CAKRA
PERADABAN
Jo Priastana
CAKRA PERADABAN
Buddhadharma dan IPTEK
Penulis: Jo Priastana
Penerbit: Yasodhara Puteri, Jakarta
Cetakan Pertama, Oktober 2017
Disain Sampul: Eka Prasanya
ISBN: 978-979-1197-10-6
BAGIAN PERTAMA
1. ILMU PENGETAHUAN DAN HUKUM KESUNYATAAN
2. 2METODOLOGI ILMU PENGETAHUAN DAN KALAMA SUTA
3. PEMBAGIAN ILMU PENGETAHUAN DAN TEORI KEBENARAN
4. RAGAM ILMU PENGETAHUAN DAN NIYAMA
5. KEBEBASAN MENYELIDIKI DAN PARADIGAMA ILMU PENGETAHUAN
6. BUDDHADHARMA DAN ILMU PENGETAHUAN
7. BUDDHADHARMA DAN MASALAH-MASALAH DALAM IP
Pikiran memegang peranan besar dalam menumbuhkan ilmu pengetahuan dan aktivitas manusia.
Sang Buddha mengungkapkan: “Pikiran adalah pelopor dari segala sesuatu. Segala keadaan ditentukan
oleh pikiran”. (Dhammapada 1).
Aktivitas berpikir banyak dilakukan oleh para filsuf seperti filsuf-filsuf di Yunani. Filsafat
Yunani disebut-sebut sebagai yang mengawali tumbuhnya ilmu pengetahuan atau mother of science, ibu
ilmu pengetahuan.
Tidak semua berpikir dikatakan berfilsafat. Ciri berpikir filsafat adalah: radikal, universal,
konseptual, koheren dan konsisten, sistimatik, komprehensif, bebas dari prasangka, dan bertanggung-
jawab (Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM: 1996:13-15).
Asal kata filsafat philo-sophia (philo = suka, cinta – Sophia) yang berarti suka akan kebenaran
atau kebijaksanaan. Berfilsafat merupakan usaha mencari kebenaran atau hikmah kebijaksanaan.
Ilmu pengetahuan merupakan juga sebuah upaya menemukan kebenaran. Beberapa cabang
filsafat yang mendukung dan berkenan dengan aktivitas ilmu pengetahuan, misalnya: logika,
epistemologi dan filsafat ilmu.
Logika berupaya mengenali bagaimana tata cara berpikir yang tepat dan lurus untuk dapat
menghasilkan pengetahuan yang mantap. Logika merupakan dasar berpikir dan sarana vital bagi para
ilmuwan dalam aktivitasnya di lapangan ilmu pengetahuan.
Suatu contoh cara berpikir logis adalah silogisme. Contoh silogisme: Semua manusia akan mati.
Sokrates manusia. Jadi Sokrates akan mati.
Masalah pengetahuan itu sendiri diselidiki dalam cabang filsafat Epistemologi atau theory of
knowledge. Epistemologi menyelidiki sumber dan hakikat pengetahuan manusia. (Tim Dosen Filsafat
Ilmu Fakultas Filsafat UGM: 1996, 24-26).
Dilihat dari sumbernya memunculkan aliran rasionalisme (akal, pikiran), empirisme (pengalaman
inderawi), realisme (obyektif), kritisisme (pengalaman inderawi dan akal). Sedangkan berbagai aliran
yang menekankan pada hakikat pengetahuan adalah: idealisme (psikologis-subyektif), empirisme
(pengalaman inderawi), positivisme (faktawi bukan kepercayaan dogmatis), pragmatisme (bermanfaat
praktis).
Filsafat Ilmu menyelidiki tentang hakikat ilmu termasuk diantaranya yang berkenan dengan
rumpun ilmu, seperti: ilmu alam, ilmu sosial, maupun ilmu budaya dan humaniora. Juga menyoroti
tentang sejarah pertumbuhan, perkembangan serta kemajuan ilmu di berbagai bidang yang dapat
memberikan gambaran secara historis, sumber, hakikat dan tujuan ilmu.
Filsafat ilmu juga menelaah berbagai konsep, asumsi, praanggapan dan metode ilmu, proses
penalaran, saling keterkaitan diantara berbagai ilmu, akibat-akibat dan manfaat penerapan pengetahuan
ilmiah. Termasuk juga menelaah: apa dan bagaimana suatu konsep dan pernyataan dilahirkan dan dapat
disebut sebagai ilmiah, serta masalah context of discovery dan context of justification: apakah ilmu
pengetahuan itu bebas nilai atau tidak?
Hukum kesunyataan lebih bernilai universal (paramartha satya), dimana kebenarannya jauh lebih
luas dan dalam. Hukum Kesunyataan mencakup bidang spiritual, tathata (kenyataan apa adanya) atau
yathambhutam, sedangkan ilmu pengetahuan berada dalam tataran yang duniawi.
Dinamika ilmu pengetahuan berbeda dengan hukum kesunyataan. Meski hukum kesunyataan
juga berlaku untuk dunia bersyarat, namun keberlakuannya bersifat mutlak dan memberikan visi yang
lebih jauh tentang kehidupan yang sebenarnya serta misi pembebasan dari penderitaan manusia yang
hakiki.
Sebagaimana filsafat, ilmu pengetahuan adalah upaya untuk mencari kebenaran yang sejati,
namun setiap penemuannya selalu terbuka untuk difalsifikasi dan dikembangkan. Ilmu pengetahuan
bersifat dinamis dan kreatif selalu menghasilkan penemuan dan teori baru.
Ilmu pengetahuan didasari oleh adanya kebebasan berpikir dan semangat menyelidiki dan akan
selalu berlawanan terhadap pemikiran atau ideologi yang bersifat tertutup, dogmatis atau sistim
masyarakat yang totaliter. Sistim pemikiran dogmatis itu menjauhkan dari kebenaran, yang ironisnya juga
dapat terjadi pada agama. (Popper Karl R., The Open Society and Its Enemies I - II, London: 1966)
Buddhadharma yang universal juga mengandung sikap-sikap yang sesuai dengan sifat-sifat atau
ciri ilmu pengetahuan, seperti kebebasan untuk menyelidiki dan membuktikan. Hal ini menunjukkan
bahwa hukum Kesunyataan itu merupakan suatu grand teori yang perlu disikapi sebagai hipotesa yang
masih perlu pembuktian kebenarannya (Kalama Sutta).
Sikap membuktian itulah yang merupakan langkah yang dianjurkan Sang Buddha. Langkah
dimana kebenaran itu harus sungguh dikenali dan dialami (ehipassiko). Langkah pembuktikan secara
empiris ini bersisian dengan semangat ilmu pengetahuan dalam menemukan kebenaran.
Ilmu pengetahuan yang menyelidiki dunia sankhata adalah suatu proses untuk menemukan
kebenaran dan penemuannya itu berkembang dalam sejarah, saling mengalahkan, saling
menyempurnakan dan belum tentu berlaku mutlak. Kebenaran dalam ilmu pengetahuan menyangkut
samvrty-satya selalu dalam proses dan perkembangan.
Sebagai bagian dari kebenaran alam semesta, ilmu pengetahuan merupakan langkah untuk
menemukan kebenaran. Penemuan dalam, ilmu pengetahuan ini masih masuk dalam tataran Samvrty-
Satya (kebenaran yang relatif), yang menyelidiki dunia yang berkondisi (Sankhata-Dharma).
Kesempurnaan dan kebenaran ilmu pengetahuan masih dapat digali dan diketemukan kembali.
Dinamika ilmu pengeahuan yang bersandar pada kebebasasn berpikir, semangat menyelidiki terus maju
berkembang dengan adanya prinsip falsifikasi, verivikasi dan kemunculan paradigma dalam ilmu
pengetahuan.
Hukum kesunyataan sendiri harus dipahami baik secara mutlak (paramartha) dan relatif
(sammuti) serta berlaku secara dialektis dalam dunia sankhata dan asankhata. Hukum kesunyataan
ditujukan untuk membersihkan kekotoran batin.
Sang Buddha yang memiliki pengetahuan sempurna mengenai kehidupan ini telah menyiratkan
bahwa masing-masing bidang kehidupan itu ada keteraturannya (niyama). Keteraturan itu terwujud dalam
hukum-hukum alam dan kehidupan yang dapat dieksplorasi lebih jauh seperti yang diketemukan oleh
beragam ilmu pengetahuan. .
Sang Buddha bukan seorang ilmuwan. Meski begitu, pengetahuan kesunyataannya seperti
mengenai Niyama itu membersitkan adanya ruang bagi dimungkinkannya operasi dan berkembangnya
ilmu pengetahuan serta memungkinkan siswanya bersikap terbuka dan kritis.
Hukum kesunyataan mengatasi segala ragam ilmu pengetahuan, karena yang dicapai
Buddhadharma jauh lebih luas dan lebih dalam dibanding ilmu pengetahuan. Sang Buddha dan
Dharmanya adalah kesunyataan untuk menghantar kehidupan makhluk mencapai kebahagiaan yang
abadi, bebas dari penderitaan.
Dalam Buddhadharma pemikiran teoritis tidak bisa dilepaskan dari praktek kehidupan, diskusi
etika tidak bisa dipisahkan dari praktek moral. Buddhadharma bukanlah sekedar pencaharian spekulasi
filosofis atau teori semata tetapi menuntun siswanya untuk merealisasi hukum kebenaran tertinggi atau
kesunyataan.
“Buddha memandang sia-sia segala pencarian asal-usul dan akhir dunia ini, atau tentang “diri”.
Sebaliknya beliau menuntut kita mempelajari kehidupan dan fenomena yang berjalan menurut hukum-
hukumnya. Hal ini menjadikan filsafat Buddha sebagai suatu filsafat ilmu yang positif.” (Dr. W.F.
Jayasuriya).
SOAL:
***
Jo Priastana
Ilmu berusaha menjelaskan tentang apa dan bagaimana alam sebenarnya dan bagaimana teori
ilmu pengetahuan dapat menjelaskan fenomena yang terjadi di alam. Ilmu dapat diartikan sebagai suatu
kumpulan pengetahuan yang teratur, sistimatis dan memiliki metode.
Metode ilmiah merupakan suatu prosedur yang mencakup berbagai tindakan pikiran, pola kerja,
cara teknis, dan tata langkah untuk memperoleh pengetahuan baru. Metode ilmiah mempergunakan
penalaran, seperti penalararan deduktif dan induktif, serta menghasilkan model ilmu pengetahuan, seperti
model apriori dan aposteriori.
Metodologi ilmiah dilandasi oleh keterbukaan, sikap kritis sebagaimana juga dinyatakan Kalama
Sutta. Metodologi ilmiah yang tercermin dalam siklus empiris juga tidak lepas dari keterlibatan
salayatana atau enam indera dengan obyeknya.
Metodologi Ilmiah
Metode ilmiah atau proses ilmiah (bahasa Inggris: scientific method) adalah suatu proses berpikir
atau proses keilmuan. Proses berpikir untuk memecahkan masalah yang berangkat dari suatu
permasalahan untuk kemudian diketemukan pemecahannya maupun memperoleh pengetahuan secara
sistematis berdasarkan bukti fisis.
Berasal dari bahasa Yunani, meta yang berarti sesudah dan hodos yang berarti jalan. Metode
berarti langkah-langkah yang diambil menurut urutan tertentu untuk mencapai pengetahuan yang benar
yang dilakukan secara sistimatis dan berencana.
Langkah-langkah metode ilmiah dilakukan secara berurutan, bertahapan, dan terkontrol, terdiri
dari: 1. Merumuskan Masalah. 2. Merumuskan Hipotesis. 3. Mengumpulkan Data. 4. Menguji Hipotesis.
5. Merumuskan Kesimpulan.
Syarat metode ilmiah terdiri dari: obyektif, metodik, sistematik, dan universal.
Obyektif artinya pengetahuan itu sesuai dengan objeknya atau didukung fakta empiris. Metodik
artinya pengetahuan ilmiah diperoleh dengan menggunakan cara-cara tertentu yang teratur dan terkontrol.
Sistematik, terdiri dari bagian-bagiannya yang saling terkait dan terstruktur. Universal dimana
pengetahuan berlaku dan dapat diamati oleh semua orang melalui eksperimentasi yang sama akan
memperoleh hasil yang sama.
Sifat metode ilmu mencakup efisien, terbuka dan teruji. Efisien dalam penggunanan sumber daya
seperti tenaga, biaya, waktu. Terbuka dapat dipakai oleh siapa saja) dan teruji dimana prosedurnya logis
dalam memperoleh keputusan.
Kegiatan berpikir adalah ciri ilmuwan atau kaum intelektual. Kegiatan ini memerlukan penalaran
logis atas hasil-hasil pengalaman empiris, diantaranya mencakup penalaran deduktif dan penalaran
induktif.
Penalaran deduktif adalah penalaran yang mengambil kesimpulan khusus dari premis yang
umum, atau kongkritisasi teori pada kasus-kasus individual. Sedangkan penalaran induktif mengambil
kesimpulan umum dari kasus-kasus konkrit atau individual atau membangun teori dari kejadian-kejadian
empiris.
Suatu ilmu pengetahuan berdasarkan pengetahuan yang sudah ada, yang dikumpulkan, diatur dan
disusun. Susunan yang berusaha menyeluruh ini menampakkan ilmu pengetahuan semakin abstrak
karena mengorbankan kekonkritannya.
Penyusunan ilmu pengetahuan ini juga bisa diperbandingkan dengan konsep. Konsep mengacu
pada realitas namun menjadi abstrak: bila artinya semakin luas maka semakin abstraklah konsep tersebut.
Misalnya konsep atau kata hewan dibandingkan kata kuda.
Proses penalaran itu menjadi nyata dalam usaha setiap ilmu untuk menyusun sejumlah “model”.
Model itu dimaksud sebagai suatu penghadiran (representasi) yang padat dan ringkas dari apa yang sudah
jadi dikumpulkan dari pengetahuan umum maupun ilmiah.
Ada dua cara atau model yang pada dasarnya saling melengkapi dan mewakili dua kelompok
ilmu (dua cara berilmu), yaitu model aposteriori dan model apriori.
Model pertama mewakili ilmu-ilmu yang mementingkan pengamatan dan penelitian yang disebut
“empiris” (“empirical” dari kata Yunani yang berarti “meraba-raba”) atau “aposteriori” (dari kata Latin
“post” = “sesudah”. Segala ungkapan ilmu-ilmu ybs baru terjadi sesudah pengamatan. Contohnya ilmu-
ilmu alam, biologi dll..
Model kedua adalah model apriori mewakili ilmu-ilmu yang selekas-lekasnya bagaikan ingin
menangkap susunan keniscayaan (“structure of necessity”) yang mendasari segala kenyataan secara
“apriori” (dari kata Latin “prius” = “sebelum”).
Ilmu-ilmu ini ingin menentukan apa kiranya yang “mendahului” segala kenyataan itu. Contohnya
ilmu matematik sebagai model ilmu yang abstrak.
Model apriori bekerja dengan penalaran deduktif, yakni penalaran yang bertitik tolak pada suatu
kesimpulan umum untuk kemudian diberlakukan pada kasus-kasus khusus. Penyimpulan kausal termasuk
dalam penalaran yang deduktif, yaitu penarikan kesimpulan atas hubungan sebab akibat.
Logika deduksi adalah penalaran dengan kesimpulan yang wilayahnya lebih sempit daripada
wilayah premisnya. Cara kerja ilmu-ilmu pasti yang apriori pada umumnya bersifat deduksi.
Cara kerja aposteriori ilmu-ilmu empiris diberi nama induksi (sarana kerja induktif). Penalaran
induktif dalam bidang ilmiah bertitik tolak pada sejumlah hal khusus untuk sampai pada suatu rumusan
umum sebagai hukum ilmiah.
Dalam penalaran induktif terdapat urutan langkah-langkah: (1) observasi dan eksperimen, (2)
hipotesis ilmiah, (3) verikasi dan pengukuhan, (4) teori dan hukum ilmiah.
Siklus Empiris
Sesungguhnya persoalan pengetahuan dan metodologi ilmu pengetahuan tidak lepas dari indera
manusia (ayatana) dalam nama dan rupa. Ilmu pengetahuan melibatkan panca indera dan pikiran baik
yang mencakup dua cara kerja logika deduksi maupun induksi.
Cara kerja ini berkenan dengan teori maupun observasi sebagaimana yang tergambar dalam
siklus empiris di bawah ini.
Teori
Universal Deduksi
Generalisasi Hipotesa
Induksi Verivikasi
Observasi
Data Empiris
Metodologi ilmu-ilmu kealaman disebut juga siklus empiris, yang mencakup tahapan: observasi,
induksi, deduksi, eksperimen, maupun evaluasi. Ilmu-ilmu kealaman status obyektivitasnya bersifat
empiris-eksperimental.
Ilmu-ilmu sosial humanistik seringkali disebut juga ilmu tingkah laku (behavioral science).
Obyek ilmu-ilmu sosial humanistik ini merupakan gejala yang dapat diamati dan dinalar sebagai suatu
fakta empiris hasil dari ekspresi roh-segi batin manusia dalam berbagai wujudnya yang sekaligus termuat
di dalamnya arti, nilai, tujuan, dan bersifat normatif-teleologis.
Metode yang dipergunakannya pada umumnya metode linier yang memiliki tahap: persepsi,
konsepsi dan prediksi. Persepsi adalah penangkapan data melalui indera. Konsepsi adalah pengolahan
data dan penyusunannya dalam suatu sistem. Prediksi adalah penyimpulan dan sekaligus peramalan.
Obyek bentuk (mata), suara (telinga), bebauan (hidung), rasa (lidah), sentuhan (kulit), serta idea-
idea atau konsep (pikiran). Aktivitas enam landasan indera ini menumbuhkan pengetahuan. Panca indera
dan pikiran merupakan suatu kesatuan dalam menangkap obyek pengetahuan dan mencerminkan
pengetahuan yang empiris dan rasional.
“Jangan begitu saja mengikuti apa yang telah diperoleh karena berulang kali didengar (anussava),
atau yang berdasarkan tradisi (parampara), berdasarkan desas desus (itikara), atau yang ada di kitab suci
(pitaka sampadana), yang berdasarkan dugaan (takka hetu), berdasarkan aksioma (naya hetu),
berdasarkan penalaran yang tampaknya bagus (naya hetu), yang berdasarkan kecondongan ke arah
dugaan yang telah dipertimbangkan berulang kali (ditthi-nijjah-akkh-anitiya), atau yang kelihatannya
berdasarkan kemampuan seseorang (bhabba-rupataya), atau yang berdasarkan pertimbangan bhikkhu itu
adalah guru kita (samano no garu)” (Kalama Sutta, Anguttara Nikaya).
Sang Buddha menekankan bahwa suatu pengetahuan itu hendaknya dapat dibuktikan, artinya
dialami (empiris) dan tidak hanya dipercayai begitu saja. Anjuran Sang Buddha ini berlandaskan pada
konsep Ehipassiko yang berarti: datang lihat dan buktikan sendiri, suatu sikap menguji suatu teori
kebenaran dengan observasi.
Sang Buddha banyak mempergunakan cara dalam membabarkan jarannya baik secara induktif
maupun deduktif. Metode dialog, diskusi, eksperimen kerap digunakan digunakan agar siswanya dapat
mengalami sendiri hukum kesunyataan.
Tidak dapat dielakkan bahwa pengetahuan dan ilmu pengetahuan itu berkaitan dengan kebenaran.
Upaya manusia untuk mengetahui dengan pikirannya dan menghasilkan pengetahuan dan ilmu
pengetahuan merupakan dalam rangka menemukan kebenaran, sebagaimana dengan Buddhadharma.
***
3
PEMBAGIAN ILMU PENGETAHUAN DAN TEORI KEBENARAN
Jo Priastana
Makna dari istilah scientia atau ilmu pengetahuan mengandung pengetahuan tentang sesuatu.
Makna tersebut juga berkenan dengan pengetahuan yang mendalam, pengertian, keahlian, tahu, atau
faham benar-benar.
Ilmu pengetahuan juga memiliki syarat-syarat dan segi-segi tertentu. Terdapat obyek material
dan obyek formal, makna dan dimensi ilmu, ilmu teoretis dan ilmu praktis, ilmu murni dan ilmu praktis,
serta tentang teori kebenaran.
Terdapat tiga teori kebenaran yang berlaku dalam ilmu pengetahuan. Teori kebenaran
korespondensi, koherensi dan pragmatis dalam ilmu pengetahuan nyatanya juga tercermin dalam
Buddhadharma.
Obyek material adalah sesuatu hal yang dijadikan sasaran pemikiran (gegenstand), sesuatu yang
diselidiki atau sesuatu hal yang dipelajari (subyek matter). Obyek material bisa mencakup apa saja, baik
hal yang konkrit (misalnya manusia, tumbuhan, batu) atau pun hal-hal yang abstrak (misalnya: ide-ide,
nilai-nilai, kerohanian).
Obyek formal adalah cara memandang, cara meninjau terhadap obyek material serta prinsip-
prinsip yang digunakan. Obyek formal memberi keutuhan suatu ilmu serta membedakannya dari ilmu
lainnya. Satu obyek material dapat ditinjau dari berbagai sudut pandangan sehingga menimbulkan ilmu
yang berbeda-beda.
Ditinjau dari maknanya terdapat makna denotatif dan makna konotatif Ilmu:
Makna denotatif ilmu merujuk pada pengetahuan yang terorganisir, studi sistimatis, pengetahuan
teoritis. Mencakup baik pengetahuan manusia maupun pengetahuan ilmiah yang sistimatis dan
dikembangkan dengan prosedur tertentu.
Makna konotatif ilmu merujuk serangkaian aktivitas manusia yang manusiawi, bertujuan, dan
berhubungan dengan kesadaran. Misalnya, aktivitas para ahli ilmu pengetahuan, saintis dalam
membangun pengetahuan ilmiahnya.
Dalam dimensinya, ilmu ada yang bersifat internal dan eksternal. Bila dilihat dari sudut pandang
internal mengacu pada ilmu akademis. Sedangkan dari sudut pandang eksternal mengacu pada ilmu
industrial.
Pembagian ilmu ada yang bersifat teoretis dan praktis. Ilmu teoretis terdiri dari : teoretis
nomotesis dan teoretis ideografis. Sedangkan yang praktis, terdiri dari: praktis normatif dan praktis
positif.
Ilmu Teoretis dikatakan juga sebagai “Pure Science”, atau ilmu murni. Ilmu ini mengusahakan
pengertian atas suatu masalah atau keadaan yang sebenarnya saja.
Ilmu teoritis-ideografis mempelajari obyeknya in concreto, menurut tempat dan waktu tertentu,
dengan aktivitasnya yang menyendiri. Contohnya: sejarah, etnografi, sosiografi, antropologi.
Ilmu Praktis atau “applied science” adalah ilmu terapan. Ilmu praktis selain mendasarkan diri
pada teori-teori murni yang mungkin dibuat oleh ilmu murni, juga hendak mencari jalan-jalan yang
langsung dapat diterapkan pada kegiatan manusia mengolah alam dan mengolah kehidupan.
Pertanyaannya: bagaimana orang harus berbuat atau membuat sesuatu. Pembagian ilmu praktis
mencakup praktis normatif dan praktis positif.
Ilmu-ilmu yang Praktis-Normatif: Memberi pesan bagaimana sebaiknya kita harus berbuat
dengan membebankan kewajiban dan larangan (norma). Misalnya etika.
Ilmu-ilmu yang Praktis-Positif: Mengatakan bagaimana orang harus membuat sesuatu, mencapai
suatu hasil tertentu. Contohnya: ilmu tehnik: kimia, biologi, pertanian, kedokteran, psikologi terapan,
management, akuntansi, politik ekonomi dls.
Perbedaan terbesar antara ilmu pengetahuan dulu dengan sekarang adalah keterlibatan ilmu
pengetahuan sekarang dengan praksis. Namun begitu, perbedaan itu kini tidak tajam lagi. Banyak ilmu
teoretis yang juga memerlukan eksperimen untuk memperoleh pengetahuan.
Ilmu murni adalah ilmu yang membahas atau mendalami ilmu itu sendiri. Ilmu murni berfokus
kepada teori yang ditujukan untuk mememukan pengetahuan baru. Sedangkan ilmu praktis atau ilmu
terapan adalah usaha-usaha untuk menerapkan dalam kegiatan proses kehidupan atau sebagai ilmu yang
memudahkan kehidupan.
Ilmu murni berfokus kepada teori yang ditujukan untuk menemukan pengetahuan baru. Misalnya
penelitian mata manusia. Sedangkan ilmu terapan menempatkan teori-teori ke dalam praktek dengan
tujuan mencari solusi dari sebuah masalah. Contohnya ketika diketahui bahwa mata dapat bermasalah,
para ilmuwan berhasil menemukan kacamata.
Terdapat hubungan satu sama lain antara pengetahuan murni atau basic science seperti fisika,
matematika, kimia, biologi dan ilmu praktis dengan teknologi atau terapannya. Teknologi tidak akan bisa
berkembang tanpa adanya ilmu pengetahuan murni, begitu pula ilmu pengetahuan membutuhkan
teknologi untuk menyediakan fasilitas dan peralatan penelitian yang akurat.
Sebagai contoh, mesin uap tidak akan ditemukan tanpa adanya penelitian di bidang ilmu
pengetahuan fisika. Di lain pihak, keberhasilan pembuatan mesin uap mendorong penelitan lebih lanjut
dalam bidang ilmu murni yang berkaitan dengan teori panas dan termodinamika
Contoh lainnya, penelitian di bidang mekanika kuantum yang sangat bepengaruh terhadap
struktur suatu atom. Studi mengenai hubungan electron dan atom tersebut merupakan dasar bagi industri
elektronika-computer saat ini. Diketahui bahwa struktur molekul sangat ditentukan oleh sifat mekanika
kwantum dari atom dan molekulnya.
Buddhadharma Kontekstual
Dalam Buddhadharma terdapat seperangkat ajaran yang terkandung dalam kitab suci. Kitab suci
yang berupa teks-teks suci ini tentu saja masih bersifat teoretis dan karenanya perlu untuk dipraktekkan
atau diaplikasikan.
Begitu pula dalam kajian yang besifat akademik sebagai Buddhologi. Kajian Buddhadharma
dalam kitab suci yang berisikan banyak ajaran, teori-teori, aspek-aspek Dharma yang masih berupa teks-
teks dalam berbagai tradisi, mashab akan diperhadapkan dengan kenyataan hidup dan berbagai persoalan
dunia yang berkembang.
Teks dihadapkan pada konteks saat ini sebagaimana teks muncul juga tak lepas dari konteks masa
lalu. Sehubungan dengan ini, maka pendekatan hermeneutika dan semiotika sangat bermanfaat dalam
melakukan kajian teks kitab suci, dan juga aspek-aspek keagamaan lainnya.
Dalam hal konteks inilah, kemampuan akademis dari seorang sarjana agama Buddha sangat
diperlukan dalam mewujudkan Buddhadharma yang bersifat kontekstual. Buddhadharma kontekstual
adalah Buddhadharma yang mampu menjawab tantangan, ragam masalah dari perkembangan kehidupan
dan dunia yang selalu berubah.
Selain secara deduktif maupun induktif yang bersifat metodologis, terdapat pula teori kebenaran
dalam ilmu pengetahuan. Ada tiga teori kebenaran dalam ilmu pengetahuan, yaitu: teori kebenaran
Korespondensi, teori kebenaran Koherensi, dan teori kebenaran Pragmatis.
Teori kebenaran Korespondensi adalah kesesuaian antara teori dengan faktanya. “A belief is
called “true” if it “aggress” with a fact.”
Suatu pernyataan dianggap benar jika materi pengetahuan yang dikandung itu berkorespondensi
(berhubungan) dengan objek yang dituju oleh pernyataan tersebut. Teori kebenaran korespondensi
bersifat empiris, kecocokan teori dengan fakta.
Teori kebenaran koherensi adalah dimana antara masing-masing konsep atau suatu proposisi
dalam ilmu yang bersangkutan tidak saling bertentangan. Teori koherensi bersifat logis-rasional dimana
antara konsep atau pernyataan satu dan lainnya saling berhubungan.
Suatu pernyataan dianggap benar jika pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten dengan
pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Koherensi bersifat logis-rasional.
Teori kebenaran pragmatis mengandung nilai aksiologis kemanfaatan dan kegunaan. Suatu
proposisi dikatakan benar bila proposisi itu mempunyai konsekuensi-konsekuensi praktis, bersifat
fungsional dalam kehidupan praktis atau memiliki kegunaan atau manfaat dalam kehidupan manusia.
Ketiga teori kebenaran dalam ilmu pengetahuan tersebut sejalan dengan Buddhadharma.
Buddhadharma mencermin kan ke tiga teori kebenaran tersebut.
Teori kebenaran korespondensi, yaitu kesesuaian antara fakta dengan pernyataan, antara data
dengan teori. Suatu teori yang terbuktikan dalam observasi sangat ditekankan oleh Sang Buddha seperti
dikatakan dalam Kalama Sutta.
Pengetahuan sempurna Buddha itu sendiri, hukum kesunyataan merupakan hasil dari
pengalaman empirisnya atau pengalaman kebodhiannya. Sang Buddha melakukan praktek asketis dalam
menemukam Huium Kesunyataaan dan mengalaminya sendiri.
Begitu pula dengan teori kebenaran koherensi yang logis-rasional. Konsep-konsep dalam Buddhis
tidak bertentangan satu sama lain, seperti konsep dukkha, anicca dan anatta, maupun hukum karma dan
ajaran tumimbal lahir.
Konsep-konsep tersebut mencerminkan keselarasan dengan teori kebenaran koherensi yang logis-
rasional dan juga teori kebenaran korespondensi. Buddhadharma sejalan dengan metodologi ilmuah
dalam siklus empiris dan bersifat saintifik.
Buddhadharma Pragmatis
Sedangkan teori kebenaran pragmatis terdapat pada ungkapan bahwa Buddhadharma adalah rakit
untuk mencapai pantai seberang. Kebenaran dalam Buddhadharma bahwa Buddhadharma adalah jalan
kebenaran yang bersifat pragmatis yakni dapat dipraktekkan dan bermanfaat.
Sebagaimana ilmu pengetahuan yang dinilai benar karena memiliki manfaat-praktis dan
memudahkan bagi kehidupan manusia. Begitu pula dengan Buddhadharma yang bersifat pragmatis yang
membawa manfaat praktis bagi kebahagian manusia.
Kecocokan Buddhadharma dengan teori kebenaran dalam ilmu pengetahuan itu diakui oleh para
sarjana Buddhis Barat. seperti: De la Valle Pouussin (1866-1962) menyebut “early Buddhism
“pracmatic”. (Siddhi Butr-Indr:1995),
Rhys Davids (1843-1922), yang setuju dengan ungkapan “that the Buddha be called an
‘utilitarian” in the sense of being a pragmatist, for whom ‘truth is what works’.
Edward Conze (1904-1979) melalui hasil risetnya kemudian menyatakan: “We can, therefore,
say with some truth that Buddhist thinking tendes in the direction of what we call “pragmatism.”
Pragmatisme juga tercermin dalam Sang Buddha yang diperbandingkan dengan seorang dokter
yang pandai (bhisakka) dalam hal ini dokter spiritual. Buddha datang ke dunia memberikan obat
penyembuhan bagi derita manusia.
Buddha sendiri mempraktekkan apa yang ia sabdakan, dan apa yang disabdakan adalah hasil
berpraktek. Pengetahuan sempurna hukum kesunyataan merupakan hasil dari pencaharian dan penemuan
Buddha melalui sikap yang terbuka, kritis serta mengalami sendiri dan akhirnya mendatangkan manfaat
bagi umat manusia.
***
4
RAGAM ILMU PENGETAHUAN DAN NIYAMA
Jo Priastana
Francis Bacon (1561-1626) yang disebut-sebut sebagai bapak metodologi ilmu pengetahuan
modern atau sains. Tokoh yang disebut-sebut bapak ilmu pengetahuan modern ini menyatakan bahwa
ragam ilmu pengetahuan tumbuh tidak lepas dari kemampuan atau potensi dalam diri manusia, terutama
jiwa manusia.
Melalui kemampuan jiwa manusia inilah dapat dilacak perkembangan ilmu pengetahuan dengan
ragam macamnya. Rumpun ilmu pengetahuan juga dapat diasalkan kepada kemampuan triganda jiwa
manusia yang terdiri dari ratio, imajinasi dan ingatan.
Masalah potensi manusia mengenai ratio, ingatan dan imajinasi juga mendapat tempat di dalam
Buddhadharma berkenan dengan aspek rohani (nama) manusia. Begitu pula fenomena keragaman ilmu
pengetahuan yang dapat dirujuk kepada Niyama mengenai hukum tertib kosmis.
Francis Bacon menyebutkan bahwa jiwa manusia memiliki kemampuan triganda. Triganda ini
terdiri dari: ingatan (memoria), daya khayal (imagination), dan akal (ratio). (C. Verhaak, dan Iman, R.
Haryono Imam: 1995).
Ingatan menyangkut apa yang sudah diperiksa dan diselidiki (historia). Daya khayal menyangkut
keindahan, khususnya dalam sastra (poesis), dan akal menyangkut filsafat (philosophia).
Ratio atau akal menumbuhkan Filsafat. Ada tiga bidang persoalan filsafat: de numine (filsafat
Ketuhanan), de natura (tentang dunia tempat tinggal manusia), de homine (tentang manusia sendiri).
Cabang de natura, dapat dibedakan menjadi yang teoretis (speculative) dan penerapan
(operativa). Penerapan atau operativa merupakan pelaksanaan dari teoretis atau speculative.
De Natura bidang teoretis terdiri: physica dan metaphysica. Physica menyangkut causae
efficienties et materials, sedang metaphysica menyangkut causa formales et finales.
Causae efficientes et materials (sebab efisien dan material) adalah yang langsung dapat diamati
sebagai sebab-sebab fisis. Causae formales et finales (sebab formal dan final) dimaksud sebagai hukum
yang tetap, yang kini kita sebut sebagai hukum-hukum alam yang tidak dapat langsung diamati secara
empiris, dan semakin luas daya lingkupnya, yaitu apa yang dimaksud dengan metaphysica, lanjutan dari
physica.
De Natura bagian operative adalah penerapan atau pelaksanaan dari bagian teoretis. De natura
penerapan atau operativa ini dapat dibagi dua: mechanica yang merupakan terapan physica, dan magica
yang merupakan terapan metaphysica.
Magica jangan ditafsirkan sebagai sihir atau semacamnya, melainkan sebagai lanjutan mechanica.
Magica adalah penerapan pengetahuan tentang causal formales sebagai “hukum tersembunyi” yang tidak
dapat diamati langsung secara empiris, yakni berkenan dengan pancaindera supra-sensoris, umpamanya
kemampuan untuk menyembuhkan orang sakit dengan cara melebihi/mengatasi pemakaian obat-obatan.
De Homine dibagi menjadi philosophia humanitatis tentang manusia sebagai pribadi secara
individual dan philosophia civilis tentang manusia sebagai warga masyarakat. Philosophia humanitatis
meninjau manusia sebagi bertubuh dan berjiwa, sedangkan jiwa sendiri diselidiki lagi menurut
kemampuan-kemampuannya yang utama, yaitu akal budi dan kehendak, atau tentang logika dan etika.
Kemampuan triganda jiwa manusia menurut Francis Bacon melahirkan ragam ilmu pengetahuan.
Beragam ilmu pengetahuan seperti sejarah, seni, fisika, mekanika, metafisika, magica, psikologi, etika,
sosiologi, budaya, dst.
Kumpulan dari pengetahuan yang sistimatik menghasilkan ilmu. Kata ilmu berasal dari bahasa
Inggris: science, dan dari kata Latin scientia yang berarti pengetahuan.
Ilmu (science) dalam bahasa Jerman adalah Wissenchaft. Istilah ini berlaku terhadap kumpulan
pengetahuan yang teratur, termasuk di dalamnya Naturwissenschaften yang mencakup ilmu-ilmu
kealaman maupun Geisteswissenchaften atau ilmu-ilmu kemanusiaan. (Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas
Filsafat UGM: 1996).
Seringkali ilmu-ilmu social seperti sosiologi, ekonomi, sejarah, antropologi, ilmu hukum,
psikologi, ilmu komunikasi juga termasuk dalam Geisteswissenchaften ini.
Dari awal perkembagan ilmu pengetahuan, setidaknya terdapat garis besar rumpun ilmu
pengetahuan yang terdiri dari: Ilmu Alam (Natural Science), Ilmu Penegetahuan Sosial (Social Sciences)
dan Ilmu Pengetahuan Kemanusiaan (Humaniora Sciences).
Ilmu Alam atau ilmu pengetahuan alam (natural science) adalah istilah yang digunakan yang
merujuk pada rumpun ilmu dimana obyeknya adalah benda-benda alam dengan hukum-hukum yang pasti
dan umum, berlaku kapan pun dan di mana pun. IPA memiliki karakteristik: bersifat objektif, sistematis,
konsisten, dan logis.
Ilmu Alam mempelajari aspek-aspek fisik dan non-manusia tentang bumi dan alam sekitarnya.
Ilmu-ilmu alam membentuk landasan bagi ilmu terapan, yang keduanya dibedakan dari ilmu sosial,
teologi, dan seni. Istilah ilmu alam juga digunakan untuk mengenali “ilmu” sebagai disiplin yang
bermetode ilmiah.
Ilmu Pengetahuan Alam adalah ilmu yang mempelajari gejala-gejala alam yang dapat dirumuskan
kebenarannya secara empiris. Cabang-cabang utama ilmu alam, diantaranya: Astronomi, Biologi,
Ekologi, Fisika, Geologi, dan Kimia.
Masing-masing cabang ilmu kimia memiliki rantingnya: dalam ilmu kimia, terdapat kinia
analisa, kimia anorganik, kimia organic, kimia fisik. Ada juga sub-rantingnya seperti: thermodinamika,
kinetika kimia, elektrokimia, spektroskopi, kimia maupun padatan.
Ilmu Pengetahuan Sosial (Social Science) merupakan sekelompok disiplin akademis yang
mempelajari aspek-aspek yang berhubungan dengan manusia dan lingkungan sosialnya.
Ilmu-ilmu sosial menekanan penggunaan metode ilmiah dalam mempelajari manusia termasuk
metode kuantitatif, dan kualitatif, dan mencakup lapangan yang cukup luas dalam menggambarkan
penelitian manusia yang meliputi perilaku, interaksi baik pada masa kini maupun masa lalu. (Wikipedia,
2017).
Cabang utama dari ilmu sosial seperti: antropologi, ekonomi, akuntansi, geografi, hukum,
pendidikan, politik, sejarah, ilmu komunikasi psikologi sosial, dan lainnya.
Dalam bahasan Latin, humaniora disebut art liberales, yaitu studi tentang kemanusiaan.
Sedangkan menurut pendidikan Yunani Kuno, humaniora disebut trivium, yaitu logika, retorika dan
grammatika.
Dalam (KBBI, 1988) kategori yang tergolong ilmu ini antara lain: Teologi, Filsafat, Hukum,
Sejarah, Filologi, Bahasa, Budaya & Linguistik, Kesusastraan, Kesenian, Psikologi.
Pada hakikatnya humaniora adalah ilmu-ilmu yang bersentuhan dengan nilai-nilai kemanusiaan
mencakup etika, logika, estetika, pendidikan Pancasila, pendidikan Kewarganegaraan. Sebuah disiplin
akademik menggunakan metode analitik, kritikal, spekulatif, semiotik maupun pendekatan empiris dan
ilmiah.
Ragam ilmu pengetahuan tersebut termasuk dalam pembagian rumpun ilmu oleh Wilhelm
Windelband (1848-1915), baik yang mencakup rumpun Naturwissenchaften (ilmu pengetahuan alam)
maupun Geisteswissenchaften (ilmu pengetahuan sosial-budaya, dan sejarah). Masing-masing rumpun
ilmu pengetahuan ini mempunyai cara kerja dan sifat-sifat sendiri. (Bertens, Kees: 1981).
Rumpun IPA bersifat nomotetis (nomothetic sciencies) yang memiliki obyeknya fenomen-
fenomen pengalaman yang dapat diulangi terus menerus berupa kasus-kasus yang menyangkut suatu
hukum umum dalam alam (karena itu: nomothetis).
Sebaliknya rumpun ilmu budaya khususnya sejarah bersifat ideografis, (ideographic sciences)
karena obyek pembahasannya bersifat individual, unik, hanya satu kali terjadi (tak bisa diulangi).
Ada lima Niyama: Utu Niyama (keteraturan dalam dunia anorganis), Bija Niyama (keteraturan
dalam dunia organis), Kamma Niyama (keteraturan dalam perilaku manusia), Citta Niyama (keteraturan
dalam dunia rohani manusia) dan Dhamma Niyama (keteraturan dalam semesta alam).
Pertama,Utu niyama yang berkenaan dengan tenaga-panas (utu) untuk dunia anorganis seperti
yang diekplorasi dalam ilmu alam seperti fisika, dan lainnya. Kedua, Bija niyama untuk dunia organis
yang berkenan dengan dunia benih (bija) seperti yang dieksplorasi oleh ilmu alam seperti biologi, dan
lainnya.
Ketiga, Citta niyama untuk dunia batin, jiwa seperti yang diekplorasi lebih jauh oleh ilmu
psikologi dan the humanities. Ilmu-ilmu kemanusiaan yang merupakan ekspresi dari jiwa atau batin
manusia.
Keempat, Karma niyama mengenai perilaku manusia. karma Niyama ini dapat dieksplorasi oleh
ilmu etika dan berkembang menjadi ilmu-ilmu sosial maupun humaniora.
Kelima, Dharma niyama yang mengatasi dunia ilmu empiris. Dharma Niyama ini bisa
dibandingkan seperti apa yang dikatakan oleh Francis Bacon mengenai metafisika dan Magica, maupun
yang diselidiki filsafat dan ilmu agama sebagai inner scientific.
***
5
KEBEBASAN MENYELIDIKI DAN
PARADIGMA ILMU PENGETAHUAN
Jo Priastana
Ilmu Pengetahuan tumbuh karena dimungkinkan adanya kebebasan berpikir dan semangat
menyelidiki. Dalam menyikapi Dharma yang diajarkannya, Sang Buddha menekankan agar siswanya
mempergunakan kebebasan berpikir dan semangat menyelidiki.
Buddhadharma yang mengandung hukum kesunyataan memiliki keterbukaan dan bersifat tidak
dogmatis. Keterbukaan bagi kebebasan berpikir dan sikap inquiry (inquiry attitude) setiap orang untuk
menemukan kebenaran dan jiwa berilmu-pengetahuan.
Semangat menyelidiki merupakan dasar berilmu pengetahuan dan unsur utama metodologi ilmu
pengetahuan empiris. Semangat menyelidiki dan membuktikan ini tercermin dalam di dalam Kalama
Sutta.
“… Oleh karena itu, warga suku Kalama, janganlah percaya begitu saja berita yang disampaikan
kepadamu, atau oleh karena sesuatu yang sudah merupakan tradisi, atau sesuatu yang didesas-desuskan.
Janganlah percaya begitu saja apa yang tertulis di dalam kitab-kitab suci, juga apa yang dikatakan sesuai
dengan logika atau kesimpulan belaka, juga apa yang katanya telah direnungkan dengan seksama, juga
apa yang kelihatannya cocok dengan pandanganmu atau karena ingin menghormat seorang pertapa yang
menjadi gurumu … tetapi terimalah kalau engkau sudah membuktikannya sendiri …”
Selain itu ada konsep Ehipassiko yang berarti: datang lihat dan buktikan sendiri, suatu sikap
menguji suatu teori kebenaran dengan observasi. Begitu dalam Upali Sutta (Majjhima Nikaya), yang
memperlihatkan sikap-sikap yang sejalan dengan metode ilmu pengetahuan.
Dikisahkan tentang Upali, seorang penganut kepercayaan lain yang baru saja terkesan oleh
kebenaran yang disabdakan Sang Buddha. Upali berniat untuk masuk agama Buddha, tetapi Sang Buddha
malah mengatakan: “Telitilah secara sempurna, (wahai) Upali, karena adalah baik bagi orang terkemuka
seperti anda, untuk meneliti (terlebih dahulu) secara sempurna.”
Begitulah yang dilakukan ketika Siddharta Muda. Bersikap kritis, radikal, revolusioner,
emansipatoris, dan humanis, menggunakan pikiran dalam mencari kebenaran.
Kemajuan dalam lapangan ilmu pengetahuan lebih cenderung diidentifikasi secara lahiriah atau
berdasarkan ukuran-ukuran kemajuan yang sifatnya positivistis. Kemajuan dalam Buddhdharma adalah
terwjudnya nilai-nilai kehidupan yang sejati seperti misalnya nilai-nilai spiritualitas.
Sifat ilmu pengetahuan selalu terbuka dan berkembang dalam menyelidiki dunia kehidupan dan
mengungkapkan kebenaran. Teori Ilmu pengetahuan berhadapan dengan prinsip falsifikasi dan verifikasi
sehingga terbuka untuk diuji dan dikalahkan.
Karl Raimund Popper (The Logic of Scientific Discovery, 1968) menganggap suatu kebenaran
dalam ilmu pengetahuan itu walau didukung oleh verivikasi hanya sejauh dianggap benar, bersifat
probable. Kebenaran ilmu pengetahuan bisa dikalahkan atau difalsifikasi bila terdapat verivikasi baru.
Meski begitu, Buddhadharma yang selaras dengan ilmu pengetahuan tidak mengklaim kebenaran
mutlak begitu saja meski karena adanya suatu verivikasi. Ada prinsip kehati-hatian.
Adanya suatu verivikasi terhadap suatu hal, tidak harus ditarik kesimpulan bahwa hal itu adalah
mutlak benar. Begitu pula sebaliknya, bila belum ada suatu verivikasi terhadap suatu hal, tidak berarti
harus ditarik kesimpulan secara mutlak bahwa hal itu tidak benar.
Belum terbuktikan maupun sudah terbuktikan tidaklah harus ditarik kesimpulan bahwa sesuatu
itu tidak benar dan sesuatu itu mutlak benar. Hal ini juga berlaku di dalam memahami Buddhadharma.
Kasus yang berkenan dengan masalah determinisme (berlaku mutlak) dan nihilisme (sama sekali
tidak ada kebenaran) juga dialami Sang Buddha. Terdapat kasus ketika Sang Buddha menghadapi dua
kelompok Brahmana yang berbeda pandangan.
Dengan berdasarkan atas verivikasi (pengalaman ekstrasensori) ada dua kelompok yang
mengklaim kebenaran (truth claim). Seperti kaum materialis maupun kaum spiritualis yang mengklaim
kebenarannya masing-masing.
Sebaliknya, kaum yang mengklaim kebenaran hukum karma berlaku mutlak juga memperoleh
bukti empirisnya melalui pengalaman ekstrasensorinya. Kaum ini membuktikan bahwa pelaku kejahatan
benar-benar mengalami kehidupan yang jelek dalam kehidupan selanjutnya.
Menghadapi kedua pendapat mutlak yang kesimpulan kebenarannya sama-sama ditarik dari hasil
verivikasi dan saling mengklaim yang paling benar, Sang Buddha dengan bijaksana menyatakan:
“Berpandangan “hanya inilah yang benar dan semua yang lain salah” (idam eva saccam mogham
annam) merupakan kesalahan yang fatal”. (Kalupahana, David J. 1982. Filsafat Buddha: Sebuah Analisis
Historis).
Bukti sebuah empiris saja tidaklah berarti kesimpulan harus dikatakan benar secara mutlak.
Bahkan adanya bukti lainnya pun tidak serta merta memunculkan sebuah kesimpulan kebenaran mutlak
yang baru.
Inilah suatu teknik berpikir jalan tengah Sang Buddha yang sangat hati-hati. Jalan Tengah yang
cerdas disertai kebijaksanaan dalam menilai bukti empiris dan menarik kesimpulan yang tidak tergesa-
gesa atau harus serta merta dinyatakan bersifat mutlak.
Sang Buddha sangat hati-hati dan tidak serta merta menyatakan berlaku mutlak begitu saja meski
kesimpulan kebenaran itu hasil dari pengalaman empiris. Masih ada ruang relativitas dalam soal
pengetahuan sekalipun dilengkapi bukti empiris, bahkan empirisme ekstrasensoris.
Senada dengan pendapat Paul Feyerabend (Against Method), tak ada kepastian yang mutlak
universal dalam metode ilmu pengetahuan. Begitu juga dengan verivikasi hukum karma yang tidak
bersifat deterministis mutlak maupun indeterministis nihilis.
Dalam kasus tersebut, Sang Buddha masih menyebutkan adanya dua sumber utama dalam
memperoleh pengertian yang benar. Dua sumber yaitu kesaksian yang lain (parato ghosa), dan
perenungan yang tepat (yoniso manasikara). (Kalupahana, David J: 1982).
Terhadap kasus dua mainstream pendapat yang saling berlawanan mengenai hukum karma yang
berdasarkan verivikasi itu, konsepsi Sang Buddha sendiri tentang sebab-akibat itu dikatakan lebih bersifat
kondisional ketimbang deterministik atau indeterministik. Masih terdapat faktor lain yang perlu
diperhitungkan..
Dalam menyikapi proses kausal karma tersebut, ada tiga faktor yang dapat dipandang sebagai
berkah kehidupan seseorang. Tiga faktor itu: (a) berkah yang dapat diperoleh dalam kehidupan yang lalu,
(b) hidup di lingkungan yang baik, dan (c) tekad yang baik atau tindakan yang baik. ( Maha Manggala-
Sutta).
Suatu penemuan teori ilmu pengetahuan itu dimungkinkan karena adanya perubahan atau
pergeseran dalam cara pandang terhadap sesuatu, sebagaimana yang terjadi dalam lapangan ilmu
pengetahuan. Hal ini dikenal sebagai paradigma ilmu pengetahuan.
Ketika suatu krisis terjadi dan menimbulkan anomali, maka disitulah menurut Thomas Kuhn
(The Structure of Scientific Revolutions, 1970) akan muncul paradigma baru (new paradigm).
Paradigma baru atau paradigma shift (pergeseran paradigma) yang mengakibatkan terjadinya revolusi
ilmu pengetahuan.
Paradigma ilmu pengetahuan dapat mendatangkan revolusi dalam sains yang berarti perubahan
mendasar dalam memandang realitas. Contoh besar adalah Ilmuwan Copernicus (1473–1543)
membalikkan teori geosentris dengan teori heliosentris.
Contoh paradigma yang terjadi dalam sejarah ilmu diantaranya positivisme. Paradigma
positivisme berpandangan bahwa teori terbentuk dari seperangkat hukum universal yang berlaku.
Positivisme yang menitikberatkan bahwa ilmu harus betolak dari data-data empiris.
Tokoh Positivisme, Auguste Comte (1798-1857) dikenal sebagai “Bapak Sosiologi” modern. Ia
mengaplikasikan metode ilmiah dalam ilmu sosial, dan menggambarkan tentang tiga tahap masyarakat:
teologis atau mitos, metafisika dan masyarakat positivis yang merupakan tahap masyarakat ilmiah.
Pendekatan Postpositivisme ini memfokuskan pada sifat subjektif dari dunia sosial dan berusaha
memahaminya dari kerangka berpikir objek yang sedang dipelajarinya. Manusia secara terus menerus
menciptakan realitas sosial mereka dalam rangka berinteraksi dengan yang lain (Schultz, 1967).
Terdapat juga Paradigma Konstruktivisme bahwa pengetahuan yang telah ditangkap oleh manusia
adalah konstruksi (bentukan) manusia itu sendiri (Matthews, 1994). Pengetahuan bukanlah tentang dunia
yang lepas dari pengamatan tetapi merupakan ciptaan manusia yang dikontruksikan dari pengalaman atau
dunia sejauh yang dialaminya. (senada filsafat Nagarjuna tentang epistemologi).
Paradigma Postpositivisme bisa menjadi antitesa dari Paradigma Dualistik Cartesian dimana
tradisi sains modern berakar. Paradigma Postmodernisme yang dianggap sebagai pemberontakan terhadap
basis-basis positivistik dari sains ini juga sejalan dengan gagasan Feyerabend (Against Method, 1975)
yang menggugat dan menolak metodologi ilmiah sains ilmu alam yang empiris.
Paul Karl Feyerabend (1924-1994), filsuf sains dengan teorinya anarkisme epistemologi. Ia
menyatakan, bahwa tidak ada aturan metodologi yang dapat mengatur perkembangan sains atau
pengetahuan. Menurutnya gagasan bahwa sains dapat atau sebaiknya dijalankan menurut aturan yang
universal dan tetap itu tidak realistis dan merugikan bagi sains itu sendiri. (Against Method). .
Proses pengetahuan berjalan terus menerus dengan setiap kali mengadakan reorganisasi karena
adanya suatu pemahaman yang baru (Piaget, 1971). Kehadiran Buddhadharma di tengah iklim filsafat dan
spiritual India yang sedang krisis saat itu, merupakan juga suatu paradigma baru di dalam memandang
realitas.
Sang Buddha mampu merubah tatanan kehidupan yang sebelumnya didominasi oleh paradigma
lama, sehingga dikatakan sebagai seorang yang revolusioner pada jamannya. Beliau menawarkan
paradigma baru dalam memandang realitas seperti dalam hukum kesunyataan yang ditemukannya.
Penyelesaian suffering (penderitaan) dan penembusan realitas melalui jalan tengah, yang bukan
bersifat eternalisme maupun nihilisme. Sang Buddha juga membuka Sangha bagi kaum perempuan
menjalani kesucian, dan merombak (mendekonstruksi) sistim kasta yang berlaku kala itu dan juga dalam
pemikiran filsafat-spiritual.
Teori anatta muncul sebagai antitesa terhadap dominasi pemahaman teori atman pada masa itu.
Teori atman yang meyakini adanya jiwa yang kekal seperti pada paham eternalisme diatasi atau
didekonstruksi oleh teori anatta. Kemunculan teori anatta sebagai paradigma baru menghantar terjadinya
revolusi filsafat dan keagamaan India.
Pada masanya Buddhadharma telah muncul sebagai cara pandang baru, dimana spirtualitas tidak
terpisahkan dari persoalan nyata-riil kemanusiaan. Perhatiannya yang kuat dan dalam terhadap suffering
(penderitaan, dukkha) menjadikan Buddhadharma memiliki paradigma kuat sebagai agama pembebasan
bersama sosok Buddha yang revolusioner.
Realitas selalu berubah hingga tiba pada realitas kekinian. Untuk itu, penting menumbuhkan
selalu paradigma baru, adanya pergulatan pemikiran filosofis dan refleksi spiritualitas terhadap
Buddhadharma - yang pada dasarnya tidak dogmatis - agar mampu menjawab realitas dan tantangan
perkembangan zaman yang selalu berubah.
***
Jo Priastana
Buddhadharma dikenal sebagai inner-science yakni ilmu batin untuk kebahagiaan hidup manusia.
Namun begitu, Buddhadharma disebut juga bersifat saintifik karena mengandung ciri-ciri yang sesuai
dengan cara kerja ilmu pengetahuan.
Banyak tokoh terkemuka menyatakan tentang kesesuaian Buddhadharma dan ilmu pengetahuan.
Tokoh-tokoh yang dikenal baik sebagai ilmuwan maupun tokoh Buddhis yang sekaligus ilmuwan.
Tokoh Buddhis terkenal. Henry Steele Olcolt, (1832-1907) pada tahun 1889 mengemukakan:
“Buddhist is in reconciliation with science. Like science: “That all beings are alike subject to
universal law”.
Jose Ignacio Cabezon (Lahir tahun 1956), ilmuwan Religius Studies di Universitas Santa
Barbara, California, menyatakan: “Buddhist and science aggrement. That are natural laws that govern
the developing both person and the world.”
Anagarika Dharmapala, (1864-1933, anggota Parliament of Religion in Chicago, pada tahun 1893
menyatakan: “Non-theistic tradition. Not Christianity, could bridge the chasm that for centuries had
divide science and religion, one with no creator go and with no need for explanations that went beyond
that of science, there being no need for miracles of faith”.
Alain Wallace (lahir 1950), penulis dan ahli Tibetan Buddhism mengemukakan tentang ciri-ciri
Buddhadharma yang sesuai dengan pendekatan saintifik, yaitu:
Matthieu Ricard (lahir di Nepal 1956), seorang penulis terkenal dan Buddhis Monk, anggota The
Mind and Life Institute mengungkapkan:
Franscsisca Cho (lahir 1961), A Buddhist Scholar at George Washington University, menyatakan:
“Buddhism is a story of how we are in pain and suffering and how we have the power to change
that. Neuroplasticity: the possibility of changing. No instrinsic nature the self and mind both self and
mind are extremely plastic. Our activities inform who we are; as we act, so we shall become. We product
the past, but because of our inhenrently empty nature. We always have the opportunity to reshape
ourselves”.
K.N. Jayatilleke (1920-1970), tokoh terpelajar dari Srilanka dalam“Buddhism and the Scientific
Revolution” (1950) menerangkan:
“Buddhism accords with findings of science, and emphasizes the importance of a scientific
outlook in that “its specific dogmas are said to be capable of verification”.
Dalam “Buddhism & Science: A Guide for the Perplexed (Buddhism and Modernity)”, Donald S.
Lopez Jr. (lahir 1952) mengungkapkan:
“These two seemingly disparate modes of understanding. The inner and outer universe have so
persistenly linked… As new discoveries continue to reshape our understanding of mind ant matter,
Buddhism and science will be indispensable reading for those fascinated by religion, science, and their
often vexed relation”.
Perspektif Neurosains
Sharon Begley (lahir 1956) dalam bukunya, “Train Your Mind, Change Your Brain, (2007:.11-
15)” membahas tentang hubungan Buddhadharma dengan “Brain dan Mind”. Ia mengungkapkan
kedekatan Buddhadharma dengan Neurosains.
Buddhadharma sejalan dengan ilmu pengetahuan dan mengadung ciri-ciri kebenaran sebagai
suatu ilmu. Ciri-ciri itu adalah:
“tentative, subject to refutation next experiment, prover the wrong. Buddhist emphasizes value of
investigation realities finding the Truth of the outside world as well as the content’s of one mind. Rational
argument empiricism, Critical not dogmatism, Verivication Establishing the existence of universal laws,
Buddhism discovered the size of elementary particles and of the universe, that modern physics merely
confirms what Buddhist sages knew centuries ago”.
Penemuan neuroscience juga semakin meyakinkan bahwa Buddhisme memiliki sesuatu yang
substantif mengenai mind atau persoalan mind-set.
“Buddhist Teaches our reality is create by own projections, is thingking that creates the external
beyond us. Meditation practice as: mental training, mind-set, transformation. The mind has a formidable
power of self transformation. When thoughts come to the untrained mind, they can run wild, triggering
destructive emotions such as craving and hatred. But mental training, a core Buddhist practice, allows us
“to identify and to control emotions and mental events as they arise”.
“Meditation, the most higly developed form of mental traning, “is about coming to a
newperception of reality and of the nature of mind, about nurturing new qualities until they become
integral parts of our being. If we place all our hopes and fears in the outside world, we have quite a
challenge, because our control of the outside is weak, temporary, and even illusory. It is more within the
scope of our faculties to change the way we translate the outside world into inner experience. We have a
great deal of freedom in how we transform that experience, and that is the basis for mental training and
transfromasion.”
Fransisca Cho, menambahkan: “by meditativer exertion and other mental exercises, you can
actively change your feelings, your attitudes, your mind-set”.
Biobuddhisme Eksistensial
Pakar biologi dan profesor psikologi dari Universitas Washington, Amerika Serikat, Prof David
P. Barash (lahir 1946), menulis buku “Buddhist Biology: Ancient Eastern Wisdom Meets Modern
Western Science”. Prof. Barash mengungkapkan tentang kesejajaran ajaran Buddhisme dengan ilmu
biologi, khususnya ajaran Anatman (“bukan diri”) dan Anitya (Anicca) dengan sains biologi. .
(Bhagavant.com),
Anatman, sebagai contoh yang menunjukkan bahwa tidak ada satu pun yang memiliki sebuah diri
internal yang berbeda dan terpisah dari dunia lainnya. Hal ini sama dalam ekologi, dimana organisme
dan lingkungan saling terkait erat.
Ajaran Anitya yang mengacu pada fakta bahwa segala sesuatu bersifat sementara. Setiap
organisme di bumi bersifat sementara, mengalami pasang surut dan mengalir sepanjang waktu memiliki
evolusinya.
Prof. Barash mengembangkan apa yang ia sebut “biobuddhisme eksistensial”, penambahan
filsafat eksistensialisme pada titik temu antara biologi dan Buddhisme. Konsep ini menekankan bahwa
tidak ada “arti kehidupan” di luar dari kesadaran, yakni bagaimana kita secara “penuh kesadaran”
memutuskan untuk menjalani hidup. (Bhagavant, 3/12/13).
Buddhadharma sebagai inner Science adalah Buddhadharma sebagai ilmu jiwa atau ilmu batin
atau spiritual. Buddhadharma sebagai inner-science ini menerangkan tentang “kebenaran hukum alam,
kebenaran tentang realita kehidupan manusia sebagaimana adanya.’
Cara untuk mencapai hal itu, adalah dengan melalui Sikha. Sikha merupakan disiplin belajar atau
pendidikan dimana seseorang mengenali dirinya sendiri. Suatu refleksi melihat kedalam diri untuk
mencapai pencerahan terhadap realitas sebagaimana adanya, atau mengenal Dhamma.
Kebenarnya tentang kenyataan atau realitas itulah yang terangkum dalam istilah Dhamma.
Dhamma yang merupakan ajaran tentang realitas yang absolut atau kenyataan yang sebenarnya. Terdapat
empat makna yang utama dari apa yang dimaksud dengan Dhamma, yaitu:
1. Nature: all thing. 2. Duty: the way of living required of each human being, and all other being,
with enemy breath and at every opportunity, by the law of natural. 3. Law: the natural law under lying
and governing all those things. 4. Fruit: the result of duty done correctly accords to natural law.
Prinsip dari Dhamma mengandung tujuan yang sangat jelas, bukan bersifat metafisik yang
spekulatif, melainkan sebagai nilai praktis dan bersifat pragmatis. Buddhadharma mengandung tujuan
pembebasan dari derita.
Dhamma mengungkapkan tentang penderitaan yang disebabkan oleh keakuan, ilusi kekekalan,
ketidakpuasasn emosional. Dhamma mengajarkan tentang makna kehidupan sebagai dukkha atau
penderitaan dan memperlihatkan jalan pembebasannya.
Sebab dan kondisi segala sesuatu sebagai tidak kekal dan selalu mengalami perubahan. Bahwa
segala sesuatu tidak ada yang kekal dan terkena hukum kesalingtergantungan, saling berprenetrasi,
interkoneksi, timbul lenyap dalam lapisan sistem-sistem dan sub-subsistem.
Ada segi-segi yang sejalan antara Buddhadharma dan ilmu pengetahuan seperti dalam
epistemologi yang sifatnya empiris dan rasional atau berdasarkan pengalaman, serta kritis di dalam upaya
untuk mencapai pengetahuan tentang realitas. Namun begitu Buddhadharma sekaligus mengatasi dan
mendahului apa yang dicapai dengan ilmu pengetahuan.
Dalam paritta Buddhanussati disebutkan sufat-sifat luhur Sang Buddha yang berkenan dengan
pengetahuan, yaitu: Sammasambudho (Manusia suci yang mencapai penerangan sempurna dan
melaksanakannya), Vijjasaranasampanno (Manusia yang mempunyai pengetahuan sempurna dan
melaksanannya), Lokavidu (Manusia yang mengetahui dengan sempurna keadaan setiap alam).
Sebutan yang mencirikan pengetahuan sempurna Sang Buddha itu sebagai yang empiris,
dilaksanakan atau sungguh-sungguh dialami. Dan ini sekaligus menunjukkan bahwa Buddha adalah
pemilik pengetahuan sempurna, maha tahu atau omniscience.
Mengetahui dan melihat atau ‘knows dan seen’ adalah ciri dari kebenaran Buddhadharma yang
utama. Kebenaran yang utama itu, ariya saccani atau hukum kesunyataan yang dicapai karena sungguh
dilihat dan dialami (empiris) dan dapat diformulasikan secara rasional.
Bahkan Nirvana sendiri dilihat, disaksikan, dan dialami, sebagai suatu pengalaman bagaikan
seorang yang terlahir buta kini dapat melihat begitu cerahnya alam semesta. Karenanya sebutan Buddha
juga dimaksudkan sebagai orang yang telah bangun atau sadar, pembangun kebenaran. (Jayatileke K.N.
1980. Early Buddhist Theory of Knowledge).
Buddha adalah seorang yang memiliki pengetahuan dan, penerangan pemahaman (insight)
terhadap segala sesuatu sebagaimanan adanya. Kehidupan religius yang berada dibawah asuhannya
adalah sarana bagi pencapaian pengetahuan sempurna, pencerahan yang meliputi apa yang tadinya tidak
dikenal dan tidak dilihat.
Pengetahuan sempurna itu sangat berkaitan sekali dengan pengembangan mental atau bangunnya
kesadaran (bhavana) dalam meditasi. Buddhadharma dapat dikatakan sebagai kebudayaan spiritual untuk
mengembangkan kesadaran sempurna mengetahui segala sesuatu sebagaimana adanya (yathambhutam)
melalui meditasi.
Dalam meditasi terkandung teknik mengelola panca-indra dan pikiran (salayatana) untuk
tumbuhnya pengetahuan dan pemahaman, penerangan (insight) atau prajna. Pandangan terang yang
berarti pula mengetahui dan melihat (janati passati) realitas secara langsung sebagaimana adanya.
Pengetahuan sempurna Buddhadharma yang merupakan produk dari dhyana (meditasi) itu adalah
pengetahuan dan pemahaman segala sesuatu, maha tahu (omniscience) atau nana-dassana. Meditasi
merupakan teknologi pikiran (mind-technology) agama Buddha yang menghasilkan pengetahuan luhur
mampu menguak “realitas sebagaimana adanya”. ***
7
BUDDHADHARMA DAN MASALAH-MASALAH
DALAM ILMU PENGETAHUAN
Jo Priastana
Banyak masalah yang menjadi bahasan dan kajian dalam ilmu pengetahuan. Beberapa
masalah tersebut juga dapat memperoleh penjelasan dan keterangannya dari perspektif
Buddhadharma. Bagaimana perspektif Buddhadharma sehubungan dengan masalah-masalah
yang terdapat dalam ilmu pengetahuan?
Begitulah kiranya yang terungkap dalam buku “Be a Lamp” (Singapore: Kong Meng San
Phor Kark See Monastery. 1999). Sebuah buku yang juga berisikan tentang hubungan
Buddhadharma dengan masalah-masalah yang terdapat dalam ilmu pengetahuan.
Masalah-masalah dalam ilmu pengetahuan, seperti: matter dan mind, waktu dan ruang,
interdependence dan kausalitas, change dan relativity, atom dan fisika kuantum, energy dan
electron, galaksi dan planet-plamet, quasar dan lubang hitam, mikroorganisme dan evolusi,
evolusi alam semesta dan struktur alam semesta, psikologi dan kemampuan psikis ekstra-
sensoris, serta aliens.
Aliens
Tentang Aliens atau makhluk asing angkasa luar, Sang Buddha tidak menolak akan
`keberadaannya: “ worlds beyond our in the vastness of outer space and other dimensions which
are inhabited by many other intelligent sentient life forms, many of which are not unlike our. The
possible existence of extra-terrestrial life is highly agreeable among scientists today”.
***
SOAL BAGIAN PERTAMA
1.1. Bagaimanakah hubungan Hukum Kesunyataan dengan Ilmu Pengetahuan? Jelaskanlah!
1.2. Jelaskanlah mengenai hubungan hukum kesunyataan, realitas dan Ilmu pengetahuan!
1.3. Jelaskanlah mengenai dialektika dua kebenaran dan dua kenyataan dan hubungannya dengan ilmu
pengetahuan
1.4. Bagaimanakah pendapat Karl R Popper tentang ilmu Pengetahuan? Jelaskanlah!
1.5. Apakah yang dimaksud dengan Filsafat Buddha sebagai filsafat ilmu yang positif Jelaskanlah!
2.1. Jelaskanlah apa yang dimaksud dengan Filsafat ilmu pengetahuan!
2.2. Jelaskanlah tentang Ilmu Pengetahuan dan langkah-langkah Metodologi Ilmiah!
2.3. Apakah yang dimaksud dengan Penalaran Deduktif dan Deduktif, Model Ilmu Pengetahuan Apriori
dan Aposteriori! Jelaskanlah!
2.4. Gambarkanlah bagan Siklus Empiris dan jelaskanlah!
2.5. Bagaimanakah hubungan Ehipassiko dalam Kalama Sutta dengan Ilmu Pengetahuan? Jelaskanlah!
****
Daftar Pustaka:
Armstrong, Karen. 2003. Buddha. Yogyakarta: Bentang.
Be a Lamp. 1999. Singapore: Kong Meng San Phor Kark See Monastery.
Beerling, Kwee, Mooij, Van Peursen. 1986. Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Tiara Wacana
Bertens, Kees. 1981. Filsafat Barat Dalam Abad XX Jilid I. Jakarta: PT Gramedia.
Butr-Indr, Siddhi. 1995. The Social Philosophy of Buddhism. Thailand-Bangkok: Mahamakut Buddhist
University.
CIBA. 1973. Civilization & Science. Netherland: A Ciba Foundation Symposium 1. 1972
C.T.Y.S. Lama Gangchen. Inner Peace: The Most Solid Foundation for World Peace. dalam “War,
Conflicts and Healing: Buddhist perspective; workshop 1, The United Nations Day of Vesak, 2008 in
Vietnam, edited by. Prof Lemanhthat and Ven. Dr. Thich Nhat Tu, The Religion Publisher.
Eliade, Mircea. 1987. The Encyclopedia of Religion, Volume 2, New York: Mac.Millan Publishing
Company.
Conze, Edward. 1959. Buddhism: Its Essence and Development. New York.
Kalupahana, David J. 1986. Filsafat Buddha: Sebuah Analisis Historis. Terjemahan Ir. Hudaya
Kandahjaya MSc. Jakarta: Erlangga.
Horkheimer. Max. dan Adorno W (Ahmad Sahidah. Pen.). 2002. Dialektika Pencerahan. Yogyakarta:
IRCiSoD
Keown, Damien., Ed. 2000. Contemporary Buddhist Ethicts. Great Britain: Curzon.
Jayatilleke K.N. 1980. Early Buddhist Theory of Knowledge. Delhi: Motilal Barnasidass.
Joesoef, Daoed. 2011. 10 Wacana Aneka Masalah Kehidupan Bersama. Jakarta: Penerbit Kompas.
Jones, Ken. 2003. “The New Social Face of Buddhism: A Call to Action., Boston: Wisdom Publications.
Kuhn, Thomas S. 1970. The Structur of Scientific Revolutions. London: Second Edition enlarged.
Lanur, Alex (penyunting). 1993. Hakikat Pengetahuan dan Cara Kerja Ilmu-Ilmu. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
Loy. David R. 2015. A New Buddhist Path: Enlightenment Evolution and Ethics in the Modern World.
USA: Wisdom Publications.
Mangunwijaya, YB. 1985. Teknologi dan dampak kebudayaannya. Jilid I-II. Jakarta; Obor.
Newland, Guy.1992. The Two Truth in the Madhyamika Philosophy of the Ge-luk-ba Order of Tibetan
Buddhism. Ithaca, New Yor USA: Snow Lion Publications.
Pollard, Michael. 1993. Johan Gutenberg: Kisah tentang penemuan mesin cetak dan bagaimana
teknologi percetakan menyebarluaskan pengetahuan tanpa batas. PT Gramedia Pustaka Utama.
Popper, Karl R. 1968. The Logic of Scientific Discovery, New York-London: Harper & Row.
Popper , Karl R. 1966. The Open Society and Its Enemies I - II, London: Routledge & Kegan Paul Ltd.
Pranarka, AMW,. 1987. Epistemology Dasar: Suatu Pengantar. Jakarta: Centre For Strategic and
Inernational Studies.
Priastana, Jo. 2005. Buddhadharma dan Kesetaraan Gender: Jakarta: Yasodhara Puteri.
Priastana, Jo. 2008. Paper on: “How Do Buddhist Colleges Currently Create Buddhist Scholars?”
disampaikan dalam “The 1st IABU Summit, IABU Conference on Buddhism and Ethics. at
Mahachulalongkornrajavidyalaya University Main Campus Wong Nai, Ayutthaya, Thailand, 1-5
September 2008/2551.
Qadir. C.A. (penyunting). 1988. Ilmu Pengetahuan dan Metodenya. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Rashid, Teja SM. 1996. Dhamma: Arti Kata dan Penggunaannya dalam Agama Buddha. Jakarta:
Penerbit Buddhis Bodhi.
Ricard, Matthieu.2015. Altruism: The Power of Compassion to Change Yourself and the World. London:
Atlantic Books.
Septianingrum, Anissa. 2017. Sejarah Peradaban Kuno Empat Benua. Bantul: Sosiality.
Shapiro, Deb dan Eddie. 2016. Be The Change: How Meditation Can Transform You and The Word. New
York: Sterling.
Sivaraksa, Sulak. 2012. Conflict, Culture, Change: Enganged Buddhism in a Clobalizing World. .
Bangkok: Suksit Siam.
Bochenski, Jozef Maria. 1997(Pengantar: Jujun S Suriasumantri). Ilmu dalam Perspektif: Sebuah
Kumpulan Karangan tentang Hakekat Ilmu. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Suriasumantri, Jujun S. 1984. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Sinar Harapan.
Takakusu, Junjiro.. 1978. The Essential of Buddist Philosophy,” Delhi: Motilal Barnasidas, Delhi.
Thomas, Edward J. 1953. The History of Buddhist Thought. London: Routledge & Kegan Paul Ltd.
The Liang Gie. 1966. Pengantar Filsafat Teknologi. Yogyakarta. Yogyakarta: Liberty.
Tilaar, H.A.R, Prof., M.SC.ED. 2012. Pendidikan Nasional Arah Ke Mana? Jakarta: Penerbit Kompas.
Tilaar, H.A.R, Prof., M.SC. Pengembangan Kreativitas dan Entrepreneurship dalam Pendidikan
Nasional. Jakarta: Penerbit Kompas.
Van Peursen, CA. 1985. Susunan Ilmu Pengetahuan. terjemahan J. Drost., Jakarta: PT Gramedia. ompas.
Verhaak, C. dan Imam, R. Haryono Imam. 1995. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta, Gramedia.
Victor Sogen Hori, Richard P. Hayes and J, Mark Shileds. (ed.) 2002. “Teaching Buddhism in the West:
From the Wheel to the Web” (2002. London Routlede-Curzon.
Vredenbregt, Jacob. 1985. Pengantar Metodologi Untuk Ilmu-Ilmu Empiris. Jakarta: PT Gramedia.
Wahyono, Mulyadi, SH. 1992 Materi Pokok Sejarah Perkembangan Agama Buddha I, Modul Universitas
Terbuka, Jakarta: Dirjen Bimas Hindu dan Buddha dan Universitas Terbuka.
Watts, Allan W. 1963. The Way of Zen, USA: The New American Library.
Wolke., Robert L. 2003. Einstein Aja Gak Tau! Penjelasan ilmiah tentang peristiwa sehari-hari. Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama.
Wukmir, J. dan Gopinathan S. (ed.). 1989. Ilmu Pengetahuan Idaman atau Ancaman? Jakarta: PN Balai
Pustaka.
***