan yang dimaksud yakni nilai kebenaran, nilai kebaikan, nilai
keindahan dan nilai religius. Pribadi yang religius akan menghayati dan berkomitmen
menghidupi nilai-nilai ini dalam keseluruhan kehidupannya. Ia memegang teguh prinsip-
prinsip nilai ini dalam segala situasi, dalam segala kondisi dan dalam mengemban profesi apa
saja. Ia terus berefleksi, merenung, berpikir dan mengolah diri untuk semakin menjadi pribadi
yang religius-spiritual.
Dari awal sejarah kehidupannya, setiap individu manusia berkembang dalam level
perkembangan moral tertentu menurut tahap-tahap khusus. Hal ini sudah ditelusuri secara
ilmiah-akademis oleh para pemikir terkenal sebelumnya seperti John Rawls, Jean Piaget
maupun Kohlberg. Pemikiran Kohlberg akan sedikit didalami pada bagian ini untuk
memperluas pemahaman kita tentang perkembangan moralitas pada manusia umumnya.
Kohlberg mengemukakan tiga (3) level/tingkatan moral dan enam (6) tahap
perkembangan moral yang dialami oleh setiap orang. Teori perkembangan moral Kohlberg
dapat dijabarkan dalam tiga tingkatan perkembangan moral berikut ini.
Level Moralitas Prakonvensional (usia 0-9 tahun) di mana individu menyesuaikan diri
dengan aturan-aturan sosial (takut dihukum kalau bersalah dan berharap mendapatkan
reward karena berbuat baik). Level ini dibagi atas dua (2) tahap lagi yakni:
c). Tahap 3: Menjaga relasi interpersonal yang baik. Individu berusaha agar
terlihat baik oleh orang-orang di sekitarnya. Ia berusaha menghidupi nilai-nilai
kebaikan yang diharapkan oleh orang-orang yang berada di sekitar misalnya
orang tua, keluarga dan teman-teman. Individu akan merasa malu di hadapan
teman-temannya kalau melakukan suatu kesalahan. Ia akan berusaha menjaga
kepercayaan, loyal, hormat dan menghargai orang lain.
Level Moralitas Postkonvensional (level yang dicapai oleh sebagian kecil orang
dewasa sampai umur 20-an tahun). Pada tahap ini aturan-aturan sosial diterima namun
individu melakukan internalisasi nilai-nilai moral sendiri di bawah hukum-hukum.
e). Tahap 5: Moralitas kontrak sosial dan hak-hak individu. Aturan-aturan sosial
terlihat relatif dapat berubah sesuai dengan akibat dari suatu persetujuan. Agar
diterima, hukum-hukum harus lolos dari prosedur demokratis dan imparsial.
Individu taat dengan perjanjian-perjanjian yang sesuai dengan nilai-nilai pribadi
dan hormat pada komunitas secara rasional.
Bertitik tolak pada teori moral Kohlberg ini, kita perlu mengatakan bahwa agama
merupakan hal yang sangat berkontribusi positif bagi perkembangan moral manusia juga.
Agama memberikan sumbangsih penting dalam menumbuhkan manusia untuk berkembang
matang dalam keyakinan iman dan moralitasnya. Berbagai macam larangan, aturan, norma,
pantangan dalam agama berperan penting membentuk moralitas individu religius. Seseorang
penganut agama akan semakin matang dalam moralnya ketika ia mampu bertindak otonom
secara moral dalam menghadapi berbagai persoalan yang dihadapi dalam hidupnya.
Peran agama bagi manusia bukan hanya untuk membentuk pribadi yang bermoral,
melainkan juga membentuk pribadi yang arif dan bijaksana. Pribadi yang arif artinya pribadi
yang mampu menunjukkan perbuatan baik dalam kenyataan/tindakan sehari-hari misalnya
menolong sesama yang membutuhkan bantuan dan lain sebagainya. Orang yang arif juga
akan bersikap sopan dan santun dalam setiap langkah hidupnya. Bersikap baik dan sopan
dalam relasi dengan sesama menjadi kebahagiaan tersendiri yang dikejar dan diperjuangkan
secara konsisten.
Sedangkan pribadi yang bijaksana adalah pribadi yang mengutamakan hati nurani dan
pikiran benar yang terwujud dalam tindakan konkret yang tidak mandatangkan kerugian atau
penderitaan-kemalangan bagi sesama (others). Kebijaksanaan adalah filosofi terhadap diri,
dunia dan sesama dengan tidak hanya mengandalkan dimensi akal budi (pikiran) namun juga
mendengarkan suara hati/nurani. Hati nurani adalah tempat tinggal atau bersemayamnya hal
yang baik, suci dan kudus.
Kata “nur” dalam Bahasa Arab artinya cahaya. Nur merupakan istilah untuk
menyebut hati nurani sebagai pancaran cahaya Ilahi Tuhan. Orang beragama dan penganut
aliran spiritual percaya hati nurani sebagai tempat tinggal Tuhan ataupun identik dengan hal-
hal yang memantulkan cahaya moral-etis yang baik bagi manusia. Orang beragama dan
spiritual akan bertindak menurut hati nurani yang baik sebagai hal tertinggi dalam hidupnya.
Ia percaya hati nurani, mendengarkan hati nurani dan taat hati nurani yang mampu
mengarahkan diri pada kebaikan dan kebenaran religius-spiritual.
Hati nurani perlu didengarkan karena ia memberikan peran yang luar biasa bagi
manusia. Peran hati nurani itu di antaranya: menjadi petunjuk/pedoman bagi manusia untuk
menilai suatu tindakan apakah tindakan itu baik atau buruk; menjadi pegangan bagi manusia
dalam hidup; menyadarkan manusia akan nilai-nilai penting dan berharga di dalam hidupnya.
Atas alasan-asalan inilah maka kita perlu mentaati hati nurani dalam hidup agar kita semakin
berkembang menjadi sosok pribadi yang arif-bijaksana.
“Selain pikiran yang memiliki logika, hati nurani pun memiliki logikanya sendiri. Itulah yang
disebut logika hati”. (Blaise Pascal)
Doa dimaknai dalam agama-agama sebagai berbagai bentuk kegiatan atau aktivitas
manusia dalam berkomunikasi dengan Tuhan. Dalam hidup sehari-hari orang beriman
biasanya berdoa kepada Tuhan baik secara pribadi maupun secara bersama-sama. Doa dapat
dilakukan di tempat mana saja asalkan layak dan memungkinkan untuk dilakukannya
aktivitas komunikasi dengan Tuhan dimaksud. Orang dapat berdoa di tempat ibadah (masjid,
gereja, pura, wihara, klenteng) atau pun di tempat-tempat lain yang dianggap layak. Orang
beragama juga dapat berdoa di rumah, di kantor, di tempat kerja atau di tempat mana pun
asalkan pantas.
Dalam doa manusia berkomunikasi dengan Tuhan. Bentuk komunikasi itu melibatkan
seluruh unsur diri manusia. Doa melibatkan unsur badan, emosi, jiwa, hati dan pikiran
manusia. Konsentrasi begitu penting dalam doa. Dibutuhkan sikap fokus yang tinggi dan
totalitas keterarahan jiwa manusia pada Tuhan. Konsentrasi perlu agar manusia dapat
menyerap nilai-nilai religius yang memberikan inspirasi bagi hidupnya. Aktivitas doa yang
dilakukan orang beriman dan beragama hendaknya disertai dengan refleksi yang mendalam
untuk menemukan nilai-nilai hakiki kehidupan yang mengarahkan manusia untuk semakin
mencintai Tuhan, sesama, alam dan diri sendiri.
Dalam doa orang beragama dapat merenungkan sifat-sifat mendasar yang ada pada
hakikat Tuhan: Maha Pengampun, Maha Adil, Maha Tahu, Maha Kasih, Maha Cinta dan
sebagainya. Manusia dapat mengambil inspirasi dari sifat-sifat Tuhan tersebut dan berlatih
untuk mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Sifat-sifat Tuhan dalam agama-
agama merupakan nilai-nilai religius penting yang dapat dihayati oleh orang beragama dalam
Dr. Howard Kelly, dulunya seorang bocah miskin. Ia pernah meminta segelas air
kepada seorang gadis muda yang memberinya segelas susu gratis. Belakangan wanita itu
dirawat di rumah sakit. Dr. Kelly mengenalinya. Selesai perawatan, ia menulis kwitansi:
“Telah dibayar penuh dengan satu gelas susu”. Si pasien yang semula khawatir tidak akan
mampu membayar, berdoa dalam nada syukur: “Terima kasih Tuhan, kasihMu telah
memancar melalui hati dan tangan manusia” (Gea: 2004, hlm. 23-24).
Kisah di atas menunjukkan bahwa si pasien memiliki kecerdasan religius yang baik.
Ia mampu melihat campur tangan (intervensi) Tuhan dalam segala pengalaman hidupnya. Ia
spontan berdoa kepada Tuhan di saat ia mengalami sentuhan kasih Tuhan melalui sesama
dalam pengalaman hidup yang menakjubkan. Doa si pasien menunjukkan kualitas rohani
yang ada pada dirinya. Bahwa ia tahu bersyukur kepada Tuhan karena Tuhan telah
mencurahkan rahmat kasih baginya melalui perantaraan orang lain yang tidak ia duga sama
sekali.
Orang Katolik mengenal Misa/Ekaristi, devosi, novena, sharing kitab suci, doa brevir,
sakramen dan sakramentali sebagai bentuk-bentuk ritual menunnjukkan rasa hormat kepada
Tuhan (Allah). Orang Protestan mengenal penyembahan, perayaan kurban, saat hening, dan
doa-doa kristen yang dilakukan dalam persekutuan jemaat. Orang Islam menjalankan al
ahkam al khamsa (hukum Islam) agar mendatangkan pahala bagi hidupnya. Orang Budha
melakukan ritus penghormatan kepada Sang Budha Gautama untuk menjadi pribadi yang
hidup semakin bermoral. Orang Hindu melakukan praktik ritus di tempat tertentu dan pada
momentum yang sesuai dengan irama hidup setiap hari seperti di sekitar rumah tinggal,
Semua agama ada kitab sucinya masing-masing. Penganut Agama Islam memiliki
Alquran, kaum Kristiani (Katolik dan Protestan) memiliki Alkitab (Perjanjian Lama dan
Baru), Agama Budha memiliki Tripitaka, Agama Hindu memiliki Weda, Agama
Konghucu memiliki Wu Jing dan Si Shu. Kitab suci ini mengandung wejangan religius-
spiritual Tuhan bagi umatNya. Kitab Suci berisikan ajaran-ajaran moral dan etika yang
berfungsi sebagai pedoman manusia dalam berpikir, berperilaku dan bersikap. Isi kitab suci
merupakan kristalisasi ajaran dan nilai religius-spiritual yang sangat berguna bagi penganut
agama dalam menjalankan tanggung jawab religius sebagai insan yang percaya kepada
Tuhan.
Tulisan kitab suci agama-agama sangat bernilai tinggi dan kaya akan makna rohani-
spiritual. Orang beragama dapat mengembangkan kualitas religius dirinya dengan membaca,
merenungkan dan menghayati kebijaksanaan-kebijaksanaan religius yang tertuang dalam
kitab suci agama masing-masing. Di sini kitab suci dapat disebut sebagai ”Kitab Tuhan”
Selain Kitab Suci, semua agama pun mengenal doktrin atau ajaran iman yang
berisikan hal-hal mendasar yang berkaitan dengan usaha mengembangkan kualitas rohani-
religius para penganutnya. Biasanya ajaran-ajaran itu diciptakan oleh para pendahulu, para
pemimpin agama dan juga para nabi, serta orang kudus dalam periode sejarah hidup mereka
di masa silam. Entahkah itu nabi, orang kudus ataupun tokoh religius-spiritual di masa lalu.
Ajaran mereka terus bergaung di sepanjang zaman dari dulu hingga sekarang bahkan sampai
selama-lamanya. Para tokoh sejarah itu misalnya Nabi Muhammad SAW dan para khalifah,
Yesus Kristus dan para rasul serta santo/santa, para orang suci dalam Hinduisme, Sang Budha
Gautama, Konfusius dll. Mereka semua mengajarkan kita kebijaksanaan religius yang
bernilai luhur yang bisa kita contohi dan teladani untuk hidup keagamaan dan keimanan kita
yang lebih baik lagi.
Agama dan iman memiliki kaitan erat namun keduanya tidaklah sama. Iman
merupakan kepercayaan dan penyerahan diri secara total pada Tuhan. Iman bukan hanya
dalam hati melainkan penuntun bagi kehidupan, yang mewarnai sikap dan perilaku. Iman itu
dihayati dalam kehidupan, dengan merayakannya dalam wujud ritual/ibadat dan kesaksian
hidup. Agama berperan sebagai wadah dimana iman bisa dipelihara, dijaga, dibina dan
diteruskan. Orang beragama belum tentu beriman, dan orang beriman (dalam arti
sesungguhnya) seharusnya juga beragama
Antonius Atosokhi Gea et all (2004). CB III: Relasi dengan Tuhan. Elex Media Komputindo:
Jakarta.
Frederikus Fios et all (2012). Diktat Kuliah Character Building: Spiritual Development.
Jakarta: Bina Nusantara University.