Anda di halaman 1dari 175

LECTURE NOTES

Character Building: Agama

Week 1

PENGANTAR CHARACTER BUILDING:


AGAMA1

1
Materi ini merupakan sintesis antara Antonius Atosokhi Gea, Noor Rachmat dan Antonia Wulandari (2004).
CB III: Relasi dengan Tuhan. Elex Media Komputindo: Jakarta; dengan Frederikus Fios et all (2012). CB:
Spiritual Development. Jakarta: CBDC Bina Nusantara University.

CHAR6021 – Character Building: Agama


LEARNING OUTCOMES

LO1 : Menjelaskan tentang iman dan agama pada umunya

OUTLINE MATERI (Sub-Topic):

 Pengertian agama dan iman


 Elemen-elemen dasar dari agama
 Peran agama dalam kehidupan
 Cara-cara mempelajari agama

CHAR6021 – Character Building: Agama


PENGANTAR CHARACTER BUILDING: AGAMA
A. KONSEPTUALISASI AGAMA

Agama pada dasarnya merupakan sikap dasar manusia (beriman) yang seharusnya
kepada Tuhan. Agama mengungkapkan diri dalam sembah bakti yang sepenuh hati atas dasar
iman kepada Tuhan. Agama adalah wadah yang mengatur berbagai hal yang
dikembangan/ditata untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhan. Dengan demikian
maka agama beda dengan iman. Agama itu lebih condong kepada
institusional/organisasi/kelompok orang. Sedangkan iman lebih bersifat pribadi/individual
sebagai tanggapan manusia atas undangan/wahyu Tuhan. Bagaimana cara manusia
memberikan tanggapan/jawaban atas wahyu/sapaan Tuhan itulah yang kemudian diatur,
diarahkan dan dikembangkan di dalam agama. Jadi, agama lebih merupakan
wadah/lembaga/institusi yang mengatur bagaimana iman diekspresikan.

Pada umumnya, orang yang beragama biasanya memiliki iman yang dianut di dalam
agamanya itu. Agama dan iman mestinya berjalan seiring sejalan dalam kehidupan manusia
baik sebagai makhluk pribadi maupun sosial. Agama semestinya disinergikan dengan iman
sehingga seseorang sungguh bisa memiliki agama dan beriman dengan baik dan benar pula.
Idealnya orang beragama seharusnya memiliki iman yang baik sesuai dengan ajaran-ajaran
luhur yang diatur di dalam tatanan agama yang dianutnya entah Islam, Katolik, Protestan,
Hindu, Budha, Konghucu dll.

Dipandang dari perspektif linguistik, terminologi “agama” diadopsi dari kata din
(bahasa Arab dan Semit). Sedangkan dalam bahasa-bahasa Eropa, agama searti dengan kata
religion (Inggris), la religion (Perancis), de rielegie (Belanda), die Religion (Jerman). Agama
berasal dari bahasa Sanskerta yang mempunyai arti “tidak pergi, tetap di tempat, turun-
temurun”. Sedangkan makna dari kata din adalah menguasai, menaklukkan, patuh, utang,
balasan, atau kebiasaan”.

Sebagai konsekuensi logisnya, maka menjadi tidak gampang bagi kita untuk
merumuskan satu konsep tunggal yang seragam tentang arti dari terminologi agama itu.
Mengapa? Karena term agama dipahami dan dihayati oleh berbagai kelompok masyarakat di
berbagai belahan dunia ini dengan latar belakang kehidupan yang kompleks dari dimensi
perilaku, keyakinan, struktur organisasi, simbol dan tradisi budaya khas-unik. Sejauh ini
berbagai disiplin ilmu memberikan definisi yang beragam dan variatif. Penelitian-penelitian

CHAR6021 – Character Building: Agama


agama pun mengkaji praktek agama dari aspek individu maupun kelompok. Kita sulit
menemukan konsep yang seragam atau sama persis tentang ’agama’.

Kendatipun banyak definisi beraneka ragam, kita dapat mengkonstruksikan satu


definisi simpul yang dapat menggambarkan hal substansial-esensial di dalam agama yang
dihayati oleh bangsa manusia. Agama dimaknai sebagai keyakinan religius dan sakral yang
dipersepsikan dalam konteks antropomorfis ketuhanan, akan suatu kekuatan tertinggi yang
melampaui kemampuan manusia (International Encyclopedia of the Social Sciences, 2010:
hlm.159). Keyakinan ini terdapat pada semua penganut agama dunia umumnya dan
khususnya Agama Islam, Katolik, Protestan, Budha, Hindu maupun Konghucu yang dianuti
oleh masyakarat Indonesia. Intinya, semua penganut agama mengakui adanya suatu kekuatan
impersonal yang disebut Tuhan ataupun kata-kata bermakna paralel yang searti dengannya.
Kekuatan impersonal itu merupakan substansi yang supranatural, adikodrati, dan
transendental.

B. TERMINOLOGI IMAN

Apa itu Iman? Secara etimologis dalam bahasa Arab, kata ”iman”berarti: percaya,
merasa aman. Arti ini sejalan dengan pengertian kata Ibrani dalam Perjanjian Lama, ”emuna’,
’he emin’ yang berasal dari kata ’mn’ yang berarti tetap. Kata Ibrani ini memiliki padanannya
dalam bahasa Yunani sebagaimana terdapat dalam Septuaginta. Dalam Bahasa Yunani ada
kata ’pistis’ yang artinya memberikan kepercayaan kepada seseorang. Kata ini merupakan
rumpun dari kata ’peithomai’ yang artinya: percaya kepada, mengandalkan seseorang,
mempercayakan diri kepada. Ada juga unsur Semit lain, yaitu kata ’batah’ yang artinya
mengandalkan seseorang, percaya kepada.

Baik kata Arab ’Iman’ maupun kata Ibrani dan Yunani tadi sama-sama berkaitan
dengan kata ’aman’, keamanan. Di dalam kata-kata itu terdapat pengertian mantap, teguh,
kokoh, stabil dan tidak tergoncangkan (Gea: 2004, hal. 63-64). Dalam konteks keyakinan
keagamaan, terminologi iman dipahami sebagai percaya di dalam batin/hati, pasti tentang
sesuatu, pasti tentang Tuhan dan wahyuNya. Artinya seseorang yang beriman tidak ragu

CHAR6021 – Character Building: Agama


tentang kebenaran Tuhan melalui wahyu suci di dalam keyakinan agama masing-masing.
Sehingga iman adalah jawaban atau tanggapan manusia atas wahyu Tuhan.

C. ELEMEN DASAR AGAMA

Sudah disinggung pada bagian sebelumnya bahwa sangat sulit merumuskan satu
definisi yang lengkap dan memuaskan tentang agama. Karena itulah para peneliti bidang
agama lebih memilih untuk menkonsentrasikan diri pada karakter dasar atau elemen umum
yang terdapat pada semua agama yang dihayati manusia di planet bumi ini.

Umumnya terdapat lima (5) elemen dasar yang terdapat di dalam agama yakni:

a. Memiliki kepercayaan agama

Kepercayaan merupakan unsur dasar di dalam agama. Kepercayaan artinya


keyakinan atau iman yang kukuh dan tidak tergoncangkan pada Tuhan ataupun
substansi yang disembah di dalam agama-agama. Kepercayaan identik dengan suatu
keyakinan spiritual yang mengkristal di dalam hati orang yang menghayati agama.
Keyakinan itu tampak dalam hal-hal seperti pengakuan akan adanya satu Tuhan
(monoteisme), keyakinan akan keselamatan di akhirat (parusia), kepercayaan akan
reinkarnasi bagi agama Hindu ataupun kepercayaan pada roh nenek moyang yang
dihayati oleh para pemeluk agama Shinto.

Unsur kepercayaan dalam agama sangat menentukan disposisi batin orang-


orang yang menghayati agama. Kalau orang meyakini agamanya secara kukuh dan
tidak tergoncangkan, ia akan konsisten untuk mendalami agama itu secara mendalam.
Ia akan merasa aman, damai dan bahagia dalam agama bersangkutan. Namun kalau
dia tidak memiliki kepercayaan yang baik di dalam agama itu, ia sulit berkembang
baik di dalam agama dimaksud. Ia bisa menjadi bosan, malas, apatis, antipati dan
bahkan mengalami pengalaman negatif lainnya. Kalau orang memiliki kepercayaan
yang teguh dalam agamanya, orang bersangkutan akan menghayati hidup secara
bermakna, positif dan produktif. Ia merasa aman dalam agama yang dianutnya.

CHAR6021 – Character Building: Agama


”Saya bukannya mencoba menyelami keagunganMu ya Tuhan, sebab saya
sama sekali tidak membandingkan akal budiku dengan keagunganMu itu. Tetapi saya
ingin sedikit melihat kebenaranMu, yang dipercayai dan dicintai oleh hatiku. Dan
saya tidak bermaksud untuk memahami agar percaya, tetapi saya percaya agar bisa
memahami. Sebab saya percaya juga bahwa saya tidak akan mampu memahami
kecuali jika saya percaya.” (Santo Anselmus).

b. Memiliki simbol agama

Agama-agama biasanya memiliki simbol, tanda dan lambang tertentu di


dalamnya. Simbol atau lambang itu bukan hampa makna atau pun nihil nilai. Simbol
memiliki kandungan arti dan makna tertentu di baliknya. Simbol hanya dipahami dan
dimengerti secara eksklusif oleh kelompok penganut agama bersangkutan. Kelompok
agama lain tidak dapat memahami secara baik dan mendalam simbol-simbol yang
terdapat di dalam agama kelompok lainnya.

Simbol biasanya berkaitan dengan filosofi atau cara pandang para penganut
agama berkaitan dengan Tuhan yang mereka sembah dalam agama mereka. Simbol
diklaim sebagai unsur bersifat suci, sakral, istimewa dan unik Simbol biasanya dapat
menjadi sarana yang mendukung praktik ibadat atau ritus kelompok penganut agama
bersangkutan. Simbol sangat penting artinya bagi penganut agama.

Beberapa contoh simbol dalam agama-agama misalnya dalam Islam terdapat


simbol tertentu seperti tasbih, dalam agama Katolik ada simbol rosario, dalam agama
Kristen Protestan (dan Katolik) ada simbol salib, dalam agama Budha dan Hindu ada
simbol patung-patung, dalam agama Konghucu ada Hio dan lain sebagainya. Simbol
agama juga dapat dilihat dalam bentuk rumah (bangunan) ibadat yang dapat dilihat
secara artifisial. Biasanya simbol agama-agama dihormati, dihargai dan digunakan
sebagai instrumen pendukung dalam doa, ibadat, ritus suci dan upacara-upacara
keagamaan. Simbol diyakini mampu mengantar para penganut agama masuk lebih
khusyuk di dalam ibadat-ibadat yang mereka lakukan.

CHAR6021 – Character Building: Agama


”Dalam seluruh eksistensi hidupnya, manusia selalu mengeskpresikan diri
melalui simbol-simbol unik sebagai ungkapan pikiran dan perasaannya dalam
komunikasinya dengan orang lain. Karena itulah manusia disebut sebagai homo
symbolicum yang meneguhkan hakikat manusia sebagai makhluk berbudaya”
(Ernst Cassirer).

c. Memiliki praktik agama

Para penganut agama biasanya menjalankan praktik keagamaan sebagai


bagian integral dalam kehidupan religius mereka. Ada banyak praktik keagamaan
yang biasanya dilakukan baik secara individual maupun secara kelompok. Praktik
keagamaan itu dilakukan sebagai ungkapan iman para pemeluk agama kepada Tuhan.

Praktik keagamaan yang dapat dilihat dalam kehidupan religius para penganut
agama misalnya berdoa, sembahyang/sholat/yoga, berpuasa pada waktu-waktu
tertentu, berpantang makan daging hewan tertentu dan lain sebagainya. Para penganut
agama lazim menjalankan praktik keagamaan ini secara serius dan konsisten. Praktik
ini pun menjadi tanda penunjuk identitas untuk mengenali jenis agama yang dianut
oleh pemeluk agama tertentu.

Salah satu unsur dasar yang menyertai praktik agama adalah dimensi sikap
patuh untuk melakukan praktik itu dengan penuh ketaatan dan loyalitas. Hal inilah
yang lalu membuat praktik agama itu sebagai hal yang rutin dilakukan oleh para
penganut agama. Praktik agama itu ada yang bersifat wajib dan harus, ada pula yang
bersifat tidak wajib atau fakultatif disertai berbagai konsekuensi aturan dan ketentuan
yang menyertainya.

d. Memiliki umat atau penganut agama

Individu atau orang yang kemudian bergabung dalam kelompok jenis agama
tertentu akhirnya membentuk apa yang disebut kelompok atau komunitas pemeluk
agama. Lazimnya orang yang memeluk agama tertentu disebut penganut agama atau
umat. Umat merupakan kumpulan orang-orang yang memiliki iman, keyakinan dan
kepercayaan yang sama akan Tuhan atau Allah ataupun sebutan lain yang searti
dengannya.

CHAR6021 – Character Building: Agama


Penganut masing-masing agama menjalankan ibadat atau upacara keagamaan
untuk menunjukkan eksistensi mereka sebagai umat dari golongan agama tertentu.
Mereka juga menghayati praktik keagamaan dalam suasana kebersamaan,
persaudaraan dan keakraban satu sama lain. Selain kelompok penganut agama dalam
jumlah besar, biasanya ada pengelompokan umat dalam bagian-bagian yang lebih
kecil lagi dengan jumlah anggota yang lebih kecil atau sedikit. Misalnya ada warga
jemaat atau lingkungan di dalam umat Kristiani (Katolik dan Protestan), atau warga
pesantren/majelis taklim tertentu, komunitas keagamaan yang terdiri dari anggota
suatu gereja tertentu, komunitas pura dan wihara dan lain sebagainya.

e. Memiliki pengalaman keagamaan

Setiap penganut agama memiliki pengalaman-pengalaman keagamaan tertentu yang


khas dan unik. Pengalaman keagamaan itu dihayati secara bersama maupun pribadi.
Misalnya saja di kalangan Kristen Protestan ada yang mengalami pengalaman keagamaan
lalu menghayati panggilan khusus menjadi pendeta. Di kalangan Katolik seseorang yang
mengalami pengalaman keagamaan akan merasa terpanggil untuk menjadi pastor (romo
atau pater) ataupun menjadi biarawan (bruder) dan biarawati (suster). Di dalam agama
Islam, orang yang mengalami pengalaman keagamaan akan merasa terdorong untuk pergi
menunaikan ibadah haji di Mekkah.

Di Budha orang yang mengalami pengalaman keagamaan akan merasa terpanggil untuk
menjadi biksu atau pewarta agama yang baik.

Pengalaman keagamaan ini hampir ditemukan di dalam setiap agama di dunia.


Pengalaman keagamaan ini sering menjadi tolok ukur untuk menentukan kadar
kedalaman hubungan orang beragama dengan Tuhan. Semakin dalam hubungan dengan
Tuhan, seseorang akan mudah mengalami pengalaman keagamaan. Semakin jauh relasi
dengan Tuhan, maka pengalaman keagamaan pun semakin jauh dari hidup orang itu.
Maka setiap orang beragama perlu mengembangkan diri dan mengusahakan diri untuk
dapat mengalami pengalaman keagamaan dalam hidupnya.

Orang yang mengalami pengalaman keagamaan akan merasa kukuh dan kuat
menghayati agama yang telah dipilih dan dianutnya. Ia tidak akan mudah tergoncangkan

CHAR6021 – Character Building: Agama


untuk melakukan hal yang buruk atau hal yang salah dalam hidupnya. Ia tidak akan
gampang juga untuk terjatuh ke dalam godaan-godaan dunia ini yang menyesatkan dan
menghanyutkan manusia ke dalam jurang dosa. Sebab dosa semakin menjauhkan manusia
dari Tuhan sebagai substansi ilahi yang disembah dalam agama-agama.

D. PERAN AGAMA BAGI MANUSIA

1. Membentuk Pribadi yang Religius-Spiritual

Agama berurusan dengan kehidupan pribadi manusia dalam mengekspresikan iman


kepada Tuhan. Oleh karena itu agama bertujuan untuk membentuk pribadi yang religius-
spiritual. Agama memberikan sumbangsih berharga bagi dimensi manusia sebagai pribadi
dan sosial agar manusia bertumbuh ideal dalam kesempurnaan dirinya sebagai makhluk
rohani.

Peran utama agama terletak pada kekuatan nilai-nilai yang dikandungnya. Agama
bergelut dengan persoalan nilai-nilai etis-moral sebagai nilai-nilai kebijaksanaan yang sangat
dibutuhkan manusia dalam menjalankan kehidupan ini. Manusia tak layak hidup sebagai
manusia jika mengabaikan nilai-nilai luhur religius di dalam agama seperti moralitas religius,
cinta kasih, empati, peduli, memaafkan, damai dengan sesama dll. Manusia yang hidup tanpa
dasar agama akan mudah terpenjara dalam pengaruh materialisme dan profanisme
(sekularisme) yang menyesatkan diri.

Agama membentuk pribadi yang religius, beriman dan percaya teguh pada Tuhan
dalam seluruh ziarah eksistensinya sebagai manusia. Pribadi yang religius menghargai nilai-
nilai rohani dan nilai-nilai ke-Tuhanan dalam totalitas dinamika hidupnya. Nilai-nilai rohani
sekaligus nilai ke-Tuhanan yang dimaksud yakni nilai kebenaran, nilai kebaikan, nilai
keindahan dan nilai religius. Pribadi yang religius akan menghayati dan berkomitmen
menghidupi nilai-nilai ini dalam keseluruhan kehidupannya. Ia memegang teguh prinsip-
prinsip nilai ini dalam segala situasi, dalam segala kondisi dan dalam mengemban profesi apa
saja. Ia terus berefleksi, merenung, berpikir dan mengolah diri untuk semakin menjadi pribadi
yang religius-spiritual.

CHAR6021 – Character Building: Agama


2. Membentuk Pribadi yang Bermoral

Dari awal sejarah kehidupannya, setiap individu manusia berkembang dalam level
perkembangan moral tertentu menurut tahap-tahap khusus. Hal ini sudah ditelusuri secara
ilmiah-akademis oleh para pemikir terkenal sebelumnya seperti John Rawls, Jean Piaget
maupun Kohlberg. Pemikiran Kohlberg akan sedikit didalami pada bagian ini untuk
memperluas pemahaman kita tentang perkembangan moralitas pada manusia umumnya.

Kohlberg mengemukakan tiga (3) level/tingkatan moral dan enam (6) tahap
perkembangan moral yang dialami oleh setiap orang. Teori perkembangan moral Kohlberg
dapat dijabarkan dalam tiga tingkatan perkembangan moral berikut ini.

 Level Moralitas Prakonvensional (usia 0-9 tahun) di mana individu menyesuaikan diri
dengan aturan-aturan sosial (takut dihukum kalau bersalah dan berharap mendapatkan
reward karena berbuat baik). Level ini dibagi atas dua (2) tahap lagi yakni:

a. Tahap 1: Hukuman dan orientasi ketaatan. Individu menyesuaikan diri


(pikirannya) dengan otoritas superior di atas dirinya yang berkuasa mengadili.
Individu takut dan berusaha menghindari hukuman (punishment).

b. Tahap 2: Perubahan kepentingan diri. Individu taat supaya mendapatkan


imbalan yang ditawarkan oleh orang lain pada dirinya. Individu rela berbuat
baik agar orang lain memenuhi keinginan/kebutuhan yang dikehendakinya.

 Level Moralitas Konvensional (usia remaja) di mana individu mulai mengerti,


menerima dan melaksanakan aturan dan harapan sosial yang ditentukan oleh otoritas
superior di atasnya. Aturan-aturan moral sudah diinternalisasikan secara baik di dalam
dirinya. Level ini dibagi atas dua (2) tahap lagi yakni:

c). Tahap 3: Menjaga relasi interpersonal yang baik. Individu berusaha agar
terlihat baik oleh orang-orang di sekitarnya. Ia berusaha menghidupi nilai-nilai
kebaikan yang diharapkan oleh orang-orang yang berada di sekitar misalnya
orang tua, keluarga dan teman-teman. Individu akan merasa malu di hadapan
teman-temannya kalau melakukan suatu kesalahan. Ia akan berusaha menjaga
kepercayaan, loyal, hormat dan menghargai orang lain.

CHAR6021 – Character Building: Agama


d). Tahap 4: Menjaga sistem sosial termasuk relasi dengan otoritas sosial.
Individu menyetujui aturan-aturan sosial dan perjanjian-perjanjian yang terlihat
adil sebab ia ingin menjaga fungsi sistem sosial. Tahap ini disebut juga
penyesuaian diri dengan hukum dan aturan moral (law and order morality).

 Level Moralitas Postkonvensional (level yang dicapai oleh sebagian kecil orang
dewasa sampai umur 20-an tahun). Pada tahap ini aturan-aturan sosial diterima namun
individu melakukan internalisasi nilai-nilai moral sendiri di bawah hukum-hukum.

 Jika prinsip-prinsip moral individu bertentangan dengan aturan-aturan sosial, individu


akan diarahkan oleh prinsip-prinsipnya sendiri. Dua (2) tahap moralitas level ini
yakni:

e). Tahap 5: Moralitas kontrak sosial dan hak-hak individu. Aturan-aturan sosial
terlihat relatif dapat berubah sesuai dengan akibat dari suatu persetujuan. Agar
diterima, hukum-hukum harus lolos dari prosedur demokratis dan imparsial.
Individu taat dengan perjanjian-perjanjian yang sesuai dengan nilai-nilai pribadi
dan hormat pada komunitas secara rasional.

f). Tahap 6: Moralitas berdasarkan prinsip etika universal. Sebagai pribadi


rasional, individu mengenal validitas etika universal. Misalnya hak untuk hidup
dan hak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan fungsi-fungsi sosial.
Individu memiliki perasaan komitmen personal pada prinsip-prinsip etika umum
(universal). Tindakan individu lebih berdasarkan kesadaran pribadi, bukan
berdasarkan tekanan luar ataupun kontrak-kontrak sosial tertentu. Di sini
seharusnya individu mencapai tahap kedewasaan moralnya.

Bertitik tolak pada teori moral Kohlberg ini, kita perlu mengatakan bahwa agama
merupakan hal yang sangat berkontribusi positif bagi perkembangan moral manusia juga.
Agama memberikan sumbangsih penting dalam menumbuhkan manusia untuk berkembang
matang dalam keyakinan iman dan moralitasnya. Berbagai macam larangan, aturan, norma,
pantangan dalam agama berperan penting membentuk moralitas individu religius. Seseorang
penganut agama akan semakin matang dalam moralnya ketika ia mampu bertindak otonom
secara moral dalam menghadapi berbagai persoalan yang dihadapi dalam hidupnya.

CHAR6021 – Character Building: Agama


Agama diharapkan menjadi elemen yang mendukung pribadi manusia berkembang
maksimal menembus tahap ke-6 yakni menghayati moralitas berdasarkan prinsip-prinsip
etika universal. Ketika hanya sedikit orang saja yang mampu mencapai tahap ke-6 karena
berbagai alasan dan argumentasi, agama bisa tampil sebagai jawaban alternatif dan solusi. Ia
bisa tampil sebagai “prinsip jalan ketiga” atau ”jalan tengah” untuk membentuk pribadi
bermoral. Inilah fungsi klasik dari agama yang tak dapat tergantikan di samping tradisi dan
nilai-nilai bijak lain yang terkandung di dalam etnis, suku dan budaya masyarakat manusia di
dunia ini.

3. Membentuk Pribadi Arif dan Bijaksana

Peran agama bagi manusia bukan hanya untuk membentuk pribadi yang bermoral,
melainkan juga membentuk pribadi yang arif dan bijaksana. Pribadi yang arif artinya pribadi
yang mampu menunjukkan perbuatan baik dalam kenyataan/tindakan sehari-hari misalnya
menolong sesama yang membutuhkan bantuan dan lain sebagainya. Orang yang arif juga
akan bersikap sopan dan santun dalam setiap langkah hidupnya. Bersikap baik dan sopan
dalam relasi dengan sesama menjadi kebahagiaan tersendiri yang dikejar dan diperjuangkan
secara konsisten.

Sedangkan pribadi yang bijaksana adalah pribadi yang mengutamakan hati nurani dan
pikiran benar yang terwujud dalam tindakan konkret yang tidak mandatangkan kerugian atau
penderitaan-kemalangan bagi sesama (others). Kebijaksanaan adalah filosofi terhadap diri,
dunia dan sesama dengan tidak hanya mengandalkan dimensi akal budi (pikiran) namun juga
mendengarkan suara hati/nurani. Hati nurani adalah tempat tinggal atau bersemayamnya hal
yang baik, suci dan kudus.

Kata “nur” dalam Bahasa Arab artinya cahaya. Nur merupakan istilah untuk
menyebut hati nurani sebagai pancaran cahaya Ilahi Tuhan. Orang beragama dan penganut
aliran spiritual percaya hati nurani sebagai tempat tinggal Tuhan ataupun identik dengan hal-
hal yang memantulkan cahaya moral-etis yang baik bagi manusia. Orang beragama dan
spiritual akan bertindak menurut hati nurani yang baik sebagai hal tertinggi dalam hidupnya.
Ia percaya hati nurani, mendengarkan hati nurani dan taat hati nurani yang mampu
mengarahkan diri pada kebaikan dan kebenaran religius-spiritual.

CHAR6021 – Character Building: Agama


Pribadi yang bijaksana terlihat penuh pertimbangan dalam melakukan aktivitas
(kegiatan) dalam hidup. Ia tidak akan bertindak ceroboh berhadapan dengan situasi apa saja
dalam pengalaman hidupnya. Ia tidak hanya menggunakan pikiran sebab pikiran dapat salah
dan merugikan orang lain. Menggunakan pikiran akan membuat orang mudah terjebak pada
kesombongan intelektualisme dan rasionalisasi yang keliru. Maka menggunakan pikiran saja
tidak cukup. Orang perlu juga mendengarkan bisikan hati nurani (suara hati) agar bisa
bertindak baik dan benar dalam hidup.

Hati nurani perlu didengarkan karena ia memberikan peran yang luar biasa bagi
manusia. Peran hati nurani itu di antaranya: menjadi petunjuk/pedoman bagi manusia untuk
menilai suatu tindakan apakah tindakan itu baik atau buruk; menjadi pegangan bagi manusia
dalam hidup; menyadarkan manusia akan nilai-nilai penting dan berharga di dalam hidupnya.
Atas alasan-asalan inilah maka kita perlu mentaati hati nurani dalam hidup agar kita semakin
berkembang menjadi sosok pribadi yang arif-bijaksana.

“Selain pikiran yang memiliki logika, hati nurani pun memiliki logikanya sendiri. Itulah yang
disebut logika hati”. (Blaise Pascal)

E. CARA-CARA MEMPELAJARI AGAMA

Agama disadari urgensinya bagi manusia untuk pengembangan dimensi rohani-


spiritual diri. Agama adalah salah satu sarana efektif untuk mengembangkan aspek rohani
pribadi manusia. Hal itu disebabkan karena agama memiliki arah/visi membentuk pribadi
manusia yang memiliki keyakinan iman kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Agama memiliki kekuatan dan potensi-potensi yang dikembangkan untuk mencapai


dimensi rohani-spiritual diri yang semakin baik. Kita bertanya bagaimana caranya kita belajar
agama yang benar? Bagian mana dari agama yang dapat kita pelajari dan kita kembangkan
menuju kualitas hidup rohani yang semakin ideal? Pada umumnya kita belajar agama atau
memperdalam iman keagamaan melalui cara-cara berikut ini:

CHAR6021 – Character Building: Agama


1. Rajin Berdoa

Doa dimaknai dalam agama-agama sebagai berbagai bentuk kegiatan atau aktivitas
manusia dalam berkomunikasi dengan Tuhan. Dalam hidup sehari-hari orang beriman
biasanya berdoa kepada Tuhan baik secara pribadi maupun secara bersama-sama. Doa dapat
dilakukan di tempat mana saja asalkan layak dan memungkinkan untuk dilakukannya
aktivitas komunikasi dengan Tuhan dimaksud. Orang dapat berdoa di tempat ibadah (masjid,
gereja, pura, wihara, klenteng) atau pun di tempat-tempat lain yang dianggap layak. Orang
beragama juga dapat berdoa di rumah, di kantor, di tempat kerja atau di tempat mana pun
asalkan pantas.

Biasanya sebelum berdoa orang melakukan persiapan-persiapan, baik itu persiapan


fisik maupun persiapan batin. Yang paling penting utamanya yakni persiapan batin. Karena
doa berkaitan dengan keterarahan batin manusia kepada Tuhan. Persiapan batin lebih penting
dalam berdoa. Persiapan yang baik akan membawa hasil yang efektif juga. Kalau persiapan
tidak dilakukan dengan baik, maka hasil akhirnya pun tidak akan berarti apa-apa. Persiapan
yang baik mempermudah orang untuk fokus dan konsentrasi berdoa kepada Tuhan. Segala
hal lain yang tidak penting, harus disingkirkan dan ditinggalkan kalau mau berdoa dengan
khusyuk.

Dalam doa manusia berkomunikasi dengan Tuhan. Bentuk komunikasi itu melibatkan
seluruh unsur diri manusia. Doa melibatkan unsur badan, emosi, jiwa, hati dan pikiran
manusia. Konsentrasi begitu penting dalam doa. Dibutuhkan sikap fokus yang tinggi dan
totalitas keterarahan jiwa manusia pada Tuhan. Konsentrasi perlu agar manusia dapat
menyerap nilai-nilai religius yang memberikan inspirasi bagi hidupnya. Aktivitas doa yang
dilakukan orang beriman dan beragama hendaknya disertai dengan refleksi yang mendalam
untuk menemukan nilai-nilai hakiki kehidupan yang mengarahkan manusia untuk semakin
mencintai Tuhan, sesama, alam dan diri sendiri.

Dalam doa orang beragama dapat merenungkan sifat-sifat mendasar yang ada pada
hakikat Tuhan: Maha Pengampun, Maha Adil, Maha Tahu, Maha Kasih, Maha Cinta dan
sebagainya. Manusia dapat mengambil inspirasi dari sifat-sifat Tuhan tersebut dan berlatih
untuk mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Sifat-sifat Tuhan dalam agama-
agama merupakan nilai-nilai religius penting yang dapat dihayati oleh orang beragama dalam

CHAR6021 – Character Building: Agama


usaha mengembangkan kecerdasan religius agamanya. Penemuan nilai-nilai religius pokok di
dalam doa seperti kasih, damai, dan cinta, dapat memotivasi manusia untuk semakin
bertumbuh cerdas dalam dimensi rohaninya.

Dr. Howard Kelly, dulunya seorang bocah miskin. Ia pernah meminta segelas air
kepada seorang gadis muda yang memberinya segelas susu gratis. Belakangan wanita itu
dirawat di rumah sakit. Dr. Kelly mengenalinya. Selesai perawatan, ia menulis kwitansi:
“Telah dibayar penuh dengan satu gelas susu”. Si pasien yang semula khawatir tidak akan
mampu membayar, berdoa dalam nada syukur: “Terima kasih Tuhan, kasihMu telah
memancar melalui hati dan tangan manusia” (Gea: 2004, hlm. 23-24).

Kisah di atas menunjukkan bahwa si pasien memiliki kecerdasan religius yang baik.
Ia mampu melihat campur tangan (intervensi) Tuhan dalam segala pengalaman hidupnya. Ia
spontan berdoa kepada Tuhan di saat ia mengalami sentuhan kasih Tuhan melalui sesama
dalam pengalaman hidup yang menakjubkan. Doa si pasien menunjukkan kualitas rohani
yang ada pada dirinya. Bahwa ia tahu bersyukur kepada Tuhan karena Tuhan telah
mencurahkan rahmat kasih baginya melalui perantaraan orang lain yang tidak ia duga sama
sekali.

2. Setia Melakukan Ritual Peribadatan

Agama-agama mengenal praktik-praktik keagamaan yang dilakukan sebagai sarana


untuk mengembangkan dimensi religius para penganutnya. Praktik ritual ini dapat dilakukan
secara pribadi atau bersama-sama. Praktik ritual umumnya dilakukan di tempat ibadat
ataupun di tempat lain yang layak dan pantas untuk itu.

Orang Katolik mengenal Misa/Ekaristi, devosi, novena, sharing kitab suci, doa brevir,
sakramen dan sakramentali sebagai bentuk-bentuk ritual menunnjukkan rasa hormat kepada
Tuhan (Allah). Orang Protestan mengenal penyembahan, perayaan kurban, saat hening, dan
doa-doa kristen yang dilakukan dalam persekutuan jemaat. Orang Islam menjalankan al
ahkam al khamsa (hukum Islam) agar mendatangkan pahala bagi hidupnya. Orang Budha
melakukan ritus penghormatan kepada Sang Budha Gautama untuk menjadi pribadi yang
hidup semakin bermoral. Orang Hindu melakukan praktik ritus di tempat tertentu dan pada
momentum yang sesuai dengan irama hidup setiap hari seperti di sekitar rumah tinggal,

CHAR6021 – Character Building: Agama


sumber air, saat matahari terbit dan waktu penting lainnya. Orang Konghucu melakukan
praktik ritual untuk menghormati thien dan juga agar mencapai manusia budiman (kuncu).
Penganut aliran spiritual/kepercayaan melakukan berbagai ritus untuk menunjukkan
pengakuan mereka akan Tuhan yang Maha Esa. Aliran-aliran spiritual mengembangkan
berbagai teknik/cara untuk mengeksplorasi dimensi kebatinan untuk mengembangkan budi
pekerti yang baik dan akhlak mulia.

Dalam praktik ritual-ritual tersebut dilakukan ritual ibadat, penyembahan,


penghormatan, nyanyian, himne dan kotbah-kotbah rohani yang didaraskan oleh pemimpin
ibadat (Ustad/Haji, Pastor/Romo, Pendeta, Biksu, Samanera dll) yang melayani para
jemaatnya. Setiap orang yang mengikuti praktik ritual diharapkan melibatkan seluruh dimensi
diri termasuk emosi, kesadaran, sikap dan pikirannya secara total. Hasil akhir yang
diharapkan dari praktik ritual yakni mendapatkan pahala, berkat, rahmat dari Tuhan atas
kehidupan diri manusia. Manusia dapat menemukan inspirasi hidup dari praktik ritual untuk
mengembangkan spiritual diri semakin lebih baik. Praktik ritual mendukung perkembangan
spiritual diri kita.

3. Merenungkan Kitab Suci Agama

Semua agama ada kitab sucinya masing-masing. Penganut Agama Islam memiliki
Alquran, kaum Kristiani (Katolik dan Protestan) memiliki Alkitab (Perjanjian Lama dan

Baru), Agama Budha memiliki Tripitaka, Agama Hindu memiliki Weda, Agama
Konghucu memiliki Wu Jing dan Si Shu. Kitab suci ini mengandung wejangan religius-
spiritual Tuhan bagi umatNya. Kitab Suci berisikan ajaran-ajaran moral dan etika yang
berfungsi sebagai pedoman manusia dalam berpikir, berperilaku dan bersikap. Isi kitab suci
merupakan kristalisasi ajaran dan nilai religius-spiritual yang sangat berguna bagi penganut
agama dalam menjalankan tanggung jawab religius sebagai insan yang percaya kepada
Tuhan.

Tulisan kitab suci agama-agama sangat bernilai tinggi dan kaya akan makna rohani-
spiritual. Orang beragama dapat mengembangkan kualitas religius dirinya dengan membaca,
merenungkan dan menghayati kebijaksanaan-kebijaksanaan religius yang tertuang dalam
kitab suci agama masing-masing. Di sini kitab suci dapat disebut sebagai ”Kitab Tuhan”

CHAR6021 – Character Building: Agama


orang-orang beragama. Kitab Tuhan tersebut harus dihargai sebagai buku suci yang
memberikan spirit, semangat, motivasi dan inspirasi hidup bagi manusia beragama yang
beriman pada Tuhan. Maka setiap orang beragama seharusnya rajin membaca dan
merenungkan nilai-nilai religio-spiritual luhur yang tercantum dalam kitab suci. Misalnya
nilai-nilai moral: kebaikan, cinta kasih, kejujuran, keadilan, kedamaian, kerendahan hati,
ketulusan, belas kasihan, peduli sesama dan lain sebagainya. Nilai-nilai religius dimaksud
diharapkan bisa diolah lanjut melalui refleksi dan aksi sosial konkret sebagai tanda bahwa
kita menghidupkan kitab suci dalam kehidupan nyata sehari-hari. Memiliki kitab suci saja
belum cukup. Yang lebih utama yakni membaca, merenungkan, memaknai dan menghidupi
pesan kitab suci itu sehingga berdaya guna bagi hidup kita maupun hidup sesama. Kitab suci
mendukung perkembangan dimensi religius-spiritual diri. Kitab suci menjadi kekuatan
transformatif yang mengubah diri kita ke arah lebih baik dalam aspek rohani.

4. Mencontohi Ajaran Para Nabi dan Orang Suci

Selain Kitab Suci, semua agama pun mengenal doktrin atau ajaran iman yang
berisikan hal-hal mendasar yang berkaitan dengan usaha mengembangkan kualitas rohani-
religius para penganutnya. Biasanya ajaran-ajaran itu diciptakan oleh para pendahulu, para
pemimpin agama dan juga para nabi, serta orang kudus dalam periode sejarah hidup mereka
di masa silam. Entahkah itu nabi, orang kudus ataupun tokoh religius-spiritual di masa lalu.
Ajaran mereka terus bergaung di sepanjang zaman dari dulu hingga sekarang bahkan sampai
selama-lamanya. Para tokoh sejarah itu misalnya Nabi Muhammad SAW dan para khalifah,
Yesus Kristus dan para rasul serta santo/santa, para orang suci dalam Hinduisme, Sang Budha
Gautama, Konfusius dll. Mereka semua mengajarkan kita kebijaksanaan religius yang
bernilai luhur yang bisa kita contohi dan teladani untuk hidup keagamaan dan keimanan kita
yang lebih baik lagi.

Ajaran-ajaran agama dimaksud bisa berupa nasihat, ajakan, imbauan, perintah,


larangan atau pun norma-norma yang harus diterapkan secara konsisten oleh para penganut
agama. Umumnya ajaran-ajaran agama dimaksud berisikan hal-hal etis-moral bagi
perkembangan hidup orang beragama ke arah yang semakin baik dan positif. Ajaran iman
agama menjadi sumber norma kebaikan dan ikhtiar kesempurnaan hidup manusiawi.

CHAR6021 – Character Building: Agama


Ajaran agama itu bisa berupa seruan moral bagi penganut agama untuk berperilaku
hidup yang baik dan benar dalam realitas sosial. Biasanya ajaran moral itu diserukan oleh
pemimpin agama berhadapan dengan masalah-masalah yang muncul dalam konteks
pembangunan sosial masyarakat. Seruan itu berfungsi sebagai kendali preventif ataupun
represif agar orang beragama menghayati kualitas hidup yang semakin baik dalam tatanan
sosial. Ajaran agama di sini memiliki juga aspek relevansi sosialnya. Penganut agama yang
baik akan memperhatikan seruan moral para pemimpinnya sehingga ikut bertumbuh menjadi
pribadi lebih religius-spiritual.

CHAR6021 – Character Building: Agama


KESIMPULAN

Agama dan iman memiliki kaitan erat namun keduanya tidaklah sama. Iman
merupakan kepercayaan dan penyerahan diri secara total pada Tuhan. Iman bukan hanya
dalam hati melainkan penuntun bagi kehidupan, yang mewarnai sikap dan perilaku. Iman itu
dihayati dalam kehidupan, dengan merayakannya dalam wujud ritual/ibadat dan kesaksian
hidup. Agama berperan sebagai wadah dimana iman bisa dipelihara, dijaga, dibina dan
diteruskan. Orang beragama belum tentu beriman, dan orang beriman (dalam arti
sesungguhnya) seharusnya juga beragama

CHAR6021 – Character Building: Agama


DAFTAR PUSTAKA

Antonius Atosokhi Gea et all (2004). CB III: Relasi dengan Tuhan. Elex Media Komputindo:
Jakarta.

Ernst Cassirer (1944). AN ESSAY ON MAN: An Introduction to a Philosophy of Human


Culture. Louis Storm Memorial Fund: USA

Frederikus Fios et all (2012). Diktat Kuliah Character Building: Spiritual Development.
Jakarta: Bina Nusantara University.

International Encyclopedia of the Social Science (2010). Detroit: Maxmillan Reference

CHAR6021 – Character Building: Agama


LECTURE NOTES

Character Building: Agama

Week 2

MENGENAL TUHAN MELALUI ALAM1

1
Sebagian besar materi ini diadaptasi dari Frederikus Fios et all (2012). CB: Spiritual Development. CBDC
Bina Nusantara University: Jakarta.

CHAR6021 – Character Building: Agama


LEARNING OUTCOMES

LO2 : Menjelaskan pengenalan akan Tuhan melalui sesama dan lingkungan hidup

OUTLINE MATERI (Sub-Topic):

 Alam ciptaan sebagai penampakan Tuhan


 Pengertian dan makna Eco-Teologi
 Cara-cara peduli pada alam
 Buah-buah yang didapatkan dari kepedulian pada alam

CHAR6021 – Character Building: Agama


MENGENAL TUHAN MELALUI ALAM

A. Memahami Alam Lingkungan

Istilah alam lingkungan memiliki banyak arti dan makna. Namun dari banyak makna
itu kiranya kita sepakat bahwa secara praktis, alam lingkungan terdiri dari unsur-unsur non
manusiawi (infrahuman) yang terdapat di dalam kosmos atau semesta ini. Unsur-unsur yang
dimaksud di antaranya sinar matahari, tanah, udara, air, flora (tumbuhan), fauna (hewan),
iklim, suhu, dan lain sebagainya. Dalam perspektif ekologi, manusia hanyalah salah satu
elemen saja di dalam jejaring ekosistem alam lingkungan itu. Paradigma seperti ini tentu
kontradiktoris dengan paradigma antroposentrisme yang menempatkan manusia sebagai pusat
dalam tatanan alam semesta atau realitas kosmos ini.

Jika segala entitas ada di dalam alam merupakan satu kesatuan ekosistem,
maka terdapat sebuah korelasi fundamental antara berbagai unsur kosmik di dalam alam ini.
Ada rerantai hubungan integral yang erat satu unsur dengan unsur yang lain.
Matahari memberikan sinar yang berfungsi untuk memperlancar proses fotosintesis
tumbuhan yang akhirnya menghasilkan daun dan buah yang bisa dikonsumsi oleh manusia
dan hewan demi kelangsungan hidupnya. Siklus ini berevolusi, terus berlangsung sepanjang
waktu untuk memastikan eksistensi kehidupan itu tetap ada menuju masa depan kehidupan
alam itu sendiri.

Hubungan atau interaksi antarunsur di dalam alam semesta saling menentukan


keberadaan masing-masing. Jika salah satu unsur alam rusak/langka, maka dipastikan bagian
lain dari alam ikut rusak, hancur dan binasa. Misalnya ketika mata air di gunung mengering,
maka dipastikan segala unsur biotik seperti tumbuhan, hewan dan manusia langsung terkena
imbasnya. Krisis air dipastikan melanda seluruh makhluk hidup yang membutuhkan air
sebagai sumber kehidupannya. Karena itu ketika alam rusak atau dirusakkan, maka tamatlah
riwayat hidup manusia dan seluruh makhluk hidup (biologis) dalam realitas alam semesta ini.
Karena itu alam lingkungan kita mutlak dijaga dan dipelihara.

Kondisi lingkungan alam bumi kita saban hari terus dihantui problem krusial yang
menderanya. Krisis ekologi yang disebabkan oleh aktivitas pembangunan manusia membuat
alam tempat kita hidup menjadi tidak seimbang lagi. Bumi hampir di ambang kepunahannya.

CHAR6021 – Character Building: Agama


Dan semua makhluk hidup termasuk kita umat manusia berada pada titik kritis kalau tak mau
dikatakan genting atau gawat.

Apa akar masalah krisis alam lingkungan bumi ini? Bisa dikedepankan dua (2)
penyebab utama krisis alam lingkungan dewasa ini: yakni pada tataran hidup praktis dan pada
tataran wilayah teori atau cara berpikir. Pertama, pada tataran praktis, kerusakan alam
muncul karena sikap dan perilaku manusia yang tidak berlandaskan nilai-nilai moral-etis
dalam mengembangkan relasi dengan alam (perilaku yang tidak etis-ekologis). Model ini
menunjukkan cara bersikap tidak ramah lingkungan yang berujung pada penciptaan pola
relasi eksploitatif terhadap alam. Pola ini dinilai tidak etis dari sudut pandang kebaikan alam
lingkungan karena hanya mengedepankan sikap tamak/rakus manusia.

Kedua, pada tataran paradigma atau cara berpikir manusia. Bicara soal paradigma
berpikir, tentu kita tidak bisa lepas dari prinsip filosofi atau cara pandang manusia terhadap
alam. Cara berpikir sesat-keliru pada alam akan terwujud dalam perilaku tidak bijak dalam
relasi manusia dengan alam. Mindset pikiran manusia yang keliru menjadi salah faktor
penyebab kerusakan alam semesta.

Diskursus filsafat lingkungan kontemporer memunculkan kritik atas filsafat rasional


(logika) yang diagungkan manusia sejak zaman auflaerung atau masa pencerahan (abad 18).
Ilmu pengetahuan dan teknologi yang dielu-elukan filsafat rasional (logika-atomistik)
memunculkan kemajuan di berbagai bidang pembangunan manusia, namun serentak pada
saat yang sama membawa petaka berupa kemunduran/ketidakmajuan dalam pembangunan
yang tampil dalam wajah alam yang rusak dan memprihatinkan kita. Mestinya
kemajuan/kebaikan manusia dibarengi juga dengan kemajuan dalam kebaikan alam itu
sendiri. Inilah ambivalensi pembangunan.

Banyak kritik ditujukan kepada filsafat rasional (logika-atomistik) yang tidak


mempedulikan masa depan alam lingkungan bumi. Salah satu pemikir yang gencar
menyerang filsafat rasional yakni Filsuf Polandia, Hendrick Skolimowski. Dalam bukunya
Living Philosophy: Eco-Philosphy as A Tree of Life (1992), Skolimowski mengkritik cara
berpikir rasional (logika) dan ilmu pengetahuan modern yang cendrung mekanistik-
reduksionistik yang berujung pada tindakan eksploitasi atas lingkungan alam. Karena itu
Skolimowski memperkenalkan suatu paradigma pikir baru yang disebutnya eko-filosofi (eco-

CHAR6021 – Character Building: Agama


philosophy). Kekuatan utama prinsip eko-filosofi yakni cara berpikir baru yang melihat alam
secara religius-spiritual. Maka eko-filosofi sama artinya dengan sebuah eco-spiritual
(spiritualitas ekologis alam) baru demi kebaikan alam lingkungan hidup itu sendiri.

Eco-spiritual memberikan suatu imperatif religius-spiritual bagi manusia untuk


kembali menghargai nilai-nilai intrinsik yang mengkristal di dalam alam. Eco-spiritual
mengarahkan kembali tindakan manusia untuk mengembalikan nuansa keindahan dan pesona
alam yang luar biasa namun yang kini telah hilang nuansanya karena ekspresi logika
rasionalitas keliru dan tindakan tak etis-destruktif atas alam. Saatnya semua manusia
melakukan total action (gerakan menyeluruh), sebagaimana dilansir oleh Arne Naess untuk
kembali ke alam (back to nature). Gerakan sadar lingkungan ini bukan hanya untuk segelintir
orang namun harus menjadi gerakan bersama seluruh masyarakat dunia (total action) semua
pihak mulai dari individu, unsur politik, pengambil kebijakan ekonomi, akademisi, tidak
secara terpisah-pisah (terkotak-kotak), tetapi dilakukan secara bersamaan (menyeluruh).
Gerakan ini harusnya menjadi gerakan semua orang di bumi yang masih memiliki semangat
kepedulian tinggi pada kebaikan alam kita. Jika tidak, kita akan kehilangan kesempatan untuk
menyelamatkan alam kita dan kita tunggu kebinsaan kita semua secara total, lambat tapi
pasti.

Tentu bagi kita orang-orang yang menghayati agama dan spiritualisme, eko-filosofi
bisa menjadi suatu kewajiban/kesadaran moral religius-spiritual yang dipakai sebagai modal
atau instrumen efektif untuk mengubah cara pikir kita yang keliru/salah pada lingkungan
alam. Manusia telah berdosa terhadap alam dengan kejahatan-kejahatan ekologis seperti
menebang pohon, membuang sampah sembarangan, merambah hutan secara liar, mengotori
air, mempolusikan udara dan lain sebagainya. Perlu dilakukan sebuah metanoia (pertobatan)
ekologis untuk mengembalikan kembali keindahan dan kesakralan alam semesta. Cara pikir
yang sudah kita ubah, niat luhur yang sudah ada dalam hati, kita tunjukkan juga dalam
komitmen tindak-nyata untuk membangun relasi yang lebih etis, estetis, humanis, harmonis
dan selaras dengan alam lingkungan. Sesudahnya, mari kita sama-sama songsong sebuah
tatanan dunia baru yang bebas dari krisis ekologis. Kita sambut masa depan ekologi bumi
yang semakin baik.

CHAR6021 – Character Building: Agama


Sebagai orang-orang yang beragama dan beriman, kita harus sadar untuk menjaga
alam. Kita tidak hanya perlu berpikir atau berdoa saja, tapi perlu juga untuk bertindak nyata
mengekspresikan kesadaran religius-spiritual untuk peduli pada alam. Menyelamatkan dan
menjaga alam adalah bagian dari usaha manusia untuk menjaga keutuhan dan kelanggengan
alam. Menjaga dan memelihara alam adalah bagian dari hidup iman keagamaan dan
keyakinan spiritual hakiki kita umat manusia di bumi ini.

B. Alam Semesta sebagai Penampakan (Epifani) Tuhan

Semua agama dan aliran spiritual memiliki satu keyakinan mendasar bahwa alam
lingkungan termasuk manusia di dalamnya diciptakan Tuhan Yang Maha Esa yang indah dan
baik adanya sejak semula. Alam adalah emanasi, pancaran atau mengalir keluar dari Tuhan
itu sendiri. Agama-agama yakin dan percaya bahwa Tuhan berbicara kepada kita umat-Nya
melalui fenomena alam yang kita lihat sehari-hari. Oleh karena itu alam semesta (universum)
adalah tanda kehadiran Tuhan. Alam semesta adalah epifani (penampakan) Tuhan itu sendiri.

Adanya dunia dan proses evolusinya dalam dinamika waktu yang panjang tidak
mengurangi kualitas nilai luhur alam semesta sebagai ciptaan Tuhan. Lingkungan alam
tempat manusia hidup merupakan sebuah realitas yang bernilai intrinsik pada dirinya sendiri.
Nilai intrinsik alam tidak ditentukan oleh manusia, namun memiliki nilai internal pada
dirinya sendiri (in se) sejak awal mula diciptakan Tuhan. Nilai intrinsik lingkungan alam
diberikan Tuhan sejak proses penciptaan dan berlangsung sampai sekarang dan hingga ke
masa depan sepanjang keberadaan alam ini. Manusia tidak berhak sedikitpun menentukan
nilai dan martabat lingkungan alam. Lingkungan alam adalah sebuah faktisitas atau
kenyataan yang terberikan oleh Tuhan untuk manusia. Karenanya lingkungan alam adalah
berkat (rahmat) instimewa Tuhan yang perlu disyukuri oleh setiap manusia di kolong langit
ini. Bentuk syukur tersebut harusnya direalisasikan dalam wujud sikap tanggung jawab
manusia untuk menjaga dan melestarikan lingkungan alam.

CHAR6021 – Character Building: Agama


PERAN TUHAN DI LADANG

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh satu akademi pertanian tentang produksi 3640
liter jagung di ladang seluas 1 hektar. Manusia menyumbangkan tenaganya. Tuhan
menyumbangkan beberap hal juga: 4 juta pon air, 6800 pon oksigen, 5200 pon karbon,
1900 pon karbon dioksida, 160 pon nitrogen, 125 pon potasium, 40 pon fosfor, 74 sulfur
kuning, 50 pon magnesium, 50 pon kalsium, 2 pon besi dan sejumlah partikel kecil
iodine, seng, tembaga dan lain-lain. Dan semuanya itu berada di dalam 3640 liter
jagung. Siapa yang membuatnya? (Frank Mihalic).

Tuhan berperan tak terlihat menjadikan segala proses yang terjadi di dalam alam ini
berlangsung dan mencapai hasil yang indah, tepat, efektif, efisien dan sempurna pada
waktunya. Tak satu pun yang tahu bahwa Tuhan bekerja dengan cara yang agung dan
mengagumkan sekali. Tuhan merajut berbagai unsur (elemen) dalam alam semesta dan
menciptakan berbagai jenis makhluk hidup termasuk tumbuhan bebijian jagung seperti kisah
di atas.

Alam adalah ciptaan Tuhan yang sungguh indah dan luar biasa tak terselami akal budi
dan logika pikir manusia. Kita manusia pantas dan layak bersyukur atas semua keindahan
yang diberikan oleh Tuhan ini. Bentuk rasa syukur itu dapat manusia sampaikan dalam
untaian doa dan syair religius pada Tuhan sebagai Sang Pemberi Kehidupan.

CHAR6021 – Character Building: Agama


TERIMA KASIH UNTUK BUMI

Terima kasih, ya Tuhan untuk bumi yang hijau

Tak dapat dibayangkan dunia ini tanpa lumut dan rerumputan

Tanpa ilalang dan pepohonan

Tanpa kembang dan bebuahan

Terima kasih, ya Tuhan untuk pohon-pohon

Yang memagar pantai dan menghijaukan pegunungan

Yang kami tebang untuk membangun

Rumah, jembatan dan perkantoran

Terima kasih, ya Tuhan untuk hutan yang menahan erosi

Yang menyuburkan tanah

Dan yang mendatangkan batu bara dan minyak tanah

Terima kasih ya Tuhan untuk dedaunan yang menyedot polusi

Dan memberi kami zat untuk bernapas

Yang dapat kami olah menjadi

Sambal, lalapan, tahu, tempe dan kangkung cah

Terima kasih ya Tuhan untuk bunga-bunga yang menghias taman dan kamar

Yang dapat kami hadiahkan kepada kekasih tanda cinta dan kesetiaan

Yang dapat kami taburkan di atas pusara

Tanda kasih dan sayang, kenangan dan persahabatan

Terima kasih ya Tuhan untuk buah mangga dan buah salak

Untuk buah durian dan buah segala buah. Amin (Y. Lalu).

CHAR6021 – Character Building: Agama


Manusia religius-spiritual yang bijak adalah persona yang memiliki visi jauh dan
intuisi mendalam untuk menjaga dan mempertahankan panorama alam sebagai hadiah
terindah Tuhan bagi manusia. Bahwa alam bukan semata-mata ada untuk dieksploitasi bagi
kebutuhan manusia, melainkan ia hadir sebagai ciptaan yang ikut membuktikan jejak
kehadiran Tuhan di dalam realitas dunia ini. Karena itu alam harus dijaga dan dilestarikan
sebagai realitas yang bermakna religius-spiritual. Artinya alam adalah salah satu bentuk
kesaksian tentang hakikat Tuhan sebagai Maha Pencipta.

Segala kehidupan yang berlangsung di dalam alam berlangsung dalam Tuhan dan
kelak akan kembali ke fitrah, ke pangkuan Ilahi Tuhan. Filsuf Teilhard de Cardin mengatakan
hidup adalah gerakan dari Tuhan sebagai titik alfa (awal) menuju titik omega (akhir) dalam
Tuhan sendiri. Karena itulah manusia perlu menyadari kebenaran religio-spiritual ini dan
menghayati relasi dengan lingkungan alam dalam suatu hubungan iman/keyakinan pada
Tuhan Sang Pencipta alam semesta.

C. Makna Religius Alam dan Eco-Teologi

Pandangan teologi tentang ekologi alam bisa disarikan dalam konsep Eco-Theology
atau eko-teologi. Ekologi berasal dari kata Yunani oikos, artinya rumah. Ekologi merupakan
studi tentang bagaimana organism di dalam alam saling beriteraksi satu sama lain dalam
konteks lingkungannya (Bdk, Roderick Frazier Nash: 1989, hal. 55). Sedangkan teologi
artinya pandangan atau filosofis tentang keTuhanan. Inti pemikiran eko-teologi yakni
terdapat adanya satu kesatuan intrinsik antara berbagai elemen yakni Tuhan, manusia dan
segala entitas ada di dalam alam. Untuk menegaskan prinsip kebenaran ini, Allan R.
Brockway menulis: “sebuah teologi tentang dunia alam semesta…..mengandung makna
instrinsik bahwa terdapat kesatuan segala sesuatu di dalam alam antara dunia manusia
dengan dunia non manusia. Terdapat kesatuan antara dunia manusia dengan dunia non
manusiawi yang saling memancarkan dimensi ilahi itu mulai dari batu-batu, pohon-pohon,
udara, air, minyak dan mineral, hewan-hewan dan termasuk di dalamnya kita manusia juga”
(Ibid., 87).

CHAR6021 – Character Building: Agama


Bahkan para teolog dan filsuf aliran agama-agama mengatakan bahwa teologi yang
baik seharusnya memperhatikan etika ekologi (ecology ethics) yakni memperhatikan dimensi
keadilan terhadap alam. Artinya iman kita tidak boleh hanya sebatas doktrin saja, melainkan
harus diwujudkan ke dalam tindakan ekologis yang peduli terhadap hak-hak dan kebaikan
alam lingkungan hidup kita. Inilah saatnya kita melakukan penghijauan terhadap agama atau
lebih popular dalam istilah Roderick Frazier Nash, “The Greening of Religion” (Ibid., hal.
87-120).

Pandangan yang religius agama-agama 2 terhadap alam bakal memunculkan


sikap-sikap yang manusiawi dan bersahabat dengan alam, etis, bermoral, integratif, holistik
dan menyeluruh. Visi religius kita terhadap alam kita realisasikan juga dalam realitas sosial
kita dalam relasi dengan segala makhluk hidup (biotic) dan makhluk tidak hidup (abiotik).
Visi ekologi-religius akhirnya menjadi bagian dari iman kita kaum beragama dalam
menghayati eksistensinya di bumi ini dalam mengembangkan relasi yang harmonis dengan
dengan alam. Iman kita kepada Tuhan perlu kita realisasikan dalam relasi harmonis dengan
alam. Relasi manusia dengan alam ini bukan jangka pendek saja, melainkan suatu relasi ideal
yang perlu dilanjutkan dalam jangka panjang untuk generasi manusia dan makhluk hidup lain
di masa depan. Keberlanjutan hidup generasi kehidupan masa depan tergantung pada pikiran,
tindakan dan perilaku kita saat ini. Kita perlu menjaga alam pada saat ini untuk menjamin
kelangsungan hidup banyak pihak di masa depan. Inilah sikap religius kita sebagai orang-
orang yang mengaktualisasikan iman kepada alam sebagai ciptaan Tuhan sendiri.

Sudah umum diterima pandangan atau pemahaman bahwa alam semesta ini sungguh
adalah ciptaan Tuhan yang Maha Esa. Banyak filsuf yang berbicara tentang alam dari
perspektif agama-agama dunia ini yakni Islam, Kristiani, Budha, Hindu, Konghucu,
Yudaisme, Jainisme dll. Agama-agama memandang alam sebagai suatu kenyataan yang
bernilai luhur religius sebagai ciptaan Tuhan dan oleh karena itu alam perlu dijaga
keberlanjutannya di masa depan.

2
Pandangan-pandangan yang diuraikan menurut agama-agama di sini diadaptasi dari Mary Evelyn Tucker &
John A. Grim (ed.) Worldviews and Ecology: Religion, Philosophy, and the Environment. New York: Orbis
Book. Bdk. edisi Indonesia berjudul “Agama, Filsafat dan Lingkungan” (2003) terjemahan P. Hardono Hadi.
Yogyakarta: Kanisius.

CHAR6021 – Character Building: Agama


Pandangan Kristiani (Katolik dan Protestan) tentang alam sebagai ciptaan Tuhan bisa
ditelusuri di dalam Alkitab maupun para pemikiran para filsuf kristiani. Di dalam Kitab
Kejadian Bab 1 di situ jelas ditegaskan bahwa langit dan bumi beserta isinya diciptakan oleh
Allah sendiri. Artinya kehadiran alam semesta ini terjadi karena kekuasaan Tuhan.
Sementara itu di dalam pandangan filsuf-filsuf kristiani (Teologi Barat), alam dipersepsikan
sebagai realitas yang melulu bernilai rohani yakni berasal dari Tuhan sendiri. Pandangan ini
tampak dalam pemikiran Origenes (185-254 M), Santo Thomas Aquinas (1225-1274), Santo
Bonaventura (1221-1274), Dante (1265-1321), Karl Barth (1886-1968), dan Teilhard de
Chardin (1881-1955). Pandangan mereka umumnya mengklaim bahwa alam semesta adalah
ciptaan Tuhan dan kembali kepada Tuhan. Sementara itu pandangan kristiani yang melihat
alam dalam perspektif motiv ekologis masa depan tampak dalam pemikiran Santo Agustinus
(354-430), Santo Fransiskus Asisi (1182-1226), Martin Luther (1483-1546), Calvin (1509-
1564) yang semuanya mengatakan bahwa alam semesta ini dan manusia serta segala makhluk
akan ditebus/diselamatkan pada akhir zaman. Artinya kondisi kebaikan manusia, alam dan
segala makhluk akan disempurnakan, diselamatkan pada zaman eskatologis, zaman parusia,
akhir zaman ketika Tuhan datang menyelamatkan manusia yang percaya kepadaNya.

Pandangan Islam juga tak kalah menariknya atas alam. Dalam Bukunya
The Translation of the Meaning of Sahih Al-Bukhari (terjemahan Muhammad Muhsin Khan)
Muhammad Ibn Isma’il al-Bukhari mengatakan di Al-Qur’an Allah adalah Pencipta dunia ini
yang dilakukan dalam enam hari (7:54; 10:3; 11:7; 25:59; 32:4 dan 57:4). Ini menunjukkan
pandangan Islam yang mendasar bahwa alam semesta adalah ciptaan Tuhan. Alquran juga
menegaskan bahwa Allah itu Esa dan Allah berkuasa atas seluruh ciptaan di dalam alam
semesta ini, langit dan bumi adalah milik Allah (2:107; 3:189; 9:116; 23:84-89; 35:13; dan
57:2). Kebiasaan Muhammad SAW berdoa pagi dan sore dihubungkan dengan kuasa Allah
atas dunia( bdk. Mishkat, 506. Lihat juga J.M.S. Baljon, “The Amr of God in the Koran”,
Acta Orientalia). Implikasinya bahwa pandangan monoteistik Islam tidak mendukung
eksploitasi atas bumi oleh karena itu Islam juga memiliki pandangan yang ekologis atas alam
sebagai realitas yang bernilai religius yang perlu dijaga dan dipelihara.

Di dalam Budhisme khususnya Budha Mahayana, terdapat tradisi Tathagatagarbha


dan Alayavijanana yang menggambarkan suatu kosmologi dan antropologi saling berkaitan.

CHAR6021 – Character Building: Agama


Dikatakan semua mahkluk hidup akan mencapai pencerahan atau kebijaksanaan tertinggi dan
sempurna dalam KeBudhaan. Jalan Budhis sebagai proses di mana kesadaran individual
diubah menjadi kebijaksanaan sempurna. Menurut Budha, segala objek dalam alam
berhubungan satu sama lain. Prinsip pratityasamutpada, atau kemunculan bersama benda-
benda merupakan suatu proses dinamis dan kolaboratis banyak hal lain. Tidak ada satu objek
pun di dalam alam yang ada dari dirinya sendiri, tetapi hanya sebagai suatu konteks
hubungan, suatu nexus/jalinan faktor-faktor yang berhubungan satu sama lain. Ada sebuah
kanon Pali dari Budha yang mengatakan keterkaitan segala sesuatu di dalam alam ini: “Ini
ada, itu menjadi; dari munculnya ini, itu muncul; ini bukan menjadi, itu tidak menjadi; dari
mandeknya ini, itu mandek” (Bdk. Najjhima-Nikaya, 2: 32; Samyutta-Nikaya 2:28).

Di dalam Hinduisme, alam memiliki nilai religius yang mendalam. Di dalam sejarah
India ditemukan kebudayaan kota yang disesuaikan dengan ritme alami, lambang kota
Mohenjodaro dan Harapa di lembah Indus melukiskan seseorang yang sedang bermeditasi-
yang oleh beberapa filsuf dianggap sebagai wujud pertama dewa Siwa-dengan penuh damai
dikelilingi oleh tumbuhan lebat dan hewan-hewan jinak. Sementara itu Rig Veda melukiskan
pujian-pujian yang tinggi atas pelbagai kekuatan alam, menganggap alam sebagai keilahian
yang pantas disembah puji. Sungai-sungai (Ganga, Yamuna, Sarasvati, Sindhu) dan tanah
(Prthivi) dilihat sebagai dewa-dewi, sementara angin (Maruts) dan api (Agni) disebut sebagai
dewa laki-laki. Malah di dalam nyanyian Purusa Sukta dinyatakan: “Bulan lahir dari budinya,
Matanya melahirkan matahari, Indra dan Agni muncul dari mulutnya; Dan Vayu (angin) lahir
dari nafasnya; dari pusarnya muncul udara; langit muncul dari kepalanya; dari kaki, bumi;
dari telinga, mata angin. Begitulah mereka membentuk dunia-dunia (Bdk. Rig Veda 10:190,
13-14. Terj. Antonio T, de Nicolas, Meditations through the Rig Veda: Four Dimensions
Man(New York: Nicolas Hays, 1976).

Konfusianisme awal, seperti Taoisme, secara kosmologis memahami dunia ini


sebagai bagian dari semesta yang berubah, dinamis dan mekar (Bdk. Terjemahan Arthur
Waley mengenai Analects dan D.C. Lau mengenai Mencius, 1970). Proses pemekaran dan
kesinambungan dari alam dan harmoni musim sangatlah ditegaskan oleh para Konfusian.
Semesta dilihat muncul dengan sendirinya, dibimbing oleh pemekaran Tao, sebuah term yang
dipegang teguh oleh Konfusian dan Taoisme dengan makna yang berbeda. Mereka juga

CHAR6021 – Character Building: Agama


mengakui adanya kekuatan-kekuatan yang berlawanan di dalam alam misalnya dalam konsep
yin dan yang.

D. Cara-Cara Peduli pada Alam Lingkungan

Visi eko-spiritual sebagai imperatif religius-spiritual kelompok agama dan penganut


spiritualisme harusnya tidak hanya sampai pada cara berpikir, tetapi perlu diaktualisasikan
secara nyata dalam aktivitas hidup sehari-hari. Ia perlu diekspresikan, ditunjukkan dan
diwujudkan dalam hidup nyata. Visi ini harus tercermin dalam perbuatan yang hidup sebagai
bentuk kesaksian yang paling otentik di dalam dunia.

Iman itu bukan hanya keyakinan, melainkan juga perbuatan. Iman tanpa perbuatan tak
mungkin atau sia-sialah belaka. Karena iman tanpa perbuatan akan kehilangan relevansi
praksisnya. Iman kepada Tuhan tidak hanya ditunjukkan dalam ritual ibadah atau perbuatan
etis pada sesama, tetapi juga harus dinyatakan dalam relasi yang etis dengan alam. Di sinilah
iman ekologis menjadi urgen. Iman ekologis bukan hanya soal masalah pengetahuan,
keyakinan dan kata-kata saja. Iman ekologis menuntut realisasi di dalam praksis dalam
bentuk perbuatan atau aksi konkret-nyata. Untuk itu kita perlu segera bertindak. Saat ini yang
lebih penting adalah keberanian untuk bertindak nyata peduli pada alam daripada sebuah
renungan bijak tentang alam. Lalu bagaimana caranya kita menunjukkan iman ekologis itu?

Pertama, menyadari lingkungan alam sebagai sumber kehidupan segala makhluk


di dunia termasuk hewan dan manusia tentunya. Kesadaran ini wajib dihayati oleh setiap
orang beragama dan penganut spiritual. Kesadaran akan nilai dasar lingkungan alam ini akan
membuat kita menghargai alam, menghormati alam dan bertoleransi pada alam. Toleransi
pada lingkungan alam artinya kita membiarkan alam bertumbuh dan berkembang sesuai
dengan tendensi alamiah di dalam dirinya sendiri, tanpa adanya intervensi berlebihan dari
pihak manusia. Kalau kita menghidupkan lingkungan alam, maka lingkungan alam juga akan
menghidupkan kita manusia dan seluruh makhluk. Sebaliknya jika kita membunuh kehidupan
alam, maka alam pun akan semakin sadis lagi membinasakan kehidupan manusia dan
makhluk hidup lainnya. Kalau kita menjaga alam, alam pun akan menjaga kita. Kalau kita
tidak menjaga alam, maka alam pun tidak akan menjaga kita. Kesadaran akan lingkungan
alam sebagai sumber kehidupan akan mendorong kita untuk rajin menanam pohon hijau,
tidak menebang hutan secara sembarangan, membuang sampah pada tempatnya dan lain

CHAR6021 – Character Building: Agama


sebagainya. Menyitir David C. Korten, “orang yang memiliki kesadaran spiritual akan
menginsafi bahwa lingkungan alam merupakan “integral world” dan memaknai keberadaan
dirinya sebagai partner aktif atau co-creator dalam melayani evolusi ciptaan untuk
mengaktualisasikan kemungkinan-kemungkinannya” (Korten: 2006, hal.47). Kesadaran
spiritual membuat manusia melakukan tindakan-tindakan kreatif untuk menjaga
keberlangsungan hidup alam semesta. Tentu dengan membiarkan alam merealisasikan dan
mewujudkan dirinya secara bebas dan otonom tanpa intervensi-dominatif manusia.

Kedua, melakukan gerakan minimalis dalam hidup nyata sehari-hari.


Gerakan minimalis artinya kita hanya butuh sedikit untuk hidup daripada butuh banyak.
Kita tidak perlu hidup maksimalis dalam memperlakukan lingkungan alam. Kita cukup
mengambil sedikit manfaat saja dari alam tanpa proyeksi nafsu ekstrim untuk menguasainya,
apalagi mengedepankan rasa rakus berlebihan untuk menghisap hasil lingkungan alam (bumi)
secara sembarangan dan tidak wajar. Gerakan minimalis membuat kita mencukupkan diri
dengan hidup apa adanya, tanpa ambisi untuk menguras alam sebesar-besarnya. Gerakan
minimalis harusnya terpancar keluar dalam sikap tidak boros dalam memanfaatkan sumber
energi alam misalnya hemat air, hemat listrik, hemat menggunakan minyak bumi, bersepeda
saja ke kampus atau tempat kerja dan lain sebagainya. Gerakan minimalis urgen kita hayati
secara konsisten dalam hidup kita mulai saat ini.

Ketiga, berani mengkritik kegiatan pembangunan yang tidak mendukung kebaikan


lingkungan alam. Iman ekologis menuntut kita untuk kritis pada segala usaha pembangunan
yang tidak mendukung kebaikan lingkungan alam kita. Jika kelompok politik atau pun kaum
kapitalis tidak mempedulikan kebaikan dan keselamatan lingkungan alam, maka kelompok
spiritualis dan kelompok agama perlu menyuarakan suara kritis menegakkan nilai-nilai
kebaikan ekologis kita. Jika ada penjahat lingkungan yang masih saja melakukan kejahatan
ekologis, kita perlu mengkampanyekan nilai yang berseberangan dengannya. Kita perlu kritis
pada orientasi pembangunan yang tidak pro-life dan gagasan pembangunan berkelanjuntan.
Kejahatan ekologis akan terus berkembang jika kita kelompok agama dan spiritual tidak
melakukan tindakan apapun untuk menyelamatkan bumi. Artinya kita tidak boleh diam
menyaksikan eksploitasi lingkungan yang merusak terus terjadi di depan mata kita. Kita perlu

CHAR6021 – Character Building: Agama


berani melakukan kritik-positif sebagai komitmen mulia untuk menjaga kebaikan lingkungan
alam demi keutuhan dan kebaikan bumi.

Keempat, mengembangkan hubungan yang spiritual dengan lingkungan alam.


Lingkungan alam perlu dipandang sebagai realitas bernilai spiritual pada dirinya sendiri.
Visi ini mendorong kita untuk menghargai kesucian, kekudusan dan kekeramatan intrinsik
yang melekat pada alam. Sejarah sudah membuktikan bahwa pengrusakan alam terjadi ketika
manusia tidak menghargai lagi kesucian alam. Maka usaha menjaga dan melestarikan alam
hanya bisa kita lakukan jika melihat alam sebagai realitas yang suci di dalam dirinya sendiri.
Visi ini akan mencegah kita untuk mengeksploitasi alam secara membabi-buta untuk
kepentingan egoistik manusia. Sudah saatnya kita membangun, menjaga dan melestarikan
pola relasi baru dengan alam dalam nuansa spiritual. Pola hidup spiritual seperti ini akan
memunculkan semangat respek yang tinggi pada lingkungan alam sebagai realitas keramat
yang mutlak dilindungi nilai dan martabatnya. Pola relasi spiritual dengan alam akan
membuat kita melakukan tindakan-tindakan positif untuk menjaga kebaikan, keindahan dan
kesucian alam tanpa berikhtiar untuk memburukkan, menjelekkan dan menodai lingkungan
alam kita.

E. Buah-Buah Kepedulian pada Alam Lingkungan

Pada bagian sebelumnya kita sudah melihat tentang cara-cara yang dapat
dikembangkan untuk menunjukkan sikap peduli pada lingkungan alam. Semua upaya tersebut
tentu sangat bermanfaat positif bagi terciptanya situasi masa depan alam yang lebih baik lagi
dibandingkan sekarang ini. Buah-buah dari sikap peduli pada lingkungan alam dimaksud bisa
diproyeksikan dalam lima (5) pokok pikiran berupa pengkondisian masa depan alam yang
lebih baik lagi, yakni: terciptanya situasi lingkungan alam yang seimbang (ekuilibrasi),
terciptanya situasi keadilan terhadap alam (yustisial), terciptanya situasi kebaikan alam
(etika), terciptanya situasi keindahan alam (estetika), terciptanya kondisi sakralitas alam
(spiritualisme). Kita akan melihat pembahasannya satu per satu.

Pertama, terciptanya lingkungan alam yang seimbang. Jika kita menerapkan cara-cara
peduli pada alam secara konsisten dan konsekuen, maka akan tercipta lingkungan alam yang

CHAR6021 – Character Building: Agama


seimbang. Keseimbangan yang dimaksud di sini artinya kerusakan alam yang signifikan dan
dampaknya yang merusakkan kehidupan manusia dan makhluk lain akan semakin berkurang
atau bisa diminimalisasi. Sebuah surga di dunia dalam kondisi lingkungan alam yang
seimbang dan harmonis mau kita ciptakan kembali sejak sekarang di dunia fana ini. Alam
yang seimbang tampak dalam berkurangnya bencana alam banjir, angin topan, badai ganas,
krisis energi, pemanasan global, tanah longsor dan lain sebagainya. Peristiwa bencana alam
akibat ulah manusia mau kita eliminasi sehingga manusia semakin nyaman tinggal di bumi
ini.

Kedua, terciptanya situasi keadilan terhadap alam. Segala bentuk tindakan eksploitasi
yang berlebihan pada alam menggambarkan perlakukan tidak adil manusia terhadap alam.
Perlakuan tidak adil manusia pada alam menunjukkan kekuasaan manusia dan
mengedepankan suatu bentuk kolonialisme baru (kriptokolonialisme) manusia pada
lingkungan alam. Padahal, hidup manusia seluruhnya tergantung pada alam dan tidak
mungkin tanpa lingkungan alam. Sikap peduli pada alam akan menciptakan sikap adil
manusia pada alam yang selama ini tidak dipertimbangkan atau bahkan tidak disadari sama
sekali. Sikap adil bukan hanya perlu diwujudkan dalam relasi antarmanusia, melainkan juga
dalam relasi dengan alam. Keadilan pada alam artinya manusia mau kembalikan nilai-nilai
intrinsik luhur yang sudah dirampas dari alam itu sendiri. Kita mau kembalikan apa yang
menjadi hak-hak alam untuk bertumbuh secara natural tanpa intervensi kekuasaan
manipulatif berlebihan dari pihak manusia. Kita biarkan alam menentukan jalannya sendiri
menuju kesempurnaan dirinya. Kesempurnaan alam terletak pada dirinya sendiri (inheren),
dan tidak ditentukan oleh tanggapan indrawi-irasional ataupun keputusan rasional-logis
manusia.

Ketiga, terciptanya situasi kebaikan alam. Alam yang tetap dalam kondisi terjaga baik
menjadi arah atau orientasi dasar semua orang yang peduli pada alam. Tindakan peduli pada
alam alhasil akan menghasilkan situasi ideal bagi kebaikan alam lingkungan kita sendiri.
Alam yang dalam kondisi baik akan tampak dalam nuansanya yang asri, yang tersenyum,
yang ramah dan bersahabat dengan manusia dan makhluk lainnya. Alam yang baik tidak akan
memberikan bencana bagi kehidupan manusia dan makhluk lainnya di bumi ini.

CHAR6021 – Character Building: Agama


Keempat, terciptanya situasi keindahan alam. Tindakan peduli pada alam akan
menghasilkan kembali lingkungan alam yang indah. Kita mau lingkungan alam menjadi
realitas surgawi bagi kita manusia. Lingkungan alam yang indah tampak dalam pemandangan
alam yang menarik, hutan-hutan lebat menghijau, burung berkicau di atas pohon, hingga
embun yang bercahaya pada dedaunan. Situasi indah alam memancarkan pesona eksotis yang
menenteramkan hati dan menghidupkan berbagai makhluk hidup. Keindahan alam ibarat ibu
yang memberikan rasa nyaman dan kebahagiaan batin bagi manusia yang mampu merasakan
nilai estetis. Santo Agustinus pernah bermadah: “Lihatlah keindahan bumi, lihatlah
keindahan samudera, tanyakanlah keindahan udara yang menyebarluas, tanyakan keindahan
langit, tanyakanlah semua benda dan makhluk; dan semuanya akan menjawab: lihatlah betapa
indahnya kami, siapakah yang menciptakan benda-benda yang indah di dunia ini kalau bukan
Yang Ilahi? (Leteng:2005, hal. 24). Keindahan alam adalah hasil ciptaan Tuhan yang perlu
dipelihara dan dilestarikan eksistensinya oleh manusia. Dan ini hanya mungkin jika manusia
memiliki intuisi dan visi spiritual untuk peduli pada alam.

Kelima, memulihkan sakralitas alam. Tindakan eksploitatif manusia pada alam telah
mengggeruskan sakralitas alam. Dan kita mau peduli pada alam untuk memulihkan sakralitas
alam itu. Salah satu hasil atau buah penting dari tindakan peduli pada lingkungan alam
tampak dalam kondisi alam yang sakral, kudus, suci. Alam yang sakral sungguh bernilai
luhur dan mulia serta kudus karena diciptakan oleh Tuhan sendiri. Sebagai ciptaan Tuhan,
alam memiliki kualitas keilahian dan kekudusan di dalam dirinya sendiri. Kualitas sakral ini
patut diinsyafi oleh setiap manusia yang masih punya hati nurani yang murni dan bening.
Sikap peduli pada lingkungan alam harus dilandasi oleh iman ekologis yang tinggi dan
mendalam pada alam sebagai ciptaan Tuhan yang bernilai agung-luhur.

CHAR6021 – Character Building: Agama


KESIMPULAN

Alam ini, dan semua isinya, merupakan ciptaan Tuhan. Bagi kita manusia, alam ini
merupakan sumber kehidupan, yang menjamin kehidupan kita bisa berlangsung, yang
menyediakan berbagai kebutuhan hidup bagi kita. Kalau alam rusak maka kita akan binasa.
Jadi, kalau kita orang-orang beragama mengatakan bahwa Tuhan atau Allah begitu baik bagi
kita, mencintai kita, memenuhi kebutuhan hidup kita, maka wujud konkrit bagi kita akan hal
itu adalah alam sendiri, yang menyediakan segala yang kita perlukan, yang menyediakan
segala kebutuhan hidup kita. Dengan demikian alam dapat kita pandang sebagai penampakan
kasih Tuhan kepada kita. Dengan melihat alam, menikmati segala yang disediakan untuk kita,
disitu seharusnya hati kita terbuka untuk mengalami betapa baiknya Tuhan bagi kita, yang
selalu mencintai kita, yang hadir dalam hidup kita melalui alam ciptaan-Nya.

CHAR6021 – Character Building: Agama


DAFTAR PUSTAKA

David C. Korten (2006). The Great Turning From Empire to the Earth Community. Berret
Koehler Publisher, San Francisko.

FranK Mihalic SVD (2009 terj). 1500 Cerita Bermakna, untuk Renungan dan Khotbah dan
Ceramah Anda. Bogor: Grafika Mardi Yuana.

Frederikus Fios et all (2012). CB: Spiritual Development. CBDC Bina Nusantara University:
Jakarta.
Hubert Leteng (2005). “Filsafat dan Spiritualitas” dalam Jurnal Ledalero Vol. 4 No. 2.
Maumere: Penerbit Ledalero
Henryk Skolimowski (1992). Eco-Philosophy as A Tree of Life. Arkana Penguin Books.

Mary Evelyn Tucker & John A. Grim (ed.) Worldviews and Ecology: Religion, Philosophy,
and the Environment. New York: Orbis Book

Roderick Frazier Nash (1989). The Rights of Nature (A History of Environmental Ethics).
London: The University of Wisconsin Press.

CHAR6021 – Character Building: Agama


LECTURE NOTES

Character Building: Agama

Week 3

MENGENAL TUHAN MELALUI SESAMA


MANUSIA

CHAR6021 – Character Building: Agama


LEARNING OUTCOMES

LO2 : Menjelaskan pengenalan akan Tuhan melalui sesama dan lingkungan hidup

OUTLINE MATERI (Sub-Topic):

 Manusia sebagai penampakan Tuhan


 Dimensi-dimensi dasar diri manusia
 Cinta pada Tuhan terwujud dalam cinta tulus pada sesama
 Perintah Tuhan untuk saling mencintai

CHAR6021 – Character Building: Agama


MENGENAL TUHAN MELALUI SESAMA MANUSIA

A. SESAMA MANUSIA SEBAGAI PENAMPAKAN TUHAN

Apakah sesamaku manusia yang lain adalah pribadi yang lain? Iya, karena sebagai
subjek otonom mereka itu unik dan berbeda dengan saya. Mereka adalah aku-ku yang lain
yang berbeda dengan saya dalam penampilan fisik, keahlian profesional, cita-cita, tugas
pekerjaan, bakat, hobi dll. Namun adakah sesamaku yang lain memiliki kualitas kesamaan
dengan diriku? Jawabannya ada! Kesamaan itu terletak pada kenyataan humanis bahwa kita
sama-sama sebagai spesis manusia dan secara religius kita sama-sama adalah makhluk
ciptaan Tuhan yang Maha Esa. Jadi, manusia berbeda (disting) namun sekaligus mirip
(identik). Namun secara rohani-spiritual, kita sama sungguh adalah ciptaan Tuhan.

Semua agama (Islam, Katolik, Protestan, Budha, Hindu dan Konghucu) meyakini satu
kebenaran religius dasar, bahwa setiap subjek manusia merupakan makhluk yang bernilai
luhur dan mulia. Status keluhuran karakter esensial insan manusia seperti ini didasarkan pada
suatu premis keyakinan religius utama bahwa semua manusia sungguh diciptakan oleh Allah
atau Tuhan sendiri. Kendatipun semua manusia lahir di dalam suku, ras, agama, etnis, dan
bangsa yang berbeda-beda namun sejatinya hakikat setiap manusia sama-sama adalah
makhluk ciptaan Tuhan yang Maha Esa. Oleh karena itu terdapat adanya struktur kesamaan
atau kesederajatan eksistensial semua manusia dari perspektif religius. Kita manusia sungguh
adalah sama-sama makhluk ciptaan Tuhan. Setiap manusia apapun dia: sehat atau sakit, cacat
atau normal, sukses atau gagal, sedih atau senang, kaya atau miskin, hitam atau putih, kurus
atau gemuk, cantik atau tidak, sungguh bernilai intrinsik-ekuivalen di mata Tuhan karena ia
asasinya diciptakan oleh Tuhan itu sendiri sebagai pencipta segala ada di dalam realitas
semesta ini.

Tuhan menciptakan setiap manusia sebagai suatu kebaikan dan keindahan sejak
awalnya. Tuhan memberikan kualitas fisik dan jiwani bagi manusia untuk bisa mengenali
DIA sebagai Tuhan Pencipta melalui sesama yang lain selain alam kosmos. Tuhan
menciptakan manusia dengan kualitas lebih daripada ciptaan yang lain: dianugerahi akal,
perasaan moral, dan aspek religius untuk bisa mengembangkan diri, mengolah alam dan
memuliakan Tuhan.

CHAR6021 – Character Building: Agama


Asumsi tentang semua manusia adalah ciptaan Tuhan ini memiliki akibat atau
konsekuensi logisnya yakni semua manusia sama-sama sebagai makhluk ciptaan Allah.
Dan oleh karena itu di wajah sesama yang lain Tuhan juga hadir di sana. Kehadiran atau
eksistensi sesama yang lain merupakan penampakan wajah Tuhan yang lain. Untuk itu bisa
dikatakan bahwa setiap subjek manusia menampakan wajah Tuhan itu sendiri. Tuhan hadir di
dalam setiap subjek manusia dan realitas kemanusiaan setiap kita sebagai manusia yang
beriman dan percaya kepadaNya.

Tuhan hadir di dalam diri sesama memberikan motivasi atau inspirasi kepada setiap
kita manusia untuk berbuat baik, berlaku sopan, bertindak tulus dan penuh cinta untuk
mengasihi sesama yang lain sebagai mana kita dikasihi oleh Allah sendiri. Tuhan terlalu luar
biasa mencintai setiap kita, sehingga kita pun layak membagikan cinta itu kepada sesama kita
yang lain yang belum beruntung nasibnya.

B. DIMENSI-DIMENSI MANUSIA1

1. Tubuh

Tubuh manusia merupakan dimensi yang dapat dilihat dan disentuh secara langsung
dengan hampir 100 miliar sel yang secara aktif bersama-sama dengan organ tubuh melakukan
fungsi kehidupan. Masing-masing sel bekerja secara aktif untuk melangsungkan kehidupan
yang terkonstruksi dalam sistem kerangka, otot, peredaran darah, indera, pernafasan,
pencernaan, reproduksi, eksresi, kekebalan tubuh, endoktrin dan sistem saraf. Setiap sistem
organik tubuh bekerja masing-masing dan terkait satu sama lain untuk menjalankan fungsi
kehidupan tubuh secara umum. Jika salah satu bagian sistem tubuh rusak, maka itu berpotensi
merusakkan bagian tubuh yang lain. Idealnya semua sistem tubuh berfungsi normal sehingga
memberikan efek energi kesehatan bagi kondisi tubuh manusia. Tubuh memiliki kaitan juga
dengan dimensi-dimensi manusia yang lain.

Kondisi sehat tergantung bagaimana dimensi pikiran, hati dan jiwa manusia.
Kesehatan tubuh tergantung pola makan, waktu istirahat, jenis aktivitas kerja, dll. Tubuh

1
Bagian ini diadaptasi dari Materi CB : Self Development yang diterbitkan oleh CBDC Bina Nusantara
University: Jakarta

CHAR6021 – Character Building: Agama


yang sehat pada gilirannya akan menjadi kekuatan yang positif bagi ekspresi pikiran, hati dan
jiwa seseorang. Ada pepatah klasik mengatakan mensana incorpore sano, di dalam tubuh
yang sehat terdapat jiwa yang sehat.

Ada asumsi bahwa tubuh adalah pelayan yang baik bagi manusia, tetapi merupakan
tuan yang buruk. Ketidakmampuan manusia untuk mengatur diri secara efektif akan
menimbulkan penuaan diri, penurunan kecerdasan, dan menghalangi perkembangan potensi
diri. Sebaliknya jika tubuh dikendalikan dengan baik oleh pikiran, hati dan jiwa maka sistem
fisiologis manusia akan semakin baik dan memberi dampak positif bagi kesehatan tubuh:
segar, gembira, damai, tenang dll.

Steven Covey (2005:496) menganjurkan tiga hal yang perlu dilakukan untuk
mengolah tubuh agar menjadi pelayan yang baik bagi kita manusia yakni:

1. Mengkonsumsi nutrisi yang baik dan seimbang


2. Berolahraga yang seimbang dan teratur
3. Beristirahat yang cukup, relaks, memanej stres dan berpola pikir preventif
Ketiga hal ini tidak hanya sekali-kali dilakukan melainkan dijadikan sebagai
kebiasaan (habitual) sehingga dapat meningkatkan kualitas tubuh sebagai pelayan
bagi pengembangan pikiran, hati, dan jiwa manusia.

2. Pikiran

Realitas dunia kita adalah dunia yang terus dinamis, mengalir dan berubah. Demikian
keyakinan filosofis filsuf Heraklitus. Hal ini meneguhkan prinsip filsafat panta rhei, yang
artinya segala sesuatu ada senantiasa mengalir dan berproses menjadi (becoming).
Sebagaimana air sungai yang terus mengalir, demikian juga realitas dunia ini tidak pernah
ada satu pun yang tetap, semuanya berubah terus menerus (Bdk. Bertens: 1975, hal. 9-10).
Perubahan itu terjadi dalam hal apa saja di dalam alam ini yakni ledakan populasi makhluk
hidup, ledakan hasil-hasil ilmu dan teknologi, arus informasi, dll. Semua fenomena ini
menantang pikiran kita untuk terus belajar, berpikir kreatif dan berpikir analitis sehingga bisa
menyesuaikan diri dengan gejala kehidupan yang terjadi. Tanpa belajar terus menerus,
manusia akan tergerus oleh berbagai perubahan yang ada. Kita manusia suka atau tidak, perlu
terbuka untuk belajar agar tidak menjadi korban (the victim) dari berbagai perubahan itu.

CHAR6021 – Character Building: Agama


Makna belajar lebih luas daripada sekedar menghafal atau mengingat, namun mendorong
untuk terus terjadi perubahan. Baik pengetahuan, sikap, tindakan, pengalaman, dapat menjadi
proses belajar jika semuanya itu mendorong pada perubahan, baik sikap maupun cara
pandang akan dunia, manusia, alam dan Tuhan.

Collin Rose dalam bukunya Accelerated Learning for the 21st Century,
memperkenalkan 6 langkah rencana mengembangkan pikiran dengan rumus M-A-S-T-E-R,
yakni:

a. Motivating your mind

Memotivasi pikiran artinya membuat pikiran selalu dalam keadaan siap untuk belajar,
yakni keadaan yang rileks, percaya diri, dan selalu termotivasi. Untuk ini, kita perlu
menyelidiki apa manfaat dan dampak yang bermakna dari belajar (pembelajaran) bagi
kita. Apa manfaatnya belajar bagi saya untuk masa kini dan masa depan.

b. Acquiring the information


Proses belajar di sekolah, kampus atau rumah yang bersifat paksaan akan
melemahkan kualitas belajar seseorang manusia. Seorang anak kecil memiliki sikap
curiosity, bergairah ingin tahu, selalu mencoba dan mencari, bahkan ketika ia dewasa
gairah ingin tahunya bisa pudar bahkan mati. Kualitas mesin belajar ini tidak
terpelihara dengan baik, sehingga lama kelamaan usang, bahkan berhenti bekerja
sebelum waktunya digunakan. Oleh karena itu, kita perlu memperbaiki atau
melakukan servis berkala dengan menyalakan kembali gairah belajar si anak kecil
yang selalu mencari, bertanya dan mencoba hal-hal yang baru yang belum diketahui
atau belum dipahami.

c. Trigering the memory


Sebagian informasi yang terpatri pada memori jangka pendek, yang mudah terlupakan
atau memori jangka panjang yang akan menetap lama. Kita perlu memastikan
informasi penting terpatri di dalam memori jangka pendek sehingga siap digunakan
kapan saja dibutuhkan. Informasi yang bersentuhan langsung dengan emosi atau
pengalaman langsung atau dipraktikkan dapat menjadi pengalaman belajar yang
mematri atau mengkristalkan memori pada jangka panjang.

CHAR6021 – Character Building: Agama


d. Exhibiting what you know
Ujilah setiap informasi dengan mempraktikkan langsung dalam pengalaman atau
paling tidak biasakan diri untuk mempresentasikan atau sharing informasi yang kita
peroleh kepada sesama di sekitar kita baik secara verbal maupun non verbal.

e. Reflecting how you have learned


Tahap terakhir dalam Rumusan MASTER ini yakni berhenti atau stop! Lalu bertanya
diri dan merenungkan atau merefleksikan hal-hal berikut: bagaimana pembelajaran
berlangsung, bagaimana pembelajaran dapat berjalan dengan baik, apa makna penting
pelajaran itu bagi saya?

3. Perasaan atau hati

Perasaan adalah kekayaan estetis kita manusia untuk merasakan keindahan dan cinta
kasih. Kita bisa merasakan keindahan alam, atau lagu yang indah atau mengagumi
kecantaikan wanita atau kegantengan pria ketika perasaan kita disentuh. Perasaan dapat
menjadi tuan yang baik atau pun tuan yang buruk. Perasaan tidak boleh dikendalikan oleh
perasaan semata-mata, tetapi juga tubuh, pikiran dan jiwa. Bayangkan kalau kita merasa
sedih dan larut dalam perasaan sedih itu berkepanjangan, maka kita pasti merana dan tersiksa
sekali.

Tentang pentingnya kita mengelola perasaan dianjurkan pertama kali oleh Leuner
(1966) bahwa pengelolaan emosi ini tergantung pada kemampuan yang disebut emotional
intelligence (EI). EI ini lalu dikembangkan atau dipublikasikan secara meluas oleh Wayne
Payne’s (1985), lalu Greenspan (1989) yang diperbarui oleh Salovey dan Meyer (1990) lalu
Daniel Goleman (1995). Mengelola perasaan itu artinya kita juga mengembangkan dan
meningkatkan emosi. Ada 5 cara untuk mengembangkan emosi atau EI ini, yakni:
meningkatkan kesadaran diri, memotivasi pribadi, mengatur diri sendiri, berempati,
bersosialisasi dll.

CHAR6021 – Character Building: Agama


4. Jiwa

Steven Covey berpandangan bahwa jiwa merupakan inti dari ketiga dimensi lain dari
manusia. Jiwalah yang menggerakkan pikiran, mengembangkan perasaan, menggerakkan
tubuh dll. Tanpa jiwa, manusia lenyap dan musnah. Jiwa membuat sel-sel tubuh membelah
diri, sistem organ bekerja, pikiran bergerak dan perasaan berkembang. Kendatipun demikian
relasi timbal balik antara ketiga dimensi itu dengan jiwa tidak dapat dihindarkan. Tanpa
tubuh yang sehat, pikiran yang selalu belajar, perasaan yang terkontrol, jiwa tidak mungkin
dapat berekspresi menjadi manusia yang ideal.

Jiwa dapat dikembangkan sehingga bisa menjadi tuan yang baik bagi manusia. Covey
memperkenalkan tiga hal yang dapat dilakukan untuk mengembangkan jiwa, yakni:

a). Mengembangkan Integritas

Melatih integritas artinya mensintesiskan perbuatan dengan nilai, keyakinan, dan hati
nurani. Seseorang disebut memiliki integritas yang baik jika sikap atau perbuatannya sesuai
dengan nilai, keyakinan dan hati nuraninya. Integritas itu konsistensi antara pikiran, tindakan
dan nilai etis-moral yang dianut.

b). Makna

Apa yang membuat manusia ada adalah pada saat manusia merasa bermakna dalam
setiap detik-detik pengalaman dan perjalanan hidupnya. Makna artinya menyadari nilai dan
tujuan hidup manusia pada masa kini dan nanti. Kesadaran ini membuat manusia menghargai
hidup, menghargai waktu dan merefleksikan pengalamannya.

c). Suara hati

Melalui suara hati, jiwa dapat berekspresi melebih dimensi rasionalitas. Seorang filsuf
bernama Thomas Aquinas (1225-1274) bahkan mengatakan bahwa jiwa mampu melakukan
aktivitas-aktivitas yang melebih badani belaka, yakni berpikir dan berkehendak. Itulah
aktivitas-aktivitas rohani. Karena aktivitas jiwa itu bersifat rohani, maka jiwa itu bersifat
rohani-spiritual pula (agere sequitur esse). Makanya setelah manusia mati, jiwa manusia
hidup terus dalam keabadian.

CHAR6021 – Character Building: Agama


Kebesaran jiwa dapat ditemukan ekspresinya dalam suara hati yang tidak terbatas
penggunaannya untuk tujuan baik dan positif. Maka di sini jiwa melalui hati nurani dapat
menjadi tuan dari manusia atau Sang Aku. Jiwa adalah tuan dari manusia, berbeda dengan
tiga dimensi lain yang hanya hanya menjadi pelayan yang baik tuan yang buruk. Ada dua (2)
alasan mengapa jiwa adalalah tuan yang baik bagi manusia Sang Aku: Pertama, Jiwa adalah
inti atau esensi dari manusia. Kedua, jiwa tidak dapat musnah baik karena pembusukan
ataupun peniadaan. Jiwa tidak mati, namun tetap hidup terus dalam keabadian.

Penjelasan mengenai tubuh, pikiran, hati dan jiwa memberikan kepada kita wawasan
atau orientasi bahwa dimensi-dimensi manusia atau Sang Aku adalah satu walaupun mereka
ada masing-masing secara terpisah. Pemahaman ini menuntut kita untuk memperlakukan
dimensi-dimensi manusia Sang Aku secara integratif-holistik. Kita menerima keempat
dimensi ini dengan penuh kesadaran dan memperlakukan keempatnya secara adil di dalam
realitas kemanusiaan kita.

C. MENCINTAI SESAMA KITA MANUSIA DENGAN TULUS

Setiap penganut agama yakin dan percaya bahwa Tuhan selalu memberkati umatNya
dan menyertai umatNya di mana saja mereka berada. Entah susah atau senang, sedih atau
gembira, sukses ataupun gagal Tuhan tetap hadir menyertai kita umatNya. Tuhan selalu ada
dan selalu setia untuk kita umatNya.

Semua agama percaya bahwa Tuhan memberikan perintah kepada manusia untuk
saling membantu, menolong dan mencintai satu sama lain dalam kehidupan ini. Kendatipun
agama yang kita anuti itu berbeda (ada yang menganut iman keagamaan Kristiani, Muslim,
Hindu, Budha dan Konghucu) namun kita diminta oleh Tuhan untuk saling memperhatikan
dan saling peduli. Perbedaan agama yang kita anuti seharusnya tidak membatasi atau tidak
menghalangi kita untuk saling menolong dan saling mencintai satu sama lain dengan tulus-
ikhlas.

Di dalam ajaran agama-agama di sana sudah dinyatakan bahwa kita semua


dipersatukan dalam cinta kasih satu sama lain ketika kita saling mencintai dan peduli satu
sama lain sebagai manusia ciptaan Tuhan. Perbedaan keyakinan iman kita bukan petaka atau

CHAR6021 – Character Building: Agama


ancaman yang perlu ditakuti, melainkan perbedaan itu adalah kekayaan dan warisan religius
yang patut disyukuri dengan penuh kebesaran jiwa.

Cinta yang tulus terhadap sesama harus kita pahami dan terlebih kita wujudkan dalam
tindakan nyata sehari-hari untuk menolong dan membantu satu sama lain. Ketika ada umat
beragama lain yang tertimpa musibah (bencana alam dll), kita seyogyanya menolong tanpa
melihat latar belakang perbedaan keyakinan agama yang dianut oleh mereka yang mengalami
musibah itu. Doktrin agama mengajarkan kita umatNya untuk mencintai sesama secara
universal, yakni mencintai sesama melampaui batas-batas(frontiers) primordial: suku, agama,
ras, dan golongan sosial apapun. Cinta terhadap sesama berkarakter umum, publik dan
universal untuk semua orang dari golongan agama apapun itu. Itulah makna sejati mencintai
sesama dengan tulus tanpa batasan apapun.

D. PERINTAH AGAMA UNTUK SALING MENCINTAI

Setiap ajaran agama melalui kitab suci masing-masing telah menggariskan kepada
kita suatu imperatif (perintah) untuk saling mencintai satu sama lain. Di dalam agama Hindu,
Budha, Islam, Kristiani (Katolik & Protestan) serta Konghucu diajarkan kepada kita nilai-
nilai luhur yang perlu kita terapkan dalam hubungan dengan sesama manusia yang lain. Ini
berarti mencintai sesama atau saling mencintai adalah suatu etika religius. Lebih tepatnya
suatu etika kewajiban religius yang radikal dan mendasar dalam hubungan kita dengan
sesama. Artinya mencintai sesama bukan bersifat aksidental atau tambahan saja, melainkan
unsur yang mendasar atau substansial di dalam relasi kita dengan sesama manusia.

Alkitab Kristiani menunjukkan bahwa cinta kasih merupakan hukum tertinggi dan
terutama. Di dalam Injil Matius 22:37-40 tertulis: Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap
hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu.Itulah hukum yang
terutama dan pertama. Dan hukum yang kedua, yaitu Kasihilah sesamamu manusia seperti
dirimu sendiri. Pada kedua hukum inilah terdapat seluruh hukum Taurat dan kitab para
nabi”. Ini artinya isi kitab suci bahkan hukum terutama yang terdapat di dalam seluruh
Alkitab (Perjanjian Baru maupun Perjanjian Lama) berintikan perintah untuk mengasihi:
baik mengasihi Tuhan maupun mengasihi sesama. Dalam konteks ini mengasihi sesama

CHAR6021 – Character Building: Agama


merupakan ekspresi cinta kepada Tuhan juga. Atau cinta kepada Tuhan diekspresikan juga
dalam cinta kasih terhadap sesama. Mengikuti perintah Tuhan di dalam Kitab Suci Alkitab
artinya kita wajib untuk mencintai sesama tanpa alasan apapun juga.

Di dalam Budhisme, aspek cinta kasih merupakan hukum utama dalam relasi
antarmanusia. Menurut Buddha, ketidakpedulian khususnya kepada orang miskin membuat
kemelaratan bertambah, pencurian meningkat, tindak kekerasan dan berbagai bentuk
kejahatan berkembang cepat, pembunuhan menjadi biasa, sehingga usia harapan hidup dari
waktu ke waktu semakin pendek (D. III, 65-73). Kalau manusia peduli pada sesamanya,
hidup akan menjadi semakin indah, bermakna, penuh cinta dan damai. Peduli pada sesama
adalah suatu panggilan untuk mencintai sesama manusia.

Budhisme mengakui pentingnya cinta dalam kehidupan. Nikaya Pali memuat satu
kata cinta yang berbeda dengan cinta yang lain yakni cinta kasih yang dipancarkan secara
universal (tak terbatas) kepada semua makhluk dan cinta kasih yang tanpa pamrih, yaitu:
Metta.
Metta adalah rasa persaudaraan, persahabatan, pengorbanan, yang mendorong kemauan baik,
memandang makhluk lain sama dengan dirinya sendiri. Metta juga suatu keinginan untuk
membahagiakan makhluk lain dan menyingkirkan kebencian (dosa) serta keinginan jahat
(byapada). Pengembangan Metta dapat mengantarkan manusia pada pencapaian kedamaian
Nibbana (Mettacetto vimutti), seperti yang dinyatakan Sang Buddha dalam Dhammapada
368:
"Apabila seorang bhikkhu hidup dalam cinta kasih dan memiliki keyakinan terhadap Ajaran
Sang Buddha, maka ia akan sampai pada Keadaan Damai (Nibbana), berhentinya hal-hal
yang berkondisi(sankhara)". Namun harus diwaspadai bahwa Metta yang dipancarkan secara
berlebihan kepada lawan jenis dapat mengalami penyimpangan menjadi cinta nafsu atau cinta
egois. Untuk itu manusia harus mengolah batinnya untuk tidak egois.

Salah satu kisah tentang keutamaan cinta kasih dalam muslim (Islam) muncul dari
sosok Nabi Muhammad SAW yang mengubah benci jadi cinta. Dikatakan Nabi Muhammad
SAW sering diperlakukan secara sangat tidak manusiawi di zamannya, seperti dilempari
kotoran oleh orang-orang Quraisy Mekkah, namun yang menariknya sang nabi selalu
memaafkannya. Sewaktu ada yang hendak membantunya untuk membalas, Nabi Muhammad

CHAR6021 – Character Building: Agama


SAW bersabda, ”Semoga Allah mengampuni mereka, karena mereka tidak tahu.” Tentang
pengampunan Nabi Muhammad SAW menyatakan bahwa pemberian maaf hendaknya
diberikan sebelum orang yang melakukan kesalahan itu meminta maaf. Memaafkan seperti
ini menandakan kematangan Muhammad dalam mencintai sesama. Cinta mengubah benci
menjadi kasih. Inilah yang membuat dunia ini sungguh damai, aman dan nyaman untuk
dihuni.

Dalam Islam, mencintai sesama manusia dikenal dengan istilah hablun min annas.
Cinta terhadap sesama manusia tidak dapat dilepas-pisahkan dari rasa cinta terhadap
Penciptanya. Karena dalam ajaran Islam, cinta terhadap Allah SWT, juga berarti cinta
terhadap sesama insan manusia yang lain juga sebagai ciptaan-Nya. Rasa cinta terhadap
sesama manusia tidak bisa terlepaskan dari sifat kemanusiaan. Pandangan Islam menyatakan,
kemanusiaan merupakan satu kesatuan, berbeda-beda bagiannya untuk membentuk satu
masyarakat, berjenis-jenis dalam keserasian, dan berlainan pendapat untuk saling melengkapi
satu sama lain dalam mencapai tujuan, supaya dengan begitu ia cocok pula untuk saling
melengkapi dengan alam, untuk membentuk wujud yang satu pula. Sebagaimana Allah
berfirman: “Wahai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu sekalian dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan, dan menjadikan kamu sekalian berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu sekalian saling mengenal. Sesungguhnya orang-orang yang paling
mulia di antara kamu sekalian di sisi Allah ialah orang-orang yang paling takwa di antara
kamu sekalian. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (Q.S.Al-
Hujurat:13).Pada prinsipnya, cinta terhadap sesama manusia adalah dengan tolong-menolong,
saling mengenal dan keserasian. Menurut pandangan Islam, rasa cinta terhadap sesama
manusia bisa diwujudkan, salah satunya dengan keadilan dan persamaan derajat di antara
manusia.

Dalam Hinduisme, diyakini bahwa saling mencintai dan mengasihi siapa saja tanpa
memandang perbedaan fisik akan memberikan keseimbangan cinta kasih. Dalam Yajur Weda
32. 8 dinyatakan “Sa’atah protasca wibhuh prajasu” yang artinya Tuhan terjalin dalam
makhluk yang diciptakan. Sangat menonjol bagi manusia modern mengenai konsep cinta
dalam kehidupan berkeluarga dalam Weda adalah keterbukaan. Masalah kehidupan rumah

CHAR6021 – Character Building: Agama


tangga ialah menciptakan keselarasan dan kesesuaian seperti pada alam sesuai dengan hukum
abadi (Rta).

Dalam Atharwa Weda III.30 dinyatakan perkataan Pendeta kepada kelompok keluarga:
”Aku membuat engkau bersatu dalam hati, bersatu dalam pikiran, tanpa rasa benci,
mempunyai ikatan satu sama lain seperti anak sapi yang baru lahir dari induknya. Agar anak
mengikuti Ayahnya dalam kehidupan yang mulia dan sehaluan dengan Ibunya. Agar si isteri
berbicara yang manis, mengucapkan kata-kata damai kepada suaminya. Agar sesama saudara,
laki atau perempuan tidak saling membenci. Agar semua bersatu dan menyatu dalam tujuan
yang luhur dan berbicara dengan sopan. Semoga minuman yang engkau minum bersama dan
makan makanan bersama.”

Konsep hubungan garis vertikal dan horizontal juga berlaku dalam kehidupan keluarga agar
mencapai satu tujuan luhur yaitu keharmonisan, ketentraman, kedamaian dan kebahagiaan
bersama. Kebersamaan yang begitu menonjol dalam kehidupan keluarga inti menjadi
parameter ke tingkat kehidupan keluarga yang lebih besar dan kehidupan sosial
kemasyarakatan.

Di dalam Konghucu, cinta (Ren) merupakan salah satu ajaran yang pokok. Ren artinya
Cinta Kasih universal, tidak terbatas pada orang tua dan keluarga sedarah belaka, namun juga
meluas kepada sahabat, lingkungan terdekat, masyarakat, bangsa, negara, agama dan umat
manusia. Ren bebas tidak membeda-bedakan manusia dari latar belakang atau ikatan
primordialnya. Ren tidak mengenal segala bentuk diskriminasi atau pertimbangan atas dasar
kelompok. Ren dalam pengertian agama Konghucu selalu didasari pada sikap ketulusan,
berbakti, memberi, bukan meminta atau menuntut balasan dalam bentuk apapun. Namun
perlu diingat bahwa Ren tidak berarti mencinta tanpa dasar pertimbangan baik dan buruk.
Dalam salah satu sabdanya Kongzi mengatakan bahwa “Orang yang berperi-Cintakasih bisa
mencintai dan membenci”. Mencintai Kebaikan dan membenci Keburukan. Balaslah
Kebaikan dengan Kebaikan; Balaslah Kejahatan dengan Kelurusan”. Ini artinya siapa pun
yang bersalah, harus diluruskan, dihukum secara adil dan diberi pendidikan secara optimal
agar dapat kembali ke jalan yang benar. Setelah berada di jalan yang benar, kita tidak boleh
terkena stigma, menilai atas dasar masa lalu seseorang, melaikan mencintai orang itu secara
tulus lagi.

CHAR6021 – Character Building: Agama


Sungguh menakjubkan! Banyak ajaran cinta kasih pada sesama yang bersumberkan
tradisi religius agama-agama kita yakni Budha, Hindu, Konghucu, Islam dan Kristiani.
Semua ajaran Agama dan Kitab Suci sudah menunjukkan tentang makna hakiki mengasihi
dan mencintai sesama dengan tulus sebagai suatu perintah dari Tuhan itu sendiri. Yang
penting bagi kita para penganutnya adalah semua ajaran indah tentang cinta kasih ini, tidak
ada maknanya kalau kita sendiri sebagai para penganut agama tidak mewujudkan atau
mengaktualisasikan semua ajaran yang bagus-bagus itu ke dalam tindakan nyata sehari-hari.
Sebab cinta bukan soal kata-kata atau retorika, melainkan lebih jauh daripada itu cinta
sesungguhnya adalah berbuat dan bertindak nyata bagi sesama kita apapun latar belakangnya.
Semoga kita orang-orang yang mengaku beragama ini tidak hanya bicara tentang cinta, tetapi
berlomba-lomba menjadi aktor-aktor cinta yang riil dalam kenyataan hidup setiap hari dalam
perjumpaan dengan sesama kita.

CHAR6021 – Character Building: Agama


KESIMPULAN
Sama seperti alam sebagai penampakan Tuhan, demikian juga sesama manusia
merupakan penampakan Tuhan bagi kita. Bahkan lebih dari alam, manusia jauh lebih
menampakkan citra Tuhan kepada kita. Tidak hanya seperti alam, sesama manusia bisa aktif
menghadirkan dan menampakkan wajah Tuhan kepada kita. Kehadiran Tuhan melalui
sesama ada beragam cara. Antara manusia yang satu dengan manusia yang lain ada kesaling-
tergantungan. Kita hanya bisa hidup dan berada karena adanya manusia yang lain. Yang
menjamin keberlangsungan hidup kita adalah kebersamaan kita dengan manusia lain. Setiap
saat hidup kita ditopang dan dikuatkan oleh kehadiran sesama manusia lain. Melalui sesama,
kita bisa merasakan dan sekaligus menghayati kehadiran Tuhan yang selalu menyertai hidup
kita. Dengan demikian mencitai Tuhan justru mendapatkan wujud yang sesungguhnya dalam
cinta terhadap sesama.

CHAR6021 – Character Building: Agama


DAFTAR PUSTAKA

Alquran (Kitab Suci Islam), Alkitab (Kitab Suci Katolik dan Kristen Protestan), Kitab Weda
(Kitab Suci Hindu), Kitab Tripitaka (Kitab Suci Budha), Kitab Wu Jing & Si Shu
(Kitab Suci Konghucu) dan ajaran/diktrin suci agama masing-masing yang relevan.

Elenora Sumual et all (2009). Draf CB: Self Development. Jakarta: CBDC Bina Nusantara
University.
Frederikus Fios et all (2012). CB: Spiritual Development. Jakarta: Bina Nusantara University.
K. Bertens (2001). Ringkasan Sejarah Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.

Stephen R. Covey (2005). 8 Kebiasaan Manusia yang Sangat Efektif. Diterjemahkan oleh
Budijanto. Jakarta: Binarupa Aksara, Jakarta.
http://indonesiaindonesia.com/f/41074-konsep-cinta-agama-buddha/

http://www.mediahindu.net/berita-dan-artikel/artikel-umum/81-cinta-kasih-dalam-perspektif-
hindu.html

https://matakin.wordpress.com/agama-khonghucu/

CHAR6021 – Character Building: Agama


LECTURE NOTES

Character Building: Agama

Week 4

PERAN AGAMA MENCIPTAKAN


PERDAMAIAN DUNIA1

1
Materi ini diadaptasi dari Antonius Atosokhi Gea, Noor Rachmat, Antonia Panca Yuni Wulandari (2004).
Character Building III: Relasi dengan Tuhan. Jakarta: Elex Media Komputindo.

CHAR6021 – Character Building: Agama


LEARNING OUTCOMES

LO3 : Menjelaskan peran agama bagi perdamaian dunia

OUTLINE MATERI (Sub-Topic):

 Peran penting agama dalam menciptakan perdamaian


 Bentuk-bentuk dialog antar agama
 Agama sebagai kekuatan pembebas
 Bentuk-bentuk kerjasama antar agama
 Langkah-langkah konkrit yang bisa dilakukan agama untuk terciptanya perdamaian
dunia.

CHAR6021 – Character Building: Agama


PERAN AGAMA MENCIPTAKAN PERDAMAIAN DUNIA

A. PENDAHULUAN

Sebuah pertanyaan yang kadang-kadang dilontarkan oleh beberapa kelompok tertentu


adalah apakah agama memiliki atau dapat diandalkan untuk menciptakan perdamaian dunia?
Pertannyaa ini tentu saja sangat penting. Hal ini disebabkan karena dibalik pertannyaan
tersebut, sebetulnya ada sebuah pesimisme dan bahkan sinisme terhadap agama mengenai
perannya dalam menciptakan perdamaian dunia.

Pesimisme dan sinisme tersebut lahir dari kenyataan bahwa hampir semua
konflik-konflik antara kelompok masyarakat bahkan antara bangsa berkaitan baik langsung
maupun tidak langsung dengan agama. Bahkan agama dapat dijadikan sebagai dasar yang
legitimate untuk berkonflik dengan yang lainnya. Konflik yang melibatkan identitas agama
tidak hanya terjadi antara kelompok agama yang satu dengan agama yang lainnya, tetapi
bahkan sangat sering konflik itu terjadi antara kelompok-kelompok dalam agama yang sama.
Tentang fenomena ini tidak terlalu sulit bagi kita untuk mencari dan menemukan contoh-
contoh aktualnya. Contoh-contoh itu datang dari berbagai belahan dunia ini.

Konflik merupakan satu kasus. Kasus-kasus yang lainnya adalah kemiskinan,


keterbelakangan pendidikan, dan berbagai persoalan-persoalan social lainnya. Dapatkan
agama berpatisipasi mengatasi persoalan-persoalan tersebut?

Agama seharusnya dapat berpartisipasi dalam menciptakan dunia yang lebih baik,
dunia yang lebih adil, dan dunia yang damai. Hal ini disebabkan karena, agama secara
historis dan teologis lahir dari kondisi di mana manusia hidup dalam dosa. Agama dalam
konteks ini mendorong transformasi social, dari situasi dosa (konflik), ketidakberdayaan
(kemisnikan, kebodohan) menjadi situasi yang lebih baik, adil, damai, sukacita. Singkatnya,
agama menghadirkan situasi surga di dunia ini.

Pesan transormatif agama dan teologinya tidak hanya bersifat historis.


Pesan transformatif agama dan teologinya masih terus relevan dewasa ini. Seperti yang yang
telah disinggung, dunia dewasa ini masih terus dilanda dosa (konflik), dan
penderitaan-penderitaan. Agama dalam konteks ini dapat menjadi contoh bagaimana dunia
harus dibangun, bukan menjadi contoh bagaimana dunia dihancurkan.

CHAR6021 – Character Building: Agama


Untuk dapat menjadi contoh bagi perdamaian dunia, agama tentu harus kembali pada
Tuhan, dan mendengarkan pesan-pesanya. Mendengar pesan-pesan Tuhan dapat dilakukan
dengan mempelajari Kitab Suci. Dalam Kitab Suci akan ditemukan pesan-pesan asali Tuhan
itu untuk perdamaian dunia. Kalau pesan-pesan itu tidak dapat dimengeri, berusahalah untuk
mendengarkan hati nurani masing-masing. Hati Nurani adalah tempat pewahyuan Tuhan.
Kalau pun itu juga tidak dapat dimengerti berusahalah untuk mendengarkan para pemimpin
yang agama yang bijaksana, para pemimpin yang selalu berusaha menciptakan perdamaian.
Tuhan selalu memberkan pesan-pesan-Nya dengan berbagai cara.

Selain itu, berusahalan untuk membangun dialong dengan berbagai kelompok agama
yang berbeda. Perbedaan dalam konteks ini adalah cara Tuhan memberikan pesan-Nya
kepada manusia. Tuhan tentu paling tahu bahwa otak manusia dan iman manusia tidak cukup
untuk menangkap berbagai pesan-Nya kepada manusia. Oleh karena itu, pesan-pesan itu
menjadi terkelompok dalam berbagai agama-agama. Dalam konteks ini, berdialong dengan
berbagai macam kelompok agama untuk membangun dunia yang lebih baik merupakan cara
agama untuk menemukan pesan Tuhan mengenai bagaiman perdamaian di dunia ini harus
diciptakan.

Dialog antara kelompok agama dalam konteks ini harus diterima sebagai fitrah
agama-agama. Tanpa dialog manusia tidak dapat pernah dapat mendengarkan pesan Tuhan
tentang bagiaman dunia harus dibangun.

B. DIALOG ANTAR AGAMA

1. Pengertian Dialog
Secara sederhana dialog dapat diartikan sebagai pembicaraan langsung antara
orang-orang yang mempunyai pandangan berbeda tentang suatu hal, untuk saling tukar
informasi, sehingga memperoleh saling pengertian di antara mereka.

CHAR6021 – Character Building: Agama


2. Model Dialog Antar Umat Bergama

2.1. Dialog Bertingkat

Ada lagi bentuk dan model dialog yang dikemukakan oleh Dr. Krishnanda Wijaya Mukti
(Gea, Rahmat, Wulandari, 2006; 367), dalam bukunya Wacana Budha Dharma dinyatakan
bahwa ada beberapa bentuk dialog, tetapi tidak setiap dialog itu cocok untuk setiap orang
dalam setiap kesempatan. Karena itu, dialog antar agama dibedakan sebagai berikut;

a. Dialog Kehidupan Sehari-hari


Sekalipun tidak langsung menyentuh perspektif iman dan ajaran, semua orang
bekerja sama, belajar mencontoh kebaikan dalam praktek sehari-hari, di dalam
lingkungan keluarga, sekolah, tempat kerja dan lain sebagainya.

b. Dialog Melakukan Pekerjaan Sosial


Bekerja dengan para pengikut agama lain dengan sasaran meningkatkan martabat
dan kualitas hidup manusia, misalnya membantu mereka yang mengalami
penderitaan, melaksanakan proyek-poryek pembangunan, dan sebagainya.

c. Dialog Pengalaman Keagamaan


Saling memperkaya dan memajukan penghayatan nilai-nilai dan cita-cita rohani
masing-masing pribadi dengan berbagai pengalaman berdoa, meditasi, dan
sebagainya. Pemeluk satu agama bisa tinggal untuk beberapa waktu di tengah
komunitas pemeluk agama lain. Berkumpul melakukan doa bersama (dengan cara
sendiri-sendiri) untuk tujuan yang sama, misalnya untuk perdamaian dunia,
keselamatan bersama, dan lain sebagainya.

d. Dialog Pandangan Teologis


Dialog ini dilakukan oleh ahli-ahli agama, untuk saling memahami dan
menghargai nilai-nilai rohani masing-masing. Melalui dialog ini mereka
mengangkat pandangan keagamaan dan warisan tradisi keagamaaan dalam
menyikapi persoalan yang dihadapi manusia.

CHAR6021 – Character Building: Agama


2.2. Menghargai Perbedaan Interpretasi Teks Suci
Model lain ditawarkan oleh Muhammad Ali (Gea, Rahmat, Wulandari, 2006; 368),
dengan mengetengahkan beberapa sikap yang perlu dipegang dalam melakukan dialog
seputar perbedaan pemahaman dan interpretasi atas teks-teks suci, sebagaimana
termuat dalam kitab-kitab keagamaan.

a) Mengakui perbedaan pemahaman terhadap Kitab Suci orang lain. Karena umat
Islam, umat Kristen dan Yahudi misalnya, berbagi sejarah yang sama, maka
juga memiliki interpretasi sendiri-sendiri. Kaum Muslim berhak memberikan
tafsiran atas Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru karena mereka merupakan
bagian dari warisan ini. Kaum Muslim bisa jadi memiliki kristologi sendiri
yang berbeda dengan pandangan Kristen, sebagaimana kaum Kristen dan
Yahudi berhak memiliki islamologinya sendiri. Terdapat interpretasi yang
berbeda antara umat Islam, Kristem dan Yahudi terhadap sosok Ibrahim
(Abraham), Musa dan Isa atau Yesus.
b) Menghargai perbedaan pemahaman terhadap Kitan Suci dalam agama tertentu.
Kalangan Liberal Yahudi misalnya, berpendapat bahwa Alkitab merupakan
pewahyuan Ilahi, namun tetap merupakan dokumen manusiawi dan bukan
produk pewahyuan secara harafiah. Sedangkan kaum konvervatif tidak
sependapat dengan itu. Mereka lebih memahami Taurat murni sebagai wahyu
ilahi, sekaligus teks dan isinya. Perbedaan pandagan seperti ini
memperlihatkan betapa setiap tradisi iman tidak saja memiliki pandangan
sejarah dan teologi yang berbeda tentang iman dan Kitab Suci orang atau
agama lain, melainkan juga tentang tradisi mereka sendiri.
c) Berdebat secara cerdas dan bukan berdebat kusir. Diskusi dan dialog harus
dilakukan dengan cara yang paling baik dan paling tepat. Tidak ada
penghujatan, pengkafiran, pelabelan ‘setan’ terhadap mitra dialog, atau
theological judgment. Lain yang tidak berdasarkan ilmu pengetahuan.
Persoalan siapa yang masuk surge dan siapa yang masuk neraka bukanlah
persoalan sesame manusia. Itu Pekerjaan Tuhan dan Tuhan yang menentukan
dan menjelaskannya nanti. Yang penting bagi kita ketika di dunia ini adalah
pencarian kebenaran secara tulus dan bertanggung jawab. Seorang Muslim

CHAR6021 – Character Building: Agama


misalnya hanya berhak mengatakan “kita memiliki pesan Allah melalui
Al=Qur’an kepada Nabi Muhammad SAW yang otentik secara historis, dan
pesan ini harus disampaikan dengan cara terbaik kepada dunia, dan terserahlah
manusia apakah mau menerima atau tidak pesan tersebut. Hal yang sama
berlaku juga bagi agama-agama lain. Mereka hanya berhak menyatakan
sesuatu tentang apa yang mereka imani. Namun siapapun tidak bisa
mendahului Allah untuk melakukan penilaian. Dan, tidak boleh suatu agama
memaksakan seseorang untuk menerima pernyataan atau pewartaan iman
mereka.

C. AGAMA SEBAGAI KEKUATAN PEMBEBAS

Muncul kritik bahwa teologi cenderung melangit, jauh dari kenyataan dan urgensi
kemanusiaan. Teologi juga cenderung tekstual dan dogmatis sekali. Agama dibatasi lebih
sebagai kepercayaan teologis dan filosofis, dan tidak dikontekstualisasikan dalam sejarah
perjuangan hidup riil manusia. Padahal teologi adalah cara memahami pesan Tuhan dalam
konteks yang berbeda-beda. Teologi sebaiknya dikembangkan secara kritis dalam situasi
yang serba majemuk dan multi kompleks sekarang ini adalah teologi yang mampu
melahirkan pencerahan dan pembebasan dari berbagai belenggu keterikatan dan
ketertinggalan. Kita membutuhkan teologi yang membumi, teologi yang kontekstual, teologi
yang mampu menjawab masalah-masalah dasar kemanusiaan, serta dapat menjadi pegangan
dalam menggumuli berbagai praksis hidup dengan tantangannya.

1. Teologi yang Membebaskan


Dalam sejarah perjalanan agama kristen, teologi pembebasan adalah suatu gerakan
yang melibatkan sektor-sektor penting dari Geraja. Ini adalah gerakan keagamaan kaum
awam, suatu kegiatan pastoral yang merakyat, yang melibatkan kelompok-kelompok basis
dalam Gereja. Kemiskinan dan penindasan membuat mereka sadar dan berjuang dengan
dukungan keimanan.

CHAR6021 – Character Building: Agama


Teologi pembebasan dalam lingkup kekristenan adalah wujud dari gugatan moral dan
sosial terhadap ketergantungan pada kapitalisme, wujud kesetiakawanan menuntut
kebebasan, sebagai alternative terhadap sikap individualistic. Teologi pembebasan adalah
suatu pembacaan baru pada Kitab Suci, sebuah paradigm baru mengena perjuangan
pembebasan, dan sebagai reaksi penentuan terhadap sturktur-struktur ketidakadilan dan
ketergantungan ekonomi yang menindas begitu banyak orang miskin. Ajaran Kristen sendiri
diyakini berasal dari praktek-praktek pembebasan Yesus Kristus dari Nazareth bersama
dengan masyarakat pengikutnya pada abad pertama Masehi di Palestina. Konsili Vatikan II
memberi andil yang amat besar kepada pembaruan dengan menyatakan tatanan masyarakat
yang mapan sebagai sumber ketidakadilan, penindasan hak asasi manusia, dan kekerasan
yang dilembagakan. Konsili mendukung aspirasi untuk membebaskan diri dari segala bentuk
penghambaan terhadap sesame manusia. Pada tahun 1987 dalam ensiklik Sollicitudo Rei
Socialis, Paus Yohanes Paulus I mengajak seluruh dunia untuk mengusahakan perkembangan
dan pembebasan, yang mewujudkan diri dalam cinta dan pelayanan sesame, khususnya
mereka yang paling miskin.

2. Takdir dan Kebebasan Memilih

Dalam ajaran agama Islam, nilai pembebasan menuju keadilan juga sangat
ditekankan. Nabi Muhammad SAW, nabinya orang Islam, juga sangat concern terhadap
pembebasan orang-orang yang lemah, seperti menganjurkan pembebasan para budak, karena
hal itu bertentangan dengan kesamaan harkat dan martabat manusia di hadapan Tuhan. Doa
orang-orang yang tertindas akan sangat ampuh, jika mereka berdoa akan didengar oleh
Tuhan. Bagitu juga kerja keras dalam rangka menegakkan kebaikan dan mencegah atau
melawan keburukan, adalah nilai luhur yang ditekankan oleh Islam. Wacana kebebasan
manusia dan takdir sesungguhnya bermuara pada pemahaman bahwa manusia bebas memilih
perbuatanya sendiri. Tuhan memberi kebebasan kepada manusia untuk memilih dan
menentukan pilihannya sendiri di antara sekian banyak kemungkinan. Sesungguhnya Allah
tidak akan pernah mengubah nasib seseorang, atau suatu kaum, kecuali orang atau kaum itu
mau mengubah nasibnya sendiri (Quran 13:11).

CHAR6021 – Character Building: Agama


Islam mengecam pratek-praktek monopoli dan riba, yang secara umum berarti segala
bentuk penindasan dan eksploitasi oleh seseorang atau sekelompok orang.
Namun memberikan jalan untuk berdagan dan bertansaksi dalam kesetaraan, dan
menganjurkan pemberian bantuan berupa zakat atau sedekah. Berdasarkan nilai tauhid, Islam
mengajarakan penegakan keadilan ekonomi, politik, hukum dan moral dalam kehidupan
sosial.

Nabi Muhammad SAW, sebagaimana nabi-nabi lain adalah seorang pembebas.


Beliau pembebas dari pemberhalaan manusia dan ketidakadilan, kepada penyerahan diri
kepada Tuhan dan keadilan; dari ekspolitasi dan dominasi terhadap sesame, kepada keadilan
dan kerja sama; dari fanatisme golongan, kepada persaudaraan iman dan manusia.

Islam telah memberikan suatu kode hak asasi manusia yang ideal kepada umat manusia.
Tujuan dari hak-hak itu adalah untuk memberikan kehormatan dan harga diri kepada
manusia, serta untuk menghapuskan eksploitasi, penindasan dan ketidakadilan.

3. Usaha Pembebasan yang Disertai Doa


Siddharta Budha Gautama adalah juga sosok yang ingin membebaskan manusia
dari rutinitas pikiran dan dharma, yang sebagian orang tidak mengerti dan hanya menerima
apa adanya saja. Kedanganan Siddarta justru ingin membebaskan manusia dari belenggu
samsara yang tidak berkesudahan dan tidak terelakan. Setelah Siddarta mendapat
pencerahan, Ia mencapai pembebasan. Ia mengajarkan bahwa penyebab dari penderitaan itu
adalah keinginan-keinginan yang datang dari dalam diri sendiri. Maka untuk membebaskan
manusia dari belenggu penderitaan, mesti dilakukan upaya pemadaman, dengan cara
menempuh Jalan Mulia Berunsur Delapan. Dalam hidup keseharian, umat Buddha dituntut
berusaha keras dan tidak mengandalkan doa, karena perubahan nasib datang seiring dengan
usaha manusia untuk memperbaiki diri. Apalah artinya sebuah doa atau permintaan jika tanpa
usaha. Begitu pentingnya karya dan usaha dalam ajaran Buddha, sehingga seolah-olah tidak
ada ritual doa. Bagaimana mungkin seseorang mengadalkan permintaan kepada Tuhan,
sementara Tuhan sendiri bukalah zat yang riil, nyata atau berwujud, melainkan Dia adalah
sosok yang gaib, yang keberadaannya tidak tertangkap jelas oleh manusia.

CHAR6021 – Character Building: Agama


Dari berbagai keterangan yang dikemukakan di atas, nampak dengan jelas bahwa
tokoh pendiri agama-agama tampil sebagai pembawa kebebasan kepada manusia. Agama
semestianya mewariskan peran ini dalam dirinya. Adalah suatu kesalahan besar apabila
agama dalam banyak hal justru menjadi belenggu bagi manusia. Agama sesungguhnya
berperan membebaskan manusia dari berbagai belenggu, baik yang berasal dari dalam dirinya
sendiri-dari segala nafsu dan keserakahannya – maupun yang berasal dari luar; seperti
penindasan dan penganiayaan oleh sesame. Dengan kebebasan yang semain terhayati,
manusia semakin bertanggungjawab atas pilihan dan tindakan hidupnya. Itulah kemerdekaan
kita sebagai umat Tuhan. Iman yang dewasa adalah iman yang dihayati dengan bebas, namun
yang membuat manusia semakin mampu bertanggung jawab.

D. KERJASAMA ANTAR AGAMA

Kerjasama merupakan suatu keharusan bagi umat beragama untuk menghasilkan


pembaruan yang diperlukan. Kita adalah bagian-bagian yang tak terpisahkan sebagai bangsa,
sehingga nasib buruk yang melanda satu bagian atau kelompok akan mempengaruhi juga
bagian atau kelompok yang lainnya. Dengan memperkuat atau memberdayakan orang atau
kelompok lain, maka kita sendiri akan bisa tetap kuat dan bertahan.

1. Pentingnya Kerjasama
Untuk lebih efektif menjalankan perannya sebagai sebuah kekuatan pembebas,
maka agama-agama harus lebih proaktif lagi mewujudkan koeksistensinya yang paling tinggi,
yaitu kerjasama. Semua institusi agama dan juga etnis harus mengembangkan kesadaran
akan pentingnya kerjasama, karena hubungan yang paling dekat dan paling erat serta paling
berhasil dalam suatu kemajemukan adalah kerja sama. Jika kesadaran dan kerja sama antar
kelompok yang berbeda sedang berlangsung, maka apa yang disebut multikulturalisme
kolaboratif sedang dibangun. Multikulturalisme kolaboratif merupakan salah satu pendekatan
mengatasi masalah-masalah akibat perbedaan etnis, agama dan budaya, seperti konflik dan
disitegrasi nasional. Baik keterasingan budaya maupun asimilasi budaya dapat membawa
masalah apabila kerja sama tidak dikedepankan. Multikulturalisme kolaboratif menghargai

CHAR6021 – Character Building: Agama


perbedaan budaya secara mendasar dan tidak sekedar bersifat formalistik dan seremonial
belaka.

2. Bidang-bidang Kerja Sama


Ada banyak bidang di mana agama-agama dapat bekerja sama memainkan peran
pencerahan dan pembebasan yang membuahkan pemberdayaan bagi para penganutnya dan
warga Negara Indonesia seluruhnya. Beberapa hal penting di ataranya dapat kita sebut di sini:

a) Penegakan keadilan
Boleh dikatakan bahwa masyarakat kita sudah cukup lama menderita
ketidakadilan. Di berbagai sektor kehidupan berlangusng perlakuan yang tidak
sama, baik terhadap individu maupun kelompok (suku, etnis, daerah, wilayah,
gender, agama, status dan sebagainya). Diskriminasi dalam berbagai bentuk dan
cara, berlangsung di berbagai sektor kehidupn, tanpa ada yang sungguh-sungguh
peduli denga itu. Di sinilah agama-agama terpanggil untuk memainkan peran
pembebasannya. Bukan tidak mungkin agama-agama dapat secara bersama-sama
mengambil langkah-langkah sgtrategis untuk mengurangi bahkan memberantas
praktek yang sudah menyengsarakan rakyat dan umat dalam waktu yang cukup
lama itu.

b) Perbaikan taraf hidup (ekonomi)


Perbaikan taraf hidup warga dan umat sangat mendesak sekali. Ketertinggalan di
salah stu bidang akan mempengaruhi bidang-bidang lain juga. Kalau ekonomi
lemah, maka peningkatan pendidikan, kesehatan, dan sebagainya, juga ikut
terbengkelai. Bahkan untuk bisa menjalankan kewajiban agama dengan baik,
seseorang dituntut untuk mampu memenuhi persyaratan minimal. Seorang
Muslim misalnya, dia harus shalat, harus puasa, zakat dan pergi haji. Keempat
rukun Islam itu tidakalh dapat dijalani dengan sempurna kalau dia seorang miskin.
Melakukan ritual sholat, perlu berpakaian bersih dan rapi. Menjalani puasa, perlu
modal untuk berbuka dan makan sahur. Untuk mengeluarkan zakat, seseorang
tidak mungkin akan bisa kalau dirinya sendiri miskin. Apalagi untuk pergi haji
yang ongkosnya antara 25 sampai 35 juga rupiah. Jadi untuk bisa menjadi muslim

CHAR6021 – Character Building: Agama


yang baik mesti mempunyai kemampuan harta minimal. Bagitu juga seorang
Kristen yang baik, harus rajin mengikuti ritual-ritual keagamaannya secara teratur.
Untuk bisa melaukan itu, seseorang perlu berpakaian rapi dan bersih, perlu
kendaraan atau ongkos jalan ke Gereja. Perlu juga mengisi kas Gereja dan
memberi persembahan. Hal yang kurang lebih sama berlaku juga untuk agama-
agama lain.

c) Perbaikan akhlak
Tugas utama agama adalah bagaimana agar agama dengan berbagai pesan-pesan
moral yang terkandung didalamnya bisa menjadi sumber semangat dan moralitas
bagi umatnya. Di sini peran berbagai institusi keagamaan, termasuk departemen
agama sendiri sangat diharapkan. Para pemimpin dan tokoh-tokoh agama dituntut
untuk bisa menjadi nabi-nabi, guru dan iman zaman ini, yang menyarakan
kehendak Allah, bagi kebaikan, perdamaian, kebahagiaan dan keselamatan umat
manusia. Departemen agama dituntut untuk tampil sebagai pengayom bagi
tumbuh kembang iklim keagamaan yang harmonis, rukun dan damai di bumi
persada ini. Lembaga-lembaga keagamaan harus berefleksi kambali apakah sudah
memainkan peran yang tepat dalam menumbuh-kembangkan iklim keagamaan
yang kondusif di Indonesia. Juga dapat manyakan pada dirinya apakah sudah
menjadi sumber pembentukan watak dan akhlak bagi umat yang telah
dipercayakan Tuhan kepada mereka.

E. LANGKAH-LANGKAH YANG PERLU DIAMBIL

1. Memperbaiki paradigma hidup keagamaan


Sebagai bangsa beragama, kita berharap bahwa pesan-pesan keselamatan dari Tuhan
bukan hanya tinggal sebagai yang ideal saja, yang tidak tersentuh oleh manusia.
Agama-agama, dengan kerjasama yang semakin baik, harus mencari jalan agar pesan-pesan
keselamatan itu dapat menjadi milik manusia dan menyemangati hidupnya. Pada tataran
teologis agama-agama perlu mengubah paradigm teologis yang pasif, tekstual dan eksklusif,
Agama-agama harus mengembangkan teologi yang inklusif, pluralis, kontekstual, yang

CHAR6021 – Character Building: Agama


mampu mengguggah para pemeluk agama untuk menemukan kehendak Allah dalam berbagai
praksis dan pergumulan hidup mereka. Teologi harus memperjuangkan kebebasan dari segala
belenggu dan penindasan, sekaligus memberi dorongan dan kekuatan untuk hidup dengan
baik, di hadapan Tuhan dan sesame. Dialog antar agama perlu ditingkatkan lagi, untuk secara
bersama-sama mencari bagaimana pesan Allah dapat ditangkap oleh manusia Zaman ini, dan
dapat menjadi sumber inspirasi dan motivasi dalam menjalankan hidup yang semakin baik.

2. Membela kaum lemah


Kerja sama yang dibangun hendaknya terutama berorientasi untuk memihak yang
lemah dengan memberdayakan mereka. Perbaikan taraf hidup masyarakat sebaiknya
dilakukan secara simultan di berbagai sektor penting kehidupan. Namun dalam keyataanya,
kalau kemampuan ekonomi semain baik, maka perbaikan di bidang lain lebih mudah
dilakukan. Maka dapat dikatakan bahwa perbaikan kondisi ekonomi perlu dijadikan prioritas.
Kenyataannya menunjukkan bahwa kalau seseorang belum makan, anaknya tidak bisa
sekolah karena tidak ada biaya, kalau kondisi kesehatan mereka memprihatinkan, bagaimana
kita mengajak mereka untuk menghayati betapa baiknya Allah kepada mereka? Kebaikan
Tuhan bisa sampai kepada seseorang melalui sesamanya. Agama-agama terutama harus dapat
menjadi saluran berkat dari Tuhan bagi manusia. Untuk itu, lembaga-lembaga sosial
keagamaan harus bekerjasama mencari bentuk-bentuk kerjasama yang orientasinya terarah
untuk memberdayakan masyarakat lemah. Kerja sama ini harus bebas dari campur tangan
pihak luar serta tujuan-tujuan di luar tujuan yang sebenarnya.

3. Menghadirkan suasana surga di bumi


Setiap agama harus menujukkan sikap bersahabat yang tulus, sebagai yang
sama-sama memiliki tugas dan tangung jawab menciptakan pembaharuan di dunia ini.
Keselamatan abadi, sebagaimana dijanjikan oleh setiap agama, yang dalam istilah agama
disebut surga, tidak akan kita alami sekarang ini apabila hidup manusia bergeliman
penderitaan dan keterbelakangan, baik secara fisik maupun non-fisik. Surga dan nirwana
sebagai lambang kesejahteraan, kedamaian dan kebahagiaan hidup, bukalah hanya sebagai
kenyataan di akhirat nanti, melainkan seharusnya kita sudah mulai menikmatinya dalam
kehidupan di dunia ini. Hal itu terjadi dalam bentuk ketenteraman, keamanan, kerukukunan,
kedamaian, kesejahteraan, dan segala wujud kebaikan bersama. Itualh yang kita usahakan

CHAR6021 – Character Building: Agama


dalam semangat keagamaan dan iman, yang harus kita tumbuh kembangkan di atara kita
semuanya.

4. Menjadi pelopor perbaikan akhlak


Perbaikan akhlak dari bangasa kita ini sudah sangat mendesak sekali.
Potret keagamaan sebagaimana diungkapkan pada bagian pertama topik ini sangat berkaitan
dengan kepemilikan watak dan akhlak buruk sebagian besar orang berpengaruh di Negara ini.
Kalau watak, karakter atau akhlak tetap tidak berubah, maka kita akan semakin terperosok
ke jurang kehancuran. Sebuah bangsa akan hancur ketiaka moralitasnya hancur, demikian
kata penyair Syauqi Beik. Dalam hal perbaikan moralitas bangsa ini, agama tidak boleh
berpangku tangan saja. Ada tanggungjawab besar terletak dipundaknya, yang harus dia
jalankan dengan sepenuh hati, melebihi yang sudah-sudah. Dalam aktivitas sehari-hari, setiap
pribadi beriman hendaknya bisa menjadi teladan bagi sesamanya. Bagi masyarakat Indonesia
yang paternalistic, keteladanan sangat penting. Masing-masing tokoh, masing-masing umat
beragama yang mendapatkan kepercayaan untuk memimpin, entah itu pimpinan birokrat atau
pemimpin organisasi atau bahkan telah dipercaya menjadi wakil rakyat, hendaklah menjadi
teladan kebaikan, dengan menjalankan tugas dan pengabidannya penuh tangung jawab.

5. Bekerja sama memberantas kejahatan dan menebar kebaikan.


Kerjasama antar berbagai agama dapat diarahkan juga dengan bijak untuk
memberantas kejahatan di berbagai lingkup kehidupan. Agama secara bersama-sama dapat
mencari jalan umpamanya, bagaimana cara mencegah terjadinya korupsi, kolusi dan
nepotisme. Indonesia, biar pun tingkat keberagamannya mendapat acungan jempo oleh
sementara bangsa dan Negara lain, namun korupsinya telah menjadi seni dan bagian dari
budaya-budayanya. Korupsi dan kejahatan lainnya menjadi sangat tidak ada korelasinya
dengan ketaatan beragama, padahal budaya korupsi adalah penyebab terjadinya kemunduran
dan keterbelakangan suatu masyarakat.

Pertanyaan kemudian adalah, mengapa beragama tidak berarti tidak korupsi atau
melakukan kejatahan lain? Kita tidak perlu under-estimate, seolah-olah agama tidak mampu
mendorong anti korupsi dan anti kejahatan lainnya. Bukan agama yang gagal melainkan
tokoh dan penganut agama itu yang memiliki pemahaman dan penghayatan agama secara
tidak benar. Kesalehan indivud nampaknya belum menjadi jaminan kesalehan sosial dan

CHAR6021 – Character Building: Agama


professional. Agama-agama tidak membenarkan kebejatan, ketidakjujuran dan segala bentuk
immoralitas sosial lainnya. Agama mengajarkan moral yang mulia, budaya malu, kokok
dalam kebaikan, gaya hidup sederhana, ethos kerja tinggi, serta orientasi pada kemajuan dan
prestasi. Agama dalam konteks demikian berposisi sebagai pembimbing dan control
tgransendental. Panganut agama seharusnya juga merasa dia tetap dikontrol oleh Yang Maha
Tahu, kapan pun dan di mana pun dia berada. Selain itu, agama juga mengajarkan kehidupan
sesudah mati, yang punya kaitan dengan kehidupan di dunia sekarang ini. Maka, meskipun
tindakan korupsi dan kejahatan lain yang dilakukan sekarang ini sempat lepas dari
pengawasan manusia, pengadilan di kemudian hari tidak akan melepaskannya begitu saja.
Keberagamaan yang substantive akan mampu mencegah penganutnya dari perilaku korup.
Melalui aktivigtas kemasyarakatan, hendaknya ada semacam gerakan moral bersama untuk
mencegah terjadinya perilaku korup dalam berbagai bentuk, dengan cara memberikan sangsi
moral bagi pelakunya. Agama-agama harus memasyarakatkan dan kemanusiaan, dan
mempengaruhi sebanyak mungkin orang untuk berbuat baik. Himbauan atau seruan yang
terus menerus dari tokoh- menyebarluaskan kebaikan melalui kerja sama di berbagai proyek
tokoh agama, yang disertai dengan keteladanan yang terpuji, dapat mendorong umat untuk
menjauhi kejahatan, dan berusaha hidup secara baik.

CHAR6021 – Character Building: Agama


KESIMPULAN

Agama memiliki peran penting dalam kehidupan manusia, salah satunya adalah
peran menciptakan perdamaian dunia. Agama semestinya bukan hanya masalah hubungan
pribadi dengan Tuhan, bukan juga hanya urusan menyangkut para pengikut agama masing-
masing. Kalau dilihat lebih dalam, sesungguhnya agama-agama, dengan berbagai ajaran suci
di dalamnya, memiliki visi dan misi yang sama, semua memuat pesan kebaikan, cinta kasih,
keadilan, yang mengarahkan umatnya untuk hidup semakin baik, dan menjadikan dunia ini
menjadi hunian yang semakin baik bagi manusia. Melihat visi, misi, dan pesan-pesan itu,
maka agama-agama memiliki peluang besar untuk memainkan peran penting bagi
terciptanya perdamaian dunia, memiliki pengaruh besar mendorong terciptanya hubungan
yang semakin baik antar antar sesama manusia, entah apapun latar belakangnya.

CHAR6021 – Character Building: Agama


DAFTAR PUSTAKA

Antonius Atosokhi Gea, Noor Rachmat, Antonia Panca Yuni Wulandari (2004). Character
Building III: Relasi dengan Tuhan. Jakarta: Elex Media Komputindo

CHAR6021 – Character Building: Agama


LECTURE NOTES

Character Building: Agama

Week 5

HATI NURANI

CHAR6021 – Character Building: Agama


LEARNING OUTCOMES

LO4 : Menjelaskan hati nurani dan sikap kritis menghadapi formalisme agama

OUTLINE MATERI (Sub-Topic):

 Pengertian hati nurani


 Pentingnya mentaati hati nurani
 Menjelaskan cara-cara mengembangkan hati nurani
 Tantangan yang dihadapi dalam membina hati nurani

CHAR6021 – Character Building: Agama


HATI NURANI

A. PENDAHULUAN

Hati Nurani adalah salah satu bagian penting dari setiap diri manusia. Setiap manusia
memiliki hati nurani. Hati nurani untuk setiap orang beriman memiliki tempat tersendiri
sebagai pedoman hidup. Prilaku orang beriman tidak hanya dituntun oleh oleh nilai, norma
atau berbagai ajaran-ajaran yang berada di luar dirinya. Perilaku orang beriman juga dituntun
oleh hati nuraninya sendiri.

Ada sebuah pandangan umum bahwa hati nurani merupakan salah satu media Tuhan
mewahyukan dirinya sendiri (Gea, Rachmat dan Wulandari, 2006:290). Oleh karena hati
nurani diakui sebagai media melalui mana Tuhan mewahyukan dirinya, semua orang beriman
dianjurkan untuk selalu memperhatikan suara yang ada dalam hatinya sendiri. Bila dalam
satu situasi tertentu yang tidak pasti, situasi yang membingungkan, dan tidak ada panduan
bagi manusia bagaimana ia haru keluar dari kebingungan tersebut, biasanya disarankan untuk
mendengar suara hati.

Tetapi, meskipun orang beriman yang mengakui bahwa suara hati merupakan media
bagi pewahyuan Tuhan, tidak semua orang beriman selalu mau mendengarkan suara hatinya
sendiri, atau kalaupun ia berusaha mendengarkan suara hatinya, pilihan-pilihan untuk
mengambil keputusan lebih dideterminasi oleh pikiran, atau pengalaman. Padahal tidak
pernah diungkapkan bahwa pikiran dan pengalaman merupakan tempat instimewa Tuhan
mewahyukan diri-Nya secara hidup. Yang nyata dari pikiran dan pengalaman manusia adalah
pikiran dan pengalaman manusia itu sendiri, dan bukan suara Allah.

Orang beriman seharusnya, selalu mengandalkan suara hatinya sendiri. Sebab suara
hati merupakan tempat melalui mana Tuhan mewahyukan dirinya dengan cara yang paling
hidup. Hati nurani tidak pernah berbohong, seperti Tuhan yang tidak pernah berbohong.
Sebagai contoh, bila anda terlambat dalang kuliah karena terlambat bangun, dosen anda
bertanya mengapa anda terlambat? Pikiran anda mengkalkulasi jawabannya sebagai berikut;
(1) kalau saya menjawab “saya terlambat bangun, dosen saya akan memberi saya hukuman”,
(2) kalau saya menjawab, “saya terlambat karena dalam perjalanan ke kampus saya menolong

CHAR6021 – Character Building: Agama


orang yang mengalamai kesulitan di jalan”, dosen saya akan memahami keterlambatan saya,
dan dia tidak memberi saya hukuman. Pikiran anda cenderung akan memilih jawaban kedua
karena sifat dasar dari pilihan yang berdasarkan pikiran adalah pilihan yang menguntungkan.
Ketika anda memilih alternatif kedua, anda tidak dihukum oleh dosen, karena dosen anda
memahami alasan anda, tetapi meskipun dosen anda tidak menghukum anda, hati nurani anda
akan mengatakan bahwa anda berbohong. Ada suara dalam hati anda mengatakan bahwa
anda berbohong. Apakah suara dalam hati itu adalah suara anda yang ada di dalam hati,
ataukah suara Allah yang ada di dalam hati anda?

Biasanya jauh dari Tuhan dialami oleh orang beriman dapat membuatnya menjadi
gelisah. Gelisah dalam konteks ini menandakan terputusnya hubungan dengan Tuhan.
Orang yang suka berbohong biasanya mengalami kegelisahan dalam hatinya. Kegelisahan
dalam konteks ini merupakan tanda bahwa kita jauh dari Tuhan karena berbohong
bertentangan dengan perintah Tuhan sebagaimana yang diajarkan oleh hampir semua agama.
Berbohong adalah dosa. Dosa menyebabkan terputusnya hubungan antara manusia dengan
Tuhannya. Untuk memulihkan hubungan itu, maka manusia harus berlaku jujur, mengatakan
apa yang sungguh terjadi. Mungkin ia dihukum oleh manusia karena kejujuran itu, tetapi
sebagai orang beriman, ia membesarkan jiwanya dihadapan Tuhan.

B. PENGERTIAN HATI NURANI

Para filsuf biasanya menempatkan suara hati sebagai kesadaran moral


(Suseno, 1987:53) dalam sebuah situasi yang konkrit. Dalam konteks ini kita akan selalu
sadar mengenai peristiwa yang berada di luar kita. Terhadap berbagai pristiwa-peristiwa
tersebut ada semacam suara yang ada dalam hati kita untuk melakukan apa yang wajib kita
lakukan terhadap peristiwa itu. Suara hati dalam konteks ini menuntun kita bagaimana kita
merespons peristiwa yang berada di luar kita. Bila kita sedang berhadapan dengan teman,
saudara, seorang sahabat atau kekasih kita yang perilakunya tidak sesuai dengan apa yang
kita harapkan, biasanya kalau kita memperhatikannya dengan sungguh-sungguh atau
berusaha menyadari suara itu dalam hati kita, akan kita dengar atau alami sebuah tuntunan
bagaimana kita harus memberi respon terhadap peristiwa itu.

CHAR6021 – Character Building: Agama


Dalam konteks deskripsi singkat tersebut, kalau kita memahami suara hati sebagai
tempat Allah mewahyukan diri secara hidup dalam hati kita, maka respon kita terhadap
peristiwa yang tidak menyenangkan yang lahir dari perilaku teman, saudara, sahabat atau
kekasih kita, maka respon kita pasti selalu positif. Mungkin kita tidak memberi respon negatif
kepada mereka, melainkan sebaliknya respon yang positif. Seperti mungkin saja perilaku
mereka yang buruk membantu saya untuk dapat mengembangkan sikap sabar atau
memaafkan. Sabar dan memaafkan merupakan bagian penting dari pesan setiap agama.
Hampir semua agama mengajarkan umatnya bahwa orang yang sabar akan disayangi Tuhan,
atau orang yang memaafkan akan dimaafkan oleh Tuhan. Sebagai umat beragama kita perlu
wajib mendengarkan dan menaati suara hati kita yang meskipun oleh para filsuf dimaknai
sebagai kesadaran moral. Kesadaran moral ini berisfat mutlak, tegas dan oleh karena itu
sering diakui sebagai pusat otonomi manusia. Sifat kemutlakan suara hati merujuk pada sifat
Tuhan yang mutlak (bdk. Suseno, 1987:78). Jadi kemutlakan suara hati merujuk pada Tuhan.
Dalam fenoman suara hati kita betul-betul memiliki suatu pengelaman tentang transendensi,
tentang Tuhan yang mengatasi segala ciptaan. Kita tidak melihat Tuhan secara langsung,
tetapi kita seakan-akan dan bahkan sungguh-sungguh nyata mengalami Tuhan itu yang
menyapa kita melalui suara hati kita. Dalam pengalam seperti ini, suara hati merupakan
media perjumpaan Tuhan dengan manusia, media yang memungkinkan manusia dapat
mengalami Allah secara sungguh-sungguh nyata.

C. MENGEMBANGKAN SUARA HATI

Suara hati perlu dikembangkan secara terus menerus sebagaimana juga manusia terus
mengembangkan dirinya dalam menguasai ilmu pengetahuan dengan menggunakan akal
pikirannya. Bagaimana kita dapat mengembangkan suara hati kita?

Sebagai orang beriman, suara hati dapat dikembangkan dengan membangun relasi
yang terus menerus dengan Tuhan, sesama dan alam. Relasi dengan Tuhan bersifat vertical
dan relasi dengan sesame dan alam berifat horizontal. Relasi vertical dengan Tuhan dapat
dilakukan dengan doa yang secara umum setiap orang beragama menunjukkannya dalam
bentuk permohonan dan puji-pujian. Namun, di sini juga dalam kaitannya dengan suara hati,

CHAR6021 – Character Building: Agama


doa juga mesti dipahami dengan mendengarkan apa yang Tuhan kehendaki untuk kita
lakukan dalam hidup kita.

Doa mendengarkan ini dapat kita lakukan seperti dalam contoh ini. Bila seorang ibu
misalnya memiliki seorang anak. Anak tersebut dalam penilaiannya sangat nakal. Suatu
ketika anak tersebut secara tidak sengaja memecahkan gelas. Reaksi kimiawi manusia pada
umumnya atau ibu tersebut khususnya mungkin saja marah pada anak tersebut. Tetapi sikap
orang beriman yang mau secara terus menerus membina relasi dengan Tuhan, pasti akan
menahan diri. Ia bertanya dulu dalam hatinya pada Tuhannya. “Tuhan apa respon saya
terhadap anak ku ini”. Semua orang beriman pada khususnya atau orang beragama pada
umumnya tahu bahwa Tuhan itu adalah kasih, penyanyang, sabar dan memaafkan. Sifat-sifat
Tuhan seperti ini mungkin saja dibagikan kepada ibu yang sedang menghadapi anak yang
dalam kategorinya nakal. Oleh karena itu, ibu tersebut mungkin saja mendapat suara dalam
hatinya yang mengatakan bahwa anda jangan marah, peristiwa ini hendak mengajarkan anda
untuk sabar. Sabar dapat membesarkan jiwa anda, atau suara lain dalam hati anda mungkin
saja mengatakan bahwa anda harus memaafkannya, karena ia sedang belajar memaafkan”.
Jawaban-jawaban seperti ini tidak saja positif bagi ibu tersebut, tetapi juga positif bagi sang
anak. Sang anak kemudian menjadi tahu dan mendapat model dari sang ibu mengenai dalam
situasi apa sabar sangat dibutuhkan dan bahwa kesalahan orang lain perlu dimaafkan. Kelak
dikemudian hari sang anak tersebut memiliki perbendaharaan positif yang banyak dalam
hidupnya. Ia tidak memiliki perbendaharaan negatif bila mengahadapi masa-masa sulit dalam
berhubungan dengan ibunya. Sebab dari kecil ia mendapat nutrisi jiwa dari sang ibu seperti
memaafkan dan sabar.

Setiap hari setiap orang beriman berhadapan dengan begitu banyak peristiwa hidup
yang menuntut untuk memberi respon. Orang beriman seharusnya selalu berdialog dengan
Tuhan untuk mengetahui bagaiman ia harus memberi respon. Tuhan yang baik akan memberi
respon yang perlu dan dibutuhkan oleh manusia untuk menghadapi situasi yang konkret
tersebut. Oleh karena itu berusahalah untuk terus belajar mendengarkan suara Tuhan dalam
hati sebelum merespon suatu peristiwa. Melalui cara itu, anda terus membina hari nurani
anda sebagai tempat Tuhan mewahyukan dirinya.

CHAR6021 – Character Building: Agama


Relasi kedua yang perlu bagi setiap orang beriman adalah relasi horizontal.
Relasi horizontal berkaitan dengan relasi dengan sesama manusia dan lingkungan.
Relasi yang positif dengan sesama dan lingkungan akan sangat membantu
menumbuhkembangkan hati nurani anda. Sebab melalui relasi yang baik itu, setiap orang
beriman mengisi perbendaharaan pengalamannya dengan hal-hal yang baik melalui
pengalaman berelasi dengan sesama dan alam. Tentu kita dapat mempersoalkan bahwa tidak
semua orang sebagai sesama dapat memberi kita situasi yang positif, bahkan mereka dapat
mempengaruhi kita secara negatif. Hal ini tentu saja benar. Namun, kita harus mengakui
bahwa seburuk-buruknya peritiwa yang kita alami dari sesama dan alam, peristiwa itu tentu
tidak pernah menjadi lebih buruk bila respon kita adalah positif. Jadi peristiwa buruk tersebut
juga adalah kesempatan bagi untuk untuk terus mempertegas sikap-sikap positif kita yang
kita timba pertama-tama dari relasi yang kita bangun dengan terus mendengarkan apa yang
Tuhan maui untuk kita lakukan melalui suara hati kita.

Uraian singkat mengenai mengembangkan suara hati dengan membangun relasi


dengan Tuhan, sesama dan alam sebetulnya merupakan sebuah ikhtiar untuk membiasakan
diri hal-hal yang baik. Setiap orang yang terus menerus membiasakan diri dengan hal-hal
yang baik akan secara otomatis dapat merespon setiap peristiwa yang berada di luar dirinya
dengan respon-respon yang positif.

Sayangnya tidak semua orang beriman dapat memberi respon yang positif untuk
menghadapi setiap peristiwa yang berada di luar dirinya. Banyak orang beriman memberi
respon negatif terhadap setiap peristiwa yang berada di luar dirinya, apa lagi kalau peristiwa
tersebut tidak masuk dalam ukurannya mengenai apa yang baik menurut dirinya. Karena itu
tidak mengherankan, orang beriman hanya kelihatan spiritual pada hari-hari tertentu, waktu-
waktu tertentu atau saat-saat tertentu. Sedangkan di luar waktu-waktu, saat-saat, hari-hari
tertentu itu, orang beriman cenderung memberikan respon negatif terhadap berbagai peristiwa
buruk yang berada di luar dirinya.

Respon negatif terhadap berbagai perisitiwa yang berada di luar dirinya tentu saja
tidak akan pernah membantunya untuk menemukan jalan terbaik untuk memecahkan
persoalan yang dihadapinya sebagai suatu peristiwa yang menuntut respon tertentu. Malas,
marah, putus asa, cemas, takut merupakan sebagian sedikit dari begitu banyak pilihan respon

CHAR6021 – Character Building: Agama


negatif yang biasa ditunjukan oleh orang beriman dalam menghadapi sebuah situasi yang
buruk. Respon seperti negatif menandakan bahwa orang beriman belum cukup belajar untuk
selalu membangun relasi dengan Tuhan, sesama dan alam. Bila relasi orang beriman dengan
Tuhan, sesama dan alam baik, maka responnya mungkin berupa sikap memaafkan,
bersyukur, rajin, optimis dan berbagai sikap-sikap positif yang lainnya.

D. TANTANGAN MENGEMBANGKAN SUARA HATI

Tantangan-tantangan untuk mengembangkan suara hati tentu sangat banyak.


Namun di sini dapat kita identifikasi beberapa tantangan yang sering dihadapi oleh orang-
orang beriman. Beberapa tantangan tersebut berupa ilmu pengetahuan, materialism, dan
kebudayaan.

1. Ilmu Pengetahuan
Kita tidak bermaksud mengguggat peran penting ilmu pengetahuan bagi
perkembangan peradaban manusia. Ilmu pengetahuan telah banyak berjasa membantu
membawa manusia pada puncak-puncak peradabannya. Sekarang ini kita menjadi lebih bebas
untuk memobilisasi diri. Kita dapat berpindah dari satu tempat ke tempat yang lainnya
dengan begitu mudah, cepat, efisien dan efektif. Semua ini tentu berkat jasa ilmu
pengetahuan di bidang teknologi. Selain itu, dewsa ini kita juga dapat menyaksikan berbagai
peristiwa dari berbagai belahan dunia dalam hitungan menit dan bahkan detik melalui
teknologi informasi. Demikian juga dengan peran ilmu pengetahuan di bidang-bidang lainnya
seperti bidang kesehatan, infrastruktur, pangan, sandang dan papan. Singkatnya, peran
teknologi untuk memajukan peradaban manusia tidak dapat disangkal signifikansinya.

Bagi orang beriman, kemajuan ilmu pengetahuan tersebut harus dilihat dalam konteks
peran Allah yang terlibat dalam memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh
manusia. Namun, sayangnya banyak orang beriman yang berusaha mengakui dan mengalami
bahwa kemajuan ilmu pengetahuan merupakan salah satu bentuk peran Allah bagi
pembebasan manusia. Orang beriman justru memusatkan perhatiannya pada ilmu
pengetahuan tersebut dan bukan pada Tuhan yang memungkinkan ilmu pengetahuan itu

CHAR6021 – Character Building: Agama


bertumbuh dan berkembang bagi manusia. Orang beriman kebanyakan mengganti peran
Allah dengan peran ilmu pengetahuan.

Namun apakah ilmu pengetahuan dapat memecahkan semua masalah manusia?


Seharusnya dewasa ini ancaman penderitaan karena sakit harus berkurang karena tekonologi
kedokteran sudah sangat berkembang, demikian juga dengan ancaman kelaparan karena ilmu
pengetahuan di bidang pangan telah sangat canggih. Orang beriman dewasa ini harus menjadi
lebih bahagia. Namun apa yang terjadi? Manusia terus dihantui oleh berbagai macam
ketakutan. Banyak ketakutan tersebut justru dihasilkan oleh ilmu pengetahuan.

Sikap yang benar seharusnya bagi orang beriman adalah terus menerus membangun
dialog dengan Tuhan untuk memecahkan masalah hidupnya, bukannya menggantikan peran
Allah dengan ilmu pengetahuan. Bila manusia terus menerus membangun relasinya dengan
Allah untuk memecahkan masalahnya, maka manusia dapat menggunakan ilmu pengetahuan
yang diperolehnya dalam tuntunan Allah. Di bidang kesehatan misalnya, bila seseorang
mengalami sakit jantung, dari sisi ilmu pengetahuan akan ada metode untuk mengobatinya.
Namun bila anda bertanya pada Tuhan terlebih dahulu tentang apa yang harus anda lakukan
dengan penderitaan anda, mungkan jawabannya adalah anda jangan dendam dan marah sebab
sikap-sikap seperti itu tidak baik baik kesehatan jantungmu. Jadi jawabannya sangat berbeda
dan tidak harus diselesaikan dengan ilmu pengetahuan. Anda cukup belajar untuk bersukacita
dalam setiap situasi terutama situasi yang sulit, maka jantung anda sehat. Demikian juga
untuk kasus-kasus yang lainnya.

2. Materialisme

Materialisme merupakan salah satu tantangan yang dihadapi oleh orang beriman
dewasa ini untuk mengembangkan hati nuraninya. Materialisme merupakan sebuah sikap
yang menempatkan materi sebagai yang utama bagi hidup manusia. Materialisme nampak
dalam berbagai sikap hidup manusia seperti membeda-bedakan orang berdasarkan harta
kekayaan yang dimilikinya. Bila ada orang yang memiliki kekayaan yang lebi besar atau
menggunakan barang-barang atau fasilitas yang mewah dan eksklusif, kepadanya semua

CHAR6021 – Character Building: Agama


kesempatan dan tempat yang terutama diberikan, tetapi bila ada orang miskin yang masuk
dalam rumah kita kita cenderung menerimanya dengan setengah hati. Korupsi merupakan
wajah lain materialisme. Dengan korupsi, mengmabil apa yang tidak menjadi haknya atau
menggunakan jabatan untuk kepentingan pribadi tentu saja bertentangan dengan nilai-nilai
yang diajarkan dalam agama. Korupsi merupakan tindakan menumpuk harta benda dengan
mengabaikan hak-hak orang lain. Tentu masih banyak tindakan yang mencerminkan
materialisme.

Materialisme mengabaikan nilai-nila spiritual. Seperti telah diuraikan, nilai-nilai


spiritual diperoleh melalui hubungan atau relasi dengan Tuhan. Materialisme dalam konteks
ini menggantikan peran Tuhan dengan benda-benda materi. Jadi penekanannya adalah
menggantikan peran Tuhan dengan semua hal yang bersifat material. Penekanan tersebut
mengindikasikan bahwa materi tetap penting bagi hidup manusia, Materi yang dimiliki oleh
manusia juga merupakan tanda berkat Tuhan bagi manusia. Melalu materi yang dimiliki oleh
manusia, Tuhan membebaskan manusia dari kemiskinan, dan bahkan melalui mataeri yang
diberkan oleh Tuhan kepada manusia, manusia dapat meningkatkan kebajikan hidupnya.

Namun persoalannya, adalah bahwa banyak orang beriman telah menggantikan peran
Tuhan dengan materi. Materi menjadi ukuran untuk semua prilaku. Rakus makan sebagai
contoh lain misalnya merupakan wajah materialisme. Orang yang rakus tidak berusaha
mengurangi kebutuhannya supaya dia menjadi berkelebihan untuk dibagikan kepada orang
lain. Kerakusan seperti ini akan memandag rendah praktek-praktek aksetisme, puasa dan lain
sebagainya.

Semakin orang beriman tenggelam dalam materialisme, semakin dia kurang


menempatkan Tuhan sebagai subyek yang perlu didengarkan petunjuk-petunjuk-Nya yang
disampaikan melalui hati nurani. Bagi orang beriman, yang mengutamakan materialisme,
materi merupakan dasar dari seluruh perilakunya. Namun persoalannya adalah apakah
materialisme dapat menciptakan kebahagiaan bagi manusia? Dari berbagai berita televisi atau
koran kita dapat menyaksikan bahwa banyak orang beriman menjadi cemas karena barang-
barang material yang mereka miliki atau bahkan yang mereka tidak miliki. Bagi yang
memilikinya, dia takut rusak, dia cemas akan dicuri orang. Kecemasan dan ketakutan dalam
hal ini mendesaknya untuk melihat setiap orang lain sebagai yang perlu diwaspadai. Bahkan

CHAR6021 – Character Building: Agama


ia lebih memilih marah demi barang-barangnya dari pada berusaha untuk memaafkan dan
berbagai sikap yang dapat membesarkan jiwanya. Sementara itu, bagi orang yang tidak
memiliki materi yang cukup, ia dapat saja tergoda untuk mencuri atau merampok.

Dengan membangun relasi yang baik dengan Tuhan, dengan secara terus menerus
melatih diri dengan berusaha mendengarkan suara hati kita yang kita akui sebagai ruang di
mana Tuhan berbicara kepada kita, kita menjadi tahu, bagaimana kita memperlakukan barang
materi yang kita miliki, atau bagaimana kita harus memenuhi kebutuhan hidup kita.,

3. Kebudayaan

Kebudayaan merupakan wajah peradaban manusia. Cara berpikir, nilai-nilai, norma,


kebiasaan, perilaku dan berbagai produk yang diciptakan oleh manusia merupakan wajah
kebudayaan yang melalui itu manusia mengafirmasi peradabannya sendiri. Namun tidak
setiap kebudayaan manusia dapat menuntun setiap orang beriman untuk mengembangkan
suara hatinya sebagai media melalui mana Tuhan mewahyukan dirinya.

Secara struktural dapat dijelaskan bahwa setiap orang lahir dalam konteks budaya
tertentu. Jadi setiap orang yang lahir ke dunia ini sudah ada budaya yang menuntun
hidupnya, budaya yang mengatur bagaimana ia berperilaku, bagaimana itu bertutur kata,
bagaimana ia merespon segala perisitiwa yang berada di luar dirinya. Hal ini tentu saja baik
bagi setiap manusia, karena dengan itu, keteraturan sosial dapat terjadi.

Tetapi bagi orang beriman, mengikuti tuntutan budaya saja tidak cukup. Budaya tidak
dapat menggantikan peran Tuhan yang terus membimbing hidupnya. Oleh karena itu, setiap
orang beriman tidak cukup menjalani hari-hari hidupnya berdasarkan tuntunan budaya.
Orang beriman juga harus selalu berjuang mendengarkan suara Tuhan melalui hati
nuraninya. Kebudayaan biasanya merupakan produk yang diwariskan, jadi kebudayaan
diciptakan dalam konteks tertentu di masa lalu. Masa sekarang tentu saja sudah berubah.
Oleh karena itu, mengandalkan budaya yang merupakan produk masa lalu sebagai satu-
satunya tuntunan hidup tidak tepat bagi setiap orang beriman. Setiap orang beriman
seharusnya tidak menggantikan peran Tuhan yang berbicara padanya melalu hati nuraninya
untuk merespon situasi konkrit yang dialaminya saat sekarang.

CHAR6021 – Character Building: Agama


KESIMPULAN

Hati nurani merupakan sesuatu yang penting bagi setiap orang beriman. Setiap orang
beriman tidak hanya mengandalkan ilmu pengetahuan, materi, dan kebudayaan sebagai dasar
untuk merespon berbagai peristiwa konkrit yang berada di luar dirinya. Kalau orang beriman
berperilaku demikian apa bedanya orang beriman dengan orang yang tidak berman?

Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa hati nurani merupakan ruang melalui
mana Tuhan mewahyukan diri-Nya. Dalam ruang itulah, Tuhan berbicara kepada setiap
orang beriman mengenai bagaiman ia harus merespon setiap situasi atau peristiwa konkrit
yang dihadapinya setiap hari. Oleh karena itu maka sikap dasar orang beriman adalah
mendengarkan tuntutan Tuhan melalui suara hatinya untuk merespon setiap situasi atau
peristiwa yang berada di luar dirinya.

CHAR6021 – Character Building: Agama


DAFTAR PUSTAKA

Frans Magnis-Suseno (1987). Etika Dasar, Masalah-Masalah pokok Filsafat Moral.


Yogyakarta: Kanisius

Porat Antonius & Max Biae Dae (2015). Eksegese Orang Jalanan. Tahun Liturgi A Jilid 1;
Tahun Liturgi C Jilid 1 dan 2, Kupang: Lembaga Jasa Psikologi Terapan

CHAR6021 – Character Building: Agama


LECTURE NOTES

Character Building: Agama

Week 6

KRITIK TERHADAP FORMALISME AGAMA

CHAR6021 – Character Building: Agama


LEARNING OUTCOMES

LO4 : Menjelaskan hati nurani dan sikap kritis menghadapi formalisme agama

OUTLINE MATERI (Sub-Topic):

 Pengetian formalisme agama


 Radikalisme agama dan faktor-faktor pemicunya
 Rupa-rupa formalisme agama di Indonesia
 Kritik terhadap formalisme agama

KRITIK TERHADAP FORMALISME AGAMA

CHAR6021 – Character Building: Agama


A. KONSEP FORMALISME AGAMA

Formalisme agama merupakan suatu bentuk penghayatan iman keagamaan yang


hanya mementingkan dimensi legalistik-formalistiknya. Ia lebih mengutamakan dimensi
ekspresi artifisial daripada dimensi transfisik-subtansialnya. Sehingga penampilan fisik
lebih diutamakan daripada penghayatan rohani-batiniah. Formalisme ini bisa terwujud
dalam praktik perilaku atau sikap-sikap religius yang terekspresikan dalam penghayatan
hidup keseharian yang dangkal dan jauh dari substansi agama yang seharusnya (das
sollen). Formalisme agama pada akhirnya bisa berkembang ke arah fundamentalisme
agama. “...the behaviorist and and religious fundamentalist focus on structure, order, and
firm discipline” (International Encyclopedia of Social Science, Vol. 9, hal. 132).
Formalisme agama menghayati agama dengan sangat ketat sambil menekankan struktur,
aturan atau hukum yang sangat mengikat bahkan menuntut sikap disiplin diri yang
radikal. Jadi sebetulnya formalisme agama merupakan suatu sistem religius keagamaan
yang menekankan prinsip-prinsip, aturan dan hukum-hukum sebagai unsur yang paling
penting dalam penghayatan hidup religius dan kriteria evaluasi diri. Para penganutnya
berpegang teguh pada tradisi-tradisi agama secara kukuh-radikal dan menjadikan itu
sebagai patokan dalam menilai tingkat kesalehan hidup religius.

Dalam praktiknya, para penganut formalisme agama juga bisa menunjukkan


dimensi patriarkalisme ekstrem maupun dominasi subordinatif yang cenderung
mendiskreditkan kelompok lain di luar mereka: entah bangsa lain, rasa lain, suku/etnis
lain, golongan lain bahkan kaum perempuan dalam konteks isu feminisme. Praktik
formalisme agama bisa sangat diskriminatif dalam sikap dan perlakuan pada sesama yang
lain. Para formalist agama bisa memposisikan diri jauh lebih tinggi dan superior dari
pihak lain. Mereka bersikap ekstremis dan sering kali tidak bisa bertoleransi terhadap
perbedaan. Mereka juga tidak terbuka (tertutup) terhadap kelompok lain di luar mereka.
Hal ini bisa berbahaya dalam konteks eksistensi dan realitas sosial kita sebagai bangsa
yang plural dan multi-religius.

CHAR6021 – Character Building: Agama


Formalisme agama memiliki beberapa karakteristik mendasar yang menonjol,
antara lain:

Pertama, lebih memperhatikan aturan-aturan formal agama daripada isi atau makna.

Kedua, memberikan prioritas terhadap simbol-simbol religius dalam ekspresinya.

Ketiga, berpikir sangat tinggi terkait dengan tema-tema agama sehingga cenderung
membela diri dan resisten.

Keempat, menggunakan istilah-istilah religius dalam praksis keseharian hidupnya.

Dalam konteks kebijakan negara, jika negara mengadopsi konsep formalisme agama
ini dan menerapkan secara ketat terhadap kehidupan para warganya, maka akan menimbulkan
masalah karena dimensi kebebasan individu dikekang bahkan tanggung jawab seolah-olah
dipaksakan oleh negara kepada warganya. Hal ini merupakan suatu bentuk tirani kekuasaan
negara melalui bidang agama yang bisa tidak menenggang kebebasan individu ataupun
mengganggu komunitas/kelompok lain yang tidak sepaham. Jadi sebetulnya formalisme
agama bisa berpeluang dilakukan oleh negara, institusi, kelompok atau individu.

B. RADIKALISME AGAMA DAN FAKTOR-FAKTOR PEMICUNYA

Untuk membantu kita memahami konsep radikalisme agama, kita perlu terlebih
dahulu memahami apa hakikat dasar yang paling esensial dari pengertian kata „radikalisme‟
itu. Istilah „radikal‟ merupakan sekumpulan makna-makna yang memiliki arti membawa
pulang segala sesuatu kepada akarnya. “The world radical has a number of meaning, one of
which involves “getting to the root of matter”(Encyclopedia of the Social Science, hal. 48).
Ketika kita mendengarkan kata radikalis, maka itu artinya orang atau subjek yang ingin
membawa pulang atau mau mengembalikan suatu konsep/gagasan kepada prinsip-prinsip
pertamanya. Radikalisme biasanya berkaitan dengan sistem keyakinan tertentu yang pertama
dan terutama. Radikalisme ini bisa diterapkan dan beroperasi di dalam banyak ruang
kehidupan: ekonomi, sosial, politik, budaya, ilmu pengetahuan, teknologi, ideologi pemikiran
bahkan agama dan spiritualisme. Kaum radikalis ini biasanya membentuk kelompok sendiri
yang eksklusif. Ciri khas yang menonjol dari kelompok radikalis itu yakni: terisolasi, parsial,

CHAR6021 – Character Building: Agama


sektarian, partikular, lokal dan terfragmentaris atau sporadis. Meski radikalisme itu bekerja
di dalam setiap aspek kehidupan, pembahasan kita di sini hanya akan terfokus pada fenomena
radikalisme di bidang agama.

Radikalisme agama ini pada dasarnya adalah suatu pandangan atau ideologi religius
yang ingin mengubah realitas sosial penghayatan agama untuk kembali ke akar-akar tradisi
pada awalnya yang ketat dan kaku. Radikalisme agama, oleh karena itu, juga berkarakter
konservatif, normatif, tradisional, dan ortodoksif. Radikalisme agama berpotensi
antikemajuan, anti perkembangan antiprogresif, antisolidaritas dll. Namun para radikalis
agama mungkin sungguh mencintai semangat agresivitas, sikap kasar, tidak peduli, teror,
kepicikan ideologis berkedok agama dll.

Aroma atau nuansa radikalisme agama umumnya hampir tercium di dalam semua
keyakinan agama baik Kristiani, Islam, Budha, Hindu dll. Sering dalam ekspresinya bersifat
ekstremistis dan fundamentalistis. Malah bisa tercuat keluar dalam berbagai bentuk aksi
kekerasaan entah secara verbal atau pun non verbal, fisik maupun psikologis sehingga
merugikan pihak lain sebagai sasaran korban kekerasaannya. Bahkan secara psikologis
orang-orang yang radikal merasa senang (hedonis) dan tak segan-segan melakukan teror dan
intimidasi kepada orang lain misalnya menggunakan ancaman fisik atau sikap kasar yang
ditunjukkan pada pihak lain tanpa disaring secara keberadaban humanis. Bahkan mereka
sungguh menikmati sebagai suatu tindakan yang diklaim sebagai etis, luhur, mulia dan terpuji
dari sisi tilik ideologi radikalisme agama. Misalnya entah itu dengan mengorbankan diri
menjadi martir merah seperti mati suci dalam konsep kekristenan atau pun mati sahid alias
jihad dalam Islam.

Radikalisme ini kontras dengan paham moderat atau toleransi. Dengan demikian
maka moderasi atau toleransi merupakan prinsip oposisi dari radikalisme. “Moderates, in the
broadest and most general usage, moderates are defined by their opposition to radicalism,
extremism, and fanaticism. Moderates value calm, continuity, consensus, tolerance, and
stability” (International Encyclopedia of the Social Science, 2010: 226). Jika nilai-nilai
yang dibawa oleh kaum radikalisme adalah tidak peduli, tidak kompromi, tidak toleransi
maka kelompok moderasiatau toleransi malah sebaliknya. Kelompok toleran atau moderat

CHAR6021 – Character Building: Agama


justru menghargai perbedaan, peduli, kompromi, mencintai keharmonisan dan kedamaian
dalam hidup bersama.

Radikalisme agama pada gilirannya menurunkan atau melahirkan ideologi-ideologi


ekspresif lain misalnya eksklusivisme agama, fundamentalisme agama, ekstremisme agama,
terorisme agama, militansi agama dll. Sehingga ideologi ini tertutup terhadap agama atau
kelompok lain yang tidak sepaham dengannya. Bahkan sering kali mereka bisa tidak sepaham
atau berkonflik di dalam kelompok sendiri, jika cara-cara kerja mereka dihalangi atau
dihambat.

Terdapat banyak alasan atau motif sebagai latar belakang yang memunculkan gerakan
radikalisme agama ini. Namun umumnya bisa dipicu oleh hal-hal seperti:

 Faktor sosial politik dan ekonomi


 Rasa emosi/sentimen keagamaan
 Faktor budaya-etnis
 Faktor ideologi keagamaan
 Maupun kebijakan pemerintah yang legalistik-radikal.

C. PETA KRUSIAL FORMALISME AGAMA DAN GELIATNYA DI INDONESIA 1

Praktik formalisme agama menjadi tantangan besar untuk Indonesia sebagai bangsa
yang majemuk/plural. Di Indonesia, praktik formalisme agama terjadi dalam beberapa
dimensi kehidupan. Ada beberapa peta krusial praktik formalisme agama di Indonesia dalam
konteks semangat pluralisme dan multikulturalisme.

Pertama, pengakuan akan hak-hak untuk menganut agama. Di Indonesia secara


de jure sudah ada pengakuan oleh negara dalam memeluk agama sesuai pilihan nurani setiap
subjek penganut agama. Rumusan ini tertera dalam Pasal 29 pada Bagian Pembukaan

1
Materi ini diadaptasi dari Frederikus Fios (2013). “Filsafat Multikulturalisme: Sebagai Strategi Kebudayaan
Menyiasati Tantangan Pluralisme Agama di Indonesia” dalam Proceeding International Conference
Kebhinekaan & Budaya, Universitas Indonesia: Depok, Hal. 275-286.

CHAR6021 – Character Building: Agama


Undang-Undang Dasar 1945 Bab XI tentang Agama2: (1). Negara berdasar atas Ketuhanan
Yang Maha Esa. (2). Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Pengaturan lebih lanjut tentang agama sesuai amanat UUD 1945 di atas, MPR RI menetapkan
UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang pengesahan International Covenant On Civil and
Political Rights (Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik). Secara de jure
cukup jelas menunjukkan adanya kebebasan memeluk agama. Namun de facto, negara masih
mengintervensi praktik dan penghayatan agama yang sering kali justru memicu konflik di
dalam hidup sosial. Ini menunjukkan negara belum menjamin dengan cukup ideal kehidupan
beragama yang baik dan harmonis. Negara belum tegas dalam soal perspektif pengakuan atau
politik pengakuan3 akan realitas multikulturalisme. Sebuah politik pengakuan akan kekhasaan
dan keunikan entitas di republik ini belum maksimal diakomodasi oleh negara. Hal ini
ditegaskan oleh Frans Magnis Suseno juga melansir salah satu tantangan serius di Indonesia
yakni persoalan intoleransi, kepicikan, dan fanatisme agama. (Proceeding International
Conference Kebhinekaan dan Budaya: Universitas Indonesia 2013, hal. 27)

Kedua, merangkai bingkai teoretik atau strategi kebudayaan untuk tumbuhnya iklim
toleransi antarumat beragama. Fakta membuktikan, kondisi toleransi belum cukup memadai
terealisasi di bumi Indonesia ini. Meskipun ajaran kebanyakan agama sebenarnya toleran dan
terbuka, akan tetapi, dalam kenyataan agama-agama sering cenderung bersikap tidak toleran
dan tertutup, alias eksklusif. 4 Cukup banyak aliran kepercayaan/spiritual yang tidak dibiarkan
tumbuh maupun agama minoritas cukup sulit menjalankan ibadah secara wajar karena justru
dipersulit. Bahkan izin pendirian tempat ibadah pun sering dipersulit. Kalau toh izinnya
sudah ada, masih saja diprotes oleh warga pemeluk agama lain terhadap kelompok minoritas
beragama. Koordinator Pemantau Kebijakan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat
(ELSAM), Wahyudi Fadjar mengatakan terdapat 64 kasus intoleransi selama tahun 2012
berupa perusakan tempat ibadah (10 kasus), penghalangan aktivitas ibadah (20 kasus),
penutupan tempat ibadah (7 kasus), tuduhan sesat (5 kasus), diskriminasi (4 kasus),
pengusiran (3 kasus), pembunuhan (2 kasus), lain-lainnya (6 kasus) dengan frekuensi

2
Panduan Pemasyarakatan UUD Negara RI Tahun 1945 (2012) yang diterbitkan oleh Sekjen MPR RI, hal. 183.
3
Politik pengakuan dalam buku politic of recognition yang ditulis oleh Charles Taylor.
4
Franz Magnis Suseno (2013). “Bhineka Tunggal Ika, Kesatuan Bangsa dalam Tantangan” dalam Proceeding
International Conference Kebhinekaan dan Budaya, Universitas Indonesia: Depok, hal. 25-29.

CHAR6021 – Character Building: Agama


tertinggi terjadi di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. 5 ELSAM juga menunjukkan
bahwa para pelaku kekerasan terhadap penganut agama minoritas di Indonesia berasal dari
organisasi masyarakat (Ormas), pemerintah daerah, petugas polisi, warga masyarakat, MUI
daerah, KUA dll6. Ini peta kedua tantangan tumbuhnya formalisme agama di Indonesia
sekaligus memberi sinyal perlunya strategi kebudayaan yang lebih bijak menyiasati dan
mengatasi masalah-masalah intoleransi ini.

Ketiga, paradoks antara naturalisme dan kulturalisme. Di Indonesia paradoks ini


mulai muncul ketika formalisasi agama (hanya 5 agama resmi: Islam, Katolik, Protestan,
Budha dan Hindu) yang tumbuh di Indonesia tidak memberi peluang bagi munculnya religi
di bumi nusantara ini berkembang dalam wujud agama-agama asli-etnik. Konghucu baru
diformalkan terakhir sebagai agama ke-6 hasil perjuangan reformasi oleh kelompok minoritas
Tionghoa Indonesia saat pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid (Gus Dur). Sebagai
konsekuensi logisnya, formalisme agama dalam bentuk hukum positif (negara) yang
diberlakukan hingga kini masih sangat diskriminatif, setengah hati saja dalam
mengakomodasi praktik-praktik diversitas budaya dan agama lokal di jagad Nusantara ini.
Negara Indonesia ini boleh dikatakan belum bisa menerima „ide multikulturalisme‟ untuk
tumbuh berkembang subur di tanah air-ibu pertiwi ini. Padahal Indonesia, kita tahu, adalah
negara dengan kuantitas keanekaan etnis terbanyak di dunia yang seharusnya waspada
terhadap formalisme agama seperti ini.

Keempat, peta lain yakni upaya perumusan bahasa peradaban Indonesia dihadapkan
pada persoalan klaim kebenaran kelompok sendiri (eksklusivisme agama) dan arus
globalisasi kapitalisme ekonomi dalam bentuk euphoria materialisme orang Indonesia yang
tampil dalam berupa gaya hidup popular-wah saat ini. Sebagian penganut agama di Indonesia
mencari kesenangan religius dalam bentuk ekstremisme agama yang mengklaim ajaran
sendiri paling benar dibandingkkan dengan kebenaran agama sesamanya yang lain. Sebagian
lagi mencari kesenangan materilistis dalam sikap konsumtif ekstrem yang terkadang egoistik-
antisosial. Gerakan fundamentalisme/radikalisme agama dan konsumerisme-materialisme
tumbuh subur di Indonesia seiring dengan upaya kita membumikan toleransi di republik ini.

5
Kasus intoleransi beragama di Indonesia sepanjang tahun 2012 ini diekspos dalam vivanews.com edisi online.
6
Sumber: edisi online VIVAnews.com

CHAR6021 – Character Building: Agama


Kedua ekstrem ini sama-sama tidak ideal bagi tumbuhnya sikap multikulturalistik yang
menenggang perbedaan dan toleransi antarpenganut agama berbeda.

D. KRITIK TERHADAP FORMALISME: KEMBALI KE SUBSTANSI AGAMA

Kita telah melihat dampak yang ditimbulkan oleh praktik formalisme agama beserta
isme-isme lain yang diturunkan daripadanya seperti radikalisme agama, fundamentalisme
agama, ekstremisme agama dan lain sebagainya. Semua isme berkedok agama ini tentu baik
namun di sisi yang lain bertentangan dengan kenyataan kita yang beragam, plural, multietnis,
multireligius, bervariasi, berbeda dll. Tentu tidak apa-apa jika orang menghayati nilai-nilai
agama secara radikal, namun problem muncul ketika itu dipaksakan kepada orang lain atau
dijadikan sebagai tolok ukur paling benar dalam menilai praktik hidup bersama dalam ruang-
ruang sosial publik. Untuk mencegah agar radikalisme agama tidak merusakkan tatanan
kebaikan hidup (good life) kita bersama, maka salah satu jalan untuk mengontrol dan
mengendalikan sikap kita yang kurang bijak itu yakni dengan menjadi rasional (a critical
person). Menjadi bijak artinya kita menggunakan rasio (akal sehat) dan hati nurani (perasaan
moral-etis) yang ada pada kita sebagai spesis manusia. Maka di sini sikap kritis dalam
menghayati hidup keagamaan kita menjadi penting.

Kritik terhadap formalisme agama bisa ditempuh dengan cara bersikap kritis dalam
menghayati iman keagamaan yang kita anuti. Bersikap kritis artinya kita memilah, memfilter,
menyaring dan menyensor pola pikir, pola sikap dan pola tindakan kita yang salah, kurang
etis dan keliru dalam menghayati keagamaan kita. Kritis artinya menggunakan ukuran yang
benar dalam mengevaluasi diri kita dalam menghayati iman keagamaan kita.

Ukuran sikap kritis itu kita tempatkan dalam konteks substansi atau esensi universal
dari agama itu sendiri. Apa yang menjadi subtansi semua agama itu? Jawabannya sederhana
saja: Memuliakan Tuhan Maha Cinta dan mencintai kemanusiaan sesama siapapun etnis dia
dan apapun latar belakang agama yang dianutnya. Karena semua agama mengajarkan pesan
utama perdamaian, kasih sayang, persaudaraan, cinta kasih, dan solidaritas.

Kita perlu mengevaluasi hubungan antara kita dengan Tuhan (teosentris) dan relasi
kita dengan sesama (sosio-sentris) bahkan hubungan kita dengan realitas ekologi alam (eko-

CHAR6021 – Character Building: Agama


sentris). Semua agama mengajarkan kita nilai-nilai kebaikan religius sebagai substansi utama
yakni:

 Selalu mendekatkan diri pada Tuhan/Allah (setia berdoa, melakukan ritual, rajin
berefleksi, bermeditasi, berkontemplasi, rasa takut yang suci akan Tuhan)
 Peduli pada sesama manusia tanpa memandang perbedaan agama/etnis
(menolong, membantu, memberi, berempati, rela berkorban, solider, mencintai
dengan tulus, menghargai sesama dll)
 Berusaha untuk menciptakan perdamaian menuju kedamaian di dalam realitas
sosial masyarakat (tidak berkonflik, hidup harmonis, tenggang rasa, bertoleransi,
teposoliro, tasamuh, tolerare, tolerance dll).
 Menghargai ekologi alam (menanam pohon, hidup hemat, hidup
sederhana/ugahari, bersepeda ke kampus, tidak konsumtif, jaga kebersihan diri,
menjaga lingkungan, tidak membuang sampah sembarangan dll).

CHAR6021 – Character Building: Agama


KESIMPULAN

Formalisme agama merupakan suatu bentuk penghayatan iman keagamaan yang


hanya mementingkan dimensi legalistik-formalistiknya. Praktek penghayatan keagamaan
yang bersifat legal-formal ini, yang mengedepankan aspek lahiriah, dianggap sebagai
penghayatan keagamaan yang sesungguhnya. Agama direduksi hanya sekedar ekspresi
artifisial daripada dimensi transfisik-subtansialnya, mengedepankan penampilan fisik
daripada penghayatan rohani-batiniah. Formalisme ini bisa terwujud dalam praktik perilaku
atau sikap-sikap religius yang terekspresikan dalam penghayatan hidup keseharian yang
dangkal dan jauh dari substansi agama yang seharusnya. Ada beberapa rupa-rupa praktik
formalisme agama yang terjadi dalam diri orang-orang beragama di Indonesia, di antaranya
adalah pengakuan akan hak-hak untuk menganut agama. Ini tidak salah, namun sepertinya
dianggap sebagai hal yang mutlak, seakan kalau tidak diakui melalui undang-undang maka
eksistensi dan substansi agama tidak sah. Ada lagi rupa-rupa formalisme agama yang perlu
selalu diwaspadai, sehingga kita tidak terjebak dalam penghayatan keagamaan yang dangkal.

CHAR6021 – Character Building: Agama


DAFTAR PUSTAKA

Buku Panduan Pemasyarakatan UUD Negara RI Tahun 1945 (2012) yang diterbitkan oleh
Sekjen MPR RI.

International Encyclopedia of the Social Science (2010). Detroit: Maxmillan Reference

Franz Magnis Suseno (2013). “Bhineka Tunggal Ika, Kesatuan Bangsa dalam Tantangan”
dalam Proceeding International Conference Kebhinekaan dan Budaya, Universitas
Indonesia: Depok, hal. 25-29.
Frederikus Fios (2013). “Filsafat Multikulturalisme: Sebagai Strategi Kebudayaan Menyiasati
Tantangan Pluralisme Agama di Indonesia” dalam Proceeding International
Conference Kebhinekaan & Budaya, Universitas Indonesia: Depok, Hal. 275-286.
“Kasus intoleransi beragama di Indonesia Sepanjang tahun 2012”. Diekspos dalam
vivanews.com edisi online.

CHAR6021 – Character Building: Agama


LECTURE NOTES

Character Building: Agama

Week 7

AGAMA DAN SEKULARISME

CHAR6021 – Character Building: Agama


LEARNING OUTCOMES

LO5 : Menggambarkan pengaruh negatif sekularisme terhadap agama serta cara


menyikapinya

OUTLINE MATERI (Sub-Topic):

 Pengertian sekularisme
 Tantangan sekularisme terhadap agama
 Dampak negatif sekularisme serta cara mengatasinya
 Pola hidup yang berangkat dari pengendalian diri menuju cinta dan solidaritas pada
sesama

CHAR6021 – Character Building: Agama


AGAMA DAN SEKULARISME

A. KONSEP SEKULARISME

Dari mana datangnya istilah sekularisme ini? Terminologi sekularisme ini sebetulnya
berasal dari masyarakat dunia barat. Kata-kata sekuler dan sekularisasi berasal dari bahasa
Barat yakni Inggris, Belanda, dan lain-lain (Nurcholish Madjid: 1998, hal 216). Kamus
Bahasa Indonesia memaknai kata sekuler sebagai duniawi, kebendaan, atau bukan bersifat
kerohanian. Sebetulnya kata sekuler berakar dari kata bahasa Latin „saeculum‟ yang makna
awalnya berarti masa kini atau generasi sekarang. Bahasa Prancis menggunakan istilah la cit
yang merujuk pada kelompok masyarakat biasa dan bukan kalangan pendeta atau klerus.
Oleh sebab ini sebetulnya sekularisme kontras atau beroposisi dengan istilah religius, agama
dan yang rohaniah-spiritual. Sekularisme itu paham yang bernuansa duniawi belaka.

Pemikiran sekularisme dimunculkan oleh para ilmuwan yang beraliran agnostik


(pentingkan ilmu melebihi hal lain) seperti Charles Darwin (biologi), Sigmund Freud
(psikoanalisis), Karl Marx (ekonomis), Einstein (sains IPA), George Elliot, Hardy, Tolstoy
Dostoievsky dll yang mengembangkan pemikiran-pemikiran ilmiah yang bertentangan
dengan nilai-nilai luhur kitab suci dan teologi Kristiani (R.Coles: 1999, hal. 50). Bukan
hanya ajaran kristianisme yang dilawan, sekularisme juga bertentangan dengan agama-
agama lain seperti Islam, Budha, Hindu, dan Konghucu sebagai warisan keyakinan agama
yang bernilai luhur oleh penganutnya yang tersebar secara sporadis di seantero bumi. Dengan
asumsi-asumsi ilmiah, para ilmuwan sekuler ini dengan lantang menyuarakan asumsi mereka
bahwa ilmu pengetahuan dan rasio bisa mengatasi berbagai persoalan hidup di dunia,
sehingga peran agama dan religiositas terdepak ke titik fragil dan periferi. Perkembangan
sains dan pemikiran ilmiah menjadi primadona, sehingga entitas agama dianggap sebagai
aspek yang tidak populer, ketinggalan zaman atau hal yang tidak penting lagi dalam persepsi
masyarakat modern hingga kontemporer.

Sekularisme asasinya suatu paham yang tertutup dan tidak mau terbuka terhadap
agama. Sekularisme merupakan suatu ideologi keduniawian yang tertutup dan mau
melepaskan diri dari agama atau menolak adanya kehidupan lain di luar kehidupan dunia ini
(Madjid: 1998: hal. 218, 257). Sebagai konsekuensi logisnya, kehidupan hanya berlangsung

CHAR6021 – Character Building: Agama


di dunia ini saja dan tidak ada kehidupan lagi sesudah kematian sebagaimana diajarkan oleh
agama-agama tentang keselamatan akan datang, surga, nibana, zaman akhir, parusia atau
eskatologis. Tidak ada surga, tidak ada akhirat, tidak ada nibana dll. Sekularisme sangat
mengagungkan atau mengkultuskan kebebasan liberal dan menolak hidup di bawah tekanan
institusi-instusi religius yang berfungsi mengatur secara normatif dan mengarahkan masa
depan manusia. Asumsi ini ditegaskan oleh Steve Bruce dalam bukunya “God is Dead:
Secularitation in the West” yang mengatakan sekularisasi dimulai di belahan dunia Barat
dengan adanya reformasi Protestan lalu menurunkan paham relativisme, spesialisasi ke dalam
bagian-bagian (compartmentalization), dan kebebasan pribadi (privatitation).

Akar-akar sekularisme juga bisa dilacak mulai dari perkembangan pemikiran manusia
sejak Auguste Comte (tahap positif berpikir ilmiah yang menyingkirkan teologi-agama),
Karl Marx (agama sebagai candu/opium masyarakat), Max Weber (modernitas harus
berdasarkan ratio bukan agama). Selain sebagai ideologi yang kontra agama, sekularisme
juga berkembang seiring dengan pertumbuhan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
mengglobal. Sekularisme merembes masuk ke segala dimensi kehidupan manusia di ruang
publik hingga ruang privat penghayatan iman keagamaan kaum beragama alias orang-orang
yang beriman pada Tuhan.

Semangat utama yang dibawa oleh fenomena sekularisme yakni kecenderungan


dasariah untuk mengutamakan sistem-sistem filsafat politik dan sosial yang menolak dengan
tegas bentuk-bentuk iman keagamaan dan praktik-praktik ritual peribadatan agama.
Dampaknya, pelaksanaan aktivitas kerja di ruang-ruang publik misalnya politik, ekonomi dan
sosial serta pendidikan harus dilakukan tanpa didasarkan pada nilai-nilai agama. Nilai-nilai
profan (materialisme-duniawi) menjadi pegangan dan orientasi utama sekularisme yang
mengarahkan pola sikap, pola pikir dan pola tindakan manusia masa kini.

B. TANTANGAN SEKULARISME TERHADAP AGAMA

Secara definitif, sekularisme merupakan sebuah tantangan serius bagi penghayatan


hidup keagamaan para penganut agama entah secara personal maupun kolektif, individual
maupun institusional. Hampir semua agama di dunia termasuk penganut berbagai aliran

CHAR6021 – Character Building: Agama


agama di Indonesia menyaksikan bahwa penghayatan agama dan iman di dalam praksis
masyarakat kita dewasa ini semakin tergerus dan luntur. Para pemuka agama pusing tujuh
keliling menghadapi pengaruh negatif sekularisme yang luar biasa dahsyatnya ini. Hal ini
diperparah dengan perilaku masyarakat yang merasa tidak penting lagi seolah-olah ke
gereja, mesjid, pura, wihara dan klenteng. Tempat ibadah telah berpindah lokasi ke tempat
hiburan malam (club), kafe, bioskop, dan mall yang bertebaran di seantero kota-kota besar.
Di desa pun tempat-tempat ibadah semakin sepi karena banyak orang pun lebih banyak
menghabiskan waktu dengan handphone, gadget, dan berbagai alat komunikasi lain yang
lebih menggiurkan dan menghipnotis diri.

Umat penganut agama-agama termasuk tokoh-tokoh agama di Indonesia kelabakan


dan bingung menghadapi gelombang sekularisme yang semakin menerjang ganas ke dalam
ruang-ruang agama kita. Agama-agama bergejolak! Kotbah di tempat-tempat ibadah
dianggap sia-sia. Tokoh agama bingung menghadapi umatnya maupun generasi muda yang
hanyut tenggelam di bawah tarikan arus utama (mainstream) sekularisme itu. Hal ini menjadi
tantangan serius yang membuat penghayatan iman keagamaan menjadi dangkal dan tererosi.
Penghayatan iman keagamaan semakin jauh dari nilai-nilai otentik luhur di dalam agama.

Tantangan utama sekularisme bagi penganut agama tampak jelas di dalam berbagai
bentuk godaan-godaan duniawi yang sangat kuat menghantui umat beragama. Gaya hidup
(life style), pola sikap dan tindakan para penganut agama semakin jauh dari nilai-nilai
kebajikan religius yang ada pada agama. Banyak sekali tantangan sekularisme bagi agama.
Namun tantangan yang lazim dan dominan tampak dalam fenomena godaan-godaan duniawi
yang deras menerpa masyarakat beragama dewasa ini. Godaan-godaan itu1 tentu menarik
sekali bagi subjek manusia sebagai kaum beragama juga. Godaan-godaan itu antara lain:

1). Godaan Kekuasaan

Sudah sejak berabad-abad silam Lord Action dari Inggris mensinyalir bahwa
setiap bentuk kekuasaan itu pada hakikatnya cendrung korup. “Power tends corrupt”,
katanya. Kebenaran historis ini terjadi sepanjang sejarah kekuasaan politik manusia di planet
bumi ini. Memegang kekuasaan dan berkuasa atas orang lain adalah suatu kenikmatan,

1
Sebagian materi ini diadaptasi dari Frederikus Fios et all (2013). CB: Spiritual Development. CBDC Binus
University: Jakarta.

CHAR6021 – Character Building: Agama


sehingga banyak orang ingin memilikinya (Gea: 2004, hlm. 231). Terkadang orang bisa
menggunakan cara-cara jahat, licik, kejam dan kotor untuk mendapatkan kekuasaan.

Orang yang memiliki kuasa atau kekuasaan biasanya akan menggunakan kekuasaan
itu untuk menindas atau menekan orang lain. Hal ini merupakan sesuatu hal yang melekat
erat di dalam kata “kekuasaan” itu karena kekuasaan memberi peluang bagi seseorang atau
sekelompok orang untuk memaksakan kehendak bagi orang lain. Kekuasaan bisa
mendatangkan rasa tunduk, taat dan hormat dari orang lain yang ada di bawah pengaruh
kekuasaan itu. Secara ekstrem, seorang penguasa bisa saja memperlakukan orang lain secara
negatif atau tidak adil bahkan tidak manusiawi asalkan kepentingan penguasa tercapai. Di
sinilah terjadi apa yang sering disebut abuse of power atau penyalahgunaan kekuasaan.
Bentuk-bentuk penyalahgunaan kekuasaan misalnya korupsi, sewenang-wenang,
memaksakan kehendak, bertindak tak adil, berlaku tak jujur, menghancurkan lawan,
menggunakan orang lain sebagai alat pemuas keinginan diri dan lain sebagainya.

Umumnya kekuasaan bisa didapatkan oleh manusia dengan cara perjuangan atau
kerja keras dan bisa juga diberikan sebagai hadiah dari orang lain kepada seseorang atau
sekelompok orang untuk berkuasa. Sering kekuasaan juga bisa didapatkan karena
keahlian/skill, kekayaan, pengetahuan ataupun pendidikan yang kompeten. Namun
kekuasaan juga bisa didapatkan karena keberanian seseorang misalnya menang konflik atau
perang, unsur kegantengan atau kecantikan, bakat atau talenta spektakuler seseorang dalam
hal memimpin dan lain sebagainya.

Perlu kita sadari bahwa kekuasaan itu tidak salah, namun yang salah terletak pada
orang yang menjalankan roda kekuasaan itu. Kekuasaan penting bagi manusia agar sebuah
tujuan tercapai, suatu rencana direalisasikan, suatu kegiatan bisa terlaksana dengan baik,
suatu organisasi atau kelompok bisa bergerak maju dan lain sebagainya. Kekuasaan menjadi
salah atau disalahgunakan ketika orang yang memegang kekuasaan itu mengedepankan ego
sendiri dalam praksis kekuasaan tanpa memperhatikan rambu-rambu etis yang berlaku
apalagi sampai menindas orang lain secara kejam dan tidak manusiawi.

CHAR6021 – Character Building: Agama


2). Godaan Materi

Satu hal yang tidak bisa kita sangkali adanya yakni bahwa setiap manusia ingin
maju dan berkembang secara material dalam hidup ini. Karena toh salah satu indikator
kesejahteraan manusia yakni indikator akumulasi material yang dimilikinya entah berupa
tanah, rumah mewah, kendaraan (mobil), uang dan lain-lain. Kepemilikan materi merupakan
satu daya pikat yang menguasai hati semua orang (Gea: 2004, hlm. 233).

Fenomena ini malah sering menjadi suatu keinginan atau kehausan besar yang seolah-olah
tak pernah terpuaskan hingga tuntas. Ketika muncul suatu produk barang baru di pasaran,
orang akan berlomba-lomba untuk membeli demi mendapatkannya.

Nafsu untuk memiliki barang melecut manusia dewasa ini untuk terus membeli
dan membeli. Fenomena inilah yang oleh Magnis Suseno dilihat sebagai megatrend dalam
masyarakat sekarang ini. Orang menghayati gaya hidup konsumisme yakni semacam nafsu
untuk membeli dan terus membeli tanpa pernah puas ataupun berhenti (Makalah Seminar
Character di Binus Uviversity, 2012). Lihat saja di mall-mall dan pusat perbelanjaaan di kota
Jakarta dan sekitarnya ini. Banyak orang mulai dari kalangan bawah hingga elit menjadikan
mall sebagai tempat menghabiskan uang yang didapatkannya entah dengan cara halal ataupun
tidak. Disadari atau tidak, nafsu untuk membeli barang merupakan kekuatan yang sudah
seakan menghipnotis banyak orang. Disadari ataupun tidak nafsu untuk terus membelanjakan
uang, membeli barang atau memiliki produk trend tertentu merupakan masalah serius di
dalam zaman edan kita sekarang ini. Jika tidak diwaspadai, maka lama kelamaan akan
mempolusikan bening spiritual dimensi jiwa manusia. Karena orang bisa saja menggunaka
cara-cara tak halal untuk mendapatkan materi atau uang misalnya dengan cara korupsi untuk
bisa memenuhi nafsu membeli barang material yang diinginkannya.

CHAR6021 – Character Building: Agama


Raja yang Rakus Harta

Dalam legenda Yunani Kuno, diceritakan bahwa telah bertakhta seorang raja yang oleh
rakyatnya disebut Raja Midias, sebuah wilayah di Anatolia, Asia Kecil. Oleh rakyaktnya,
dia dijuluki “raja yang rakus”, yang selalu menumpuk kekayaan dan tidak rela jika ada
orang lain yang lebih kaya dari dirinya. Sedemikian serakahnya Raja Midias ini,
sehingga suatu hari ia datang ke Dionysus, seorang dewa Yunani yang sangat sakti, agar
ia memiliki tangan ajaib. Midias akhirnya memiliki tangan ajaib yang diinginkannya. Ia
pun berjalan masuk dari taman ke taman sehingga secara misterius semua pohon dan
bunga yang dia sentuh otomatis berubah menjadi emas. Merasa memiliki kekuatan
hebat, ia pun beranjak pergi ke sungai dan dipegangnya air sungai itu yang seketika
berubah menjadi bongkahan-bongkahan emas.

Tampaknya nafsu untuk memiliki banyak emas makin menjadi-jadi saja.


Bergegaslah Raja Midias pulang ke istananya. Seluruh sudut istana disentuh dan
dipeluknya dengan gairah mulai dari pagar, pintu, tiang, meja, kursi dan segala
peralatan istana tak luput dari sentuhannya. Seluruh istananya dipenuhi dengan lapisan
emas yang begitu banyak. Puas melihat semua emas itu, kini Midias pun lapar dan haus.
Maka duduklah ia di meja makan untuk makan siang. Apa yang terjadi? Makanan
berubah jadi emas sewaktu dia sentuh. Begitu pun halnya dengan air. Akhirnya dia
tidak bisa makan dan minum lagi. Ternyata tangan ajaibnya membuat segala sesuatu
menjadi emas. Dia sendiri mulai bingung dengan kejadian ini, sehingga ia pun
berteriak-teriak memanggil istri dan anaknya. Namun istri dan anaknya pun ikut
berubah menjadi emas. Akhirnya dia gila, dan tak seorang pun mau mendekatinya lagi,
karena takut terkena tangan ajaib yang sudah menjadi sumber malapetaka itu (Gea:
2004, hlm. 230-231).

Materi bukanlah unsur yang salah atau negatif. Karena materi penting bagi kita untuk
bertahan hidup di dunia fana ini. Letak kesalahannya justru pada keinginan hati atau nafsu
liar manusia untuk memiliki banyak barang secara irasional dan membabi buta. Sehingga
ujung-ujungnya nafsu itu mendatangkan kerugian fatal bagi diri manusia dan orang lain.
Nafsu memiliki barang malah bisa mendatangkan neraka (derita) bagi manusia dan bukannya
surga (bahagia) di hati manusia. Dan inilah salah satu ancaman serius bagi kita manusia yang
hidup di era globalisasi berbagai bidang pada abad ke-21 ini.

CHAR6021 – Character Building: Agama


3). Godaan Seks

Manusia dibedakan sebagai pria (laki-laki) dan wanita (perempuan) lengkap dengan
organ genital atau alat kelamin yang membedakan keduanya secara lahir. Dengan alat
kelamin inilah orang bisa mencari kebahagiaan badaniah bagi dirinya sendiri. Orang bisa
menggunakan alat kelamin untuk menghasilkan rangsang seksual demi kepuasan atau
kesenangan badan. Kita tidak bisa menyangkal hakikat tubuh manusia yang penuh pesona
dan indah ini. Justru karena daya tarik seks inilah maka hubungan antara pria dan wanita
menjadi menarik, indah dan selalu baru (Gea: 2004, hlm. 234). Namun pesona keindahan
seks manusia ini banyak kali disalahgunakan sehingga keindahan seks akhirnya tercemari.

Seks sebagai keindahan yang tercemari tampak dalam berbagai tindakan yang bersifat
inferior-rendah seperti prostitusi, seks bebas, perkosaan, pelecehan seks, selingkuh,
perzinahan, dan berbagai bentuk manipulasi seksual lain yang merusakkan makna seks yang
sejati sebagai hubungan intim antarmanusia yang bersifat personal, indah, sejati dan suci.
Seksualitas yang dihayati secara salah akan tergerus nilainya menjadi sebuah fenomena
objektivasi antarmanusia. Ketika ini terjadi maka hubungan subjek-subjek menjadi ternodai.
Yang ada hanyalah hubungan subjek-objek yang saling mengobjekkan, memperalat dan
memanipulasi satu sama lain.

Seks harus dihayati sebagai karunia Tuhan yang indah bagi manusia, dan karena itu ia
harus diekspresikan secara sadar, etis, dan tanggung jawab agar tidak mendatangkan efek
destruktif bagi diri sendiri maupun orang lain. Makna hubungan antarmanusia perlu dihayati
secara tepat: etis, estetis dan spiritual. Hubungan manusiawi tidak boleh diredusir nilainya
pada hubungan seks yang merendahkan kualitas relasi antarsubjektif manusia.

CHAR6021 – Character Building: Agama


C. MENGATASI DAMPAK NEGATIF SEKULARISME2

1. Bertindak Bijak Rasional

Kemampuan manusia untuk berpikir merupakan ciri khasnya yang paling


menonjol (Polanyi: 2001, hlm. 15). Kualitas berpikir ini menjadi kekuatan utama
manusia untuk mengatur dan mengarahkan instingnya menuju tindakan-tindakan yang
baik secara etis. Kualifikasi rasionalitas inilah yang merupakan ciri dasar pembeda khas
manusia dari binatang yang memang hanya hidup dengan mengandalkan insting untuk
bertahan hidup (survive).

Manusia tidak akan hidup baik, bahagia dan damai kalau hanya mengikuti
dorongan insting belaka. Ia akan hidup tenang dan bahagia, asal saja ia bertindak
menurut rasionya; ia akan menguasai nafsu-nafsunya dan mengendalikan diri secara
sempurna, supaya dengan penuh keinsyafan ia menaklukkan diri pada hukum-hukum
alam (Bertens: 2000, hlm. 16). Orang yang hidup menurut rasionya akan mencapai
kebebasan sejati dan tidak tunduk atau terbelenggu di bawah kuasa, tekanan atau kendali
insting-insting rendahan. Ia akan bertindak rasional untuk mencapai kebebasan sejati
yang membahagiakan diri maupun sesamanya.

Orang yang bertindak rasional tidak lagi tunduk pada kuasa insting, tetapi tunduk
dan mengarahkan diri pada hal-hal yang benar sesuai pertimbangan rasio sehingga
membuatnya hidup gembira dan bahagia secara sempurna. Karena terlalu banyak
mengikuti kesenangan badaniah manusia, akan menggelisahkan batin manusia (Bertens:
2000, hlm. 17). Karena itu manusia perlu membebaskan diri dari kungkungan insting
kesenangan badaniah sesaat itu dengan mendasarkan tindakannya di atas pikiran atau
rasio. Hanya dengan ini manusia menjadi bebas-otonom dari belenggun kuasa-kuasa
instingtif badaniah yang menghancurkan diri.

2
Sebagian materi ini diadaptasi dari Frederikus Fios (2013). CB: Spiritual Development. Binus University:
Jakarta.

CHAR6021 – Character Building: Agama


2. Beriman teguh kepada Tuhan

Orang bijaksana tahu membebaskan diri (dari godaan) dan terutama mencari
kebahagiaan rohani supaya keadaan batin tetap tenang (Bertens: 2001, hlm. 17). Orang yang
bijak tidak mencari kebahagiaan di dalam daya tarik duniawi yang sesaat dan menyesatkan
dirinya. Namun kebahagiaan rohani seorang yang bijak diarahkan secara absolut pada nilai-
nilai religius-spiritual yang abadi dan perennial. Sumber kebahagiaan diri tidak ditemukan
dalam daya tarik material duniawi, tetapi dicari dan ditemukan dalam dimensi rohani-
spiritual. Dalam konteks inilah kita bicara tentang pentingnya beriman dan mendekatkan diri
pada Tuhan.

Menghadapi daya tarik duniawi yang menggiurkan, kita tentu tidak hanya
mengandalkan diri sendiri saja. Sebab kepercayaan diri manusiawi yang berlebihan tanpa
sikap iman pada Tuhan, hanya akan melorotkan manusia kembali pada godaan-godaan yang
sama. Sebagai orang yang beriman pada Tuhan, usaha mengatasi godaan-godaan kita
butuhkan intervensi atau penyelenggaraan Ilahi Tuhan. Karakter kerapuhan yang melekat
pada dimensi kemanusiaan kita menuntut kita untuk mengandalkan pertolongan Tuhan yang
Maha Kuasa. Karena kendatipun tubuh kita berkarakter rapuh terhadap godaan, namun kita
bisa kuat mengatasi kerapuhan itu di dalam nama Tuhan. Bersama dan di dalam Tuhan, kita
percaya diri dan berharap mampu mengatasi segala godaan dan daya tarik duniawi. Bersama
Tuhan kita menang, tanpa Tuhan kita kalah.

Mendekatkan diri pada Tuhan dalam konteks seorang beriman, artinya kita perlu
selalu bersikap rendah hati dan berdoa mohon kepada Tuhan untuk membantu kita mengatasi
kelemahan-kelemahan manusiawi kita. Doa permohonan itu kita sampaikan terus-menerus
kepada Tuhan tanpa henti siang dan malam. Dan kita yakin, dalam semuanya itu Tuhan pasti
akan memberikan kekuatan spiritual bagi kita untuk menghadapi godaan-godaan itu dengan
penuh keberanian dan jiwa besar. Doa yang kita panjatkan dengan tulus-ikhlas kepada Tuhan
akan dikabulkan Tuhan pada waktunya. Sehingga kita tidak hidup di bawah kuasa bayang-
bayang godaan duniawi, namun hidup bebas sebagai anak-anak Tuhan yang spiritual.
Alhasil, diri kita bisa bertransformasi dari kerapuhan pada godaan menuju pada kekuatan
untuk bertahan di tengah godaan dan akhirnya muncul sebagai pahlawan pemenang yang
kukuh dalam Tuhan. Kita bisa menjadi bebas dari godaan duniawi.

CHAR6021 – Character Building: Agama


Pada suatu ketika memperoleh penerangan, sekali lagi kita mendapat hasrat akan yang
surgawi, dan menyucikan diri dari segala kotoran duniawi: “Orang harus mengabaikan segala
sesuatu yang lain untuk berpaling pada Tuhan dan mempersatukan diri dengan-Nya”
(Bertens: 2000, hlm. 38). Dekat dengan Tuhan, manusia makin jauh dari godaan-godaan
duniawi. Sebaliknya jauh dari Tuhan, manusia makin dekat dengan godaan-godaan duniawi.

3. Menjaga satu sama lain

Sebagai orang-orang yang beriman kepada Tuhan, kita perlu bekerja sama untuk
melawan berbagai godaan yang dibawa oleh pengaruh sekularisme itu. Kita perlu peduli pada
kebaikan sesama dan tidak menjerumuskan sesama ke dalam godaan-godaan duniawi itu.
Kita perlu menjaga satu sama lain, membebaskan sesama dari belenggu godaan. Kita perlu
memiliki keberanian moral dan keteguhan hati untuk sama-sama berjuang melawan dosa atau
berjuang terus untuk tidak hanyut di bawah oleh arus utama tarikan godaan-godaan itu. Kita
harus saling membantu, saling menasihati, saling menjaga untuk tidak menjerumuskan satu
sama lain ke dalam godaan-godaan duniawi yang ada. Hanya dengan itu kita sungguh
bersikap solider dan ikut bertanggung jawab menjaga kehidupan dan masa depan sesama kita
menuju kebaikan.

D. DARI PENGENDALIAN DIRI MENUJU CINTA DAN SOLIDARITAS PADA


SESAMA

Mengendalikan diri (askese) merupakan usaha untuk menahan diri agar kita tidak
terjatuh lagi ke dalam godaan-godaan duniawi yang menyesatkan. Mengendalikan diri artinya
juga kita berusaha menekan dan mengatasi kecendrungan instingtif kita yang berpotensi
merusakkan perkembangan diri kita menuju kebaikan sebagai makhluk religius-spiritual.
Mengendalikan diri mengandaikan adanya usaha secara kritis dan sadar untuk selalu
mengantisipasi godaan-godaan agar kita tidak terjatuh ke dalam pengaruh jahat godaan-
godaan yang merusakkan diri.

CHAR6021 – Character Building: Agama


Mengendalikan diri tentu kita tidak bermaksud menghilangkan secara total
nafsu-nafsu yang ada di dalam diri kita. Pengendalian diri tidak boleh dipikirkan seperti kita
memberikan obat instan-efektif bagi diri kita agar tidak bereaksi sama sekali pada godaan-
godaan. Bukan artinya kita membius mati insting-insting manusiawi kita. Bukan begitu
maksudnya. Karena bagaimanapun juga insting atau nafsu, adalah libido sexualis (energy
hidup) menurut Freud sebagai prayarat mutlak bagi kondisi kemanusiaan kita. Namun yang
penting bagi kita dalam konteks wacana CB agama ini yakni usaha kita secara sadar dan
kritis untuk selalu memegang kendali dalam menghadapi godaan-godaan baik itu godaan
material, godaan kuasa maupun godaan seks. Kita perlu berusaha menjadi pribadi yang selalu
berpikir jernih dan bertekad kuat untuk menang melawan godaan-godaan itu.

Mengendalikan diri merupakan bentuk tanggung jawab etis-religius kita terhadap


Tuhan, sesama dan terhadap diri kita sendiri. Dengan berusaha terus-menerus untuk
mengendalikan diri, kita mau berikhtiar mencapai suatu taraf penghayatan kualitas hidup
rohani-religius yang lebih tinggi dan lebih baik lagi. Dengan mengendalikan diri, kita mau
membentuk pribadi kita menjadi sosok yang semakin mencintai sesama dengan murni dari
waktu ke waktu, dari hari ke hari sebagai manusia sepanjang hidup.

Godaan-godaan yang kita ikuti biasanya menjauhkan kita dari Tuhan dan sesama.
Karena kita akan diarahkan untuk cenderung bersikap egoistik demi memenuhi keinginan
atau kesenangan sendiri. Dan kita mau bangkit dari situasi keterpurukan ini dalam cinta kasih
yang murni pada sesama. Kita mau menjadi pribadi yang semakin mengasihi dan mencintai
Tuhan dan sesama dengan tulus-ikhlas. Ini artinya kita mau berusaha dan bangkit untuk
bersikap solider atau setia kawan terhadap sesama yang lain.

Godaan materi atau harta bisa membuat kita merusakkan alam lingkungan hidup
(untuk mendapatkan barang dan uang) dengan mengurasnya untuk kepentingan egoistik kita.
Godaan kekuasaan membuat kita melecehkan harga diri sesama karena kita menindas dan
memanipulasi mereka dengan menyalahgunakan kekuasaan. Godaan seks membuat kita
mengeksploitasi tubuh tanpa cinta dan menghancurkan hidup serta masa depan orang lain.
Semua godaan ini mendatangkan dampak destruktif bagi sesama dan lingkungan kita.

Dalam konteks pemikiran di atas kita mau melakukan sebuah “metanoia religius”
untuk tidak lagi terjatuh atau melakukan kesesatan-kesesatan yang sama melalui tindakan-

CHAR6021 – Character Building: Agama


tindakan mengikuti rayuan gombal godaan-godaan yang menggiurkan. Kita mau berbalik
haluan ke arah dan jalur rel yang benar. Semuanya kita lakukan dengan penuh keikhlasan,
ketulusan, cinta kasih, dan rasa solider pada sesama yang lain. Kita mau mengendalikan
godaan materi agar orang lain pun ikut berkembang dan menikmati kesejahteraan seperti kita.
Kita mau mengendalikan godaan kuasa, agar orang lain senang dan bahagia berada di dekat
kita. Kita mau mengendalikan godaan seks itu, agar hubungan manusiawi kita terkondisikan
berlangsung dalam suasana subjek-subjek dan bukannya subjek-objek untuk saling
melecehkan dan melukai perasaan masing-masing. Kita mau mengendalikan diri dalam
suasana solidaritas atau setia kawan terhadap sesama kita, khususnya yang susah dan
menderita. Kita mau berbagi, peduli, peka, dan mengasihi orang lain dengan ikhlas dan tulus
sehingga tercipta dunia yang damai, harmonis dan nyaman bagi siapa saja. Inilah saatnya kita
menciptakan “surga spiritual” bagi sesama dan bukannya “surga duniawi” untuk kepentingan
egoistik kita yang rendah dan murahan.

CHAR6021 – Character Building: Agama


Kasus:

Sekularisme dan Kehidupan Beragama

Bagi umat Islam khususnya, sekularisme merupakan suatu paham atau ideologi yang
di anggap menyesatkan. Karena, menurut paham ini agama tidaklah dapat mencampuri
urusan duniawi. Dan, di dalam sistem sekuler, pemerintah pun juga tidak dapat mencampuri
urusan agama. Sebaliknya, ditegaskan bahwa agama tidak bisa masuk pada ranah
pemerintahan. Namun, uniknya di Indonesia antara agama dan sekularisme mempunyai
perannya masing-masing juga terkadang bisa saling mengisi.

Sekularisme adalah suatu aliran atau faham yang tidak memperkenankan agama
masuk dan mencampuri urusuan duniawi. Paham ini lahir antara abad 18-19, pada jaman
pencerahan di kawasan Eropa Barat. Permulaan munculnya paham ini diakibatkan oleh
pengalaman buruk negara-negara Eropa Barat terhadap peran agama dalam pemerintahan
maupun kehidupan masyarakat. Maka, dengan diterapkannya sistem sekuler ini masyarakat
menjadi bebas dari kungkungan dogma-dogma agama yang pada waktu itu sangatlah
mendominasi. Ideologi sekuler ini sudah di terapkan di berbagai negara, mayoritas di
terapkan di negara-negara barat, seperti: Amerika Serikat, Perancis dan Jerman.

Di Turki misalnya, sekularisme diterapkan pada masa Mustafa Kemal Atatturk. Ia


tidak menghendaki sistem monarki yang baginya sudah tidak relevan lagi dengan
perkembangan jaman. Maka, pada waktu itu kerajaan ottoman dibubarkan dan sultan Hamid
dilengserkan dari jabatannya. Menurut Mustafa, sistem semacam itu akan sangat membatasi
kebebasan masyarakat, sehingga dapat menghambat kemajuan. Mustafa juga memandang
bahwa negara dan agama haruslah dipisahkan. Dengan demikian, Mustafa berkeyakinan
bahwa negara sekuler merupakan konsep yang tepat bagi Turki untuk menciptakan Negara
Turki yang modern.

Berbeda dengan di Indonesia, agama dan negara justru kadangkala dapat bekerjasama.
Kadang pula dapat bersinggungan. Kedekatan pemerintah dengan agama ini ditunjukkan
misalnya dengan adanya lembaga yang berorientasikan agama, seperti adanya kementerian
agama dan MUI. Lalu, adanya perda-perda yang bernafaskan agama misalnya UU zakat dan
UU haji. Akan tetapi, kehidupan sekuler pun nampak jelas dalam kehidupan sehari-hari
masyarakatnya khususnya yang hidup di perkotaan. Masyarakat kini cenderung bergaya
hidup ke arah hedonistik dan materialistik.

Selain itu uniknya, menurut saya di Indonesia ini adalah kehidupan masyarakat yang
sekuler itu tergambar ketika misalnya: sebuah masjid yang berdekatan dengan tempat
hiburan. Maka, tidak heran jika seorang pemikir Islam terkemuka, Ahmad Wahib pernah
menyebut dalam bukunya “pergolakan pemikiran Islam” bahwa sebenarnya umat Islam
khususnya, tanpa disadari, secara tidak langsung telah menganut sekuler, meskipun dengan
keras menentangnya.

CHAR6021 – Character Building: Agama


Senada dengan Ahmad Wahib, Cendekiawan Muslim, Azyumardi Azra juga
berpendapat bahwa kini umat Muslim dengan tidak sadar telah menjadi sekuler. Ia
mencontohkan: orang yang taat beragama, tapi jika sudah berurusan dengan pekerjaan,
semangat agama dalam artian ruh-nya itu tidak dibawa. Karena itulah korupsi masih
merajalela. Dan kita harus berpandangan objektif, bahwa mayoritas yang melakukan korupsi
itu adalah orang yang beragama atau setidaknya orang yang memiliki identitas agama. Sebab
demikian, akarnya itu ialah dari semangat agama yang tidak diaplikasikan dalam kehidupan
sehari-hari.

Maka dari itu, di jaman modern kini, kehidupan sekuler secara perlahan telah
merasuki kehidupan kita, akibat dampak dari globalisasi, termasuk pula orang yang
beragama. Kalaupun memang orang yang beragama itu menolak sekuler, seharusnya ajaran-
ajaran agama yang dianutnya itu mampu diterapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Semisal
di tempat pekerjaannya ia tidak melakukan KKN. Jadi, jika tidak ingin disebut orang sekuler,
maka jalankanlah ajaran agama dengan sebaik-baiknya, dan terapkanlah dalam kehidupan
sehari-hari. Dan niscaya bila para orang yang beragama ini menjalankan agamanya dengan
sebaik mungkin, maka korupsi di negara ini pasti tidak akan ada dan terjadi.

(http://www.kompasiana.com/catatanryankurnia/sekularisme-dan-kehidupan-
beragama_55171716a333115706b659ce diunduh tanggal 5 September 2015, pkl 15.00 WIB)

CHAR6021 – Character Building: Agama


KESIMPULAN

Sekularisme merupakan sebuah tantangan serius bagi penghayatan hidup keagamaan,


karena baginya hanya ilmu pengetahuan dan rasio yang bisa mengatasi berbagai persoalan
hidup di dunia. Pemikiran ilmiah menjadi hal utama, sementara agama dengan berbagai
ajarannya dianggap sudah kehilangan peran. Sekularisme merupakan suatu ideologi
keduniawian yang tertutup dan mau melepaskan diri dari agama atau menolak adanya
kehidupan lain di luar kehidupan dunia ini. Jadi bagi sekularisme kehidupan hanya
berlangsung di dunia ini saja dan tidak ada kehidupan lagi sesudah kematian sebagaimana
diajarkan oleh agama-agama. Oleh kerena itu orientasinya hanya sebatas dunia ini saja, dan
tidak lebih dari itu. Tidak ada surga, tidak ada akhirat. Sekularisme ini telah menjadi
tantangan besar bagi penganut agama, yang muncul dalam berbagai bentuk godaan-godaan
duniawi yang sangat kuat menghantui umat beragama. Gaya dan pola sikap serta tindakan
para penganut agama semakin jauh dari nilai-nilai kebajikan religius yang ada pada agama.
Tantangan sekularisme harus dihadapi dengan sikap yang rasional dan bijak juga, yang
mengakui keterbatasan kemampuan berpikir manusia, dan tidak serta merta menyangkal
semua kebenaran hanya karena tidak mampu ditangkap oleh kemampuan berpikir manusia.
Kita tidak bisa menyangkal begitu saja keabadian hanya karena saat ini kita hanya mampu
melihat dunia fana dengan segala kesementaraannya.

CHAR6021 – Character Building: Agama


DAFTAR PUSTAKA

Antonius Atosokhi Gea (2004). CB III: Relasi dengan Tuhan. Elex Media Komputindo:
Jakarta.

Departermen Pendidikan dan Kebudayaan (1995). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka

Frederikus Fios et all (2012). CB: Spiritual Development. Bina Nusantara University: Jakarta

Nurcholish Madjid (1998). Islam Kemodernan dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan.

Robert Coles (1999). Secular Mind. New Jersey: Princeton University Press.

http://www.kompasiana.com/catatanryankurnia/sekularisme-dan-kehidupan-
beragama_55171716a333115706b659ce diunduh tanggal 5 September 2015, pkl
15.00 WIB)

CHAR6021 – Character Building: Agama


LECTURE NOTES

Character Building: Agama

Week 8

RENDAH HATI DAN MAU MENGAMPUNI

CHAR6021 – Character Building: Agama


LEARNING OUTCOMES

LO 6: Menerapkan nilai-nilai dan semangat keagamaan dalam hidup nyata sehari-hari

OUTLINE MATERI (Sub-Topic):

 Alasan manusia harus bersikap rendah hati dan mau mengampuni


 Tuhan sebagai maha pengampun
 Perlunya rendah hati untuk bisa mengampuni
 Wujud pemberian maaf dan ampun
 Makna dan buah dari pemberian maaf dan ampun

CHAR6021 – Character Building: Agama


RENDAH HATI DAN MAU MENGAMPUNI
A. TUHAN MAHA PENGAMPUN

Kita menggambarkan Tuhan sebagai Maha Pengampun. Ini adalah salah satu
gambaran terbaik manusia tentang Tuhan. Gambaran ini sekaligus menumbuhkan semangat
dalam hidup manusia, bahwa sekali pun dia telah berdosa, tetap ada kemungkinan untuk
diampuni, selamat dan bahagian. Ini adalah sebuah tanda cinta kasih Tuhan kepada manusia.
Andaikan Tuhan tidak mau mengampuni, maka manusia akan binasa selamanya. Kita semua
orang beragama mengakui juga bahwa kita perlu bertobat. Hanya dengan bertobat maka
pengampunan Tuhan akan efektif bagi kita, karena tanpa tobat, kita tidak berubah, dan tetap
tinggal dalam suasan keberdosaan. Lalu, semangat untuk mengampuni sesama dikobarkan
oleh situasi kita yang sudah mengalami pengampunan, yang juga merupakan buah dari
pertobatan kita sendiri. Selain dikobarkan oleh semangat tersebut, kaharusan untuk saling
mengampuni juga didesak oleh ajaran dan perintah Tuhan yang telah disampaikan kepada
kita melalui para nabi-Nya, sebagai termuat dalam kitab-kitab keagamaan.

1. Tuhan mengampuni umat-Nya


Kesediaan Tuhan mengampuni umat-Nya merupakan wujud dari cintah kasih-Nya
yang maha besar bagi manusia. Dalam banyak teks kitab suci keagamaan, hal pengampunan
Tuhan banyak diungkapkan. Dalam agama Islam diajarkan bahwa Allah itu Maha
Pengampun. Ia menyanyangi orang dan suka memberikan pengampunan. Maka mintalah
ampun kepada-Nya atas kesalahan-kesalahan yang kamu lakukan terhadap-Nya. Firman yang
senada dengan ini dinyatakan dalam sedikitnya 13 ayat, yang tersebar dalam 13 surat Al-
Qur‟an, antara lain pada suarat Al-Haj 60. Dalam firman-firman-Nya yang lain disebutkan
bahwa Allah maha Pengasih dan Maha Pengampun. Semua dosa akan diampuni oleh Allah,
sebesar apa pun dan seberat apa pun, kecuali orang yang mempersekutukan-Nya dengan yang
lain (syirik), atau menyamakan Tuhan dengan tuhan yang lain. Artinya, bagaimana mungkin
Tuhan memaafkan atau mengampuni orang yang menjadikan tuhan lain menjadi
sesembahannya. Kenapa dia tidak minta ampun saja dengan tuhan yang mereka sembat itu
(Al-Qur‟an surat An-Nisa‟ ayat 48 dan 105). Orang yang demikian pastilah tidak akan sadar
bahwa perbuatannya itu bertentangan dengan ajaran Tuhan. Misalnya, orang yang

CHAR6021 – Character Building: Agama


menjadikan setan sebagai penolongnya, atau biasa dikenal dengan orang yang memelihara
tuyul atau setan. Atau mereka yang lebih percaya kepada dukun atau perdukunan, lebih
memuja harta atau materi disbanding percaya kepada Tuhan. Orang-orang seperti itulah yang
disebut menduakan Tuhan atau syirik.

Dalam Alkitab terdapa ayat-ayat yang memperlihatkan betapa Tuhan senantiasa mau
mengampuni dosa-dosa umat-Nya. Nabi Yesaya pernah menegaskan bagaimana Tuhan
membersihkan manusia dari dosa-dosanya: “Sekalipun dosamu merah seperti kirmizi, akan
jadi putih seperti salju; sekalipun berwarna merah seperti kain kesumba, akan menjadi putih
seperti bulu domba” (Yes.1:18). Dan, Nabi Daniel mengungkapkan adanya pengampunan
dari Tuhan: “Pada Tuhan ada pengampunan, walaupun kami telah memberontak terhadap
Dia” (Dan.9:9). Bagi orang kristiani, gambaran tentang kemurahan Allah untuk mengampuni
umat-Nya, dilukiskan dalam cerita tentan “Anak yang hilang”, cerita tentan seorang anak
muda yang sudah meninggalkan rumah orang tuanya, melakukan berbagai kejahatan dan
dosa. Ketia dia kembali ke rumah orang tuanya, dia diterima oleh bapanya dengan sukacita
yang amat besar (Luk.15:11-32).

Kalau digali lebih dalam lagi, umat Kristiani percaya bahwa tindakan Allah mengutus
putra-Nya, Yesus ke dunia, dan pengorbanan Yesus dengan menderita, wafat dan
dimakamkan, merupakan tindakan kasih yang tak terhingga besarnya dari Tuhan.
Pengorbanan Allah yang terwujud dalam diri Yesus, khususnya dengan kematian-Nya di
kayu salib, merupakan tindakan penebusan dan pengampunan bagi manusia. Pernyataan
Yeses sendiri sebagaimana tertuang dalam Injil Matius mengungkapkan hal itu: “Sebab inilah
darah-Ku, darah perjanjian, yang ditumpahkan bagi banyak orang untuk pengampunan dosa”
(Mat.26:28). Satu penegasan mengenai hal muncul dari rasul Paulus sebagaimana dia
nyatakan dalam suratnya kepada jemaat di Kolose: “Di dalam Dia (Yesus) kita memiliki
penebusan kita, yaitu pengampunan Dosa” (Kol.1:14). Berhubung kedudukan Yesus, yang
menurut pandangan Kristen, adalah Allah sendiri, maka Yesus pun memiliki kehendak dan
kemampuan untuk mengampuni dosa. Ini Dia buktikan ketika Dia menyembuhkan penyakit
seorang lumpuh yang dibawa kepada-Nya untuk disembuhkan. Untuk menanggapi pikiran
orang Farisi yang dalam hati mereka berpikir bahwa Yesus menghujat Allah dengan
mengatakan bahwa Dia dapat mengampuni dosa, Yesus mengatakan: “Tetapi supaya kamu

CHAR6021 – Character Building: Agama


tahu bahwa di dunia ini Anak Manusia (Yesus) berkuasa mengampuni dosa, lalu berkatalah
Ia kepada orang lumpuh itu, „Bangunlah, angkatlah tempat tidurmu, dan pulanglah ke
rumahmu!‟ Dan, orang itu pun bangun lalu pulang.” (Mat.9:6; Mrk.2:10; Luk.5:24).

Dalam agama Hindu Tuhan diakui sebagai Maha Pengampun. Hal ini bisa kita lihat
pada kitab suci Bhagavad Gita IX.30: “Sekalipun orang paling jahat, bila memujaku dengan
tulus, dengan pengabdian terpusa dan kembali menjadi sang sadhu (orang saleh), Aku terima
karena ia telah kembali ke jalan yang benar”. Atau teks lain dalam Bhagavad Gita XVIII.66
mengatakan: “Kerjakanlah kewajibanmu sesuai dengan aturan agama lalu berserah dirilah
kepada-Ku, dan engkau tidak usah khawatir, akan aku ampuni seluruh dosamu”. Dari
keterangan ayat-ayat suci di atas, tampak bahwa Tuhan adalah Maha Pengampun dan Maha
Pengasih. Karena itu manusia tidak henti-hentinya minta maaf. Hal ini tercermin dari: Puja
Trisandhya yang wajib dilaksanakan oleh seluruh umat Hindu. Dari enam baik mantra Puja
Trisandhya, tiga bait di antaranya berisi permohonan maaf atas tindakan, ucapan dan pikiran
yang keliru; sekaligus mohon disucikan alias disterilkan atau dibebaskan dari dosa-dosa yang
melekat pada diri manusia. Tiga baik sebelumnya berisi pengakuan atas ke-Mahaesaan dan
ke-Mahakuasaan-Nya. Dari seluruh uraian di atas, jelas tampak bahwa hukum karma berjalan
terus, tapi eksekusi hukumannya bisa ditunda apabila manusia mau bertobat (PDS.I.51), atau
dosanya menjadi lebuh dengan sendirinya oleh perbuatan baik itu sendiri. Kalau dosa
diandaikan setetes tinta hitam, air putih diandaikan sebagai kebaikan, maka setetes tindak
hitam dalam gelah tidak tampak lagi jika air putif kebajikan diperbanyak, padahal tinta hitam
(dosa) masih ada dalam gelas. Tinta hitam (dosa) itu menjadi lebur dan tidak terasa karena
kearifan (mandawa) dan kerendahan hati (mardawa).

Dalam agama Buddha, hidup manusia itu dikuasai oleh kehausan-kehausan, yaitu:
Pertama, kehausan (nafsu keinginan yang tak habis-habisnya) akan kenikmatan hawa nafsu
(kama-tanha); Kedua, kehausan (nafsu keinginan yang tak habisnya) akan kelangsungan dan
kelahiran (bava-tanha); Ketiga, kehausan (nafsu keinginan yang tak habis-habisnya) akan
tidak kelangsungan atau pemusnahan diri (vibhava-tanha). Kehausan ini, yakni nafsu
keinginan yang tak habis-habisnya, yang memperlihatkan diri dalam berbagai cara,
merupakan sumber dari beraneka ragam penderitaan dan kelangsungan hidup makhluk-
makhluk. Namun, korelasi antara tindakan (karma) dan akibat (vipaka atau phala) tidak

CHAR6021 – Character Building: Agama


bersifat deterministic. Karma dalam agama Buddha bersifat kondisional. Hukum karma
bukan hukum pembalasan, sehingga terdapat jalan untuk mempengaruhi atau menekan akibat
karma buruk dengan cara mengembangkan kemampuan dan kebiasaan baik lahir dan batin
(dapat dikatakan sebageai penebusan). Segumpal garam dalam semangkuk kecil air
membuatnya asin sehingga tidak terminum karenanya. Jika segumpal garam yang sama
dimasukkan ke dalam Sungai Gangga, air sungai itu tidak akan menjadi asin dan dapat
diminum (A.I,249).

Setiap orang harus mengakui bahwa semua kejahatan dan perselisihan dalam dunia ini
disebabkan oleh keinginan yang egoistis. Ini tidak susah untuk dimengerti. Tetapi bagaimana
keinginan yang egoistis ini dapat mengakibatkan kelangsungan kembali dan kelahiran
kembali, mungkin tidaklah mudah untuk dipahami. 1 Maka demi terhentinya dukha ini,
hendaklah jangan dipilih dua jalan yang ekstrim yaitu “mencari kebahagiaan dengan
menuruti nafsu-nafsu indra, yang dianggap rendah, bisa tak berfaedah dan cara-cara dari
orang biasa” atau “mencari kebahagiaan dengan menyiksa diri dengan berbagai cara, yang
menyakiti sekali, tidak berharga dan tidak berfaedah”. Tetapi ambilah jalan tengah yang
dikenal sebagai Jalan Mulia Berunsur Delapan (Pengertian Benar, Pikiran Benar, Ucapan
Benar, Perbuatan Benar, Penghidupan Benar, Daya upaya Benar, Perhatian Benar, dan
Semedi Benar). Pada hakekatnya seluruh ajaran sang Buddha, yang beliau sendiri siarkan
selama empat puluh lima tahun, sedikit banyak ada hubungannya dengan jalan ini. Beliau
telah menerangkan dalam berbagai cara dan dengan memakai bahasa yang mudah dimengerti,
kepada beraneka ragam orang dengan tingkat pengetahuan dan kesanggupan yang berbeda-
beda. Pelajaran yang terdapat dalam ribuan sutta dari kitab-kitab suci Buddha membahas
Jalan Mulia Berunsur Delapan ini.

2. Perlu Pertobatan
Pengampunan yang senantiasa ditawarkan oleh Tuhan kepada manusia menghendaki
bahwa manusia juga harus bertobat. Pengampunan yang dari Tuhan tidak akan sampai
kepada manusia apabila manusia sendiri tidak membuka hati menerimanya. Kata Yunani

1
Sumeda Widyadharma, Dhamma-Sari (Jakarta, Yayasan Dana Pendidikan NALANDA, 1993), hal. 100-103

CHAR6021 – Character Building: Agama


“Metanoia”2 (meta = perubahan, nous = mentalitas) merupakan maksud yang diungkapkan
dengan kata Indonesia “pertobatan”. Pertobatan merujuk pada pertobatan radikal dalam diri
manusia, yaitu dalam cara berpikir, bersikap dan bertindak. Pertobatan terjadi apabila
manusia mulai sadar akan kesalahannya. Dari kesadaran itu muncul penyesalan, karena tahu
bahwa telah melakukan sesuatu yang seharusnya tidak sepantasnya dia lakukan. Penyesalan
sendiri bukanlah pertobatan. Hanya apabila kesadaran dan penyesalan akan dosa diikuti
dengan perubahan cara berpikir, sikap hati, dengan mebalikkan arah hidup ke jalan yang
benar, yang tampak dalam tindakan nyata buah-buah pertobatan, barulah dikatakan
pertobatan sudah terjadi. Jadi pertobatan merupakan perubahan sikap dan orientasi hidup,
dari membelakangi Tuhan dengan segala perintah-Nya, kembali mengarahkan hidup kepada-
Nya. Bertobat berarti juga bangkit dari kejatuhan. Hal itu memang berat, namun tetap kita
bisa melakukannya.

Dalam ajaran Islam dikatakan bahwa ada kesalahan kecil dan ada pula kesalahan
besar dalam perbuatan manusia. Istilah minta maaf hanya layak dimintakan oleh orang yang
melakukan kesalahan kecil, sebagaimana kita melakukan permintaan maaf kepada sesama
manusia apabila kita melakukan kesalahan kecil atau kesilafan kecil. Tetapi kesalahan besar
tidak cukup hanya minta maaf. Begitupula jika itu dilakukan terhadap Tuhan, dia mesti
meminta ampun dengan melakukan pertobatan. Untuk mendapatkan pengampunan, ada
persyaratan sufistik yang mesti dipenuhi terlebih dahulu. Syarat itu antara lain bertobat, yaitu
berjanji dengan diri sendiri bahwa “dia sama sekali tidak mau mengulangi kesalahan yang
dilakukannya”. Dia juga berjanji untuk “menyesali perbuatan-perbuatan yang telah
dilakukan”, dan seterusnya. Sebaliknya juga, seseorang yang telah melakukan kesaksian
seperti itu, lalu melanggarnya sendiri, maka orang itu dicap sebagai orang munafik atau
pengkhianat kepada dirinya sendiri, dan Allah mencatat perbuatan tersebut.3

Agama Islam menekankan, supaya hidup seseorang itu bahagia, aman sentosa, jauh
dari penderitaan, ancaman dan segala kejahatan, maka perlu selalu berinstrospeksi
(muhasabah). Selalu bertanya pada diri sendiri apakah yang telah saya lakukan hari ini dan
sebelumnya baik atau tidak. Hadis Nabi menyatakan bahwa: “Jika hidup kamu hari ini lebih

2
Xavier Leon – Dufour, Ensiklopedi Perjanjian Baru (Yogyakarta, Kanisius, 1997) hal. 55
3
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Beberapa Aspek (Jakarta, UI Press, 1997) hal. 79-80, dan bandingkan
juga dengan Majid Fahri, Etika Dalam Islam (Surakarta, Pustaka Pelajar, 1996), hal.133-135

CHAR6021 – Character Building: Agama


jelek dari hari kemarin, maka kamu benar telah merugi; jika hidup kamu hari ini sama dengan
hari kemarin berarti kamu tertipu (Hadis Nabi). Yang baik adalah: Jika hari ini lebih baik
dari hari kemarin. Kesalahan demi kesalahan yang diperbuat, betapapun kecilnya, jika
berlanjut dan berkesinambungan, kelak akan menjadi besar dan menjadi beban yang tidak
ringan. Oleh karena itu, agar kita senantiasa dalam keadaan baik, lakukanlahh instrospeksi.
Jika sekiranya kita melakukan kesalahan kecil, baik pada Allah atau kepada sesama manusia,
segeralah minta maaf, dan bila yang kita lakukan tergolong kesalahan besa atau fatal
akibatnya bagi manusia atau di hadapan Tuhan, maka segeralah memohon ampun.

Dalam kepercayaan Kristen, pertobatan harus ada agar bisa memperoleh


pengampunan. Maka seruan atau ajakan pertobatan sering dikemukakan. Yohanes Pembaptis
menyerukan kepada pendengarnya: “bertobatlah dan berilah dirimu dibaptis, dan Allah akan
mengampuni dosamu” (Mrk. 1:4; Luk.3:3). Ketika Yesus datang ke Galilea dan
memberitakan Injil, Dia mengaitkan penerimaan Injil dengan pertobatan: “Waktunya telah
genap, Kerajaan Allah sudah dekat. Bertobatlah dan percayalah kepada Injil” (Mrk.1:15).
Dan, pada kesempatan lain Yesus ungkapkan bahwa ada sukacita besar di surga karena satu
orang berdosa yang bertobat, lebih dari pada sukacita karena Sembilan puluh Sembilan orang
benar yang tidak memerlukan pertobatan. (Luk. 15:3) Yesus juga tidak ragu-ragu menyatakan
kebinasaan orang yang tidak bertobat. Ketika orang-orang datang kepada-Nya membawa
kabar tentang orang-orang Galilea yang darah mereka dicampur oleh Pilatus dengan darah
korban yang mereka persembahkan, Yesus katakana pada mereka: “Jikalau kamu tidak
bertobat, kamu semua akan binasa atas cara demikian” (Luk. 13:3). Tetapi perkataan Yesus
lebih keras terlontar ketika Dia mengecam beberapa kota (orang-orangnya) karena tidak
bertobat walau mukjizat Tuhan terjadi di tengah-tengah mereka. Yesus tegaskan bahwa
mereka akan diturunkan sampai ke dunia orang mati, dan pada hari penghakiman,
tanggungan negeri Sodom akan lebih ringan daripada tanggungan mereka (bdk. Mat.11:20-
24).

Dalam kepercayaan agama Hindu, kesalahan memang tidak bisa dihapus begitu saja.
Untuk mendapatkan pengampunan harus ada upaya. Ada beberapa upaya penebusan dosa,
tidak dengan uang, melainkan dengan melaksanakan perintah agama, berbuat baik sebanyak-
banyaknya, antara lain:

CHAR6021 – Character Building: Agama


 Melaksanakan dasa yama brata, diantaranya:
 Ksamavrata, yaitu kesediaan memaafkan dan kemauan minta maaf kepada
sesama dan juga kepada Tuhan sebagai tindakan nyata manusia yadnya (nara
yajna) dan dewa yajna dalam arti yang seluas-luasnya.
 Pritivrata, yaitu kemampun mengembangkan welas asih terhadap sesama.
Ksamavrata dan Pritivrata merupakan dua unsur penting untuk bisa
memaafkan. Melaksanakan manusa yajna tidak hanya terbatas melakukan
penyucian diri (manusa samskarta) tetapi juga bersedia memberikan sesuatu
sebagai wujud rasa hormat, adalah dasar untuk berani meminta maaf.
 Melaksanakan acara/upacara penebusan dosa.
Acara penebusan dosa banyak diatur dalam Weda Smrti, khususnya dalam Parasara
dharmasastra, dan Manawa dharmasastra, misalnya:

 Mengulang-ulang mantram Gayatri (Savitri mantram) misalnya 100 kali atau


lebih, tergantung jenis kesalahan atau dosa yang dibuat.
 Puasa (upawasa) dalam berbagai tingkatan kelengkapan pelaksanaannya.
 Mundawa samskara, yang artinya menggunduli kepala.
 Mandi suci di sungai Gangga (Prasarana Dharma sastra XII.11)
 Melaksanakan perkawinan secara terhormat, yaitu Brahma wiwaha, atau
Daiwa wiwaha, atau Prajapati wiwaha, menurut Weda Smrti (Manawa
Dharmasastra III 37-38) bisa menebus dosa leluhur dan keturunannya 3-10
tingkat di atas dan di bawahnya.
 Melaskanakn upacara kurba, persembahan suci kepada Tuhan (Dewa Yajna)
atau kekuatan negative lain (Butha Yajna). Dalam Weda Smrti (PDS I.51)
disebutkan: memaafkan pencuri, menyerahkan sirih dan pinang kepada
brahmacari (orang yang tidak kawin dan mengabdikan dirinya kepada Tuhan)
serta emas kepada pertapa, ditunda hukumannya pada kehidupan berikutnya.
Dari pasal ini terlihat bahwa hukuman karma berjalan terus, tetapi eksekusi
hukumannya bisa ditunda dan ditunda terus, apabila manusia telah berbuat
baik. Ini yang menjadi kriyamana karmaphala, yaitu karma yang aka dialami
pada kehidupan yang akan datang.

CHAR6021 – Character Building: Agama


Dalam ajaran Buddha, perbuatan seseorang itu disebut kamma atau karma, yang
secara umum berarti perbuatan, kehendak atau pikiran, kata-kata atau tindakan. Perbuatan
sesorang umumnya menimbulkan akibat, dan akibat ini merupakan pula sebab lain yang
mengakibatkan akibat yang lain, dan begitu seterusnya, sehingga Kamma serong juga disebut
“ hukum sebab akibat”. Melempar batu misalnya, itu adalah sebuah perbuatan. Batu menimpa
kaca dan kaca menjadi pecah. Pecahnya kaca adalah akibat dari pelemparan batu. Tetapi
peristiwa itu tidak hanya sampai di situ saja. Kaca yang pecah merupakan pula satu sebab
dari kesukaran-kesukaran lain. Misalnya akan berakibat pada kekesalan seseorang atau
kekecewaan bagi si empunya kaca. Dengan demikian, akibat dari Karma itu tidak akan segera
berakhir. Oleh sebab itu, kita harus hati-hati sekali dengan perbuatan kita, supaya akibatnya
senantiasa akan bersifat baik. Kita hendaknya selalu berbuat baik, yang bermaksud menolong
makhluk-makhluk lain, membuat mahkluk lain bahagia, sehingga perbuata ini akan
membawa satu karma-vipaka (akibat) yang baik dan memberi kekuatan kepada kita untuk
melakukan karma yang lebih baik pula.4

3. Perintah untuk mengampuni


Sebagaimana perintah Tuhan kepada umat-Nya agar saling mengasihi, perintah untuk
mengampuni juga merupakan pesan terpenting bagi manusia. Sebagaimana Tuhan mau
mengampuni umat-Nya, demikian juga Dia mau agar umat-Nya saling mengampuni. Firman
Allah dan ajaran para nabi dan rasul-Nya dengan sangat eksplisit mengungkapkan hal ini.
Surat Ali-Amran mengatakan sebagai berikut: Dan patuhilah kepada Allah dan Rasul-Nya,
biar kalian mendapat rahmat-Nya. Demikian pula segeralah memohon ampun kepada Allah,
karena surge yang luasnya seluas bumi dan langit itu dijanjikan kepada orang yang bertakwa,
yaitu orang-orang yang mampu mengeluarkan sedekah, baik sewaktu mereka dalam keadaan
lapang maupun dalam keadaan sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya, dan
memafkan kesalahan orang-orang. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat
kebajikan (Ali-Amram ayat 132-134). Dalam Sabda Nabi bahkan dinyatakan bahwa pemberi
maaf hendaknya diberikan sebelum yang melakukan kesalahan itu meminta maaf. Hal itu
lebih utama untuk dilakukan. Maaf – memaafkan kesalahan juga dikatakan sebagai suatu

4
Sumedya Widya Dharma, Dhamma Sari, Op.Cit., hal.100-101

CHAR6021 – Character Building: Agama


yang dapat memperpanjang umur seseorang. Dalam kehidupan sehari-hari Nabi selalu
menerapkan perilaku memberi maaf ini. Salah satu contoh Nabi Muhammad seringkali
mendapat perlakuan yang sangat tidak manusiawi, seperti dilempari kotoran onta, bahkan
kotoran manusia oleh orang-orang Quraisy Mekkah, dan selalu memaafkan serta
menganggapnya sebagai akibat dari ketidaktahuan mereka. Sewaktu hendak dibantu untuk
membalasnya, Nabi bersabda – dengan sabdanya yang selalu diulang dan akhirnya menjadi
terkenal itu – “Semoga Allah mengampuni mereka karena mereka tidak tahu”. Akibat dari
itu, kehidupan Nabi yang semula penuh dengan cemoohan, karena umatnya semula belum
memahami, kemudian lama-kelamaan berubah menjadi mencintainya.

Yesus juga telah memberi teladan dan memberi ajaran dalam hal pengampunan.
Yesus sendiri tidak membalas ketia Dia dianianya oleh para pembunuhnya. Ketika Dia
ditangkap untuk diadili, salah seorang yang menyertai-Nya menghunushkan pedangnya ke
telinga hamba imam besar, salah seorang penangkap-Nya, hingga putus, Yesus berkata:
“Masukan pedang itu kembali ke dalam sarungnya, sebab barang siapa menggunakan pedang,
akan binasa oleh pedang” (Mat.26:52). Yesus sendiri mohon pengampunan bagi para
pembunuh-Nya ketika Dia berdoa di atas salib: “Ya Tuhan ampunilah mereka, sebab mereka
tidak tahu apa yang mereka perbuat” (Luk.23:34).

Dalam perumpamaan tentang pengampunan, ketika Petrus bertanya kepada Yesus:


“Tuhan, sampai berapa kali aku harus mengampuni saudaraku jika ia berbuat dosa terhadap
aku? Sampai tujuh kali?”. Yesus berkata kepadanya: “Bukan, Aku berkata kepadamu: Bukan
sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali” (Mat.18:21). Dalam
berbagai penafsiran, ungkapan Yesus ini diartikan sebagai „tak henti-hentinya kita harus
mengampuni‟. Dalam berbagai wejangan-Nya Yesus mengajak umat-Nya untuk saling
mengampuni: “Janganlah kamu menghakimi, maka kamu pun tidak akan dihakimi. Dan,
janganlah kamu menghukum, maka kamu pun tidak akan dihukum. Ampunilah dan kamu
akan diampuni” (Luk.6:37). Rasul Paulus, dalam suratnya kepada umat di Efesus,
mengatakan: “Tetapi hendaklah kamu ramah seorang terhadap yang lain, penuh kasih mesrah
dan saling mengampuni, sebagaiman Allah dalam Kristus telah mengampuni kamu”
(Ef.4:32). Dan, dalam “Doa Bapa Kami” diungkapkan satu pernyataan bahwa kita juga mau
mengampuni sesama yang bersalah kepada kita: “…ampunilah kesalahan kami seperti kami

CHAR6021 – Character Building: Agama


pun mengampuni yang bersalah kepada kami” (Mat.6:9-13). Dengan disemangati oleh
pengampunan dari Tuhan, kita pun tergerak untuk mau mengampuni sesama yang bersalah
kepada kita, secara tulus. Dapat dikatakan bahwa kesediaan kita untuk mengampuni
merupakan suatu tanda syukur kita kepada Tuhan, yang begitu baik terhadap kita, khususnya
dengan mengampuni kesalahan dan dosa-dosa kita.

Dalam ajaran agama Buddha, salah satu paramita (kesempurnaan) yang harus
dikembangkan adalah dana paramita, yang itu kemurah-hatian. Memberi maaf adalah tanda
atau sifat dari orang yang murah hati. Tanpa maaf-memaafkan tidaklah mungkin amarah dan
kebencian dipadamkan. Dalam dunia ini kebencian tidak akan pernah berakhir apabila dibalas
dengan kebencian. Tetapi kebencian akan berakhir bila dibalas dengan tidak membenci
(Dhp.5). Doa penyucian tidak lain dari doa permohonan maaf (khampapana). Jika dengan
tindakan, ucapan dan pikir telah melakukan kesalahan, seseorang menyatakan penyesalan dan
mohon maaf, dengan itu diharapkan batinnya menjadi tenteram. Sebalinya, berkat kesediaan
memaafkan, diharapkan orang yang berbuat salah dapat selamat dan bebas dari penderitaan,
khususnya karena kekuatan pikiran yang tenang dan damai, penuh dengan cinta dan
belaskasih.

Memaafkan atau mengampuni orang yang bersalah kepada kita bukan hanya
bermanfaat bagi orang yang kita ampuni itu, melainkan juga bermanfaat bagi kita. Beban kita
menjadi ringan, hidup lebih bebas, lepas dari beban yang semakin lama menekan jiwa.

B. MENGAMPUNI HARUS DENGAN KERENDAHAN HATI


Begitu indah didengar oleh telinga berbagai ayat-ayat firman Tuhan yang
disampaikan kepada kita mengenai pengampunan, bahwa kita harus mau mengampuni
sesama yang bersalah kepada kita. Itu semua kita terima dalam iman, sebagai yang berlaku
mengikat bagi kita. Namun dalam kenyataan, mengampuni orang yang sudah sedemikan
menyakiti hati kita, sangat sulit kita wujudkan. Dibutuhkan kerendahan hati dan kebesaran
jiwa untuk bisa mengalahkan perasaan insani kita, dan bersedia mengampuni dengan tulus.
Sikap rendah hati adalah suatu sikap yang hanya mengandalkan Allah dalam hidupnya dan
tidak mengandalkan kekuatan diri sendiri. Rendah hati berarti juga tidak menganggap dirinya
lebih berharga dan lebih tinggi dari manusia lainnya, karena sadar bahwa kita sama-sama

CHAR6021 – Character Building: Agama


bisa hidup dan bergerak hanya karena kebaikan Tuhan saja. Kesadaran akan hal ini akan
membantu kita menyingkirkan berbagai bentuk kesombongan dalam hati kita. Sebaliknya,
muncullah sikap mau saling menolong dan menerima satu sama lain sebagai saudara.

1. Berat namun tetap merupakan kewajiban


Amat sulit bagi kita untuk mengampuni atau berbaikan dengan orang yang
baru saja menyakiti hati kita, apalagi bila tanpa kesalahan apa pun yang kita perbuat
terhadap dia. Banyak dari kita memang benar-benar gagal melaksanakan perintah
untuk mengampuni sesama. Mengapa demikian? Hal ini pasti berkaitan dengan
kenyataan bahwa kita bertindak hanya atas dasar kemauan dan kehendak manusiawi
kita sendiri, yang dikuasai oleh gengsi, ketinggian hati, kesombongan, takut dianggap
penakut, harga diri yang terlalu tinggi, suka menyimpan kesalahan, ingin balas
dendam, dan sebagainya. Tantangan lain yang bisa muncul dalam pemberian maaf
kepada seseorang adalah ketika maaf yang kita berikan dengan tulus hati tidak
diterima dengan senang hati, atau malah disalahgunakan. Untuk hal ini dapat
dikatakan bahwa kesediaan kita untuk memaafkan tidak ditentukan oleh bagaimana
sikap orang yang mau kita maafkan itu, menerimanya atau tidak. Kesediaan kita
memberi maaf atau ampun tidak hanya sebatas hubungan kita dengan orang itu, tetapi
sudah menyangkut penghayatan iman. Dan itu berarti Tuhan terlibat di dalamnya.

Contoh-contoh hidup yang masih ada di tengah-tengah kita dapat


membuktikan bahwa mengampuni sesama tetap mungkin untuk dilakukan. Tokoh
Nelson Mandela, dapat disebutkan sebagai salah satu contoh hidup bagi kita. Dia
dipenjara sebagai tahanan politik selama dua puluh lima tahun, ketika dia sudah
kembali ke dunia bebas, sebenarnya dia memiliki kesempatan untuk membalas
dendamnya, namun hal itu tidak dilakukannya. Kepada teman-temannya yang ingin
menggunakan kesempatan yang ada untuk membalas dendam, Mandela mengatakan:
kalau perihal disakiti, sayalah yang paling disakiti dan paling menderita. Selama dua
puluh lima tahun saya dipenjara, walau sesungguhnya saya tidak berbuat kejahatan.
Jangan kita melakukan pembalasan. Marilah kita membangun perdamaian di antara
kita. Mandela berhasil mewujdukan keinginannya yang tentu didorong oleh imannya
itu, sehingga dia menjadi seorang tokoh dunia paling dikagumi pada zaman ini. Dia

CHAR6021 – Character Building: Agama


adalah tokoh rekonsiliasi dan perdamaian yang sungguh mengguggah hati banyak
orang yang merindukan perdamaian. Banyak juga tokoh selain Mandela yang
memberikan teladan mengampuni sesama dengan tulus ikhlas, coba kita cari dan kita
jadikan teladan.

2. Dasar bagi kerendahan hati


Manusia hidup karena Tuhan memberinya kehidupan. Lepas dari Tuhan, manusia
akan binasa. Orang beriman percaya bahwa Tuhan adalah sumber hidupannya. Pun semua
yang dimilikinya adalah pemberian dari kemurahan Tuhan. Walau dia sudah berjuang, namun
jika Tuhan tidak memberkati perjuangannya maka sia-sialah segala usahanya. Kenyataan
bahwa kita semata-mata bergantung pada Tuhan sebenarnya menjadi alasan kuat mengapa
kita seharusnya berlaku rendah hati dalam kehidupan ini. Kita juga hanya mungkin terbebas
dari hukuman dosa karena belaskasihan dan pengampunan dari Tuhan, yang selalu bersedia
menerima tobat kita dihadapan-Nya. Kita tidak bisa menyelamatkan dan menentukan nasib
akhir kita sendiri. Kita tidak bisa menambah sejengkal pun dari perjalanan hidup kita di dunia
ini hanya dari kehendak kita sendiri. Keadaan hidup kita bisa berubah dalam sekejap jika
Tuhan memang menghendakinya demikian. Sebagai orang beriman kita mengatakan bahwa
kehidupan kita semuanya terutama berada di tangan Tuhan.

Hal lain yang dapat dipandang sebagai alasan mengapa kita harus berlaku rendah hati
dan mau mengampuni adalah kenyataan bahwa di dalam lubuk hati kita yang terdalam
tertanam keinginan dan kerinduan kuat untuk mau mengampuni. Kita semua memiliki
kerinduan seperti itu dalam hati kita. Hal tersebut sebaiknya mendorong kita untuk dengan
tulus mau memaafkan atau mengampuni. Dan hal lain lagi yang dapat dijadikan sebagai
landasan untuk mau mengampuni adalah pengalaman yang dirasakan, yang tidak bisa dibayar
dengan uang, ketika kita berhasil mengampuni seseorang yang bersalah kepada kita. Semakin
tulus kita memaafkan, semakin dalamlah pengalaman rohani yang kita nikmati.

CHAR6021 – Character Building: Agama


3. Menghayati dan mengembangkan kerendahan hati
Dalam kaitannya dengan saling mengampuni, kerendahan hati dituntut, baik bagi
yang mau memaafkan atau mengampuni, maupun bagi yang meminta maaf atau
pengampunan. Bukan hanya untuk bersedia memaafkan, tapi juga untuk mau minta maaf,
kerendahan hati diperlukan. Kemampuan kita untuk melakukan yang satu akan membantu
kita untuk mampu melakukan yang lain. Ketidakengganan kita untuk minta maaf biasanya
juga memperlihatkan sikap dasar kita yang dengan mudah mau memaafkan orang yang
bersalah kepada kita. Sebaliknya, kesiapsediaan hati kita untuk memaafkan, memperlihatkan
bahwa kita pun tidak segan-segan minta maaf ketika kita sudah melakukan suatu kesalahan.
Tidak jarang pengalaman diampuni telah mendorong seseorang untuk melakukan hal yang
sama. Dan, pengalaman mengampuni akan membuatnya tidak mau kehilangan anugerah
rohani yang dia peroleh dari keberhasilan itu. Ungkapan “mohon maaf lahir batin” tidak
hanya menopoli hari Idul Fitri, Natal, Waisak, Nyepi, atau hari-hari besa lain keagamaan.
Maaf-memaafkan adalah bagian dari romantisme kebersamaan kita yang harus kita hayati
dalam hidup sehari-hari, sebagai orang-orang beriman.

C. WUJUD PEMBERTIAN MAAF DAN AMPUN

1. Memulainya dari hati


Pemberian maaf atau ampun memang harus berawal dari hati yang mau mengampuni.
Kita memaafkan seseorang ketika hati kita sedikit pun tidak menyimpang kesalahan orang,
dan tidak menaruh dendam dan kebencian terhadapnya. Kita tidak berniat melakukan
pembalasan terhadapnya, entah secara langsung atau tidak langsung, dengan perantaraan
orang lain atau dengan dilakukan sendiri. Kita telah memaafkan seseorang yang bersalah
kepada kita dalam hati tetap menginginkan yang terbaik bagi orang tersebut. Pemberian maaf
yang terjadi dalam hati, bukan saja hanya ketika orang bersalah itu minta maaf, tetapi
sebelum dia minta maaf pun sebaiknya kita sudah memaafkan.

CHAR6021 – Character Building: Agama


2. Menunjukkan sikap dan perilaku kebaikan
Kalau orang bersalah kepada kita masih belum meminta maaf kepada kita (bisa jadi
dia sebenarnya mau minta maaf, atau juga belum berniat melakukan hal itu), kita tetap dapat
meperlihatkan di berbagai kesempatan, bahwa kita sebenarnya telah memaafkan dia. Wujud-
wujud dari sini ada bermacam-macam, mulai dari sikap tidak menjauhinya, kesediaan mau
bergaul dengan dia, sampai kesediaan mau menolong dia ketika dia sedang membutuhkan.
Diharapkan dengan sikap perilaku kita seperti itu, dia akhirnya memahami dan mengalami
bahwa kita memang sudah memaafkannya.

3. Menyatakan dengan kata-kata


Hubungan seperti pada nomor dua di atas sebenarnya sudah bagus, dan dapat
dianggap memadai. Namun, hubungan seperti itu masih dapat dilanjutkan kalau memang
dirasa perlu dan memungkinkan untuk dilakukan. Tujuan dari tahap ketiga ini tidak lain
untuk menjernihkan segala keraguan yang masih tersisa dalam hati, baik di hati orang yang
bersalah, maupun di hati orang yang memaafkan. Orang yang bersalah bisa jadi masih
bertanya-tanya, “benarkah dia sudah memaafkan kesalahan saya pada dia”? Dan pada pihak
yang memaafkan bisa jadi juga ragu-ragu dalam hati, “sesungguhkah dia tidak ragu lagi
bahwa saya tidak menyimpan kesalahannya di dalam hati saya”? Keragu-raguan semacam
ini dapat diselesaikan dengan pernyataan terbuka, baik permintaan maaf maupun pemberian
maaf. Diharapkan, keterbukaan semacam ini dapat benar-benar menciptakan suasana baru di
antara kedua belah pihak.

D. MAKNA PEMBERIAN MAAF DAN AMPUN

1. Terciptanya kedamaian
Fakta bahwa kita mau dimaafkan, dan bahwa iman kita meminta kita untuk mau
memaafkan. Juga sudah jelas bahwa untuk sanggup memaafkan sangat diperlukan
kerendahan hati. Buah-buah apa dapat kita nikmati dari penghayatan spiritualitas mancam
ini? Buah pertama adalah kedamaian. Bagi orang yang dimaafkan, lebih-lebih bila dia

CHAR6021 – Character Building: Agama


sungguh merindukan hal itu, akan mendatangkan kedamaian yang sangat mendalam. Bagi
orang yang memaafkan, terutama karena dorongan iman dan kerendahan hati, akan
mendatangkan kelegaan dan kebahagiaan yang tidak kalah mendalam dengan orang yang
dimaafkan. Bila terjadi maaf-memaafkan di antara orang-orang dalam satu kelompok, dalam
satu lingkungan atau masyarakat, jelas akan terciptalah kedamaian, kerukunan dan
kehangatan hubungan antara satu sama lain.

Selain itu, kerendahan hati yang terlatih dengan baik akan membuat orang tidak segera
lupa diri ketika sedang mengalami kemujuran; dan sebaliknya, tidak lantas putus asa ketika
sedang mengalami kondisi yang buruk. Kerendahan hati yang dihayati akan membuatnya
semakin kaya dalam anugerah rohani, yang membuatnya mampu memancarkan pengaruh
yang baik dengan melakukan kebajikan-kebajikan lain.

2. Sebuah tanda kemenangan


Kemampuan untuk rendah hati dan mengampuni bukanlah suatu tanda kekalahan,
isyarat ketakutan atau ketidakmampuan berkompetisi dalam kehidupan ini. Sebaliknya, hanya
orang yang mengerti arti sebuah kemenangan, yang mampu menghayati kerendahan hati dan
mampu mengampuni dengan tulus. Oleh karena itu, keberhasilan seseorang menghayati
kerendahan hati dan mampu dengan hati tulus mengampuni sesamanya, adalah sebuah tanda
kemenangan atas kejatahan, sekaligus sebagai keunggulan hidup yang dimiliki seseorang.

3. Memperlihatkan kebesaran jiwa


Ada kesan bahwa sikap-sikap seperti: mau mengalah, tidak menonjolkan diri,
mendahulukan orang lain, dan sebagainya, merupakan pertanda kekerdilan jiwa seseorang.
Bahkan tidak jarang pembawaan seperti itu dipandang sebagai pembawaan seorang penakut
dan pengecut. Namun kenyataan memperlihatkan bahwa hanya dengan kebesaran jiwa kita
mampu menghayati sikap-sikap seperti itu. Justru orang yang tidak memiliki jiwa besar
lebih cenderung melakukan yang sebaliknya, bersikap tinggi hati, sombong dan tidak
mengenal ampun. Semakin seseorang memiliki kebesaran jiwa, semakin dia menjadi orang
yang rendah hati dan mau mengampuni.

CHAR6021 – Character Building: Agama


4. Mengungkapkan kematangan pribadi
Kemampuan untuk tetap konsisten dengan sikap rendah hati dan mau mengampuni,
dengan jelas memperlihatkan betapa matangnya pribadi seseorang. Sikapnya tidak
ditentukan oleh keadaan yang terjadi di lura dirinya. Bagaimanapun kondisi sosialnya,
ekonominya, kedudukannya di dalam masyarakat, dan sebagainya, dia tetap muncul sebagai
seorang yang rendah hati, yang tidak dendam, tidak menyimpan kesalahan orang lain, tetap
menghendaki yang terbaik bagi sesamanya. Sikapnya yang tetap kokoh dan konsisten seperti
itu, membuatnya menjadi seorang yang terpandang di mata teman-teman dan orang lain di
sekitarnya.

5. Memperlihatkan kedewasaan iman


Apabila dikaitkan dengan penghayatan iman, maka harus dikaitkan bahwa kerendahan
hati dan kesiapsediaan untuk mengampuni sesama, merupakan suatu tanda kedewasaan iman.
Iman yang sudah sedemikian merusak dalam jiwa, telah mengubah pendirian, dan
menjadikan seseorang berani menanggung konsekuensi-konsekuensi yang terjadi akibat
penghayatan kekutamaan-keutamaan yang didorong oleh imannya. Adalah satu kedewasaan
iman apabila seseorang mampu mengalahkan kecenderungan-kecenderungan rendah
insaninya dalam menghadapi berbagai situasi yang dihadapinya. Dia mampu melakukan
tindakan bernafaskan iman walau tidak mendapat penghargaan dan penilaian baik dari
siapapun.

CHAR6021 – Character Building: Agama


KESIMPULAN

Berhadapan dengan Tuhan sesungguhnya kita tidak ada apa-apanya. Kita hanya bisa
hidup dan bergerak karena Tuhan, yang dengan berbagai cara telah memberi kita kekuatan
untuk hidup. Tidak ada alasan bagi manusia untuk menyombongkan diri. Di hadapan Tuhan
kita semua sama, yang hanya mengadalkan dan bergantung pada-Nya. Untuk itu manusia
harus berlaku rendah hati, baik di hadapan Tuhan, maupun di hadapan sesama. Kita juga
bukan tanpa dosa di hadapan Tuhan, tapi karena Tuhan begitu baik pada kita, maka kita tetap
bisa selamat dan bahagia. Sebagai orang beriman, kita harus saling memaafkan atau
mengampuni satu sama lain, karena Tuhan sendiri terus menerus mau mengampuni kita.
Kalau dilihat dari coraknya, tindakan mengampuni memiliki kekhususan di antara berbagai
ungkapan cinta lainnya. Ada hambatan cukup besar dalam mewujudkannya. Dibutuhkan
kerendahan hati dan kebesaran jiwa, dan tentu iman yang kuat. Kita mengampuni karena
iman kita mengajarkan kita demikian. Dalam hal memperoleh pengampunan dari Tuhan, dari
kita dituntut pertobatan, berupa niat dan komitmen untuk hidup kembali dengan baik. Ampun
dan tobat adalah dua hal yang diharapkan semakin nyata dalam hidup kita.

CHAR6021 – Character Building: Agama


DAFTAR PUSTAKA

Antonius A. Gea, Noor Rachmat, Antonia Wulandari (2004). CB III: Relasi dengan Tuhan.
Jakarta: Elex Media Komputindo.
Sumeda Widyadharma, Dhamma-Sari (1993). Jakarta: Yayasan Dana Pendidikan
NALANDA.
Xavier Leon – Dufour (1997). Ensiklopedi Perjanjian Baru. Yogyakarta: Kanisius
Harun Nasution (1997). Islam Ditinjau Dari Beberapa Aspek. Jakarta: UI Press
Majid Fahri (1996). Etika Dalam Islam. Surakarta: Pustaka Pelajar

CHAR6021 – Character Building: Agama


LECTURE NOTES

Character Building: Agama

Week 9

MENJADI PRIBADI YANG RELIGIUS-


SPIRITUAL

CHAR6021 – Character Building: Agama


LEARNING OUTCOMES

LO 6 : Menerapkan nilai-nilai dan semangat keagamaan dalam hidup nyata sehari-hari

OUTLINE MATERI (Sub-Topic):

 Makna pribadi yang religius-spiritual


 Arti dan pentingnya beriman kepada Tuhan
 Arti dan pentingnya cinta pada diri sendiri dan sesama
 Arti dan pentingnya cinta pada lingkungan hidup

CHAR6021 – Character Building: Agama


MENJADI PRIBADI YANG RELIGIUS-SPIRITUAL

A. PENDAHULUAN

Bagian ini menjelaskan menjadi pribadi yang religius. Ada empat dimensi penting
yang dibahas yakni cinta pada Tuhan, cinta pada diri sendiri, cinta pada sesama dan cinta
pada alam lingkungan. Masing-masing dari aspek ini telah dibahas secara rinci pada setiap
bab atau topik terkait di topik-topik lain sebelumnya. Penekanan yang akan menjadi fokus
pembahasan di sini adalah bahwa menjadi pribadi yang Religius terutama secara khusus bagi
orang beriman mengandaikan adanya sikap percaya pada Tuhan, cinta pada diri sendiri, cinta
pada sesama, dan cinta pada lingkungan.

Keempat aspek ini merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan satu dengan yang
lainnya. Salah satu ciri setiap orang beragama adalah bahwa ia percaya pada Tuhan Yang
Maha Esa. Namun percaya pada Tuhan Yang Maha Esa pada umumnya selalu dikaitkan
dengan sikap-sikap positif terhadap diri sendiri, sesama dan alam lingkungan. Dengan
demikian bagi orang beriman, cinta pada diri sendiri, cinta pada sesama dan cinta pada alam
lingkungan mengeskpresikan kepercayaan seseorang pada Tuhan Yang Maha Esa.

Percaya pada Tuhan saja tidak cukup! Percaya pada Tuhan bersifat vertikal. Hal ini
tidak cukup bagi manusia. Percaya pada Tuhan bersifat imperatif yang mendorong manusia
untuk mencintai dirinya, mencintai sesama dan alam lingkungan.

Cinta pada diri sendiri, cinta pada sesama dan cinta pada lingkungan merupakan
prasyarat bagi setiap manusia untuk dapat hidup dengan baik di muka bumi ini. Cinta pada
diri sendiri berarti melakukan semua yang terbaik untuk diri sendiri, seperti mengembangkan
bakat yang ada pada diri sendiri, memelihara kesehatan baik fisik, psikologis maupun sosial.
Melakukan semua yang terbaik bagi diri sendiri merupakan modal yang dapat digunakan
untuk melakukan yang terbaik kepada sesama dan lingkungan. Seseorang yang sakit misalnya
tidak dapat melakuakan apa pun kepada orang lain dan lingkungan. Atau orang yang malas
belajar tentu saja akan menjadi beban bagi masyarakat secara luas atau keluarga pada
khususnya.

Sumber cinta pada diri sendiri, sesama dan lingkungan adalah Tuhan sendiri.
Oleh karena itu, setiap orang beriman, supaya dapat mencintah diri, sesama dan lingkungan,

CHAR6021 – Character Building: Agama


terlebih dahulu harus membangun relasi yang baik dengan Allah. Dengan membangun relasi
yang baik dengan Allah setiap orang beriman tidak saja mendapat makna untuk setiap
tindakan mencintai diri, sesame dan lingkungan, tetapi juga dapat memiliki kepastian
bagaiaman cinta pada diri sendiri, sesame dan lingkungan harus dilakukan.

Orang yang memiliki relasi yang baik dengan Tuhan, selalu dapat memiliki jalan yang
baik dan pasti bagaimana ia harus mengembangkan dirinya, melakukan semua upaya yang
terbaik bagi dirinya sendiri, bagi sesamanya dan bagi lingkungan hidupnya. Relasi yang terus
menerus dengan Tuhan dalam konteks ini menjadi ciri bagi setiap orang beriman. Dari relasi
itu, manusia menimba cinta dari Tuhan untuk kemudian dibagikan ditumbuhkan pada diri
sendiri, dibagikan kepada sesama dan linkungan.

B. BERIMAN PADA TUHAN


Setiap orang beriman membangun kehidupan religius-spiritualnya berbasis
pada percaya pada Tuhan. Dengan percaya pada Tuhan aspek religius kehidupan orang
beriman menjadi berbeda dari orang yang tidak beriman. Kalau orang yang tidak percaya
pada Tuhan membangun spiritualitas kehidupannya berbasis pada pemikirannya sendiri,
maka religiositas kehidupan orang yang beriman berbasis pada relasinya dengan Allah yang
diimaninya.

Beriman dalam konteks keagamaan selalu bermakna bahwa seseorang menerma


kebenaran tertentu dan apa saja yang berkaitan dengan kebenaran tentang Tuhan.
Orang menerima kebenaran itu sebagai sesuatu yang pasti, kokoh dan tetap. Kebenaran itu
tidak berubah-ubah. Kita tidak ragu dalam hati tentang kebenaran Tuhan sebagai sesuatu
yang pasti.

Deskripsi singkat tersebut tentang iman menggambarkan bahwa iman lebih sering
dipahami sebagai sikap hati, dan tidak ada orang lain yang tahu, kecuali orang yang percaya
itu sendiri. Dengan sikap hati itu manusia mempercayakan dirinya sebulat-bulatnya kepada
Tuhan, mengandalkan Tuhan sepenuh-penuhnya. Dalam pengertian ini, Iman berarti
penyerahan diri secara total kepada Tuhan.

CHAR6021 – Character Building: Agama


Iman dalam konteks relasi dengan Allah, dipahami juga sebagi bentuk jawaban
manusia terhadap pewahyuan Tuhan. Secara umum agama-agama mengakui bahwa Tuhan
telah mewahyukan dirinya kepada manusia.

Justru karena telah mewahyukan diri-Nya kepada manusia, maka Tuhan yang tidak dikenal
menjadi dikenal dan dapat disembah oleh manusia. Iman dalam konteks ini merupakan tanda
penermaan manusia terhadap pewahyuan Tuhan tersebut. Manusia percaya bahwa
pewahyuan tersebut adalah pasti. Tuhan mewahyukan dirinya kepada manusia di satu sisi,
pada sisi yang lain manusia percaya bahwa pewahyuan tersebut benar adanya (bdk Gea,
Rahmat, Wulandari, 2006).

Beriman pada Tuhan tidak semata-mata merupakan sikap batin yang sifatnya
personal. Beriman pada Tuhan menuntut sikap-sikap tertentu. Sikap-sikap tersebut biasanya
dinyatakan dalam bentuk ritus-ritus tertentu. Ritus-ritus tersebu sebagai mana yang dijelaskan
pada bagian lain dari pembelajaran ini berkaitan dengan sikap tubuh, waktu dan ruang
tertentu dalam membina relasi dengan Tuhan. Ada sikap berdiri, duduk, berlutut, bersujud
dan lain sebagainya. Sikap-sikap tersebut biasanya pada umumnya dintunjukan atau
dilakukan pada waktu-waktu tertentu. Setiap agama dalam konteks ini telah menetapkan
waktu-waktu tertentu kapan manusia melakukannya. Selain itu, setiap agama juga telah
menetapkan dimana sikap-sikap tersebut dilakukan. Secara pribadi sikap-sikap tersebut dapat
dilakukan pada ruang-ruang privat, dan secara kolektif, berjemaah, sikap-sikap tersebut
dilakukan ditempat-tempat yang ditetapkan sebagai tempat ibadat.

Pada waktu dan tempat tersebut, manusia mengubah prilakunya menjadi lebih khusus
dan spesial. Kalau dalam waktu-waktu dan tempat-tempat yang lasim dan umum manusia
rebut, bergosip, marah, tidak sopan dan lain sebagainya, namun pada waktu dan tempat
khusus tersebut, manusia berlaku sopan, tenang dan sikap-sikap pantas lainnya.

Beriman, selain ditunjukan melalui sikap batin yang kokoh dan pasti yang pasti pada
pewahyuan Allah dan ditunjukan melalui ritus-ritus, beriman juga dintunjukkan melalui
secara terus menerus membangun relasi yang dengan Tuhan. Orang beriman akan selalu
membangun relasi pribadi dengan Tuhan. Relasi dengan Tuhan dapat dilakukan dengan
membiasakan diri berdialog melalui doa-doa pribadi kepada Tuhan. Doa-doa pribadi dapat
dilihat dari dua sisi. Sisi pertama adalah bahwa setiap orang beriman menyampaikan

CHAR6021 – Character Building: Agama


peromohan dan pujian kepada Tuhan, dan sisi kedua, setiap orang beriman dilatih untuk
mendengarkan pesan-pesan Tuhan. Pesan-pesan Tuhan pada umumnya dapat didengar
melalui suara hati orang beriman. Beriman dalam konteks sisi kedua ini berarti
mendengarkan apa yang Tuhan kehendaki untuk dilakukan oleh manusia. Dalam kehidupan
sehari-hari sisi kedua iman ini sering diabaikan. Hal ini telah mengakibatkan manusia
menjadi kurang atau tidak peka terhadap pesan-pesan Tuhan bagi hidupnya. Orang berman
cenderung membiasakan diri dengan sisi pertama dari doa yakni menyampaikan permohanan
dan pujian.

Setiap orang beriman mengakui bahwa Tuhan mengetahui segala hal mengenai hidup
manusia. Orang berman juga mengakui bahwa Tuhan akan selalu memberikan apa yang
terbaik bagi manusia menurut rancangan Tuhan sendiri. Namun dalam kehidupan sehari-hari
orang beriman cenderung melakukan apa yang mereka maui, dan bukan berdasarkan apa
yang Tuhan maui. Bahkan ada kecenderungan manusia memaksakan kehendaknya pada
Tuhan.

Biasanya orang beriman selalu menghendaki apa yang menyenangkannnya. Atau


secara konseptual, orang berman cenderung altrustik. Sikap altruistic ini biasanya berkaitan
dengan tubuh dan berisifat material. Oleh karena itu, semua pengalaman yang tidak
menyenangkan tubuhnya dianggapnya sebagai penderitaan. Orang yang membiasakan dirinya
berdoa dengan mendengarkan pesan-pesan Tuhan dapat saja mengalami penderitaan tubuh
sebagai salah satu bentuk sapaan Tuhan baginya. Melalui penderitaan itu, orang beriman
menyadari keterbatasannya, atau melalui penderitaan itu orang beriman dapat menjadi lebih
dekat dengan Tuhan, atau melalui penderitaan itu manusia dapat merenungkan prilaku-
prilaku buruk yang telah ia lakukan di masa-masa yang lalu. Orang yang tekanan darah
tinggi, atau debar jantungnya tidak lasim misalnya dapat merenungkan bahwa jangan-jangan
ia adalah pendendam atau pemarah. Dua sikap ini dapat saja mempengaruhi tekanan jantung
atau daranya. Tekanan darah dalam hal ini merupakan pesan untuk bersikap lebih mengasihi.
Sikap mengasihi adalah perintah utama Tuhan untuk dilakukan oleh manusia, yang dalam
beragam agama dibahasakan dengan kata yang beragam-ragam. Orang yang mengalami sakit
diabetes sebagai contoh yang lain merupakan kondisi melalui mana orang beriman dapat
merefleksikan hidupnya bahwa mungkin ia terlalu rakus dan tidak hidup sederhana.

CHAR6021 – Character Building: Agama


Kerakusan dalam konteks ini mengurangi kesempatan untuk berbagi dengan orang lain.
Sehingga dengan mengalami sakit diabetes, orang beriman memiliki kesempatan untuk
berbagi dengan orang lain. Singkatnya orang beriman mengalami setiap peristiwa hidupnya
baik menyenangkan maupun tidak menyenangkan sebagai tanda berkat Tuhan bagi hidupnya.
Oleh karena sebagai tanda berkat Tuhan, orang beriman tidak akan mengeluh terhadap
apapun.

Sikap orang beriman biasanya lebih tenang, damai dan bersukacita. Ia tenang dan
damai sebab ia percaya bahwa Tuhan lah yang menyelenggarakan hidupnya. Kepercayaan
seperti ini tentu saja hasil dari relasi yang dibangunnya secara terus menerus dengan Tuhan.
Oleh karena ia percaya bahwa Allah lah yang menyelenggarakan hidupnya, ia bersukacita.
Dengan demikian, sikap-sikap seperti takut, cemas, murung, cemberut, marah, dendam dan
sikap-sikap negatif lainnya merupakan refleksi bahwa orang tersebut kurang atau belum
beriman. Setiap orang beriman seharusnya hidup selalu dalam suka cita sebabia percaya
bahwa Allah lah yang menyelenggarakan hidupnya.

C. CINTA PADA DIRI SENDIRI DAN SESAMA

Selain beriman pada Tuhan, seseorang yang memiliki religiositas yang baik nampak
pada tindakan mencintai diri sendiri dan orang lain. Ada ungkapan yang sudah lasim disebut-
sebut hampir oleh begitu banyak orang pada umumnya, dan orang yang beragama pada
khususnya yaitu “cintailah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” Ungkapan ini
menunjukan bahwa sebelum mencintai orang lain sebagai sesama, seseorang harus mencintai
dirinya sendiri. Dengan demikian mencintai orang lain merupakan gambaran dari cinta pada
diri sendiri. Tidak akan pernah dapat mencintai orang lain dengan baik, bila seseorang tidak
sanggup mencintai dirinya sendiri. Dua dimensi ini dibahas secara detail berikut ini.

CHAR6021 – Character Building: Agama


1. Mencintai Diri

a. Yang Terbaik Untuk Tubuh


Yang terbaik untuk tubuh adalah tidak memberikannya apa yang dapat merusak tubuh
itu sendiri. Hal-hal yang merusak tubuh adalah makanan yang tidak berfungsi baik bagi tubuh
melainkan berfungsi sebagai racun yang mematikan, racun yang membuat tubuh tidak dapat
bertumbuh dan berkembang dengan baik. Hal-hal yang merusak tubuh lain adalah minuman
yang dapat membuat tubuh menjadi rusak. Kita dapat mengakses berita-berita yang berkaitan
dengan dampak buruk dari makanan dan minuman terhadap kesehatan manusia. Selain itu,
begitu banyak perilaku yang merusak tubuh manusia.

Tuhan menciptakan tubuh manusia dengan standar yang berbeda-beda. Dua orang
memakan daging yang sama. Akibat yang dialami oleh keduanya dari makan daging yang
sama itu berbeda-beda. Bagi yang satu, daging dapat meningkatkan energinya, namun bagi
yang lain menyebabkan kolesterolnya menjadi naik. Demikian juga dengan makan cabe.
Cabe yang sama dimakan oleh dua orang yang berbeda, akibatnya bias berbeda. Pada yang
seorang, dengan memakan cabe, gairah makannya menjadi lebih baik, namun bagi seorang
yang lainnya, cabe dapat meningkatkan asam lambungnya. Gejala-gejala ini menunjukkan
bahwa setiap orang memiliki standar tubuh yang berbeda-beda. Dalam konteks ini, setiap
orang harus belajar memberkan apa yang terbaik bagi tubuhnya masing-masing supaya tubuh
dapat berfungsi dengan baik dan sehat. Tentu saya minum air putih sebanyak-banyaknya,
berolahraga secukupnya, beristirahat pada waktunya, melakukan aktivitas-aktivitas
merupakan juga hal-hal yang baik bagi tubuh kita. Tubuh terbentuk dari air dan secara
alamiah membutuhkan aktivitas. Orang yang hanya diam saja dan tidak mengkonsumsi air
dengan cukup cenderung menderita sakit. Sakit dalam hal ini dapat disimpulkan karena kita
melawan hakekat dan alam tubuh kita.

b. Yang Terbaik Untuk Jiwa


Yang terbaik untuk jiwa adalah tidak memberikan apa yang dapat merusak jiwa itu
sendiri. Hal-hal yang merusak jiwa adalah marah, kecewa, putus asa, cemas, tidak sabar,
sombong, tidak peduli, tidak memaafkan, dendam, malas, dan lain sebagainya. Yang

CHAR6021 – Character Building: Agama


menghubungkan seseorang dengan seseorang yang lainnya, atau seseorang dengan Allah
pada prinsipnya adalah jiwa. Sikap-sikap yang merusak jiwa tersebut akan membuat kita
terisolasi. Kita terisolasi dari sesama, dan terutama dari Allah. Berada dalam keterisolasian
adalah berada dalam kesepian dan kesepian akan terus memelihara sikap-sikap yang
merusaka jiwa. Sebuah lingkaran setan.

Tubuh dan jiwa berkaitan satu dengan yang lainnya. Tubuh yang rusak dapat
menghambat ekspresi jiwa. Senyum adalah panggilan jiwa. Media yang digunakan untuk
senyum adalah bibir. Kalau kita sariawan tentu mengganggu seyum kita. Kita tidak dapat
berbagi kalau tubuh kita tidak berfungsi dengan baik. Demikian juga sebaliknya, jiwa yang
rusak dapat mengganggu fungsi tubuh. Marah dapat menyebabkan tekanan darah tinggi,
gangguan pada jantung. Orang yang stress dan cemas dapat mengganggu fungsi lambung,
dan demikian seterusnya.

Dari penjelasan di atas jelaslah bagi kita bahwa mencintai diri berkaitan dengan
kesehatan tubuh dan kesehatan jiwa. Kedua hal itu sama-sama pentingnya. Namun, dalam
kehidupan sehari-hari jarang kita menempatkan keduanya pada tempat yang layak.
Bahkan kecenderungannya, kita menempatkan tubuh lebih penting dan mengorbankan jiwa.
Kita marah, cemas, takut, kalau-kalau penampilan tubuh, tidak pas dengan apa yang
diiklankan dalam media-media yang kita tatapi saat demi saat. Bukan mendengarkan
bagaimana jiwa mengatakan apa yang pantas bagi tubuh kita. Kita memenjarakan jiwa kita
dalam tubuh. Penjara tentu membuat hidup kita menjadi kerdil.

Sehat tubuh dan sehat jiwa merupakan syarat penting untuk dapat mencintai sesama.
Kalau tubuh dan jiwa tidak sehat tidak dapat mencintai sesama dengan baik. Orang yang suka
marah, cemberut, murung, pesimis akan dijauhi orang lain, kalau demikian bagaiman kita
dapat mencintai sesama? Sebaliknya orang yang penuh sukacita, gemberi, empati, opitimis
pada umumnya memiliki banyak sahabat. Orang yang tubuhnya sakit, tentu tidak dapat
bekerja, dan karena itu, ia akan menderita miskin. Kalau ia miskin bagaimana ia dapat
mencintai sesamanya?

CHAR6021 – Character Building: Agama


2. Mencintai Sesama
Siapakah sesamaku? Sesamaku adalah dia yang setempat tidur dengan aku, sesamaku
adalah dia yang sedarah dengan aku, sesamaku adalah dia yang serumah dengan aku,
sesamaku adalah dia yang sehari-hari berada dan berhubungan dengan aku. Orang-orang
seperti ini sangat menentukan sukses hidup kita baik untuk ke surga, maupun untuk karir
sukses. Kita hampir-hampir tidak berdosa dengan orang yang tidak kita kenal atau yang jauh
dari keseharian kita. Kita biasanya berdosa dengan orang-orang yang selalu dekat dengan
kita. Oleh karena itu, sesamaku yang paling pertama adalah mereka yang selalu berada
bersama dengan aku dalam ruang dan tempat tertentu. Bila anda marah misalnya, kemarahan
anda tidak akan dialami oleh orang yang sedang jauh dengan anda. Kemarahan anda dialami
oleh orang yang sedang berada disekeliling anda. Sesamaku dengan demikian dapat aku
jumpai dalam pengalaman tatap muka dan karena itu aku dapat memandang wajah mereka.
Wajah yang memanggil aku untuk mendengar, mengerti, memaafkan, menolong dan peduli.

Selain itu, sesamaku juga adalah mereka yang secara simbolik hadir dalam hidupku.
Mereka hadir dalam karya-karya mereka. Karya-karya mereka aku gunakan saat demi saat
dari hidupku. Pakaian yang aku kenakan, rumah yang aku tinggali, mobil yang aku gunakan
dan lain sebagainya, semuanya menandai kehadiran orang lain dalam hidupku. Kehadiran
mereka juga adalah panggilan bagiku untuk peduli.

Sesamaku yang kita alami dalam konteks ini adalah semua mereka yang sepadan
dengan aku. Aku memiliki mimpi, mereka juga memiliki mimpi, aku rindu didengarkan,
dipedulikan, diperhatikan, mereka juga terus merindu seperti yang aku rindukan. Singkatnya,
mereka adalah aku yang lain, dan aku adalah mereka yang lain. Sebab semua hal yang ingin
aku peroleh mereka juga demikian. Aku sungguh bergantung pada mereka, dan mereka juga
bergantung pada aku. Sebagai anak manusia, mereka menentukan nasibku, seperti nasib
mereka juga ditentukan oleh aku. Aku dan mereka sama-sama saling menentukan.

Namun bagaimana aku dapat melakukan semua itu? Atau bagaimana aku dapat
mencintai sesamaku? Ada dua hal yang dapat kita lakukan untuk menjawab pertannyaan ini.
Pertama berkaitan dengan kesehatan jiwa dan tubuh kita. Bila kita sehat, kita tidak menjadi
beban bagi orang lain dan bahkan kita menjadi sumber inspirasi bagi orang lain. Kita dalam
hal ini seperti pelita yang meskipun diam pada tempatnya, namun cahanya melampaui

CHAR6021 – Character Building: Agama


tempatnya sendiri. Ini berarti mencintai diri dengan menjadikan diri sehat (tubuh dan Jiwa)
pada saat yang sama kita mencintai orang lain. Kita bisa tersenyum, menyampaikan kabar
baik kepada orang lain tentang bagaimana hidup harus dijalani.

Kedua adalah bila kita sehat (tubuh dan jiwa) kita dapat keluar dari tempat kita sendiri.
Kita melihat, mendengarkan, melangkahkan kaki dan mengulurkan tangan, lalu menjadi
bagian dari kehidupan orang lain, dan berada bersama mereka. Berada bersama dengan orang
lain sebagai sesama, berarti kita hidup dan bertumbuh bersama orang lain. Semuanya ini
hanya dapat kita lakukan bila tubuh dan jiwa kita sehat.

Dari refleksi di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa mencintai diri sendiri berarti
kita membuat tubuh dan jiwa kita menjadi sehat. Dengan tubuh dan jiwa yang sehat kita
dapat mencintai sesama kita. Dengan mencintai sesama, kita membuat hidup kita terus
bermakna dan berfungsi. Dengan terus bermakna dan berfungsi kita pada saat yang sama
terus memelihara kesehatan kita, baik kesehatan tubuh, maupun kesehatan jiwa.

Pada jaman modern ini dimana pengetahuan menjadi penting, belajar menguasai
pengetahuan sangatlah penting. Hampir semua bidang kehidupan menuntut setiap orang
untuk menguasainya. Oleh karena itu, mencintai diri berkaitan dengan kerajinan dan
ketekunan untuk terus belajar menguasai ilmu dan pengetahuan. Dengan menguasai ilmu dan
pengetahuan, setiap orang dapat berpartisipasi menjadikan dunia ini menjadi lebih baik.
Dengan berpartisipasi secara aktif, setiap orang tentu saja memelihara hidupnya sendiri.
Bekerja adalah tanda keikutsertaan dalam membangun dunia yang lebih baik, dan dengan
bekerja pula kita mendapatkan sumber hidup kita.

D. CINTA ALAM LINGKUNGAN

Lingkungan alam sangat penting bagi setiap orang, baik orang beriman maupun orang
yang tidak beriman. Hidup manusia di dunia ini sepenuhnya sangat bergantung pada alam.
Manusia terdiri dari tubuh dan jiwa. Kalau tubuh saja, itu bukan manusia, demikian juga,
kalau jiwa saja, juga bukan manusia. Manusia adalah tubuh yang berjiwa, dan jiwa yang
bertubuh. Lingkungan hidup merupakan kondisi dasar yang memungkinkan tubuh manusia

CHAR6021 – Character Building: Agama


terbentuk dan terus terbentuk. Tulang-tulang, kulit, daging, sel-sel, darah dan lain sebagainya
berlasal dari tanah. Oksigen yang dihirup oleh manusia juga berasal dari alam yang
kualitasnya sangat ditentukan oleh lingkungan hidupnya.

Berkaitan dengan itu, kita dapat mengatakan, “Aku sangat bergantung pada alam
disekitarku.” Semua syarat yang berkaitan dengan tubuhku sangat bergantung pada alam di
sekitarku. Vitamin-vitamin, karbohidrat, zat besi dan semua yang baik bagi pertumbuhan dan
perkembangan tubuhku, semuanya berasal dari alam. Sikap hormat, peduli pada alam dalam
hal ini adalah sebuah tuntutan nyata, sebuah tuntutan yang harus aku penuhi. Oleh karena aku
sangat bergantung pada alam, maka semua yang terbaik untuknya aku lakukan. Tidak
membuang sampah sembarangan, tidak boros menggunakan air, menjaga udara tetap bersih,
menyediakan ruang hijau, dan sikap-sikap positif lainnya terhadap alam merupakan bagian
dari panggilan yang harus aku lakukan.

E. MENGAPA CINTA DIRI, SESAMA DAN ALAM LINGKUNGAN?

Pertannyaan penting yang perlu diajukan adalah mengapa Cinta Diri, Sesama dan
Lingkungan perlu untuk menjadi seorang pribadi yang spiritual? Hampir semua agama
memberi kesaksian melalui kitab-kitab sucinya masing-masing bahwa manusia dan seluruh
alam semesta ini adalah ciptaan Allah. Oleh karena, itu menghormati sesame manusia dan
seluruh ciptaan Allah sama dengan dengan menghormati Allah yang menciptakannya. Selain
itu, dalam kitab-kita suci agama-agama juga memberikan kesaksian bahwa Allah selalu
menggunakan manusia dan alam untuk menyatakan kehendaknya. Oleh karena itu, sikap
dasar seorang pribadi yang spiritual adalah meningkatkan kepekaan terhadap kehadiran orang
lain dalam hidupnya. Sebab melalui orang lain itu, Allah menunjukkan kasihnya kepada
manusia. Allah menunjukan diri sebagai pembebas. Untuk memenuhi kebutuhan sandang,
pangan dan papan anda membutuhkan orang lain untuk memenuhinya. Melalui orang lain
itu, anda dibebaskan dari kesulitan papan, sandang dan pangan. Untuk membesarkan jiwa
anda dihadapan Tuhan anda membutuhkan orang lain untuk menerima wajah dan seluruh
sikap baik anda. Tanpa kehadiran mereka bagaimana anda dapat membesarkan jiwa Anda
dihadapan Tuhan?

CHAR6021 – Character Building: Agama


Selain melalui orang lain, Allah juga menunjukkan kehadirannya melalui lingkungan.
Lingkungan memberi anda oksigen, dan berbagai engergi hidup yang dibutuhkan untuk
hidup. Melalui alam itu, Allah menampakkan diri sebagai pemberi makan, minum dan
kehidupan. Dengan demikian, sikap-sikap yang bertentangan dengan cinta diri, sesama dan
lingkungan menunjukkan bahwa anda belum menjadi pribadi yang spiritual.

Sumber utama dari cinta diri, sesama dan lingkungan adalah Allah sendiri, yang terus
menerus mewahyukan dirinya dalam arus kehidupan manusia. Oleh karena itu tanggung
jawab utama orang beriman adalah terus berelasi dengan dengan Tuhannya. Setelah
mendapatkan kasih itu dari Tuhan, orang beriman memiliki tangunggjawab untuk
membaginya kepada orang lain untuk menjawab berbagai macam kegelisahan sesamanya
(Antonius & Dae, 2015). Ada yang gelisah dengan sakit yang diderita. Yang lain gelisah
dengan pendapatan keluarga karena harus membiayai anak-anak sekolah. Ada juga yang
gelisah karena sulit mendapatkan kerja. Dan masih banyak kegelisahan lainnya.

Terhadap situasi gelisah yang dihadapi banyak orang ini, maka tugas utama orang
beriman adalah menghibut yang sakit, membantu membayarkan uang sekolah bagi yang
membutuhkan biaya sekolah, membantu menyediakan pekerjaan bagi orang yang gelisah
karena mengganggur. Tindakan-tindakan seperti inilah yang semestinya lahir dari orang yang
beriman.

Tanggungjawab orang berman yang lain adalah melahirkan contoh hidup yang suci. Tidak
ada orang beriman yang membunuh dengan cara apapun, atau tidak ada orang beriman yang
berkorupsi. Orang beriman juga melahirkan contoh rendah hati atau rajin atau setia. Orang
beriman hadir di tengah yang lain sebagai batu penjuru contoh hidup berman.

CHAR6021 – Character Building: Agama


KESIMPULAN

Menjadi pribadi yang RELIGIUS-SPIRITUAL mengandaikan beberapa sikap seperti:


beriman pada Tuhan, cinta pada diri sendiri, cinta pada sesama, serta cinta pada lingkungan.
Menjadi pribadi yang religius-spiritual tidak lain adalah menjadi manusia baik. Dan manusia
baik hanya bisa dinilai dari bagaimana sikapnya terhadap relasi-relasi dasariahnya, yakni
relasinya terhadap dirinya sendiri, sesama, dunia dan Tuhan. Orang dapat disebut sebagai
baik kalau keempat relasi dasarnya itu terbangun dalam keadaan baik.

CHAR6021 – Character Building: Agama


DAFTAR PUSTAKA

Antonius Atosokhi Gea, Noor Rachmat, Antonia Panca Yuni Wulandari (2004). Character
Building III: Relasi Dengan Tuhan. Jakarta: Elex Media Komputindo.

Porat Antonius & Max Biae Dae (2015). Eksegese Orang Jalanan, Tahun Liturgi A Jilid 1;
Tahun Liturgi C Jilid 1 dan 2. Kupang: Lembaga Jasa Psikologi Terapan.

CHAR6021 – Character Building: Agama


LECTURE NOTES

Character Building: Agama

Week 10

MAKNA RELIGIUS KERJA

CHAR6021 – Character Building: Agama


LEARNING OUTCOMES

LO 6 : Menerapkan nilai-nilai dan semangat keagamaan dalam hidup nyata sehari-hari

OUTLINE MATERI (Sub-Topic):

 Pemikiran tentang makna religius kerja


 Pandangan khusus agama-agama mengenai makna kerja
 Aspek-aspek religius kerja
 Cara menghayati makna religius kerja.

CHAR6021 – Character Building: Agama


MAKNA RELIGIUS KERJA

A. KONSEP RELIGIUS KERJA PADA UMUMNYA

Semua agama melalui inspirasi suci dalam ajaran iman masing-masing menyatakan
secara jelas bahwa alam semesta atau dunia ini dijadikan oleh Tuhan. Secara religius, alam
semesta diyakini sebagai entitas yang diciptakan Tuhan. Tuhan menciptakan dunia dalam
kondisi baik dan indah sejak awal mulanya. Kata ’menciptakan’ di sini mau menggambarkan
bahwa Tuhan juga bekerja ketika DIA menciptakan langit dan bumi ini.

Sesudah menciptakan dunia, manusia diberi tugas (gabe) dan tanggung jawab
(aufgabe) oleh Tuhan untuk membangun tatanan dunia agar berkembang sesuai dengan
kehendak Tuhan, Sang Pencipta itu sendiri. Dari asumsi ini, maka sebetulnya kerja yang
dilakukan manusia bukan untuk kepentingan hidup manusia saja, melainkan bermartabat ilahi
juga. Kerja bukan hanya urusan fisik-material, melainkan urusan metafisik atau transfisik
juga. Urusan metafisik membuat manusia memiliki visi spiritual-religius menuju keselamatan
atau kebaikan masa depan. Manusia perlu memiliki visi religius-spiritual untuk melihat karya
Tuhan di dalam setiap pekerjaan yang dilakukan oleh manusia. Dalam bahasa Ibu Teresa dari
Calcuta (India), seorang pekerja seharusnya ”melihat wajah Allah dalam segala sesuatu, di
dalam diri setiap orang, di manapun, sepanjang waktu, dan tangan-Nya dalam semua
pekerjaan, dan membuat kita melakukan segala yang kita lakukan-apakah kita berpikir,
belajar, bekerja, berbicara, makan atau beristirahat....” (Leteng: 2005, hlm. 24). Setiap kerja,
aktivitas fisik atau tindakan aktif orang beragama layak selalu ditempatkan/dimaknai sebagai
tindakan religius melanjutkan karya penciptaan Tuhan di dalam dunia ini. Dengan bekerja,
manusia melanjutkan pekerjaan Tuhan di dunia ini.

Dengan bekerja, secara religius, sebenarnya manusia berpartisipasi untuk membangun


dan mengembangkan dunia bersama Allah Sang Pencipta. Kerja adalah cara keterlibatan riil
manusia dalam seluruh rencana keselamatan dan penciptaan Tuhan yang terus berlangsung
di dalam dunia. Manusia memiliki kualitas intuitif-rasional untuk mengenal Tuhan dan
ciptaan lain. Pengenalan akan Tuhan ini memampukan manusia untuk melakukan
interpretasi-hermeneutis terhadap aktivitas kerja sebagai usaha membangun dunia demi
kemuliaan Tuhan (Allah) sendiri. Bukan sebaliknya untuk kekuasaan manusia apalagi untuk
mempertahankan dominasi absolut manusia atas alam ciptaan Tuhan yang malah terbukti

CHAR6021 – Character Building: Agama


telah merusakkan alam itu sendiri dalam wajah karut-marut krisis-krisis ekologis yang kian
menggelisahkan umat manusia dan makhluk hidup lain.

Sebagai makhluk yang mengenal Tuhan, manusia menominasikan diri sebagai


perpanjangan tangan Allah di dalam alam. Manusia mengira Tuhan menggunakan dirinya
untuk melanjutkan karya penciptaan-Nya di dalam dunia. Jika prediksi intuitif-spiritual ini
dianggap benar adanya, maka muncul suatu kesadaran religio-spiritual di lubuk hati manusia
yang terdalam untuk sadar bahwa kita manusia adalah utusan Tuhan untuk melanjutkan
karya-Nya di dunia. Untuk itu kita manusia perlu menjalankan mandat ilahi ini secara baik,
benar dan bertanggung jawab.

Pekerjaan manusia adalah wujud partisipasi manusia dalam penciptaan Tuhan.


Karena itu perlu diupayakan agar pekerjaan manusia dilakukan secara mendekati sempurna
demi menjaga kelangsungan alam dunia ini. Sejak awal penciptaan, Tuhan sudah
menciptakan dunia baik adanya, maka manusia harus bertanggung jawab penuh menjaga dan
melestarikan dunia ini melalui aktivitas kerja yang dilakukannya. Kerja adalah jawaban iman
manusia yang riil akan amanah Tuhan bagi manusia dalam memperlakukan dunia ini.

Berbagai kegiatan kerja yang tidak sesuai dengan rencana Allah, harus ditolak dengan
tegas. Rencana Allah kita nyatakan dalam nilai-nilai universal dan kesempurnaan seperti:
kebaikan, keindahan, kebenaran, keadilan, kejujuran, kemanusiaan, keharmonisan,
keselarasan, moralitas, kedamaian, dan lain sebagainya. Kerja yang tidak merealisasikan
nilai-nilai universal yang disebutkan tadi, sesungguhnya tidak sesuai dengan kehendak Allah.
Kerja apapun bentuknya haruslah mendatangkan konsekuensi-konsekuensi positif-etis bagi
manusia dan kehidupan. Pekerjaan yang mendatangkan dampak negatif-destruktif bagi
manusia, alam dan tatanan sosial masyarakat harus dihindari dan dieliminasi. Manusia harus
bekerja untuk memuliakan dan mengagungkan nama Tuhan, bukannya untuk mencari
popularitas dan kejayaan bagi diri sendiri yang egoistik. Inilah tugas ilahi manusia dalam
melakukan pekerjaannya sebagai partisipasi dalam karya penciptaan Tuhan.

Dalam konteks religiositas, kerja tidak hanya dianggap sebagai hal yang duniawi,
tetapi dimaknai dan dihayati sebagai sesuatu yang bernilai ilahi dan kudus. Kerja dimaknai
sebagai sesuatu yang suci dan ilahi. Konsekuensi logisnya yakni bahwa setiap orang beriman
(religius-spiritual) harus melakukan pekerjaannya dengan sungguh-sungguh sesuai dengan

CHAR6021 – Character Building: Agama


ajaran iman agama dan keyakinan masing-masing. Dalam konsep berpikir teologis, kerja
merupakan suatu bentuk ibadah manusia kepada Tuhan. Kerja adalah ibadah yang
diperpanjang dalam karya nyata sehari-hari.

B. PANDANGAN KHUSUS AGAMA-AGAMA TENTANG MAKNA KERJA

Banyak ajaran luhur di dalam agama-agama kita yakni Islam, Kristiani, Hindu, Budha
dan Konghucu yang membicarakan tentang makna religius kerja atau religiositas kerja.
Umumnya pandangan agama-agama menempatkan aktivitas kerja fisik manusia sebagai hal
yang bernilai religius. Kerja bukan saja fungsi teknis-mekanistik-pragmatis, melainkan
sungguh bernilai religius-spiritual-ilahiah. Melakukan pekerjaan dengan cara religius
seharusnya (das sollen) dilakukan dengan setia dan penuh rasa tanggung jawab menurut
hukum-hukum Tuhan di dalam ajaran agama-agama.

Di dalam Islam, bekerja bukan hanya soal urusan mencari uang untuk hidup
melainkan sungguh bernilai religius. Islam menekankan pentingnya niat luhur di dalam
bekerja sebagaimana dikatakan oleh Muhammad Rasulullah SAW bahwa setiap amal
perbuatan harus diiringi dengan niat dan setiap orang hanya akan mendapatkan apa yang
sudah diniatkannya. Niat di dalam bekerja itu ditempatkan sesuai dengan perintah atau
hukum Allah Swt sendiri. Banyak filsuf Islam misalnya Yusuf Qardhawi mengatakan moral
etika dan ekonomi/kerja merupakan hal yang sangat penting dalam Islam dan etika moral itu
berlaku di dalam segala aspek kehidupan (kaffah). Hal ini perlu diwujudkan dalam aktivitas
ekonomi, bisnis dan pekerjaan setiap umat Islam. Sementara itu Imam Ghazali dalam Ihya’
Ulumuddin menekankan pentingnya akhlak di dalam bekerja. Ghazali mengatakan bahwa
seorang pedagang tidak boleh hanya memfokuskan pandangannya pada dunia saja dengan
melupakan akhirat. Sebab kalau jika demikian maka umurnya sia-sia belaka. Sebaiknya orang
yang memiliki akal dianjurkan untuk menjaga modalnya yakni agama dan bisnis berdagang.
Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt ”Janganlah kamu melupakan bagianmu dari
kenikmatan dunia” (al Qashas 28:77). Dengan demikan maka tujuan utama pekerjaan dan
aktivitas ekonomi di dalam Islam bertujuan untuk kebahagiaan dunia dan akhirat (falah).
Selain pandangan di atas banyak teks lain di dalam Alquran juga yang menunjukkan tentang

CHAR6021 – Character Building: Agama


makna kerja dalam perspektif Islam yang bisa dipetik maknanya bagi kehidupan seorang
muslimah dalam melakukan pekerjaannya.

Pandangan Katolik tentang makna relgius ’kerja’ dapat ditemukan secara terperinci
di dalam Kitab Suci Alkitab dan Magisterium Gereja Katolik seperti ensiklik para paus
maupun ajaran para Bapa Gereja Katolik yang lainnya. Salah satu ensiklik terkenal yakni
”Laborem Exercens” pernah dikeluarkan oleh Paus Yohanes Paulus II berbicara tentang
makna kerja menurut Katolik. Ensiklik Laborem Exercens mengatakan bahwa manusia
adalah citra Allah yang dipanggil oleh Allah untuk bekerja mencari nafkah, menguasai ilmu
dan teknologi (iptek), membangun kebudayaan dan kemanusiaan, peduli pada masalah-
masalah sosial dan perdamaian dunia, serta melakukan pekerjaan dengan tujuan utama untuk
memuliakan Allah Pencipta (Bapa), Allah Penebus (Putera Yesus Kristus) dan Allah
Penghibur (Roh Kudus). Ensiklik juga menegaskan bahwa di dalam dunia kerja, manusia
harus diperlakukan sebagai subjek kerja dan bukan objek kerja. Kerja untuk manusia dan
bukan sebaliknya manusia untuk kerja. Ini artinya pekerjaan dilakukan untuk memanusiakan
manusia dan bukan sebaliknya untuk mengeksploitasi atau mengorbankan kemanusiaan
manusia sebagai makhluk luhur citra Allah.

Pandangan Kristen (Protestan) tentang kerja intinya dapat ditemukan di dalam Kitab
Kejadian Bab 1 di mana Allah dikatakan menciptakan manusia dan alam semesta menurut
kehendak Allah dan semua ciptaan itu baik pada awal mulanya. Tuhan memberikan perintah
kepada manusia untuk mengembangkan diri, menaklukkan bumi dan menguasai isinya
dengan cara bekerja. Tuhan memerintahkan manusia untuk beranak cucu, menaklukkan bumi
dan menguasai isinya dengan bekerja. Malah di teks Perjanjian Baru dikatakan bahwa
’barang siapa yang tidak bekerja, janganlah ia makan’. Ini artinya bahwa manusia tidak
boleh malas tetapi harus rajin dan giat dalam melakukan pekerjaannya di bidang apa saja
untuk mengembangkan diri, memajukan masyarakat dan mengembangkan kehidupan dunia
ini ke arah lebih baik sesuai dengan rencana Tuhan sendiri.

Budha sangat memperhatikan dimensi etika bekerja. Ada banyak aturan dan larangan
yang perlu diperhatikan kaum penganut Budha dalam menjalankan pekerjaannya. Di dalam
Iddhipada di sana dijelaskan kondisi-kondisi umum yang memungkinkan seseorang Budhis
sukses dalam pekerjaannya:

CHAR6021 – Character Building: Agama


1.) Chanda: kepuasan/kegembiraan dalam mengerjakan hal yang sedang dikerjakan
2.) Viriya: semangat di dalam mengerjakan sesuatu. 3.) Citta: memperhatikan dengan penuh
hati-hati hal-hal yang sedang dikerjakan. 4.) Vimasa: merenungkan dan menyelidiki alasan-
alasan dalam hal yang sedang dikerjakan. Selain itu di dalam 8 Jalan Kebenaran khususnya
mata pencaharian (samma ajiva) dikatakan mata pencaharian yang benar adalah: tidak
mengakibatkan pembunuhan, wajar, tidak berdasarkan penipuan, tidak berdasarkan ilmu
rendah (black magic). Ada juga 5 jenis perdagangan yang harus dihindari oleh orang-orang
Budha yakni: dilarang berdagang senjata, dilarang berdagang makhluk hidup termasuk
manusia, dilarang berdagang minuman keras, dilarang berdagang racun, dilarang berdagang
daging. Orang Budha perlu memperhatikan etos kerja di dalam melakukan pekerjaannya. Hal
ini di dalam Kitab Dhammapada bab 25: “Dengan usaha yang giat, penuh perhatian,
berdisiplin, dengan pengendalian diri yang kuat, maka orang bijaksana membuat pulau yang
tidak dapat dilanda oleh banjir”.

Ajaran Hindu tak kalah menariknya soal kerja. Ada banyak kutipan yang menarik
berkaitan dengan pekerjaan manusia. Bagi umat Hindu, bekerja adalah kewajiban
(swadharma), bekerja adalah suatu keharusan, baik itu karena memang perintah dari Tuhan
maupun karena tuntutan untuk kelangsungan hidup di dunia. Kutipan suci kerja menurut
Hindu kebanyakan ditemukan di dalam Bhagawadgita. “Bekerjalah demi kewajibanmu,
bukan demi hasil perbuatan itu, jangan sekali pahala menjadi motifmu dalam bekerja, jangan
pula hanya berdiam diri tidak bekerja” (Bhagawadgita II.47). “Bekerjalah seperti apa yang
telah ditentukan, sebab bekerja lebih baik daripada tidak bekerja, dan bahkan tubuh pun tidak
berhasil terpelihara jika tanpa bekerja” (Bhagawadgita III.8). “Seperti orang bodoh yang
bekerja karena keterikatan atas kerja mereka, demikianlah orang yang pandai bekerja tanpa
kepentingan pribadi (tanpa pamrih) dan bekerja untuk kesejahteraan manusia dan memelihara
ketertiban sosial“(Bhagawadgita III-25). ”Mereka mempersembahkan semua kerjanya kepada
Brahman dan, bekerja tanpa motif keinginan apa-apa, mereka tak terjamah oleh dosa, laksana
daun teratai tak basah oleh air” (BhagawadgitaV.10).

Konghucu sangat mengharga pekerjaan yang dilakukan oleh manusia sebagai


tindakan yang ditujukan kepada Thien, Tuhan. Oleh karena itu Konghucu mengajarkan 7 etos
kerja atau sikap kerja yang perlu dimiliki seorang di dalam bekerja, antara lain:

CHAR6021 – Character Building: Agama


1. Ren, murah hati, mencintai dan bersikap baik kepada sesama
2. Yi: berlaku benar dan bertanggung jawab, adil, keputusan yang benar diambil dengan
sikap yang benar berdasarkan kebenaran.
3. Yong: bersikap berani dan berlaku ksatria
4. Zhi: kebijaksanan dalam memutuskan dengan benar,
5. Cheng: sikap tulus, setulus-tulusnya, sikap sungguh-sungguh tanpa pamrih
6. Li: bersikap santun dan bertindak benar
7. Zhong: setia, loyalitas dan mengabdi

C. ASPEK-ASPEK RELIGIUS KERJA1

1. Bekerja sebagai Aktualisasi Diri

Aktualisasi diri merupakan kebutuhan kejiwaan seseorang untuk melakukan hal yang
terbaik dari apa yang bisa dia lakukan. Aktualisasi diri adalah sebuah keadaan di mana
seseorang telah merasa menjadi dirinya sendiri karena dapat mengerjakan sesuatu yang
disukainya dengan hati yang riang gembira dan penuh sukacita rohani.

Erwin Arianto (2009) mengatakan, orang yang mampu mengaktualisasikan diri,


memahami bahwa ada eksistensi lain di dalam atau di luar dirinya sendiri yang
mengendalikan perbuatan dan tindakannya untuk melakukan sesuatu. Aktualisasi diri erat
kaitannya dengan kesadaran untuk mengenali dan memperbaiki diri dan keinginan untuk
mengubah kondisi hidup ke arah yang lebih baik dari waktu ke waktu.

Abraham Maslow dalam teorinya tentang piramida kebutuhan manusia, menempatkan


aktualisasi diri di posisi titik puncak. Menurutnya aktualisasi diri merupakan salah satu
kebutuhan dasar manusia yang paling utama. Jadi, bekerja bukan hanya untuk tujuan-tujuan
material, melainkan lebih jauh merupakan sarana/alat untuk mengekspresikan kualitas rohani
di dalam diri manusia. Kerja adalah aktualisasi kualitas-kualitas utama manusia, termasuk
di dalamnya tentu kualitas religius-spiritual juga.

1
Materi ini diapdatasi dari F. Fios et all (2012). CB: Spiritual Development. Binus University: Jakarta.

CHAR6021 – Character Building: Agama


Kualitas religius-spiritual diri berkaitan erat juga dengan nilai-nilai etis-moral,
keyakinan iman-keagamaan, prinsip-prinsip dasar yang benar, harapan-harapan luhur-abadi,
kerinduan-kerinduan imaterial masa depan yang lebih baik lagi dari sekarang. Diri spiritual
adalah diri yang mau terus berefleksi dalam bekerja, diri yang mau terus memperbaiki diri,
diri yang mau terus kreatif dan berubah menjadi selalu lebih baik lagi dari waktu ke waktu.
Diri yang spiritual selalu merasa kurang dan karena itu selalu terbuka untuk belajar dan
menyempurnakan diri melalui aktualisasi kerja yang dihayatinya dalam hidup. Diri yang
spiritual selalu melihat kenyataaan hidup, mengolah dalam diri dan selanjutnya menciptakan
diri melalui aksi kreatif-aktif sebagai upaya aktualisasi diri menuju ke arah kesempurnaan
sejati dalam kerja.

2. Bekerja sebagai Panggilan Tuhan

Bekerja sebagai panggilan Tuhan memerlukan kesadaran religius untuk


mengembangkan diri menurut perintah dan hukum-hukum Tuhan. Bertolak dari kesadaran
ini, kita terus-menerus bekerja untuk memperbaiki kondisi tersebut sesuai dengan panggilan
Tuhan yang selalu bergema di dalam hati nurani kita. Bekerja sebagai panggilan Tuhan dapat
dilukiskan sebagai usaha untuk merealisasikan harapan-harapan, keinginan, dan kebutuhan
kita sendiri. Namun terlebih pekerjaan sebagai ekspresi kreatif dari keyakinan iman
keagamaan kita kepada Tuhan yang mengutus kita untuk bekerja di bidang apa saja.

Kalau Tuhan memanggil dan mengutus kita ke tempat kerja maka kita perlu percaya
pada Tuhan, percaya diri, percaya sesama rekan kerja, disiplin,bertanggung jawab, dan
memiliki kualitas integritas diri yang baik. Dengan kekayaan religius diri seperti ini, kita bisa
mengetahui kekurangan dan kelebihan diri sehingga mampu mencapai apa yang lebih baik
lagi sesuai dengan kehendak Tuhan. Kekayaan mental memampukan kita melakukan refleksi
(renungan) dan retrospeksi (melihat ke belakang) untuk melakukan retrodiksi (ramalan)
antisipatif ke masa depan yang lebih baik lagi di dalam praktik kerja kita sesuai dengan
ketentuan Tuhan.

CHAR6021 – Character Building: Agama


Makna Spiritual Kerja

Pada hemat saya, hidup dalam saat sekarang adalah kunci spiritualitas di segala
bidang, tetapi terutama di tempat kerja. Sangat mudah membiarkan pikiran mengembara dan
berjalan begitu saja selama jam-jam kerja, khususnya jika pekerjaan kita membosankan,
mengulang-ulang hal yang sama atau menjemukan (seperti yang kadang-kadang terjadi pada
jenis pekerjaan apapun). Sepenuhnya hidup dalam saat sekarang, berarti kita dapat melihat
nilai kerja yang sedang kita lakukan pada saat kita melakukannya. Akibatnya, pekerjaan
diresapi makna, pekerjaan menjadi bermakna secara spiritual.

Bagaimana dapat tetap hidup seperti itu, tentu saja merupakan persoalan besar.
Menurut hemat saya, kita dapat berbuat seperti itu dengan sebaik-baiknya jika kita
menghayati pekerjaan kita sebagai sebuah doa. Maksudnya bukan berdoa ketika kita sedang
bekerja, melainkan memandang pekerjaan sebagai sebuah panggilan spiritual (doa).

Berpikir mengenai pekerjaan saya sebagai doa, betapapun pekerjaan itu


membosankan, menjemukan, atau tidak menyenangkan-rupanya memperbesar perhatian
saya kepada hal-hal kecil dan dengan demikian secara otomatis meningkatkan mutu serta
ketelitian kerja saya. Sungguh, seandainya saya dapat melakukannya secara konsisten dan
teratur! (W.K. Bricker-penulis dan editor).

3. Bekerja dengan Baik sesuai dengan Nilai-Nilai Organisasi yang Benar

Bekerja dengan baik itu diharapkan sesuai dengan nilai-nilai luhur di dalam
organisasi. Entah itu nilai keadilan, entah itu nilai keimanan, entah itu nilai kejujuran, entah
itu nilai disiplin, entah itu nilai persaudaraan dll.Kita bekerja dengan baik sesuai dengan
nilai-nilai organisasi yang baik dan positif juga.

Bekerja dengan baik dapat juga dilihat dari sudut pandang hak dan kewajiban sebagai
pekerja, keduanya harus terlaksana dengan seimbang. Harus ada keadilan di dalam bekerja.
Karyawan wajib melakukan pekerjaan sesuai dengan aturan-normatif yang sudah ditetapkan
oleh perusahaan (pemilik usaha). Sebaliknya seorang pemilik usaha juga harus
memperhatikan hak-hak yang harus didapatkan oleh para karyawannya. Sehingga antara
karyawan dan pemilik usaha selalu berusaha untuk saling melakukan yang terbaik, berlaku
adil satu sama lain. Saling menjaga antara karyawan dan perusahaan merupakan hal yang
mulia di dalam organisasi.

Bekerja dengan baik sangat ditentukan juga oleh visi, misi, dan budaya organisasi
perusahaan di satu pihak; dan faktor budaya, tradisi, dan etos kerja bekerja di pihak lainnya.

CHAR6021 – Character Building: Agama


Di dalam bekerja kita perlu mengintegrasikan secara harmonis berbagai nilai, filosofi,
keutamaan, hak, kewajiban dan nilai rohani dan memperoyeksikannya itu ke dalam
tindakan/aksi bekerja dengan baik. Aksi bekerja dengan baik diarahkan pada pencapaian
kualitas kerja yang baik. Kualitas kerja yang baik menciptakan kedamaian, kebahagiaan dan
ketenteraman di hati karyawan sekaligus pemilik usaha. Namun di atas segalanya, bekerja
dengan baik sungguh sesuai dengan hakikat Tuhan sebagai Sang Mahabaik itu sendiri.

Julia Balzer Briley seorang perawat, pengarang, dan pembicara, dari Kota Cumming,
Georgia menulis pengalamannya terkait aspek pengembangan diri dalam kerja ini. Julia
menulis keyakinan rohaninya dalam kisah inspiratif berikut ini. ”Untuk menambah
kedalaman spiritual dalam kerja saya, saya telah menempatkan diri untuk mengikuti kursus-
kursus yang memberikan sertifikat dalam bidang perawatan secara menyeluruh. Bagian
pertama program ini adalah perawatan diri sendiri. Saya diminta untuk menelaah raga-
jiwa-roh saya sendiri. Ini juga meliputi praktikum terstruktur dalam hal-hal seperti menulis
catatan harian tentang perawatan diri dan spiritualitas kontemplatif. Irama tetap praktik
setiap hari itulah yang akan membantu kita untuk memandang dan menghayati kerja kita
sebagai jalan rohani, dan saya berusaha keras, berjuang sungguh-sungguh untuk
mewujudkan hal ini. Saya merasakan bahwa batas waktu tugas-tugas selama kursus
memberikan kepada saya struktur yang saya perlukan. Saya menjadi terbuka kepada Allah
yang berbicara kepada saya melalui intuisi saya tentang cara saya dapat membantu para
perawat dan orang lainnya yang sepanggilan untuk melihat spiritualitas kerja mereka”
(Pierce: 2010, hlm. 179).

Julia sangat menyadari diri sungguh-sungguh bahwa salah satu bagian penting dari
aspek religius kerja adalah terus-menerus mengembangkan diri dalam bidang profesi yang
digelutinya. Terus mengembangkan diri dalam profesi kerja termasuk bagian religiositas
kerja juga. Orang yang terus mengembangkan diri akan menunjukkan kualitas kerja yang
baik dan semakin tinggi pula. Kualitas kerja perlu diwujudkan dalam jenis kerja apapun
profesi yang digeluti. Benarlah pepatah menarik Martin Luther King Jr, :

CHAR6021 – Character Building: Agama


”Jika orang dipanggil menjadi penyapu jalan, ia harus menyapu jalan

tidak ubahnya seperti Michel Angelo melukis,atau Beethoven menggubah musik,

atau Shakespeare menulis puisi.Ia harus menyapu jalan dengan sedemikian baiknya,

sehingga segenap penghuni surga dan bumi akan berhenti sejenak dan berkata:

Hiduplah seorang penyapu jalan yang besaryang melaksanakan pekerjaannya


dengan baik” (Pierce: 2010, hlm. 78).

Pekerjaan itu tidak perlu dibandingkan. Karena semua orang yang bekerja di dalam
perusahaan atau organisasi sama-sama memainkan perannya untuk kepentingan bersama.
Karena itu semua pekerjaan baik adanya. ”Jika Anda membandingkan pekerjaan dengan
pekerjaan, maka ada perbedaan besar antara pekerjaan mencuci piring dan pekerjaan
mewartakan firman Tuhan, tetapi dalam hal menyenangkan hati Allah, kedua pekerjaan itu
sama sekali tiada bedanya” (William Tyndale).

10 Cara Agar Kerja Dapat Bersifat Rohani

Cara 1: Meletakkan barang-barang ”Suci” di sekililing Anda !

Cara 2: Hidup dengan menerima sifat tidak sempurna

Cara 3: Menjamin mutu

Cara 4: Mengucapkan terima kasih dan selamat

Cara 5: Membangun dukungan dan persaudaraan

Cara 6: Memperlakukan orang lain seperti Anda ingin diperlakukan

Cara 7: Memutuskan apa yang ”Cukup” dan berpegang teguh pada keputusan Anda

Cara 8: Menyeimbangkan berbagai tanggung jawab

Cara 9: Bekerja untuk membuat ”Sistem” berjalan dengan baik

Cara 10: Terus-menerus mengembangkan pribadi dan profesi (Gregory Pierce)

CHAR6021 – Character Building: Agama


D. MENGHAYATI MAKNA RELIGIUS KERJA

1. Bersikap Disiplin dalam Bekerja

Untuk melakukan pekerjaan sampai tuntas, sangat dibutuhkan sikap disiplin.


Tanpa sikap disiplin, orang akan sulit menyelesaikan pekerjaannya hingga selesai. Disiplin
adalah salah satu nilai penting yang perlu dihayati seorang karyawan di bidang profesi apa
saja entah sosial dan ekonomi maupun politik dan pemerintahan. Pekerjaan apa saja tidak
mungkin berhasil efektif tanpa adanya sikap disiplin. Sikap disiplin kerja, entah itu disiplin
waktu, disiplin terhadap peraturan perusahaan (top-down), maupun disiplin terhadap
komitmen bersama tim kerja (bottom-up) sangat berkaitan erat dengan hal-hal bernilai yang
seharusnya dihayati seorang pekerja (karyawan/manajer) di lingkungan perusahaan atau
tempat kerja.

Menurut Hodges (Yuspratiwi:1990) disiplin adalah sikap seseorang atau sekelompok


orang yang berniat mengikuti aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh suatu lingkungan
kerja. Disiplin kerja adalah suatu sikap dan tingkah laku yang menunjukkan ketaatan atau
kepatuhan karyawan terhadap peraturan perusahaan atau organisasi. Tanpa didasari dengan
kedisiplinan maka tujuan perusahaan sulit tercapai, sebab roda perusahaan sangat tergantung
pada perilaku disiplin manusia-manusia yang bekerja di dalamnya.

Sikap dan perilaku taat peraturan/norma perusahaan muncul dari dalam hati nurani
karyawannya. Hal ini mengandaikan adanya kesadaran diri yang tinggi dari karyawan dalam
bekerja. Sikap disiplin kerja biasanya ditandai oleh adanya berbagai inisiatif, usaha, niat,
kemauan, dan kehendak baik untuk mentaati peraturan dengan ikhlas dan loyal. Karyawan
yang berdisiplin tinggi, tidak semata-mata patuh/ taat terhadap peraturan secara kaku dan
mati, tetapi terlebih berkehendak (berniat) baik untuk menyesuaikan diri dengan peraturan-
peraturan perusahaan. Ini artinya seorang karyawan perlu bersikap rendah hati untuk taat
aturan perusahaan yang ada demi kebaikan dirinya sendiri. Aturan sebetulnya ada untuk
melindungi kebaikan pribadi karyawan itu sendiri.

Avin Vadilla Helmi (Buletin Psikologi 1996) menunjukkan tiga (3) indikator disiplin
kerja sebagai berikut:

CHAR6021 – Character Building: Agama


a). Disiplin kerja tidak semata-mata patuh dan taat terhadap penggunaan jam kerja saja,
misalnya datang dan pulang sesuai dengan jadwal, tidak mangkir jika bekerja, dan tidak
mencuri-curi waktu saja.

b). Upaya dalam mentaati peraturan tidak boleh didasarkan adanya perasaan takut atau
terpaksa.

c). Komitmen dan loyal pada perusahaan tercermin dari bagaimana sikap dalam bekerja.

Alvin menambahkan bahwa yang sering menunjukkan ketidakdisiplinan terlihat dari


tingkat absensi yang tinggi, penyalahgunaan waktu istirahat dan makan siang, meninggalkan
pekerjaan tanpa ijin, membangkang, tidak jujur, berjudi, berkelahi, berpura-pura sakit, sikap
manja yang berlebihan, merokok di tempat terlarang, dan perilaku yang menunjukkan
semangat kerja yang rendah. Ini sikap-sikap negatif kontradisiplin yang perlu diinsafi oleh
para karyawan dalam dunia profesi apa saja.

Umumnya perusahaan memberikan ganjaran dan hukuman (reward and punisment)


untuk memperlancar penerapan peraturan perusahaan. Bagi karyawan yang terus-menerus
menjalankan peraturan perusahaan diberikan ganjaran (reward), sebaliknya karyawan yang
melanggar peraturan diberikan hukuman (punishment) untuk menimbulkan efek jera dan
perbaikan kinerja. Para pimpinan perusahaan sering kali dalam banyak kesempatan
mengungkapkan kata-kata bijak dalam pertemuan-pertemuan: “Give the best to corporation,
and the best will return to you”.

Disiplin terhadap komitmen bersama tim kerja (bottom-up) berbeda dengan disiplin
terhadap peraturan perusahaan. Kegiatan perusahaan bukanlah kegiatan yang bersifat
individual semata, melainkan juga membutuhkan disiplin terhadap komitmen kelompok tim
kerja. Tim-tim kerja akan menghasilkan pekerjaan yang optimal jika setiap anggota
kelompok dapat memberikan andil yang sesuai dengan hak dan tanggung jawab
masing-masing. Kaitan antara disiplin terhadap peraturan perusahaan secara top-down dengan
disiplin kelompok (tim kerja) secara bottom-up sebagai upaya saling melengkapi dan saling
menunjang. Disiplin dari pimpinan tertinggi perusahaan ke bawah (top-down) tidak dapat
dikembangkan secara optimal tanpa dukungan disiplin kelompok yang dibangun oleh tim
kerja dari karyawan yang paling rendah hingga pimpinan yang tertinggi.

CHAR6021 – Character Building: Agama


Disiplin di tempat kerja tidak hanya semata-mata patuh atau taat terhadap sesuatu
yang kasat mata, seperti penggunaan seragam kerja, datang dan pulang sesuai jam kerja,
tetapi juga patuh dan taat terhadap sesuatu hal yang tidak kasat mata tetapi melibatkan
komitmen, baik dengan diri sendiri ataupun dengan organisasi (kelompok kerja).

Disiplin

Dalam pekerjaan kita sehari-hari, kita harus juga menjadi pencipta dunia, lebih baik
memberikan perhatian kepada apa yang sedang kita lakukan-mempertanyakan nilai, maksud,
proses kerja, dan juga sarana-sarana serta tujuan-tujuan dari kerja kita. Kita perlu sedikit
disiplin untuk hal-hal ini.

Tidak mudah melihat kesempatan-kesempatan untuk mengambil bagian dalam hidup ilahi
bila menghadapi sekian banyak telepon yang belum dijawab pada daftar tugas sehari-hari
kita, terjadinya gangguan pada komputer, laporan yang harus segera diselesaikan, dan klien
yang marah-marah di telepon. Salah satu hal yang dapat dilakukan ialah memperjelas
tujuan-tujuan kita ketika kita sedang tidak bekerja. Kita perlu berpikir-ketika sedang tidak
bekerja-baik itu penyair, pencetak, pedagang, pengajar, pengacara, perawat, penjaga parkir,
pramuniaga, pastor/pendeta/ustad/biksu, pengusaha, manejer, direktur, ataupun wartawan
yang bagaimanakah yang menjadi keinginan kita? Disiplin berpikir seperti ini dapat
membangkitkan sikap sadar yang lebih tinggi ketika kita kembali ke tengah hingar-bingar
tempat kerja kita. Bagaimana memberikan perhatian yang dapat meningkatkan kesadaran
kita akan yang ilahi/transenden? Keduanya merupakan hal yang sama (Michael Coyne).

2. Melaksanakan Kerja sesuai dengan Sistem Nilai dan Lingkungan

Dalam bekerja orang cenderung bertindak berdasarkan nilai-nilai dasar yang diyakini
dan dianutnya. Hal ini terkait erat dengan masalah sistem nilai. Sistem nilai yang dianut akan
terlihat jelas dari sikap yang tercermin dalam perilaku seseorang. Menurut Kelman
(Brigham: 1994), perubahan sikap ke dalam perilaku terdiri dari tiga (3) tingkatan yaitu
disiplin dalam pelaksanaan kerja karena kepatuhan, disiplin pelaksanaan karena identifikasi,
dan disiplin pelaksanaan kerja karena internalisasi.

Kepatuhan kerja terhadap aturan-aturan yang didasarkan atas dasar perasaan takut
dilakukan semata untuk mendapatkan reaksi positif dari pimpinan perusahaan atau atasan
yang memiliki wewenang. Sebaliknya, jika pengawas tidak ada di tempat kerja, maka disiplin
kerja tidak tampak sama sekali. Seorang karyawan akan bersikap pura-pura atau munafik.

CHAR6021 – Character Building: Agama


Ia kurang sadar dalam bekerja dan ini tanda ketidakdewasaan karyawan. Inisiatif, visi dan
kreativitas sulit diharapkan dari tipe karyawan seperti ini. Kepatuhan akan aturan kerja yang
didasarkan pada identifikasi adalah adanya perasaan kekaguman atau penghargaan pada
pimpinan. Pemimpin yang karismatik adalah figur yang dihormati, dihargai, dan sebagai
pusat identifikasi. Karyawan menunjukkan disiplin terhadap aturan-aturan organisasi bukan
disebabkan karena menghormati aturan tersebut, tetapi lebih disebabkan karena keseganan
pada atasannya. Karyawan merasa tidak enak jika tidak mentaati peraturan. Penghormatan
dan penghargaan karyawan pada pemimpin dapat disebabkan karena kualitas kepribadian
yang baik atau mempunyai kualitas profesional yang tinggi di bidangnya. Jika pusat
identifikasi ini tidak ada, maka disiplin pelaksanaan kerja akan menurun dan pelanggaran pun
meningkat frekuensinya di tempat kerja.

Maka sebetulnya setiap karyawan harus bisa menghayati kerja sampai pada level
internalisasi nilai ini. Internalisasi menjadi ukuran kedewasaan sikap, kematangan
kepribadian dan kompetensi kerja yang ideal. Hal ini mengandaikan adanya kemampuan
untuk memaknai kerja secara spiritual, jika tidak, maka kerja yang dilakukan akan kehilangan
makna dan relevansi positifnya bagi organisasi.

3. Berani Menanggung Risiko Kerja

Seorang pekerja, baik sebagai karyawan maupun pimpinan (manejer) harus berani
menghadapi risiko kerja. Risiko kerja memiliki konsekuensi luas, alternatif ganda, akibat
berbeda, tak pasti, dan efek yang sering kali bersifat personal.

Konsekuensi luas maksudnya keputusan etis membawa konsekuensi yang besar.


Misalnya, karena menyangkut masalah etika bisnis terkait pencemaran lingkungan maka
manejemen memutuskan penutupan suatu perusahaan dan pindah ke tempat lain yang jauh
dari tempat tinggal karyawan. Hal itu akan berpengaruh terhadap kehidupan karyawan,
keluarganya, masyarakat dan urusan lainnya.

Alternatif ganda maksudnya, beragam alternatif sering terjadi pada situasi


pengambilan keputusan dengan jalur di luar aturan (extra ordinary). Sebagai contoh,
perusahaan memutuskan seberapa jauh keluwesan dalam melayani karyawan tertentu dalam
hal persoalan keluarga sementara terhadap karyawan lain menggunakan aturan yang ada.

CHAR6021 – Character Building: Agama


Akibat berbeda maksudnya, keputusan-keputusan dengan dimensi-dimensi etika
bisa menghasilkan akibat yang berbeda yang positif dan negatif. Misalnya mempertahankan
pekerjaan beberapa karyawan di suatu pabrik dalam waktu relatif lama mungkin akan
mengurangi peluang para karyawan lainnya untuk bekerja di pabrik itu. Di satu sisi keputusan
itu menguntungkan perusahaan tetapi dari pihak karyawan justru dirugikan.

Ketidakpastian konsekuensi maksudnya, akibat keputusan-keputusan sering kali


tidak diketahui secara tepat. Misalnya pertimbangan penundaan promosi pada karyawan
tertentu yang hanya berdasarkan pada gaya hidup (life style) dan kondisi keluarganya padahal
karyawan tersebut benar-benar kualified secara personal dan profesional.

Efek personal maksudnya keputusan-keputusan tak etis sering mempengaruhi


kehidupan karyawan dan keluarganya, misalnya akibat pemecatan di samping membuat sedih
si karyawan juga akan membuat susah keluarganya. Kasus lain misalnya kalau para
pelanggan asing tidak menginginkan dilayani oleh “sales” wanita maka akan berpengaruh
negatif pada masa depan karir para “sales” tersebut.

4. Bekerja dengan Penuh Kebebasan

a). Bebas dalam Konteks Etika Religius Kerja

Etika religius kerja (ERK) adalah prinsip normatif yang mengandung sistem nilai dan
keyakinan moral religius sebagai pedoman bagi setiap individu baik sebagai manejer
maupun karyawan dalam melaksanakan pekerjaannya di tempat kerja.

Kebijakan manejemen terhadap karyawan mesti berlandaskan etika atau nilai-nilai


yang etis dan baik. Sebagai contoh, misalnya keadilan dan keterbukaan dalam hal
kompensasi, karir, dan evaluasi kinerja karyawan. Termasuk dalam menerapkan gaya
kepemimpinan yang integratif. Jadi, setiap keputusan etika dalam perusahaan tidak saja
dikaitkan dengan kepentingan pihak manejemen, tetapi juga perlu melihat akibat baiknya
untuk pribadi si karyawan di masa depannya.

Masalah kompleks yang sering dihadapi oleh para manejer adalah dalam menghadapi
tingkah laku para karyawan. Keadaan ini bisa menjadi tekanan dan bahkan tantangan dalam

CHAR6021 – Character Building: Agama


menerapkan aspek etika kerja seperti ketidak-jujuran, ketidak-disiplinan, ketidak-adilan,
kecurangan pertanggung-jawaban administrasi, keegoan dsb. Karena itu muncul perhatian
besar bagaimana caranya agar para karyawan dan tentunya juga manajer bekerja dengan
standar etika tertentu.

Etika religius kerja karyawan terpancar keluar dari keyakinan imannya tentang
nilai-nilai kebijaksanaan utama dalam bekerja. Karyawan yang memiliki kualitas religius
yang cukup memadai akan bekerja dengan penuh tanggung jawab, adil dan jujur, loyal, ulet
dan setia pada pekerjaannya. Etika religius kerja memotivasi karyawan untuk bekerja
berlandaskan nilai-nilai keyakinan rohani daripada berorientasi pada motivasi-motivasi
materialistik belaka seperti uang, kuasa, ambisi, popularitas dan sebagainya. Etika religius
kerja mewajibkan karyawan mengabdi pada pekerjaannya semata-mata sebagai hal yang
bernilai rohani tanpa memiliki vested interested (kepentingan khusus) atau pun hidden
agenda (agenda terselubung) tertentu yang picik dan murahan.

b). Bebas dalam Konteks Etika Religius Bisnis

Etika religius bisnis (ERB) adalah suatu prinsip etis-moral, religius-spiritual yang
harus diikuti apabila menjalankan bisnis atau usaha di bidang apa saja. Bisnis dimaknai
sebagai segala aktivitas produktif untuk mendapatkan keuntungan, uang atau modal. Maka
ruang lingkup bisnis bisa mencakup bidang apa saja seperti ekonomi, sosial, politik, hukum,
dan praktik kerja profesional apa saja yang mendatangkan kegunaan pragmatis dari sisi
uang/modal. Etika religius bisnis mengalir dan meresapi bidang kerja manusia dalam ranah
publik dan tatanan sosial.

Keputusan perusahaan tanpa etika religius bisnis, biasanya timbul jika pengambilan
keputusan hanya untuk menguntungkan pihak perusahaan, tanpa mempedulikan tanggung
jawab sosial pada kemanusiaan. Praktik bisnis yang tidak etis-religius dapat berpengaruh
buruk terhadap citra perusahaan. Karena perusahaan bisa saja mencapai untung besar namun
memperlakukan karyawan secara tidak adil dan tidak manusiawi. Sehingga melecehkan
martabat karyawan sebagai makhluk Tuhan yang bermartabat luhur. Maka di sini perlulah
dikembangkan sebuah model etika bisnis yang berkarakter religius di dalam perusahaan.

CHAR6021 – Character Building: Agama


Dalam membangun etika bisnis kita, dalam membantu menciptakan kebudayaan
bersama, dalam menegakkan semangat interaksi dengan sesama rekan kerja dan anggota
keluarganya, dalam segala sesuatu yang kita lakukan, kita diajar untuk ”melakukan segala
sesuatu demi kemuliaan Allah” (Pierce: 2010, hlm. 13). Pelaksanaan etika religius bisnis
perlu diarahkan bukan untuk sekedar untuk memenuhi standar formal-normatif, melainkan
terlebih dilaksanakan dalam semangat kesadaran rohani untuk meluhurkan dan memuliakan
Tuhan (Allah). Etika religius bisnis perlu ditransendensasikan nilai dan maknanya secara
rohani. Jadi, bukan soal praktik aturan/norma standar yang mengatur hubungan formal
manusiawi saja. Namun perlu diproyeksikan maknanya pada nilai yang lebih tinggi, lebih
luhur, lebih agung yakni tindakan religius untuk memuliakan Tuhan. Semua kebijakan, aturan
dan hukum bisnis mesti dilihat sebagai inkarnasi dari hukum rohani tertinggi yang berasal
dari Tuhan sendiri. Kalau hukum Tuhan adalah hukum tertinggi dalam hidup manusia,
mestinya perusahaan takut melakukan kegiatan bisnis yang merugikan pihak lain: baik
manusia maupun lingkungan. Pelaksanaan dan implementasi hukum-normatif dalam
perusahaan harus membawa efek positif-etis bagi semua komponen.

Selain implementasinya yang diperuntukkan bagi karyawan, etika religius bisnis juga
perlu menjamin tanggung jawab sosial perusahaan terhadap pelanggan. Realisasinya dapat
diekspresikan melalui penciptaan kode etik relasi perusahaan dengan klien, menampung
aspirasi/keluhan mereka, dan meminta umpan balik (feed back) dari pelanggan. Di sini kita
belajar untuk mendengarkan saran dan masukan dari bawah, dari pihak pelanggan. Sebuah
“spiritualitas mendengarkan” aspirasi arus bawah penting diperhatikan.

5. Bekerja dengan Otonom (Mandiri)

a). Memahami Ruang Lingkup Kerja dengan Baik

Dari segi manajemen sumber daya manusia (SDM), ada delapan (8) ruang lingkup
kerja dalam suatu perusahaan yaitu: perencanaan tenaga kerja, rekrutmen, seleksi dan
penempatan, pelatihan dan pengembangan, penilaian prestasi kerja, konpensasi,
pemeliharaan, dan pemutusan hubungan kerja.

Perencanaan tenaga kerja disusun untuk menjamin kebutuhan tenaga kerja perusahaan
terpenuhi secara konstan dan memadai. Oleh sebab itu perencanaan ini tergantung kepada

CHAR6021 – Character Building: Agama


analisis kebutuhan tenaga kerja yang ada. Proyeksi tenaga kerja disusun setiap tahun untuk
diusulkan kepada Biro Personalia (talent management) .

Rekrutmen dilakukan bila perusahan memerlukan tenaga kerja baru. Rekrutmen bisa
dilakukan dengan penyampaian dari mulut ke mulut apabila karyawan baru yang dibutuhkan
hanya beberapa orang. Bila membutuhkan karyawan baru lebih dari 10 orang maka
pengumuman rekrutmen dapat disampaikan melalui iklan di media masa atau bekerja sama
dengan mitra perusahaan perekrutan.

Seleksi dan penempatan tenaga kerja bisa melalui empat (4) tahap yaitu: menilai
formulir lamaran, mewawancarai, menggunakan tes lainnya bila perlu, dan memperoleh
referensi.

Pelatihan dan pengembangan dimaksudkan untuk memperbaiki dan mengembangkan


sikap, perilaku, keterampilan, dan pengetahuan para karyawan sesuai dengan visi misi
perusahaan. Kegiatan pelatihan dan pengembangan dilaksanakan bagi karyawan baru,
maupun karyawan lama. Pelatihan dimaksudkan juga untuk menyesuaikan sikap, perilaku,
keterampilan dan pengetahuan karyawan dengan tuntutan zaman.

Penilaian prestasi kerja dilaksanakan untuk menilai seorang karyawan secara akurat
untuk memperoleh dasar pengambilan keputusan promosi, mutasi, demosi atau penurunan
pangkat, dan pemutusan hubungan kerja (PHK).

Konpensasi atau balas jasa adalah pemberian penghargaan langsung maupun tidak
langsung kepada para karyawan. Adapun jenis-jenis konpensasi itu adalah konpensasi gaji
atau upah dan evaluasi jabatan.

Pemeliharaan dilakukan setelah karyawan diterima melalui rekrutmen. Hal-hal yang


bisa membantu pemeliharaan kemampuan dan sikap-sikap karyawan adalah membantu
pemeliharaan fisik dan mental mereka seperti pelatihan, rapat kerja (raker), rekreasi bersama,
perumahan, transportasi, dan sebagainya.

Pemutusan hubungan kerja dapat terjadi karena kemauan karyawan, kemauan


perusahaan atau kemauan kedua belah pihak. Alasan-alasan pemutusan hubungan kerja
antara lain bisa karena sikap-sikap tidak terpuji seorang karyawan misalnya tidak jujur, tidak

CHAR6021 – Character Building: Agama


mampu bekerja, malas, pemabuk, tidak patuh, mangkir, tidak disiplin, dan lainnya.
Selain itu pemutusan hubungan kerja juga dapat dilakukan karena keadaan yang tidak
terelakkan misalnya usia lanjut, meninggal, sakit-sakitan terus menerus, perampingan
perusahaan, dan sebagainya.

Setiap karyawan yang bekerja pada perusahaan perlu memahami ruang lingkup
kerjanya dengan baik. Ia merasa diri perlu belajar, melatih diri dan mengembangkan diri
secara maksimal di tempat kerja. Orang seperti ini akan bertindak tepat dalam
mengembangkan pekerjaannya. Ia tidak ragu-ragu menolak dan menyatakan “tidak” pada
suatu pekerjaan yang tidak baik, tidak bermoral dan tidak religius. Orang yang memahami
ruang lingkup kerja dengan baik memiliki motivasi spiritual yang kukuh dan berani
menentukan sendiri pilihan-pilihan positif dan baik yang patut dikedepankan untuk
memajukan perusahaan ke arah kebaikan dan kesempurnaan. Ia mampu menahan dan
mengendalikan diri terhadap godaan-godaan tidak etis di tempat kerja untuk melakukan
tindakan kontraproduktif yang merusakkan diri maupun perusahaan. Termasuk di dalamnya
godaan materi uang (korupsi), seks (pelecehan seksual) dan kuasa (penyalahgunaan
kekuasaan).

b). Percaya Diri

Secara pesikologis, semua orang tentu pernah mempunyai masalah dengan aspek
percaya diri ini. Ada tipe orang yang merasa telah kehilangan rasa kepercayaan diri di hampir
keseluruhan dimensi hidupnya. Mungkin terkait dengan soal krisis diri, depresi, hilang
kendali, merasa tak berdaya menatap sisi cerah masa depan dan lain-lain. Ada juga orang
yang merasa belum percaya diri dengan apa yang dilakukannya atau dengan apa yang
ditekuninya. Ada juga orang yang merasa kurang percaya diri ketika menghadapi situasi atau
keadaan tertentu.

Percaya diri merupakan salah satu aspek kepribadian yang sangat penting dalam
kehidupan manusia. Orang yang percaya diri yakin atas kemampuan mereka sendiri serta
memiliki harapan yang realistis, bahkan ketika harapan mereka tidak terwujud, mereka tetap
berpikiran positif dan dapat menerimanya dengan ikhlas serta gigih berjuang mencapainya.

CHAR6021 – Character Building: Agama


Orang yang punya kepercayaan diri rendah atau kehilangan kepercayaan diri,
memiliki perasaan negatif terhadap dirinya, memiliki keyakinan lemah terhadap kemampuan
dirinya, dan punya pengetahuan yang kurang akurat terhadap kapasitas yang dimilikinya.
Orang yang memiliki kepercayaan rendah cepat atau lambat akan menjadi momok atau
pencipta masalah di dalam perusahaan. Karena mereka bisa saja tidak maksimal dalam
bekerja. Dan ini tentu akan merugikan diri, rekan lain maupun pihak perusahaan. Orang yang
tidak percaya diri bisa berpeluang untuk menjadi pribadi yang negatif di lingkungan kerja.
Apalagi kalau memiliki perasaan pesimisme tinggi di tempat kerja.

Orang yang kurang percaya diri di tempat kerja akan tampil sebagai pribadi yang
merusakkan sistem-sistem kerja yang ada. Mereka tidak akan mengembangkan profesi secara
etis, tetapi mencari pangkat atau kedudukan dengan cara tidak sehat. Ia bisa melakukan
hal-hal tidak etis di tempat kerja (curang) untuk menutupi kondisi kurang terampil (unskill)
dan kecakapan dirinya. Cuatan keluarnya bisa dalam bentuk sikap mencari muka dengan
atasan, munafik atau pura-pura, asal bos senang (ABS), konspirasi atau sekongkol untuk
menjatuhkan orang rekan kerja, menyebar gosip atau fitnah pada orang lain untuk
mendapatkan posisi tertentu dan sebagainya. Seharusnya kalau orang memiliki skill yang
memadai, ia tidak akan mudah mencari kepentingan tertentu di tempat kerja dengan cara-cara
licik, keji, tidak santun, tidak religius, tidak bermoral.

Maka dari itu, rasa percaya diri sangat mempengaruhi kebebasan dan otonomi kerja
seseorang di tempat kerja. Sekalipun peluang begitu besar untuk meniti karier di perusahaan
tempat kerja tetapi, kalau Anda menghadapinya dengan kurang percaya diri, maka jalan
menuju pintu gagal menjadi semakin terbuka lebar. Sebaliknya, meski begitu banyak
tantangan dan hanya memiliki peluang yang kecil untuk melanjutkan jenjang karir yang lebih
tinggi di tempat bekerja, kalau kita hadapi dengan penuh percaya diri maka kemungkinan
berhasil menjadi lebih besar. Kepercayaan diri memberikan energi perkembangan dan
moralitas kepada seseorang untuk bertumbuh ke arah pribadi yang berkarakter positif.
Pribadi yang percaya diri akan selalu menjadi pribadi yang optimistis.

Kita perlu memupuk dan mengembangkan semangat kepercayaan diri di tempat kerja
dengan cara-cara yang fair, profesional, bermoral-etis serta didukung oleh semangat spiritual
yang memadai. Hanya dengan itu kepercayaan diri kita di tempat kerja tidak bersifat negatif,

CHAR6021 – Character Building: Agama


melainkan bersifat positif-konstruktif bagi diri kita dan orang lain serta perusahaan atau
organisasi.

Kepercayaan diri di tempat kerja harus ditempatkan di atas dasar usaha menciptakan
kebahagiaan bukan hanya bagi diri sendiri, melainkan juga menciptakan kebahagiaan bagi
sesama. Kita mencapai kebahagiaan (dan kesuksesan) dengan memperhatikan hukum-hukum
kepatutan dan etika yang bersifat umum sehingga bisa mendatangkan manfaat yang berguna
dalam konteks kerja. Kita tidak boleh mencapai kebahagiaan (kesuksesan) di tempat kerja
dengan menciptakan ketidak-bahagiaan bagi sesama. Kita harus mencapai kebahagiaan
dengan ikut membahagiakan sesama juga. Kita sukses, sesama pun sukses! Dan ini hanya
mungkin jika ada hukum cinta kasih pada sesama dalam pelaksanaan kerja kita sehingga
pekerjaan tidak mengalienasi manusia yang satu dengan manusia yang lain di tempat kerja.
Lingkungan kerja harus menciptakan kondisi yang kondusif bagi karyawan untuk bekerja
dengan kebebasan yang berdampak positif bagi perusahaan dan dirinya.***

“Tidak ada yang dapat memaksa saya menjadi bahagia dengan caranya (seperti ia
membayangkan kebahagiaan itu bagi orang lain). Setiap orang boleh mencari
kebahagiaannya dengan jalannya sendiri. Jalan yang akan membantunya hanya jika ia tidak
menginjak kebebasan orang lain (hak orang lain). Yaitu kebebasan untuk mendapatkan
tujuan yang sama, kebebasan yang dapat tumbuh bersama dengan kebebasan setiap orang
berdasarkan suatu hukum umum” (Immanuel Kant).

CHAR6021 – Character Building: Agama


KESIMPULAN

Bekerja bukan hanya untuk mencari makan. Dengan bekerja, secara religius,
sebenarnya manusia berpartisipasi untuk membangun dan mengembangkan dunia bersama
Allah Sang Pencipta. Kerja adalah cara keterlibatan riil manusia dalam seluruh rencana
keselamatan dan penciptaan Tuhan yang terus berlangsung di dalam dunia. Dengan demikian
maka pekerjaan harus dihayati sebagai panggilan, dan kalau sebagai panggilan berarti harus
dilakukan dengan baik. Bekerja juga merupakan bentuk aktualisasi diri, maka kalau mau
mengenal seseorang dengan baik maka lihatlah bagaimana ia bekerja, apakah ia bekerja
dengan baik atau tidak.

CHAR6021 – Character Building: Agama


DAFTAR PUSTAKA

Alquran (Kitab Suci Islam), Alkitab (Kitab Suci Katolik dan Kristen Protestan), Kitab Weda
(Kitab Suci Hindu), Kitab Tripitaka (Kitab Suci Budha), Kitab Wu Jing & Si Shu
(Kitab Suci Konghucu) dan ajaran/diktrin suci agama masing-masing yang relevan.

Ensiklik Laborem Exercens” dikeluarkan oleh Paus Yohanes Paulus II tentang Makna Kerja
menurut Pandangan Katolik. Vatikan: Sekretariat Kepausan.
Frederikus Fios (2012). CB: Spiritual Development. Jakarta: Bina Nusantara University.
Hubert Leteng (2005). “Filsafat dan Spiritualitas” dalam Jurnal Ledalero Vol. 4 No. 2.
Maumere: Penerbit Ledalero
https://www.islampos.com/arti-bekerja-dalam-islam-25564/

http://ajaransosialgerejakatolik.blogspot.co.id/2012/03/laborem-exercens-dengan-
bekerja.html

http://majalahhinduraditya.blogspot.co.id/2013/05/bekerja-menurut-hindu.html
http://confucius-rohaniwan.blogspot.co.id/2009/12/7-etos-kerja-dalam-perspektif-agama.html

CHAR6021 – Character Building: Agama

Anda mungkin juga menyukai