Week 1
1
Materi ini merupakan sintesis antara Antonius Atosokhi Gea, Noor Rachmat dan Antonia Wulandari (2004).
CB III: Relasi dengan Tuhan. Elex Media Komputindo: Jakarta; dengan Frederikus Fios et all (2012). CB:
Spiritual Development. Jakarta: CBDC Bina Nusantara University.
Agama pada dasarnya merupakan sikap dasar manusia (beriman) yang seharusnya
kepada Tuhan. Agama mengungkapkan diri dalam sembah bakti yang sepenuh hati atas dasar
iman kepada Tuhan. Agama adalah wadah yang mengatur berbagai hal yang
dikembangan/ditata untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhan. Dengan demikian
maka agama beda dengan iman. Agama itu lebih condong kepada
institusional/organisasi/kelompok orang. Sedangkan iman lebih bersifat pribadi/individual
sebagai tanggapan manusia atas undangan/wahyu Tuhan. Bagaimana cara manusia
memberikan tanggapan/jawaban atas wahyu/sapaan Tuhan itulah yang kemudian diatur,
diarahkan dan dikembangkan di dalam agama. Jadi, agama lebih merupakan
wadah/lembaga/institusi yang mengatur bagaimana iman diekspresikan.
Pada umumnya, orang yang beragama biasanya memiliki iman yang dianut di dalam
agamanya itu. Agama dan iman mestinya berjalan seiring sejalan dalam kehidupan manusia
baik sebagai makhluk pribadi maupun sosial. Agama semestinya disinergikan dengan iman
sehingga seseorang sungguh bisa memiliki agama dan beriman dengan baik dan benar pula.
Idealnya orang beragama seharusnya memiliki iman yang baik sesuai dengan ajaran-ajaran
luhur yang diatur di dalam tatanan agama yang dianutnya entah Islam, Katolik, Protestan,
Hindu, Budha, Konghucu dll.
Dipandang dari perspektif linguistik, terminologi “agama” diadopsi dari kata din
(bahasa Arab dan Semit). Sedangkan dalam bahasa-bahasa Eropa, agama searti dengan kata
religion (Inggris), la religion (Perancis), de rielegie (Belanda), die Religion (Jerman). Agama
berasal dari bahasa Sanskerta yang mempunyai arti “tidak pergi, tetap di tempat, turun-
temurun”. Sedangkan makna dari kata din adalah menguasai, menaklukkan, patuh, utang,
balasan, atau kebiasaan”.
Sebagai konsekuensi logisnya, maka menjadi tidak gampang bagi kita untuk
merumuskan satu konsep tunggal yang seragam tentang arti dari terminologi agama itu.
Mengapa? Karena term agama dipahami dan dihayati oleh berbagai kelompok masyarakat di
berbagai belahan dunia ini dengan latar belakang kehidupan yang kompleks dari dimensi
perilaku, keyakinan, struktur organisasi, simbol dan tradisi budaya khas-unik. Sejauh ini
berbagai disiplin ilmu memberikan definisi yang beragam dan variatif. Penelitian-penelitian
B. TERMINOLOGI IMAN
Apa itu Iman? Secara etimologis dalam bahasa Arab, kata ”iman”berarti: percaya,
merasa aman. Arti ini sejalan dengan pengertian kata Ibrani dalam Perjanjian Lama, ”emuna’,
’he emin’ yang berasal dari kata ’mn’ yang berarti tetap. Kata Ibrani ini memiliki padanannya
dalam bahasa Yunani sebagaimana terdapat dalam Septuaginta. Dalam Bahasa Yunani ada
kata ’pistis’ yang artinya memberikan kepercayaan kepada seseorang. Kata ini merupakan
rumpun dari kata ’peithomai’ yang artinya: percaya kepada, mengandalkan seseorang,
mempercayakan diri kepada. Ada juga unsur Semit lain, yaitu kata ’batah’ yang artinya
mengandalkan seseorang, percaya kepada.
Baik kata Arab ’Iman’ maupun kata Ibrani dan Yunani tadi sama-sama berkaitan
dengan kata ’aman’, keamanan. Di dalam kata-kata itu terdapat pengertian mantap, teguh,
kokoh, stabil dan tidak tergoncangkan (Gea: 2004, hal. 63-64). Dalam konteks keyakinan
keagamaan, terminologi iman dipahami sebagai percaya di dalam batin/hati, pasti tentang
sesuatu, pasti tentang Tuhan dan wahyuNya. Artinya seseorang yang beriman tidak ragu
Sudah disinggung pada bagian sebelumnya bahwa sangat sulit merumuskan satu
definisi yang lengkap dan memuaskan tentang agama. Karena itulah para peneliti bidang
agama lebih memilih untuk menkonsentrasikan diri pada karakter dasar atau elemen umum
yang terdapat pada semua agama yang dihayati manusia di planet bumi ini.
Umumnya terdapat lima (5) elemen dasar yang terdapat di dalam agama yakni:
Simbol biasanya berkaitan dengan filosofi atau cara pandang para penganut
agama berkaitan dengan Tuhan yang mereka sembah dalam agama mereka. Simbol
diklaim sebagai unsur bersifat suci, sakral, istimewa dan unik Simbol biasanya dapat
menjadi sarana yang mendukung praktik ibadat atau ritus kelompok penganut agama
bersangkutan. Simbol sangat penting artinya bagi penganut agama.
Praktik keagamaan yang dapat dilihat dalam kehidupan religius para penganut
agama misalnya berdoa, sembahyang/sholat/yoga, berpuasa pada waktu-waktu
tertentu, berpantang makan daging hewan tertentu dan lain sebagainya. Para penganut
agama lazim menjalankan praktik keagamaan ini secara serius dan konsisten. Praktik
ini pun menjadi tanda penunjuk identitas untuk mengenali jenis agama yang dianut
oleh pemeluk agama tertentu.
Salah satu unsur dasar yang menyertai praktik agama adalah dimensi sikap
patuh untuk melakukan praktik itu dengan penuh ketaatan dan loyalitas. Hal inilah
yang lalu membuat praktik agama itu sebagai hal yang rutin dilakukan oleh para
penganut agama. Praktik agama itu ada yang bersifat wajib dan harus, ada pula yang
bersifat tidak wajib atau fakultatif disertai berbagai konsekuensi aturan dan ketentuan
yang menyertainya.
Individu atau orang yang kemudian bergabung dalam kelompok jenis agama
tertentu akhirnya membentuk apa yang disebut kelompok atau komunitas pemeluk
agama. Lazimnya orang yang memeluk agama tertentu disebut penganut agama atau
umat. Umat merupakan kumpulan orang-orang yang memiliki iman, keyakinan dan
kepercayaan yang sama akan Tuhan atau Allah ataupun sebutan lain yang searti
dengannya.
Di Budha orang yang mengalami pengalaman keagamaan akan merasa terpanggil untuk
menjadi biksu atau pewarta agama yang baik.
Orang yang mengalami pengalaman keagamaan akan merasa kukuh dan kuat
menghayati agama yang telah dipilih dan dianutnya. Ia tidak akan mudah tergoncangkan
Peran utama agama terletak pada kekuatan nilai-nilai yang dikandungnya. Agama
bergelut dengan persoalan nilai-nilai etis-moral sebagai nilai-nilai kebijaksanaan yang sangat
dibutuhkan manusia dalam menjalankan kehidupan ini. Manusia tak layak hidup sebagai
manusia jika mengabaikan nilai-nilai luhur religius di dalam agama seperti moralitas religius,
cinta kasih, empati, peduli, memaafkan, damai dengan sesama dll. Manusia yang hidup tanpa
dasar agama akan mudah terpenjara dalam pengaruh materialisme dan profanisme
(sekularisme) yang menyesatkan diri.
Agama membentuk pribadi yang religius, beriman dan percaya teguh pada Tuhan
dalam seluruh ziarah eksistensinya sebagai manusia. Pribadi yang religius menghargai nilai-
nilai rohani dan nilai-nilai ke-Tuhanan dalam totalitas dinamika hidupnya. Nilai-nilai rohani
sekaligus nilai ke-Tuhanan yang dimaksud yakni nilai kebenaran, nilai kebaikan, nilai
keindahan dan nilai religius. Pribadi yang religius akan menghayati dan berkomitmen
menghidupi nilai-nilai ini dalam keseluruhan kehidupannya. Ia memegang teguh prinsip-
prinsip nilai ini dalam segala situasi, dalam segala kondisi dan dalam mengemban profesi apa
saja. Ia terus berefleksi, merenung, berpikir dan mengolah diri untuk semakin menjadi pribadi
yang religius-spiritual.
Dari awal sejarah kehidupannya, setiap individu manusia berkembang dalam level
perkembangan moral tertentu menurut tahap-tahap khusus. Hal ini sudah ditelusuri secara
ilmiah-akademis oleh para pemikir terkenal sebelumnya seperti John Rawls, Jean Piaget
maupun Kohlberg. Pemikiran Kohlberg akan sedikit didalami pada bagian ini untuk
memperluas pemahaman kita tentang perkembangan moralitas pada manusia umumnya.
Kohlberg mengemukakan tiga (3) level/tingkatan moral dan enam (6) tahap
perkembangan moral yang dialami oleh setiap orang. Teori perkembangan moral Kohlberg
dapat dijabarkan dalam tiga tingkatan perkembangan moral berikut ini.
Level Moralitas Prakonvensional (usia 0-9 tahun) di mana individu menyesuaikan diri
dengan aturan-aturan sosial (takut dihukum kalau bersalah dan berharap mendapatkan
reward karena berbuat baik). Level ini dibagi atas dua (2) tahap lagi yakni:
c). Tahap 3: Menjaga relasi interpersonal yang baik. Individu berusaha agar
terlihat baik oleh orang-orang di sekitarnya. Ia berusaha menghidupi nilai-nilai
kebaikan yang diharapkan oleh orang-orang yang berada di sekitar misalnya
orang tua, keluarga dan teman-teman. Individu akan merasa malu di hadapan
teman-temannya kalau melakukan suatu kesalahan. Ia akan berusaha menjaga
kepercayaan, loyal, hormat dan menghargai orang lain.
Level Moralitas Postkonvensional (level yang dicapai oleh sebagian kecil orang
dewasa sampai umur 20-an tahun). Pada tahap ini aturan-aturan sosial diterima namun
individu melakukan internalisasi nilai-nilai moral sendiri di bawah hukum-hukum.
e). Tahap 5: Moralitas kontrak sosial dan hak-hak individu. Aturan-aturan sosial
terlihat relatif dapat berubah sesuai dengan akibat dari suatu persetujuan. Agar
diterima, hukum-hukum harus lolos dari prosedur demokratis dan imparsial.
Individu taat dengan perjanjian-perjanjian yang sesuai dengan nilai-nilai pribadi
dan hormat pada komunitas secara rasional.
Bertitik tolak pada teori moral Kohlberg ini, kita perlu mengatakan bahwa agama
merupakan hal yang sangat berkontribusi positif bagi perkembangan moral manusia juga.
Agama memberikan sumbangsih penting dalam menumbuhkan manusia untuk berkembang
matang dalam keyakinan iman dan moralitasnya. Berbagai macam larangan, aturan, norma,
pantangan dalam agama berperan penting membentuk moralitas individu religius. Seseorang
penganut agama akan semakin matang dalam moralnya ketika ia mampu bertindak otonom
secara moral dalam menghadapi berbagai persoalan yang dihadapi dalam hidupnya.
Peran agama bagi manusia bukan hanya untuk membentuk pribadi yang bermoral,
melainkan juga membentuk pribadi yang arif dan bijaksana. Pribadi yang arif artinya pribadi
yang mampu menunjukkan perbuatan baik dalam kenyataan/tindakan sehari-hari misalnya
menolong sesama yang membutuhkan bantuan dan lain sebagainya. Orang yang arif juga
akan bersikap sopan dan santun dalam setiap langkah hidupnya. Bersikap baik dan sopan
dalam relasi dengan sesama menjadi kebahagiaan tersendiri yang dikejar dan diperjuangkan
secara konsisten.
Sedangkan pribadi yang bijaksana adalah pribadi yang mengutamakan hati nurani dan
pikiran benar yang terwujud dalam tindakan konkret yang tidak mandatangkan kerugian atau
penderitaan-kemalangan bagi sesama (others). Kebijaksanaan adalah filosofi terhadap diri,
dunia dan sesama dengan tidak hanya mengandalkan dimensi akal budi (pikiran) namun juga
mendengarkan suara hati/nurani. Hati nurani adalah tempat tinggal atau bersemayamnya hal
yang baik, suci dan kudus.
Kata “nur” dalam Bahasa Arab artinya cahaya. Nur merupakan istilah untuk
menyebut hati nurani sebagai pancaran cahaya Ilahi Tuhan. Orang beragama dan penganut
aliran spiritual percaya hati nurani sebagai tempat tinggal Tuhan ataupun identik dengan hal-
hal yang memantulkan cahaya moral-etis yang baik bagi manusia. Orang beragama dan
spiritual akan bertindak menurut hati nurani yang baik sebagai hal tertinggi dalam hidupnya.
Ia percaya hati nurani, mendengarkan hati nurani dan taat hati nurani yang mampu
mengarahkan diri pada kebaikan dan kebenaran religius-spiritual.
Hati nurani perlu didengarkan karena ia memberikan peran yang luar biasa bagi
manusia. Peran hati nurani itu di antaranya: menjadi petunjuk/pedoman bagi manusia untuk
menilai suatu tindakan apakah tindakan itu baik atau buruk; menjadi pegangan bagi manusia
dalam hidup; menyadarkan manusia akan nilai-nilai penting dan berharga di dalam hidupnya.
Atas alasan-asalan inilah maka kita perlu mentaati hati nurani dalam hidup agar kita semakin
berkembang menjadi sosok pribadi yang arif-bijaksana.
“Selain pikiran yang memiliki logika, hati nurani pun memiliki logikanya sendiri. Itulah yang
disebut logika hati”. (Blaise Pascal)
Doa dimaknai dalam agama-agama sebagai berbagai bentuk kegiatan atau aktivitas
manusia dalam berkomunikasi dengan Tuhan. Dalam hidup sehari-hari orang beriman
biasanya berdoa kepada Tuhan baik secara pribadi maupun secara bersama-sama. Doa dapat
dilakukan di tempat mana saja asalkan layak dan memungkinkan untuk dilakukannya
aktivitas komunikasi dengan Tuhan dimaksud. Orang dapat berdoa di tempat ibadah (masjid,
gereja, pura, wihara, klenteng) atau pun di tempat-tempat lain yang dianggap layak. Orang
beragama juga dapat berdoa di rumah, di kantor, di tempat kerja atau di tempat mana pun
asalkan pantas.
Dalam doa manusia berkomunikasi dengan Tuhan. Bentuk komunikasi itu melibatkan
seluruh unsur diri manusia. Doa melibatkan unsur badan, emosi, jiwa, hati dan pikiran
manusia. Konsentrasi begitu penting dalam doa. Dibutuhkan sikap fokus yang tinggi dan
totalitas keterarahan jiwa manusia pada Tuhan. Konsentrasi perlu agar manusia dapat
menyerap nilai-nilai religius yang memberikan inspirasi bagi hidupnya. Aktivitas doa yang
dilakukan orang beriman dan beragama hendaknya disertai dengan refleksi yang mendalam
untuk menemukan nilai-nilai hakiki kehidupan yang mengarahkan manusia untuk semakin
mencintai Tuhan, sesama, alam dan diri sendiri.
Dalam doa orang beragama dapat merenungkan sifat-sifat mendasar yang ada pada
hakikat Tuhan: Maha Pengampun, Maha Adil, Maha Tahu, Maha Kasih, Maha Cinta dan
sebagainya. Manusia dapat mengambil inspirasi dari sifat-sifat Tuhan tersebut dan berlatih
untuk mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Sifat-sifat Tuhan dalam agama-
agama merupakan nilai-nilai religius penting yang dapat dihayati oleh orang beragama dalam
Dr. Howard Kelly, dulunya seorang bocah miskin. Ia pernah meminta segelas air
kepada seorang gadis muda yang memberinya segelas susu gratis. Belakangan wanita itu
dirawat di rumah sakit. Dr. Kelly mengenalinya. Selesai perawatan, ia menulis kwitansi:
“Telah dibayar penuh dengan satu gelas susu”. Si pasien yang semula khawatir tidak akan
mampu membayar, berdoa dalam nada syukur: “Terima kasih Tuhan, kasihMu telah
memancar melalui hati dan tangan manusia” (Gea: 2004, hlm. 23-24).
Kisah di atas menunjukkan bahwa si pasien memiliki kecerdasan religius yang baik.
Ia mampu melihat campur tangan (intervensi) Tuhan dalam segala pengalaman hidupnya. Ia
spontan berdoa kepada Tuhan di saat ia mengalami sentuhan kasih Tuhan melalui sesama
dalam pengalaman hidup yang menakjubkan. Doa si pasien menunjukkan kualitas rohani
yang ada pada dirinya. Bahwa ia tahu bersyukur kepada Tuhan karena Tuhan telah
mencurahkan rahmat kasih baginya melalui perantaraan orang lain yang tidak ia duga sama
sekali.
Orang Katolik mengenal Misa/Ekaristi, devosi, novena, sharing kitab suci, doa brevir,
sakramen dan sakramentali sebagai bentuk-bentuk ritual menunnjukkan rasa hormat kepada
Tuhan (Allah). Orang Protestan mengenal penyembahan, perayaan kurban, saat hening, dan
doa-doa kristen yang dilakukan dalam persekutuan jemaat. Orang Islam menjalankan al
ahkam al khamsa (hukum Islam) agar mendatangkan pahala bagi hidupnya. Orang Budha
melakukan ritus penghormatan kepada Sang Budha Gautama untuk menjadi pribadi yang
hidup semakin bermoral. Orang Hindu melakukan praktik ritus di tempat tertentu dan pada
momentum yang sesuai dengan irama hidup setiap hari seperti di sekitar rumah tinggal,
Semua agama ada kitab sucinya masing-masing. Penganut Agama Islam memiliki
Alquran, kaum Kristiani (Katolik dan Protestan) memiliki Alkitab (Perjanjian Lama dan
Baru), Agama Budha memiliki Tripitaka, Agama Hindu memiliki Weda, Agama
Konghucu memiliki Wu Jing dan Si Shu. Kitab suci ini mengandung wejangan religius-
spiritual Tuhan bagi umatNya. Kitab Suci berisikan ajaran-ajaran moral dan etika yang
berfungsi sebagai pedoman manusia dalam berpikir, berperilaku dan bersikap. Isi kitab suci
merupakan kristalisasi ajaran dan nilai religius-spiritual yang sangat berguna bagi penganut
agama dalam menjalankan tanggung jawab religius sebagai insan yang percaya kepada
Tuhan.
Tulisan kitab suci agama-agama sangat bernilai tinggi dan kaya akan makna rohani-
spiritual. Orang beragama dapat mengembangkan kualitas religius dirinya dengan membaca,
merenungkan dan menghayati kebijaksanaan-kebijaksanaan religius yang tertuang dalam
kitab suci agama masing-masing. Di sini kitab suci dapat disebut sebagai ”Kitab Tuhan”
Selain Kitab Suci, semua agama pun mengenal doktrin atau ajaran iman yang
berisikan hal-hal mendasar yang berkaitan dengan usaha mengembangkan kualitas rohani-
religius para penganutnya. Biasanya ajaran-ajaran itu diciptakan oleh para pendahulu, para
pemimpin agama dan juga para nabi, serta orang kudus dalam periode sejarah hidup mereka
di masa silam. Entahkah itu nabi, orang kudus ataupun tokoh religius-spiritual di masa lalu.
Ajaran mereka terus bergaung di sepanjang zaman dari dulu hingga sekarang bahkan sampai
selama-lamanya. Para tokoh sejarah itu misalnya Nabi Muhammad SAW dan para khalifah,
Yesus Kristus dan para rasul serta santo/santa, para orang suci dalam Hinduisme, Sang Budha
Gautama, Konfusius dll. Mereka semua mengajarkan kita kebijaksanaan religius yang
bernilai luhur yang bisa kita contohi dan teladani untuk hidup keagamaan dan keimanan kita
yang lebih baik lagi.
Agama dan iman memiliki kaitan erat namun keduanya tidaklah sama. Iman
merupakan kepercayaan dan penyerahan diri secara total pada Tuhan. Iman bukan hanya
dalam hati melainkan penuntun bagi kehidupan, yang mewarnai sikap dan perilaku. Iman itu
dihayati dalam kehidupan, dengan merayakannya dalam wujud ritual/ibadat dan kesaksian
hidup. Agama berperan sebagai wadah dimana iman bisa dipelihara, dijaga, dibina dan
diteruskan. Orang beragama belum tentu beriman, dan orang beriman (dalam arti
sesungguhnya) seharusnya juga beragama
Antonius Atosokhi Gea et all (2004). CB III: Relasi dengan Tuhan. Elex Media Komputindo:
Jakarta.
Frederikus Fios et all (2012). Diktat Kuliah Character Building: Spiritual Development.
Jakarta: Bina Nusantara University.
Week 2
1
Sebagian besar materi ini diadaptasi dari Frederikus Fios et all (2012). CB: Spiritual Development. CBDC
Bina Nusantara University: Jakarta.
LO2 : Menjelaskan pengenalan akan Tuhan melalui sesama dan lingkungan hidup
Istilah alam lingkungan memiliki banyak arti dan makna. Namun dari banyak makna
itu kiranya kita sepakat bahwa secara praktis, alam lingkungan terdiri dari unsur-unsur non
manusiawi (infrahuman) yang terdapat di dalam kosmos atau semesta ini. Unsur-unsur yang
dimaksud di antaranya sinar matahari, tanah, udara, air, flora (tumbuhan), fauna (hewan),
iklim, suhu, dan lain sebagainya. Dalam perspektif ekologi, manusia hanyalah salah satu
elemen saja di dalam jejaring ekosistem alam lingkungan itu. Paradigma seperti ini tentu
kontradiktoris dengan paradigma antroposentrisme yang menempatkan manusia sebagai pusat
dalam tatanan alam semesta atau realitas kosmos ini.
Jika segala entitas ada di dalam alam merupakan satu kesatuan ekosistem,
maka terdapat sebuah korelasi fundamental antara berbagai unsur kosmik di dalam alam ini.
Ada rerantai hubungan integral yang erat satu unsur dengan unsur yang lain.
Matahari memberikan sinar yang berfungsi untuk memperlancar proses fotosintesis
tumbuhan yang akhirnya menghasilkan daun dan buah yang bisa dikonsumsi oleh manusia
dan hewan demi kelangsungan hidupnya. Siklus ini berevolusi, terus berlangsung sepanjang
waktu untuk memastikan eksistensi kehidupan itu tetap ada menuju masa depan kehidupan
alam itu sendiri.
Kondisi lingkungan alam bumi kita saban hari terus dihantui problem krusial yang
menderanya. Krisis ekologi yang disebabkan oleh aktivitas pembangunan manusia membuat
alam tempat kita hidup menjadi tidak seimbang lagi. Bumi hampir di ambang kepunahannya.
Apa akar masalah krisis alam lingkungan bumi ini? Bisa dikedepankan dua (2)
penyebab utama krisis alam lingkungan dewasa ini: yakni pada tataran hidup praktis dan pada
tataran wilayah teori atau cara berpikir. Pertama, pada tataran praktis, kerusakan alam
muncul karena sikap dan perilaku manusia yang tidak berlandaskan nilai-nilai moral-etis
dalam mengembangkan relasi dengan alam (perilaku yang tidak etis-ekologis). Model ini
menunjukkan cara bersikap tidak ramah lingkungan yang berujung pada penciptaan pola
relasi eksploitatif terhadap alam. Pola ini dinilai tidak etis dari sudut pandang kebaikan alam
lingkungan karena hanya mengedepankan sikap tamak/rakus manusia.
Kedua, pada tataran paradigma atau cara berpikir manusia. Bicara soal paradigma
berpikir, tentu kita tidak bisa lepas dari prinsip filosofi atau cara pandang manusia terhadap
alam. Cara berpikir sesat-keliru pada alam akan terwujud dalam perilaku tidak bijak dalam
relasi manusia dengan alam. Mindset pikiran manusia yang keliru menjadi salah faktor
penyebab kerusakan alam semesta.
Tentu bagi kita orang-orang yang menghayati agama dan spiritualisme, eko-filosofi
bisa menjadi suatu kewajiban/kesadaran moral religius-spiritual yang dipakai sebagai modal
atau instrumen efektif untuk mengubah cara pikir kita yang keliru/salah pada lingkungan
alam. Manusia telah berdosa terhadap alam dengan kejahatan-kejahatan ekologis seperti
menebang pohon, membuang sampah sembarangan, merambah hutan secara liar, mengotori
air, mempolusikan udara dan lain sebagainya. Perlu dilakukan sebuah metanoia (pertobatan)
ekologis untuk mengembalikan kembali keindahan dan kesakralan alam semesta. Cara pikir
yang sudah kita ubah, niat luhur yang sudah ada dalam hati, kita tunjukkan juga dalam
komitmen tindak-nyata untuk membangun relasi yang lebih etis, estetis, humanis, harmonis
dan selaras dengan alam lingkungan. Sesudahnya, mari kita sama-sama songsong sebuah
tatanan dunia baru yang bebas dari krisis ekologis. Kita sambut masa depan ekologi bumi
yang semakin baik.
Semua agama dan aliran spiritual memiliki satu keyakinan mendasar bahwa alam
lingkungan termasuk manusia di dalamnya diciptakan Tuhan Yang Maha Esa yang indah dan
baik adanya sejak semula. Alam adalah emanasi, pancaran atau mengalir keluar dari Tuhan
itu sendiri. Agama-agama yakin dan percaya bahwa Tuhan berbicara kepada kita umat-Nya
melalui fenomena alam yang kita lihat sehari-hari. Oleh karena itu alam semesta (universum)
adalah tanda kehadiran Tuhan. Alam semesta adalah epifani (penampakan) Tuhan itu sendiri.
Adanya dunia dan proses evolusinya dalam dinamika waktu yang panjang tidak
mengurangi kualitas nilai luhur alam semesta sebagai ciptaan Tuhan. Lingkungan alam
tempat manusia hidup merupakan sebuah realitas yang bernilai intrinsik pada dirinya sendiri.
Nilai intrinsik alam tidak ditentukan oleh manusia, namun memiliki nilai internal pada
dirinya sendiri (in se) sejak awal mula diciptakan Tuhan. Nilai intrinsik lingkungan alam
diberikan Tuhan sejak proses penciptaan dan berlangsung sampai sekarang dan hingga ke
masa depan sepanjang keberadaan alam ini. Manusia tidak berhak sedikitpun menentukan
nilai dan martabat lingkungan alam. Lingkungan alam adalah sebuah faktisitas atau
kenyataan yang terberikan oleh Tuhan untuk manusia. Karenanya lingkungan alam adalah
berkat (rahmat) instimewa Tuhan yang perlu disyukuri oleh setiap manusia di kolong langit
ini. Bentuk syukur tersebut harusnya direalisasikan dalam wujud sikap tanggung jawab
manusia untuk menjaga dan melestarikan lingkungan alam.
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh satu akademi pertanian tentang produksi 3640
liter jagung di ladang seluas 1 hektar. Manusia menyumbangkan tenaganya. Tuhan
menyumbangkan beberap hal juga: 4 juta pon air, 6800 pon oksigen, 5200 pon karbon,
1900 pon karbon dioksida, 160 pon nitrogen, 125 pon potasium, 40 pon fosfor, 74 sulfur
kuning, 50 pon magnesium, 50 pon kalsium, 2 pon besi dan sejumlah partikel kecil
iodine, seng, tembaga dan lain-lain. Dan semuanya itu berada di dalam 3640 liter
jagung. Siapa yang membuatnya? (Frank Mihalic).
Tuhan berperan tak terlihat menjadikan segala proses yang terjadi di dalam alam ini
berlangsung dan mencapai hasil yang indah, tepat, efektif, efisien dan sempurna pada
waktunya. Tak satu pun yang tahu bahwa Tuhan bekerja dengan cara yang agung dan
mengagumkan sekali. Tuhan merajut berbagai unsur (elemen) dalam alam semesta dan
menciptakan berbagai jenis makhluk hidup termasuk tumbuhan bebijian jagung seperti kisah
di atas.
Alam adalah ciptaan Tuhan yang sungguh indah dan luar biasa tak terselami akal budi
dan logika pikir manusia. Kita manusia pantas dan layak bersyukur atas semua keindahan
yang diberikan oleh Tuhan ini. Bentuk rasa syukur itu dapat manusia sampaikan dalam
untaian doa dan syair religius pada Tuhan sebagai Sang Pemberi Kehidupan.
Terima kasih ya Tuhan untuk bunga-bunga yang menghias taman dan kamar
Yang dapat kami hadiahkan kepada kekasih tanda cinta dan kesetiaan
Untuk buah durian dan buah segala buah. Amin (Y. Lalu).
Segala kehidupan yang berlangsung di dalam alam berlangsung dalam Tuhan dan
kelak akan kembali ke fitrah, ke pangkuan Ilahi Tuhan. Filsuf Teilhard de Cardin mengatakan
hidup adalah gerakan dari Tuhan sebagai titik alfa (awal) menuju titik omega (akhir) dalam
Tuhan sendiri. Karena itulah manusia perlu menyadari kebenaran religio-spiritual ini dan
menghayati relasi dengan lingkungan alam dalam suatu hubungan iman/keyakinan pada
Tuhan Sang Pencipta alam semesta.
Pandangan teologi tentang ekologi alam bisa disarikan dalam konsep Eco-Theology
atau eko-teologi. Ekologi berasal dari kata Yunani oikos, artinya rumah. Ekologi merupakan
studi tentang bagaimana organism di dalam alam saling beriteraksi satu sama lain dalam
konteks lingkungannya (Bdk, Roderick Frazier Nash: 1989, hal. 55). Sedangkan teologi
artinya pandangan atau filosofis tentang keTuhanan. Inti pemikiran eko-teologi yakni
terdapat adanya satu kesatuan intrinsik antara berbagai elemen yakni Tuhan, manusia dan
segala entitas ada di dalam alam. Untuk menegaskan prinsip kebenaran ini, Allan R.
Brockway menulis: “sebuah teologi tentang dunia alam semesta…..mengandung makna
instrinsik bahwa terdapat kesatuan segala sesuatu di dalam alam antara dunia manusia
dengan dunia non manusia. Terdapat kesatuan antara dunia manusia dengan dunia non
manusiawi yang saling memancarkan dimensi ilahi itu mulai dari batu-batu, pohon-pohon,
udara, air, minyak dan mineral, hewan-hewan dan termasuk di dalamnya kita manusia juga”
(Ibid., 87).
Sudah umum diterima pandangan atau pemahaman bahwa alam semesta ini sungguh
adalah ciptaan Tuhan yang Maha Esa. Banyak filsuf yang berbicara tentang alam dari
perspektif agama-agama dunia ini yakni Islam, Kristiani, Budha, Hindu, Konghucu,
Yudaisme, Jainisme dll. Agama-agama memandang alam sebagai suatu kenyataan yang
bernilai luhur religius sebagai ciptaan Tuhan dan oleh karena itu alam perlu dijaga
keberlanjutannya di masa depan.
2
Pandangan-pandangan yang diuraikan menurut agama-agama di sini diadaptasi dari Mary Evelyn Tucker &
John A. Grim (ed.) Worldviews and Ecology: Religion, Philosophy, and the Environment. New York: Orbis
Book. Bdk. edisi Indonesia berjudul “Agama, Filsafat dan Lingkungan” (2003) terjemahan P. Hardono Hadi.
Yogyakarta: Kanisius.
Pandangan Islam juga tak kalah menariknya atas alam. Dalam Bukunya
The Translation of the Meaning of Sahih Al-Bukhari (terjemahan Muhammad Muhsin Khan)
Muhammad Ibn Isma’il al-Bukhari mengatakan di Al-Qur’an Allah adalah Pencipta dunia ini
yang dilakukan dalam enam hari (7:54; 10:3; 11:7; 25:59; 32:4 dan 57:4). Ini menunjukkan
pandangan Islam yang mendasar bahwa alam semesta adalah ciptaan Tuhan. Alquran juga
menegaskan bahwa Allah itu Esa dan Allah berkuasa atas seluruh ciptaan di dalam alam
semesta ini, langit dan bumi adalah milik Allah (2:107; 3:189; 9:116; 23:84-89; 35:13; dan
57:2). Kebiasaan Muhammad SAW berdoa pagi dan sore dihubungkan dengan kuasa Allah
atas dunia( bdk. Mishkat, 506. Lihat juga J.M.S. Baljon, “The Amr of God in the Koran”,
Acta Orientalia). Implikasinya bahwa pandangan monoteistik Islam tidak mendukung
eksploitasi atas bumi oleh karena itu Islam juga memiliki pandangan yang ekologis atas alam
sebagai realitas yang bernilai religius yang perlu dijaga dan dipelihara.
Di dalam Hinduisme, alam memiliki nilai religius yang mendalam. Di dalam sejarah
India ditemukan kebudayaan kota yang disesuaikan dengan ritme alami, lambang kota
Mohenjodaro dan Harapa di lembah Indus melukiskan seseorang yang sedang bermeditasi-
yang oleh beberapa filsuf dianggap sebagai wujud pertama dewa Siwa-dengan penuh damai
dikelilingi oleh tumbuhan lebat dan hewan-hewan jinak. Sementara itu Rig Veda melukiskan
pujian-pujian yang tinggi atas pelbagai kekuatan alam, menganggap alam sebagai keilahian
yang pantas disembah puji. Sungai-sungai (Ganga, Yamuna, Sarasvati, Sindhu) dan tanah
(Prthivi) dilihat sebagai dewa-dewi, sementara angin (Maruts) dan api (Agni) disebut sebagai
dewa laki-laki. Malah di dalam nyanyian Purusa Sukta dinyatakan: “Bulan lahir dari budinya,
Matanya melahirkan matahari, Indra dan Agni muncul dari mulutnya; Dan Vayu (angin) lahir
dari nafasnya; dari pusarnya muncul udara; langit muncul dari kepalanya; dari kaki, bumi;
dari telinga, mata angin. Begitulah mereka membentuk dunia-dunia (Bdk. Rig Veda 10:190,
13-14. Terj. Antonio T, de Nicolas, Meditations through the Rig Veda: Four Dimensions
Man(New York: Nicolas Hays, 1976).
Iman itu bukan hanya keyakinan, melainkan juga perbuatan. Iman tanpa perbuatan tak
mungkin atau sia-sialah belaka. Karena iman tanpa perbuatan akan kehilangan relevansi
praksisnya. Iman kepada Tuhan tidak hanya ditunjukkan dalam ritual ibadah atau perbuatan
etis pada sesama, tetapi juga harus dinyatakan dalam relasi yang etis dengan alam. Di sinilah
iman ekologis menjadi urgen. Iman ekologis bukan hanya soal masalah pengetahuan,
keyakinan dan kata-kata saja. Iman ekologis menuntut realisasi di dalam praksis dalam
bentuk perbuatan atau aksi konkret-nyata. Untuk itu kita perlu segera bertindak. Saat ini yang
lebih penting adalah keberanian untuk bertindak nyata peduli pada alam daripada sebuah
renungan bijak tentang alam. Lalu bagaimana caranya kita menunjukkan iman ekologis itu?
Pada bagian sebelumnya kita sudah melihat tentang cara-cara yang dapat
dikembangkan untuk menunjukkan sikap peduli pada lingkungan alam. Semua upaya tersebut
tentu sangat bermanfaat positif bagi terciptanya situasi masa depan alam yang lebih baik lagi
dibandingkan sekarang ini. Buah-buah dari sikap peduli pada lingkungan alam dimaksud bisa
diproyeksikan dalam lima (5) pokok pikiran berupa pengkondisian masa depan alam yang
lebih baik lagi, yakni: terciptanya situasi lingkungan alam yang seimbang (ekuilibrasi),
terciptanya situasi keadilan terhadap alam (yustisial), terciptanya situasi kebaikan alam
(etika), terciptanya situasi keindahan alam (estetika), terciptanya kondisi sakralitas alam
(spiritualisme). Kita akan melihat pembahasannya satu per satu.
Pertama, terciptanya lingkungan alam yang seimbang. Jika kita menerapkan cara-cara
peduli pada alam secara konsisten dan konsekuen, maka akan tercipta lingkungan alam yang
Kedua, terciptanya situasi keadilan terhadap alam. Segala bentuk tindakan eksploitasi
yang berlebihan pada alam menggambarkan perlakukan tidak adil manusia terhadap alam.
Perlakuan tidak adil manusia pada alam menunjukkan kekuasaan manusia dan
mengedepankan suatu bentuk kolonialisme baru (kriptokolonialisme) manusia pada
lingkungan alam. Padahal, hidup manusia seluruhnya tergantung pada alam dan tidak
mungkin tanpa lingkungan alam. Sikap peduli pada alam akan menciptakan sikap adil
manusia pada alam yang selama ini tidak dipertimbangkan atau bahkan tidak disadari sama
sekali. Sikap adil bukan hanya perlu diwujudkan dalam relasi antarmanusia, melainkan juga
dalam relasi dengan alam. Keadilan pada alam artinya manusia mau kembalikan nilai-nilai
intrinsik luhur yang sudah dirampas dari alam itu sendiri. Kita mau kembalikan apa yang
menjadi hak-hak alam untuk bertumbuh secara natural tanpa intervensi kekuasaan
manipulatif berlebihan dari pihak manusia. Kita biarkan alam menentukan jalannya sendiri
menuju kesempurnaan dirinya. Kesempurnaan alam terletak pada dirinya sendiri (inheren),
dan tidak ditentukan oleh tanggapan indrawi-irasional ataupun keputusan rasional-logis
manusia.
Ketiga, terciptanya situasi kebaikan alam. Alam yang tetap dalam kondisi terjaga baik
menjadi arah atau orientasi dasar semua orang yang peduli pada alam. Tindakan peduli pada
alam alhasil akan menghasilkan situasi ideal bagi kebaikan alam lingkungan kita sendiri.
Alam yang dalam kondisi baik akan tampak dalam nuansanya yang asri, yang tersenyum,
yang ramah dan bersahabat dengan manusia dan makhluk lainnya. Alam yang baik tidak akan
memberikan bencana bagi kehidupan manusia dan makhluk lainnya di bumi ini.
Kelima, memulihkan sakralitas alam. Tindakan eksploitatif manusia pada alam telah
mengggeruskan sakralitas alam. Dan kita mau peduli pada alam untuk memulihkan sakralitas
alam itu. Salah satu hasil atau buah penting dari tindakan peduli pada lingkungan alam
tampak dalam kondisi alam yang sakral, kudus, suci. Alam yang sakral sungguh bernilai
luhur dan mulia serta kudus karena diciptakan oleh Tuhan sendiri. Sebagai ciptaan Tuhan,
alam memiliki kualitas keilahian dan kekudusan di dalam dirinya sendiri. Kualitas sakral ini
patut diinsyafi oleh setiap manusia yang masih punya hati nurani yang murni dan bening.
Sikap peduli pada lingkungan alam harus dilandasi oleh iman ekologis yang tinggi dan
mendalam pada alam sebagai ciptaan Tuhan yang bernilai agung-luhur.
Alam ini, dan semua isinya, merupakan ciptaan Tuhan. Bagi kita manusia, alam ini
merupakan sumber kehidupan, yang menjamin kehidupan kita bisa berlangsung, yang
menyediakan berbagai kebutuhan hidup bagi kita. Kalau alam rusak maka kita akan binasa.
Jadi, kalau kita orang-orang beragama mengatakan bahwa Tuhan atau Allah begitu baik bagi
kita, mencintai kita, memenuhi kebutuhan hidup kita, maka wujud konkrit bagi kita akan hal
itu adalah alam sendiri, yang menyediakan segala yang kita perlukan, yang menyediakan
segala kebutuhan hidup kita. Dengan demikian alam dapat kita pandang sebagai penampakan
kasih Tuhan kepada kita. Dengan melihat alam, menikmati segala yang disediakan untuk kita,
disitu seharusnya hati kita terbuka untuk mengalami betapa baiknya Tuhan bagi kita, yang
selalu mencintai kita, yang hadir dalam hidup kita melalui alam ciptaan-Nya.
David C. Korten (2006). The Great Turning From Empire to the Earth Community. Berret
Koehler Publisher, San Francisko.
FranK Mihalic SVD (2009 terj). 1500 Cerita Bermakna, untuk Renungan dan Khotbah dan
Ceramah Anda. Bogor: Grafika Mardi Yuana.
Frederikus Fios et all (2012). CB: Spiritual Development. CBDC Bina Nusantara University:
Jakarta.
Hubert Leteng (2005). “Filsafat dan Spiritualitas” dalam Jurnal Ledalero Vol. 4 No. 2.
Maumere: Penerbit Ledalero
Henryk Skolimowski (1992). Eco-Philosophy as A Tree of Life. Arkana Penguin Books.
Mary Evelyn Tucker & John A. Grim (ed.) Worldviews and Ecology: Religion, Philosophy,
and the Environment. New York: Orbis Book
Roderick Frazier Nash (1989). The Rights of Nature (A History of Environmental Ethics).
London: The University of Wisconsin Press.
Week 3
LO2 : Menjelaskan pengenalan akan Tuhan melalui sesama dan lingkungan hidup
Apakah sesamaku manusia yang lain adalah pribadi yang lain? Iya, karena sebagai
subjek otonom mereka itu unik dan berbeda dengan saya. Mereka adalah aku-ku yang lain
yang berbeda dengan saya dalam penampilan fisik, keahlian profesional, cita-cita, tugas
pekerjaan, bakat, hobi dll. Namun adakah sesamaku yang lain memiliki kualitas kesamaan
dengan diriku? Jawabannya ada! Kesamaan itu terletak pada kenyataan humanis bahwa kita
sama-sama sebagai spesis manusia dan secara religius kita sama-sama adalah makhluk
ciptaan Tuhan yang Maha Esa. Jadi, manusia berbeda (disting) namun sekaligus mirip
(identik). Namun secara rohani-spiritual, kita sama sungguh adalah ciptaan Tuhan.
Semua agama (Islam, Katolik, Protestan, Budha, Hindu dan Konghucu) meyakini satu
kebenaran religius dasar, bahwa setiap subjek manusia merupakan makhluk yang bernilai
luhur dan mulia. Status keluhuran karakter esensial insan manusia seperti ini didasarkan pada
suatu premis keyakinan religius utama bahwa semua manusia sungguh diciptakan oleh Allah
atau Tuhan sendiri. Kendatipun semua manusia lahir di dalam suku, ras, agama, etnis, dan
bangsa yang berbeda-beda namun sejatinya hakikat setiap manusia sama-sama adalah
makhluk ciptaan Tuhan yang Maha Esa. Oleh karena itu terdapat adanya struktur kesamaan
atau kesederajatan eksistensial semua manusia dari perspektif religius. Kita manusia sungguh
adalah sama-sama makhluk ciptaan Tuhan. Setiap manusia apapun dia: sehat atau sakit, cacat
atau normal, sukses atau gagal, sedih atau senang, kaya atau miskin, hitam atau putih, kurus
atau gemuk, cantik atau tidak, sungguh bernilai intrinsik-ekuivalen di mata Tuhan karena ia
asasinya diciptakan oleh Tuhan itu sendiri sebagai pencipta segala ada di dalam realitas
semesta ini.
Tuhan menciptakan setiap manusia sebagai suatu kebaikan dan keindahan sejak
awalnya. Tuhan memberikan kualitas fisik dan jiwani bagi manusia untuk bisa mengenali
DIA sebagai Tuhan Pencipta melalui sesama yang lain selain alam kosmos. Tuhan
menciptakan manusia dengan kualitas lebih daripada ciptaan yang lain: dianugerahi akal,
perasaan moral, dan aspek religius untuk bisa mengembangkan diri, mengolah alam dan
memuliakan Tuhan.
Tuhan hadir di dalam diri sesama memberikan motivasi atau inspirasi kepada setiap
kita manusia untuk berbuat baik, berlaku sopan, bertindak tulus dan penuh cinta untuk
mengasihi sesama yang lain sebagai mana kita dikasihi oleh Allah sendiri. Tuhan terlalu luar
biasa mencintai setiap kita, sehingga kita pun layak membagikan cinta itu kepada sesama kita
yang lain yang belum beruntung nasibnya.
B. DIMENSI-DIMENSI MANUSIA1
1. Tubuh
Tubuh manusia merupakan dimensi yang dapat dilihat dan disentuh secara langsung
dengan hampir 100 miliar sel yang secara aktif bersama-sama dengan organ tubuh melakukan
fungsi kehidupan. Masing-masing sel bekerja secara aktif untuk melangsungkan kehidupan
yang terkonstruksi dalam sistem kerangka, otot, peredaran darah, indera, pernafasan,
pencernaan, reproduksi, eksresi, kekebalan tubuh, endoktrin dan sistem saraf. Setiap sistem
organik tubuh bekerja masing-masing dan terkait satu sama lain untuk menjalankan fungsi
kehidupan tubuh secara umum. Jika salah satu bagian sistem tubuh rusak, maka itu berpotensi
merusakkan bagian tubuh yang lain. Idealnya semua sistem tubuh berfungsi normal sehingga
memberikan efek energi kesehatan bagi kondisi tubuh manusia. Tubuh memiliki kaitan juga
dengan dimensi-dimensi manusia yang lain.
Kondisi sehat tergantung bagaimana dimensi pikiran, hati dan jiwa manusia.
Kesehatan tubuh tergantung pola makan, waktu istirahat, jenis aktivitas kerja, dll. Tubuh
1
Bagian ini diadaptasi dari Materi CB : Self Development yang diterbitkan oleh CBDC Bina Nusantara
University: Jakarta
Ada asumsi bahwa tubuh adalah pelayan yang baik bagi manusia, tetapi merupakan
tuan yang buruk. Ketidakmampuan manusia untuk mengatur diri secara efektif akan
menimbulkan penuaan diri, penurunan kecerdasan, dan menghalangi perkembangan potensi
diri. Sebaliknya jika tubuh dikendalikan dengan baik oleh pikiran, hati dan jiwa maka sistem
fisiologis manusia akan semakin baik dan memberi dampak positif bagi kesehatan tubuh:
segar, gembira, damai, tenang dll.
Steven Covey (2005:496) menganjurkan tiga hal yang perlu dilakukan untuk
mengolah tubuh agar menjadi pelayan yang baik bagi kita manusia yakni:
2. Pikiran
Realitas dunia kita adalah dunia yang terus dinamis, mengalir dan berubah. Demikian
keyakinan filosofis filsuf Heraklitus. Hal ini meneguhkan prinsip filsafat panta rhei, yang
artinya segala sesuatu ada senantiasa mengalir dan berproses menjadi (becoming).
Sebagaimana air sungai yang terus mengalir, demikian juga realitas dunia ini tidak pernah
ada satu pun yang tetap, semuanya berubah terus menerus (Bdk. Bertens: 1975, hal. 9-10).
Perubahan itu terjadi dalam hal apa saja di dalam alam ini yakni ledakan populasi makhluk
hidup, ledakan hasil-hasil ilmu dan teknologi, arus informasi, dll. Semua fenomena ini
menantang pikiran kita untuk terus belajar, berpikir kreatif dan berpikir analitis sehingga bisa
menyesuaikan diri dengan gejala kehidupan yang terjadi. Tanpa belajar terus menerus,
manusia akan tergerus oleh berbagai perubahan yang ada. Kita manusia suka atau tidak, perlu
terbuka untuk belajar agar tidak menjadi korban (the victim) dari berbagai perubahan itu.
Collin Rose dalam bukunya Accelerated Learning for the 21st Century,
memperkenalkan 6 langkah rencana mengembangkan pikiran dengan rumus M-A-S-T-E-R,
yakni:
Memotivasi pikiran artinya membuat pikiran selalu dalam keadaan siap untuk belajar,
yakni keadaan yang rileks, percaya diri, dan selalu termotivasi. Untuk ini, kita perlu
menyelidiki apa manfaat dan dampak yang bermakna dari belajar (pembelajaran) bagi
kita. Apa manfaatnya belajar bagi saya untuk masa kini dan masa depan.
Perasaan adalah kekayaan estetis kita manusia untuk merasakan keindahan dan cinta
kasih. Kita bisa merasakan keindahan alam, atau lagu yang indah atau mengagumi
kecantaikan wanita atau kegantengan pria ketika perasaan kita disentuh. Perasaan dapat
menjadi tuan yang baik atau pun tuan yang buruk. Perasaan tidak boleh dikendalikan oleh
perasaan semata-mata, tetapi juga tubuh, pikiran dan jiwa. Bayangkan kalau kita merasa
sedih dan larut dalam perasaan sedih itu berkepanjangan, maka kita pasti merana dan tersiksa
sekali.
Tentang pentingnya kita mengelola perasaan dianjurkan pertama kali oleh Leuner
(1966) bahwa pengelolaan emosi ini tergantung pada kemampuan yang disebut emotional
intelligence (EI). EI ini lalu dikembangkan atau dipublikasikan secara meluas oleh Wayne
Payne’s (1985), lalu Greenspan (1989) yang diperbarui oleh Salovey dan Meyer (1990) lalu
Daniel Goleman (1995). Mengelola perasaan itu artinya kita juga mengembangkan dan
meningkatkan emosi. Ada 5 cara untuk mengembangkan emosi atau EI ini, yakni:
meningkatkan kesadaran diri, memotivasi pribadi, mengatur diri sendiri, berempati,
bersosialisasi dll.
Steven Covey berpandangan bahwa jiwa merupakan inti dari ketiga dimensi lain dari
manusia. Jiwalah yang menggerakkan pikiran, mengembangkan perasaan, menggerakkan
tubuh dll. Tanpa jiwa, manusia lenyap dan musnah. Jiwa membuat sel-sel tubuh membelah
diri, sistem organ bekerja, pikiran bergerak dan perasaan berkembang. Kendatipun demikian
relasi timbal balik antara ketiga dimensi itu dengan jiwa tidak dapat dihindarkan. Tanpa
tubuh yang sehat, pikiran yang selalu belajar, perasaan yang terkontrol, jiwa tidak mungkin
dapat berekspresi menjadi manusia yang ideal.
Jiwa dapat dikembangkan sehingga bisa menjadi tuan yang baik bagi manusia. Covey
memperkenalkan tiga hal yang dapat dilakukan untuk mengembangkan jiwa, yakni:
Melatih integritas artinya mensintesiskan perbuatan dengan nilai, keyakinan, dan hati
nurani. Seseorang disebut memiliki integritas yang baik jika sikap atau perbuatannya sesuai
dengan nilai, keyakinan dan hati nuraninya. Integritas itu konsistensi antara pikiran, tindakan
dan nilai etis-moral yang dianut.
b). Makna
Apa yang membuat manusia ada adalah pada saat manusia merasa bermakna dalam
setiap detik-detik pengalaman dan perjalanan hidupnya. Makna artinya menyadari nilai dan
tujuan hidup manusia pada masa kini dan nanti. Kesadaran ini membuat manusia menghargai
hidup, menghargai waktu dan merefleksikan pengalamannya.
Melalui suara hati, jiwa dapat berekspresi melebih dimensi rasionalitas. Seorang filsuf
bernama Thomas Aquinas (1225-1274) bahkan mengatakan bahwa jiwa mampu melakukan
aktivitas-aktivitas yang melebih badani belaka, yakni berpikir dan berkehendak. Itulah
aktivitas-aktivitas rohani. Karena aktivitas jiwa itu bersifat rohani, maka jiwa itu bersifat
rohani-spiritual pula (agere sequitur esse). Makanya setelah manusia mati, jiwa manusia
hidup terus dalam keabadian.
Penjelasan mengenai tubuh, pikiran, hati dan jiwa memberikan kepada kita wawasan
atau orientasi bahwa dimensi-dimensi manusia atau Sang Aku adalah satu walaupun mereka
ada masing-masing secara terpisah. Pemahaman ini menuntut kita untuk memperlakukan
dimensi-dimensi manusia Sang Aku secara integratif-holistik. Kita menerima keempat
dimensi ini dengan penuh kesadaran dan memperlakukan keempatnya secara adil di dalam
realitas kemanusiaan kita.
Setiap penganut agama yakin dan percaya bahwa Tuhan selalu memberkati umatNya
dan menyertai umatNya di mana saja mereka berada. Entah susah atau senang, sedih atau
gembira, sukses ataupun gagal Tuhan tetap hadir menyertai kita umatNya. Tuhan selalu ada
dan selalu setia untuk kita umatNya.
Semua agama percaya bahwa Tuhan memberikan perintah kepada manusia untuk
saling membantu, menolong dan mencintai satu sama lain dalam kehidupan ini. Kendatipun
agama yang kita anuti itu berbeda (ada yang menganut iman keagamaan Kristiani, Muslim,
Hindu, Budha dan Konghucu) namun kita diminta oleh Tuhan untuk saling memperhatikan
dan saling peduli. Perbedaan agama yang kita anuti seharusnya tidak membatasi atau tidak
menghalangi kita untuk saling menolong dan saling mencintai satu sama lain dengan tulus-
ikhlas.
Cinta yang tulus terhadap sesama harus kita pahami dan terlebih kita wujudkan dalam
tindakan nyata sehari-hari untuk menolong dan membantu satu sama lain. Ketika ada umat
beragama lain yang tertimpa musibah (bencana alam dll), kita seyogyanya menolong tanpa
melihat latar belakang perbedaan keyakinan agama yang dianut oleh mereka yang mengalami
musibah itu. Doktrin agama mengajarkan kita umatNya untuk mencintai sesama secara
universal, yakni mencintai sesama melampaui batas-batas(frontiers) primordial: suku, agama,
ras, dan golongan sosial apapun. Cinta terhadap sesama berkarakter umum, publik dan
universal untuk semua orang dari golongan agama apapun itu. Itulah makna sejati mencintai
sesama dengan tulus tanpa batasan apapun.
Setiap ajaran agama melalui kitab suci masing-masing telah menggariskan kepada
kita suatu imperatif (perintah) untuk saling mencintai satu sama lain. Di dalam agama Hindu,
Budha, Islam, Kristiani (Katolik & Protestan) serta Konghucu diajarkan kepada kita nilai-
nilai luhur yang perlu kita terapkan dalam hubungan dengan sesama manusia yang lain. Ini
berarti mencintai sesama atau saling mencintai adalah suatu etika religius. Lebih tepatnya
suatu etika kewajiban religius yang radikal dan mendasar dalam hubungan kita dengan
sesama. Artinya mencintai sesama bukan bersifat aksidental atau tambahan saja, melainkan
unsur yang mendasar atau substansial di dalam relasi kita dengan sesama manusia.
Alkitab Kristiani menunjukkan bahwa cinta kasih merupakan hukum tertinggi dan
terutama. Di dalam Injil Matius 22:37-40 tertulis: Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap
hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu.Itulah hukum yang
terutama dan pertama. Dan hukum yang kedua, yaitu Kasihilah sesamamu manusia seperti
dirimu sendiri. Pada kedua hukum inilah terdapat seluruh hukum Taurat dan kitab para
nabi”. Ini artinya isi kitab suci bahkan hukum terutama yang terdapat di dalam seluruh
Alkitab (Perjanjian Baru maupun Perjanjian Lama) berintikan perintah untuk mengasihi:
baik mengasihi Tuhan maupun mengasihi sesama. Dalam konteks ini mengasihi sesama
Di dalam Budhisme, aspek cinta kasih merupakan hukum utama dalam relasi
antarmanusia. Menurut Buddha, ketidakpedulian khususnya kepada orang miskin membuat
kemelaratan bertambah, pencurian meningkat, tindak kekerasan dan berbagai bentuk
kejahatan berkembang cepat, pembunuhan menjadi biasa, sehingga usia harapan hidup dari
waktu ke waktu semakin pendek (D. III, 65-73). Kalau manusia peduli pada sesamanya,
hidup akan menjadi semakin indah, bermakna, penuh cinta dan damai. Peduli pada sesama
adalah suatu panggilan untuk mencintai sesama manusia.
Budhisme mengakui pentingnya cinta dalam kehidupan. Nikaya Pali memuat satu
kata cinta yang berbeda dengan cinta yang lain yakni cinta kasih yang dipancarkan secara
universal (tak terbatas) kepada semua makhluk dan cinta kasih yang tanpa pamrih, yaitu:
Metta.
Metta adalah rasa persaudaraan, persahabatan, pengorbanan, yang mendorong kemauan baik,
memandang makhluk lain sama dengan dirinya sendiri. Metta juga suatu keinginan untuk
membahagiakan makhluk lain dan menyingkirkan kebencian (dosa) serta keinginan jahat
(byapada). Pengembangan Metta dapat mengantarkan manusia pada pencapaian kedamaian
Nibbana (Mettacetto vimutti), seperti yang dinyatakan Sang Buddha dalam Dhammapada
368:
"Apabila seorang bhikkhu hidup dalam cinta kasih dan memiliki keyakinan terhadap Ajaran
Sang Buddha, maka ia akan sampai pada Keadaan Damai (Nibbana), berhentinya hal-hal
yang berkondisi(sankhara)". Namun harus diwaspadai bahwa Metta yang dipancarkan secara
berlebihan kepada lawan jenis dapat mengalami penyimpangan menjadi cinta nafsu atau cinta
egois. Untuk itu manusia harus mengolah batinnya untuk tidak egois.
Salah satu kisah tentang keutamaan cinta kasih dalam muslim (Islam) muncul dari
sosok Nabi Muhammad SAW yang mengubah benci jadi cinta. Dikatakan Nabi Muhammad
SAW sering diperlakukan secara sangat tidak manusiawi di zamannya, seperti dilempari
kotoran oleh orang-orang Quraisy Mekkah, namun yang menariknya sang nabi selalu
memaafkannya. Sewaktu ada yang hendak membantunya untuk membalas, Nabi Muhammad
Dalam Islam, mencintai sesama manusia dikenal dengan istilah hablun min annas.
Cinta terhadap sesama manusia tidak dapat dilepas-pisahkan dari rasa cinta terhadap
Penciptanya. Karena dalam ajaran Islam, cinta terhadap Allah SWT, juga berarti cinta
terhadap sesama insan manusia yang lain juga sebagai ciptaan-Nya. Rasa cinta terhadap
sesama manusia tidak bisa terlepaskan dari sifat kemanusiaan. Pandangan Islam menyatakan,
kemanusiaan merupakan satu kesatuan, berbeda-beda bagiannya untuk membentuk satu
masyarakat, berjenis-jenis dalam keserasian, dan berlainan pendapat untuk saling melengkapi
satu sama lain dalam mencapai tujuan, supaya dengan begitu ia cocok pula untuk saling
melengkapi dengan alam, untuk membentuk wujud yang satu pula. Sebagaimana Allah
berfirman: “Wahai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu sekalian dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan, dan menjadikan kamu sekalian berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu sekalian saling mengenal. Sesungguhnya orang-orang yang paling
mulia di antara kamu sekalian di sisi Allah ialah orang-orang yang paling takwa di antara
kamu sekalian. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (Q.S.Al-
Hujurat:13).Pada prinsipnya, cinta terhadap sesama manusia adalah dengan tolong-menolong,
saling mengenal dan keserasian. Menurut pandangan Islam, rasa cinta terhadap sesama
manusia bisa diwujudkan, salah satunya dengan keadilan dan persamaan derajat di antara
manusia.
Dalam Hinduisme, diyakini bahwa saling mencintai dan mengasihi siapa saja tanpa
memandang perbedaan fisik akan memberikan keseimbangan cinta kasih. Dalam Yajur Weda
32. 8 dinyatakan “Sa’atah protasca wibhuh prajasu” yang artinya Tuhan terjalin dalam
makhluk yang diciptakan. Sangat menonjol bagi manusia modern mengenai konsep cinta
dalam kehidupan berkeluarga dalam Weda adalah keterbukaan. Masalah kehidupan rumah
Dalam Atharwa Weda III.30 dinyatakan perkataan Pendeta kepada kelompok keluarga:
”Aku membuat engkau bersatu dalam hati, bersatu dalam pikiran, tanpa rasa benci,
mempunyai ikatan satu sama lain seperti anak sapi yang baru lahir dari induknya. Agar anak
mengikuti Ayahnya dalam kehidupan yang mulia dan sehaluan dengan Ibunya. Agar si isteri
berbicara yang manis, mengucapkan kata-kata damai kepada suaminya. Agar sesama saudara,
laki atau perempuan tidak saling membenci. Agar semua bersatu dan menyatu dalam tujuan
yang luhur dan berbicara dengan sopan. Semoga minuman yang engkau minum bersama dan
makan makanan bersama.”
Konsep hubungan garis vertikal dan horizontal juga berlaku dalam kehidupan keluarga agar
mencapai satu tujuan luhur yaitu keharmonisan, ketentraman, kedamaian dan kebahagiaan
bersama. Kebersamaan yang begitu menonjol dalam kehidupan keluarga inti menjadi
parameter ke tingkat kehidupan keluarga yang lebih besar dan kehidupan sosial
kemasyarakatan.
Di dalam Konghucu, cinta (Ren) merupakan salah satu ajaran yang pokok. Ren artinya
Cinta Kasih universal, tidak terbatas pada orang tua dan keluarga sedarah belaka, namun juga
meluas kepada sahabat, lingkungan terdekat, masyarakat, bangsa, negara, agama dan umat
manusia. Ren bebas tidak membeda-bedakan manusia dari latar belakang atau ikatan
primordialnya. Ren tidak mengenal segala bentuk diskriminasi atau pertimbangan atas dasar
kelompok. Ren dalam pengertian agama Konghucu selalu didasari pada sikap ketulusan,
berbakti, memberi, bukan meminta atau menuntut balasan dalam bentuk apapun. Namun
perlu diingat bahwa Ren tidak berarti mencinta tanpa dasar pertimbangan baik dan buruk.
Dalam salah satu sabdanya Kongzi mengatakan bahwa “Orang yang berperi-Cintakasih bisa
mencintai dan membenci”. Mencintai Kebaikan dan membenci Keburukan. Balaslah
Kebaikan dengan Kebaikan; Balaslah Kejahatan dengan Kelurusan”. Ini artinya siapa pun
yang bersalah, harus diluruskan, dihukum secara adil dan diberi pendidikan secara optimal
agar dapat kembali ke jalan yang benar. Setelah berada di jalan yang benar, kita tidak boleh
terkena stigma, menilai atas dasar masa lalu seseorang, melaikan mencintai orang itu secara
tulus lagi.
Alquran (Kitab Suci Islam), Alkitab (Kitab Suci Katolik dan Kristen Protestan), Kitab Weda
(Kitab Suci Hindu), Kitab Tripitaka (Kitab Suci Budha), Kitab Wu Jing & Si Shu
(Kitab Suci Konghucu) dan ajaran/diktrin suci agama masing-masing yang relevan.
Elenora Sumual et all (2009). Draf CB: Self Development. Jakarta: CBDC Bina Nusantara
University.
Frederikus Fios et all (2012). CB: Spiritual Development. Jakarta: Bina Nusantara University.
K. Bertens (2001). Ringkasan Sejarah Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.
Stephen R. Covey (2005). 8 Kebiasaan Manusia yang Sangat Efektif. Diterjemahkan oleh
Budijanto. Jakarta: Binarupa Aksara, Jakarta.
http://indonesiaindonesia.com/f/41074-konsep-cinta-agama-buddha/
http://www.mediahindu.net/berita-dan-artikel/artikel-umum/81-cinta-kasih-dalam-perspektif-
hindu.html
https://matakin.wordpress.com/agama-khonghucu/
Week 4
1
Materi ini diadaptasi dari Antonius Atosokhi Gea, Noor Rachmat, Antonia Panca Yuni Wulandari (2004).
Character Building III: Relasi dengan Tuhan. Jakarta: Elex Media Komputindo.
A. PENDAHULUAN
Pesimisme dan sinisme tersebut lahir dari kenyataan bahwa hampir semua
konflik-konflik antara kelompok masyarakat bahkan antara bangsa berkaitan baik langsung
maupun tidak langsung dengan agama. Bahkan agama dapat dijadikan sebagai dasar yang
legitimate untuk berkonflik dengan yang lainnya. Konflik yang melibatkan identitas agama
tidak hanya terjadi antara kelompok agama yang satu dengan agama yang lainnya, tetapi
bahkan sangat sering konflik itu terjadi antara kelompok-kelompok dalam agama yang sama.
Tentang fenomena ini tidak terlalu sulit bagi kita untuk mencari dan menemukan contoh-
contoh aktualnya. Contoh-contoh itu datang dari berbagai belahan dunia ini.
Agama seharusnya dapat berpartisipasi dalam menciptakan dunia yang lebih baik,
dunia yang lebih adil, dan dunia yang damai. Hal ini disebabkan karena, agama secara
historis dan teologis lahir dari kondisi di mana manusia hidup dalam dosa. Agama dalam
konteks ini mendorong transformasi social, dari situasi dosa (konflik), ketidakberdayaan
(kemisnikan, kebodohan) menjadi situasi yang lebih baik, adil, damai, sukacita. Singkatnya,
agama menghadirkan situasi surga di dunia ini.
Selain itu, berusahalan untuk membangun dialong dengan berbagai kelompok agama
yang berbeda. Perbedaan dalam konteks ini adalah cara Tuhan memberikan pesan-Nya
kepada manusia. Tuhan tentu paling tahu bahwa otak manusia dan iman manusia tidak cukup
untuk menangkap berbagai pesan-Nya kepada manusia. Oleh karena itu, pesan-pesan itu
menjadi terkelompok dalam berbagai agama-agama. Dalam konteks ini, berdialong dengan
berbagai macam kelompok agama untuk membangun dunia yang lebih baik merupakan cara
agama untuk menemukan pesan Tuhan mengenai bagaiman perdamaian di dunia ini harus
diciptakan.
Dialog antara kelompok agama dalam konteks ini harus diterima sebagai fitrah
agama-agama. Tanpa dialog manusia tidak dapat pernah dapat mendengarkan pesan Tuhan
tentang bagiaman dunia harus dibangun.
1. Pengertian Dialog
Secara sederhana dialog dapat diartikan sebagai pembicaraan langsung antara
orang-orang yang mempunyai pandangan berbeda tentang suatu hal, untuk saling tukar
informasi, sehingga memperoleh saling pengertian di antara mereka.
Ada lagi bentuk dan model dialog yang dikemukakan oleh Dr. Krishnanda Wijaya Mukti
(Gea, Rahmat, Wulandari, 2006; 367), dalam bukunya Wacana Budha Dharma dinyatakan
bahwa ada beberapa bentuk dialog, tetapi tidak setiap dialog itu cocok untuk setiap orang
dalam setiap kesempatan. Karena itu, dialog antar agama dibedakan sebagai berikut;
a) Mengakui perbedaan pemahaman terhadap Kitab Suci orang lain. Karena umat
Islam, umat Kristen dan Yahudi misalnya, berbagi sejarah yang sama, maka
juga memiliki interpretasi sendiri-sendiri. Kaum Muslim berhak memberikan
tafsiran atas Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru karena mereka merupakan
bagian dari warisan ini. Kaum Muslim bisa jadi memiliki kristologi sendiri
yang berbeda dengan pandangan Kristen, sebagaimana kaum Kristen dan
Yahudi berhak memiliki islamologinya sendiri. Terdapat interpretasi yang
berbeda antara umat Islam, Kristem dan Yahudi terhadap sosok Ibrahim
(Abraham), Musa dan Isa atau Yesus.
b) Menghargai perbedaan pemahaman terhadap Kitan Suci dalam agama tertentu.
Kalangan Liberal Yahudi misalnya, berpendapat bahwa Alkitab merupakan
pewahyuan Ilahi, namun tetap merupakan dokumen manusiawi dan bukan
produk pewahyuan secara harafiah. Sedangkan kaum konvervatif tidak
sependapat dengan itu. Mereka lebih memahami Taurat murni sebagai wahyu
ilahi, sekaligus teks dan isinya. Perbedaan pandagan seperti ini
memperlihatkan betapa setiap tradisi iman tidak saja memiliki pandangan
sejarah dan teologi yang berbeda tentang iman dan Kitab Suci orang atau
agama lain, melainkan juga tentang tradisi mereka sendiri.
c) Berdebat secara cerdas dan bukan berdebat kusir. Diskusi dan dialog harus
dilakukan dengan cara yang paling baik dan paling tepat. Tidak ada
penghujatan, pengkafiran, pelabelan ‘setan’ terhadap mitra dialog, atau
theological judgment. Lain yang tidak berdasarkan ilmu pengetahuan.
Persoalan siapa yang masuk surge dan siapa yang masuk neraka bukanlah
persoalan sesame manusia. Itu Pekerjaan Tuhan dan Tuhan yang menentukan
dan menjelaskannya nanti. Yang penting bagi kita ketika di dunia ini adalah
pencarian kebenaran secara tulus dan bertanggung jawab. Seorang Muslim
Muncul kritik bahwa teologi cenderung melangit, jauh dari kenyataan dan urgensi
kemanusiaan. Teologi juga cenderung tekstual dan dogmatis sekali. Agama dibatasi lebih
sebagai kepercayaan teologis dan filosofis, dan tidak dikontekstualisasikan dalam sejarah
perjuangan hidup riil manusia. Padahal teologi adalah cara memahami pesan Tuhan dalam
konteks yang berbeda-beda. Teologi sebaiknya dikembangkan secara kritis dalam situasi
yang serba majemuk dan multi kompleks sekarang ini adalah teologi yang mampu
melahirkan pencerahan dan pembebasan dari berbagai belenggu keterikatan dan
ketertinggalan. Kita membutuhkan teologi yang membumi, teologi yang kontekstual, teologi
yang mampu menjawab masalah-masalah dasar kemanusiaan, serta dapat menjadi pegangan
dalam menggumuli berbagai praksis hidup dengan tantangannya.
Dalam ajaran agama Islam, nilai pembebasan menuju keadilan juga sangat
ditekankan. Nabi Muhammad SAW, nabinya orang Islam, juga sangat concern terhadap
pembebasan orang-orang yang lemah, seperti menganjurkan pembebasan para budak, karena
hal itu bertentangan dengan kesamaan harkat dan martabat manusia di hadapan Tuhan. Doa
orang-orang yang tertindas akan sangat ampuh, jika mereka berdoa akan didengar oleh
Tuhan. Bagitu juga kerja keras dalam rangka menegakkan kebaikan dan mencegah atau
melawan keburukan, adalah nilai luhur yang ditekankan oleh Islam. Wacana kebebasan
manusia dan takdir sesungguhnya bermuara pada pemahaman bahwa manusia bebas memilih
perbuatanya sendiri. Tuhan memberi kebebasan kepada manusia untuk memilih dan
menentukan pilihannya sendiri di antara sekian banyak kemungkinan. Sesungguhnya Allah
tidak akan pernah mengubah nasib seseorang, atau suatu kaum, kecuali orang atau kaum itu
mau mengubah nasibnya sendiri (Quran 13:11).
Islam telah memberikan suatu kode hak asasi manusia yang ideal kepada umat manusia.
Tujuan dari hak-hak itu adalah untuk memberikan kehormatan dan harga diri kepada
manusia, serta untuk menghapuskan eksploitasi, penindasan dan ketidakadilan.
1. Pentingnya Kerjasama
Untuk lebih efektif menjalankan perannya sebagai sebuah kekuatan pembebas,
maka agama-agama harus lebih proaktif lagi mewujudkan koeksistensinya yang paling tinggi,
yaitu kerjasama. Semua institusi agama dan juga etnis harus mengembangkan kesadaran
akan pentingnya kerjasama, karena hubungan yang paling dekat dan paling erat serta paling
berhasil dalam suatu kemajemukan adalah kerja sama. Jika kesadaran dan kerja sama antar
kelompok yang berbeda sedang berlangsung, maka apa yang disebut multikulturalisme
kolaboratif sedang dibangun. Multikulturalisme kolaboratif merupakan salah satu pendekatan
mengatasi masalah-masalah akibat perbedaan etnis, agama dan budaya, seperti konflik dan
disitegrasi nasional. Baik keterasingan budaya maupun asimilasi budaya dapat membawa
masalah apabila kerja sama tidak dikedepankan. Multikulturalisme kolaboratif menghargai
a) Penegakan keadilan
Boleh dikatakan bahwa masyarakat kita sudah cukup lama menderita
ketidakadilan. Di berbagai sektor kehidupan berlangusng perlakuan yang tidak
sama, baik terhadap individu maupun kelompok (suku, etnis, daerah, wilayah,
gender, agama, status dan sebagainya). Diskriminasi dalam berbagai bentuk dan
cara, berlangsung di berbagai sektor kehidupn, tanpa ada yang sungguh-sungguh
peduli denga itu. Di sinilah agama-agama terpanggil untuk memainkan peran
pembebasannya. Bukan tidak mungkin agama-agama dapat secara bersama-sama
mengambil langkah-langkah sgtrategis untuk mengurangi bahkan memberantas
praktek yang sudah menyengsarakan rakyat dan umat dalam waktu yang cukup
lama itu.
c) Perbaikan akhlak
Tugas utama agama adalah bagaimana agar agama dengan berbagai pesan-pesan
moral yang terkandung didalamnya bisa menjadi sumber semangat dan moralitas
bagi umatnya. Di sini peran berbagai institusi keagamaan, termasuk departemen
agama sendiri sangat diharapkan. Para pemimpin dan tokoh-tokoh agama dituntut
untuk bisa menjadi nabi-nabi, guru dan iman zaman ini, yang menyarakan
kehendak Allah, bagi kebaikan, perdamaian, kebahagiaan dan keselamatan umat
manusia. Departemen agama dituntut untuk tampil sebagai pengayom bagi
tumbuh kembang iklim keagamaan yang harmonis, rukun dan damai di bumi
persada ini. Lembaga-lembaga keagamaan harus berefleksi kambali apakah sudah
memainkan peran yang tepat dalam menumbuh-kembangkan iklim keagamaan
yang kondusif di Indonesia. Juga dapat manyakan pada dirinya apakah sudah
menjadi sumber pembentukan watak dan akhlak bagi umat yang telah
dipercayakan Tuhan kepada mereka.
Pertanyaan kemudian adalah, mengapa beragama tidak berarti tidak korupsi atau
melakukan kejatahan lain? Kita tidak perlu under-estimate, seolah-olah agama tidak mampu
mendorong anti korupsi dan anti kejahatan lainnya. Bukan agama yang gagal melainkan
tokoh dan penganut agama itu yang memiliki pemahaman dan penghayatan agama secara
tidak benar. Kesalehan indivud nampaknya belum menjadi jaminan kesalehan sosial dan
Agama memiliki peran penting dalam kehidupan manusia, salah satunya adalah
peran menciptakan perdamaian dunia. Agama semestinya bukan hanya masalah hubungan
pribadi dengan Tuhan, bukan juga hanya urusan menyangkut para pengikut agama masing-
masing. Kalau dilihat lebih dalam, sesungguhnya agama-agama, dengan berbagai ajaran suci
di dalamnya, memiliki visi dan misi yang sama, semua memuat pesan kebaikan, cinta kasih,
keadilan, yang mengarahkan umatnya untuk hidup semakin baik, dan menjadikan dunia ini
menjadi hunian yang semakin baik bagi manusia. Melihat visi, misi, dan pesan-pesan itu,
maka agama-agama memiliki peluang besar untuk memainkan peran penting bagi
terciptanya perdamaian dunia, memiliki pengaruh besar mendorong terciptanya hubungan
yang semakin baik antar antar sesama manusia, entah apapun latar belakangnya.
Antonius Atosokhi Gea, Noor Rachmat, Antonia Panca Yuni Wulandari (2004). Character
Building III: Relasi dengan Tuhan. Jakarta: Elex Media Komputindo
Week 5
HATI NURANI
LO4 : Menjelaskan hati nurani dan sikap kritis menghadapi formalisme agama
A. PENDAHULUAN
Hati Nurani adalah salah satu bagian penting dari setiap diri manusia. Setiap manusia
memiliki hati nurani. Hati nurani untuk setiap orang beriman memiliki tempat tersendiri
sebagai pedoman hidup. Prilaku orang beriman tidak hanya dituntun oleh oleh nilai, norma
atau berbagai ajaran-ajaran yang berada di luar dirinya. Perilaku orang beriman juga dituntun
oleh hati nuraninya sendiri.
Ada sebuah pandangan umum bahwa hati nurani merupakan salah satu media Tuhan
mewahyukan dirinya sendiri (Gea, Rachmat dan Wulandari, 2006:290). Oleh karena hati
nurani diakui sebagai media melalui mana Tuhan mewahyukan dirinya, semua orang beriman
dianjurkan untuk selalu memperhatikan suara yang ada dalam hatinya sendiri. Bila dalam
satu situasi tertentu yang tidak pasti, situasi yang membingungkan, dan tidak ada panduan
bagi manusia bagaimana ia haru keluar dari kebingungan tersebut, biasanya disarankan untuk
mendengar suara hati.
Tetapi, meskipun orang beriman yang mengakui bahwa suara hati merupakan media
bagi pewahyuan Tuhan, tidak semua orang beriman selalu mau mendengarkan suara hatinya
sendiri, atau kalaupun ia berusaha mendengarkan suara hatinya, pilihan-pilihan untuk
mengambil keputusan lebih dideterminasi oleh pikiran, atau pengalaman. Padahal tidak
pernah diungkapkan bahwa pikiran dan pengalaman merupakan tempat instimewa Tuhan
mewahyukan diri-Nya secara hidup. Yang nyata dari pikiran dan pengalaman manusia adalah
pikiran dan pengalaman manusia itu sendiri, dan bukan suara Allah.
Orang beriman seharusnya, selalu mengandalkan suara hatinya sendiri. Sebab suara
hati merupakan tempat melalui mana Tuhan mewahyukan dirinya dengan cara yang paling
hidup. Hati nurani tidak pernah berbohong, seperti Tuhan yang tidak pernah berbohong.
Sebagai contoh, bila anda terlambat dalang kuliah karena terlambat bangun, dosen anda
bertanya mengapa anda terlambat? Pikiran anda mengkalkulasi jawabannya sebagai berikut;
(1) kalau saya menjawab “saya terlambat bangun, dosen saya akan memberi saya hukuman”,
(2) kalau saya menjawab, “saya terlambat karena dalam perjalanan ke kampus saya menolong
Biasanya jauh dari Tuhan dialami oleh orang beriman dapat membuatnya menjadi
gelisah. Gelisah dalam konteks ini menandakan terputusnya hubungan dengan Tuhan.
Orang yang suka berbohong biasanya mengalami kegelisahan dalam hatinya. Kegelisahan
dalam konteks ini merupakan tanda bahwa kita jauh dari Tuhan karena berbohong
bertentangan dengan perintah Tuhan sebagaimana yang diajarkan oleh hampir semua agama.
Berbohong adalah dosa. Dosa menyebabkan terputusnya hubungan antara manusia dengan
Tuhannya. Untuk memulihkan hubungan itu, maka manusia harus berlaku jujur, mengatakan
apa yang sungguh terjadi. Mungkin ia dihukum oleh manusia karena kejujuran itu, tetapi
sebagai orang beriman, ia membesarkan jiwanya dihadapan Tuhan.
Suara hati perlu dikembangkan secara terus menerus sebagaimana juga manusia terus
mengembangkan dirinya dalam menguasai ilmu pengetahuan dengan menggunakan akal
pikirannya. Bagaimana kita dapat mengembangkan suara hati kita?
Sebagai orang beriman, suara hati dapat dikembangkan dengan membangun relasi
yang terus menerus dengan Tuhan, sesama dan alam. Relasi dengan Tuhan bersifat vertical
dan relasi dengan sesame dan alam berifat horizontal. Relasi vertical dengan Tuhan dapat
dilakukan dengan doa yang secara umum setiap orang beragama menunjukkannya dalam
bentuk permohonan dan puji-pujian. Namun, di sini juga dalam kaitannya dengan suara hati,
Doa mendengarkan ini dapat kita lakukan seperti dalam contoh ini. Bila seorang ibu
misalnya memiliki seorang anak. Anak tersebut dalam penilaiannya sangat nakal. Suatu
ketika anak tersebut secara tidak sengaja memecahkan gelas. Reaksi kimiawi manusia pada
umumnya atau ibu tersebut khususnya mungkin saja marah pada anak tersebut. Tetapi sikap
orang beriman yang mau secara terus menerus membina relasi dengan Tuhan, pasti akan
menahan diri. Ia bertanya dulu dalam hatinya pada Tuhannya. “Tuhan apa respon saya
terhadap anak ku ini”. Semua orang beriman pada khususnya atau orang beragama pada
umumnya tahu bahwa Tuhan itu adalah kasih, penyanyang, sabar dan memaafkan. Sifat-sifat
Tuhan seperti ini mungkin saja dibagikan kepada ibu yang sedang menghadapi anak yang
dalam kategorinya nakal. Oleh karena itu, ibu tersebut mungkin saja mendapat suara dalam
hatinya yang mengatakan bahwa anda jangan marah, peristiwa ini hendak mengajarkan anda
untuk sabar. Sabar dapat membesarkan jiwa anda, atau suara lain dalam hati anda mungkin
saja mengatakan bahwa anda harus memaafkannya, karena ia sedang belajar memaafkan”.
Jawaban-jawaban seperti ini tidak saja positif bagi ibu tersebut, tetapi juga positif bagi sang
anak. Sang anak kemudian menjadi tahu dan mendapat model dari sang ibu mengenai dalam
situasi apa sabar sangat dibutuhkan dan bahwa kesalahan orang lain perlu dimaafkan. Kelak
dikemudian hari sang anak tersebut memiliki perbendaharaan positif yang banyak dalam
hidupnya. Ia tidak memiliki perbendaharaan negatif bila mengahadapi masa-masa sulit dalam
berhubungan dengan ibunya. Sebab dari kecil ia mendapat nutrisi jiwa dari sang ibu seperti
memaafkan dan sabar.
Setiap hari setiap orang beriman berhadapan dengan begitu banyak peristiwa hidup
yang menuntut untuk memberi respon. Orang beriman seharusnya selalu berdialog dengan
Tuhan untuk mengetahui bagaiman ia harus memberi respon. Tuhan yang baik akan memberi
respon yang perlu dan dibutuhkan oleh manusia untuk menghadapi situasi yang konkret
tersebut. Oleh karena itu berusahalah untuk terus belajar mendengarkan suara Tuhan dalam
hati sebelum merespon suatu peristiwa. Melalui cara itu, anda terus membina hari nurani
anda sebagai tempat Tuhan mewahyukan dirinya.
Sayangnya tidak semua orang beriman dapat memberi respon yang positif untuk
menghadapi setiap peristiwa yang berada di luar dirinya. Banyak orang beriman memberi
respon negatif terhadap setiap peristiwa yang berada di luar dirinya, apa lagi kalau peristiwa
tersebut tidak masuk dalam ukurannya mengenai apa yang baik menurut dirinya. Karena itu
tidak mengherankan, orang beriman hanya kelihatan spiritual pada hari-hari tertentu, waktu-
waktu tertentu atau saat-saat tertentu. Sedangkan di luar waktu-waktu, saat-saat, hari-hari
tertentu itu, orang beriman cenderung memberikan respon negatif terhadap berbagai peristiwa
buruk yang berada di luar dirinya.
Respon negatif terhadap berbagai perisitiwa yang berada di luar dirinya tentu saja
tidak akan pernah membantunya untuk menemukan jalan terbaik untuk memecahkan
persoalan yang dihadapinya sebagai suatu peristiwa yang menuntut respon tertentu. Malas,
marah, putus asa, cemas, takut merupakan sebagian sedikit dari begitu banyak pilihan respon
1. Ilmu Pengetahuan
Kita tidak bermaksud mengguggat peran penting ilmu pengetahuan bagi
perkembangan peradaban manusia. Ilmu pengetahuan telah banyak berjasa membantu
membawa manusia pada puncak-puncak peradabannya. Sekarang ini kita menjadi lebih bebas
untuk memobilisasi diri. Kita dapat berpindah dari satu tempat ke tempat yang lainnya
dengan begitu mudah, cepat, efisien dan efektif. Semua ini tentu berkat jasa ilmu
pengetahuan di bidang teknologi. Selain itu, dewsa ini kita juga dapat menyaksikan berbagai
peristiwa dari berbagai belahan dunia dalam hitungan menit dan bahkan detik melalui
teknologi informasi. Demikian juga dengan peran ilmu pengetahuan di bidang-bidang lainnya
seperti bidang kesehatan, infrastruktur, pangan, sandang dan papan. Singkatnya, peran
teknologi untuk memajukan peradaban manusia tidak dapat disangkal signifikansinya.
Bagi orang beriman, kemajuan ilmu pengetahuan tersebut harus dilihat dalam konteks
peran Allah yang terlibat dalam memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh
manusia. Namun, sayangnya banyak orang beriman yang berusaha mengakui dan mengalami
bahwa kemajuan ilmu pengetahuan merupakan salah satu bentuk peran Allah bagi
pembebasan manusia. Orang beriman justru memusatkan perhatiannya pada ilmu
pengetahuan tersebut dan bukan pada Tuhan yang memungkinkan ilmu pengetahuan itu
Sikap yang benar seharusnya bagi orang beriman adalah terus menerus membangun
dialog dengan Tuhan untuk memecahkan masalah hidupnya, bukannya menggantikan peran
Allah dengan ilmu pengetahuan. Bila manusia terus menerus membangun relasinya dengan
Allah untuk memecahkan masalahnya, maka manusia dapat menggunakan ilmu pengetahuan
yang diperolehnya dalam tuntunan Allah. Di bidang kesehatan misalnya, bila seseorang
mengalami sakit jantung, dari sisi ilmu pengetahuan akan ada metode untuk mengobatinya.
Namun bila anda bertanya pada Tuhan terlebih dahulu tentang apa yang harus anda lakukan
dengan penderitaan anda, mungkan jawabannya adalah anda jangan dendam dan marah sebab
sikap-sikap seperti itu tidak baik baik kesehatan jantungmu. Jadi jawabannya sangat berbeda
dan tidak harus diselesaikan dengan ilmu pengetahuan. Anda cukup belajar untuk bersukacita
dalam setiap situasi terutama situasi yang sulit, maka jantung anda sehat. Demikian juga
untuk kasus-kasus yang lainnya.
2. Materialisme
Materialisme merupakan salah satu tantangan yang dihadapi oleh orang beriman
dewasa ini untuk mengembangkan hati nuraninya. Materialisme merupakan sebuah sikap
yang menempatkan materi sebagai yang utama bagi hidup manusia. Materialisme nampak
dalam berbagai sikap hidup manusia seperti membeda-bedakan orang berdasarkan harta
kekayaan yang dimilikinya. Bila ada orang yang memiliki kekayaan yang lebi besar atau
menggunakan barang-barang atau fasilitas yang mewah dan eksklusif, kepadanya semua
Namun persoalannya, adalah bahwa banyak orang beriman telah menggantikan peran
Tuhan dengan materi. Materi menjadi ukuran untuk semua prilaku. Rakus makan sebagai
contoh lain misalnya merupakan wajah materialisme. Orang yang rakus tidak berusaha
mengurangi kebutuhannya supaya dia menjadi berkelebihan untuk dibagikan kepada orang
lain. Kerakusan seperti ini akan memandag rendah praktek-praktek aksetisme, puasa dan lain
sebagainya.
Dengan membangun relasi yang baik dengan Tuhan, dengan secara terus menerus
melatih diri dengan berusaha mendengarkan suara hati kita yang kita akui sebagai ruang di
mana Tuhan berbicara kepada kita, kita menjadi tahu, bagaimana kita memperlakukan barang
materi yang kita miliki, atau bagaimana kita harus memenuhi kebutuhan hidup kita.,
3. Kebudayaan
Secara struktural dapat dijelaskan bahwa setiap orang lahir dalam konteks budaya
tertentu. Jadi setiap orang yang lahir ke dunia ini sudah ada budaya yang menuntun
hidupnya, budaya yang mengatur bagaimana ia berperilaku, bagaimana itu bertutur kata,
bagaimana ia merespon segala perisitiwa yang berada di luar dirinya. Hal ini tentu saja baik
bagi setiap manusia, karena dengan itu, keteraturan sosial dapat terjadi.
Tetapi bagi orang beriman, mengikuti tuntutan budaya saja tidak cukup. Budaya tidak
dapat menggantikan peran Tuhan yang terus membimbing hidupnya. Oleh karena itu, setiap
orang beriman tidak cukup menjalani hari-hari hidupnya berdasarkan tuntunan budaya.
Orang beriman juga harus selalu berjuang mendengarkan suara Tuhan melalui hati
nuraninya. Kebudayaan biasanya merupakan produk yang diwariskan, jadi kebudayaan
diciptakan dalam konteks tertentu di masa lalu. Masa sekarang tentu saja sudah berubah.
Oleh karena itu, mengandalkan budaya yang merupakan produk masa lalu sebagai satu-
satunya tuntunan hidup tidak tepat bagi setiap orang beriman. Setiap orang beriman
seharusnya tidak menggantikan peran Tuhan yang berbicara padanya melalu hati nuraninya
untuk merespon situasi konkrit yang dialaminya saat sekarang.
Hati nurani merupakan sesuatu yang penting bagi setiap orang beriman. Setiap orang
beriman tidak hanya mengandalkan ilmu pengetahuan, materi, dan kebudayaan sebagai dasar
untuk merespon berbagai peristiwa konkrit yang berada di luar dirinya. Kalau orang beriman
berperilaku demikian apa bedanya orang beriman dengan orang yang tidak berman?
Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa hati nurani merupakan ruang melalui
mana Tuhan mewahyukan diri-Nya. Dalam ruang itulah, Tuhan berbicara kepada setiap
orang beriman mengenai bagaiman ia harus merespon setiap situasi atau peristiwa konkrit
yang dihadapinya setiap hari. Oleh karena itu maka sikap dasar orang beriman adalah
mendengarkan tuntutan Tuhan melalui suara hatinya untuk merespon setiap situasi atau
peristiwa yang berada di luar dirinya.
Porat Antonius & Max Biae Dae (2015). Eksegese Orang Jalanan. Tahun Liturgi A Jilid 1;
Tahun Liturgi C Jilid 1 dan 2, Kupang: Lembaga Jasa Psikologi Terapan
Week 6
LO4 : Menjelaskan hati nurani dan sikap kritis menghadapi formalisme agama
Pertama, lebih memperhatikan aturan-aturan formal agama daripada isi atau makna.
Ketiga, berpikir sangat tinggi terkait dengan tema-tema agama sehingga cenderung
membela diri dan resisten.
Dalam konteks kebijakan negara, jika negara mengadopsi konsep formalisme agama
ini dan menerapkan secara ketat terhadap kehidupan para warganya, maka akan menimbulkan
masalah karena dimensi kebebasan individu dikekang bahkan tanggung jawab seolah-olah
dipaksakan oleh negara kepada warganya. Hal ini merupakan suatu bentuk tirani kekuasaan
negara melalui bidang agama yang bisa tidak menenggang kebebasan individu ataupun
mengganggu komunitas/kelompok lain yang tidak sepaham. Jadi sebetulnya formalisme
agama bisa berpeluang dilakukan oleh negara, institusi, kelompok atau individu.
Untuk membantu kita memahami konsep radikalisme agama, kita perlu terlebih
dahulu memahami apa hakikat dasar yang paling esensial dari pengertian kata „radikalisme‟
itu. Istilah „radikal‟ merupakan sekumpulan makna-makna yang memiliki arti membawa
pulang segala sesuatu kepada akarnya. “The world radical has a number of meaning, one of
which involves “getting to the root of matter”(Encyclopedia of the Social Science, hal. 48).
Ketika kita mendengarkan kata radikalis, maka itu artinya orang atau subjek yang ingin
membawa pulang atau mau mengembalikan suatu konsep/gagasan kepada prinsip-prinsip
pertamanya. Radikalisme biasanya berkaitan dengan sistem keyakinan tertentu yang pertama
dan terutama. Radikalisme ini bisa diterapkan dan beroperasi di dalam banyak ruang
kehidupan: ekonomi, sosial, politik, budaya, ilmu pengetahuan, teknologi, ideologi pemikiran
bahkan agama dan spiritualisme. Kaum radikalis ini biasanya membentuk kelompok sendiri
yang eksklusif. Ciri khas yang menonjol dari kelompok radikalis itu yakni: terisolasi, parsial,
Radikalisme agama ini pada dasarnya adalah suatu pandangan atau ideologi religius
yang ingin mengubah realitas sosial penghayatan agama untuk kembali ke akar-akar tradisi
pada awalnya yang ketat dan kaku. Radikalisme agama, oleh karena itu, juga berkarakter
konservatif, normatif, tradisional, dan ortodoksif. Radikalisme agama berpotensi
antikemajuan, anti perkembangan antiprogresif, antisolidaritas dll. Namun para radikalis
agama mungkin sungguh mencintai semangat agresivitas, sikap kasar, tidak peduli, teror,
kepicikan ideologis berkedok agama dll.
Aroma atau nuansa radikalisme agama umumnya hampir tercium di dalam semua
keyakinan agama baik Kristiani, Islam, Budha, Hindu dll. Sering dalam ekspresinya bersifat
ekstremistis dan fundamentalistis. Malah bisa tercuat keluar dalam berbagai bentuk aksi
kekerasaan entah secara verbal atau pun non verbal, fisik maupun psikologis sehingga
merugikan pihak lain sebagai sasaran korban kekerasaannya. Bahkan secara psikologis
orang-orang yang radikal merasa senang (hedonis) dan tak segan-segan melakukan teror dan
intimidasi kepada orang lain misalnya menggunakan ancaman fisik atau sikap kasar yang
ditunjukkan pada pihak lain tanpa disaring secara keberadaban humanis. Bahkan mereka
sungguh menikmati sebagai suatu tindakan yang diklaim sebagai etis, luhur, mulia dan terpuji
dari sisi tilik ideologi radikalisme agama. Misalnya entah itu dengan mengorbankan diri
menjadi martir merah seperti mati suci dalam konsep kekristenan atau pun mati sahid alias
jihad dalam Islam.
Radikalisme ini kontras dengan paham moderat atau toleransi. Dengan demikian
maka moderasi atau toleransi merupakan prinsip oposisi dari radikalisme. “Moderates, in the
broadest and most general usage, moderates are defined by their opposition to radicalism,
extremism, and fanaticism. Moderates value calm, continuity, consensus, tolerance, and
stability” (International Encyclopedia of the Social Science, 2010: 226). Jika nilai-nilai
yang dibawa oleh kaum radikalisme adalah tidak peduli, tidak kompromi, tidak toleransi
maka kelompok moderasiatau toleransi malah sebaliknya. Kelompok toleran atau moderat
Terdapat banyak alasan atau motif sebagai latar belakang yang memunculkan gerakan
radikalisme agama ini. Namun umumnya bisa dipicu oleh hal-hal seperti:
Praktik formalisme agama menjadi tantangan besar untuk Indonesia sebagai bangsa
yang majemuk/plural. Di Indonesia, praktik formalisme agama terjadi dalam beberapa
dimensi kehidupan. Ada beberapa peta krusial praktik formalisme agama di Indonesia dalam
konteks semangat pluralisme dan multikulturalisme.
1
Materi ini diadaptasi dari Frederikus Fios (2013). “Filsafat Multikulturalisme: Sebagai Strategi Kebudayaan
Menyiasati Tantangan Pluralisme Agama di Indonesia” dalam Proceeding International Conference
Kebhinekaan & Budaya, Universitas Indonesia: Depok, Hal. 275-286.
Kedua, merangkai bingkai teoretik atau strategi kebudayaan untuk tumbuhnya iklim
toleransi antarumat beragama. Fakta membuktikan, kondisi toleransi belum cukup memadai
terealisasi di bumi Indonesia ini. Meskipun ajaran kebanyakan agama sebenarnya toleran dan
terbuka, akan tetapi, dalam kenyataan agama-agama sering cenderung bersikap tidak toleran
dan tertutup, alias eksklusif. 4 Cukup banyak aliran kepercayaan/spiritual yang tidak dibiarkan
tumbuh maupun agama minoritas cukup sulit menjalankan ibadah secara wajar karena justru
dipersulit. Bahkan izin pendirian tempat ibadah pun sering dipersulit. Kalau toh izinnya
sudah ada, masih saja diprotes oleh warga pemeluk agama lain terhadap kelompok minoritas
beragama. Koordinator Pemantau Kebijakan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat
(ELSAM), Wahyudi Fadjar mengatakan terdapat 64 kasus intoleransi selama tahun 2012
berupa perusakan tempat ibadah (10 kasus), penghalangan aktivitas ibadah (20 kasus),
penutupan tempat ibadah (7 kasus), tuduhan sesat (5 kasus), diskriminasi (4 kasus),
pengusiran (3 kasus), pembunuhan (2 kasus), lain-lainnya (6 kasus) dengan frekuensi
2
Panduan Pemasyarakatan UUD Negara RI Tahun 1945 (2012) yang diterbitkan oleh Sekjen MPR RI, hal. 183.
3
Politik pengakuan dalam buku politic of recognition yang ditulis oleh Charles Taylor.
4
Franz Magnis Suseno (2013). “Bhineka Tunggal Ika, Kesatuan Bangsa dalam Tantangan” dalam Proceeding
International Conference Kebhinekaan dan Budaya, Universitas Indonesia: Depok, hal. 25-29.
Keempat, peta lain yakni upaya perumusan bahasa peradaban Indonesia dihadapkan
pada persoalan klaim kebenaran kelompok sendiri (eksklusivisme agama) dan arus
globalisasi kapitalisme ekonomi dalam bentuk euphoria materialisme orang Indonesia yang
tampil dalam berupa gaya hidup popular-wah saat ini. Sebagian penganut agama di Indonesia
mencari kesenangan religius dalam bentuk ekstremisme agama yang mengklaim ajaran
sendiri paling benar dibandingkkan dengan kebenaran agama sesamanya yang lain. Sebagian
lagi mencari kesenangan materilistis dalam sikap konsumtif ekstrem yang terkadang egoistik-
antisosial. Gerakan fundamentalisme/radikalisme agama dan konsumerisme-materialisme
tumbuh subur di Indonesia seiring dengan upaya kita membumikan toleransi di republik ini.
5
Kasus intoleransi beragama di Indonesia sepanjang tahun 2012 ini diekspos dalam vivanews.com edisi online.
6
Sumber: edisi online VIVAnews.com
Kita telah melihat dampak yang ditimbulkan oleh praktik formalisme agama beserta
isme-isme lain yang diturunkan daripadanya seperti radikalisme agama, fundamentalisme
agama, ekstremisme agama dan lain sebagainya. Semua isme berkedok agama ini tentu baik
namun di sisi yang lain bertentangan dengan kenyataan kita yang beragam, plural, multietnis,
multireligius, bervariasi, berbeda dll. Tentu tidak apa-apa jika orang menghayati nilai-nilai
agama secara radikal, namun problem muncul ketika itu dipaksakan kepada orang lain atau
dijadikan sebagai tolok ukur paling benar dalam menilai praktik hidup bersama dalam ruang-
ruang sosial publik. Untuk mencegah agar radikalisme agama tidak merusakkan tatanan
kebaikan hidup (good life) kita bersama, maka salah satu jalan untuk mengontrol dan
mengendalikan sikap kita yang kurang bijak itu yakni dengan menjadi rasional (a critical
person). Menjadi bijak artinya kita menggunakan rasio (akal sehat) dan hati nurani (perasaan
moral-etis) yang ada pada kita sebagai spesis manusia. Maka di sini sikap kritis dalam
menghayati hidup keagamaan kita menjadi penting.
Kritik terhadap formalisme agama bisa ditempuh dengan cara bersikap kritis dalam
menghayati iman keagamaan yang kita anuti. Bersikap kritis artinya kita memilah, memfilter,
menyaring dan menyensor pola pikir, pola sikap dan pola tindakan kita yang salah, kurang
etis dan keliru dalam menghayati keagamaan kita. Kritis artinya menggunakan ukuran yang
benar dalam mengevaluasi diri kita dalam menghayati iman keagamaan kita.
Ukuran sikap kritis itu kita tempatkan dalam konteks substansi atau esensi universal
dari agama itu sendiri. Apa yang menjadi subtansi semua agama itu? Jawabannya sederhana
saja: Memuliakan Tuhan Maha Cinta dan mencintai kemanusiaan sesama siapapun etnis dia
dan apapun latar belakang agama yang dianutnya. Karena semua agama mengajarkan pesan
utama perdamaian, kasih sayang, persaudaraan, cinta kasih, dan solidaritas.
Kita perlu mengevaluasi hubungan antara kita dengan Tuhan (teosentris) dan relasi
kita dengan sesama (sosio-sentris) bahkan hubungan kita dengan realitas ekologi alam (eko-
Selalu mendekatkan diri pada Tuhan/Allah (setia berdoa, melakukan ritual, rajin
berefleksi, bermeditasi, berkontemplasi, rasa takut yang suci akan Tuhan)
Peduli pada sesama manusia tanpa memandang perbedaan agama/etnis
(menolong, membantu, memberi, berempati, rela berkorban, solider, mencintai
dengan tulus, menghargai sesama dll)
Berusaha untuk menciptakan perdamaian menuju kedamaian di dalam realitas
sosial masyarakat (tidak berkonflik, hidup harmonis, tenggang rasa, bertoleransi,
teposoliro, tasamuh, tolerare, tolerance dll).
Menghargai ekologi alam (menanam pohon, hidup hemat, hidup
sederhana/ugahari, bersepeda ke kampus, tidak konsumtif, jaga kebersihan diri,
menjaga lingkungan, tidak membuang sampah sembarangan dll).
Buku Panduan Pemasyarakatan UUD Negara RI Tahun 1945 (2012) yang diterbitkan oleh
Sekjen MPR RI.
Franz Magnis Suseno (2013). “Bhineka Tunggal Ika, Kesatuan Bangsa dalam Tantangan”
dalam Proceeding International Conference Kebhinekaan dan Budaya, Universitas
Indonesia: Depok, hal. 25-29.
Frederikus Fios (2013). “Filsafat Multikulturalisme: Sebagai Strategi Kebudayaan Menyiasati
Tantangan Pluralisme Agama di Indonesia” dalam Proceeding International
Conference Kebhinekaan & Budaya, Universitas Indonesia: Depok, Hal. 275-286.
“Kasus intoleransi beragama di Indonesia Sepanjang tahun 2012”. Diekspos dalam
vivanews.com edisi online.
Week 7
Pengertian sekularisme
Tantangan sekularisme terhadap agama
Dampak negatif sekularisme serta cara mengatasinya
Pola hidup yang berangkat dari pengendalian diri menuju cinta dan solidaritas pada
sesama
A. KONSEP SEKULARISME
Dari mana datangnya istilah sekularisme ini? Terminologi sekularisme ini sebetulnya
berasal dari masyarakat dunia barat. Kata-kata sekuler dan sekularisasi berasal dari bahasa
Barat yakni Inggris, Belanda, dan lain-lain (Nurcholish Madjid: 1998, hal 216). Kamus
Bahasa Indonesia memaknai kata sekuler sebagai duniawi, kebendaan, atau bukan bersifat
kerohanian. Sebetulnya kata sekuler berakar dari kata bahasa Latin „saeculum‟ yang makna
awalnya berarti masa kini atau generasi sekarang. Bahasa Prancis menggunakan istilah la cit
yang merujuk pada kelompok masyarakat biasa dan bukan kalangan pendeta atau klerus.
Oleh sebab ini sebetulnya sekularisme kontras atau beroposisi dengan istilah religius, agama
dan yang rohaniah-spiritual. Sekularisme itu paham yang bernuansa duniawi belaka.
Sekularisme asasinya suatu paham yang tertutup dan tidak mau terbuka terhadap
agama. Sekularisme merupakan suatu ideologi keduniawian yang tertutup dan mau
melepaskan diri dari agama atau menolak adanya kehidupan lain di luar kehidupan dunia ini
(Madjid: 1998: hal. 218, 257). Sebagai konsekuensi logisnya, kehidupan hanya berlangsung
Akar-akar sekularisme juga bisa dilacak mulai dari perkembangan pemikiran manusia
sejak Auguste Comte (tahap positif berpikir ilmiah yang menyingkirkan teologi-agama),
Karl Marx (agama sebagai candu/opium masyarakat), Max Weber (modernitas harus
berdasarkan ratio bukan agama). Selain sebagai ideologi yang kontra agama, sekularisme
juga berkembang seiring dengan pertumbuhan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
mengglobal. Sekularisme merembes masuk ke segala dimensi kehidupan manusia di ruang
publik hingga ruang privat penghayatan iman keagamaan kaum beragama alias orang-orang
yang beriman pada Tuhan.
Tantangan utama sekularisme bagi penganut agama tampak jelas di dalam berbagai
bentuk godaan-godaan duniawi yang sangat kuat menghantui umat beragama. Gaya hidup
(life style), pola sikap dan tindakan para penganut agama semakin jauh dari nilai-nilai
kebajikan religius yang ada pada agama. Banyak sekali tantangan sekularisme bagi agama.
Namun tantangan yang lazim dan dominan tampak dalam fenomena godaan-godaan duniawi
yang deras menerpa masyarakat beragama dewasa ini. Godaan-godaan itu1 tentu menarik
sekali bagi subjek manusia sebagai kaum beragama juga. Godaan-godaan itu antara lain:
Sudah sejak berabad-abad silam Lord Action dari Inggris mensinyalir bahwa
setiap bentuk kekuasaan itu pada hakikatnya cendrung korup. “Power tends corrupt”,
katanya. Kebenaran historis ini terjadi sepanjang sejarah kekuasaan politik manusia di planet
bumi ini. Memegang kekuasaan dan berkuasa atas orang lain adalah suatu kenikmatan,
1
Sebagian materi ini diadaptasi dari Frederikus Fios et all (2013). CB: Spiritual Development. CBDC Binus
University: Jakarta.
Orang yang memiliki kuasa atau kekuasaan biasanya akan menggunakan kekuasaan
itu untuk menindas atau menekan orang lain. Hal ini merupakan sesuatu hal yang melekat
erat di dalam kata “kekuasaan” itu karena kekuasaan memberi peluang bagi seseorang atau
sekelompok orang untuk memaksakan kehendak bagi orang lain. Kekuasaan bisa
mendatangkan rasa tunduk, taat dan hormat dari orang lain yang ada di bawah pengaruh
kekuasaan itu. Secara ekstrem, seorang penguasa bisa saja memperlakukan orang lain secara
negatif atau tidak adil bahkan tidak manusiawi asalkan kepentingan penguasa tercapai. Di
sinilah terjadi apa yang sering disebut abuse of power atau penyalahgunaan kekuasaan.
Bentuk-bentuk penyalahgunaan kekuasaan misalnya korupsi, sewenang-wenang,
memaksakan kehendak, bertindak tak adil, berlaku tak jujur, menghancurkan lawan,
menggunakan orang lain sebagai alat pemuas keinginan diri dan lain sebagainya.
Umumnya kekuasaan bisa didapatkan oleh manusia dengan cara perjuangan atau
kerja keras dan bisa juga diberikan sebagai hadiah dari orang lain kepada seseorang atau
sekelompok orang untuk berkuasa. Sering kekuasaan juga bisa didapatkan karena
keahlian/skill, kekayaan, pengetahuan ataupun pendidikan yang kompeten. Namun
kekuasaan juga bisa didapatkan karena keberanian seseorang misalnya menang konflik atau
perang, unsur kegantengan atau kecantikan, bakat atau talenta spektakuler seseorang dalam
hal memimpin dan lain sebagainya.
Perlu kita sadari bahwa kekuasaan itu tidak salah, namun yang salah terletak pada
orang yang menjalankan roda kekuasaan itu. Kekuasaan penting bagi manusia agar sebuah
tujuan tercapai, suatu rencana direalisasikan, suatu kegiatan bisa terlaksana dengan baik,
suatu organisasi atau kelompok bisa bergerak maju dan lain sebagainya. Kekuasaan menjadi
salah atau disalahgunakan ketika orang yang memegang kekuasaan itu mengedepankan ego
sendiri dalam praksis kekuasaan tanpa memperhatikan rambu-rambu etis yang berlaku
apalagi sampai menindas orang lain secara kejam dan tidak manusiawi.
Satu hal yang tidak bisa kita sangkali adanya yakni bahwa setiap manusia ingin
maju dan berkembang secara material dalam hidup ini. Karena toh salah satu indikator
kesejahteraan manusia yakni indikator akumulasi material yang dimilikinya entah berupa
tanah, rumah mewah, kendaraan (mobil), uang dan lain-lain. Kepemilikan materi merupakan
satu daya pikat yang menguasai hati semua orang (Gea: 2004, hlm. 233).
Fenomena ini malah sering menjadi suatu keinginan atau kehausan besar yang seolah-olah
tak pernah terpuaskan hingga tuntas. Ketika muncul suatu produk barang baru di pasaran,
orang akan berlomba-lomba untuk membeli demi mendapatkannya.
Nafsu untuk memiliki barang melecut manusia dewasa ini untuk terus membeli
dan membeli. Fenomena inilah yang oleh Magnis Suseno dilihat sebagai megatrend dalam
masyarakat sekarang ini. Orang menghayati gaya hidup konsumisme yakni semacam nafsu
untuk membeli dan terus membeli tanpa pernah puas ataupun berhenti (Makalah Seminar
Character di Binus Uviversity, 2012). Lihat saja di mall-mall dan pusat perbelanjaaan di kota
Jakarta dan sekitarnya ini. Banyak orang mulai dari kalangan bawah hingga elit menjadikan
mall sebagai tempat menghabiskan uang yang didapatkannya entah dengan cara halal ataupun
tidak. Disadari atau tidak, nafsu untuk membeli barang merupakan kekuatan yang sudah
seakan menghipnotis banyak orang. Disadari ataupun tidak nafsu untuk terus membelanjakan
uang, membeli barang atau memiliki produk trend tertentu merupakan masalah serius di
dalam zaman edan kita sekarang ini. Jika tidak diwaspadai, maka lama kelamaan akan
mempolusikan bening spiritual dimensi jiwa manusia. Karena orang bisa saja menggunaka
cara-cara tak halal untuk mendapatkan materi atau uang misalnya dengan cara korupsi untuk
bisa memenuhi nafsu membeli barang material yang diinginkannya.
Dalam legenda Yunani Kuno, diceritakan bahwa telah bertakhta seorang raja yang oleh
rakyatnya disebut Raja Midias, sebuah wilayah di Anatolia, Asia Kecil. Oleh rakyaktnya,
dia dijuluki “raja yang rakus”, yang selalu menumpuk kekayaan dan tidak rela jika ada
orang lain yang lebih kaya dari dirinya. Sedemikian serakahnya Raja Midias ini,
sehingga suatu hari ia datang ke Dionysus, seorang dewa Yunani yang sangat sakti, agar
ia memiliki tangan ajaib. Midias akhirnya memiliki tangan ajaib yang diinginkannya. Ia
pun berjalan masuk dari taman ke taman sehingga secara misterius semua pohon dan
bunga yang dia sentuh otomatis berubah menjadi emas. Merasa memiliki kekuatan
hebat, ia pun beranjak pergi ke sungai dan dipegangnya air sungai itu yang seketika
berubah menjadi bongkahan-bongkahan emas.
Materi bukanlah unsur yang salah atau negatif. Karena materi penting bagi kita untuk
bertahan hidup di dunia fana ini. Letak kesalahannya justru pada keinginan hati atau nafsu
liar manusia untuk memiliki banyak barang secara irasional dan membabi buta. Sehingga
ujung-ujungnya nafsu itu mendatangkan kerugian fatal bagi diri manusia dan orang lain.
Nafsu memiliki barang malah bisa mendatangkan neraka (derita) bagi manusia dan bukannya
surga (bahagia) di hati manusia. Dan inilah salah satu ancaman serius bagi kita manusia yang
hidup di era globalisasi berbagai bidang pada abad ke-21 ini.
Manusia dibedakan sebagai pria (laki-laki) dan wanita (perempuan) lengkap dengan
organ genital atau alat kelamin yang membedakan keduanya secara lahir. Dengan alat
kelamin inilah orang bisa mencari kebahagiaan badaniah bagi dirinya sendiri. Orang bisa
menggunakan alat kelamin untuk menghasilkan rangsang seksual demi kepuasan atau
kesenangan badan. Kita tidak bisa menyangkal hakikat tubuh manusia yang penuh pesona
dan indah ini. Justru karena daya tarik seks inilah maka hubungan antara pria dan wanita
menjadi menarik, indah dan selalu baru (Gea: 2004, hlm. 234). Namun pesona keindahan
seks manusia ini banyak kali disalahgunakan sehingga keindahan seks akhirnya tercemari.
Seks sebagai keindahan yang tercemari tampak dalam berbagai tindakan yang bersifat
inferior-rendah seperti prostitusi, seks bebas, perkosaan, pelecehan seks, selingkuh,
perzinahan, dan berbagai bentuk manipulasi seksual lain yang merusakkan makna seks yang
sejati sebagai hubungan intim antarmanusia yang bersifat personal, indah, sejati dan suci.
Seksualitas yang dihayati secara salah akan tergerus nilainya menjadi sebuah fenomena
objektivasi antarmanusia. Ketika ini terjadi maka hubungan subjek-subjek menjadi ternodai.
Yang ada hanyalah hubungan subjek-objek yang saling mengobjekkan, memperalat dan
memanipulasi satu sama lain.
Seks harus dihayati sebagai karunia Tuhan yang indah bagi manusia, dan karena itu ia
harus diekspresikan secara sadar, etis, dan tanggung jawab agar tidak mendatangkan efek
destruktif bagi diri sendiri maupun orang lain. Makna hubungan antarmanusia perlu dihayati
secara tepat: etis, estetis dan spiritual. Hubungan manusiawi tidak boleh diredusir nilainya
pada hubungan seks yang merendahkan kualitas relasi antarsubjektif manusia.
Manusia tidak akan hidup baik, bahagia dan damai kalau hanya mengikuti
dorongan insting belaka. Ia akan hidup tenang dan bahagia, asal saja ia bertindak
menurut rasionya; ia akan menguasai nafsu-nafsunya dan mengendalikan diri secara
sempurna, supaya dengan penuh keinsyafan ia menaklukkan diri pada hukum-hukum
alam (Bertens: 2000, hlm. 16). Orang yang hidup menurut rasionya akan mencapai
kebebasan sejati dan tidak tunduk atau terbelenggu di bawah kuasa, tekanan atau kendali
insting-insting rendahan. Ia akan bertindak rasional untuk mencapai kebebasan sejati
yang membahagiakan diri maupun sesamanya.
Orang yang bertindak rasional tidak lagi tunduk pada kuasa insting, tetapi tunduk
dan mengarahkan diri pada hal-hal yang benar sesuai pertimbangan rasio sehingga
membuatnya hidup gembira dan bahagia secara sempurna. Karena terlalu banyak
mengikuti kesenangan badaniah manusia, akan menggelisahkan batin manusia (Bertens:
2000, hlm. 17). Karena itu manusia perlu membebaskan diri dari kungkungan insting
kesenangan badaniah sesaat itu dengan mendasarkan tindakannya di atas pikiran atau
rasio. Hanya dengan ini manusia menjadi bebas-otonom dari belenggun kuasa-kuasa
instingtif badaniah yang menghancurkan diri.
2
Sebagian materi ini diadaptasi dari Frederikus Fios (2013). CB: Spiritual Development. Binus University:
Jakarta.
Orang bijaksana tahu membebaskan diri (dari godaan) dan terutama mencari
kebahagiaan rohani supaya keadaan batin tetap tenang (Bertens: 2001, hlm. 17). Orang yang
bijak tidak mencari kebahagiaan di dalam daya tarik duniawi yang sesaat dan menyesatkan
dirinya. Namun kebahagiaan rohani seorang yang bijak diarahkan secara absolut pada nilai-
nilai religius-spiritual yang abadi dan perennial. Sumber kebahagiaan diri tidak ditemukan
dalam daya tarik material duniawi, tetapi dicari dan ditemukan dalam dimensi rohani-
spiritual. Dalam konteks inilah kita bicara tentang pentingnya beriman dan mendekatkan diri
pada Tuhan.
Menghadapi daya tarik duniawi yang menggiurkan, kita tentu tidak hanya
mengandalkan diri sendiri saja. Sebab kepercayaan diri manusiawi yang berlebihan tanpa
sikap iman pada Tuhan, hanya akan melorotkan manusia kembali pada godaan-godaan yang
sama. Sebagai orang yang beriman pada Tuhan, usaha mengatasi godaan-godaan kita
butuhkan intervensi atau penyelenggaraan Ilahi Tuhan. Karakter kerapuhan yang melekat
pada dimensi kemanusiaan kita menuntut kita untuk mengandalkan pertolongan Tuhan yang
Maha Kuasa. Karena kendatipun tubuh kita berkarakter rapuh terhadap godaan, namun kita
bisa kuat mengatasi kerapuhan itu di dalam nama Tuhan. Bersama dan di dalam Tuhan, kita
percaya diri dan berharap mampu mengatasi segala godaan dan daya tarik duniawi. Bersama
Tuhan kita menang, tanpa Tuhan kita kalah.
Mendekatkan diri pada Tuhan dalam konteks seorang beriman, artinya kita perlu
selalu bersikap rendah hati dan berdoa mohon kepada Tuhan untuk membantu kita mengatasi
kelemahan-kelemahan manusiawi kita. Doa permohonan itu kita sampaikan terus-menerus
kepada Tuhan tanpa henti siang dan malam. Dan kita yakin, dalam semuanya itu Tuhan pasti
akan memberikan kekuatan spiritual bagi kita untuk menghadapi godaan-godaan itu dengan
penuh keberanian dan jiwa besar. Doa yang kita panjatkan dengan tulus-ikhlas kepada Tuhan
akan dikabulkan Tuhan pada waktunya. Sehingga kita tidak hidup di bawah kuasa bayang-
bayang godaan duniawi, namun hidup bebas sebagai anak-anak Tuhan yang spiritual.
Alhasil, diri kita bisa bertransformasi dari kerapuhan pada godaan menuju pada kekuatan
untuk bertahan di tengah godaan dan akhirnya muncul sebagai pahlawan pemenang yang
kukuh dalam Tuhan. Kita bisa menjadi bebas dari godaan duniawi.
Sebagai orang-orang yang beriman kepada Tuhan, kita perlu bekerja sama untuk
melawan berbagai godaan yang dibawa oleh pengaruh sekularisme itu. Kita perlu peduli pada
kebaikan sesama dan tidak menjerumuskan sesama ke dalam godaan-godaan duniawi itu.
Kita perlu menjaga satu sama lain, membebaskan sesama dari belenggu godaan. Kita perlu
memiliki keberanian moral dan keteguhan hati untuk sama-sama berjuang melawan dosa atau
berjuang terus untuk tidak hanyut di bawah oleh arus utama tarikan godaan-godaan itu. Kita
harus saling membantu, saling menasihati, saling menjaga untuk tidak menjerumuskan satu
sama lain ke dalam godaan-godaan duniawi yang ada. Hanya dengan itu kita sungguh
bersikap solider dan ikut bertanggung jawab menjaga kehidupan dan masa depan sesama kita
menuju kebaikan.
Mengendalikan diri (askese) merupakan usaha untuk menahan diri agar kita tidak
terjatuh lagi ke dalam godaan-godaan duniawi yang menyesatkan. Mengendalikan diri artinya
juga kita berusaha menekan dan mengatasi kecendrungan instingtif kita yang berpotensi
merusakkan perkembangan diri kita menuju kebaikan sebagai makhluk religius-spiritual.
Mengendalikan diri mengandaikan adanya usaha secara kritis dan sadar untuk selalu
mengantisipasi godaan-godaan agar kita tidak terjatuh ke dalam pengaruh jahat godaan-
godaan yang merusakkan diri.
Godaan-godaan yang kita ikuti biasanya menjauhkan kita dari Tuhan dan sesama.
Karena kita akan diarahkan untuk cenderung bersikap egoistik demi memenuhi keinginan
atau kesenangan sendiri. Dan kita mau bangkit dari situasi keterpurukan ini dalam cinta kasih
yang murni pada sesama. Kita mau menjadi pribadi yang semakin mengasihi dan mencintai
Tuhan dan sesama dengan tulus-ikhlas. Ini artinya kita mau berusaha dan bangkit untuk
bersikap solider atau setia kawan terhadap sesama yang lain.
Godaan materi atau harta bisa membuat kita merusakkan alam lingkungan hidup
(untuk mendapatkan barang dan uang) dengan mengurasnya untuk kepentingan egoistik kita.
Godaan kekuasaan membuat kita melecehkan harga diri sesama karena kita menindas dan
memanipulasi mereka dengan menyalahgunakan kekuasaan. Godaan seks membuat kita
mengeksploitasi tubuh tanpa cinta dan menghancurkan hidup serta masa depan orang lain.
Semua godaan ini mendatangkan dampak destruktif bagi sesama dan lingkungan kita.
Dalam konteks pemikiran di atas kita mau melakukan sebuah “metanoia religius”
untuk tidak lagi terjatuh atau melakukan kesesatan-kesesatan yang sama melalui tindakan-
Bagi umat Islam khususnya, sekularisme merupakan suatu paham atau ideologi yang
di anggap menyesatkan. Karena, menurut paham ini agama tidaklah dapat mencampuri
urusan duniawi. Dan, di dalam sistem sekuler, pemerintah pun juga tidak dapat mencampuri
urusan agama. Sebaliknya, ditegaskan bahwa agama tidak bisa masuk pada ranah
pemerintahan. Namun, uniknya di Indonesia antara agama dan sekularisme mempunyai
perannya masing-masing juga terkadang bisa saling mengisi.
Sekularisme adalah suatu aliran atau faham yang tidak memperkenankan agama
masuk dan mencampuri urusuan duniawi. Paham ini lahir antara abad 18-19, pada jaman
pencerahan di kawasan Eropa Barat. Permulaan munculnya paham ini diakibatkan oleh
pengalaman buruk negara-negara Eropa Barat terhadap peran agama dalam pemerintahan
maupun kehidupan masyarakat. Maka, dengan diterapkannya sistem sekuler ini masyarakat
menjadi bebas dari kungkungan dogma-dogma agama yang pada waktu itu sangatlah
mendominasi. Ideologi sekuler ini sudah di terapkan di berbagai negara, mayoritas di
terapkan di negara-negara barat, seperti: Amerika Serikat, Perancis dan Jerman.
Berbeda dengan di Indonesia, agama dan negara justru kadangkala dapat bekerjasama.
Kadang pula dapat bersinggungan. Kedekatan pemerintah dengan agama ini ditunjukkan
misalnya dengan adanya lembaga yang berorientasikan agama, seperti adanya kementerian
agama dan MUI. Lalu, adanya perda-perda yang bernafaskan agama misalnya UU zakat dan
UU haji. Akan tetapi, kehidupan sekuler pun nampak jelas dalam kehidupan sehari-hari
masyarakatnya khususnya yang hidup di perkotaan. Masyarakat kini cenderung bergaya
hidup ke arah hedonistik dan materialistik.
Selain itu uniknya, menurut saya di Indonesia ini adalah kehidupan masyarakat yang
sekuler itu tergambar ketika misalnya: sebuah masjid yang berdekatan dengan tempat
hiburan. Maka, tidak heran jika seorang pemikir Islam terkemuka, Ahmad Wahib pernah
menyebut dalam bukunya “pergolakan pemikiran Islam” bahwa sebenarnya umat Islam
khususnya, tanpa disadari, secara tidak langsung telah menganut sekuler, meskipun dengan
keras menentangnya.
Maka dari itu, di jaman modern kini, kehidupan sekuler secara perlahan telah
merasuki kehidupan kita, akibat dampak dari globalisasi, termasuk pula orang yang
beragama. Kalaupun memang orang yang beragama itu menolak sekuler, seharusnya ajaran-
ajaran agama yang dianutnya itu mampu diterapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Semisal
di tempat pekerjaannya ia tidak melakukan KKN. Jadi, jika tidak ingin disebut orang sekuler,
maka jalankanlah ajaran agama dengan sebaik-baiknya, dan terapkanlah dalam kehidupan
sehari-hari. Dan niscaya bila para orang yang beragama ini menjalankan agamanya dengan
sebaik mungkin, maka korupsi di negara ini pasti tidak akan ada dan terjadi.
(http://www.kompasiana.com/catatanryankurnia/sekularisme-dan-kehidupan-
beragama_55171716a333115706b659ce diunduh tanggal 5 September 2015, pkl 15.00 WIB)
Antonius Atosokhi Gea (2004). CB III: Relasi dengan Tuhan. Elex Media Komputindo:
Jakarta.
Departermen Pendidikan dan Kebudayaan (1995). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka
Frederikus Fios et all (2012). CB: Spiritual Development. Bina Nusantara University: Jakarta
Robert Coles (1999). Secular Mind. New Jersey: Princeton University Press.
http://www.kompasiana.com/catatanryankurnia/sekularisme-dan-kehidupan-
beragama_55171716a333115706b659ce diunduh tanggal 5 September 2015, pkl
15.00 WIB)
Week 8
Kita menggambarkan Tuhan sebagai Maha Pengampun. Ini adalah salah satu
gambaran terbaik manusia tentang Tuhan. Gambaran ini sekaligus menumbuhkan semangat
dalam hidup manusia, bahwa sekali pun dia telah berdosa, tetap ada kemungkinan untuk
diampuni, selamat dan bahagian. Ini adalah sebuah tanda cinta kasih Tuhan kepada manusia.
Andaikan Tuhan tidak mau mengampuni, maka manusia akan binasa selamanya. Kita semua
orang beragama mengakui juga bahwa kita perlu bertobat. Hanya dengan bertobat maka
pengampunan Tuhan akan efektif bagi kita, karena tanpa tobat, kita tidak berubah, dan tetap
tinggal dalam suasan keberdosaan. Lalu, semangat untuk mengampuni sesama dikobarkan
oleh situasi kita yang sudah mengalami pengampunan, yang juga merupakan buah dari
pertobatan kita sendiri. Selain dikobarkan oleh semangat tersebut, kaharusan untuk saling
mengampuni juga didesak oleh ajaran dan perintah Tuhan yang telah disampaikan kepada
kita melalui para nabi-Nya, sebagai termuat dalam kitab-kitab keagamaan.
Dalam Alkitab terdapa ayat-ayat yang memperlihatkan betapa Tuhan senantiasa mau
mengampuni dosa-dosa umat-Nya. Nabi Yesaya pernah menegaskan bagaimana Tuhan
membersihkan manusia dari dosa-dosanya: “Sekalipun dosamu merah seperti kirmizi, akan
jadi putih seperti salju; sekalipun berwarna merah seperti kain kesumba, akan menjadi putih
seperti bulu domba” (Yes.1:18). Dan, Nabi Daniel mengungkapkan adanya pengampunan
dari Tuhan: “Pada Tuhan ada pengampunan, walaupun kami telah memberontak terhadap
Dia” (Dan.9:9). Bagi orang kristiani, gambaran tentang kemurahan Allah untuk mengampuni
umat-Nya, dilukiskan dalam cerita tentan “Anak yang hilang”, cerita tentan seorang anak
muda yang sudah meninggalkan rumah orang tuanya, melakukan berbagai kejahatan dan
dosa. Ketia dia kembali ke rumah orang tuanya, dia diterima oleh bapanya dengan sukacita
yang amat besar (Luk.15:11-32).
Kalau digali lebih dalam lagi, umat Kristiani percaya bahwa tindakan Allah mengutus
putra-Nya, Yesus ke dunia, dan pengorbanan Yesus dengan menderita, wafat dan
dimakamkan, merupakan tindakan kasih yang tak terhingga besarnya dari Tuhan.
Pengorbanan Allah yang terwujud dalam diri Yesus, khususnya dengan kematian-Nya di
kayu salib, merupakan tindakan penebusan dan pengampunan bagi manusia. Pernyataan
Yeses sendiri sebagaimana tertuang dalam Injil Matius mengungkapkan hal itu: “Sebab inilah
darah-Ku, darah perjanjian, yang ditumpahkan bagi banyak orang untuk pengampunan dosa”
(Mat.26:28). Satu penegasan mengenai hal muncul dari rasul Paulus sebagaimana dia
nyatakan dalam suratnya kepada jemaat di Kolose: “Di dalam Dia (Yesus) kita memiliki
penebusan kita, yaitu pengampunan Dosa” (Kol.1:14). Berhubung kedudukan Yesus, yang
menurut pandangan Kristen, adalah Allah sendiri, maka Yesus pun memiliki kehendak dan
kemampuan untuk mengampuni dosa. Ini Dia buktikan ketika Dia menyembuhkan penyakit
seorang lumpuh yang dibawa kepada-Nya untuk disembuhkan. Untuk menanggapi pikiran
orang Farisi yang dalam hati mereka berpikir bahwa Yesus menghujat Allah dengan
mengatakan bahwa Dia dapat mengampuni dosa, Yesus mengatakan: “Tetapi supaya kamu
Dalam agama Hindu Tuhan diakui sebagai Maha Pengampun. Hal ini bisa kita lihat
pada kitab suci Bhagavad Gita IX.30: “Sekalipun orang paling jahat, bila memujaku dengan
tulus, dengan pengabdian terpusa dan kembali menjadi sang sadhu (orang saleh), Aku terima
karena ia telah kembali ke jalan yang benar”. Atau teks lain dalam Bhagavad Gita XVIII.66
mengatakan: “Kerjakanlah kewajibanmu sesuai dengan aturan agama lalu berserah dirilah
kepada-Ku, dan engkau tidak usah khawatir, akan aku ampuni seluruh dosamu”. Dari
keterangan ayat-ayat suci di atas, tampak bahwa Tuhan adalah Maha Pengampun dan Maha
Pengasih. Karena itu manusia tidak henti-hentinya minta maaf. Hal ini tercermin dari: Puja
Trisandhya yang wajib dilaksanakan oleh seluruh umat Hindu. Dari enam baik mantra Puja
Trisandhya, tiga bait di antaranya berisi permohonan maaf atas tindakan, ucapan dan pikiran
yang keliru; sekaligus mohon disucikan alias disterilkan atau dibebaskan dari dosa-dosa yang
melekat pada diri manusia. Tiga baik sebelumnya berisi pengakuan atas ke-Mahaesaan dan
ke-Mahakuasaan-Nya. Dari seluruh uraian di atas, jelas tampak bahwa hukum karma berjalan
terus, tapi eksekusi hukumannya bisa ditunda apabila manusia mau bertobat (PDS.I.51), atau
dosanya menjadi lebuh dengan sendirinya oleh perbuatan baik itu sendiri. Kalau dosa
diandaikan setetes tinta hitam, air putih diandaikan sebagai kebaikan, maka setetes tindak
hitam dalam gelah tidak tampak lagi jika air putif kebajikan diperbanyak, padahal tinta hitam
(dosa) masih ada dalam gelas. Tinta hitam (dosa) itu menjadi lebur dan tidak terasa karena
kearifan (mandawa) dan kerendahan hati (mardawa).
Dalam agama Buddha, hidup manusia itu dikuasai oleh kehausan-kehausan, yaitu:
Pertama, kehausan (nafsu keinginan yang tak habis-habisnya) akan kenikmatan hawa nafsu
(kama-tanha); Kedua, kehausan (nafsu keinginan yang tak habisnya) akan kelangsungan dan
kelahiran (bava-tanha); Ketiga, kehausan (nafsu keinginan yang tak habis-habisnya) akan
tidak kelangsungan atau pemusnahan diri (vibhava-tanha). Kehausan ini, yakni nafsu
keinginan yang tak habis-habisnya, yang memperlihatkan diri dalam berbagai cara,
merupakan sumber dari beraneka ragam penderitaan dan kelangsungan hidup makhluk-
makhluk. Namun, korelasi antara tindakan (karma) dan akibat (vipaka atau phala) tidak
Setiap orang harus mengakui bahwa semua kejahatan dan perselisihan dalam dunia ini
disebabkan oleh keinginan yang egoistis. Ini tidak susah untuk dimengerti. Tetapi bagaimana
keinginan yang egoistis ini dapat mengakibatkan kelangsungan kembali dan kelahiran
kembali, mungkin tidaklah mudah untuk dipahami. 1 Maka demi terhentinya dukha ini,
hendaklah jangan dipilih dua jalan yang ekstrim yaitu “mencari kebahagiaan dengan
menuruti nafsu-nafsu indra, yang dianggap rendah, bisa tak berfaedah dan cara-cara dari
orang biasa” atau “mencari kebahagiaan dengan menyiksa diri dengan berbagai cara, yang
menyakiti sekali, tidak berharga dan tidak berfaedah”. Tetapi ambilah jalan tengah yang
dikenal sebagai Jalan Mulia Berunsur Delapan (Pengertian Benar, Pikiran Benar, Ucapan
Benar, Perbuatan Benar, Penghidupan Benar, Daya upaya Benar, Perhatian Benar, dan
Semedi Benar). Pada hakekatnya seluruh ajaran sang Buddha, yang beliau sendiri siarkan
selama empat puluh lima tahun, sedikit banyak ada hubungannya dengan jalan ini. Beliau
telah menerangkan dalam berbagai cara dan dengan memakai bahasa yang mudah dimengerti,
kepada beraneka ragam orang dengan tingkat pengetahuan dan kesanggupan yang berbeda-
beda. Pelajaran yang terdapat dalam ribuan sutta dari kitab-kitab suci Buddha membahas
Jalan Mulia Berunsur Delapan ini.
2. Perlu Pertobatan
Pengampunan yang senantiasa ditawarkan oleh Tuhan kepada manusia menghendaki
bahwa manusia juga harus bertobat. Pengampunan yang dari Tuhan tidak akan sampai
kepada manusia apabila manusia sendiri tidak membuka hati menerimanya. Kata Yunani
1
Sumeda Widyadharma, Dhamma-Sari (Jakarta, Yayasan Dana Pendidikan NALANDA, 1993), hal. 100-103
Dalam ajaran Islam dikatakan bahwa ada kesalahan kecil dan ada pula kesalahan
besar dalam perbuatan manusia. Istilah minta maaf hanya layak dimintakan oleh orang yang
melakukan kesalahan kecil, sebagaimana kita melakukan permintaan maaf kepada sesama
manusia apabila kita melakukan kesalahan kecil atau kesilafan kecil. Tetapi kesalahan besar
tidak cukup hanya minta maaf. Begitupula jika itu dilakukan terhadap Tuhan, dia mesti
meminta ampun dengan melakukan pertobatan. Untuk mendapatkan pengampunan, ada
persyaratan sufistik yang mesti dipenuhi terlebih dahulu. Syarat itu antara lain bertobat, yaitu
berjanji dengan diri sendiri bahwa “dia sama sekali tidak mau mengulangi kesalahan yang
dilakukannya”. Dia juga berjanji untuk “menyesali perbuatan-perbuatan yang telah
dilakukan”, dan seterusnya. Sebaliknya juga, seseorang yang telah melakukan kesaksian
seperti itu, lalu melanggarnya sendiri, maka orang itu dicap sebagai orang munafik atau
pengkhianat kepada dirinya sendiri, dan Allah mencatat perbuatan tersebut.3
Agama Islam menekankan, supaya hidup seseorang itu bahagia, aman sentosa, jauh
dari penderitaan, ancaman dan segala kejahatan, maka perlu selalu berinstrospeksi
(muhasabah). Selalu bertanya pada diri sendiri apakah yang telah saya lakukan hari ini dan
sebelumnya baik atau tidak. Hadis Nabi menyatakan bahwa: “Jika hidup kamu hari ini lebih
2
Xavier Leon – Dufour, Ensiklopedi Perjanjian Baru (Yogyakarta, Kanisius, 1997) hal. 55
3
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Beberapa Aspek (Jakarta, UI Press, 1997) hal. 79-80, dan bandingkan
juga dengan Majid Fahri, Etika Dalam Islam (Surakarta, Pustaka Pelajar, 1996), hal.133-135
Dalam kepercayaan agama Hindu, kesalahan memang tidak bisa dihapus begitu saja.
Untuk mendapatkan pengampunan harus ada upaya. Ada beberapa upaya penebusan dosa,
tidak dengan uang, melainkan dengan melaksanakan perintah agama, berbuat baik sebanyak-
banyaknya, antara lain:
4
Sumedya Widya Dharma, Dhamma Sari, Op.Cit., hal.100-101
Yesus juga telah memberi teladan dan memberi ajaran dalam hal pengampunan.
Yesus sendiri tidak membalas ketia Dia dianianya oleh para pembunuhnya. Ketika Dia
ditangkap untuk diadili, salah seorang yang menyertai-Nya menghunushkan pedangnya ke
telinga hamba imam besar, salah seorang penangkap-Nya, hingga putus, Yesus berkata:
“Masukan pedang itu kembali ke dalam sarungnya, sebab barang siapa menggunakan pedang,
akan binasa oleh pedang” (Mat.26:52). Yesus sendiri mohon pengampunan bagi para
pembunuh-Nya ketika Dia berdoa di atas salib: “Ya Tuhan ampunilah mereka, sebab mereka
tidak tahu apa yang mereka perbuat” (Luk.23:34).
Dalam ajaran agama Buddha, salah satu paramita (kesempurnaan) yang harus
dikembangkan adalah dana paramita, yang itu kemurah-hatian. Memberi maaf adalah tanda
atau sifat dari orang yang murah hati. Tanpa maaf-memaafkan tidaklah mungkin amarah dan
kebencian dipadamkan. Dalam dunia ini kebencian tidak akan pernah berakhir apabila dibalas
dengan kebencian. Tetapi kebencian akan berakhir bila dibalas dengan tidak membenci
(Dhp.5). Doa penyucian tidak lain dari doa permohonan maaf (khampapana). Jika dengan
tindakan, ucapan dan pikir telah melakukan kesalahan, seseorang menyatakan penyesalan dan
mohon maaf, dengan itu diharapkan batinnya menjadi tenteram. Sebalinya, berkat kesediaan
memaafkan, diharapkan orang yang berbuat salah dapat selamat dan bebas dari penderitaan,
khususnya karena kekuatan pikiran yang tenang dan damai, penuh dengan cinta dan
belaskasih.
Memaafkan atau mengampuni orang yang bersalah kepada kita bukan hanya
bermanfaat bagi orang yang kita ampuni itu, melainkan juga bermanfaat bagi kita. Beban kita
menjadi ringan, hidup lebih bebas, lepas dari beban yang semakin lama menekan jiwa.
Hal lain yang dapat dipandang sebagai alasan mengapa kita harus berlaku rendah hati
dan mau mengampuni adalah kenyataan bahwa di dalam lubuk hati kita yang terdalam
tertanam keinginan dan kerinduan kuat untuk mau mengampuni. Kita semua memiliki
kerinduan seperti itu dalam hati kita. Hal tersebut sebaiknya mendorong kita untuk dengan
tulus mau memaafkan atau mengampuni. Dan hal lain lagi yang dapat dijadikan sebagai
landasan untuk mau mengampuni adalah pengalaman yang dirasakan, yang tidak bisa dibayar
dengan uang, ketika kita berhasil mengampuni seseorang yang bersalah kepada kita. Semakin
tulus kita memaafkan, semakin dalamlah pengalaman rohani yang kita nikmati.
1. Terciptanya kedamaian
Fakta bahwa kita mau dimaafkan, dan bahwa iman kita meminta kita untuk mau
memaafkan. Juga sudah jelas bahwa untuk sanggup memaafkan sangat diperlukan
kerendahan hati. Buah-buah apa dapat kita nikmati dari penghayatan spiritualitas mancam
ini? Buah pertama adalah kedamaian. Bagi orang yang dimaafkan, lebih-lebih bila dia
Selain itu, kerendahan hati yang terlatih dengan baik akan membuat orang tidak segera
lupa diri ketika sedang mengalami kemujuran; dan sebaliknya, tidak lantas putus asa ketika
sedang mengalami kondisi yang buruk. Kerendahan hati yang dihayati akan membuatnya
semakin kaya dalam anugerah rohani, yang membuatnya mampu memancarkan pengaruh
yang baik dengan melakukan kebajikan-kebajikan lain.
Berhadapan dengan Tuhan sesungguhnya kita tidak ada apa-apanya. Kita hanya bisa
hidup dan bergerak karena Tuhan, yang dengan berbagai cara telah memberi kita kekuatan
untuk hidup. Tidak ada alasan bagi manusia untuk menyombongkan diri. Di hadapan Tuhan
kita semua sama, yang hanya mengadalkan dan bergantung pada-Nya. Untuk itu manusia
harus berlaku rendah hati, baik di hadapan Tuhan, maupun di hadapan sesama. Kita juga
bukan tanpa dosa di hadapan Tuhan, tapi karena Tuhan begitu baik pada kita, maka kita tetap
bisa selamat dan bahagia. Sebagai orang beriman, kita harus saling memaafkan atau
mengampuni satu sama lain, karena Tuhan sendiri terus menerus mau mengampuni kita.
Kalau dilihat dari coraknya, tindakan mengampuni memiliki kekhususan di antara berbagai
ungkapan cinta lainnya. Ada hambatan cukup besar dalam mewujudkannya. Dibutuhkan
kerendahan hati dan kebesaran jiwa, dan tentu iman yang kuat. Kita mengampuni karena
iman kita mengajarkan kita demikian. Dalam hal memperoleh pengampunan dari Tuhan, dari
kita dituntut pertobatan, berupa niat dan komitmen untuk hidup kembali dengan baik. Ampun
dan tobat adalah dua hal yang diharapkan semakin nyata dalam hidup kita.
Antonius A. Gea, Noor Rachmat, Antonia Wulandari (2004). CB III: Relasi dengan Tuhan.
Jakarta: Elex Media Komputindo.
Sumeda Widyadharma, Dhamma-Sari (1993). Jakarta: Yayasan Dana Pendidikan
NALANDA.
Xavier Leon – Dufour (1997). Ensiklopedi Perjanjian Baru. Yogyakarta: Kanisius
Harun Nasution (1997). Islam Ditinjau Dari Beberapa Aspek. Jakarta: UI Press
Majid Fahri (1996). Etika Dalam Islam. Surakarta: Pustaka Pelajar
Week 9
A. PENDAHULUAN
Bagian ini menjelaskan menjadi pribadi yang religius. Ada empat dimensi penting
yang dibahas yakni cinta pada Tuhan, cinta pada diri sendiri, cinta pada sesama dan cinta
pada alam lingkungan. Masing-masing dari aspek ini telah dibahas secara rinci pada setiap
bab atau topik terkait di topik-topik lain sebelumnya. Penekanan yang akan menjadi fokus
pembahasan di sini adalah bahwa menjadi pribadi yang Religius terutama secara khusus bagi
orang beriman mengandaikan adanya sikap percaya pada Tuhan, cinta pada diri sendiri, cinta
pada sesama, dan cinta pada lingkungan.
Keempat aspek ini merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan satu dengan yang
lainnya. Salah satu ciri setiap orang beragama adalah bahwa ia percaya pada Tuhan Yang
Maha Esa. Namun percaya pada Tuhan Yang Maha Esa pada umumnya selalu dikaitkan
dengan sikap-sikap positif terhadap diri sendiri, sesama dan alam lingkungan. Dengan
demikian bagi orang beriman, cinta pada diri sendiri, cinta pada sesama dan cinta pada alam
lingkungan mengeskpresikan kepercayaan seseorang pada Tuhan Yang Maha Esa.
Percaya pada Tuhan saja tidak cukup! Percaya pada Tuhan bersifat vertikal. Hal ini
tidak cukup bagi manusia. Percaya pada Tuhan bersifat imperatif yang mendorong manusia
untuk mencintai dirinya, mencintai sesama dan alam lingkungan.
Cinta pada diri sendiri, cinta pada sesama dan cinta pada lingkungan merupakan
prasyarat bagi setiap manusia untuk dapat hidup dengan baik di muka bumi ini. Cinta pada
diri sendiri berarti melakukan semua yang terbaik untuk diri sendiri, seperti mengembangkan
bakat yang ada pada diri sendiri, memelihara kesehatan baik fisik, psikologis maupun sosial.
Melakukan semua yang terbaik bagi diri sendiri merupakan modal yang dapat digunakan
untuk melakukan yang terbaik kepada sesama dan lingkungan. Seseorang yang sakit misalnya
tidak dapat melakuakan apa pun kepada orang lain dan lingkungan. Atau orang yang malas
belajar tentu saja akan menjadi beban bagi masyarakat secara luas atau keluarga pada
khususnya.
Sumber cinta pada diri sendiri, sesama dan lingkungan adalah Tuhan sendiri.
Oleh karena itu, setiap orang beriman, supaya dapat mencintah diri, sesama dan lingkungan,
Orang yang memiliki relasi yang baik dengan Tuhan, selalu dapat memiliki jalan yang
baik dan pasti bagaimana ia harus mengembangkan dirinya, melakukan semua upaya yang
terbaik bagi dirinya sendiri, bagi sesamanya dan bagi lingkungan hidupnya. Relasi yang terus
menerus dengan Tuhan dalam konteks ini menjadi ciri bagi setiap orang beriman. Dari relasi
itu, manusia menimba cinta dari Tuhan untuk kemudian dibagikan ditumbuhkan pada diri
sendiri, dibagikan kepada sesama dan linkungan.
Deskripsi singkat tersebut tentang iman menggambarkan bahwa iman lebih sering
dipahami sebagai sikap hati, dan tidak ada orang lain yang tahu, kecuali orang yang percaya
itu sendiri. Dengan sikap hati itu manusia mempercayakan dirinya sebulat-bulatnya kepada
Tuhan, mengandalkan Tuhan sepenuh-penuhnya. Dalam pengertian ini, Iman berarti
penyerahan diri secara total kepada Tuhan.
Justru karena telah mewahyukan diri-Nya kepada manusia, maka Tuhan yang tidak dikenal
menjadi dikenal dan dapat disembah oleh manusia. Iman dalam konteks ini merupakan tanda
penermaan manusia terhadap pewahyuan Tuhan tersebut. Manusia percaya bahwa
pewahyuan tersebut adalah pasti. Tuhan mewahyukan dirinya kepada manusia di satu sisi,
pada sisi yang lain manusia percaya bahwa pewahyuan tersebut benar adanya (bdk Gea,
Rahmat, Wulandari, 2006).
Beriman pada Tuhan tidak semata-mata merupakan sikap batin yang sifatnya
personal. Beriman pada Tuhan menuntut sikap-sikap tertentu. Sikap-sikap tersebut biasanya
dinyatakan dalam bentuk ritus-ritus tertentu. Ritus-ritus tersebu sebagai mana yang dijelaskan
pada bagian lain dari pembelajaran ini berkaitan dengan sikap tubuh, waktu dan ruang
tertentu dalam membina relasi dengan Tuhan. Ada sikap berdiri, duduk, berlutut, bersujud
dan lain sebagainya. Sikap-sikap tersebut biasanya pada umumnya dintunjukan atau
dilakukan pada waktu-waktu tertentu. Setiap agama dalam konteks ini telah menetapkan
waktu-waktu tertentu kapan manusia melakukannya. Selain itu, setiap agama juga telah
menetapkan dimana sikap-sikap tersebut dilakukan. Secara pribadi sikap-sikap tersebut dapat
dilakukan pada ruang-ruang privat, dan secara kolektif, berjemaah, sikap-sikap tersebut
dilakukan ditempat-tempat yang ditetapkan sebagai tempat ibadat.
Pada waktu dan tempat tersebut, manusia mengubah prilakunya menjadi lebih khusus
dan spesial. Kalau dalam waktu-waktu dan tempat-tempat yang lasim dan umum manusia
rebut, bergosip, marah, tidak sopan dan lain sebagainya, namun pada waktu dan tempat
khusus tersebut, manusia berlaku sopan, tenang dan sikap-sikap pantas lainnya.
Beriman, selain ditunjukan melalui sikap batin yang kokoh dan pasti yang pasti pada
pewahyuan Allah dan ditunjukan melalui ritus-ritus, beriman juga dintunjukkan melalui
secara terus menerus membangun relasi yang dengan Tuhan. Orang beriman akan selalu
membangun relasi pribadi dengan Tuhan. Relasi dengan Tuhan dapat dilakukan dengan
membiasakan diri berdialog melalui doa-doa pribadi kepada Tuhan. Doa-doa pribadi dapat
dilihat dari dua sisi. Sisi pertama adalah bahwa setiap orang beriman menyampaikan
Setiap orang beriman mengakui bahwa Tuhan mengetahui segala hal mengenai hidup
manusia. Orang berman juga mengakui bahwa Tuhan akan selalu memberikan apa yang
terbaik bagi manusia menurut rancangan Tuhan sendiri. Namun dalam kehidupan sehari-hari
orang beriman cenderung melakukan apa yang mereka maui, dan bukan berdasarkan apa
yang Tuhan maui. Bahkan ada kecenderungan manusia memaksakan kehendaknya pada
Tuhan.
Sikap orang beriman biasanya lebih tenang, damai dan bersukacita. Ia tenang dan
damai sebab ia percaya bahwa Tuhan lah yang menyelenggarakan hidupnya. Kepercayaan
seperti ini tentu saja hasil dari relasi yang dibangunnya secara terus menerus dengan Tuhan.
Oleh karena ia percaya bahwa Allah lah yang menyelenggarakan hidupnya, ia bersukacita.
Dengan demikian, sikap-sikap seperti takut, cemas, murung, cemberut, marah, dendam dan
sikap-sikap negatif lainnya merupakan refleksi bahwa orang tersebut kurang atau belum
beriman. Setiap orang beriman seharusnya hidup selalu dalam suka cita sebabia percaya
bahwa Allah lah yang menyelenggarakan hidupnya.
Selain beriman pada Tuhan, seseorang yang memiliki religiositas yang baik nampak
pada tindakan mencintai diri sendiri dan orang lain. Ada ungkapan yang sudah lasim disebut-
sebut hampir oleh begitu banyak orang pada umumnya, dan orang yang beragama pada
khususnya yaitu “cintailah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” Ungkapan ini
menunjukan bahwa sebelum mencintai orang lain sebagai sesama, seseorang harus mencintai
dirinya sendiri. Dengan demikian mencintai orang lain merupakan gambaran dari cinta pada
diri sendiri. Tidak akan pernah dapat mencintai orang lain dengan baik, bila seseorang tidak
sanggup mencintai dirinya sendiri. Dua dimensi ini dibahas secara detail berikut ini.
Tuhan menciptakan tubuh manusia dengan standar yang berbeda-beda. Dua orang
memakan daging yang sama. Akibat yang dialami oleh keduanya dari makan daging yang
sama itu berbeda-beda. Bagi yang satu, daging dapat meningkatkan energinya, namun bagi
yang lain menyebabkan kolesterolnya menjadi naik. Demikian juga dengan makan cabe.
Cabe yang sama dimakan oleh dua orang yang berbeda, akibatnya bias berbeda. Pada yang
seorang, dengan memakan cabe, gairah makannya menjadi lebih baik, namun bagi seorang
yang lainnya, cabe dapat meningkatkan asam lambungnya. Gejala-gejala ini menunjukkan
bahwa setiap orang memiliki standar tubuh yang berbeda-beda. Dalam konteks ini, setiap
orang harus belajar memberkan apa yang terbaik bagi tubuhnya masing-masing supaya tubuh
dapat berfungsi dengan baik dan sehat. Tentu saya minum air putih sebanyak-banyaknya,
berolahraga secukupnya, beristirahat pada waktunya, melakukan aktivitas-aktivitas
merupakan juga hal-hal yang baik bagi tubuh kita. Tubuh terbentuk dari air dan secara
alamiah membutuhkan aktivitas. Orang yang hanya diam saja dan tidak mengkonsumsi air
dengan cukup cenderung menderita sakit. Sakit dalam hal ini dapat disimpulkan karena kita
melawan hakekat dan alam tubuh kita.
Tubuh dan jiwa berkaitan satu dengan yang lainnya. Tubuh yang rusak dapat
menghambat ekspresi jiwa. Senyum adalah panggilan jiwa. Media yang digunakan untuk
senyum adalah bibir. Kalau kita sariawan tentu mengganggu seyum kita. Kita tidak dapat
berbagi kalau tubuh kita tidak berfungsi dengan baik. Demikian juga sebaliknya, jiwa yang
rusak dapat mengganggu fungsi tubuh. Marah dapat menyebabkan tekanan darah tinggi,
gangguan pada jantung. Orang yang stress dan cemas dapat mengganggu fungsi lambung,
dan demikian seterusnya.
Dari penjelasan di atas jelaslah bagi kita bahwa mencintai diri berkaitan dengan
kesehatan tubuh dan kesehatan jiwa. Kedua hal itu sama-sama pentingnya. Namun, dalam
kehidupan sehari-hari jarang kita menempatkan keduanya pada tempat yang layak.
Bahkan kecenderungannya, kita menempatkan tubuh lebih penting dan mengorbankan jiwa.
Kita marah, cemas, takut, kalau-kalau penampilan tubuh, tidak pas dengan apa yang
diiklankan dalam media-media yang kita tatapi saat demi saat. Bukan mendengarkan
bagaimana jiwa mengatakan apa yang pantas bagi tubuh kita. Kita memenjarakan jiwa kita
dalam tubuh. Penjara tentu membuat hidup kita menjadi kerdil.
Sehat tubuh dan sehat jiwa merupakan syarat penting untuk dapat mencintai sesama.
Kalau tubuh dan jiwa tidak sehat tidak dapat mencintai sesama dengan baik. Orang yang suka
marah, cemberut, murung, pesimis akan dijauhi orang lain, kalau demikian bagaiman kita
dapat mencintai sesama? Sebaliknya orang yang penuh sukacita, gemberi, empati, opitimis
pada umumnya memiliki banyak sahabat. Orang yang tubuhnya sakit, tentu tidak dapat
bekerja, dan karena itu, ia akan menderita miskin. Kalau ia miskin bagaimana ia dapat
mencintai sesamanya?
Selain itu, sesamaku juga adalah mereka yang secara simbolik hadir dalam hidupku.
Mereka hadir dalam karya-karya mereka. Karya-karya mereka aku gunakan saat demi saat
dari hidupku. Pakaian yang aku kenakan, rumah yang aku tinggali, mobil yang aku gunakan
dan lain sebagainya, semuanya menandai kehadiran orang lain dalam hidupku. Kehadiran
mereka juga adalah panggilan bagiku untuk peduli.
Sesamaku yang kita alami dalam konteks ini adalah semua mereka yang sepadan
dengan aku. Aku memiliki mimpi, mereka juga memiliki mimpi, aku rindu didengarkan,
dipedulikan, diperhatikan, mereka juga terus merindu seperti yang aku rindukan. Singkatnya,
mereka adalah aku yang lain, dan aku adalah mereka yang lain. Sebab semua hal yang ingin
aku peroleh mereka juga demikian. Aku sungguh bergantung pada mereka, dan mereka juga
bergantung pada aku. Sebagai anak manusia, mereka menentukan nasibku, seperti nasib
mereka juga ditentukan oleh aku. Aku dan mereka sama-sama saling menentukan.
Namun bagaimana aku dapat melakukan semua itu? Atau bagaimana aku dapat
mencintai sesamaku? Ada dua hal yang dapat kita lakukan untuk menjawab pertannyaan ini.
Pertama berkaitan dengan kesehatan jiwa dan tubuh kita. Bila kita sehat, kita tidak menjadi
beban bagi orang lain dan bahkan kita menjadi sumber inspirasi bagi orang lain. Kita dalam
hal ini seperti pelita yang meskipun diam pada tempatnya, namun cahanya melampaui
Kedua adalah bila kita sehat (tubuh dan jiwa) kita dapat keluar dari tempat kita sendiri.
Kita melihat, mendengarkan, melangkahkan kaki dan mengulurkan tangan, lalu menjadi
bagian dari kehidupan orang lain, dan berada bersama mereka. Berada bersama dengan orang
lain sebagai sesama, berarti kita hidup dan bertumbuh bersama orang lain. Semuanya ini
hanya dapat kita lakukan bila tubuh dan jiwa kita sehat.
Dari refleksi di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa mencintai diri sendiri berarti
kita membuat tubuh dan jiwa kita menjadi sehat. Dengan tubuh dan jiwa yang sehat kita
dapat mencintai sesama kita. Dengan mencintai sesama, kita membuat hidup kita terus
bermakna dan berfungsi. Dengan terus bermakna dan berfungsi kita pada saat yang sama
terus memelihara kesehatan kita, baik kesehatan tubuh, maupun kesehatan jiwa.
Pada jaman modern ini dimana pengetahuan menjadi penting, belajar menguasai
pengetahuan sangatlah penting. Hampir semua bidang kehidupan menuntut setiap orang
untuk menguasainya. Oleh karena itu, mencintai diri berkaitan dengan kerajinan dan
ketekunan untuk terus belajar menguasai ilmu dan pengetahuan. Dengan menguasai ilmu dan
pengetahuan, setiap orang dapat berpartisipasi menjadikan dunia ini menjadi lebih baik.
Dengan berpartisipasi secara aktif, setiap orang tentu saja memelihara hidupnya sendiri.
Bekerja adalah tanda keikutsertaan dalam membangun dunia yang lebih baik, dan dengan
bekerja pula kita mendapatkan sumber hidup kita.
Lingkungan alam sangat penting bagi setiap orang, baik orang beriman maupun orang
yang tidak beriman. Hidup manusia di dunia ini sepenuhnya sangat bergantung pada alam.
Manusia terdiri dari tubuh dan jiwa. Kalau tubuh saja, itu bukan manusia, demikian juga,
kalau jiwa saja, juga bukan manusia. Manusia adalah tubuh yang berjiwa, dan jiwa yang
bertubuh. Lingkungan hidup merupakan kondisi dasar yang memungkinkan tubuh manusia
Berkaitan dengan itu, kita dapat mengatakan, “Aku sangat bergantung pada alam
disekitarku.” Semua syarat yang berkaitan dengan tubuhku sangat bergantung pada alam di
sekitarku. Vitamin-vitamin, karbohidrat, zat besi dan semua yang baik bagi pertumbuhan dan
perkembangan tubuhku, semuanya berasal dari alam. Sikap hormat, peduli pada alam dalam
hal ini adalah sebuah tuntutan nyata, sebuah tuntutan yang harus aku penuhi. Oleh karena aku
sangat bergantung pada alam, maka semua yang terbaik untuknya aku lakukan. Tidak
membuang sampah sembarangan, tidak boros menggunakan air, menjaga udara tetap bersih,
menyediakan ruang hijau, dan sikap-sikap positif lainnya terhadap alam merupakan bagian
dari panggilan yang harus aku lakukan.
Pertannyaan penting yang perlu diajukan adalah mengapa Cinta Diri, Sesama dan
Lingkungan perlu untuk menjadi seorang pribadi yang spiritual? Hampir semua agama
memberi kesaksian melalui kitab-kitab sucinya masing-masing bahwa manusia dan seluruh
alam semesta ini adalah ciptaan Allah. Oleh karena, itu menghormati sesame manusia dan
seluruh ciptaan Allah sama dengan dengan menghormati Allah yang menciptakannya. Selain
itu, dalam kitab-kita suci agama-agama juga memberikan kesaksian bahwa Allah selalu
menggunakan manusia dan alam untuk menyatakan kehendaknya. Oleh karena itu, sikap
dasar seorang pribadi yang spiritual adalah meningkatkan kepekaan terhadap kehadiran orang
lain dalam hidupnya. Sebab melalui orang lain itu, Allah menunjukkan kasihnya kepada
manusia. Allah menunjukan diri sebagai pembebas. Untuk memenuhi kebutuhan sandang,
pangan dan papan anda membutuhkan orang lain untuk memenuhinya. Melalui orang lain
itu, anda dibebaskan dari kesulitan papan, sandang dan pangan. Untuk membesarkan jiwa
anda dihadapan Tuhan anda membutuhkan orang lain untuk menerima wajah dan seluruh
sikap baik anda. Tanpa kehadiran mereka bagaimana anda dapat membesarkan jiwa Anda
dihadapan Tuhan?
Sumber utama dari cinta diri, sesama dan lingkungan adalah Allah sendiri, yang terus
menerus mewahyukan dirinya dalam arus kehidupan manusia. Oleh karena itu tanggung
jawab utama orang beriman adalah terus berelasi dengan dengan Tuhannya. Setelah
mendapatkan kasih itu dari Tuhan, orang beriman memiliki tangunggjawab untuk
membaginya kepada orang lain untuk menjawab berbagai macam kegelisahan sesamanya
(Antonius & Dae, 2015). Ada yang gelisah dengan sakit yang diderita. Yang lain gelisah
dengan pendapatan keluarga karena harus membiayai anak-anak sekolah. Ada juga yang
gelisah karena sulit mendapatkan kerja. Dan masih banyak kegelisahan lainnya.
Terhadap situasi gelisah yang dihadapi banyak orang ini, maka tugas utama orang
beriman adalah menghibut yang sakit, membantu membayarkan uang sekolah bagi yang
membutuhkan biaya sekolah, membantu menyediakan pekerjaan bagi orang yang gelisah
karena mengganggur. Tindakan-tindakan seperti inilah yang semestinya lahir dari orang yang
beriman.
Tanggungjawab orang berman yang lain adalah melahirkan contoh hidup yang suci. Tidak
ada orang beriman yang membunuh dengan cara apapun, atau tidak ada orang beriman yang
berkorupsi. Orang beriman juga melahirkan contoh rendah hati atau rajin atau setia. Orang
beriman hadir di tengah yang lain sebagai batu penjuru contoh hidup berman.
Antonius Atosokhi Gea, Noor Rachmat, Antonia Panca Yuni Wulandari (2004). Character
Building III: Relasi Dengan Tuhan. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Porat Antonius & Max Biae Dae (2015). Eksegese Orang Jalanan, Tahun Liturgi A Jilid 1;
Tahun Liturgi C Jilid 1 dan 2. Kupang: Lembaga Jasa Psikologi Terapan.
Week 10
Semua agama melalui inspirasi suci dalam ajaran iman masing-masing menyatakan
secara jelas bahwa alam semesta atau dunia ini dijadikan oleh Tuhan. Secara religius, alam
semesta diyakini sebagai entitas yang diciptakan Tuhan. Tuhan menciptakan dunia dalam
kondisi baik dan indah sejak awal mulanya. Kata ’menciptakan’ di sini mau menggambarkan
bahwa Tuhan juga bekerja ketika DIA menciptakan langit dan bumi ini.
Sesudah menciptakan dunia, manusia diberi tugas (gabe) dan tanggung jawab
(aufgabe) oleh Tuhan untuk membangun tatanan dunia agar berkembang sesuai dengan
kehendak Tuhan, Sang Pencipta itu sendiri. Dari asumsi ini, maka sebetulnya kerja yang
dilakukan manusia bukan untuk kepentingan hidup manusia saja, melainkan bermartabat ilahi
juga. Kerja bukan hanya urusan fisik-material, melainkan urusan metafisik atau transfisik
juga. Urusan metafisik membuat manusia memiliki visi spiritual-religius menuju keselamatan
atau kebaikan masa depan. Manusia perlu memiliki visi religius-spiritual untuk melihat karya
Tuhan di dalam setiap pekerjaan yang dilakukan oleh manusia. Dalam bahasa Ibu Teresa dari
Calcuta (India), seorang pekerja seharusnya ”melihat wajah Allah dalam segala sesuatu, di
dalam diri setiap orang, di manapun, sepanjang waktu, dan tangan-Nya dalam semua
pekerjaan, dan membuat kita melakukan segala yang kita lakukan-apakah kita berpikir,
belajar, bekerja, berbicara, makan atau beristirahat....” (Leteng: 2005, hlm. 24). Setiap kerja,
aktivitas fisik atau tindakan aktif orang beragama layak selalu ditempatkan/dimaknai sebagai
tindakan religius melanjutkan karya penciptaan Tuhan di dalam dunia ini. Dengan bekerja,
manusia melanjutkan pekerjaan Tuhan di dunia ini.
Berbagai kegiatan kerja yang tidak sesuai dengan rencana Allah, harus ditolak dengan
tegas. Rencana Allah kita nyatakan dalam nilai-nilai universal dan kesempurnaan seperti:
kebaikan, keindahan, kebenaran, keadilan, kejujuran, kemanusiaan, keharmonisan,
keselarasan, moralitas, kedamaian, dan lain sebagainya. Kerja yang tidak merealisasikan
nilai-nilai universal yang disebutkan tadi, sesungguhnya tidak sesuai dengan kehendak Allah.
Kerja apapun bentuknya haruslah mendatangkan konsekuensi-konsekuensi positif-etis bagi
manusia dan kehidupan. Pekerjaan yang mendatangkan dampak negatif-destruktif bagi
manusia, alam dan tatanan sosial masyarakat harus dihindari dan dieliminasi. Manusia harus
bekerja untuk memuliakan dan mengagungkan nama Tuhan, bukannya untuk mencari
popularitas dan kejayaan bagi diri sendiri yang egoistik. Inilah tugas ilahi manusia dalam
melakukan pekerjaannya sebagai partisipasi dalam karya penciptaan Tuhan.
Dalam konteks religiositas, kerja tidak hanya dianggap sebagai hal yang duniawi,
tetapi dimaknai dan dihayati sebagai sesuatu yang bernilai ilahi dan kudus. Kerja dimaknai
sebagai sesuatu yang suci dan ilahi. Konsekuensi logisnya yakni bahwa setiap orang beriman
(religius-spiritual) harus melakukan pekerjaannya dengan sungguh-sungguh sesuai dengan
Banyak ajaran luhur di dalam agama-agama kita yakni Islam, Kristiani, Hindu, Budha
dan Konghucu yang membicarakan tentang makna religius kerja atau religiositas kerja.
Umumnya pandangan agama-agama menempatkan aktivitas kerja fisik manusia sebagai hal
yang bernilai religius. Kerja bukan saja fungsi teknis-mekanistik-pragmatis, melainkan
sungguh bernilai religius-spiritual-ilahiah. Melakukan pekerjaan dengan cara religius
seharusnya (das sollen) dilakukan dengan setia dan penuh rasa tanggung jawab menurut
hukum-hukum Tuhan di dalam ajaran agama-agama.
Di dalam Islam, bekerja bukan hanya soal urusan mencari uang untuk hidup
melainkan sungguh bernilai religius. Islam menekankan pentingnya niat luhur di dalam
bekerja sebagaimana dikatakan oleh Muhammad Rasulullah SAW bahwa setiap amal
perbuatan harus diiringi dengan niat dan setiap orang hanya akan mendapatkan apa yang
sudah diniatkannya. Niat di dalam bekerja itu ditempatkan sesuai dengan perintah atau
hukum Allah Swt sendiri. Banyak filsuf Islam misalnya Yusuf Qardhawi mengatakan moral
etika dan ekonomi/kerja merupakan hal yang sangat penting dalam Islam dan etika moral itu
berlaku di dalam segala aspek kehidupan (kaffah). Hal ini perlu diwujudkan dalam aktivitas
ekonomi, bisnis dan pekerjaan setiap umat Islam. Sementara itu Imam Ghazali dalam Ihya’
Ulumuddin menekankan pentingnya akhlak di dalam bekerja. Ghazali mengatakan bahwa
seorang pedagang tidak boleh hanya memfokuskan pandangannya pada dunia saja dengan
melupakan akhirat. Sebab kalau jika demikian maka umurnya sia-sia belaka. Sebaiknya orang
yang memiliki akal dianjurkan untuk menjaga modalnya yakni agama dan bisnis berdagang.
Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt ”Janganlah kamu melupakan bagianmu dari
kenikmatan dunia” (al Qashas 28:77). Dengan demikan maka tujuan utama pekerjaan dan
aktivitas ekonomi di dalam Islam bertujuan untuk kebahagiaan dunia dan akhirat (falah).
Selain pandangan di atas banyak teks lain di dalam Alquran juga yang menunjukkan tentang
Pandangan Katolik tentang makna relgius ’kerja’ dapat ditemukan secara terperinci
di dalam Kitab Suci Alkitab dan Magisterium Gereja Katolik seperti ensiklik para paus
maupun ajaran para Bapa Gereja Katolik yang lainnya. Salah satu ensiklik terkenal yakni
”Laborem Exercens” pernah dikeluarkan oleh Paus Yohanes Paulus II berbicara tentang
makna kerja menurut Katolik. Ensiklik Laborem Exercens mengatakan bahwa manusia
adalah citra Allah yang dipanggil oleh Allah untuk bekerja mencari nafkah, menguasai ilmu
dan teknologi (iptek), membangun kebudayaan dan kemanusiaan, peduli pada masalah-
masalah sosial dan perdamaian dunia, serta melakukan pekerjaan dengan tujuan utama untuk
memuliakan Allah Pencipta (Bapa), Allah Penebus (Putera Yesus Kristus) dan Allah
Penghibur (Roh Kudus). Ensiklik juga menegaskan bahwa di dalam dunia kerja, manusia
harus diperlakukan sebagai subjek kerja dan bukan objek kerja. Kerja untuk manusia dan
bukan sebaliknya manusia untuk kerja. Ini artinya pekerjaan dilakukan untuk memanusiakan
manusia dan bukan sebaliknya untuk mengeksploitasi atau mengorbankan kemanusiaan
manusia sebagai makhluk luhur citra Allah.
Pandangan Kristen (Protestan) tentang kerja intinya dapat ditemukan di dalam Kitab
Kejadian Bab 1 di mana Allah dikatakan menciptakan manusia dan alam semesta menurut
kehendak Allah dan semua ciptaan itu baik pada awal mulanya. Tuhan memberikan perintah
kepada manusia untuk mengembangkan diri, menaklukkan bumi dan menguasai isinya
dengan cara bekerja. Tuhan memerintahkan manusia untuk beranak cucu, menaklukkan bumi
dan menguasai isinya dengan bekerja. Malah di teks Perjanjian Baru dikatakan bahwa
’barang siapa yang tidak bekerja, janganlah ia makan’. Ini artinya bahwa manusia tidak
boleh malas tetapi harus rajin dan giat dalam melakukan pekerjaannya di bidang apa saja
untuk mengembangkan diri, memajukan masyarakat dan mengembangkan kehidupan dunia
ini ke arah lebih baik sesuai dengan rencana Tuhan sendiri.
Budha sangat memperhatikan dimensi etika bekerja. Ada banyak aturan dan larangan
yang perlu diperhatikan kaum penganut Budha dalam menjalankan pekerjaannya. Di dalam
Iddhipada di sana dijelaskan kondisi-kondisi umum yang memungkinkan seseorang Budhis
sukses dalam pekerjaannya:
Ajaran Hindu tak kalah menariknya soal kerja. Ada banyak kutipan yang menarik
berkaitan dengan pekerjaan manusia. Bagi umat Hindu, bekerja adalah kewajiban
(swadharma), bekerja adalah suatu keharusan, baik itu karena memang perintah dari Tuhan
maupun karena tuntutan untuk kelangsungan hidup di dunia. Kutipan suci kerja menurut
Hindu kebanyakan ditemukan di dalam Bhagawadgita. “Bekerjalah demi kewajibanmu,
bukan demi hasil perbuatan itu, jangan sekali pahala menjadi motifmu dalam bekerja, jangan
pula hanya berdiam diri tidak bekerja” (Bhagawadgita II.47). “Bekerjalah seperti apa yang
telah ditentukan, sebab bekerja lebih baik daripada tidak bekerja, dan bahkan tubuh pun tidak
berhasil terpelihara jika tanpa bekerja” (Bhagawadgita III.8). “Seperti orang bodoh yang
bekerja karena keterikatan atas kerja mereka, demikianlah orang yang pandai bekerja tanpa
kepentingan pribadi (tanpa pamrih) dan bekerja untuk kesejahteraan manusia dan memelihara
ketertiban sosial“(Bhagawadgita III-25). ”Mereka mempersembahkan semua kerjanya kepada
Brahman dan, bekerja tanpa motif keinginan apa-apa, mereka tak terjamah oleh dosa, laksana
daun teratai tak basah oleh air” (BhagawadgitaV.10).
Aktualisasi diri merupakan kebutuhan kejiwaan seseorang untuk melakukan hal yang
terbaik dari apa yang bisa dia lakukan. Aktualisasi diri adalah sebuah keadaan di mana
seseorang telah merasa menjadi dirinya sendiri karena dapat mengerjakan sesuatu yang
disukainya dengan hati yang riang gembira dan penuh sukacita rohani.
1
Materi ini diapdatasi dari F. Fios et all (2012). CB: Spiritual Development. Binus University: Jakarta.
Kalau Tuhan memanggil dan mengutus kita ke tempat kerja maka kita perlu percaya
pada Tuhan, percaya diri, percaya sesama rekan kerja, disiplin,bertanggung jawab, dan
memiliki kualitas integritas diri yang baik. Dengan kekayaan religius diri seperti ini, kita bisa
mengetahui kekurangan dan kelebihan diri sehingga mampu mencapai apa yang lebih baik
lagi sesuai dengan kehendak Tuhan. Kekayaan mental memampukan kita melakukan refleksi
(renungan) dan retrospeksi (melihat ke belakang) untuk melakukan retrodiksi (ramalan)
antisipatif ke masa depan yang lebih baik lagi di dalam praktik kerja kita sesuai dengan
ketentuan Tuhan.
Pada hemat saya, hidup dalam saat sekarang adalah kunci spiritualitas di segala
bidang, tetapi terutama di tempat kerja. Sangat mudah membiarkan pikiran mengembara dan
berjalan begitu saja selama jam-jam kerja, khususnya jika pekerjaan kita membosankan,
mengulang-ulang hal yang sama atau menjemukan (seperti yang kadang-kadang terjadi pada
jenis pekerjaan apapun). Sepenuhnya hidup dalam saat sekarang, berarti kita dapat melihat
nilai kerja yang sedang kita lakukan pada saat kita melakukannya. Akibatnya, pekerjaan
diresapi makna, pekerjaan menjadi bermakna secara spiritual.
Bagaimana dapat tetap hidup seperti itu, tentu saja merupakan persoalan besar.
Menurut hemat saya, kita dapat berbuat seperti itu dengan sebaik-baiknya jika kita
menghayati pekerjaan kita sebagai sebuah doa. Maksudnya bukan berdoa ketika kita sedang
bekerja, melainkan memandang pekerjaan sebagai sebuah panggilan spiritual (doa).
Bekerja dengan baik itu diharapkan sesuai dengan nilai-nilai luhur di dalam
organisasi. Entah itu nilai keadilan, entah itu nilai keimanan, entah itu nilai kejujuran, entah
itu nilai disiplin, entah itu nilai persaudaraan dll.Kita bekerja dengan baik sesuai dengan
nilai-nilai organisasi yang baik dan positif juga.
Bekerja dengan baik dapat juga dilihat dari sudut pandang hak dan kewajiban sebagai
pekerja, keduanya harus terlaksana dengan seimbang. Harus ada keadilan di dalam bekerja.
Karyawan wajib melakukan pekerjaan sesuai dengan aturan-normatif yang sudah ditetapkan
oleh perusahaan (pemilik usaha). Sebaliknya seorang pemilik usaha juga harus
memperhatikan hak-hak yang harus didapatkan oleh para karyawannya. Sehingga antara
karyawan dan pemilik usaha selalu berusaha untuk saling melakukan yang terbaik, berlaku
adil satu sama lain. Saling menjaga antara karyawan dan perusahaan merupakan hal yang
mulia di dalam organisasi.
Bekerja dengan baik sangat ditentukan juga oleh visi, misi, dan budaya organisasi
perusahaan di satu pihak; dan faktor budaya, tradisi, dan etos kerja bekerja di pihak lainnya.
Julia Balzer Briley seorang perawat, pengarang, dan pembicara, dari Kota Cumming,
Georgia menulis pengalamannya terkait aspek pengembangan diri dalam kerja ini. Julia
menulis keyakinan rohaninya dalam kisah inspiratif berikut ini. ”Untuk menambah
kedalaman spiritual dalam kerja saya, saya telah menempatkan diri untuk mengikuti kursus-
kursus yang memberikan sertifikat dalam bidang perawatan secara menyeluruh. Bagian
pertama program ini adalah perawatan diri sendiri. Saya diminta untuk menelaah raga-
jiwa-roh saya sendiri. Ini juga meliputi praktikum terstruktur dalam hal-hal seperti menulis
catatan harian tentang perawatan diri dan spiritualitas kontemplatif. Irama tetap praktik
setiap hari itulah yang akan membantu kita untuk memandang dan menghayati kerja kita
sebagai jalan rohani, dan saya berusaha keras, berjuang sungguh-sungguh untuk
mewujudkan hal ini. Saya merasakan bahwa batas waktu tugas-tugas selama kursus
memberikan kepada saya struktur yang saya perlukan. Saya menjadi terbuka kepada Allah
yang berbicara kepada saya melalui intuisi saya tentang cara saya dapat membantu para
perawat dan orang lainnya yang sepanggilan untuk melihat spiritualitas kerja mereka”
(Pierce: 2010, hlm. 179).
Julia sangat menyadari diri sungguh-sungguh bahwa salah satu bagian penting dari
aspek religius kerja adalah terus-menerus mengembangkan diri dalam bidang profesi yang
digelutinya. Terus mengembangkan diri dalam profesi kerja termasuk bagian religiositas
kerja juga. Orang yang terus mengembangkan diri akan menunjukkan kualitas kerja yang
baik dan semakin tinggi pula. Kualitas kerja perlu diwujudkan dalam jenis kerja apapun
profesi yang digeluti. Benarlah pepatah menarik Martin Luther King Jr, :
atau Shakespeare menulis puisi.Ia harus menyapu jalan dengan sedemikian baiknya,
sehingga segenap penghuni surga dan bumi akan berhenti sejenak dan berkata:
Pekerjaan itu tidak perlu dibandingkan. Karena semua orang yang bekerja di dalam
perusahaan atau organisasi sama-sama memainkan perannya untuk kepentingan bersama.
Karena itu semua pekerjaan baik adanya. ”Jika Anda membandingkan pekerjaan dengan
pekerjaan, maka ada perbedaan besar antara pekerjaan mencuci piring dan pekerjaan
mewartakan firman Tuhan, tetapi dalam hal menyenangkan hati Allah, kedua pekerjaan itu
sama sekali tiada bedanya” (William Tyndale).
Cara 7: Memutuskan apa yang ”Cukup” dan berpegang teguh pada keputusan Anda
Sikap dan perilaku taat peraturan/norma perusahaan muncul dari dalam hati nurani
karyawannya. Hal ini mengandaikan adanya kesadaran diri yang tinggi dari karyawan dalam
bekerja. Sikap disiplin kerja biasanya ditandai oleh adanya berbagai inisiatif, usaha, niat,
kemauan, dan kehendak baik untuk mentaati peraturan dengan ikhlas dan loyal. Karyawan
yang berdisiplin tinggi, tidak semata-mata patuh/ taat terhadap peraturan secara kaku dan
mati, tetapi terlebih berkehendak (berniat) baik untuk menyesuaikan diri dengan peraturan-
peraturan perusahaan. Ini artinya seorang karyawan perlu bersikap rendah hati untuk taat
aturan perusahaan yang ada demi kebaikan dirinya sendiri. Aturan sebetulnya ada untuk
melindungi kebaikan pribadi karyawan itu sendiri.
Avin Vadilla Helmi (Buletin Psikologi 1996) menunjukkan tiga (3) indikator disiplin
kerja sebagai berikut:
b). Upaya dalam mentaati peraturan tidak boleh didasarkan adanya perasaan takut atau
terpaksa.
c). Komitmen dan loyal pada perusahaan tercermin dari bagaimana sikap dalam bekerja.
Disiplin terhadap komitmen bersama tim kerja (bottom-up) berbeda dengan disiplin
terhadap peraturan perusahaan. Kegiatan perusahaan bukanlah kegiatan yang bersifat
individual semata, melainkan juga membutuhkan disiplin terhadap komitmen kelompok tim
kerja. Tim-tim kerja akan menghasilkan pekerjaan yang optimal jika setiap anggota
kelompok dapat memberikan andil yang sesuai dengan hak dan tanggung jawab
masing-masing. Kaitan antara disiplin terhadap peraturan perusahaan secara top-down dengan
disiplin kelompok (tim kerja) secara bottom-up sebagai upaya saling melengkapi dan saling
menunjang. Disiplin dari pimpinan tertinggi perusahaan ke bawah (top-down) tidak dapat
dikembangkan secara optimal tanpa dukungan disiplin kelompok yang dibangun oleh tim
kerja dari karyawan yang paling rendah hingga pimpinan yang tertinggi.
Disiplin
Dalam pekerjaan kita sehari-hari, kita harus juga menjadi pencipta dunia, lebih baik
memberikan perhatian kepada apa yang sedang kita lakukan-mempertanyakan nilai, maksud,
proses kerja, dan juga sarana-sarana serta tujuan-tujuan dari kerja kita. Kita perlu sedikit
disiplin untuk hal-hal ini.
Tidak mudah melihat kesempatan-kesempatan untuk mengambil bagian dalam hidup ilahi
bila menghadapi sekian banyak telepon yang belum dijawab pada daftar tugas sehari-hari
kita, terjadinya gangguan pada komputer, laporan yang harus segera diselesaikan, dan klien
yang marah-marah di telepon. Salah satu hal yang dapat dilakukan ialah memperjelas
tujuan-tujuan kita ketika kita sedang tidak bekerja. Kita perlu berpikir-ketika sedang tidak
bekerja-baik itu penyair, pencetak, pedagang, pengajar, pengacara, perawat, penjaga parkir,
pramuniaga, pastor/pendeta/ustad/biksu, pengusaha, manejer, direktur, ataupun wartawan
yang bagaimanakah yang menjadi keinginan kita? Disiplin berpikir seperti ini dapat
membangkitkan sikap sadar yang lebih tinggi ketika kita kembali ke tengah hingar-bingar
tempat kerja kita. Bagaimana memberikan perhatian yang dapat meningkatkan kesadaran
kita akan yang ilahi/transenden? Keduanya merupakan hal yang sama (Michael Coyne).
Dalam bekerja orang cenderung bertindak berdasarkan nilai-nilai dasar yang diyakini
dan dianutnya. Hal ini terkait erat dengan masalah sistem nilai. Sistem nilai yang dianut akan
terlihat jelas dari sikap yang tercermin dalam perilaku seseorang. Menurut Kelman
(Brigham: 1994), perubahan sikap ke dalam perilaku terdiri dari tiga (3) tingkatan yaitu
disiplin dalam pelaksanaan kerja karena kepatuhan, disiplin pelaksanaan karena identifikasi,
dan disiplin pelaksanaan kerja karena internalisasi.
Kepatuhan kerja terhadap aturan-aturan yang didasarkan atas dasar perasaan takut
dilakukan semata untuk mendapatkan reaksi positif dari pimpinan perusahaan atau atasan
yang memiliki wewenang. Sebaliknya, jika pengawas tidak ada di tempat kerja, maka disiplin
kerja tidak tampak sama sekali. Seorang karyawan akan bersikap pura-pura atau munafik.
Maka sebetulnya setiap karyawan harus bisa menghayati kerja sampai pada level
internalisasi nilai ini. Internalisasi menjadi ukuran kedewasaan sikap, kematangan
kepribadian dan kompetensi kerja yang ideal. Hal ini mengandaikan adanya kemampuan
untuk memaknai kerja secara spiritual, jika tidak, maka kerja yang dilakukan akan kehilangan
makna dan relevansi positifnya bagi organisasi.
Seorang pekerja, baik sebagai karyawan maupun pimpinan (manejer) harus berani
menghadapi risiko kerja. Risiko kerja memiliki konsekuensi luas, alternatif ganda, akibat
berbeda, tak pasti, dan efek yang sering kali bersifat personal.
Etika religius kerja (ERK) adalah prinsip normatif yang mengandung sistem nilai dan
keyakinan moral religius sebagai pedoman bagi setiap individu baik sebagai manejer
maupun karyawan dalam melaksanakan pekerjaannya di tempat kerja.
Masalah kompleks yang sering dihadapi oleh para manejer adalah dalam menghadapi
tingkah laku para karyawan. Keadaan ini bisa menjadi tekanan dan bahkan tantangan dalam
Etika religius kerja karyawan terpancar keluar dari keyakinan imannya tentang
nilai-nilai kebijaksanaan utama dalam bekerja. Karyawan yang memiliki kualitas religius
yang cukup memadai akan bekerja dengan penuh tanggung jawab, adil dan jujur, loyal, ulet
dan setia pada pekerjaannya. Etika religius kerja memotivasi karyawan untuk bekerja
berlandaskan nilai-nilai keyakinan rohani daripada berorientasi pada motivasi-motivasi
materialistik belaka seperti uang, kuasa, ambisi, popularitas dan sebagainya. Etika religius
kerja mewajibkan karyawan mengabdi pada pekerjaannya semata-mata sebagai hal yang
bernilai rohani tanpa memiliki vested interested (kepentingan khusus) atau pun hidden
agenda (agenda terselubung) tertentu yang picik dan murahan.
Etika religius bisnis (ERB) adalah suatu prinsip etis-moral, religius-spiritual yang
harus diikuti apabila menjalankan bisnis atau usaha di bidang apa saja. Bisnis dimaknai
sebagai segala aktivitas produktif untuk mendapatkan keuntungan, uang atau modal. Maka
ruang lingkup bisnis bisa mencakup bidang apa saja seperti ekonomi, sosial, politik, hukum,
dan praktik kerja profesional apa saja yang mendatangkan kegunaan pragmatis dari sisi
uang/modal. Etika religius bisnis mengalir dan meresapi bidang kerja manusia dalam ranah
publik dan tatanan sosial.
Keputusan perusahaan tanpa etika religius bisnis, biasanya timbul jika pengambilan
keputusan hanya untuk menguntungkan pihak perusahaan, tanpa mempedulikan tanggung
jawab sosial pada kemanusiaan. Praktik bisnis yang tidak etis-religius dapat berpengaruh
buruk terhadap citra perusahaan. Karena perusahaan bisa saja mencapai untung besar namun
memperlakukan karyawan secara tidak adil dan tidak manusiawi. Sehingga melecehkan
martabat karyawan sebagai makhluk Tuhan yang bermartabat luhur. Maka di sini perlulah
dikembangkan sebuah model etika bisnis yang berkarakter religius di dalam perusahaan.
Selain implementasinya yang diperuntukkan bagi karyawan, etika religius bisnis juga
perlu menjamin tanggung jawab sosial perusahaan terhadap pelanggan. Realisasinya dapat
diekspresikan melalui penciptaan kode etik relasi perusahaan dengan klien, menampung
aspirasi/keluhan mereka, dan meminta umpan balik (feed back) dari pelanggan. Di sini kita
belajar untuk mendengarkan saran dan masukan dari bawah, dari pihak pelanggan. Sebuah
“spiritualitas mendengarkan” aspirasi arus bawah penting diperhatikan.
Dari segi manajemen sumber daya manusia (SDM), ada delapan (8) ruang lingkup
kerja dalam suatu perusahaan yaitu: perencanaan tenaga kerja, rekrutmen, seleksi dan
penempatan, pelatihan dan pengembangan, penilaian prestasi kerja, konpensasi,
pemeliharaan, dan pemutusan hubungan kerja.
Perencanaan tenaga kerja disusun untuk menjamin kebutuhan tenaga kerja perusahaan
terpenuhi secara konstan dan memadai. Oleh sebab itu perencanaan ini tergantung kepada
Rekrutmen dilakukan bila perusahan memerlukan tenaga kerja baru. Rekrutmen bisa
dilakukan dengan penyampaian dari mulut ke mulut apabila karyawan baru yang dibutuhkan
hanya beberapa orang. Bila membutuhkan karyawan baru lebih dari 10 orang maka
pengumuman rekrutmen dapat disampaikan melalui iklan di media masa atau bekerja sama
dengan mitra perusahaan perekrutan.
Seleksi dan penempatan tenaga kerja bisa melalui empat (4) tahap yaitu: menilai
formulir lamaran, mewawancarai, menggunakan tes lainnya bila perlu, dan memperoleh
referensi.
Penilaian prestasi kerja dilaksanakan untuk menilai seorang karyawan secara akurat
untuk memperoleh dasar pengambilan keputusan promosi, mutasi, demosi atau penurunan
pangkat, dan pemutusan hubungan kerja (PHK).
Konpensasi atau balas jasa adalah pemberian penghargaan langsung maupun tidak
langsung kepada para karyawan. Adapun jenis-jenis konpensasi itu adalah konpensasi gaji
atau upah dan evaluasi jabatan.
Setiap karyawan yang bekerja pada perusahaan perlu memahami ruang lingkup
kerjanya dengan baik. Ia merasa diri perlu belajar, melatih diri dan mengembangkan diri
secara maksimal di tempat kerja. Orang seperti ini akan bertindak tepat dalam
mengembangkan pekerjaannya. Ia tidak ragu-ragu menolak dan menyatakan “tidak” pada
suatu pekerjaan yang tidak baik, tidak bermoral dan tidak religius. Orang yang memahami
ruang lingkup kerja dengan baik memiliki motivasi spiritual yang kukuh dan berani
menentukan sendiri pilihan-pilihan positif dan baik yang patut dikedepankan untuk
memajukan perusahaan ke arah kebaikan dan kesempurnaan. Ia mampu menahan dan
mengendalikan diri terhadap godaan-godaan tidak etis di tempat kerja untuk melakukan
tindakan kontraproduktif yang merusakkan diri maupun perusahaan. Termasuk di dalamnya
godaan materi uang (korupsi), seks (pelecehan seksual) dan kuasa (penyalahgunaan
kekuasaan).
Secara pesikologis, semua orang tentu pernah mempunyai masalah dengan aspek
percaya diri ini. Ada tipe orang yang merasa telah kehilangan rasa kepercayaan diri di hampir
keseluruhan dimensi hidupnya. Mungkin terkait dengan soal krisis diri, depresi, hilang
kendali, merasa tak berdaya menatap sisi cerah masa depan dan lain-lain. Ada juga orang
yang merasa belum percaya diri dengan apa yang dilakukannya atau dengan apa yang
ditekuninya. Ada juga orang yang merasa kurang percaya diri ketika menghadapi situasi atau
keadaan tertentu.
Percaya diri merupakan salah satu aspek kepribadian yang sangat penting dalam
kehidupan manusia. Orang yang percaya diri yakin atas kemampuan mereka sendiri serta
memiliki harapan yang realistis, bahkan ketika harapan mereka tidak terwujud, mereka tetap
berpikiran positif dan dapat menerimanya dengan ikhlas serta gigih berjuang mencapainya.
Orang yang kurang percaya diri di tempat kerja akan tampil sebagai pribadi yang
merusakkan sistem-sistem kerja yang ada. Mereka tidak akan mengembangkan profesi secara
etis, tetapi mencari pangkat atau kedudukan dengan cara tidak sehat. Ia bisa melakukan
hal-hal tidak etis di tempat kerja (curang) untuk menutupi kondisi kurang terampil (unskill)
dan kecakapan dirinya. Cuatan keluarnya bisa dalam bentuk sikap mencari muka dengan
atasan, munafik atau pura-pura, asal bos senang (ABS), konspirasi atau sekongkol untuk
menjatuhkan orang rekan kerja, menyebar gosip atau fitnah pada orang lain untuk
mendapatkan posisi tertentu dan sebagainya. Seharusnya kalau orang memiliki skill yang
memadai, ia tidak akan mudah mencari kepentingan tertentu di tempat kerja dengan cara-cara
licik, keji, tidak santun, tidak religius, tidak bermoral.
Maka dari itu, rasa percaya diri sangat mempengaruhi kebebasan dan otonomi kerja
seseorang di tempat kerja. Sekalipun peluang begitu besar untuk meniti karier di perusahaan
tempat kerja tetapi, kalau Anda menghadapinya dengan kurang percaya diri, maka jalan
menuju pintu gagal menjadi semakin terbuka lebar. Sebaliknya, meski begitu banyak
tantangan dan hanya memiliki peluang yang kecil untuk melanjutkan jenjang karir yang lebih
tinggi di tempat bekerja, kalau kita hadapi dengan penuh percaya diri maka kemungkinan
berhasil menjadi lebih besar. Kepercayaan diri memberikan energi perkembangan dan
moralitas kepada seseorang untuk bertumbuh ke arah pribadi yang berkarakter positif.
Pribadi yang percaya diri akan selalu menjadi pribadi yang optimistis.
Kita perlu memupuk dan mengembangkan semangat kepercayaan diri di tempat kerja
dengan cara-cara yang fair, profesional, bermoral-etis serta didukung oleh semangat spiritual
yang memadai. Hanya dengan itu kepercayaan diri kita di tempat kerja tidak bersifat negatif,
Kepercayaan diri di tempat kerja harus ditempatkan di atas dasar usaha menciptakan
kebahagiaan bukan hanya bagi diri sendiri, melainkan juga menciptakan kebahagiaan bagi
sesama. Kita mencapai kebahagiaan (dan kesuksesan) dengan memperhatikan hukum-hukum
kepatutan dan etika yang bersifat umum sehingga bisa mendatangkan manfaat yang berguna
dalam konteks kerja. Kita tidak boleh mencapai kebahagiaan (kesuksesan) di tempat kerja
dengan menciptakan ketidak-bahagiaan bagi sesama. Kita harus mencapai kebahagiaan
dengan ikut membahagiakan sesama juga. Kita sukses, sesama pun sukses! Dan ini hanya
mungkin jika ada hukum cinta kasih pada sesama dalam pelaksanaan kerja kita sehingga
pekerjaan tidak mengalienasi manusia yang satu dengan manusia yang lain di tempat kerja.
Lingkungan kerja harus menciptakan kondisi yang kondusif bagi karyawan untuk bekerja
dengan kebebasan yang berdampak positif bagi perusahaan dan dirinya.***
“Tidak ada yang dapat memaksa saya menjadi bahagia dengan caranya (seperti ia
membayangkan kebahagiaan itu bagi orang lain). Setiap orang boleh mencari
kebahagiaannya dengan jalannya sendiri. Jalan yang akan membantunya hanya jika ia tidak
menginjak kebebasan orang lain (hak orang lain). Yaitu kebebasan untuk mendapatkan
tujuan yang sama, kebebasan yang dapat tumbuh bersama dengan kebebasan setiap orang
berdasarkan suatu hukum umum” (Immanuel Kant).
Bekerja bukan hanya untuk mencari makan. Dengan bekerja, secara religius,
sebenarnya manusia berpartisipasi untuk membangun dan mengembangkan dunia bersama
Allah Sang Pencipta. Kerja adalah cara keterlibatan riil manusia dalam seluruh rencana
keselamatan dan penciptaan Tuhan yang terus berlangsung di dalam dunia. Dengan demikian
maka pekerjaan harus dihayati sebagai panggilan, dan kalau sebagai panggilan berarti harus
dilakukan dengan baik. Bekerja juga merupakan bentuk aktualisasi diri, maka kalau mau
mengenal seseorang dengan baik maka lihatlah bagaimana ia bekerja, apakah ia bekerja
dengan baik atau tidak.
Alquran (Kitab Suci Islam), Alkitab (Kitab Suci Katolik dan Kristen Protestan), Kitab Weda
(Kitab Suci Hindu), Kitab Tripitaka (Kitab Suci Budha), Kitab Wu Jing & Si Shu
(Kitab Suci Konghucu) dan ajaran/diktrin suci agama masing-masing yang relevan.
Ensiklik Laborem Exercens” dikeluarkan oleh Paus Yohanes Paulus II tentang Makna Kerja
menurut Pandangan Katolik. Vatikan: Sekretariat Kepausan.
Frederikus Fios (2012). CB: Spiritual Development. Jakarta: Bina Nusantara University.
Hubert Leteng (2005). “Filsafat dan Spiritualitas” dalam Jurnal Ledalero Vol. 4 No. 2.
Maumere: Penerbit Ledalero
https://www.islampos.com/arti-bekerja-dalam-islam-25564/
http://ajaransosialgerejakatolik.blogspot.co.id/2012/03/laborem-exercens-dengan-
bekerja.html
http://majalahhinduraditya.blogspot.co.id/2013/05/bekerja-menurut-hindu.html
http://confucius-rohaniwan.blogspot.co.id/2009/12/7-etos-kerja-dalam-perspektif-agama.html