Anda di halaman 1dari 20

LECTURE NOTES

Character Building: Agama

Week 1

PENGANTAR CHARACTER BUILDING:


AGAMA1

1
Materi ini merupakan sintesis antara Antonius Atosokhi Gea, Noor Rachmat dan Antonia Wulandari (2004).
CB III: Relasi dengan Tuhan. Elex Media Komputindo: Jakarta; dengan Frederikus Fios et all (2012). CB:
Spiritual Development. Jakarta: CBDC Bina Nusantara University.

CHAR6021 – Character Building: Agama


LEARNING OUTCOMES

LO1 : Menjelaskan tentang iman dan agama pada umunya

OUTLINE MATERI (Sub-Topic):

 Pengertian agama dan iman


 Elemen-elemen dasar dari agama
 Peran agama dalam kehidupan
 Cara-cara mempelajari agama

CHAR6021 – Character Building: Agama


PENGANTAR CHARACTER BUILDING: AGAMA
A. KONSEPTUALISASI AGAMA

Agama pada dasarnya merupakan sikap dasar manusia (beriman) yang seharusnya
kepada Tuhan. Agama mengungkapkan diri dalam sembah bakti yang sepenuh hati atas dasar
iman kepada Tuhan. Agama adalah wadah yang mengatur berbagai hal yang
dikembangan/ditata untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhan. Dengan demikian
maka agama beda dengan iman. Agama itu lebih condong kepada
institusional/organisasi/kelompok orang. Sedangkan iman lebih bersifat pribadi/individual
sebagai tanggapan manusia atas undangan/wahyu Tuhan. Bagaimana cara manusia
memberikan tanggapan/jawaban atas wahyu/sapaan Tuhan itulah yang kemudian diatur,
diarahkan dan dikembangkan di dalam agama. Jadi, agama lebih merupakan
wadah/lembaga/institusi yang mengatur bagaimana iman diekspresikan.

Pada umumnya, orang yang beragama biasanya memiliki iman yang dianut di dalam
agamanya itu. Agama dan iman mestinya berjalan seiring sejalan dalam kehidupan manusia
baik sebagai makhluk pribadi maupun sosial. Agama semestinya disinergikan dengan iman
sehingga seseorang sungguh bisa memiliki agama dan beriman dengan baik dan benar pula.
Idealnya orang beragama seharusnya memiliki iman yang baik sesuai dengan ajaran-ajaran
luhur yang diatur di dalam tatanan agama yang dianutnya entah Islam, Katolik, Protestan,
Hindu, Budha, Konghucu dll.

Dipandang dari perspektif linguistik, terminologi “agama” diadopsi dari kata din
(bahasa Arab dan Semit). Sedangkan dalam bahasa-bahasa Eropa, agama searti dengan kata
religion (Inggris), la religion (Perancis), de rielegie (Belanda), die Religion (Jerman). Agama
berasal dari bahasa Sanskerta yang mempunyai arti “tidak pergi, tetap di tempat, turun-
temurun”. Sedangkan makna dari kata din adalah menguasai, menaklukkan, patuh, utang,
balasan, atau kebiasaan”.

Sebagai konsekuensi logisnya, maka menjadi tidak gampang bagi kita untuk
merumuskan satu konsep tunggal yang seragam tentang arti dari terminologi agama itu.
Mengapa? Karena term agama dipahami dan dihayati oleh berbagai kelompok masyarakat di
berbagai belahan dunia ini dengan latar belakang kehidupan yang kompleks dari dimensi
perilaku, keyakinan, struktur organisasi, simbol dan tradisi budaya khas-unik. Sejauh ini
berbagai disiplin ilmu memberikan definisi yang beragam dan variatif. Penelitian-penelitian

CHAR6021 – Character Building: Agama


agama pun mengkaji praktek agama dari aspek individu maupun kelompok. Kita sulit
menemukan konsep yang seragam atau sama persis tentang ’agama’.

Kendatipun banyak definisi beraneka ragam, kita dapat mengkonstruksikan satu


definisi simpul yang dapat menggambarkan hal substansial-esensial di dalam agama yang
dihayati oleh bangsa manusia. Agama dimaknai sebagai keyakinan religius dan sakral yang
dipersepsikan dalam konteks antropomorfis ketuhanan, akan suatu kekuatan tertinggi yang
melampaui kemampuan manusia (International Encyclopedia of the Social Sciences, 2010:
hlm.159). Keyakinan ini terdapat pada semua penganut agama dunia umumnya dan
khususnya Agama Islam, Katolik, Protestan, Budha, Hindu maupun Konghucu yang dianuti
oleh masyakarat Indonesia. Intinya, semua penganut agama mengakui adanya suatu kekuatan
impersonal yang disebut Tuhan ataupun kata-kata bermakna paralel yang searti dengannya.
Kekuatan impersonal itu merupakan substansi yang supranatural, adikodrati, dan
transendental.

B. TERMINOLOGI IMAN

Apa itu Iman? Secara etimologis dalam bahasa Arab, kata ”iman”berarti: percaya,
merasa aman. Arti ini sejalan dengan pengertian kata Ibrani dalam Perjanjian Lama, ”emuna’,
’he emin’ yang berasal dari kata ’mn’ yang berarti tetap. Kata Ibrani ini memiliki padanannya
dalam bahasa Yunani sebagaimana terdapat dalam Septuaginta. Dalam Bahasa Yunani ada
kata ’pistis’ yang artinya memberikan kepercayaan kepada seseorang. Kata ini merupakan
rumpun dari kata ’peithomai’ yang artinya: percaya kepada, mengandalkan seseorang,
mempercayakan diri kepada. Ada juga unsur Semit lain, yaitu kata ’batah’ yang artinya
mengandalkan seseorang, percaya kepada.

Baik kata Arab ’Iman’ maupun kata Ibrani dan Yunani tadi sama-sama berkaitan
dengan kata ’aman’, keamanan. Di dalam kata-kata itu terdapat pengertian mantap, teguh,
kokoh, stabil dan tidak tergoncangkan (Gea: 2004, hal. 63-64). Dalam konteks keyakinan
keagamaan, terminologi iman dipahami sebagai percaya di dalam batin/hati, pasti tentang
sesuatu, pasti tentang Tuhan dan wahyuNya. Artinya seseorang yang beriman tidak ragu

CHAR6021 – Character Building: Agama


tentang kebenaran Tuhan melalui wahyu suci di dalam keyakinan agama masing-masing.
Sehingga iman adalah jawaban atau tanggapan manusia atas wahyu Tuhan.

C. ELEMEN DASAR AGAMA

Sudah disinggung pada bagian sebelumnya bahwa sangat sulit merumuskan satu
definisi yang lengkap dan memuaskan tentang agama. Karena itulah para peneliti bidang
agama lebih memilih untuk menkonsentrasikan diri pada karakter dasar atau elemen umum
yang terdapat pada semua agama yang dihayati manusia di planet bumi ini.

Umumnya terdapat lima (5) elemen dasar yang terdapat di dalam agama yakni:

a. Memiliki kepercayaan agama

Kepercayaan merupakan unsur dasar di dalam agama. Kepercayaan artinya


keyakinan atau iman yang kukuh dan tidak tergoncangkan pada Tuhan ataupun
substansi yang disembah di dalam agama-agama. Kepercayaan identik dengan suatu
keyakinan spiritual yang mengkristal di dalam hati orang yang menghayati agama.
Keyakinan itu tampak dalam hal-hal seperti pengakuan akan adanya satu Tuhan
(monoteisme), keyakinan akan keselamatan di akhirat (parusia), kepercayaan akan
reinkarnasi bagi agama Hindu ataupun kepercayaan pada roh nenek moyang yang
dihayati oleh para pemeluk agama Shinto.

Unsur kepercayaan dalam agama sangat menentukan disposisi batin orang-


orang yang menghayati agama. Kalau orang meyakini agamanya secara kukuh dan
tidak tergoncangkan, ia akan konsisten untuk mendalami agama itu secara mendalam.
Ia akan merasa aman, damai dan bahagia dalam agama bersangkutan. Namun kalau
dia tidak memiliki kepercayaan yang baik di dalam agama itu, ia sulit berkembang
baik di dalam agama dimaksud. Ia bisa menjadi bosan, malas, apatis, antipati dan
bahkan mengalami pengalaman negatif lainnya. Kalau orang memiliki kepercayaan
yang teguh dalam agamanya, orang bersangkutan akan menghayati hidup secara
bermakna, positif dan produktif. Ia merasa aman dalam agama yang dianutnya.

CHAR6021 – Character Building: Agama


”Saya bukannya mencoba menyelami keagunganMu ya Tuhan, sebab saya
sama sekali tidak membandingkan akal budiku dengan keagunganMu itu. Tetapi saya
ingin sedikit melihat kebenaranMu, yang dipercayai dan dicintai oleh hatiku. Dan
saya tidak bermaksud untuk memahami agar percaya, tetapi saya percaya agar bisa
memahami. Sebab saya percaya juga bahwa saya tidak akan mampu memahami
kecuali jika saya percaya.” (Santo Anselmus).

b. Memiliki simbol agama

Agama-agama biasanya memiliki simbol, tanda dan lambang tertentu di


dalamnya. Simbol atau lambang itu bukan hampa makna atau pun nihil nilai. Simbol
memiliki kandungan arti dan makna tertentu di baliknya. Simbol hanya dipahami dan
dimengerti secara eksklusif oleh kelompok penganut agama bersangkutan. Kelompok
agama lain tidak dapat memahami secara baik dan mendalam simbol-simbol yang
terdapat di dalam agama kelompok lainnya.

Simbol biasanya berkaitan dengan filosofi atau cara pandang para penganut
agama berkaitan dengan Tuhan yang mereka sembah dalam agama mereka. Simbol
diklaim sebagai unsur bersifat suci, sakral, istimewa dan unik Simbol biasanya dapat
menjadi sarana yang mendukung praktik ibadat atau ritus kelompok penganut agama
bersangkutan. Simbol sangat penting artinya bagi penganut agama.

Beberapa contoh simbol dalam agama-agama misalnya dalam Islam terdapat


simbol tertentu seperti tasbih, dalam agama Katolik ada simbol rosario, dalam agama
Kristen Protestan (dan Katolik) ada simbol salib, dalam agama Budha dan Hindu ada
simbol patung-patung, dalam agama Konghucu ada Hio dan lain sebagainya. Simbol
agama juga dapat dilihat dalam bentuk rumah (bangunan) ibadat yang dapat dilihat
secara artifisial. Biasanya simbol agama-agama dihormati, dihargai dan digunakan
sebagai instrumen pendukung dalam doa, ibadat, ritus suci dan upacara-upacara
keagamaan. Simbol diyakini mampu mengantar para penganut agama masuk lebih
khusyuk di dalam ibadat-ibadat yang mereka lakukan.

CHAR6021 – Character Building: Agama


”Dalam seluruh eksistensi hidupnya, manusia selalu mengeskpresikan diri
melalui simbol-simbol unik sebagai ungkapan pikiran dan perasaannya dalam
komunikasinya dengan orang lain. Karena itulah manusia disebut sebagai homo
symbolicum yang meneguhkan hakikat manusia sebagai makhluk berbudaya”
(Ernst Cassirer).

c. Memiliki praktik agama

Para penganut agama biasanya menjalankan praktik keagamaan sebagai


bagian integral dalam kehidupan religius mereka. Ada banyak praktik keagamaan
yang biasanya dilakukan baik secara individual maupun secara kelompok. Praktik
keagamaan itu dilakukan sebagai ungkapan iman para pemeluk agama kepada Tuhan.

Praktik keagamaan yang dapat dilihat dalam kehidupan religius para penganut
agama misalnya berdoa, sembahyang/sholat/yoga, berpuasa pada waktu-waktu
tertentu, berpantang makan daging hewan tertentu dan lain sebagainya. Para penganut
agama lazim menjalankan praktik keagamaan ini secara serius dan konsisten. Praktik
ini pun menjadi tanda penunjuk identitas untuk mengenali jenis agama yang dianut
oleh pemeluk agama tertentu.

Salah satu unsur dasar yang menyertai praktik agama adalah dimensi sikap
patuh untuk melakukan praktik itu dengan penuh ketaatan dan loyalitas. Hal inilah
yang lalu membuat praktik agama itu sebagai hal yang rutin dilakukan oleh para
penganut agama. Praktik agama itu ada yang bersifat wajib dan harus, ada pula yang
bersifat tidak wajib atau fakultatif disertai berbagai konsekuensi aturan dan ketentuan
yang menyertainya.

d. Memiliki umat atau penganut agama

Individu atau orang yang kemudian bergabung dalam kelompok jenis agama
tertentu akhirnya membentuk apa yang disebut kelompok atau komunitas pemeluk
agama. Lazimnya orang yang memeluk agama tertentu disebut penganut agama atau
umat. Umat merupakan kumpulan orang-orang yang memiliki iman, keyakinan dan
kepercayaan yang sama akan Tuhan atau Allah ataupun sebutan lain yang searti
dengannya.

CHAR6021 – Character Building: Agama


Penganut masing-masing agama menjalankan ibadat atau upacara keagamaan
untuk menunjukkan eksistensi mereka sebagai umat dari golongan agama tertentu.
Mereka juga menghayati praktik keagamaan dalam suasana kebersamaan,
persaudaraan dan keakraban satu sama lain. Selain kelompok penganut agama dalam
jumlah besar, biasanya ada pengelompokan umat dalam bagian-bagian yang lebih
kecil lagi dengan jumlah anggota yang lebih kecil atau sedikit. Misalnya ada warga
jemaat atau lingkungan di dalam umat Kristiani (Katolik dan Protestan), atau warga
pesantren/majelis taklim tertentu, komunitas keagamaan yang terdiri dari anggota
suatu gereja tertentu, komunitas pura dan wihara dan lain sebagainya.

e. Memiliki pengalaman keagamaan

Setiap penganut agama memiliki pengalaman-pengalaman keagamaan tertentu yang


khas dan unik. Pengalaman keagamaan itu dihayati secara bersama maupun pribadi.
Misalnya saja di kalangan Kristen Protestan ada yang mengalami pengalaman keagamaan
lalu menghayati panggilan khusus menjadi pendeta. Di kalangan Katolik seseorang yang
mengalami pengalaman keagamaan akan merasa terpanggil untuk menjadi pastor (romo
atau pater) ataupun menjadi biarawan (bruder) dan biarawati (suster). Di dalam agama
Islam, orang yang mengalami pengalaman keagamaan akan merasa terdorong untuk pergi
menunaikan ibadah haji di Mekkah.

Di Budha orang yang mengalami pengalaman keagamaan akan merasa terpanggil untuk
menjadi biksu atau pewarta agama yang baik.

Pengalaman keagamaan ini hampir ditemukan di dalam setiap agama di dunia.


Pengalaman keagamaan ini sering menjadi tolok ukur untuk menentukan kadar
kedalaman hubungan orang beragama dengan Tuhan. Semakin dalam hubungan dengan
Tuhan, seseorang akan mudah mengalami pengalaman keagamaan. Semakin jauh relasi
dengan Tuhan, maka pengalaman keagamaan pun semakin jauh dari hidup orang itu.
Maka setiap orang beragama perlu mengembangkan diri dan mengusahakan diri untuk
dapat mengalami pengalaman keagamaan dalam hidupnya.

Orang yang mengalami pengalaman keagamaan akan merasa kukuh dan kuat
menghayati agama yang telah dipilih dan dianutnya. Ia tidak akan mudah tergoncangkan

CHAR6021 – Character Building: Agama


untuk melakukan hal yang buruk atau hal yang salah dalam hidupnya. Ia tidak akan
gampang juga untuk terjatuh ke dalam godaan-godaan dunia ini yang menyesatkan dan
menghanyutkan manusia ke dalam jurang dosa. Sebab dosa semakin menjauhkan manusia
dari Tuhan sebagai substansi ilahi yang disembah dalam agama-agama.

D. PERAN AGAMA BAGI MANUSIA

1. Membentuk Pribadi yang Religius-Spiritual

Agama berurusan dengan kehidupan pribadi manusia dalam mengekspresikan iman


kepada Tuhan. Oleh karena itu agama bertujuan untuk membentuk pribadi yang religius-
spiritual. Agama memberikan sumbangsih berharga bagi dimensi manusia sebagai pribadi
dan sosial agar manusia bertumbuh ideal dalam kesempurnaan dirinya sebagai makhluk
rohani.

Peran utama agama terletak pada kekuatan nilai-nilai yang dikandungnya. Agama
bergelut dengan persoalan nilai-nilai etis-moral sebagai nilai-nilai kebijaksanaan yang sangat
dibutuhkan manusia dalam menjalankan kehidupan ini. Manusia tak layak hidup sebagai
manusia jika mengabaikan nilai-nilai luhur religius di dalam agama seperti moralitas religius,
cinta kasih, empati, peduli, memaafkan, damai dengan sesama dll. Manusia yang hidup tanpa
dasar agama akan mudah terpenjara dalam pengaruh materialisme dan profanisme
(sekularisme) yang menyesatkan diri.

Agama membentuk pribadi yang religius, beriman dan percaya teguh pada Tuhan
dalam seluruh ziarah eksistensinya sebagai manusia. Pribadi yang religius menghargai nilai-
nilai rohani dan nilai-nilai ke-Tuhanan dalam totalitas dinamika hidupnya. Nilai-nilai rohani
sekaligus nilai ke-Tuhanan yang dimaksud yakni nilai kebenaran, nilai kebaikan, nilai
keindahan dan nilai religius. Pribadi yang religius akan menghayati dan berkomitmen
menghidupi nilai-nilai ini dalam keseluruhan kehidupannya. Ia memegang teguh prinsip-
prinsip nilai ini dalam segala situasi, dalam segala kondisi dan dalam mengemban profesi apa
saja. Ia terus berefleksi, merenung, berpikir dan mengolah diri untuk semakin menjadi pribadi
yang religius-spiritual.

CHAR6021 – Character Building: Agama


2. Membentuk Pribadi yang Bermoral

Dari awal sejarah kehidupannya, setiap individu manusia berkembang dalam level
perkembangan moral tertentu menurut tahap-tahap khusus. Hal ini sudah ditelusuri secara
ilmiah-akademis oleh para pemikir terkenal sebelumnya seperti John Rawls, Jean Piaget
maupun Kohlberg. Pemikiran Kohlberg akan sedikit didalami pada bagian ini untuk
memperluas pemahaman kita tentang perkembangan moralitas pada manusia umumnya.

Kohlberg mengemukakan tiga (3) level/tingkatan moral dan enam (6) tahap
perkembangan moral yang dialami oleh setiap orang. Teori perkembangan moral Kohlberg
dapat dijabarkan dalam tiga tingkatan perkembangan moral berikut ini.

 Level Moralitas Prakonvensional (usia 0-9 tahun) di mana individu menyesuaikan diri
dengan aturan-aturan sosial (takut dihukum kalau bersalah dan berharap mendapatkan
reward karena berbuat baik). Level ini dibagi atas dua (2) tahap lagi yakni:

a. Tahap 1: Hukuman dan orientasi ketaatan. Individu menyesuaikan diri


(pikirannya) dengan otoritas superior di atas dirinya yang berkuasa mengadili.
Individu takut dan berusaha menghindari hukuman (punishment).

b. Tahap 2: Perubahan kepentingan diri. Individu taat supaya mendapatkan


imbalan yang ditawarkan oleh orang lain pada dirinya. Individu rela berbuat
baik agar orang lain memenuhi keinginan/kebutuhan yang dikehendakinya.

 Level Moralitas Konvensional (usia remaja) di mana individu mulai mengerti,


menerima dan melaksanakan aturan dan harapan sosial yang ditentukan oleh otoritas
superior di atasnya. Aturan-aturan moral sudah diinternalisasikan secara baik di dalam
dirinya. Level ini dibagi atas dua (2) tahap lagi yakni:

c). Tahap 3: Menjaga relasi interpersonal yang baik. Individu berusaha agar
terlihat baik oleh orang-orang di sekitarnya. Ia berusaha menghidupi nilai-nilai
kebaikan yang diharapkan oleh orang-orang yang berada di sekitar misalnya
orang tua, keluarga dan teman-teman. Individu akan merasa malu di hadapan
teman-temannya kalau melakukan suatu kesalahan. Ia akan berusaha menjaga
kepercayaan, loyal, hormat dan menghargai orang lain.

CHAR6021 – Character Building: Agama


d). Tahap 4: Menjaga sistem sosial termasuk relasi dengan otoritas sosial.
Individu menyetujui aturan-aturan sosial dan perjanjian-perjanjian yang terlihat
adil sebab ia ingin menjaga fungsi sistem sosial. Tahap ini disebut juga
penyesuaian diri dengan hukum dan aturan moral (law and order morality).

 Level Moralitas Postkonvensional (level yang dicapai oleh sebagian kecil orang
dewasa sampai umur 20-an tahun). Pada tahap ini aturan-aturan sosial diterima namun
individu melakukan internalisasi nilai-nilai moral sendiri di bawah hukum-hukum.

 Jika prinsip-prinsip moral individu bertentangan dengan aturan-aturan sosial, individu


akan diarahkan oleh prinsip-prinsipnya sendiri. Dua (2) tahap moralitas level ini
yakni:

e). Tahap 5: Moralitas kontrak sosial dan hak-hak individu. Aturan-aturan sosial
terlihat relatif dapat berubah sesuai dengan akibat dari suatu persetujuan. Agar
diterima, hukum-hukum harus lolos dari prosedur demokratis dan imparsial.
Individu taat dengan perjanjian-perjanjian yang sesuai dengan nilai-nilai pribadi
dan hormat pada komunitas secara rasional.

f). Tahap 6: Moralitas berdasarkan prinsip etika universal. Sebagai pribadi


rasional, individu mengenal validitas etika universal. Misalnya hak untuk hidup
dan hak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan fungsi-fungsi sosial.
Individu memiliki perasaan komitmen personal pada prinsip-prinsip etika umum
(universal). Tindakan individu lebih berdasarkan kesadaran pribadi, bukan
berdasarkan tekanan luar ataupun kontrak-kontrak sosial tertentu. Di sini
seharusnya individu mencapai tahap kedewasaan moralnya.

Bertitik tolak pada teori moral Kohlberg ini, kita perlu mengatakan bahwa agama
merupakan hal yang sangat berkontribusi positif bagi perkembangan moral manusia juga.
Agama memberikan sumbangsih penting dalam menumbuhkan manusia untuk berkembang
matang dalam keyakinan iman dan moralitasnya. Berbagai macam larangan, aturan, norma,
pantangan dalam agama berperan penting membentuk moralitas individu religius. Seseorang
penganut agama akan semakin matang dalam moralnya ketika ia mampu bertindak otonom
secara moral dalam menghadapi berbagai persoalan yang dihadapi dalam hidupnya.

CHAR6021 – Character Building: Agama


Agama diharapkan menjadi elemen yang mendukung pribadi manusia berkembang
maksimal menembus tahap ke-6 yakni menghayati moralitas berdasarkan prinsip-prinsip
etika universal. Ketika hanya sedikit orang saja yang mampu mencapai tahap ke-6 karena
berbagai alasan dan argumentasi, agama bisa tampil sebagai jawaban alternatif dan solusi. Ia
bisa tampil sebagai “prinsip jalan ketiga” atau ”jalan tengah” untuk membentuk pribadi
bermoral. Inilah fungsi klasik dari agama yang tak dapat tergantikan di samping tradisi dan
nilai-nilai bijak lain yang terkandung di dalam etnis, suku dan budaya masyarakat manusia di
dunia ini.

3. Membentuk Pribadi Arif dan Bijaksana

Peran agama bagi manusia bukan hanya untuk membentuk pribadi yang bermoral,
melainkan juga membentuk pribadi yang arif dan bijaksana. Pribadi yang arif artinya pribadi
yang mampu menunjukkan perbuatan baik dalam kenyataan/tindakan sehari-hari misalnya
menolong sesama yang membutuhkan bantuan dan lain sebagainya. Orang yang arif juga
akan bersikap sopan dan santun dalam setiap langkah hidupnya. Bersikap baik dan sopan
dalam relasi dengan sesama menjadi kebahagiaan tersendiri yang dikejar dan diperjuangkan
secara konsisten.

Sedangkan pribadi yang bijaksana adalah pribadi yang mengutamakan hati nurani dan
pikiran benar yang terwujud dalam tindakan konkret yang tidak mandatangkan kerugian atau
penderitaan-kemalangan bagi sesama (others). Kebijaksanaan adalah filosofi terhadap diri,
dunia dan sesama dengan tidak hanya mengandalkan dimensi akal budi (pikiran) namun juga
mendengarkan suara hati/nurani. Hati nurani adalah tempat tinggal atau bersemayamnya hal
yang baik, suci dan kudus.

Kata “nur” dalam Bahasa Arab artinya cahaya. Nur merupakan istilah untuk
menyebut hati nurani sebagai pancaran cahaya Ilahi Tuhan. Orang beragama dan penganut
aliran spiritual percaya hati nurani sebagai tempat tinggal Tuhan ataupun identik dengan hal-
hal yang memantulkan cahaya moral-etis yang baik bagi manusia. Orang beragama dan
spiritual akan bertindak menurut hati nurani yang baik sebagai hal tertinggi dalam hidupnya.
Ia percaya hati nurani, mendengarkan hati nurani dan taat hati nurani yang mampu
mengarahkan diri pada kebaikan dan kebenaran religius-spiritual.

CHAR6021 – Character Building: Agama


Pribadi yang bijaksana terlihat penuh pertimbangan dalam melakukan aktivitas
(kegiatan) dalam hidup. Ia tidak akan bertindak ceroboh berhadapan dengan situasi apa saja
dalam pengalaman hidupnya. Ia tidak hanya menggunakan pikiran sebab pikiran dapat salah
dan merugikan orang lain. Menggunakan pikiran akan membuat orang mudah terjebak pada
kesombongan intelektualisme dan rasionalisasi yang keliru. Maka menggunakan pikiran saja
tidak cukup. Orang perlu juga mendengarkan bisikan hati nurani (suara hati) agar bisa
bertindak baik dan benar dalam hidup.

Hati nurani perlu didengarkan karena ia memberikan peran yang luar biasa bagi
manusia. Peran hati nurani itu di antaranya: menjadi petunjuk/pedoman bagi manusia untuk
menilai suatu tindakan apakah tindakan itu baik atau buruk; menjadi pegangan bagi manusia
dalam hidup; menyadarkan manusia akan nilai-nilai penting dan berharga di dalam hidupnya.
Atas alasan-asalan inilah maka kita perlu mentaati hati nurani dalam hidup agar kita semakin
berkembang menjadi sosok pribadi yang arif-bijaksana.

“Selain pikiran yang memiliki logika, hati nurani pun memiliki logikanya sendiri. Itulah yang
disebut logika hati”. (Blaise Pascal)

E. CARA-CARA MEMPELAJARI AGAMA

Agama disadari urgensinya bagi manusia untuk pengembangan dimensi rohani-


spiritual diri. Agama adalah salah satu sarana efektif untuk mengembangkan aspek rohani
pribadi manusia. Hal itu disebabkan karena agama memiliki arah/visi membentuk pribadi
manusia yang memiliki keyakinan iman kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Agama memiliki kekuatan dan potensi-potensi yang dikembangkan untuk mencapai


dimensi rohani-spiritual diri yang semakin baik. Kita bertanya bagaimana caranya kita belajar
agama yang benar? Bagian mana dari agama yang dapat kita pelajari dan kita kembangkan
menuju kualitas hidup rohani yang semakin ideal? Pada umumnya kita belajar agama atau
memperdalam iman keagamaan melalui cara-cara berikut ini:

CHAR6021 – Character Building: Agama


1. Rajin Berdoa

Doa dimaknai dalam agama-agama sebagai berbagai bentuk kegiatan atau aktivitas
manusia dalam berkomunikasi dengan Tuhan. Dalam hidup sehari-hari orang beriman
biasanya berdoa kepada Tuhan baik secara pribadi maupun secara bersama-sama. Doa dapat
dilakukan di tempat mana saja asalkan layak dan memungkinkan untuk dilakukannya
aktivitas komunikasi dengan Tuhan dimaksud. Orang dapat berdoa di tempat ibadah (masjid,
gereja, pura, wihara, klenteng) atau pun di tempat-tempat lain yang dianggap layak. Orang
beragama juga dapat berdoa di rumah, di kantor, di tempat kerja atau di tempat mana pun
asalkan pantas.

Biasanya sebelum berdoa orang melakukan persiapan-persiapan, baik itu persiapan


fisik maupun persiapan batin. Yang paling penting utamanya yakni persiapan batin. Karena
doa berkaitan dengan keterarahan batin manusia kepada Tuhan. Persiapan batin lebih penting
dalam berdoa. Persiapan yang baik akan membawa hasil yang efektif juga. Kalau persiapan
tidak dilakukan dengan baik, maka hasil akhirnya pun tidak akan berarti apa-apa. Persiapan
yang baik mempermudah orang untuk fokus dan konsentrasi berdoa kepada Tuhan. Segala
hal lain yang tidak penting, harus disingkirkan dan ditinggalkan kalau mau berdoa dengan
khusyuk.

Dalam doa manusia berkomunikasi dengan Tuhan. Bentuk komunikasi itu melibatkan
seluruh unsur diri manusia. Doa melibatkan unsur badan, emosi, jiwa, hati dan pikiran
manusia. Konsentrasi begitu penting dalam doa. Dibutuhkan sikap fokus yang tinggi dan
totalitas keterarahan jiwa manusia pada Tuhan. Konsentrasi perlu agar manusia dapat
menyerap nilai-nilai religius yang memberikan inspirasi bagi hidupnya. Aktivitas doa yang
dilakukan orang beriman dan beragama hendaknya disertai dengan refleksi yang mendalam
untuk menemukan nilai-nilai hakiki kehidupan yang mengarahkan manusia untuk semakin
mencintai Tuhan, sesama, alam dan diri sendiri.

Dalam doa orang beragama dapat merenungkan sifat-sifat mendasar yang ada pada
hakikat Tuhan: Maha Pengampun, Maha Adil, Maha Tahu, Maha Kasih, Maha Cinta dan
sebagainya. Manusia dapat mengambil inspirasi dari sifat-sifat Tuhan tersebut dan berlatih
untuk mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Sifat-sifat Tuhan dalam agama-
agama merupakan nilai-nilai religius penting yang dapat dihayati oleh orang beragama dalam

CHAR6021 – Character Building: Agama


usaha mengembangkan kecerdasan religius agamanya. Penemuan nilai-nilai religius pokok di
dalam doa seperti kasih, damai, dan cinta, dapat memotivasi manusia untuk semakin
bertumbuh cerdas dalam dimensi rohaninya.

Dr. Howard Kelly, dulunya seorang bocah miskin. Ia pernah meminta segelas air
kepada seorang gadis muda yang memberinya segelas susu gratis. Belakangan wanita itu
dirawat di rumah sakit. Dr. Kelly mengenalinya. Selesai perawatan, ia menulis kwitansi:
“Telah dibayar penuh dengan satu gelas susu”. Si pasien yang semula khawatir tidak akan
mampu membayar, berdoa dalam nada syukur: “Terima kasih Tuhan, kasihMu telah
memancar melalui hati dan tangan manusia” (Gea: 2004, hlm. 23-24).

Kisah di atas menunjukkan bahwa si pasien memiliki kecerdasan religius yang baik.
Ia mampu melihat campur tangan (intervensi) Tuhan dalam segala pengalaman hidupnya. Ia
spontan berdoa kepada Tuhan di saat ia mengalami sentuhan kasih Tuhan melalui sesama
dalam pengalaman hidup yang menakjubkan. Doa si pasien menunjukkan kualitas rohani
yang ada pada dirinya. Bahwa ia tahu bersyukur kepada Tuhan karena Tuhan telah
mencurahkan rahmat kasih baginya melalui perantaraan orang lain yang tidak ia duga sama
sekali.

2. Setia Melakukan Ritual Peribadatan

Agama-agama mengenal praktik-praktik keagamaan yang dilakukan sebagai sarana


untuk mengembangkan dimensi religius para penganutnya. Praktik ritual ini dapat dilakukan
secara pribadi atau bersama-sama. Praktik ritual umumnya dilakukan di tempat ibadat
ataupun di tempat lain yang layak dan pantas untuk itu.

Orang Katolik mengenal Misa/Ekaristi, devosi, novena, sharing kitab suci, doa brevir,
sakramen dan sakramentali sebagai bentuk-bentuk ritual menunnjukkan rasa hormat kepada
Tuhan (Allah). Orang Protestan mengenal penyembahan, perayaan kurban, saat hening, dan
doa-doa kristen yang dilakukan dalam persekutuan jemaat. Orang Islam menjalankan al
ahkam al khamsa (hukum Islam) agar mendatangkan pahala bagi hidupnya. Orang Budha
melakukan ritus penghormatan kepada Sang Budha Gautama untuk menjadi pribadi yang
hidup semakin bermoral. Orang Hindu melakukan praktik ritus di tempat tertentu dan pada
momentum yang sesuai dengan irama hidup setiap hari seperti di sekitar rumah tinggal,

CHAR6021 – Character Building: Agama


sumber air, saat matahari terbit dan waktu penting lainnya. Orang Konghucu melakukan
praktik ritual untuk menghormati thien dan juga agar mencapai manusia budiman (kuncu).
Penganut aliran spiritual/kepercayaan melakukan berbagai ritus untuk menunjukkan
pengakuan mereka akan Tuhan yang Maha Esa. Aliran-aliran spiritual mengembangkan
berbagai teknik/cara untuk mengeksplorasi dimensi kebatinan untuk mengembangkan budi
pekerti yang baik dan akhlak mulia.

Dalam praktik ritual-ritual tersebut dilakukan ritual ibadat, penyembahan,


penghormatan, nyanyian, himne dan kotbah-kotbah rohani yang didaraskan oleh pemimpin
ibadat (Ustad/Haji, Pastor/Romo, Pendeta, Biksu, Samanera dll) yang melayani para
jemaatnya. Setiap orang yang mengikuti praktik ritual diharapkan melibatkan seluruh dimensi
diri termasuk emosi, kesadaran, sikap dan pikirannya secara total. Hasil akhir yang
diharapkan dari praktik ritual yakni mendapatkan pahala, berkat, rahmat dari Tuhan atas
kehidupan diri manusia. Manusia dapat menemukan inspirasi hidup dari praktik ritual untuk
mengembangkan spiritual diri semakin lebih baik. Praktik ritual mendukung perkembangan
spiritual diri kita.

3. Merenungkan Kitab Suci Agama

Semua agama ada kitab sucinya masing-masing. Penganut Agama Islam memiliki
Alquran, kaum Kristiani (Katolik dan Protestan) memiliki Alkitab (Perjanjian Lama dan

Baru), Agama Budha memiliki Tripitaka, Agama Hindu memiliki Weda, Agama
Konghucu memiliki Wu Jing dan Si Shu. Kitab suci ini mengandung wejangan religius-
spiritual Tuhan bagi umatNya. Kitab Suci berisikan ajaran-ajaran moral dan etika yang
berfungsi sebagai pedoman manusia dalam berpikir, berperilaku dan bersikap. Isi kitab suci
merupakan kristalisasi ajaran dan nilai religius-spiritual yang sangat berguna bagi penganut
agama dalam menjalankan tanggung jawab religius sebagai insan yang percaya kepada
Tuhan.

Tulisan kitab suci agama-agama sangat bernilai tinggi dan kaya akan makna rohani-
spiritual. Orang beragama dapat mengembangkan kualitas religius dirinya dengan membaca,
merenungkan dan menghayati kebijaksanaan-kebijaksanaan religius yang tertuang dalam
kitab suci agama masing-masing. Di sini kitab suci dapat disebut sebagai ”Kitab Tuhan”

CHAR6021 – Character Building: Agama


orang-orang beragama. Kitab Tuhan tersebut harus dihargai sebagai buku suci yang
memberikan spirit, semangat, motivasi dan inspirasi hidup bagi manusia beragama yang
beriman pada Tuhan. Maka setiap orang beragama seharusnya rajin membaca dan
merenungkan nilai-nilai religio-spiritual luhur yang tercantum dalam kitab suci. Misalnya
nilai-nilai moral: kebaikan, cinta kasih, kejujuran, keadilan, kedamaian, kerendahan hati,
ketulusan, belas kasihan, peduli sesama dan lain sebagainya. Nilai-nilai religius dimaksud
diharapkan bisa diolah lanjut melalui refleksi dan aksi sosial konkret sebagai tanda bahwa
kita menghidupkan kitab suci dalam kehidupan nyata sehari-hari. Memiliki kitab suci saja
belum cukup. Yang lebih utama yakni membaca, merenungkan, memaknai dan menghidupi
pesan kitab suci itu sehingga berdaya guna bagi hidup kita maupun hidup sesama. Kitab suci
mendukung perkembangan dimensi religius-spiritual diri. Kitab suci menjadi kekuatan
transformatif yang mengubah diri kita ke arah lebih baik dalam aspek rohani.

4. Mencontohi Ajaran Para Nabi dan Orang Suci

Selain Kitab Suci, semua agama pun mengenal doktrin atau ajaran iman yang
berisikan hal-hal mendasar yang berkaitan dengan usaha mengembangkan kualitas rohani-
religius para penganutnya. Biasanya ajaran-ajaran itu diciptakan oleh para pendahulu, para
pemimpin agama dan juga para nabi, serta orang kudus dalam periode sejarah hidup mereka
di masa silam. Entahkah itu nabi, orang kudus ataupun tokoh religius-spiritual di masa lalu.
Ajaran mereka terus bergaung di sepanjang zaman dari dulu hingga sekarang bahkan sampai
selama-lamanya. Para tokoh sejarah itu misalnya Nabi Muhammad SAW dan para khalifah,
Yesus Kristus dan para rasul serta santo/santa, para orang suci dalam Hinduisme, Sang Budha
Gautama, Konfusius dll. Mereka semua mengajarkan kita kebijaksanaan religius yang
bernilai luhur yang bisa kita contohi dan teladani untuk hidup keagamaan dan keimanan kita
yang lebih baik lagi.

Ajaran-ajaran agama dimaksud bisa berupa nasihat, ajakan, imbauan, perintah,


larangan atau pun norma-norma yang harus diterapkan secara konsisten oleh para penganut
agama. Umumnya ajaran-ajaran agama dimaksud berisikan hal-hal etis-moral bagi
perkembangan hidup orang beragama ke arah yang semakin baik dan positif. Ajaran iman
agama menjadi sumber norma kebaikan dan ikhtiar kesempurnaan hidup manusiawi.

CHAR6021 – Character Building: Agama


Ajaran agama itu bisa berupa seruan moral bagi penganut agama untuk berperilaku
hidup yang baik dan benar dalam realitas sosial. Biasanya ajaran moral itu diserukan oleh
pemimpin agama berhadapan dengan masalah-masalah yang muncul dalam konteks
pembangunan sosial masyarakat. Seruan itu berfungsi sebagai kendali preventif ataupun
represif agar orang beragama menghayati kualitas hidup yang semakin baik dalam tatanan
sosial. Ajaran agama di sini memiliki juga aspek relevansi sosialnya. Penganut agama yang
baik akan memperhatikan seruan moral para pemimpinnya sehingga ikut bertumbuh menjadi
pribadi lebih religius-spiritual.

CHAR6021 – Character Building: Agama


KESIMPULAN

Agama dan iman memiliki kaitan erat namun keduanya tidaklah sama. Iman
merupakan kepercayaan dan penyerahan diri secara total pada Tuhan. Iman bukan hanya
dalam hati melainkan penuntun bagi kehidupan, yang mewarnai sikap dan perilaku. Iman itu
dihayati dalam kehidupan, dengan merayakannya dalam wujud ritual/ibadat dan kesaksian
hidup. Agama berperan sebagai wadah dimana iman bisa dipelihara, dijaga, dibina dan
diteruskan. Orang beragama belum tentu beriman, dan orang beriman (dalam arti
sesungguhnya) seharusnya juga beragama

CHAR6021 – Character Building: Agama


DAFTAR PUSTAKA

Antonius Atosokhi Gea et all (2004). CB III: Relasi dengan Tuhan. Elex Media Komputindo:
Jakarta.

Ernst Cassirer (1944). AN ESSAY ON MAN: An Introduction to a Philosophy of Human


Culture. Louis Storm Memorial Fund: USA

Frederikus Fios et all (2012). Diktat Kuliah Character Building: Spiritual Development.
Jakarta: Bina Nusantara University.

International Encyclopedia of the Social Science (2010). Detroit: Maxmillan Reference

CHAR6021 – Character Building: Agama

Anda mungkin juga menyukai