Anda di halaman 1dari 102

PENELITIAN KUALITATIF DALAM ARSITEKTUR: PENEMUAN JATI DIRI MELALUI KARYA TESIS/DISERTASI

PENELITIAN KUALITATIF DALAM ARSITEKTUR:


PENEMUAN JATI DIRI
MELALUI KARYA TESIS/DISERTASI

EDITOR:
WIDIASTUTI

PENERBIT
UDAYANA UNIVERSITY PRESS
2015

i
PENELITIAN KUALITATIF DALAM ARSITEKTUR: PENEMUAN JATI DIRI MELALUI KARYA TESIS/DISERTASI

ii
PENELITIAN KUALITATIF DALAM ARSITEKTUR: PENEMUAN JATI DIRI MELALUI KARYA TESIS/DISERTASI

iii
PENELITIAN KUALITATIF DALAM ARSITEKTUR: PENEMUAN JATI DIRI MELALUI KARYA TESIS/DISERTASI

SEKAPUR SIRIH
Dalam proses bimbingan mahasiswa Pascasarjana pada Program Magister
Arsitektur, seringkali karyasiswa mengalami kebingungan baik ketika memilih
judul, menyusun proposal maupun pada penulisan Tesis. Salah satu masalah yang
sering dihadapi mahasiswa adalah ketika memilih metoda penelitian. Pada
umumnya karyasiswa memilih metoda kualitatif. Namun pemahaman tentang
metoda tersebut perlu ditingkatkan lagi.

Dalam rangka memperingati ulang tahun emas (ke 50 tahun) Jurusan Arsitektur,
Fakultas Teknik, Universitas Udayana, tercetus ide untuk mengumpulkan tulisan
alumni yang terserak dan tak terdokumentasi dengan baik dan penulis ditugaskan
untuk menindak lanjuti ide tersebut. Karya Tesis/Disertasi ini adalah salah satu
upaya penemuan jatidiri alumni dalam menapaki perjalanan yang masih panjang.

Berangkat dari dua keperluan tersebut penulis menyatukannya dalam buku ini.
Sistematika ringkasan Tesis dan Disertasi ini disusun dengan cara: pertama adalah
kelompok Tesis dan kedua adalah kelompok Disertasi. Dari kedua kelompok
tersebut diurutkan lagi berdasar tahun penyelesaian.

Penulis menyampaikan terimakasih sebesar-besarnya kepada Dekan Fakultas


Teknik dan Ketua Jurusan Arsitektur Universitas Udayana atas dukungannya.
Terimakasih juga disampaikan kepada seluruh alumni yang telah
menyumbangkan tulisannya.

Tiada gading yang tak retak. Dengan waktu yang sangat terbatas penyelesaian
buku ini tentu jauh dari sempurna. Untuk itu penulis mohon maaf kepada seluruh
penyumbang bila ada tulisannya yang berubah. Semoga tulisan ini memberi
manfaat bagi pembacanya dan menjadi titik awal untuk mendokumentasikan
Tesis dan Disertasi alumni secara berkesinambungan.

Selamat Ulang Tahun Jurusan Arsitektur Universitas udayana. Semoga tetap


menjadi institusi yang menghasilkan arsitek handal di masa depan.

Denpasar, 21 September 2015

Editor

iv
PENELITIAN KUALITATIF DALAM ARSITEKTUR: PENEMUAN JATI DIRI MELALUI KARYA TESIS/DISERTASI

DAFTAR ISI

PENGANTAR DEKAN ............................................................................. ii


PENGANTAR KETUA JURUSAN .............................................................. iii
SEKAPUR SIRIH .................................................................................... iv
DAFTAR ISI ........................................................................................... v
TENTANG PENYUMBANG .......................................................................... vii

PENDAHULUAN
PENELITIAN KUALITATIF
PADA TESIS DAN DISERTASI ARSITEKTUR .............................................. 1
Oleh: Syamsul Alam Paturusi

REFORMASI NILAI-NILAI ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI


PADA ARSITEKTUR KONTEMPORER DI BALI .
STUDI KASUS BANGUNAN FASILITAS UMUM ........................................ 22
Oleh:I Wayan Gomudha

MAKNA DALAM ARSITEKTUR UMAH BALI ............................................. 124


Kasus Desa Tengkudak – Bali
Oleh; I Nyoman Gde Suardana

PENGELOLAAN KONSERVASI PADA PURI AGUNG UBUD,


GIANYAR SEBAGAI OBYEK WISATA BUDAYA ......................................... 182
Oleh: Nyoman Ratih Prajnyani Salain

KAJIAN PROPORSI
PADA CANDI TEBING GUNUNG KAWI
DI TAMPAKSIRING – GIANYAR .............................................................. 190
Oleh: Anak Agung Gede Raka Gunawarman

ADAPTIVE REUSE BANGUNAN BERCORAK ARSITEKTUR CHINA


DI SAMPANGAN, PEKALONGAN, JAWA TENGAH .................................. 221
Oleh: Anis Yunanistya

BALINESE TRADITIONAL ARCHITECTURAL PRINCIPLES


IN HOTEL BUILDING ............................................................................. 261
Oleh: Sulistyawati

SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA


KASUS STUDI: PEMPATAN AGUNG DI BALI, INDONESIA......................... 295
Oleh: Widiastuti

v
PENELITIAN KUALITATIF DALAM ARSITEKTUR: PENEMUAN JATI DIRI MELALUI KARYA TESIS/DISERTASI

SISTEM SPASIAL DESA PEGUNUNGAN DI BALI


DALAM PERSPEKTIF SOSIAL BUDAYA .................................................... 386
Oleh: I Wayan Runa

ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI


PADA MASJID AL HIKMAH DI KERTALANGU, DENPASAR........................ 419
Oleh: Putu Rumawan Salain

PAMESUAN DALAM ARSITEKTUR BALI


SUATU KAJIAN TERITORI ARSITEKTUR
DENGAN (PENG-)UNGKAPAN MAKNA............................ 434
Oleh: Anak Agung Ayu Oka Saraswati

vi
PENELITIAN KUALITATIF DALAM ARSITEKTUR: PENEMUAN JATI DIRI MELALUI KARYA TESIS/DISERTASI

TENTANG PENYUMBANG
EDITOR
WIDIASTUTI, adalah dosen di Program Studi
Arsitektur, Universitas Udayana. Menyelesaikan
studi “3 di Universite De Pau et De L’Adour, Pau,
Prancis pada September 2002.

PENYUMBANG TEORI

SYAMSUL ALAM PATURUSI, adalah dosen Program


Studi Arsitektur, Universitas Udayana.
Menyelesaikan studi S3 di Universite De Pau et De
L,Adour, Pau, Prancis pada Desember 2000. Saat ini
adalah Sekretaris Jurusan Program S2 Kajian
Pariwisata, Program Pascasarjana Unud, serta
mengajar di S2 dan S3 Kajian Pariwisata, S2 Magister
Lingkungan Universitas Udayana
RINGKASAN TESIS
I WAYAN GOMUDHA, adalah dosen Program Studi
Arsitektur, Universitas Udayana. Menyelesaikan
studi S2 diProgram Studi Arsitektur, Bidang Studi
Perancangan dan Kritik Arsitektur, Institut Teknologi
Sepuluh Nopember, Surabaya, pada tahun 1999

NYOMAN GEDE SUARDANA, adalah dosen tetap


Fakultas Teknik Jurusan Arsitektur Universitas
Warmadewa. Menyelesaikan Pendidikan S2 di
diProgram Studi Arsitektur, Bidang Studi
Perancangan dan Kritik Arsitekutr, Institut Teknologi
Sepuluh Nopember, Surabaya, pada tahun 2002

vii
PENELITIAN KUALITATIF DALAM ARSITEKTUR: PENEMUAN JATI DIRI MELALUI KARYA TESIS/DISERTASI

NYOMAN RATIH PRAJNYANI SALAIN, adalah Arsitek


Profesional . Menyelesaikan S2 di Program Magister
Arsitektur, Program Pasca Sarjana, Universitas
Udayana, pada 26 Januari 2010

ANAK AGUNG GEDE RAKA GUNAWARMAN, adalah


dosen Program Studi Arsitektur, Fakultas Teknik,
Universitas Warmadewa. Menyelesaikan S2 di
Program Magister Arsitektur, Program Pasca Sarjana,
Universitas Udayana, pada tahun 2014

YUNANISTYA RAHMADHIANI, adalah Arsitek


Profesional. Menyelesaikan S2 di Program Magister
Arsitektur, Program Pasca Sarjana, Universitas
Udayana, pada 19 Agustus 2015

RINGKASAN DISERTASI
SULISTYAWATI, adalah Guru Besar Emeritus
Universitas Udayana, menyelesaikan pendidikan S3
(Ph.D) di School of Architecture, Faculty of
Environment, Oxford Brookes-UK), tahun 1995 dan S3
(DTh), Bidang Agama Kristen di STTII Bali- Denpasar .
Sedang menempuh pendidikan (lagi) di S3 Pariwisata
Universitas Udayana dan S3 Bidang Agama Hindu di
IHDN-Denpasar.

viii
PENELITIAN KUALITATIF DALAM ARSITEKTUR: PENEMUAN JATI DIRI MELALUI KARYA TESIS/DISERTASI

I WAYAN RUNA, adalah Guru Besar Program Studi


Arsitektur, Universitas Warmadewa. Menyelesaikan
pendidikan di S3 Arsitektur, Universitas Gajahmada
pada tahun 2004. Sedang menjabat Wakil Direktur I
Pasca Sarjana Universitas Warmadewa

PUTU RUMAWAN SALAIN, adalah Guru Besar


Program Studi Arsitektur, Universitas Udayana
Menyelesaikan pendidikan di S3 Kajian Budaya,
Program Pasca Sarjana, universitas Udayana pada
tahun 2011. Selain di S1 dan S2 Arsitektur, beliau
mengajar juga di S2 Kajian Budaya Unud. Pernah
menjabat Pembantu Rektor Universitas Udayana
pada periode 2002 s/d 2006

ANAK AGUNG AYU OKA SARASWATI, adalah dosen


Program Studi Arsitektur, Universitas Udayana.
Menyelesaikan studi S3 di Program Studi Arsitektur,
Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya,
pada tahun 2013. Terpilih sebagai Ketua Jurusan
Arsitektur Universitas Udayana Periode 2015-2019

ix
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM


PERANCANGAN KOTA.
KASUS STUDI: PEMPATAN AGUNG DI BALI, INDONESIA
RINGKASAN DISERTASI
INSTITUT DE RECHERCHE SUR LES SOCIETES ET DE L’AMENAGEMENT
UNIVERSITE DE PAU ET DE PAYS DE L’ADOUR, PAU PERANCIS, 2002

Oleh:
Widiastuti

295
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

ABSTRAK
Ruang bagi masyarakat Bali adalah tiruan dari Cosmos. Ini mencerminkan baik
mikrokosmos (manusia) dan makrokosmos (dunia / alam). Ruang merupakan
transformasi kosmologis dari tata nilai sakral dan profan. Pempatan Agung adalah
pusat dari Cosmos di mana pembagian ruang atas sakral dan profan diterapkan.
Ia menyatukan kekuatan agama, politik, ekonomi, sosial dan budaya. Semua
prosesi keagamaan, sosial-budaya, kekuasaan politik berkaitan dengan titik ini
karena semua kekuatan dewata terkonsentrasi. Ia adalah kerangka kerja untuk
kehidupan sehari-hari orang Bali Hindu dalam perilaku mereka, di lingkungan
mereka, karena Bali percaya bahwa Pempatan Agung memimpin mereka untuk
kemakmuran dan hidup kekal (Moksha). Perluasan desa dan pertumbuhan
penduduk telah dicampur comologiques referensi. Batas kosmologis telah
menjadi kabur, sentralitas Pempatan Agung melemah, nilai-nilai sakral dan
sekuler telah bercampur di kota Bali saat ini. Tapi kehidupan sehari-hari orang
Bali semakin sangat religius untuk memenuhi nilai-nilai sosial budaya dan agama.
Apa dampak memiliki perubahan spasial perilaku penduduk? Apakah ada spirit
Pempatan Agung untuk melestarikan pembagian ruang tradisional dalam
pengembangan saat ini? Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi
spirit Pempatan Agung dan mengusulkan, dengan pendekatan budaya, model
konservasi kota untuk melestarikan spirit ini, dari nilai-nilai sosial budaya dan
agama, pada pengembangan tata ruang kontemporer dari rancang kota (urban
design).

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metoda kualitatif


naturalistik, dengan pendekatan EC (perilaku ligkungan) atau "studi EB" oleh John
Zeisel (1981:10), kemudian digabungkan dengan studi aspek-aspek fundamental
rumah Bali oleh Parimin (1986) yaitu: sosiologis, morfologi, fungsional dan
simbolis. Pendekatan ini dibangun dari pengamatan perilaku dan reaksi dari
orang Bali di lingkungan mereka dan transformasi spasial konsepsi kosmologi.
Pengamatan dilakukan pada 27 Pempatan Agung di 9 kabupaten dan kota dengan
pengelompokan Pemparan Agung uraban (PAU), Pempatan Agung semi urban
(PASU), dan Pempatan Agung rural (PAR). Untuk mengamati perubahan nilai,
metode "super impose" dilakukan terhadap perubahan morfologi. Perubahan
juga dimati dari perilaku masyarakat setelah perempatan agung berubah.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Pempatan Agung berubah pada saat
terjadi perubahan kekuatan politik. Perilaku masyarakat juga berubah karena
perubahan tata ruang. Dari bentuk morfologi, perubahan perilaku dan tanggapan
diamati, penelitian ini menemukan bahwa spirit budaya yang dikandung oleh
bentuk spasial Pempatan Agung adalah magis-religius, kolektif, dan pusat . Tapi
dengan kontrol sosial yang kuat dari organisasi sosial-budaya dan agama,
perubahan tata ruang memiliki sedikit pengaruh pada pikiran Pempatan Agung.

296
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

Hanya mempengaruhi pinggiran budaya, tetapi tidak kernel. Ketika spasial


perubahan, konservasi sangat penting untuk melestarikan nilai-nilai budaya.
Pengalaman konservasi yang dilakukan oleh kota-kota Eropa di berbagai skala
(Barcelona, Paris dan Sarlat) digunakan untuk membantu merumuskan usulan
untuk tindakan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa konservasi spasial,
terutama ruang publik, berhasil mempertahankan spirit budaya tertentu. Peran
negara, pemisahan yang jelas antara modernitas dan tradisi, sistem sirkulasi dan
ruang publik adalah elemen yang memungkinkan untuk untuk mengusulkan
solusi.
Model pelestarian yang diusulkan adalah "melestarikan konsepsi spasial sakral
dan tradisi dan mengadaptasi aspek profan modernitas" setelah menemukan
spirit budaya Pempatan Agung. Melestarikan batas spasial kosmologis dalam
sistem sirkulasi, menghilangkan dualisme antara sistem politik antara
administrasi dan adat di tingkat desa dan banjar, penggunaan konsepsi tata ruang
dan arsitektur lokal dan penciptaan zona pejalan kaki baik sebagai ruang suci dan
ruang publik di Pempatan Agung adalah cara yang diusulkan dan disimulasikan
dalam panduan rancang kota.Kata kunci: kota, budaya, konsepsi perkotaan,.
Kata kunci: kota, spirit, budaya, rancang kota, Pempatan Agung, Bali

297
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

I. PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
a. Budaya sebagai identitas kota

Pada tahun tujuh puluh limaan, seorang arsitek terkenal, Le Corbusier,


mengatakan bahwa suatu hari akan ada arsitektur tunggal terlepas dari lokasinya.
Visinya didasarkan pada fenomena perkembangan arsitektur modern yang
memperhitungkan hanya fungsi, efisiensi dan ekonomi. Arsitektur akan
tergantung pada teknologi dan proses industri. Akibatnya, dekorasi yang
meningkatkan bangunan dan memberikan napas pada budaya lokal, akan hilang.
Spirit integrasi dengan PBB sedang mencoba untuk meminggirkan peran politik
kota dan globalisasi tumbuh untuk beradaptasi sistem (Prevelakis, 1999: 2-4).
Menjadi warga dunia dipahami modern, serta menjadi modern dipahami Amerika
atau Eropa. Oleh karena itu, semua kapal uniformiseraient. Kota dunia akan
seperti perlahan (Danisworo 1994: 1). Tapi di sisi lain, keinginan untuk
mengekspresikan identitas lokal ditegaskan, termasuk di tingkat kota. Untuk
menjadi warga dunia, itu tidak akan diperlukan untuk melihat satu sama lain,
karena orang bisa hidup rukun dalam perbedaan. Dalam gelombang modernitas
yang memperkuat kesamaan, ada karena itu adalah kesempatan menegaskan
kekhususan dalam penciptaan kota? Eksplorasi positif dari aset alam dan sosial-
budaya telah menjadi kaya kemungkinan tindakan.

Hal ini diketahui bahwa banyak faktor yang pada asal pembentukan kota,
khususnya ekologi (misalnya subur tanah), demografi (jumlah penduduk),
ekonomi, teknologi dan agama . Namun dari semua pertimbangan ini, tampak
bahwa faktor agama hadir pada asal segala sesuatu. Kota ini berasal sebagai pusat
seremonial terkait dengan makna simbolis dikaitkan dengan kosmos. Apresiasi
kota perspektif kosmologis tercermin dalam bentuk peraturan dengan pola
spasial dan model geometris yang memberikan kota morfologi. Dengan demikian,
perbedaan dalam sudut pandang budaya perusahaan menghasilkan morfologi

298
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

yang berbeda dari kota (Rapoport, 1980: 38-44). mengamati bahwa penting
untuk memberikan karakter unik untuk setiap tempat untuk "roh." Dengan
memahami interaksi antara aspek lingkungan dan ekspresi budaya, seseorang
dapat merasakan arah kota dan dengan demikian dapat berusaha untuk
memanfaatkan ini "roh" dari kota (Garnham, 1985).

Robert Rotenberg dan Gary MCDONOGH (1993) setuju dengan antropolog


(Bourdieu 1971; Fernandez, 1977; Richardson, 1980,1982), sosio-psikolog
(Altman, 1975; Goffman, 1971), pengembang (Perin, 1977 ), dan arsitek
(Broadbent, Bunt dan Llorens, 1980; Oliver, 1969; Rapoport, 1969) tentang
pentingnya hubungan antara budaya dan bentuk dibangun. Setiap perusahaan
memiliki nilai-nilai yang menciptakan model yang berbeda dari kota. Darnton
menunjukkan (1990: 330) bahwa orang-orang membangun makna berdasarkan
pengalaman yang berbeda: misalnya, jika ideogram tradisional Cina tidak
memiliki kata yang berarti "pribadi", mereka memiliki yin dan konsep jika jia zhou
bu KE Yang wai untuk menentukan urusan keluarga dan hubungan seksual di
rumah mereka (Pellow, 1993). Jepang Shitamachi, mantan distrik komersial
Tokyo, memiliki rasa alun-alun kota yang menghapus kepentingan individu dan
mempromosikan nilai-nilai bersama. Budaya kelompok yang berbeda sesuai
dengan mereka campuran provinsi dengan interaksi antara orang dan lembaga di
seluruh stereotip positif dan negatif (Berque, 1982 Bestor, 1993). Untuk Hiss dan
Alexander (1979: 92) orang, budaya, bangunan dan rencana semua dimensi kota.
Tidak ada dikotomi antara bentuk dan budaya dibangun. Jadi, bagaimana
melestarikan "roh" dari sebuah kota dalam globalisasi dunia?

Menciptakan ruang di kota ini tidak hanya menanam pohon di taman, itu adalah
lebih kompleks (Rodman, 1993). Konteks spesifik sosial budaya, ekonomi, politik
dan sejarah, diperhitungkan. Beberapa percobaan untuk menciptakan ruang
menenun bersama-sama wilayah, bentuk bangunan, perilaku, ide-ide untuk skala
individu dan kolektif.

299
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

......bentuk kota, posisinya saat ini, ide-ide dan nilai-nilai yang telah
menciptakan orang-orang, menulis fenomena unik. Oleh karena itu,
sejarah kota tidak dapat ditulis hanya untuk menentukan distribusi pola
grid persegi panjang [...] atau sepenuhnya untuk mengkoordinasikan
kekuatan impersonal dari negara dan pasar [...] Seseorang harus
memasukkan pengalaman saat kotak atau dalam perjalanan pengalaman
sehari-hari mereka. (Lynch, 1981: 36).

Tapi semuanya berubah, tidak ada yang abadi. Berkat perkembangan ekonomi
dan pendidikan berkembang, membangun gedung-gedung baru, kota baru
dengan teknologi baru dan baru "roh". Setiap warisan generasi ulang dengan
kebebasan besar pikiran. Konservator telah banyak menghancurkan atas nama
kehendak untuk mengembalikan. Jadi bagaimana dan di mana salah satu mulai
menciptakan "roh" dari kota?Kelangsungan pikiran dan budaya di situs dirasakan
oleh permainan lapisan budaya untuk Andrea Bruno, seorang arsitek Italia. Dia
pikir terbaik untuk melestarikan keaslian dan terutama masa lalu untuk masa
depan, seperti Palang Merah yang mengkompensasi kehilangan kaki kruk. Dalam
konteks ini, mengacu pada kata-kata "restorasi, konservasi, pelestarian dan
keaslian" (Bruno, 1998: 6). Inilah sebabnya mengapa sekolah arsitektur harus
mengajarkan "roh" dari tempat. Interaksi antara budaya dan kota menciptakan
identitas ruang kota atau "roh" dari kota atau lokus Genius. Spirit kota hadir
dalam bahasa arsitektur, benda, ruang dan lingkungan yang diciptakan oleh
budaya yang kuat dan identitas etnis dalam individu sosial, budaya, ekonomi,
politik dan sejarah. Pengolahan dan pelestarian budaya sebagai makna dan
identitas kota tidak keberatan; sebaliknya, arsitektur yang diawetkan hanya jika
mereka tetap hidup, yaitu untuk mengatakan digunakan.

b. Pembangunan kota-kota di Indonesia dan di Bali

Di Indonesia, kata "negara" yang dikenal sejak abad kelima di era Kutai kerajaan
(Borneo) di masa pemerintahan Raja Mulawarman. Negara-negara kecil, tidak
stabil dan berkompetisi. Pada saat Kertanegara (kerajaan Singasari, Pulau Jawa,
1268-1292) negara itu stabil dalam masa pertumbuhan. Bentuknya adalah "kota-
300
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

negara" yang di pusat kota diwakili oleh puri dan kuil. Negara pertama yang
mengambil équipementss perkotaan Trowulan ke Majapahit (abad XIV). Kota ini
dibangun di Jawa berdasarkan dasar-dasar agama Hindu dan Buddha. Batas
negara tidak hanya fisik tetapi juga tergantung pada pusatnya, yaitu kapasitas
daya. Kota, yang adalah kekuatan kosmik, dibangun sesuai dengan pola ritual
dengan inti yang terdiri dari puri, kuil dan pasar. Puri adalah pusat budaya dan
prosesi ritual. Pasar adalah tempat umum dan pasar sebagai Agora pada zaman
Yunani kuno. Macapat Konsep ini dikembangkan untuk dengan mudah
mengembangkan desa. Dalam konsepsi ini, unit ekonomi terdiri dari lima desa,
setiap desa memiliki pasar, dan hari setiap kegiatan dihitung setelah kalender
Hindu.

Islam telah berkembang di Mataram kerajaan era (abad kelima belas), dengan
ibukotanya Kota Gede, melalui pertukaran ekonomi dengan Cina, Gujarat (India)
dan Persia. Perannya adalah untuk menetapkan aturan organisasi pasar dalam
bentuk kota. Pasar, bagian dari kegiatan sosial-ekonomi, yang menyebabkan
banyak kota. Di pulau Jawa, sistem ini telah dikenal sebagai Peken Kuta (pasar
kota), di Aceh sebagai Uroe Gantoe, Pekan Baru dan di mana pasar ini terletak di
sebelah sungai (pada tahun 1787). Pada saat itu, Esplanade (Alun-alum) diwakili
pusat orientasi kota. Masjid, puri, pasar dan rumah-rumah yang dibangun di atas
itu semua sekitar.

Kolonisasi Eropa dimulai dengan kedatangan Portugis di tahun 1513. Mereka


bekerja sama dengan Kerajaan Pajajaran untuk menghancurkan kerajaan lain
Fatahillah (1527). Sejak saat itu, lain Eropa (Belanda, Spanyol, Inggris) juga
menetap. Belanda tiba pada tahun 1698. Mereka telah mengobarkan perang
yang dipimpin oleh Jan Pieterzoon Coen, melawan kerajaan lokal. Pada 30 Mei
1619 Jayakarta dihancurkan (sekarang Jakarta) dan kota kolonial pertama
(Batavia) dibangun. Secara bertahap kota-kota tradisional beralih ke Jawa Tengah
dan Jawa Timur. Alun-alum menjadi pusat kota kolonial, dengan rumah selatan

301
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

dari pemerintah kolonial, barat diawetkan masjid, timur dan utara rumah Eropa
dan asing lainnya (Cina, India dan Arab) dan pasar dikeluarkan dari daerah. Kota
ini telah kehilangan arti dari pusat didedikasikan untuk prosesi ritual dan konteks
kegiatan sosial-ekonomi. Penduduk pemisahan politik (Eropa, non-Eropa dan
pribumi) menghancurkan rasa kota tradisional, sedangkan kehidupan sehari-hari
masyarakat Indonesia masih sangat ditandai oleh spirit keagamaan. Beberapa
arsitek Eropa telah mencoba untuk menerapkan konsep dan nilai-nilai dalam
proyek-proyek lokal mereka. Wolf Schoemaker yang dikandung dekorasi lokal,
Eduard Cuypers, AF Albers, HP Berlage, Maclaine Pont dengan konsep adaptasi
dan kedaerahan Thomas Karsten Herman adalah contoh. Di antara mereka,
Thomas Karsten telah paling mempromosikan integrasi semua penduduk,
berusaha untuk menghapus kebijakan segregasi di kota Indonesia.

Selama Perang Dunia II, Belanda telah membuat Jepang yang menduduki
Indonesia dari tahun 1942 sampai 1945. Ketika itu mengambil kemerdekaannya
(17 Agustus 1945) perkembangan kota terus pertumbuhan ekonomi mewakili
faktor yang paling penting. Perencanaan ini kemudian diadopsi sebagai kebijakan
pemerintah. Fungsi tradisional wajib untuk memodernisasi pasar digantikan oleh
supermarket, bangunan tua dengan set besar (super blok). Modernisasi diterima
sebagai standar internasional yang mewakili kekayaan dan kemajuan, lebih
tepatnya dilambangkan dengan "Amerikanisasi". Kekuatan ekonomi sebagai
mesin pembangunan, menciptakan kota berjiwa. Selain itu, konservasi dan
pelestarian warisan nasional diperhitungkan dalam bentuk materi mereka.
Fenomena ini terjadi di hampir semua kota di Indonesia, termasuk Bali.

Bali menangkap ruang melalui kosmologi Hindu. Dalam pendekatan ini, ruang
makrokosmos dan manusia adalah mikrokosmos, keduanya mengandung nilai-
nilai yang sama dan elemen yang sama. Satu mencerminkan lainnya.
Penekanannya adalah pada pencapaian keharmonisan antara makrokosmos dan
mikrokosmos, tercermin dalam konsep Tri Hita Karana (Keseimbangan dalam

302
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

hubungan vertikal dan horizontal), korespondensi antara yang ilahi dan diri,
antara alam dan manusia (Budihardjo, 1985 Gelebet, 1985 Sularto, 1987 Saliya,
1975 Parimin, 1986). Prinsip-prinsip ini ditransmisikan dalam urutan hubungan
sakral-profan (Utama, Madya dan Nista) dan mendirikan hirarki struktur spasial
(Sanga Mandala dan Tri Angga) desa tradisional Bali (Desa adat atau desa adat).
Hirarki ini didasarkan pada jaringan candi teritorial. Yang pertama adalah jaringan
dari candi daerah, maka itu dari desa-desa tradisional (desa adat), akhirnya kuil
keluarga (Dadia).

Inilah sebabnya mengapa tata ruang tradisional dibangun sebagai berikut:


regional (Bali), desa adat (desa adat), dusun adat (banjar adat) dan level terendah
diwakili oleh rumah. Oleh karena itu jelas bahwa dalam pendekatan kosmologis,
kota tidak ada. Dan bahkan jika kata-kata kuta, kutanegara, kata Sanskerta atau
pura murni untuk benteng (tapi itu hanya sebuah puri) ada. Pergi ke kota
dipahami untuk pergi ke pusat kekuasaan. Kota tua Bali adalah sebuah kota kecil
dalam tradisi Anglo-Saxon, dilihat sebagai situs pasar periodik (mingguan)
(Wiryomartono 1995). Rotasi ini diterapkan di lima desa adat dalam suatu sistem
yang disebut Mancapat atau Manca Agung, yang meliputi sistem pertahanan dan
aspek sosial-budaya dengan pusat sebagai gatra modal. Ini adalah pusat desa
tradisional yang telah muncul sebagai yang paling kuat dari mereka.

Negara, sebuah kata Sansekerta, sesuai dengan "negara" kontemporer. Ini adalah
khusus sebuah "kota negara," yang terdiri dari beberapa desa tradisional (desa
adat). Menurut Geertz, "negara" Bali akan ada hanya untuk menjadi tuan rumah
upacara ritual. Pandangan ini dikritik oleh Henk Schulte Nordholt (1991), karena
meskipun keberadaan gatra Bali tanpa ritual tidak terpikirkan, kemampuan Raja
untuk memobilisasi dan mengendalikan populasi di kepentingan negara (perang,
upacara keagamaan) untuk mengontrol dan menyesuaikan irigasi dan merupakan
sumber yang kuat dari kekuasaan dan bukti yang cukup dari keberadaan gatra
Bali.

303
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

Desa adat (desa adat), sebuah kata Sansekerta, juga tidak ada hubungannya
dengan pertentangan antara perkotaan dan pedesaan di peradaban Barat. Ini
adalah unit teritorial, komunitas dan jaringan candi di beberapa dusun adat
(banjar adat). Secara fisik, istilah ini tidak berarti ukuran yang tepat. Banjar Adat
Beberapa sangat besar dengan sangat banyak orang tetapi ada juga kecil.
Penerapan konsepsi kosmologi ditransmisikan dalam hirarki spasial desa adat:
paling suci (the Utama) untuk candi asli (Pura Puseh), rata-rata (Madya) untuk
fasilitas perumahan dan publik yang Nista (paling haram) untuk pemakaman dan
kuil kematian (Pura Dalem). Persimpangan suci (Pempatan Agung) berada di
pihak Madya.

Kota Bali dibangun dari model desa adat. Yang terakhir merupakan komponen
penting perkotaan dan memiliki posisi yang unik dalam masyarakat Bali. Ini
adalah cikal bakal pusat kota dan simbol kekuatan ekonomi dan orang-orang.
Sebagai bagian dari habitat, memiliki hubungan yang sangat kuat dengan pusat
kekuatan ekonomi dan politik. Dalam Pempatan Agung kita menemukan
peralatan sehubungan dengan hierarki sakral dan profan, pasar (Peken), puri
(puri), kuil (pura), dan esplanade (alum tawas). Masyarakat Bali berlatih kegiatan
sosial dan keagamaan di tempat-tempat ini. Singkatnya, Pempatan Agung
constutue citra budaya Bali. Model ini khas dari kota tua menjadi pusat kekuasaan
politik dan ekonomi: Denpasar, Gianyar, Klungkung, Karangasem, Mengwi,
Tabanan dan Bangli.

Konsep modern kota sebagai unit administratif yang diterapkan selama


penjajahan oleh Belanda 1908-1942, sesuai dengan struktur administrasi berikut:
residentie-afdeling-onderafdeling / departemen-kabupaten / kota perbekelan /
Kelurahan -banjar administrasi / dusun administrasi. Sistem ini diciptakan untuk
melemahkan kekuatan kerajaan lokal dan untuk mengkonsolidasikan penjajahan.
Kota sebagai pusat ekonomi dan bisnis didorong dari daerah pemukiman Arab
dan Cina dan terpinggirkan petani pribumi.

304
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

Meskipun kondisi ini, orang Bali selalu mengikuti prinsip-prinsip kosmologis


dalam proses pengembangan desa tradisional mereka dan rumah mereka.
Mereka menggunakan tujuh aturan tradisional, ditulis dari abad kesepuluh
kesebelas dalam pelajaran Wiswakarma Asta Bumi, Kosali Asta, Asta Kosala,
Janantaka Brahma Kerti, Dewa Tattwa, Padma Bhumi.

Pendekatan ini dihormati sampai sekarang. Tapi secara fisik, kota administrasi
kontemporer Bali telah disesuaikan dengan kondisi hidup modern. Secara
bertahap, desa-desa ad inistratif telah enelan desa adat, anjar ad inistrasi
enelan anjar adat. Fungsi tradisional sekitar Pe patan Agung eru ah.
Penciptaan lembaga baru dan fungsi, seperti pusat perbelanjaan, pusat rekreasi,
mengubah mantan penggunaan lahan. Lokasi strategis Pempatan Agung
membuat tanah yang paling dicari dari daerah lain. Kondisi ini menempatkan
tekanan untuk mengubah fungsi sistem tertentu. Daerah perumahan daerah
pusat perdagangan atau pusat administrasi. Pertumbuhan perkembangan
kehidupan modern yang dihasilkan oleh pariwisata menciptakan komponen
perkotaan baru yang merusak pola tanah tradisional Bali dan akhirnya mengubah
arah tanah. Desa adat telah kehilangan ekspresi nilai-nilai spasial mereka dalam
kehidupan sehari-hari yang masih mempertahankan nilai-nilai lainnya. Jadi apa
yang telah menjadi desa adat dengan puri sebagai pusat? Dalam kehidupan
sehari-hari, baik sosial dan keagamaan, masih berfungsi dengan baik. Memang,
85% dari populasi terdiri dari desa-desa adat dari anggota yang mematuhi
Peraturan adat (awig-awig) lebih dari pada hukum. Mereka masih percaya bahwa
pusat desa adalah pusat adat upacara di mana yang baik dan yang jahat dan
menetralisir tempat takhta Siwa. Ini adalah pusat energi spiritual desa.
Singkatnya, desa adat sebagai model organisasi masih hidup dalam semua sosial,
budaya, ritual dan ruang.

The kohabitasi dari praktek prinsip kosmologis desa adat dalam kehidupan sehari-
hari dan pelaksanaan peraturan kota administrasi di wilayah itu telah

305
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

membingungkan warga dan pengembang. Saling adaptasi antara dua pendekatan


ini sulit karena ini sesuai dengan dua kutub yang sama sekali berbeda. Selain itu,
kota dan desa tradisional merata diwakili dalam stratifikasi spasial modern. Tapi
keinginan dan desakan untuk memulihkan rasa kota, diwakili oleh kesatuan sosial
budaya desa adat dalam pendekatan teritorial kontemporer Bali masih sangat
kuat

1.2 RUMUSAN MASALAH

Pembangunan fisik (berkat pertumbuhan ekonomi, teknologi dan politik) kota-


kota di Bali dengan pusat Pempatan Agung, sangat cepat.Selain itu kehidupan
budaya Bali menolak dan menyesuaikan, yang mengatakan, perubahan budaya
mengerem. Pertanyaan besar adalah: melakukan perubahan fisik, termasuk
Pempatan Agung, menganggap kehidupan budaya Bali? Apa perkembangan
terbaik untuk melestarikan kehidupan budaya Pempatan Agung Bali di masa
depan? Bagaimana menjaga spirit Pempatan Agung Bali dalam mengembangkan
kota?

1.3 TUJUAN PENELITIAN

Untuk enja a hipotesis hipotesis ah a spirit dari kota-kota di Bali adalah


dari pusat desa adat (Pempatan Agung) dan perencanaan tata ruang inti,
penelitian ini difokuskan untuk menjawab beberapa pertanyaan berikut:

 Apa makna Pempatan Agung untuk masyarakat Bali?


 Apa saja perubahan yang terjadi diPempatan Agung (morfologis, spiritual
dan simbolis)?
 Apa harapan masyarakat untuk Pempatan Agung di masa depan?
 Apa metode pelestarian yang tepat bagi Pempatan Agung dalam
pengembangan kehidupan modern sebagai alat perencanaan tata ruang.

306
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

Dalam penelitian ini akan diusulkan model perubahan Pempatan Agung seperti
yang diinginkan oleh masyarakat Bali untuk kota mereka di masa depan dan
secara umum, model konservasi kota bersejarah. Usulan model ini diharapkan
berguna untuk pemerintah Bali dalam proses pembangunan kota dan membantu
mengurangi kontradiksi antara pembangunan modern dan nilai-nilai lokal

1.4 Pendekatan

a. Domain penelitian
Penelitian ini termasuk dalam penelitian terapan. Dalam pendekatan diekplorasi
hubungan antara budaya dan kota menurut para geograf, ahli sejarah, arsitek dan
arsitek perkotaan (urban designer). Dalam penelitian ini, difokuskan pada
rancang kota, terutama dengan pendekatan budaya. Untuk memahami asal-usul
dari bentuk materi, studi ini akan fokus pada sejarah politik dan morfologi kota,
mengingat berikut:

1. Sebuah kota membutuhkan karakter tertentu sebagai tengara dan setiap


tempat memiliki diprediksi, makna dan identitas yang makhluk disimpan
dalam proses pembangunan, khususnya konservasi.
2. Perkembangan kota ini berkaitan dengan sangat kompleks multi-dimensi,
sosial, budaya, politik, ekonomi, teknologi dan alam. Meskipun kontradiksi
antara nilai-nilai budaya dan ekonomi, orang Bali selalu menerima
pembangunan, termasuk pariwisata, karena merupakan sumber penciptaan
dan pertumbuhan ekonomi. Dalam hal ini, pembangunan harus dilakukan
oleh keseimbangan antara nilai-nilai lokal dan kepentingan politik-ekonomi
untuk menciptakan kota yang berkelanjutan untuk budaya, tata ruang,
politik dan ekonomi
3. Budaya dinamis, tetapi tingkat adaptasi terhadap perkembangan budaya
masing-masing berbeda. Dengan demikian budaya Hindu sebagai budaya
Bali memberikan implikasi pada pertumbuhan ekonomi. Budaya masih hidup

307
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

dalam kehidupan sehari-hari saat ini Bali dan menyesuaikan dengan tempat
ide, waktu, keadaan (desa, kala, patra). Dengan kata lain: budaya Bali
menolak dan sekaligus menerima pembangunan. Untuk ini, pengembangan
apapun harus memperhitungkan faktor budaya .

b. Beberapa studi tentang Bali

Bali adalah salah satu laboratorium yang sangat baik dari studi untuk memahami
hubungan antara budaya dan kota, terutama untuk pikiran oriental kontemporer.
Kota pertama Bali yang dibangun di atas fondasi tradisional yang berkaitan
dengan agama dan adat istiadat orang Bali Hindu. Imam adalah pemimpin agama
dan raja adalah pemimpin negara-negara tradisional (Negara). Sebagai pemimpin
negara, raja dapat memobilisasi semua orang termasuk imam untuk upacara dan
ritual keagamaan untuk melawan musuh (Nordholt, 1991; Geertz, 1980).
Pedanda hanya berkaitan dengan urusan agama, sedangkan raja berurusan
dengan urusan politik. Akibatnya, wilayah agama selalu terpisah dari puri. Selain
itu, desa adat Bali (negara) adalah otonom. Memiliki wilayah penduduk dan peran
sendiri. Meskipun terletak di pusat kota, selalu bernama Desa Adat. Beberapa
desa adat membentuk sebuah kota, bahkan jika semua kondisi ini masih hadir
dalam morfologi kota Bali. Selama sejarah panjang, bentuk pemerintahan
berubah di setiap zaman dan bentuk kota telah beradaptasi. Dalam situasi yang
meminta campuran kelompok etnis Indonesia, pertanyaan yang paling penting
adalah bagaimana kota mengakomodasi kepentingan yang berbeda dari orang.
Akhirnya, kekuatan ekonomi saat ini yang dominan, terutama di sektor pariwisata
dan komersial. Dalam proses perencanaan kota Bali, dominasi ekonomi ini
menciptakan konflik antara pembangunan tata ruang dan pemeliharaan nilai-nilai
budaya.

Umumnya, kota Bali keduanya makrokosmos dan mikrokosmos. Nilai-nilai dan


norma-norma sosial budaya dan agama terkait dengan citra pusat magis
(mandala). Sebagai mikrokosmos, mereka memiliki kepala, tubuh dan kaki
308
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

sehingga sebagai makrokosmos, mereka memiliki atmosfer (diwakili oleh udara


dan Gunung Suci), litosfer (diwakili oleh tanah dan rumah ) dan hidrosfer (diwakili
oleh laut). Konsepsi ini masih berlaku dengan skala membaca apapun, bangunan
kecil seperti terbesar, kota dan seluruh pulau Bali.

Banyak studi ilmiah telah dilakukan pada Bali atau oleh para peneliti lokal atau
oleh orang asing. Satu catatan studi tentang dampak sosial-budaya pariwisata
(MacKean 1978 Noronha, 1980; Picard, 1992; Bandem, 1993 Pisau, 1993;
Paturusi, 2000) dan beberapa karya Ilmiah Pusat Universitas Udayana ( Bali) pada
dampaknya sosio-ekonomi (Erawan, 1987) dan dampak fisik pada lingkungan
(Mardani, 1984).

Kekuasaan politik sebagai aktor budaya Bali telah menjadi subyek dari penelitian
yang luas oleh Nordholt (1986,1991,1996), hubungannya dengan arsitektur oleh
Putra (1998) dan hubungannya dengan budaya dan sosiologi di desa-desa Bali
oleh Geertz (1959,1966,1980), Goris (1935) dan Belo (1970); hubungannya
dengan agama, simbol-simbol yang dipelajari oleh Cohen (1969.1974) dan Forge
(1980).

Identifikasi bentuk dan masalah arsitektur telah diteliti oleh Salija (1975) Sularto
(1980), Budihardjo (1985), Gelebet (1986), Pardiman (1986), Paturusi (1989)
Sulistyawati (1995 ) Lancret (1997). Ardi Pardiman Parimin jelas menunjukkan
bahwa rumah tradisional Bali terletak pada empat atribut yaitu:

 sosiologis, dengan sistem hubungan Bali ditandai dengan sistem desa adat
banjar, subak, Sekehe, Dadia, perbekelan;
 morfologi terkait dengan perumahan tradisional (inti dan pinggiran);
 fungsional, yang berkaitan dengan praktek-praktek sosial dan keagamaan;
 simbolik, berhubungan dengan arah dan sumbu kosmologis.

Selama evolusinya, desa Bali telah berubah sedikit demi sedikit. Perubahan
budaya habitat Bali telah lebih cepat di sektor non-sakral, seperti rumah, fasilitas
309
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

umum di daerah suci (peralatan agama, kuil atau keluarga atau kolektif) (Paturusi,
1989). Menurut Sulistyawati, perubahan peralatan non-sakral telah disesuaikan
dengan peraturan publik. Tapi penelitian ini tidak memperhitungkan fitur
arsitektur: tidak ada penelitian telah dilakukan pada Pempatan sebagai embrio
pusat Agung Bali kota, perkembangannya diversifikasi, hubungan budaya dan
perannya dalam kehidupan Bali kontemporer.

c. Spirit pusat kota di Bali: sebuah hipotesa

Menurut Bagus Wiryomartono, beberapa fenomena terjadi dalam


perke angan kota konte porer Indonesia: enurunn a pusat , enga urkan
perbedaan antara kota dan desa, kurangnya budaya urban, kurangn a agora
dan keberadaan kelurahan (desa kota / kampung kota) (Wiryomartono 1995:
171-182). Kota Bali juga dipengaruhi oleh perkembangan ini. Kota tumbuh lebih
dan lebih karena pertumbuhan penduduk, yang heterogenitas diperlukan karena
migrasi. Kegiatan ekonomi telah bergeser dari pertanian ke industri, terutama
pariwisata.

Dalam konteks budaya Bali, perubahan profesi penghuni juga berubah gaya
hidupnya dan akhirnya mengubah budaya sendiri (sistem nilai dan standar
pemikiran dan produksi, distribusi fungsi dan tugas). Pariwisata yang
menghasilkan pertumbuhan ekonomi merupakan pendorong yang kuat dari
perubahan. Ia telah mengganti dari sistem transportasi tradisional ke sistem
transportasi modern, pasar tradisional jadi supermarket. Aspek lain dari
perubahan berkaitan dengan evolusi sistem politik monarki kolonisasi dan
akhirnya ke republik yang mengurangi fungsi dan kekuatan puri. Kemudian
meskipun munculnya dualisme antara kekuasaan adat dan kekuasaan
administratif, puri tetap menjadi pusat budaya yang mengelola tidak hanya
urusan politik tetapi juga urusan agama dan adat istiadat. Akhirnya, teknologi
telah mengubah semua penampilan tradisional di bawah pengaruh modernitas,
akhirnya menciptakan wajah kota baru Bali.
310
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

Variabel yang perubahan yang lambat adalah Hindu, struktur sosial tradisional,
peraturan adat dan tanah tradisional Bali:

 Hindu menjiwai semua kehidupan sehari-hari orang Bali. Bahkan jika


perubahan pendidikan di bawah pengaruh nilai-nilai dan standar eksternal,
mereka hanya mempengaruhi unsur perifer agama (misalnya: bahan dan
cara Upacara).
 Struktur sosial tradisional dibagi antara sistem kasta (didukung oleh agama
Hindu) dan adat setempat.
 Kebiasaan tradisional Hindu hasil menetapkan hubungan antara manusia,
alam dan Tuhan.
 Akhirnya, regulasi publik telah disesuaikan norma-norma dan nilai-nilai
tradisional dalam pengembangan organisasi. Meskipun peraturan hanya
mempengaruhi apa yang material, upaya ini cukup signifikan untuk
mengurangi konflik antara kebutuhan untuk memodernisasi dan
memerlukan identitas lokal (lihat Gambar 1).

Sebaliknya, variabel lain mendukung perubahan: Pariwisata telah menjadi suatu


kegiatan penting dalam kehidupan sehari-hari Bali. Untuk sampai sekarang
budaya Bali terutama yang berbasis pertanian. Perubahan aktivitas juga
mengubah kehidupan sehari-hari orang Bali.

 Sistem politik kerajaan mendominasi transformasi spasial desa tradisional


Bali. Transisi dari monarki ke kolonisasi dan republik juga dipengaruhi
transformasi spasial, termasuk peran kekuatan kosmik dari pusat.
 sistem transportasi dan konstruksi mempengaruhi bentuk perencanaan tata
ruang. Perkembangan dalam teknik otomotif dan konstruksi telah muncul
dengan modernisasi. Model spasial desa tradisional Bali telah berubah, dan
dengan itu proses ritual, dimensi ruang dan perjalanan kecepatan.

311
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

Variabel bebas perubahan:


1. Pariwisata
2. Sistem politik Perubahan
3. Teknologi 1. Sistem
Pembangunan
2. Profesi pariwisata
3. Sistem Politik

Variabel terikat :

 Parhyangan : Pura
1. Struktur umum :

 Pawongan : Masyarakat Hipotesis


 Palemahan : wilayah
2. Struktur spasial Spirit kota-kota di


a. Desa Adat Hasil Spasial Bali berasal dari
1. Tradisi Vs modernitas “pusat” desa adat

Pura Puseh
2. Pelemahan “pusat” yaitu Pempatan

Permukiman
Pura Dalem dan kuburan 3. Kaburnya batas sacral dan profan Agung yang
4. Pertumbuhan kota mengandung tata
 Pura Desa
b. Pempatan Agung :
5. Kampung-kota cara pengaturan
 Bale Kul-kul ruang
 Puri
 Bale Banjar/Wantilan
 Pohon beringin
 Pasar
 Alun-alun Keberlanjutan
1. Kehidupan beragama
2. Kekerabatan dan aktifitas sosial
3.Aturan adat (awig-awig)

Variabel bebas keberlanjutan:


1. Agama Hindu
2. Struktur social tradisional
3. Adat istiadat Gambar 1. Hipotesis Penelitian
4. Hukum nasional

312
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

Dalam konteks spasial, variabel-variabel ini sehingga mengubah morfologi dan


tipologi desa tradisional Bali menjadi besar sebagai kota tradisional. Kota-kota
baru melemahkan kekuatan pusat tradisional pertumbuhan mereka. Fungsi
sekuler dan bergerak mendekati fungsi sakral, sehingga batas antara sakral dan
profan menghilang. Konflik antara modernitas dan tradisi yang rumit. Orang Bali
percaya bahwa kota masih mencerminkan makrokosmos dan mikrokosmos yang
adalah terjemahan dari nilai-nilai tradisional dan norma agama. Morfologi dan
tipologi kota dan persepsi telah berubah. Jika perubahan ini terutama
mempengaruhi pinggiran, yang mengatakan, ruang sekuler, pusat tahan terhadap
perubahan budaya.

Antara tradisi (kecenderungan untuk kelangsungan dan modernitas


(kecenderungan untuk berubah) dalam komposisi spasial desa tradisional Bali
pada akar kota hari ini, spirit yang terkait dengan pusat kekuasaan (yang
Pempatan Agung) adalah titik penyatuan antara dua kutub ini. Kami akan mencari
spirit ini dan menggunakannya untuk memberikan perencanaan tata ruang kota
Bali saat ini

1.5 METODE PENELITIAN

Menurut Susanne Almeida-Klein (1994: 193) tidak ada metodologi kuantitatif


yang pasti dan cukup relevan untuk menilai dimensi budaya dalam
pembangunan. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif untuk penelitian ini
dan penelitian yang paling sosial. Penelitian ini menggunakan metode EC
(Environment-Compertement) yang secara sistematis mengamati kegiatan dan
interaksi dari orang di lingkungan mereka (di sini: Desa Adat kota) dan pada saat
yang sama mengamati kemampuan kota untuk mengelola kegiatan ini (Zeisel,
1981). Kami akan mempertanyakan pada:

 aktor yang berbeda (pemerintah, tokoh adat, arsitek, guru, dll),


 tindakan mereka terhadap lingkungan dalam konteks yang berbeda,
313
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

 hasil dari tindakan ini dalam rekonstruksi morfologi (hubungan spasial).

Komentar dan survei penduduk adalah dua metode yang dominan. Pengamatan
lingkungan didasarkan pada tiga elemen: Bahan (benda, ruang, hubungan antara
ruang, kualitas), administrasi (formal dan informal regulasi) dan perilaku
(karakteristik masyarakat, kegiatan mereka, antar hubungan mereka: konflik,
aliansi , asosiasi). Didedikasikan untuk roh dari kota budaya Bali, penelitian ini
akan mempelajari evolusi spasial (morfologi dan atribut simbolik) dari Pempatan
Agung, peraturan pemerintah dan, peraturan administrasi adat dan karakteristik
demografi, agama dan kepercayaan, sistem sosial kekerabatan, perilaku orang
dalam kegiatan sehari-hari mereka. Pencarian jawabannya akan dengan
mempelajari reaksi penduduk terhadap lingkungannya. Apa yang ada di konsep
lingkungan, apa pengetahuan, nilai apa, apa yang terjadi di kehidupan sehari-hari,
tindakan apa untuk mempertahankan lingkungan ini?

1.6 Tahapan penelitian

Untuk menjawab pertanyaan ini, pekerjaan ini dibagi menjadi lima tahap:

Tahap I: Studi tentang kota dan budaya

Fase ini ingin mendefinisikan konsep budaya kota, spirit kota dan semua
pertanyaan tentang masalah identitas dan citra kota dalam hubungannya dengan
budaya. Penelitian ini merupakan penelitian literatur berbasis.

Tahap II: Studi kasus

Ini melibatkan dua langkah: pengamatan lingkungan dan pengobatan jawaban.


Untuk ini perlu untuk memilih zona untuk tahap pertama dan diwawancarai
untuk yang kedua.

314
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

Tahap III: Analisis perubahan

Kami akan menganalisis perubahan yang diamati dan kami akan mencari
konsekuensi budaya mereka. Kami akan membandingkan struktur spasial oleh
"layering" untuk menemukan tingkat perubahan morfologi dan simbolik.
Berdasarkan hasil ini, kita akan menyoroti perubahan dalam "spirit" dari
Pempatan Agung diamati oleh orang atau lembaga yang bertanggung jawab. Hasil
yang diharapkan adalah jawaban hipotesis, masalah dan kesempatan untuk
mengembangkan Pempatan Agung dalam proyek perkotaan (urban design).

Tahap IV: Pencarian untuk pelajaran

Untuk lebih memahami metode pelestarian spirit kota, kita akan mempelajari
kasus kota-kota Eropa. Dari sejarah morfologi dan disiplin dari proyek perkotaan,
kita akan memilih beberapa elemen penting dari pusat kota Paris (Place des
Vosges, Champs-Elysées, Bastille), Barcelona (Ramblas, Plaza Catalonia, Diamond
Place, Place Royale ) dan Sarlat.

Tahap V: Rekomendasi: pelestarian spirit kota Bali

Sebagai budaya Eropa dan Bali berbeda, penerapan metode konservasi harus
disesuaikan dengan kondisi setempat (potensi, masalah dan peluang) lokal.
Dengan demikian kita akan mengusulkan beberapa model konservasi spirit pusat
kota Bali dari hasil analisis kami. Proposal ini dibuat dalam konteks proyek
perkotaan mengintegrasikan dimensi budaya dalam perencanaan tata ruang.

315
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

Gambar 2. Tahapan Penelitian

1.7 STRUKTUR DISERTASI

Disertasi ini terdiri atas tiga bagian. Pertama melihat kota dan "spirit"
berdasarkan faktor budaya. Akan dieksplorasi teori dan konsep dari kota, budaya,
spirit kota dan proyek perkotaan. Pendekatan ini diharapkan menghasilkan
kerangka teoritis dan konseptual interaksi antara kota dan budaya. Hal ini
dilakukan melalui studi bibliografi, penelitian lebih yang telah dilakukan dan
sumber tertulis lainnya.

Kedua memberikan informasi umum dari lapangan, struktur sosial dan


administrasi dari kota-kota di Bali, kisah Bali, morfologi dan tipologi Pempatan
Agung Bali di kota, di bawah setiap rezim politik (tradisional, monarki, kolonial,
republik) . Untuk ini, data dikumpulkan dari perpustakaan dan survey lapang.
Dengan membandingkan hasil, diharapkan dihasilkan hipotesis dari keberadaan
spirit Pempatan Agung. Kemudian dianalisis perubahan morfologi diamati dan
dampak budaya menyebabkan perubahan ini. Langkah berikutnya adalah
membuat sebuah analisis oleh "berlapis", untuk membandingkan struktur spasial.
Perubahan morfologi dan simbolik dibagi menjadi tiga kelas: perubahan,
kesinambungan, adaptasi. Berdasarkan hasil ini, dianalisis pendapat dari orang

316
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

atau lembaga yang bertanggung jawab (pemerintah, tokoh adat, arsitek, guru, dll)
dengan informasi yang dikumpulkan dengan teknik wawancara.

Bagian ketiga berkaitan dengan konservasi spirit kota dengan belajar dari
pengalaman Eropa. Mengacu pada hasil studi penelitian dan komparatif,
ditunjukkan bagaimana menggunakan Pempatan Agung, sebagai "spirit" kota Bali
untuk masa depan dan integrasi ke dalam model rancang kota

317
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

BAGIAN PERTAMA: BUDAYA, KOTA, DAN SPIRIT: TEORI


DAN KONSEP

1.1 Konsep dan Teori Kota

Apa yang saat ini diketahui tentang hubungan antara budaya dan kota? Apa ide-
ide, konsep dan hubungan tentang kota dan budaya? Apa hasil dari hubungan
antara kota dan budaya? Bagaimana menerapkan konsepsi budaya dalam
rancangan kota? Apakah masalah-masalah yang harus dihindari? Bagian ini akan
melihat evolusi hubungan antara budaya dan kota dalam konteks proyek
perkotaan. Pertanyaan-pertanyaan di atas dihubungkan dengan pembangunan
karena pertumbuhan ekonomi yang menyebabkan perubahan struktural dan
menimbulkan masalah sosial budaya di negara-negara Timur. Lebih penting lagi,
perlu dipahami perubahan dan implikasi budaya di kota.

Menurut Claval (1995: 5-8) budaya adalah mediasi antara manusia dan alam,
warisan dan hasil persilangan komunikasi dan konstruksi. Hal ini memungkinkan
individu dan kelompok untuk proyek ke masa depan dan di luar dalam beragam.
Budaya adalah, untuk sebagian sangat besar, merupakan faktor penting dari
diferensiasi sosial dan objek istimewa dari geografi budaya. Ini adalah spirit yang
mereproduksi urutan tertentu. Ini adalah sebuah sistem makna diproduksi dan
terintegrasi oleh masing-masing melalui kegiatannya, hubungan dan lembaga-
lembaganya (William, 1982). Awalnya, budaya adalah sistem simbolik alam dan
pikiran (Geertz, 1983). Sebagai sebuah sistem makna dan simbol, itu merupakan
kesinambungan dan perubahan. Hal ini berakar dalam kehidupan sosial materi
(Agnew et al, 1984. 1-8). Elaborasi kota dan budaya juga dielaborasi menurut
menurut Almeida (1994). Agnew, et al., (1984 : 1); Koentjoroningrat, (1974 : 11);
Sutedjo, (1982 : 4-19), Koentjoroningrat (1981 : 12 ), dan Messier,(2001). Untuk
pemahaman lebih lanjut dielaborasi evolusi kota-kota di dunia barat dan timur

318
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

mulai dari jaman antik sampaia sekarng. Dari perbandingan tersebut disimpulkan
bahwa walaupun pada awalnya memiliki pendekatan yang sama, dalam
evolusinya dua dunia tersebut memiliki perbedaan pendekatan dalam
perancangan kota. Dimensi sosial budaya menjadi pendekatan yang utama dalam
perancangan kota-kota dunia timur.

1.2 Budaya dan Pendekatan Budaya

Penciptaan ruang sakral terkait dengan penciptaan dunia. Dimulai dengan


pembangunan kuil, sebuah dunia baru lahir, dunia di mana orang dapat hidup
sejahtera. Kuil menjadi pusat dari kosmos dan sumbu dunia, kesucian ruang dapat
dimulai. Ini menjadi ruang dihuni dan terorganisir. Kemudian batas suci dibuat,
sebagai dinding atau kolam untuk memisahkan dari dunia lain yang asing, kacau,
di mana makhluk halus hidup. Transformasi nilai-nilai budaya di kota mengikuti
proses ini dan telah menyebar ke seluruh dunia tradisional. Konsepsi axialitas,
gunung dan puncak magis dan pembagian ruang atas sakral / profan
berhubungan erat dengan proses penciptaan dunia kosmik. Meskipun
transformasi fisik yang berbeda tergantung pada kasus, prinsip-prinsip ini masih
ada, penciptaan sebuah kota tradisional reproduksi penciptaan kosmos,
penciptaan dunia dan pusat kota masih pusat dunia, terlepas dari budaya. Studi-
studi mengenai transformasi nilai budaya dalam penciptaan kota di atas telah
dilakukan oleh Mangunwijaya (1985 : 90), Wheathley (1979 : 425(, Brunet et al.
(1992 : 220), Rapoport (dalam Catanese, 1986: 73), Eliade (1969), Volwahsen
(1968 : 43-58), Gde, I Gusti Ngurah (1981 : 90), Panerai (1999 : 15-17), dan
Wunenburger (1981 : 3).

319
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

1.3 Spirit Kota dan Pembangunan

Perkembangan teoritis kota menunjukkan bahwa dari awal, dan untuk waktu
yang lama, kota memiliki dimensi kosmologis. Kota dianggap sebagai tiruan dari
makrokosmos, surga atau dunia ilahi diselenggarakan dengan sumbu batas dan
simbol ajaib (Cardo dan Decumanus Romawi, dinding dan portal Cina, axis mundi
India, kolam Angkor) di mana pusat adalah pusat dunia (Kota Terlarang di China,
Borobudur, Ziggurat) (Eliade, 1949,1952,1963, Mangunwidjaya, Rapoport, 1980,
1985; Wheatley, 1971). Untuk memahami kota semacamini, salah satu harus
memahami proses dimana bentuk-bentuk geometris dan kebiasaan sosial telah
memberikan makna, rendering itu dipahami budaya lain (Eliade, 1952, 1965,
Rapoport, 1969, 1986 Wheatley 1971). Aspek agama atau kosmologis ini tidak
pernah dimasukkan dalam pendekatan modern.

Pendekatan ilmiah "modern" kota dapat dikaitkan dengan rencana yang


dikembangkan oleh Hippodamus di Yunani kuno yang mendekati kota oleh nya
fungsi ekonomi, politik, militer, dengan pusat keagamaan. Hal itu juga
dikembangkan oleh Vitruvius memegang firmitas trilogi, dan Utilitas vesnustas
dan oleh Bernini master, Brunelleschi, Michelangelo, Leonardo, Christopher
Wren, Inigo Jones, Mansard, Fountain. The kotak-kotak, zonasi, membatasi
ketinggian bangunan dan kepadatan penduduk yang digunakan di Kekaisaran
Romawi untuk perencanaan kota. Esplanade dan ruang terbuka memfasilitasi
promenade penduduk, sering di bawah perlindungan sebuah gereja (Piazza San
Marco di Venesia). Pola Kotak-kotak melambangkan pembagian dunia dalam
keteraturan, keseimbangan estetika, dan monumentalitas kekuasaan
(Washington, Versailles, Paris) (Benevolo, 1983; Delfante, 1997).

Ekspansi perkotaan yang berkaitan dengan perdagangan dan industrialisasi telah


menyebabkan sejumlah masalah seperti yang di khawatirkan oleh Legoyt MA di
Perancis, Adna Weber Ferrein Amerika Serikat, Morris, Owen Richardson dan

320
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

Ruskin di Inggris. Ini memicu gerakan pembaruan terinspirasi oleh para utopian
(Ebenezer Howard, Patrick Geddes, Tony Garnier) dan pada Walter Gropius, Mies
van der Rohe, Le Corbusier). Mereka adalah perencana-arsitek yang mendekati
kota dengan kriteria Hiegenis dan humanistik. Mereka menggabungkan seni,
teknologi dan ekonomi dengan unit administrasi, pusat bisnis, pusat politik, hutan
properti. Kota ini menjadi akumulasi teknologi tinggi, gaya baru, mesin, sistem
yang kompleks dari perkotaan, budaya yang beragam (New York, Nanterre,
Tokyo, Hong Kong, Singapura, dll).

Padahal kota dipandang sebagai perubahan budaya, tradisi dan modernisasi telah
menjadi elemen utama dalam konteks menggabungkan perubahan konsep dan
kontinuitas. Perubahan diperlukan untuk meningkatkan dimensi kuantitatif kota
dan memberikan kontinuitas dimensi kualitatif (simbolik sosial). Kombinasi dua
dimensi harus dipertimbangkan untuk memahami pembentukan kota, termasuk
hubungan dengan alam dan budaya. Mendamaikan dua dimensi ini diperlukan
untuk mendekati kota universal; harus memperhitungkan nilai-nilai budaya
(kualitas kota) sebagai kriteria sosial, teknologi ekonomi, politik, pertahanan dan
kebersihan (aspek kuantitatif). Singkatnya, pendekatan tidak bisa universal tanpa
memperhitungkan kondisi setempat.

321
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

BAGIAN KEDUA SPIRIT BUDAYA PADA PEMPATAN AGUNG


Seperti telah disebutkan di Pendahuluan, metode penelitian yang digunakan
adalah kualitatif naturalistik, dengan pendekatan EC (perilaku ligkungan) atau
"studi EB" oleh John Zeisel (1981:10), kemudian digabungkan dengan studi aspek-
aspek fundamental rumah Bali oleh Parimin (1986) yaitu: sosiologis, morfologi,
fungsional dan simbolis. Pada bagian ini diekplorasi spirit budaya Pempatan
Agung melalui komposisi spasial, organisasi sosial-budaya dengan latar belakang
agama, pengembangan dan konsekuensinya untuk Pempatan Agung.

2.1 Penelitian lapangan: Metodologi

Budaya Bali sangat berdasarkan Hindu yang memerintah kehidupan sehari-hari.


Seluruh hidup orang Bali tampaknya didedikasikan untuk para dewa dan leluhur
dan roh-roh sihir luar yang menemukan diri mereka dalam tradisi dan
kepercayaan, ritual, seni dan hiburan, organisasi masyarakat dan kota, hak adat.
Kota Bali dibangun dari titik disebut Pempatan Agung, konsepsi kosmologis
disucikan oleh tradisi dan agama. Baru-baru ini kedatangan pariwisata di Bali
telah memperkaya kehidupan sehari-hari kontemporer dan mempengaruhi sifat
kota Bali.

Budaya dalam pendekatan teoritis perancangan kota merupakan cakrawala yang


sangat luas terbuka bagi penelitian dan dapat dikembangkan dalam banyak
dimensi. Untuk penelitian ini tidak terlalu jauh, dibatasi objek penelitian dan
penggunaan konsep dan teori yang telah dibahas sebelumnya sebagai instrumen
pengamatan untuk studi lapangan.

Pertama budaya. Dipelajari dahulu tradisi dan kepercayaan di bidang agama,


tradisi, adat dan pengalaman budaya. Kita akan melihat bagaimana unsur-unsur
hak dasar dapat ditemukan dalam fungsi sosial, struktur kekuasaan, kegiatan dan
alam. Nilai-nilai yang diamati dari sistem adalah pandangan dunia, etis, dimensi

322
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

mistis, rasa hidup dan struktur sosial-politik. Untuk gaya hidup, kebiasaan adalah
satu-satunya elemen yang diamati, seperti arsitektur di bidang seni dan sastra.
Unsur-unsur ini akan dipelajari oleh perspektif Perencanaan. Kota ini dibangun
dari politik, sosial dan keagamaan. Kami akan mempelajari terutama dalam
dimensi ruang, berfokus pada morfologi dan tipologi kota. Peran kota akan
dibahas melalui sistem organisasi spasial dan peraturan formal dan adat. Pada
dasarnya, dipelajari kota mulai dari rancang kota dan berfokus pada perubahan
morfologi. Skematik dari rancangan penelitian tersebut dapat dilihat pada model
penelitian sebagai berikut.

323
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

 Agama
 Tradisi

Anthropologis
Tradisi dan Adat

 Seni pertunjukan
STUDI PENDEKATAN BUDAYA Kepercayaa Budaya Perencana


n Architek
Warisan keluarga
 Fungsi sosial te
 Aturan Kekuasaan

Hak Dasar
 Pengaturan aktivitas dan alam
Manajemen konflik Perancang

 Pandangan ttg dunia


Kota

Budaya Sistem Nilai  Etika


 Dimensi Misits Kehidupan budaya
 Makna Hidup
 Struktur Sosial dan Politik
 Produksi Pandangan Ahli
 Alat
Berkelanjutan Studi campuran
Gaya Hidup
 Adat
 Makanan
 Bahasa
 Arsitektur
Seni dan Sastra

 etc.
Subjek Sintesis
disertasi:

STUDI PEMBANGUNAN KOTA

Politique Spirit kota



Penduduk Social Pandangan Ahli
 Religieux
 Économie
 Morphologie
Perubahan morfologis
Kota Ruang : & typologie
 Technologie
 Art Urban disain

Aturan  Organisasi Ruang


 Karya
Perubah Arsiitektur
 Preteks ekonomi Perencana
 Peraturan an Gambar 3. Model Penelitian

324
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

A. Teknik pengumpulan data

Terdapat dua jenis data. Data sekunder yang dikumpulkan sebelumnya oleh para
peneliti dan terkait sosial, budaya, agama dan segala sesuatu tentang latar
belakang bentuk spasial; data mentah yang dikumpulkan oleh pengamatan
lingkungan (komposisi ruang, peraturan) dan analisis respon (perilaku dan reaksi
dari orang-orang di kota untuk menjawab pertanyaan tentang kemampuan kota
untuk mengakomodasi kegiatan mereka). Untuk memfasilitasi pengumpulan,
data mentah telah disederhanakan sebagai: perilaku, ruang dan reaksi.

Kumpulan data pertama yang dikumpulkan selama wawancara dengan ahli


budaya Bali, para pemimpin desa adat, penduduk setempat maupun melalui
pengamatan langsung dari kegiatan sehari-hari warga di Pempatan Agung. Untuk
data aktivitas, kuesioner yang diberikan kepada pendudk sekitar pempatan
agung. Responden dapat memilih lebih dari satu respon yang disesuaikan dengan
kondisi mereka. Kelompok kedua dari data yang berasal dari pengamatan
langsung di lapangan, penyusunan dokumen resmi, wawancara langsung
terstruktur dengan tokoh dari desa-desa tradisional untuk mendapatkan data
morfologi. Kelompok ketiga data didasarkan pada wawancara dengan penduduk
setempat. Kebanyakan kuesioner memberi kesempatan bagi responden untuk
memilih lebih dari satu jawaban disesuaikan dengan kondisi, pendapat, persepsi,
pesan pribadi, yang memungkinkan mereka untuk memberikan pendapat pribadi
mereka pada pengembangan desa mereka.

B. Pemilihan sampel

a. Pempatan Agung
Menurut penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh Salija (1975) Sularto (1980),
Budihardjo (1985), Gelebet (1986), Pardiman (1986), Paturusi (1989), Sulistyawati
(1995), Lancret (1997), desa-desa tradisional Bali , awalnya dari kota-kota baru
yang semua terbentuk pada konsep dasar yang sama sehingga bisa diperkirakan

325
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

bahwa struktur spasial asli dari desa Bali adalah homogen. Seperti kita ketahui,
pembangunan membawa perubahan. Dipercaya bahwa pengembangan kota
mengubah desa tradisional Bali. Hasil penelitian ini digunakan untuk memilih
sampel penelitian. Dalam tata ruang yang sangat homogen, bisa dipilih sampel
dalam jumlah kecil. Tapi untuk lebih memahami perkembangan, area yang dipilih
harus ditingkatkan. Penelitian ini menggunakan metode sampling kuota (quota
sampling) untuk stratifikasi sampel (stratified sampling), yang yang menggunakan
cara hierarki administrasi.

Provinsi Bali terdiri dari 9 Daerah Tingkat II (Dati II departemen) dibagi dalam 1
kota (Denpasar) dan 8 kabupaten. Penelitian ini berfokus pada wilayah-wilayah
administratif. Di setiap kabupaten dan kota dipilih tiga Pempatan Agung sesuai
dengan lokasi mereka. Lokasi Pempatan Agung dibagi menjadi tiga jenis:

 di ibukota kabupaten/kota (disebut Pempatan Agung urban, PAU): ada 9


bagian kabupaten, ditambah kotamadya Denpasar.
 di ibukota kecamatan (diesbut Pempatan Agung semi-urban, PASU) : dipilih
9 kecamatan dengan masing-masing 1 kabupaten/kota satu kecamatan
 di desa administratif (disebut Pempatan Agung rural, PAR): dari 51
kecamatan di Bali yang terdapat 1371 desa tradisional Bali dan 658
kelurahan.
Semua PAU kabupaten/kota diteliti sehingga, ada 9 PAU, 9 PASU, dan 9
PAR. Karena di Denpasar tidak ada PAR, maka di Denpasar ditambahkan 1 PAU
jadi ada PAU 10, 9 PASU dan 8 PAR.

Untuk mencapai sampel tersebut beberapa asumdi yang digunakan


adalah::

 Pempatan Agung Urban sebagai pusat kabupaten/ kota adalah titik awal
perkembangan dari Pempatan Agung.lainnya

326
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

 PASU yang dipilih harus berada di tengah-tengah ruang didefinisikan


wilayah departemen. RAP yang dipilih harus berada, dari kerajaan kuno di
departemen.
 Persimpangan yang dipilih harus persimpangan suci desa adat.

Gambar 4. Skematik pemilihan sampel

b. Responden
Seperti dalam kasus tata ruang, penduduk Bali relatif homogen. Suku Bali
adalah kelompok etnis mayoritas. Pada tahun 2000 mayoritas oarng Bali
beragama Hindu 2.830.561 atau sekitar 91% dari seluruh penduduk. Dalam
penelitian ini kehidupan sosial-budaya dan politik sehari-hari dianggap homogen.
Untuk pendekatan ini, digunakan metode yang sama, yaitu metode quota (quota
sampling) dengan sampel yang representatif (stratified sampling) untuk memilih
orang-orang untuk diwawancarai. Jadi ada tiga tingkatan orang untuk
wawancara.

Pertama adalah para pemuka masyarakat atau ilmuwan yang dianggap


memahami budaya Bali baik tingkat nasional dan provinsi yaitu: kepala PHDI
Indonesia (Ketut Wiana), kepala IAI Bali (Putu Rumawan Salain) dan undagi,
arsitek dan dosen arsitektur (I Nyoman Gelebet). Pertanyaan-pertanyaan
menyangkut konsepsi Pempatan Agung, perubahan dan kemungkinan

327
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

perkembangan budaya. Hasil wawancara ini diberlakukan dengan seluruh


Pempatan Agung dalam arti spiritual dan spasial.

Kedua adalah pemimpin lokal yang dipilih desa-desa tradisional, anggota


keluarga kerajaan, pedanda, guru, pejabat, dll. Sebagai budaya Bali yang
diselenggarakan secara kolektif, survei dilakukan melalui kepala adat kota tuan
rumah pertemuan tersebut. Peserta adalah relawan. Akibatnya, jumlah mereka
adalah variabel (lihat Lampiran 2. Informan). Untuk seluruh bagian dari
penyelidikan, kami bertemu dengan 59 peserta. Pertanyaan-pertanyaan fokus
pada sejarah lokal baik secara politik dan morfologi dan dianalisis dalam konsepsi
Pempatan Agung.

Ketiga terdiri dari masyarakat. Kami memilih secara acak (random


sampling). Setiap desa adat menawarkan penduduknya kesempatan yang sama
untuk berpartisipasi dalam survei ini. Budaya Bali dan orang-orang relatif
homogen, sehingga tidak perlu sampel besar. Karena waktu dan dana yang sangat
terbatas, diputuskan untuk mengadakan pertemuan 5 individu untuk setiap desa.
Untuk 27 desa tradisional, sehingga dpiilih 135 orang. Pertanyaan adalah pribadi:
kegiatan mereka di Pempatan Agung, persepsi dan pandangan pada konsepsi dan
pengembangan Pempatan Agung pada umumnya dan desa adat mereka pada
khususnya.

C. Teknik Analisis

Analisis pertama menyangkut konsepsi Pempatan Agung dikumpulkan


melalui wawancara dan kuesioner (analisis perilaku). Dilakukan pengelompokkan
opini yang objektif tentang Agung Pempatan menjadi tiga kelompok yaitu untuk
mengetahui dasar kosmologis,fungsinya menurut masyarakat desa, dan
perannya dalam pembangunan saat ini dan masa depan.

Analisis kedua adalah berkaitan dengan komposisi morfologi Pempatan Agung.


Dianalisis transformasi konsepsi Pempatan Agung pada daerah yang dipilih.
Dilakukan perbandingan kondisi Pempatan Agung saat ini dengan konsepsi
328
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

kosmologi dalam morfologi asli dari desa adat. Kemudian diteliti perubahan
akibat pembangunan. Dari lokasi puri di Pempatan Agung, dianalisis spirit budaya
Pempatan Agung dan tingkat kekuatan kosmik puri. Kemudian dianalisis
morfologi Pempatan Agung: berubah, beradaptasi dan berkelanjutan . Analisis
dengan menggunakan teknik "layering" untuk membandingkan struktur spasial.
Tingkat perubahan diukur berdasarkan tiga klasifikasi "berubah,
berkesinambungan dan beradaptasi" tergantung morfologi dan simbolik atribut
(orientasi, lokasi peralatan) dalam aplikasi dan dalam transformasi
pembangunan. Akhirnya, berdasarkan hasil ini, dicari perubahan dalam spirit
Pempatan Agung, dengan mempertimbangkan pandangan individu atau
pemuka/ tokoh masyarakat.

Dari dua analisis tersebut (perilaku dan ruang), diidentifikasikan tren dalam
berubah, berkesinambungan dan beradaptasi" Pempatan Agung untuk
menentukan nilai-nilai tata ruang, konsekuensi dari pengembangan lahan, politik
dan ekonomi di perilaku masyarakat, kelemahan dan kekuatan budaya Bali dan
akhirnya menemukan spirit budaya Pempatan Agung. Digunakan hasil analisis ini
untuk membantu dalam pelestarian spirit Pempatan Agung Bali dalam
mengembangkan kota-kota masa depan.

Analisis perubahan morfologi akan dibuat dari pendekatan budaya Bali


untuk menyoroti spirit Pempatan Agung. Dari sintesis dan dengan studi banding
tentang Konservasi kota-kota Eropa, kemudian diusulkan Model konservasi
Pempatan Agung di proyek perkotaan. Konseptualisasi tentang budaya, kota,
spirit kota dan proyek rancang kota dalam proses pembangunan yang digunakan
untuk mengatur penelitian. Pada bagian ini, akan dipelajari unsur budaya dan
kota dalam konteks Bali, khususnya spirit Pempatan Agung dari tiga pendekatan
budaya:

 bentuk ideal budaya melalui konsepsi kosmologis

329
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

 bentuk perilaku seluruh kegiatan budaya, sosial dan keagamaan dari aktor
yang dihasilkan konsepsi ini;
 bentuk materi budaya melalui morfologi desa adat Bali, transformasi dan
adaptasi mereka untuk proses pembangunan.

2.2 Dasar-Dasar sosial budaya dan spasial

2.2.1 Asal Budaya dan sejarah


2.2.2. Kehidupas sehari-hari (tradisi dan agama, ritual, seni, pariwisata)
2.2.3 organisasi kemasyarakatan
2.2.4 Stratifikasi sosial
2.2.5 Awig-Awig
2.2.6 Konsepsi Kosmologis
2.2.7 Konsepsi Spasial dan Arsitektural

2.3 Pempatan Agung : Konsepsi dan Aplikasi spasial

2.3.1 Konsepsi

A. Deskripsi Umum Pempatan Agung

Secara fisik Pempatan Agung adalah persimpangan besar berorientasi dari timur
ke barat, utara ke selatan. Pempatan Agung terletak di pusat desa adat tradisional
Bali. Ini adalah titik nol desa tradisional Bali. Beberapa desa tradisional menjadi
kota berkat posisi strategis mereka. Dalam perspektif masyarakat Bali,
persimpangan jalan ini adalah tempat simbolis suci. Ia lahir dari konsepsi Catus
Patha yang dipahami sebagai pertemuan empat arah (Timur, Selatan, Barat dan
Utara). Konsepsi ini berasal dari dua budaya, Bali kuno (Bali Aga) dengan konsepsi
Nyegara gunung (arah laut ke pegunungan) atau Ulun teben. Arah gunung adalah
arah yang paling suci, simbol lahir, Tuhan, kehidupan, kebalikan dari laut. Arah
matahari terbit adalah juga arah yang paling suci, melambangkan kehidupan,
kelahiran dan Tuhan. Arah matahari tenggelam adalah arah yang melambangkan
kematian.
330
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

B. Peran dan Fungsi

Seperti tubuh manusia, dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Bali, masing-


masing bagian desa memiliki peran yang berkaitan dengan hubungan, ritus,
tempat sosial dan budaya desa adat. Keterkaitan ini memastikan kehidupan desa
yang berkelanjutan. Jika salah satu bagian tubuh yang rusak, seluruh desa tidak
akan berjalan dengan baik. Menurut Lontar Catur Bhuwana Pempatan Agung
adalah takhta Shang Hyang Catur Bhuwana, yang didedikasikan untuk Siwa. Ini
adalah pusat dari lima kekuatan dalam empat arah: utara didedikasikan untuk
Wisnu (dewa penjaga), timur didedikasikan untuk Içwara, Selatan didedikasikan
untuk dewa penciptaan (Brahma) dan Barat didedikasikan untuk Mahadewa,
pusat didedikasikan untuk Ciwa. Kekuasaan ini menciptakan keseimbangan alam
(makrokosmos dan mikrokosmos) melalui mana kemakmuran diberikan kepada
empat tujuan hidup: hidup kekal (Moksha, untuk akhirat, tercermin
persimpangan), kehidupan budaya ( kama, tercermin puri, banjar bale, Wantilan),
sosial ekonomi (arta, tercermin pasar) dan kehidupan rohani (dharma, tercermin
dari Pura) (wawancara dengan kepala PHDI, Februari 2001) .

Terhadap konsepsi tersebut, 59 responden dari 135 pemuka masyarakat


(pemerintah, tokoh adat, guru, undagi, dll) mengkonfirmasi bahwa makna
Pempatan Agung adalah salah satu pusat energi spiritual. Istilah "energi" yang
merupakan roh baik atau jahat, sekala (sementara, benda, terlihat dan dunia
fisik), membalikkan Niskala (abadi, alam semesta material termasuk dalam ritus,
dengan keajaiban simbol dan persembahan energi (lihat tabel 1). Energi ini
berpotongan di Pempatan Agung, menurut mereka makna Pempatan Agung
adalah sebagai pusat pusat sosial, ekonomi, budaya dan politik dari desa adat,
ditentukan oleh lokasi puri. Demikian juga menurut responden individu,
Pempatan Agung juga merupakan pusat energi spiritual desa adat. Sekitar 95%
dari 135 responden yang diwawancara percaya bahwa Pempatan Agung adalah
persilangan antara energi bumi dan matahari yang menciptakan energi

331
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

kehidupan. 25% dari mereka percaya bahwa itu adalah takhta Ciwa (dewa
kehancuran). 16% memaknai Pempatan Agung adalah pusat pertemuan desa dan
14% menganggapnya hanya sebagai persimpangan jalan. Hanya 5% Pempatan
Agung adalah tempat komunikasi antara raja dan rakyat, dan 4% melihatnya
sebagai tempat rekreasi. Survei ini menunjukkan bahwa spirit Pempatan Agung
adalah pusat energi dan tahta Ciwa. Ini adalah bukti bahwa agama adalah nilai
yang paling penting bagi masyarakat Bali kontemporer. Makna sosial Pempatan
Agung lebih kuat dari pada sekedar makna fungsional (lalu lintas). Semakin kecil
peran Pempatan Agung sebagai pusat kerajaan menunjukkan melemahnya peran
raja di kehidupan sehari-hari masyarakat Bali.

Tabel 1 : Makna Pempatan Agung


Makna %
Hanya persimpangan jalan 14
Energi spiritual desa adat 95
Pusat pertemuan anggota desa 16
Takhta çiwa 25
Tempat berkomunikasi raja-rakyat 5
Tempat rekreasi penduduk 4
(Sumber : Wawancara, Januari-Maret 2001)

Dalam kaitan dengan fungsinya, 92% responden menyebutkan bahwa fungsi


utama dari Pempatan Agung adalah pusat upacara ritual. Komposisinya dirancang
agar tercapai keseimbangan antara makrokosmos dan mikrokosmos. 41%
menganggap Pempatan Agung sebagai sistem sirkulasi, 22%, tempat sebagai
pusat kegiatan budaya di desa, 13% menganggapnya sebagai pusat administrasi
dan 8% sebagai pusat ekonomi. Persepsi atas fungsi ini memperkuat spirit religius
Pempatan Agung. Penurunan fungsi administrasi juga menunjukkan melemahnya
fungsi puri sebagai pusat.

332
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

Tabel 2 : Fungsi Pempatan Agung


Fungsi %
Sebagai jalur sirkulasi 41
Pusat upacara ritual 92
Pusat administrasi 12,8
Pusat kegiatan sosial desa 22
Pusat ekonomi 8
(Sumber : Wawancara, Januari-Maret 2001)

Dengan demikian, Pempatan Agung bagi masyarakat Bali merupakan tempat


yang memiliki nilai sakral karena disanalah banyak upacara penyucian alam
dilaksanakan. Hal itu juga ditunjukkan dengan konsepsi spasial Pempatan Agung
yang secara teoritis adalah sebagai berikut.

Gambar 5 Konsepsi spasial Pempatan Agung


Sumber: Wawancara dengan berbagai sumber, 2000-2001

333
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

2.3.2 Tipologi Kota-kota di Bali

2.3.3 Denpasar (PA Denpasar, Pemecutan, Kesiman)

Aplikasi dari konsepsi tersebut beragam. Terutama setelah terjadi


pengembangan kota. Penelitan ini telah mengindentifikasi perkembangan
morfologi di 27 pempatan agung baik yang urban, semi urban dan rural.
Contohnya adalah pada Pempatan Agung Denpasar sebagai berikut.

Gambar 6.Morfologi Pempatan Agung Denpasar

Kiri atas: Pempatan Agung jaman kerajaan, kanan atas: jaman penjajahan, kiri
bawah: awal kemerdekaan, dan kanan bawah adalah tahun 2000.
Sumber: AAG Agung, 1989 ; Survei lapang, 2000

334
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

2.3.4 Pempatan Agung Badung (Mengwi, Taman, Gerana)


2.3.5 Tabanan (Tabanan, Kerambitan, Belayu)
2.3.6 Gianyar ( Gianyar, Ubud, Apuan)
2.3.7 Bangli ( Bangli, Temukus, Apuan)
2.3.8 Klungkung ( Semarapura, Gel-Gel, Takmung)
2.3.9 Karangasem (Amlapura, Ulakan, Belong)
2.3.10 Buleleng ( Paket Agung, Sukasada, Banyuning)
2.3.11 Jembrana ( Batu Agung, Negara, Yeh Embang)

2.4 Pembelajaran dalam perspektif: analisis budaya dan


perubahan morfologi
Nilai-nilai sosial dan budaya sangat mempengaruhi morfologi desa adat Bali yang
saat ini merupakan kota. Analisis spasial sebelumnya menunjukkan evolusi
morfologi yang mengubah kerangka kosmologis, telah disesuaikan dengan
kehidupan sehari-hari dengan tetap menjaga prinsip-prinsip budaya Bali.
Beberapa fasilitas tetap bertahan dan sebagian lagi berubah. Kecenderungan
tersebut dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 3. Kecenderungan berubah, tetap,adaptasi atau penciptaan baru


Pempatan Agung
Fasilitas Total Berubah Tetap Adaptasi Baru
Titik PA 27 16 (59,26%) 11 (40,74%)
Wantilan 17 7 (41,17%) 4 (23,53%) 6 (35,30%)
Lapangan 17 4 (23,53%) 11 (67,70%) 2 (11,77%)
Puri 22 3 (13,64%) 15 (68,18%) 4 (18,18%)
Pura 19 1 (5,26%) 18 (94,74%) 1
Pasar 19 4 (21,05%) 11 (57,89%) 4 (21,05%) 1
Pohon berimgin 19 3 (26,32%) 14 (73,68%)
Bale Banjar 8 2 (25%) 5 (62,5%) 1 (12,5%) 3
Rumah keluarga 34 21 (61,76%) 13 (38,24%)
raja

Kecenderungan perubahan pertama adalah terhadap fungsi yang terjadi


di PA tersebut. Penelitian ini menunjukkan bahwa semakin sakral fungsi maka

335
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

mereka cenderung bertahan, namun semakin profan atau komersial cenderung


berubah.

Pura
A Pohon beringin
B Puri
C Lapangan
D Bale Banjar
E Pasar
F Titik 0 Pempatan Agung H G
G Wantilan F E DC
H Rumah BA
Berubah
Bertahan

Gambar 7 Kecenderungan berubah

Kecenderungan kedua menyangkut komposisi Pempatan Agung. Seperti


diketahui, lokasi terbaik puri terletak timur laut atau barat daya. Oleh karena itu
jelas bahwa lokasi ini akan sangat penting untuk menempatkan peralatan lainnya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 50% dari puri yang terletak di timur laut,
36,36% di barat daya dan 13,64% tenggara (Gambar 8). Dari gambar ditunjukkan
pada Gambar. 3.3, perubahan berasal dari lokasi Pura, karena secara teoritis itu
harus ditempatkan di timur laut. Sudut timur laut dipertanyakan. Sudut Ini
menjadi alternatif untuk alun-alun, pura, pasar dan beringin. Penempatan Puri
dan transformasinya mencerminkan bahwa kekuasaan raja mampu menentukan
organisasi wilayahnya lebih dari kekuasaan ritual (pedanda).

336
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

Nord

Palais : 13,64% Palais : 50%


Wantilan : 23,53% Wantilan : 17,65%
Esplanade : 23,53% Esplanade : 5,9%
Temple : 5,26% Temple : 26,37%
Marché : 15,79% Marché : 15,79%
Banian : 42,10% Banian : 5,26%
Bale Banjar : 12,5%
Bale Banjar : 12,5%
Ouest Est
Temple :5,26
% Palais : 36,36% Palais : 0%
Wantilan : 35,29% Wantilan : 23,53%
Esplanade : 41,17%
Esplanade : 29,41%
Temple : 36,84%
Temple : 26,37%
Marché : 47,37%
Marché : 21,05%
Banian : 26,37%
Banian : 21,05%
Bale Banjar : 0%
Bale Banjar : 50%

Sud

Gambar 8. Variasi Aplikasi Spasial Pempatan Agung

Di antara komposisi Pempatan Agung urban, Pempatan Agung dari Denpasar dan
Bangli yang paling berubah, sementara di Karangasem dan Jembrana cenderung
bertahan. Kecenderungan ketiga menyangkut "perkotaan dan pedesaan". 27
Pempatan Agung yang diamati, 10 adalah perkotaan, semi-perkotaan 9 dan 8
adalah pedesaan. Lokasi yang dipilih adalah berdasarkan posisi dalam hirarki
wilayah administratif (ibukota kabupaten/kota, kecamatan dan desa
administratif). Beberapa fasilitas masih ada sekitar Pempatan perkotaan Agung,
di antaranya Wantilan, alun-alun, puri, pohon beringin, rumah-rumah bangsawan
dan pasar (abesn di 2 Pempatan Agung urban, tapi ada dekatnya). Di Pempatan
Agung di semi-urban dan ruarl, beberapa fasilitas ini tidak ada. Kesimpulannya,
Agung Pempatan menjadi pusat perkotaan berkat adanya enam fasilitas di atas

337
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

Mengalami perubahan fisik di pempatan Agung terjadi beberapa perubahan


perilaku masyarakat. Yang pertama adalah Ngaben. Kekosongan titik nol
Pempatan Agung, diterapkan dari abad kesepuluh di bekas kerajaan Bali
Bedahulu melambangkan ruang netral di mana mitos cosmo-logis kekuatan
positif dan negatif yang dinetralkan. Ini mengakomodasi upacara ritual, seperti
ngaben dan mecaru, atau Caru yang membutuhkan ruang yang cukup besar.
Penambahan kudus, dimulai dengan kerajaan Klungkung pada abad ketujuh
belas, menyebabkan perubahan sebagian Pempatan Agung fasad. Akibatnya,
ritual harus beradaptasi dengan perubahan ruang. Yang pertama adalah ngaben.
Biasanya Baden "menyala sendiri" kiri di titik nol Pempatan Agung untuk jiwa
Turun almarhum, memurnikan dan menyatukan makrokosmos. Kehadiran
tempat kudus pada saat ini tidak mampu melakukan ritual ini. Orang Bali telah
kemudian diadaptasi upacara dengan "berbalik" tempat kudus dari kiri. Adaptasi
yang sama ditemukan dalam upacara Ngerupuk sehari sebelum tahun baru,
ketika Bali membawa adat Ogoh-ogoh di sekitar desa, yang memutar sekitar
Pempatan Agung kemudian memimpin mereka di plaza atau ke pemakaman
untuk membakar (melambangkan kehancuran roh jahat).

Bade
Tugu

Bade
Bade diputar di titik PA Bade mengelilingi Tugu

Gambar 9. Perubahan kegiatan rangkaian Ngaben sebelum dan sesudah


perubahan PA
(Sumber: wawancara dan survei lapang, 2001)

338
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

Adaptasi kedua karena kehadiran tugu adalah mecaru, yang dirayakan setiap
Tahun Baru. Semua orang yang hadir pada upacara tersebut, membawa banyak
sesajen. Mereka membutuhkan ruang yang besar. Keberdaaan Tugu mencegah
sebagian orang untuk berpartisipasi dalam upacara di persimpangan jalanhal itu
menjadi alasan untuk mengubah lokasi. Ini adalah kasus desa adat Denpasar
menyelenggarakan upacara ini sebelum ada tugu (bersatu dengan pura desa)
atau di alun-alun.

Pura

Alun-alun Alun-Alun

Gambar 10. Adaptasi Upacara Mecaru di Pempatan Agung Denpasar

Kompromi terlihat di Pempatan Agung Mengwi sejak tugu dibangun di salah satu
jalan (lihat Gambar. 11). Dengan cara ini, Pempatan Agung bebas untuk Bali
digunakanupacara ritual dengan sempurna. Tugu dibangun untuk menandakan
identitas desa adat dan memenuhi keinginan rakyat untuk menempatkan sesaji
di tempat tertentu

Sanctuaire

Gambar 11. Pempatan Agung yang diadaptasi

339
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

Perubahan lainnya adalah berubahnya nilai kesucian zona tertentu akibat


pembangunan. Vertikal disebelah Pura. Pada bangunan yang lebih tinggi dari pura
terdapat toilet yang secara vertikal mengurangi kesucian pura. Perubahan fungsi
di lingkaran inti pempatan Agung juga merusak kerangka nilai magis religius
Pempatan agung. Berubahnya puri menjadi kantorpenguasa penjajah dan
perumahan para prajuritnya merubah pula tatanan yang diperhitungkan secara
kosmologis sebelumnya. Perubahan-perubahan tersebut pada akhirnya merubah
tingkat kesucian di kawasan pempatan Agung. Untuk orang Bali yang memahami
konsepsi kosmologi Pempatan Agung, perubahan fisik ini secara otomatis
mengubah spirit asli Pempatan Agung. 68,8% responden setuju dengan
pernyataan ini. Pempatan Agung cenderung berubah karena alasan ekonomi
yang bertentangan dengan nilai-nilai spiritual. Bangunan baru dan tugu
mengurangi dimensi ruang ritual. Orang-orang tidak dapat mengatur upacara
ritual. Akibatnya ruang kosmologis kehilangan perannya "mitis, sakral, magis dan
pusat". Perubahan fungsi puri juga dapat mengubah segalanya. Puri ini sama
dengan Pempatan Agung, jika satu berubah, kesatuan spasial Pempatan Agung
juga berubah.

Perubahan ini tentu dimungkinkan asalkan kontinuitas dipertahankan.


Perubahan yang radikal mengubah spirit Pempatan Agung. Perubahan untuk
fungsi yang setara - disebut, adaptasi - lebih diterima karena simbol-simbol asli
dipertahankan. Tapi masyarakat Bali ingin mempertahankan simbol agama.
Tindakan ini menunjukkan upaya mereka untuk melestarikan simbol agama
(pura) dan masyarakat (Bale Banjar, puri). Mereka selalu setia mematuhi nilai-
nilai kosmologis dan agama dan bertahan dalam kepercayaan mereka yang akan
memimpin mereka untuk kesempurnaan yang kekal (Moksha).

340
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

2.5 Simpulan

Setelah mempelajari konsepsi kosmologi Pempatan Agung, aplikasi morfologinya


di 27 desa tradisional Bali dan transformasi di unit administratif kontemporer,
dapat disimpulkan tentang Pempatan Agung, khususnya pada perspektif rancang
kota. Dalam komposisi perkotaan, PA menawarkan makna religius, yang
mencerminkan perilaku sosial-budaya dan merupakan transformasi spasial dari
kekuasaan. Studi tentang makna Pempatan Agung dalam hal kosmologis dan
dalam konsepsi kota membantu untuk memahami bagaimana orang Bali melihat
dunia dan menerapkan konsepsi ini untuk perancangan kota. Transformasi spasial
dari dinamika budaya berkait dengan kehidupan sehari-hari masyarakat Bali
kontemporer, organisasi masyarakat, stratifikasi sosial dan peraturan adat.
Tampaknya bahwa masyarakat Bali sangat konsisten untuk menerapkan nilai-nilai
kosmologis dalam perencanaan tata ruang. Pempatan Agung adalah pusat
kekuatan supranatural kosmik dari lima dewa mitos yang berkait dengan
kekuatan duniawi, ekonomi, politik dan sosial, dan diwujudkan dalam nilai-nilai
masing-masing fungsi. Ini berarti bahwa setiap fungsi memiliki nilai dan lokasi di
mana Bali mencapai kemakmuran.

A. Spirit Pempatan Agung

Pertama dan yang utama dari makna Pempatan Agung adalah pusat keagamaan
di mana energi spiritual desa adat. Energi ini berasal dari lima kekuatan dewa
(Panca Dewata) yang berstana di empat arah sementara pusat energi kekuatan
negatif dari buthakala dinetralkan. Hal ini memberikan spirit Pempatan Agung
se agai pusat upa ara ritual. Ini erarti PA e eri akna spirit magis- eligius”
desa adat. Melalui upacara ini, kekuatan mistis, kosmik dan supranatural
menyebar kekuasaan mereka untuk duniawi kekuasaan sebagai kekuatan politik
(puri), ekonomi (pasar), sosial (Wantilan dan Bale Banjar). Pempatan Agung
memiliki semua fasilitas sosial-budaya dan agama dalam komposisi morfologi

341
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

tertentu. Fasilitas ini ada untuk memperkuat Pempatan Agung sebagai pusat
spiritual. Pe patan Agung erupakan representasi dari spirit kolektivitas
masyarakat. Ia mewujudkan kesatuan tata ruang, politik, kosmologis, sosial,
budaya dan agama. Sebagai bagian pemersatu Pempatan Agung adalah titik pusat
bimbingan untuk semua fungsi. Puri, pasar, perumahan, dan Wantilan, Bale
Banjar diarahkan ke tempat suci ini. Dalam perencanaan kota ini, itu adalah titik
pusat dari lalu lintas. Ini adalah pusat dari pusat, sentralitas kosmos .

Kosmos

Kolektifita

Pusat

Magis-religius

Gambar 12 Spirit Pempatan Agung

B. Kosong adalah isi, isi adalah kosong

Konsepsi asli Pempatan Agung kosong. Tapi dalam kosong ini, ada konten yang
sangat kuat: kekuatan supranatural positif (lima Dewa) dan negatif (buthakala).
Orang Bali kuno telah ketat menerapkan konsepsi ini seperti yang tertulis dalam
buku Hasta Kosali Kosali. Tapi dalam pemahaman kontemporer (sejak abad
keenam belas), kosong ditafsirkan sebagai ruang di mana dapat dibangun sebuah
tugu untuk menetralisir kekuatan supranatural dan menempatkan persembahan.
Kekosongan dianggap sebagai "kehadiran isi dan isi tidak akan ada kecuali bila
ada ruang kosong." Konsepsi ini juga dijelaskan oleh Ashihara (1974) mirip
dengan konsepsi Sekala dan Niskala. Baik kosong maupun isi dapat hadir dalam
dua dimensi, fisik (dalam hal ini adalah tugu Pempatan Agung) dan spiritual
342
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

C. Transformasi spasial kekuatan politik

Konsepsi Pempatan Agung adalah murni agama, kosmologi, tetapi kekuasaan


politiklah yang memutuskan implementasinya. Lokasi puri masih yang terbaik,
dalam orientasi yang paling suci (timur laut, 41%) yang secara teoritis adalah
lokasi yang dicadangkan untuk pura. Ini berarti bahwa kekuasaan politik lebih
menentukan daripada agama. Hal ini bisa dimaknai bahwa puri bukan hanya
memiliki kekuatan politik tetapi juga kekuatan agama. Puri dapat memobilisasi
orang untuk merayakan ritual upacara wabah atau perang yang mengancam
keberadaan kerajaan. Masyarakat Bali kuno menerima konsepsi ini karena
mereka percaya pada konsep Tuhan Raja (Raja Dewa). Raja adalah wakil Tuhan di
bumi, bagian dari dunia dewata.

D. Pempatan Agung: titik petanda, identitas, dan ruang publik masyarakat Bali

Dalam desain kota, kota-kota Eropa memiliki sejumlah tolok ukur yang
memungkinkan mereka untuk menunjukkan identitas mereka. Sebagian besar
landmark ini berupa ruang publik. Untuk kota-kota Perancis dan Spanyol
diran ang la pla e , kota Italia terkenal dengan piazza ereka se entara kota-
kota Inggris adalah dengan s uare . “e entara identitas u u suatu negara
diwakili oleh beberapa bangunan yang sangat terkenal (Menara Miring atau
Coliseum di Roma, Menara Eiffel di Paris, Sagrada Familia di Barcelona, dll), peran
ruang publik adalah besar. Mereka memaksakan orientasi bangunan yang ada di
sekitar untuk memanggil pusat. Ruang publik adalah tempat di mana menjadi
representasi dari identitas budaya kota. Pempatan Agung sebagai orientasi
kosmologis juga memberikan orientasi spasial. Pempatan Agung menyusun
kesatuan pusat kota Bali yang memberikan titik acuan bagi penduduk tidak
nonHindu. Spirit "sentralitas" sangat diwakili oleh kesatuan komposisi, puri
(pemerintah pusat), Wantilan atau Bale Banjar (pusat budaya), pasar (pusat
ekonomi), pura(pusat keagamaan), alun-alun (pusat komunitas dan
kebersamaan) dan jalan-jalan utama persimpangan. Meskipun penambahan tugu
343
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

di tengah kosmologis melemahkan konsepsi kosong, namun secara spasial


memperkuat spirit. Pempatan Agung menyatukan semua pusat dalam satu
orientasi, pusatnya pusat.

E. Dinamika budaya: berubah atau berkelanjutan

Semua fungsi yang berada di seputaran Pempatan Agung pelan namun pasti
berubah. Hal itu tidak terlepas dari lokasinya yang sangat strategis. Perubahan
tersebut langsung maupun tidak langsung meningkatkan kemampuan ekonomi
masyarakatnya. Melalui penguatan ekonomi tersebut masyarakat menjadi lebih
kuat dan menguasai pembangunan dengan baik. Sistem nilai dan agama
mempengaruhi bentuk pengembangan kota di Bali seperti apa yang harus diubah
dan apa yang harus dipertahankan. Ini berarti bahwa dinamika budaya mengubah
morfologi kota mengkonfirmasikan Pempatan Agung Bali sebagai titik awal untuk
perubahan dan keberlanjutan.

F. Pempatan Agung dalam konteks pembangunan kota

Kompleksitas dimensi Pempatan Agung menciptakan kesulitan dari semua jenis


dalam perkembangannya. Setiap fungsi fisik mengandung nilai-nilai dan spirit
budaya dan kosmologis. Tidak adanya panduan untuk transformasi konsepsi
kosmologi Pempatan Agung dalam konteks pembangunan kota kontemporer
menyebabkan ketidakteraturan dalam perkembangan kota di Bali. Pembangunan
mengikuti kekuatan ekonomi yang didukung kekuasaan politik. Ini menelan
kerangka kosmologis desa adat, berbaur dengan fungsi modern baru. Hasilnya
adalah masalah-masalah tertentu muncul yaitu:

 Melemahnya pusat: munculnya koridor belanja di jalan-jalan utama


Pempatan Agung menciptakan pusat ekonomi baru yang melemahkan pusat.
Perkembangan kontemporer bahkan menciptakan pusat-pusat lainnya,
bisnis, administrasi, budaya (bioskop, teater, dll).

344
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

 kaburnya batas kosmologis: ini adalah karena menyatunya secara fisik desa
tradisional satu dengan lainnya yang membentuk semacam co-urbanisasi.
Perkembangan kota Bali cenderung mengabaikan batas kosmologis dari
desa-desa tradisional. Meskipun ini dapat diintegrasikan ke dalam proyek
rancang kota, penghapusan batas kosmologis karena pembangunan harus
dipertimbangkan dalam pembangunan kota Bali di masa depan.
 Administrasi versus adat, modernitas versus tradisi: akar penyebab dari
masalah yang disebutkan di atas adalah penciptaan desa administratif di
wilayah desa adat selama penjajahan Belanda. Sejak itu, pengembangan
tidak lagi membutuhkan legitimasi dari desa adat untuk mengontrol wilayah
itu. Kota mencampur antara desa administratif yang membawa nilai-nilai
modernitas dan adat yang membawa nilai-nilai tradisi.

G. Akan jadi apakah Pempatan Agung di masa mendatang?

Keberlanjutan pusat kota tradisional Bali adalah tantangan bagi orang Bali.
Konservasi pusat kota lama, adaptasi dengan gaya hidup baru tanpa mengabaikan
nilai-nilai kosmologis dan kehidupan sehari-hari, perhatian terhadap masalah
yang muncul dengan konsekuensinya dapat menjadi panduan model
pengembangan masa depan. Pempatan Agung, sebagai identitas pusat kota Bali,
landmark, dan ruang publik, menawarkan banyak kesempatan pembangunan
masa depan. Pertama adalah konservasi Pempatan Agung lama. Kedua adalah
adaptasi bangunan tua dengan gaya hidup kontemporer. Ketiga adalah
kemungkinan penerapan model ini dalam pengembangan kota baru di mana
keanekaragaman budaya yang ada.

Pada tahap ini analisis ini, dan untuk mencapai tujuan penelitian, menjadi
menarik belajar pada pelestarian pusat kota tua di Eropa. Walaupun tidak ada
kesetaraan antara kota-kota eropa dan Bali, khususnya dalam hal sejarah dan
budaya, tujuan konservasi ini adalah untuk untuk mendapatkan metode dan
pengalaman yang dimiliki kota-kota eropa . Dengan demikian akan dapat
345
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

memberikan arah untuk mengembangkan pendekatan konservasi di rancang kota


di Bali.

We a ’t ha ge the past, a ’t do u h a out the prese t,


but we can do something to change the future
(Nouk Bassomb)

346
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

BAGIAN KETIGA: KONSERVASI KOTA


Pada bagian ini dielaborasi secara teoris strategi dan teknik konservasi pusat kota
lama. Dengan melakukan studi banding pada 3 kota di eropa yaitu: Paris,
Barcelona dan Sarlat diperoleh beberapa simpulan dalam konesrvasi pusat kota
lama.

3.1 Pendekatan dan Metode Teoris


3.2 Metoda Konservasi: Pembelajaran dari kota-kota eropa

3.2.1 Barcelona
3.2.2 Paris
3.2.3 Sarlat
3.2.4 Beberapa Pembelajaran konservasi kota-kota eropa

Konservasi kota-kota Eropa telah dilakukan dalam arti morfologi dan arsitektur.
Hal ini telah memberikan kontribusi besar untuk melestarikan warisan perkotaan
dan untuk mengingatkan spirit budaya kota kuno. Awalnya, pertumbuhan
penduduk memicu perubahan kota. Revolusi industri telah menghasilkan imigrasi
dan perluasan kota. Karena pertumbuhan dan ekstensi ini kota memburuk,
terlalu padat dengan kualitas hidup (kesehatan, teknik) menurun. Atas nama
rehabilitasi, renovasi dan modernisasi, perubahan kota dilakukan. Dalam proses
ini, konservasi muncul seiring dengan pembangunan. Risiko kehilangan warisan
budaya dan sejarah yang sangat berharga, telah mendorong kebijakan
pembangunan untuk mempertimbangkan pelestarian, sebagian di Barcelona dan
Paris dan seluruh Sarlat.

Dalam semua kasus, keputusan konservasi diambil untuk melestarikan memori


bersejarah melalui bentuk-bentuk fisik, material dan arsitektur. Tetapi kebijakan
ini juga telah berhasil mempertahankan dan mengirimkan pesan spiritual yang
dilakukan oleh benda dipertahankan. Beberapa metode kunci dari keberhasilan
ini dapat dikembangkan untuk menkonservasi spirit budaya kota Bali:

347
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

 kejelasan perubahan morfologi dan kontinuitas,


 peran sistem sirkulasi,
 peran ruang publik,
 peran budaya dalam konservasi.
 dominasi negara dalam kebijakan konservasi.

A. Perubahan dan keberlanjutan morfologis

Secara morfologis, kota-kota yang diteliti dipisahkan ke dalam pola lama dan
bentuk modern. Bersama-sama, model ini membentuk kota saat ini yang ditempa
oleh sejarah. Kota-kota ini adalah sebuah buku yang hidup dari sejarah bangsa
yang tinggal di sana. Kebijakan konservasi kota yang diteliti mempertahankan
bangunan dan lingkungan mengingatkan gaya, simbol dan nilai-nilai budaya
utama masyarakat lama. Bangunan umum seperti balai kota, gereja, lapangan,
pasar, dan ruang dan taman-taman publik menjadi monumen warisan. Secara
umum, monumen ini dikelompokkan sesuai dengan usia mereka dan membentuk
rantai komposisi perkotaan yang dilestarika. Karena setiap generasi membentuk
kota sendiri dengan nilai-nilai budaya dan agama, membentuk bersama sejarah
dalam morfologi kota yang diteliti. Bagian yang dilestarikan melambangkan
kontinuitas nilai-nilai budaya dan keberadaan bagian lainnya melambangkan
perubahan. Proses perubahan dan kesinambungan dapat dibaca dalam morfologi
kota yang diteliti. Konservasi monumen yang mengingatkan nilai pada masanya
berhasil membentuk struktur sejarah dan morfologi kota.

B. Dua wajah sistem sirkulasi

Dalam konservasi kota yang distudi, batas fisik antara yang lama dan yang baru
adalah yang paling menarik. Peran sistem sirkulasi yang luar biasa dalam konteks
itu. Wajah pertama dari sistem ini adalah untuk meningkatkan kualitas kota.
Karena densitasnya, kota perlu diperluas. Penciptaan sistem lalu lintas baru telah
memfasilitasi ekspansi ini, tetapi juga memprakarsai penghancuran bangunan

348
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

yang ada. Pembongkaran terbukti tak terelakkan. Penciptaan Jalan Republik di


Sarlat, pengembangan Paris di bawah prefektur Haussmann adalah contoh
fenomena ini.

Sistem sirkulasi juga menyimpan jejak sejarah kota. Ini membatasi setiap tahap
perkembangan. Ini perubahan batas-batas lama, benteng, batas alam. morfologi
Paris menyajikan tahap ini perkembangan dari kota Gallo-Romaw hingga saat ini,
berkat sistem sirkulasi yang menggantikan berturut-turut berbagai benteng. Di
Sarlat, sistem ini menggantikan benteng tua dan menjadi batas antara yang lama
dan yang baru, sementara di Barcelona sistem ini mengubah batas alam (rantai
bukit) dan memberikan kesempatan untuk ekstensi tetapi pada saat yang sama
mendefinisikan kota tua dan modernitas.

Mengelola aliran waktu telah mengembangkan wisata pejalan kaki dan kegiatan
budaya. Menghentikan lalu lintas di kota tua di pasar Sarlat siang hari, misalnya,
memberikan kesempatan bagi Sarladais untuk melanjutkan tradisi kuno mereka:
musik, warga makanan dan bir tradisional. Ini adalah sama di kota tua dari
Barcelona di mana lalu lintas dibatasi. Penciptaan sistem sirkulasi dengan
pertemuan pusat-titik warga melewati spirit budaya kota dengan tradisi.

Metode konservasi dengan menciptakan sistem sirkulasi untuk menentukan bukti


sejarah memberikan kesempatan bagi kota menjadi lebih mudah dibaca. Dibaca
dalam arti morfologi, sejarah, sebagai dibaca untuk mendefinisikan kota sebagai
Lynch telah didefinisikan: jalan, penanda titik, tepi, borough dan node. Untuk
setiap jejak, dan setiap bagian dari kota menyandang nilai-nilai, arti dan spirit asli.
Sistem ini juga menempatkan nilai-nilai ini dan memberikan tampilan visual dari
identitas lokal.

349
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

C. Peran ruang publik

Ruang publik yang terdiri dari jalan-jalan, taman umum dan kotak memiliki peran
penting dalam konservasi spirit budaya kota. Ini adalah katalis gerakan, ia
menyatukan investasi publik dan swasta, menghubungkan pusat dan pinggiran,
membawa masa lalu, sekarang dan masa depan kota, termasuk yang berbeda
sosial kelas, usia dan budaya. Ruang publik adalah untuk semua orang.

Unsur-unsur yang membentuk ruang publik adalah bangunan di sekitar, pohon,


kegiatan, fasilitas sanitasi (sampah, air mancur), selesai lantai, dll Mereka tidak
hanya memperkenalkan nilai-nilai estetika, tetapi juga nilai-nilai spirit tadi.
Pengeluaran depan Notre Dame de Paris ke rue Saint-Jacques dan rue Soufflot ke
Arenes de Lutece menyediakan pencetakan melalui kota saat ini; tapi rasanya
seperti misalnya spirit sebuah kota Romawi yang disebut oleh Thermes de Cluny,
sumbu cardo-Decumanus, spirit borjuis untuk Place des Vosges, spirit demokrasi
Perancis melalui Lapangan Bastille dan spirit masa depan di taman André-
Malraux di kompleks La Défense. Sensasi yang sama dirasakan di ruang publik dari
Barcelona, dari Plaza Sant Jaume ke Lluc-Mayor Square dan Via Julia di ekstrim
pinggiran Barcelona. Bahkan jika mereka dicampur dengan unsur-unsur modern,
item lama tetap mengingat nilai-nilai dan spirit tadi.

Dalam konteks konservasi spirit budaya kota, ruang publik muncul sebagai tema
kelangsungan budaya Eropa. Dengan distribusi perpindahan warga, ruang publik
juga menyoroti rasa kelangsungan kain perkotaan yang mengikat divisi yang
berbeda dan menghubungkan masing-masing untuk identitas lainnya. Melewati
ruang publik yang lain, tampaknya kita berpindah dari satu budaya ke yang lain,
dari satu era ke yang lain.

Politik ruang publik di kota yang diteliti, yang telah diawetkan ruang publik
mengingat simbol, nilai-nilai dan spirit tua, adalah tepat karena memungkinkan
untuk menghafal cerita. Sementara perilaku warga saat ini tidak lagi ditandai oleh

350
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

nilai-nilai lama, generasi baru akan mengenali spirit mereka melalui bentuk-
bentuk materi dari ruang publik diawetkan. Pesan, simbol, identitas, peristiwa,
konflik ini terus spirit masa lalu dan ditularkan kepada generasi mendatang
melalui konservasi ruang publik.

D. Ruang Budaya

Jika kita berbicara tentang budaya dalam pelestarian kota, salah satu tidak bisa
mengabaikan apa yang membentuk ruang, isi materi dan dimensi spiritual serta
aktor. Setelah situs bersejarah yang diawetkan intervensi arsitektur formal
dengan baik inisiatif publik atau sektor swasta, jelas bahwa itu akan tetap dalam
kepemilikan negara. Oleh karena itu tidak mungkin untuk memberikan intervensi
pribadi atau swasta tanpa perjanjian formal. Semua tindakan arsitektur dan
budaya berada di bawah kontrol dan organisasi pemerintah. Meskipun kondisi
ini, peran individu dalam bidang budaya untuk mempertahankan warisan
arsitektur masih pusat budaya dan pertahanan spirit budaya. Dengan pelatihan
sosial budaya, ekonomi, seni dan pendidikan, spirit budaya kota menyebar ke
semua orang.

Public Intervensi: Aturan

Konservasi Keberlanjutan budaya


Inisiatif Situs
arsitektural Penyebaran spiritual
bersejarah

Privat :

Menghidupkan:
Kolektif  Activitss : sosial budaya, ekonomi
 Individual  Kreasi seni
 Pendidikan

Gambar 12. Peran budaya dalan konservasi kota

351
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

Budaya adalah dasar dari komposisi kota. Morfologi ditentukan oleh konsepsi
agama dan kosmologi. Kota ini berkembang, nilai-nilai budaya baik dan
mengubah keseluruhan. Melalui konservasi yang mengingatkan bagian yang
merupakan simbol dan nilai-nilai budaya dari setiap zaman, kelangsungan
morfologi membantu untuk memahami tahapan evolusi spirit kota. Dalam
pendidikan, nilai-nilai ini diwariskan dari generasi ke generasi. Pariwisata sebagai
bagian dari kegiatan ekonomi budaya memiliki peran penting tentang pesan
budaya yang ditransmisikan dari satu kota ke warga lain dan negara lain. Gambar,
patung, festival dan kerajinan mendukung komposisi perkotaan, mengabadikan
dan mengirimkan spirit kota.

E. Kebijakan publik tentang konservasi

Peran pemerintah sangat penting dalam konservasi kota-kota yang sedang


membangun sebuah warisan budaya dan dalam pilihan untuk menjaga. Peraturan
muncul sebagai salah satu alat kebijakan konservasi untuk menjamin
kelangsungan warisan arsitektur. Berkat peraturan formal, bagian fisik dari kota
yang diteliti, jika tidak semua, telah dipelihara dengan baik dan telah menjadi
pusat kegiatan budaya di mana identitas lokal diperkuat. Tapi kekuasaan juga
berkontribusi terhadap proses pembongkaran situs bersejarah atas nama
rehabilitasi dan pembangunan.

Dalam hal ini, peran masyarakat, baik secara individu maupun kolektif, sangat
penting. Hal ini dapat mengontrol kebijakan negara oleh kritikus, ilmuwan dan
debat parlemen, acara-acara publik, dll Dalam konservasi spirit budaya, peran
individu dapat dibaca. Festival keagamaan dan budaya, kehidupan sehari-hari,
standar perlindungan dan melestarikan nilai-nilai budaya kuno disampaikan dan
akhirnya spirit budaya yang diawetkan dalam segala bentuk.

Kerjasama antara peran negara dalam konservasi fisik dan arsitektur bangunan
dan bahwa individu yang mengejar kegiatan sehari-hari mereka sebagai

352
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

pengguna ini penting untuk transformasi spirit kota secara keseluruhan budaya.
Meskipun dalam beberapa kasus tindakan ini termotivasi oleh kepentingan
ekonomi di bidang pariwisata, partisipasi semua bagian kota telah berhasil
menjaga pikirannya. Akhirnya, adalah mungkin untuk beradaptasi kerjasama
Negara dan masyarakat untuk pelestarian spirit kota Bali.

3.2 Konservasi spirit budaya Pempatan Agung: sebuah usulan

3.2.1 Prinsip Konservasi

Setelah mempelajari metoda konseravsi eropa, disusun usulan keonservasi spirit


budaya Pempatan Agung yang intinya berupa:

1. Mempreservasi kerangka konsep sakralitas dan tradisi, mengadaptasi fungsi


profan modern. Tekniknya adalah sebagai berikut
 pemisahan spasial antara kota tua dan desa-desa adat baru dengan
sistem sirkulasi,
 partisipasi warga dan badan pemerintah untuk organisasi sosial-budaya
dan ekonomi,
 penciptaan sistem administrasi dan peraturan,
 memanfaatkan ruang yang ada untuk menciptakan ruang publik sebagai
pusat budaya warisan.

353
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

Sakral::
 Orientasi kosmologis
 Simbol religius

Préservasi
Adaptasi

Tradisi:
Modernitas
 Organisasi spasial  Technologie
 Upacara ritual  Solusi spasial
 Organisasi sosial  Organisasi administratif
 Prosesi  Fungsi

Profan : nilai dan simbol


 Ékonomi
 Politik
 Sosial

Gambar 13. Prinsip Usulan Konservasi

3.2.2 Konservasi kosmologis

Desa Adat bagi masyarakat Bali adalah kosmos, tiruan dari dunia dewata yang
terdiri dari tiga elemen (Tri Hita Karana) Parhyangan (hubungan manusia dengan
tuhannya), Pawongan (hubungan manusia dengan manusia ) Palemahan
(hubungan manusia dengan alam). Berkat keseimbangan antara ketiga hubungan
ini, orang Bali mendapatkan kebahagiaan, kemakmuran dan kedamaian. Jika
keseimbangan ini terganggu, kehidupan sehari-hari orang Bali terganggu. Oleh
karena itu, dunia imajiner ini harus dipertahankan hanya dengan mengubah batas
kosmologi desa adat dalam bentuk fisiknya.

Perubahan yang diusulkan adalah penciptaan sistem lalu lintas di sekitar desa
adat. Sistem ini harus mendamaikan konflik lalu lintas, pejalan kaki dan warga.
Memodifikasi batas bekas wilayah desa adat dan spasial memisahkan bagian lama
baru. Batas desa adat lama dibuat jalan umum dan dikendalikan
pertumbuhannya. Diliur harus menyesuaikan dengan bentuk lama

354
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

Expansi
spatial:Modernitas
Desa Adat

Batas

Gambar 13. Memisahkan Desa Adat dengan daerah pengembangan Melalui


sistem sirkulasi

Pura
Pempatan Agung :
 Prioritas pejalan kaki
 Zona sakral dan publik
Desa  Zona dengan konservasi ketat
Adat

Permukiman :
 Prioritas untuk warga
N  Zona profan dan komersial
 Zona adaptasi
Pura Dalem
Kuburan
Gambar 14. Konservasi kerangka kosmologis

355
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

3.2.3 Penataan administratif

Dualisme administratif adalah masalah utama yang sering menimbulkan


kesemrawutan wewenang. Maka dualisme ini harus diakhiri. Kedua sistem
kekuasaan sebaiknya dimerger atau dihapus salah satunya.

356
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

BAGIAN KEEMPAT: KESIMPULAN UMUM

4.1 Hasil

Seperti yang telah diuraikan di bagian pertama, kota ini memiliki banyak aspek:
alam, budaya, masyarakat, pertahanan, ekonomi, estetika, teknologi, dll mereka
bertanggung jawab untuk morfologi perkotaan yang bervariasi dari satu kota ke
kota lain. Perbedaan dalam gaya hidup antara masyarakat modern dan
tradisional, misalnya, tercermin dalam perbedaan antara kota modern dan kota
tradisional. Jika kota modern dapat dipelajari dalam hal teknologi, ekonomi,
kesehatan dan estetika, kota tradisional bisa lebih jauh dari budaya, agama,
struktur sosial dan nilai-nilai yang diwariskan. Kota-kota modern hasil dari
komposisi ruang yang berbeda dalam fungsi, diprioritaskan antara publik dan
swasta, dan berorientasi oleh oposisi depan / belakang atau luar / dalam; tentang
kota tradisional, mereka didasarkan pada ruang simbolik yang membuat
perbedaan antara pria dan wanita memprioritaskan sakral dan profan, panduan
bagian atas dan bawah. Meskipun morfologis ada beberapa kesamaan, dalam
kota tradisional terdapat dimensi tersenbunyi yang berkaitan dengan sistem
sosial dan budaya. Pencarian ini telah membawa kita pada realitas praktek
perencanaan tata ruang, yang cenderung mengabaikan dimensi ini, karena
pembangunan dipahami sebagai pertumbuhan dan perbaikan kuantitatif,
ditandai di atas semua oleh ekonomi . Akibatnya, pendekatan budaya
terpinggirkan. Namun, harus dpertimbangkan praktek kehidupan sehari-hari
individu, yang memberikan kualitas manusia ke kota. Keseimbangan antara
pendekatan kualitatif dan kuantitatif dalam perencanaan tata ruang bisa menjadi
alat untuk melestarikan spirit budaya kota tanpa mengabaikan kondisi teknis.

Penelitian ini telah menyoroti keberadaan konsepsi kosmologi, terutama di kota-


kota timur, spirit lokal yang menjaga menghadapi globalisasi yang dibawa oleh

357
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

pembangunan. Hal ini membantu untuk memahami implikasi dari aspek budaya
dalam perencanaan perkotaan. Ketidaktahuan aspek ini dalam pengembangan
kota hancur kerangka kosmologis; melanggar ikatan emosional antara kota dan
orang-orang yang membangunnya, dan akhirnya kehilangan orientasi di tengah
ruang hidup. Kota di dunia timur, adalah transformasi kosmos, pusat kosmologis
yang diwujudkan di semua fasilitas sosial, budaya dan politik. Jika untuk kota di
dunia Barat hal ituyang hanya bisa menjadi warisan arsitektur, untuk dunia timur
tetap bagian hidup sehari-hari, yang memberikan nilai tambah melalui
pengalaman religius. Ini adalah titik pusat dari mana penduduk bergerak relatif
terhadap sumber dan relatif terhadap dunia luar, bahkan dengan Cosmos. Kota
sebagai cermin dari masyarakat adalah terjemahan dari nilai-nilai yang berlaku
dan merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari manusia. Ini bukan hanya
penciptaan kehendak manusia, tetapi juga kehendak dewata. Meskipun budaya
berubah, perubahan hanya mempengaruhi pinggiran, dan inti budaya tetap
dalam kontinuitas, yang mengatakan bahwa perubahan sangat lambat. Agama
menjadi inti budaya di kota-kota dan berlanjut dalam proses konstruksi dan
melambangkan kekuatan identitas lokal, bahkan di kota-kota Barat kontemporer.

Transformasi spasial telah dianalisis melalui nilai-nilai budaya dimana kota Bali
dibangun dari desa-desa tradisional. Dua puluh tujuh desa yang diteliti
menerapkan konsep yang sama dalam transformasi yang berbeda disesuaikan
dengan lokasi mereka dan tingkat politik-administratif puri. Kebanyakan desa
(86,36%) menghormati lokasi yang tepat yang memberikan kemakmuran kepada
masyarakat. Ini adalah lokasi puri di empat divisi dari Pempatan Agung. Ini adalah
manifestasi dari kekuasaan raja di Bali sosial, budaya dan agama. Meskipun
tingkat transformasi yang berbeda, posisi puri sebagai pusat kosmologis penting.
Semua divisi spasial, budaya dan agama tergantung pada lokasi puri. Puri masih
memiliki peran dalam sosial, budaya dan agama, bahkan setelah perubahan rezim
politik. Tanggung jawab, perilaku teladan, dan terutama sistem kasta sosial,
memberikan keluarga kerajaan kemungkinan memegang peran mereka secara
358
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

permanen. Legitimasi agama kekuasaan raja sangat penting bagi anggota sebuah
desa adat. Itu berhasil menjadi dalam spirit bersama masyarakat semua anggota
desa untuk membuat keputusan untuk pembangunan, merupakan hal yang
fundamental sebelum kekuasaan berasal dari desa administratif. Hal ini
merupakan identitas lokal Bali dalam keragaman budaya Indonesia. Dapat
dikatakan bahwa, untuk melestarikan identitas lokal, kehendak individu dan
kelompok yang dipimpin oleh pemimpin budaya dalam struktur organisasi
tradisional cukup efektif untuk menghindari dampak negatif dari modernitas.

Fasilitas di Pempatan Agung berubah akibat pembangunan. Tempat-tempat suci


yang melemahkan nilai utama Pempatan Agung (vakum adalah konten, konten
adalah kosong) ditambahkan ke "titik nol" dari Pempatan Agung, Wantilan
menjadi daerah komersial atau pusat administrasi, pohon-pohon beringin yang
dipotong , puri menjadi hotel. Tetapi jika kita memeriksa angka, perubahan ini
ditoleransi. Terlepas dari "titik nol" dari Pempatan Agung, tidak pernah berubah
proporsi fasilitas umum melebihi 50%. Perubahan yang paling umum diamati di
perkotaan Pempatan Agung. Tapi perubahan ini tidak mengubah aspek sosial,
budaya dan agama. Bahkan jika hal itu menyebabkan adaptasi perilaku, mereka
selalu mengikuti model yang sama. Sosial, budaya dan agama adalah sama di
kelurahan dan desa adat kebiasaan di pedesaan. Kekuatan budaya Bali adalah
standarisasi gaya hidup. Istilah Barat "urban" dan "rural" masih tidak relevan
untuk membedakan kota dan desa di Bali. Ketersediaan teknologi, otomotif,
kompleksitas fungsi ruang, semua elemen pinggiran budaya pasti membantu
membedakan komposisi ruang kota dan desa, tapi pusat hampir selalu sama.
Teori inti budaya Amos Rapoport berlaku di kota Bali. Agama, kepercayaan,
struktur sosial dan budaya adalah unsur kekuatan tradisi untuk menghadapi
tekanan modernitas.

Hasil penelitian menunjukkan perubahan spasial pada nilai-nilai kosmologis.


Seperti diketahui, di Pempatan Agung perkotaan, tingkat perubahan lebih tinggi

359
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

dari Pempatan Agung pedesaan. Pentingnya kekuatan politik kerajaan adalah


faktor utama untuk perubahan ini sejak kolonisasi berubah peran dan kekuasaan.
Dengan demikian, nilai-nilai tata ruang telah berubah. Di tingkat desa dan
arsitektur, pembangunan telah menyebabkan kebingungan antara sakral dan
profan. Namun, pembagian ruang ini sangat penting dalam budaya Timur.
Kelanggengan nilai-nilai budaya ruang tergantung pada partisipasi penduduk
dalam kerangka politik negara. Untuk melestarikan nilai-nilai budaya, perlu
ditekankan faktor perubahan dan kontinuitas karena itu penting untuk
mengontrol dan saling memperkuat.

Keprihatinan ini terinspirasi konservasi kota-kota Eropa yang telah dipelajari:


Barcelona, Paris dan Sarlat. Meskipun modernitas adalah mesin dari kehidupan
sehari-hari saat ini, negara dan partisipasi masyarakat untuk mengontrol
perkembangan memainkan peran utama. Oleh karena itu, pusat-pusat kota tua
yang terpelihara dengan baik, juga nilai-nilai budaya mereka. Pusat-pusat
keagamaan adalah ruang publik yang dikonservasi dengan baik dan memastikan
adanya keabadian budaya kota.

Dari semua penelitian tersebut, empat refleksi penting muncul dalam tiga bagian.
Kekhawatiran pertama pentingnya pendekatan budaya untuk pembangunan
perkotaan, kedua peran spirit kota pada globalisasi pembangunan, ketiga untuk
mengembangkan konsepsi Pempatan Agung di proyek rancang kota.

Penelitian prospektif ini dapat menjadi refleksi tentang kemungkinan


menggunakan pendekatan budaya untuk proyek perkotaan, pengembangan
konsepsi sebagai Pempatan Agung yang merupakan warisan masa depan, dan
refleksi tentang status ruang publik di dunia Timur.

360
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

4.2 Pentingnya pendekatan budaya dalam pembangunan


perkotaan

Kota sebagai produk budaya mengubah nilai-nilai budaya pada waktu yang
berbeda. Nilai-nilai budaya didasarkan pada pandangan manusia tentang hidup
dan ketergantungan mereka pada alam. Nilai-nilai yang berkembang, membuat
bentuk kota juga berubah.

Awalnya, bentuk kota tergantung pada sifat dan keyakinan di dunia ilahi. Lokasi
itu dipilih sesuai dengan kesuburan tanah. Pusat kota adalah perwujudan
kekuatan ilahi ditranskrip oleh sumbu, pusat energi nilai supranatural dan sakral
dan profan spasial. Perkembangan monoteisme memicu kota modern dengan
gereja-gereja atau masjid, pasar dan ruang publik (seperti Agora). Perang antara
kekuatan politik telah membuat kota menjadi pusat pertahanan dengan
menciptakan kota-kota benteng. Selanjutnya, pengembangan menunjukkan
bahwa pusat kota telah dikembangkan di bawah pengaruh faktor yang paling
menentukan dalam masyarakat. Kota dengan industri listrik, telah menjadi pusat
ekonomi; dengan kekayaan budaya itu bisa menjadi pusat wisata.

Dari semua faktor yang telah membentuk kota, nilai-nilai agama yang lebih tahan.
Studi tentang tiga kota Eropa (Barcelona, Paris dan Sarlat) menunjukkan bahwa
pusat-pusat keagamaan (gereja) yang tahan terhadap perubahan budaya dan
arsitektur, bahkan jika fréquention mereka kurang dengan modernitas budaya.
Hambatan dari faktor agama juga dibuktikan oleh studi dari Agung Pempatan
sebagai pusat magis dan religius dari Cosmos (desa adat). Teknologi, ekonomi bisa
tumbuh tapi nilai-nilai agama bertahan ketika merencanakan proyek perkotaan,
bahkan jika itu tidak menyangkut konteks pelestarian pusaka.

Perencanaan kota modern menjadi lebih kompleks. Masalah alam dan sosial
budaya tidak lagi satu-satunya yang perlu diperhitungkan; ada juga teknologi,

361
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

ekonomi, politik, estetika, kesehatan dan prestise bangsa. Setelah keseragaman


fasad karena pentingnya globalisasi dan modernitas, kota, oleh bentuk, berusaha
untuk menegaskan identitasnya. Oleh karena itu faktor alam dan budaya muncul
kembali dalam perencanaan kota modern, untuk memperkuat identitas lokal
melalui konservasi bangunan tua, unsur-unsur alam yang dominan dan unsur-
unsur budaya lokal (kegiatan, simbol) serta dimulainya kembali bentuk dan nilai-
nilai lama menjadi kreasi baru. Konservasi menjadi faktor yang signifikan dari
perencanaan kota modern.

Mengingat faktor budaya aspek yang terkait dengan identitas lokal dan
keberlanjutan pembangunan, memberikan kesempatan untuk mempromosikan
wajah tertentu kota. Dari perspektif budaya, tujuan pembangunan harus
menyesuaikan dengan manusia karena persyaratan setiap manusia tidak identik.
Tujuan ekonomi bukan satu-satunya tujuan pembangunan, jelas bahwa standar
kuantitatif (PDB, kebersihan, dll) tidak dapat sama untuk semua masyarakat.
Harus mengadaptasi masalah global terhadap pengelolaan lahan dan
pengembangan nilai-nilai universal dengan cara harus melihat kehidupan dan
mengelola ruang masing-masing masyarakat.

Sebagai suatu disiplin, Perancangan kota relatif baru. Di dalamnya tidak banyak
dipelajari dan digunakan pendekatan budaya kecuali sebagai objek pelestarian.
Namun, dari studi sejarah pembentukan kota, di bagian pertama menunjukkan
peran budaya. Studi tentang Pempatan Agung juga menunjukkan bahwa kita
dapat memperhitungkan faktor-faktor budaya aspek dalam menentukan bentuk
kota. Dari konsepsi kosmologis Hindu, konsepsi tata ruang Pempatan Agung
berlaku untuk perancangan kota Bali masa depan , bahkan untuk kota-kota baru.
Hal ini dapat diterapkan sebagai roh kota Bali yang dimaksudkan untuk
menyeimbangkan material dan perkembangan spiritual. Untuk pendekatan
budaya, sumber budaya dan nilai-nilai lokal dapat dikembangkan sebagai titik
awal proyek perkotaan.

362
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

4.3 Spirit kota: dimensi lokal globalisasi

Spirit kota mengungkapkan kesatuan perilaku, emosi dan pengetahuan yang


dialihkan secara fisik, kegiatan satuan dan fungsi, makna dan sistem simbolik dari
masyarakat. Dengan demikian, masing-masing kota memiliki bentuk tertentu
yang yang memanifestasikan identitasnya. Jika potensi penuh spirit kota
dimobilisasi dengan rancanga, tidak ada alasan untuk takut pada keseragaman.
Masing-masing kota adalah unik karena masing-masing memiliki spirit. Kita dapat
menggunakan nilai-nilai budaya disesuaikan dengan kondisi alam di proyek
perkotaan untuk kota-kota masa depan.

Penelitian ini telah menunjukkan bahwa bahkan jika asal formasi kota Bali adalah
sama (konsepsi kosmologi dari Pempatan Agung sebagai pusat), mereka memiliki
wajah yang berbeda satu sama lain. Pendekatan budaya harus disesuaikan
dengan fitur alam lokal untuk membuat perbedaan dalam komposisi ruang di
kota. Sebagai tema budaya, spirit kota yang berkembang mengikuti tren budaya
penduduk. Untuk identitas sebuah kota diabadikan, nilai-nilai budaya tertentu
yang dikonservasi.

Konservasi pertama adalah terkait dengan ruang membawa nilai-nilai budaya


lokal. Ruang suci adalah aspek penting dari masyarakat tradisional, seperti ruang
publik dalam masyarakat modern. Melestarikan ruang ini akan terus di memori
nilai-nilai budaya tertentu dihormati oleh masyarakat saat ini. Menjaga nilai-nilai
lokal di zona konservasi tertentu dan mengembangkan nilai-nilai modern secara
terpisah memberikan kesempatan untuk menciptakan keragaman budaya dari
kota tanpa mengabaikan tujuan pembangunan ekonomi. Pendekatan budaya
memungkinkan kita untuk mengekspresikan orisinalitas dari sekelompok
masyarakat.

Kedua, perencana dan pengembang proyek perkotaan harus memperhitungkan


partisipasi masyarakat lokal dalam pekerjaan mereka pada aspek modern
363
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

pembangunan. Partisipasi ini memberi mereka kemampuan untuk mengakses


dimensi budaya dan budaya lokal, beradaptasi dengan perencanaan modern.
Partisipasi pelaku yang membawa nilai-nilai budaya dan mengekspresikan
legitimasi lokal, meningkatkan kapasitas mereka untuk bernegosiasi untuk
mendapatkan pengakuan akan eksistensi mereka. Negara memiliki peran untuk
dapat mengontrol pendekatan ini sehingga partisipasi mereka dapat memberi
ruang untuk minoritas dan semua kepentingan budaya dan ekonomi. Seperti
pembangunan merupakan isu utama bagi semua masyarakat, partisipasi sektor
swasta baik di tingkat kolektif dan individu diperlukan, terutama pada bidang
material. Jika semua pihak terorganisasi dengan baik dan semua kepentingan
dipahami, pelestarian spirit kota dapat direncanakan untuk memenuhi
kebutuhan identitas lokal

A. Desa Adat: teritorialisasi konsepsi budaya

Asal konsep desa tradisional Bali adalah desa adat desa atau pakereman. Ini
merupakan satu kesatuan baik sosial, budaya dan tata ruang. Sebagai unit sosial,
kota adat berdasarkan stratifikasi dan organisasi masyarakat dan hukum adat.
Sebagai unit budaya, itu termasuk kegiatan budaya, festival keagamaan, agama,
keyakinan dan konsepsi kosmologi. Sebagai satu unit spasial, itu terbagi menjadi
kuil jaringan (Parahyangan), wilayah (palemahan) dan rumah (pawongan).

Aturan sosial, budaya dan tata ruang ini adalah manifestasi fisik dan simbolik dari
nilai-nilai lokal Bali. Dia adalah lembaga yang sah yang dialihkan ke dalam aturan
(hukum adat atau tidak, nilai-nilai sosial), yang memiliki peran dalam kehidupan
dan ruang kolektif. Ia mengatur semua kegiatan individu dalam kehidupan sehari-
hari sosial budaya, ekonomi dan politik. Ia adalah kekuatan penting masyarakat
Bali menghadapi tekanan modernitas. Ia adalah cara untuk Bali untuk
menciptakan ruang sebagai wilayah simbolis dan teknologi.

364
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

Semua diterjemahkan ke dalam bentuk spasial desa adat yang membentuk kota.
Perubahan tata ruang, terutama di pusat kota, di mana semua kekuatan sosial-
budaya, politik dan ekonomi, mencerminkan evolusi nilai kosmologis. Di desa
yang diteliti, hal ini menjadi kabur karena semua batas dilarutkan dalam konsepsi
pembangunan modern. Masyarakat Bali selalu menghormati nilai-nilai budaya,
dan pelestarian desa adat untuk memastikan kesatuan sosial dan ruang budaya:
desa adat Bali adalah faktor utama ketahanan budaya dan kemungkinan
kontinuitas spasial dan budaya. Ia juga merupakan katalis Bali untuk membentuk
konsepsi pembangunan berkelanjutan di tingkat lokal. Dengan
mempertimbangkan semua elemen sosial budaya dan tata ruang desa adat,
dalam pembangunan harus mengarah pada pengakuan individu dan
meningkatkan fitur dari wilayah yang berbeda.

B. Konsepsi Pempatan Agung Bali dalam proyek Perancangan Kota

Hubungan manusia dan budaya dan kota yang baik harus dikembangkan melalui
praktek-praktek yang terkait. Proyek pernacangan kota bisa menjadi perantara
dan penggunaan konsepsi dalam konservasi kota Pempatan Agung Bali. Ini akan
membawa lebih banyak solusi untuk masalah tata ruang, khususnya melemahnya
batas kosmologis di desa-desa tradisional Bali. Ini juga akan mendorong refleksi
tentang dinamika perubahan tata ruang desa tradisional Bali yang terancam oleh
modernitas, pada partisipasi masyarakat dalam konservasi, pada akulturasi dan
kepercayaan orang Bali pada penataan ruang. Sebaliknya, kehidupan sehari-hari
orang Bali akan menjadi lebih heterogen karena migrasi dan pariwisata. Populasi
yang berasal dari wilayah lain dengan lainnya budaya, non-Hindu, membutuhkan
ruang untuk menegaskan identitas mereka sebagai warga negara Indonesia.
Sehingga semua warga memiliki tempat mereka di kota, refleksi pada
keanekaragaman budaya harus dilakukan bersamaan dengan refleksi pada
perencanaan tata ruang.

365
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

Konsepsi Pempatan Agung yang dipelajari menyediakan kemampuan untuk


memperhitungkan realitas ini. Melampaui komposisi spasial puri (pusat
kekuasaan), yang Wantilan / Bale Banjar (pusat sosial), alun-alun (ruang publik),
pura (pusat keagamaan) dan pasar desa (pusat ekonomi), ada nilai-nilai budaya.
Pempatan Agung adalah ruang simbolik yang membawa arti kosmologis, sosial
dan tata ruang. Dalam unit desa adat, dia memiliki spirit magis-religius,
kolektivitas dan sentralitas. Pusat-pusat Pempatan Agung adalah pusat kuasa
dewata dan buthakala yang dilambangkan dengan akumulasi kekuatan magis
yang dapat membawa kesejahteraan bagi rakyat. Mereka menghasilkan spirit
masyarakat untuk disemua strata sosial, pembagian generasi, jenis kelamin,
pekerjaan, suku, agama, budaya. Mereka menetralisir semua kekuatan dewata
dan buthakala di titik mikrokosmos melalui upacara ritual. Untuk semua dimensi
ini, Pempatan Agung membentuk karakter spasial kota Bali di mana, meskipun
perubahan dalam kekuasaan dan teknologi, mereka mengabadikan penyatuan
semua kepentingan penduduk.

Pempatan Agung Bali sebagai komposisi ruang kota memenuhi definisi kota
modern. Fungsinya pusat kekuasaan, ekonomi, agama dan jatuh dalam
masyarakat kota modern. Tetapi jika kita meneliti gaya hidup karena didasarkan
pada sistem sosial budaya lokal yang merupakan budaya agraris, mereka memiliki
kehidupan, perilaku, sikap, cara hidup, kegiatan sehari-hari yang identik antara
desa Bali dan desa perkotaan.

Sebagai pembentuk spasial, Pempatan Agung adalah daerah khusus yang


berkembang dari nilai-nilai budaya yang ditransmisikan oleh keputusan
kekuasaan politik dan berubah dari waktu ke waktu dalam logika geometris yang
sama. Mereka menyatukan semua penduduk dengan nilai-nilai budaya mereka.
Dalam dunia sekarang ini, mereka juga memenuhi sistem keseluruhan dari kota
administrasi dan sistem lokal adat, meskipun beberapa kesulitan sosial. Melalui
komposisi ruang mereka, mereka juga mewujudkan spirit yang tetap dalam

366
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

perilaku individu, emosi umum dan pengetahuan. Dalam penampilan fisik


mereka, untuk kegiatan individu dan simbol yang terkandung di dalamnya, yang
Pempatan Agung cukup signifikan untuk diakui sebagai dasar identitas kota saat
ini Bali.

Di sisi lain, perubahan tata ruang Pempatan Agung terkait dengan faktor eksternal
dan internal (politik dan ekonomi, termasuk pariwisata). Pempatan Agung
perlahan berevolusi karena tantangan dan kebutuhan untuk beradaptasi dengan
perubahan organisasi kerja, pendidikan dan teknologi. Terlepas dari Pempatan
Agung perkotaan di mana, setelah kolonisasi, perubahan terjadi sangat cepat
namun tetap menjaga nilai-nilai masyarakat. Pempatan Agung berkembang
sesuai dengan dinamika horisontal yang disebabkan oleh kekuatan eksternal yang
mengakibatkan imitasi, yang asimilasi budaya dan akulturasi.

Peran aktor menentukan resistensi dan perubahan. Semua masyarakat Bali,


dalam bentuk desa adat merupakan faktor resistensi terhadap pengaruh budaya
lain (atau modernitas) dalam interaksi sosial. Meningkatkan kondisi ekonomi
karena pariwisata memberikan kemungkinan untuk meningkatkan fasilitas desa
adat Bali dan kehidupan budaya. Fungsi administrasi sebagai aktor luar
mempengaruhi interaksi sosial antara budaya dan akulturasi. Dalam proses
perubahan morfologi Pempatan Agung, perlawanan dari desa adat sangat kuat di
depan nilai-nilai dan kekuatan lainnya; mereka condong dengan mengubah
bentuk modern dan perilaku sociobudaya di ruang ini.

Namun, perpaduan tradisi dan modernitas dalam perencanaan tata ruang Bali
melawan konsepsi kosmologi. Dalam semua kasus yang diteliti, tren ini terjadi di
Pempatan Agung perkotaan. Kerangka kosmologi desa adat dikaburkan dalam
perluasan wilayah kota Bali. Pusat-pusat kekuatan magis menunjukkan
kemunduran mandala mereka karena pengembangan pusat-pusat ekonomi dan
kekuasaan, bercampur di pusat Pempatan Agung. Kerangka kosmologis
Pempatan Agung sangat terancam. Oleh karena itu ia membutuhkan alat untuk
367
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

melindungi keberadaannya dalam budaya Bali. Perencana dan pengembang yang


bekerja pada perancangan kota harus memperdalam lebih rinci di bagian ini.

Proyek perancangan kota menghidupkan ruang kota sebagai alat konservasi dan
perantara antara modernitas dan tradisi, antara perubahan dan kontinuitas. Dari
Pempatan Agung konsepsi tata ruang, proyek perancangan kota akan
mengembangkan komposisi pusat kota Bali memprioritaskan ruang antara sakral
dan profan, dan juga mengarahkan mereka sesuai dengan aturan tradisional.
Tempat modernitas terletak pada perbedaan fungsi sedangkan perbedaan antara
pria dan wanita dalam rangka tata ruang tradisional Bali tidak ada lagi.

Alun-alun dan pusat kebudayaan seperti Wantilan, Bale Banjar dan pasar yang
merupakan fasilitas non-sakral dalam komposisi Pempatan Agung, potensial
untuk dikembangkan untuk mengakomodasi modernitas dan keberagaman
budaya, sedangkan pura, puri, pohon beringin, merupakan titik fokus dari
Pempatan Agung, orientasi dan elemen batas suci adalah wajib untuk dijaga dan
dilindungi secar ketat. Konsepsi Pempatan Agung memberikan kemungkinan
untuk mengakomodasi proyek perancangan kota bukan tradisi dan modernitas,
perubahan dan kesinambungan melalui adaptasi dari aspek di atas dan
memfasilitasi koneksi budaya atau pembangunan dengan pendekatan budaya.

4.4. Prospektif

A. Pendekatan budaya untuk proyek perkotaan

Budaya sebagai sumber perencanaan belum banyak digunakan dalam proyek


perkotaan. Hal ini dianggap sebagai dimensi manusia, yang digunakan untuk
mengatur ruang dan bangunan. Pada kenyataannya, pendekatan budaya telah
digunakan dalam waktu yang lama dalam pengembangan kota tradisional.
Penelitian ini juga menemukan peran nilai-nilai budaya dalam pembentukan kota
tradisional baik di dunia timur atau di Barat. Mereka mengontrol bentuk fisik,

368
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

memprioritaskan dan membedakan ruang. Nilai-nilai budaya adalah kunci untuk


pengembangan kota masa depan di mana identitas lokal dianggap suatu
keharusan.

Penerapan pendekatan budaya dalam proyek perkotaan harus dipelajari secara


mendalam dengan faktor-faktor lain pembangunan, alam, teknologi, ekonomi,
politik, dll Studi multidisiplin sangat penting untuk menentukan formula yang
ideal untuk kota dari nilai-nilai budaya. Budaya sebagai spirit penduduk kota
membawa kualitas hidup. Kondisi fisik kota membawa kesehatan yang lebih baik
melalui manajemen lalu lintas, kebersihan, dll. Pendekatan budaya dalam proyek
perkotaan harus seimbang antara pendekatan fisik-ekonomi-politik dan
pendekatan sosial budaya. Ini harus memperlihatkan kemungkinan tradisi dan
modernitas, antara konservasi dan penciptaan, antara perubahan dan
kesinambungan dalam sejarah kota.

Kombinasi pendekatan ini dalam proyek perancangan kota, sumber dari banyak
transformasi ruang publik, membuat cermin kota dari kehidupan sehari-hari
penduduk, sejarah mereka dan identitas budaya mereka. Semua nilai-nilai ini
diubah oleh dinamika kehidupan sehari-hari di ruang publik: jalan-jalan,
promenade, taman dan kotak, dikelilingi oleh unsur-unsur lain dari proyek
perkotaan seperti dinding ruang terbuka. Untuk pendekatan budaya, proyek
perancangan kota yang menengahi antara arsitektur dan perencanaan, akan
membangun kota sebagai benang merah budaya lokal, tempat untuk manusia
dengan identitas mereka sendiri.

B. Pempatan Agung: Heritage Masa Depan

Hal ini dimungkinkan untuk mengembangkan konsepsi Pempatan Agung Bali


untuk mengatur ruang kota. Unsur-unsur penting dari pusat kekuasaan, Alun-
alun merupakan pusat budaya dan ekonomi yang membentuk pusat seluruh desa

369
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

adat untuk mengeksploitasi potensi yang memperkuat spirit dan identitas kota
Bali masa depan .

Dengan penelitian menyeluruh dari unsur-unsur budaya dan morfologi yang


membentuk Pempatan Agung, proyek perkotaan dapat menggunakan konsepsi
ini untuk mengembangkan kota Bali di masa depan, baik untuk membangun kota-
kota baru, untuk melestarikan kota kuno. Kesulitan penelitian ini untuk
mengumpulkan data mengenai cerita morfologi rinci, daerah yang tepat dari desa
adat, komposisi demografis dari anggota desa adat dan anggota administrasi,
dapat diselesaikan dalam penelitian masa depan. Kemungkinan pengembangan
model ekonomi, politik, sosial, budaya, adat untuk menjaga desa dalam arti
morfologi tradisional didukung oleh kehidupan sehari-hari modern, merupakan
daerah kunci untuk memperkuat untuk menyelesaikan usulan morfologi ini.

Konsepsi Pempatan Agung sebagai salah satu nilai-nilai budaya tradisional telah
melewati politik, ekonomi, teknologi. Hal ini memainkan peran utama dalam
kehidupan sehari-hari di Bali keseimbangan antara kehidupan material dan
kehidupan spiritual. Penelitian ini menunjukkan tren ini. Oleh karena itu perlu
untuk mempertahankan konsepsi ini sebagai warisan budaya dalam penerapan
proyek kota Bali perkotaan untuk pekerjaan di masa depan. Berkat konservasi
morfologi dan arsitektur, nilai-nilai budaya yang membawa spirit kota akan
dipertahankan sebagai warisan budaya Bali dan memperkaya wajah kota-kota
terancam oleh modernitas.

Perkembangan konsepsi Pempatan Agung dalam proyek perkotaan masa depan


harus memperhitungkan partisipasi pemain kunci seperti anggota desa adat
Hindu dan non-Hindu, kebijakan pemerintah administrasi, para ahli di bidang
ekonomi, perencanaan, urbanisme, perencanaan, sosiologi, geografi, teknologi,
dan terutama para pemimpin agama (undagi yang), kepala tradisional dan dewan
dari Hindu Indonesia (Hindu Dharma Indonesia Parisada). Dimasukkannya semua

370
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

ide-ide penting akan membantu untuk membuat adaptasi dan konservasi dalam
suatu komposisi diterima semua.

Spasial, proyek perkotaan juga harus memenuhi kutub ekstrim: tradisional dan
modern, suci dan profan, ekonomi dan mobil dan pejalan kaki sosial budaya,
administrasi dan adat. Melalui manajemen spasial proyek perkotaan, konsepsi
Pempatan Agung memiliki kemungkinan pemberian polaritas ini. Penekanan akan
ditempatkan pada konservasi dalam kaitannya dengan tradisi, pejalan kaki sosial
budaya, sakral, adat dan, dan adaptasi untuk memberikan modernitas, sekuler,
ekonomi, administrasi dan mobil . Penggunaan teknologi dapat membantu
membawa kutub ini dan menetralisir kontradiksi. Oleh karena itu kita harus
mencari strategi kompromi, cara konsiliasi untuk menyelaraskan polaritas dan
menciptakan ruang untuk keragaman budaya.

C. Untuk pendalaman status ruang publik di dunia Timur tradisional.

Umumnya, ruang publik mengacu fitur seperti ruang komunikasi publik atau
kegiatan rekreasi, mendukung diri mereka dalam kegiatan lain di situs yang sama.
Ada dua unsur utama, jalan dan alun-alun (Rob Krier, 1984; Cliff Moughtin 1992).
Secara khusus, area ruang publik adalah besar dengan bangunan di sekitar yang
dianggap dinding, besar dan kaku. Dalam aplikasi ruang modern, ruang publik
tercermin dalam "plaza / piazza" Italia atau "persegi" Inggris dan Plaza Perancis,
dimana teori ruang publik didefinisikan secara fisik.

Dalam diskursus geografi dan perencana kota, ruang publik memiliki posisi yang
menentukan. Dalam kehidupan sehari-hari "Eropa", kita bisa melihat bagaimana
ruang publik sangat penting; perayaan, resmi atau upacara militer yang terjadi di
ruang publik. Secara umum, budaya Eropa yang dapat dibaca dalam kehidupan
sehari-hari berhubungan erat dengan ruang dan bangunan umum; itu adalah
budaya jalan dan ruang publik. Ruang publik Eropa tidak ada secara kebetulan,
mereka direncanakan untuk mengakomodasi kegiatan sehari-hari manusia atau

371
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

"membuat ruang untuk tindakan" (Heidegger, 1985). Perayaan, rekreasi,


olahraga, kehidupan sosial dan individu, bahkan kehadiran pecinta diterima di
ruang ini. Singkatnya, ruang publik adalah tempat visibilitas kehidupan sehari-hari
orang Eropa.

Pentingnya ruang publik dalam kehidupan Eropa terkait dengan kondisi alam dan
habitat. Empat musim mempromosikan habitat terkonsentrasi, rumah dekat satu
sama lain untuk mempertahankan panas. Sistem pertahanan, benteng, biaya
tanah juga didefinisikan pengembangan habitat dan meningkatkan densitas.
Akibatnya, jalan-jalan sangat sempit dan tidak cukup luas bagi warga untuk
bertemu untuk menampung kegiatan rekreasi dan budaya. Penciptaan ruang
publik di halaman depan gereja dan di sudut-sudut lingkungan memenuhi
kebutuhan manusia. Kami menemukan fenomena ini di kota-kota Romawi, kota-
kota abad pertengahan dan orang-orang dari Renaissance. Meskipun kota telah
diperbesar dan jalan-jalan telah melebar di kota-kota modern, ruang publik terus
memainkan peran penting dalam identitas budaya kota-kota Eropa.

Dalam tradisi Timur (Jepang, India, Cina, Korea dan negara-negara Asia Tenggara)
fenomena tidak ada. Penciptaan ruang selalu menjawab nilai kosmologis. Ruang
adalah imitasi dari makrokosmos. Setiap kota memiliki pusat yang terkait dengan
asal-usulnya, dunia luar. Model magis-simbolis ini dikalikan di setiap hunian.
Ruang terbuka (untuk membedakannya dari ruang publik) direproduksi untuk
melambangkan pusat dunia atau lantai dari hirarki ruang suci di rumah
(Yogyakarta, Solo, Kota Terlarang Beijing, kota Bali, Angkor). Menghubungkan
pusat mikrokosmos (kota) dan makrokosmos (dunia luar, sering dilambangkan
dengan gunung suci). Di dalam, orang menemukan bahwa kegiatan sosial-budaya
dan agama. Kita tidak bisa melakukan apa-apa di sana. Ini bukan ruang untuk
kehidupan pribadi.

Tapi tidak seperti kota-kota Eropa, rumah tradisional oriental (Jepang, Jawa, Bali)
terbuka. Sulit untuk menemukan ruang pribadi karena konsepsi yang memimpin
372
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

konstruksi adalah sama untuk kota. Tetangga bisa bebas masuk rumah pribadi,
terutama di ruang keluarga yang terbuka (pusat simbol dunia). Pintu rumah
adalah simbol dari batas antara dunia akhirat dan bumi yang menghubungkan
pusat mikrokosmos untuk makrokosmos.

Istilah "pribadi" dan "publik" seringkali sangat membingungkan di dunia Timur.


Meskipun penciptaan ruang publik mengatakan "Eropa" atau "modern" (bukan)
berbanding terbalik di kota-kota timur saat ini, perilaku penduduk selalu berbeda.
Nilai-nilai lokal yang ditemukan dalam bentuk dibangun. Proyek perkotaan harus
memperkenalkan budaya lokal selama penciptaan ruang "publik", bahkan di kota
kontemporer.

« Si ’était à refaire, je o e erais par la ulture »


"Kalau ada yang harus dilakukan kembali, saya akan mulai melalui budaya"
(Jean Monnet)

373
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

DAFTAR PUSTAKA

AGUNG, Anak Agung Ketut. Kupu-kupu Kuning yang terbang di Selat Lombok.
(Le papillon jaune qui a volé sur le détroit Lombok). Denpasar : Upada
sastra, 1996
AGUNG, Anak Agung Gede Putra. Peralihan Sistem Birokrasi Kerajaan
Karangasem 1890-1938. (Le changement du système bureaucratique
du royaume Karangasem en 1890-1938). Thèse : Université de Gajah
Mada : Jogyakarta, 1996
AGUNG, A.A.A.Putra. Sejarah Sosial Kota Singaraja. L’histoire so iale de la ville
Singaraja). Jakarta : Depdikbud, 1984
ALEXANDER, Christopher … [et al.]. A New Theory of Urban Design, Oxford :
Oxford University Press, 1987. 251 p.
ALMEIDA-KLEIN, Susanne, La dimension culturelle du développement : vers une
approche pratique, UNESCO, Manutention, 1994, 241p
AGNEW, John A. ; MERCER, John ; SOPHER, David E. The city in cultural context,
Boston : Allen & Unwin, 1984. 299 p.
AUBARBIER, Jean-Luc. Sarlat. Rennes : Éditions Ouest-France, 1998. 32 p.
AUGUSTIN , Jean-Pierre. Ville et culture, un nouveau rapport au monde, in Lieux
culturels et contextes de ville, AUGUSTIN, Jean-Pierre et LATOUCHE
dir. , Bordeau , Maison des s ien es de l’ho e d’A uitaine, , p.
9-24.
AUGUSTIN , Jean-Pierre ; BERDOULAY, Vincent. Culture vivantes : variations et
créativités culturelles en région. Sud-Ouest Européen, No.8, 2000, p. 1-
4.
ALTMAN, Irwin ; Rapoport Amos et WHOWILL, Joachim F. (dir). Human behavior
and environment : advances in theory and research. vol.4 :
Environment and culture. New York : Plenum Press, 1980. 351 p.
ARGAN, Giulio Carlo. Projet et destin : Arts, architecture, urbanisme. [Saint-
Maurice] : Les Éd. de la Passion, 1993. 280 p.

ASHIHARA, Yoshinobu. Exterior design in architecture. Traduction en


indonésienne par Gunadhi. Surabaya : Penerbit ITS, 1974, 144 p.
AUROUX, Sylvain, Encyclopédie philosophique universelle : les notions
philosophiques, Dictionnaire I. Presses Universitaires de France, Paris,
1990, p.848-854
BACON, Edmund N. Design of cities. New York : Vicking press, 1974. 336 p.
BARRE , François. Fabriquer du lien, fabriquer des lieux. Projet urbain n°. 13, août
1998, p. 4-5
BARNETT, Jonathan. An Introduction to Urban Design, New York : Harper & Row,
1982. 260 p.
BARTHOLY, Marie-Claude et ACOT, Pascal. Philosophie, épistémologie, précis de
vocabulaire, Paris : Éditions Magnard, 1975. 160 p.
374
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

BASSET, Catherine et PICARD, Mi hel. Bali, l’ordre os i ue et la uotidiennet .


Autrement, Série Monde H.S.,1993, no.66, 243 p.
BASTIÉ, Jean et DÉZERT, Bernard. La ville, Paris : Masson, 1991. 415 p.
BEAUJEU-GARNIER. Jacqueline. Traité de géographie urbaine. Paris :
Flammarion, 1977. 493 p.
BEAUJEU-GARNIER. Jacqueline. Géographie urbaine. Paris : Armand Colin, 1980,
360 p.
BENEVOLO, Leonardo. Histoire de la ville. Roquevaire : Parenthèses, 1983. 509 p.
BERDOULAY, Vincent. Place, meaning and discourse in French language
geography. in The Power of place : bringing together and sociological
imagination sous la dir. de John A. Agnew et James S. Duncan. Boston :
Unwin Hyman, 1989. p.124-139
BERDOULAY, Vincent. Les valeurs géographiques. in Encyclopédie de Géographie
sous la dir. Antoine BAILLY, Robert FERRAS et Denise PUMAIN. Paris :
Economica, 1992. p.385-402
BERDOULAY, Vincent. Le lieu et l’espa e pu li . Cahiers de Géographie du
Québec, volume 41, n° 114, 1997, p 301-309
BERDOULAY, Vincent. Géographie culturelle et liberté. in Géographie et liberté :
mélanges en hommage à Paul Claval. Paris : l’ Har attan, . p.
567-575
BERDOULAY, Vincent. et ENTRIKIN, J. Nicholas. Lieu et sujet : perspectives
théoriques. L’Espa e géog aphi ue, n°. 2, 1998, p.111-121

BERDOULAY, Vincent et MORALES, Monserrat. Espace public et culture :


stratégies barcelonaises. Géographie et culture, n° 29, 1999, p. 79-96
BERDOULAY, Vincent et SOUBEYRAN, Olivier. Le milieu, entre description et récit.
De uel ues diffi ult s d’une appro he de la o ple it . in Milieu,
colonisation et développement durable : perspectives géographiques
sur l’a é age e t sous la dir. de Vincent BERDOULAY et Olivier
SOUBEYRAN. Paris : l’Har attan, . p. – 37
BERDOULAY, Vincent et BIELZA DE ORY, Vicente. Pour une relecture de
l’ur anis e di val pro essus transp r n ens d’innovation et de
diffusion. Sud-Ouest Européen, No.8, 2000, p. 75-81
BERDOULAY, Vincent ; CASTRO, Ina et GOME“, Paulo C. Da Costa. L’espa e pu li
entre mythe, imaginaire et culture. Cahiers de Géographie du Québec,
Vol. 45, n° 126, 2001, p. 413-428
BERQUE, Augustin. Viv e l’espa e au Japon. Paris : Presses universitaires de
France, 1982.
BERQUE, Augustin. Médiance de milieux en paysage. Montpellier :
Géographiques Reclus, 1990. 163 p.
BONELLO, Yves-Henri. La ville. Paris : Presses universitaires de France, 1996. 125
p.
BOURDIEU, Pierre. Outline of a theory of practice. New York : Cambridge
University Press, 1977. 248 p.
375
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

BRAND, Denis et DUROUSSET, Maurice. Dictionnaire thématique histoire


géographie. Paris : Ed. Sirey,1989. 463 p.
BRODOVITCH, Michel. À quoi sert le contrôle architectural ?. Projet Urbain n° 13,
août 1998, p.12-13
BRUNET, Roger ; FERRAS, Robert et THERY, Hervé. Les Mots de la géographie :
dictionnaire critique. Montpellier-Paris : GIP Reclus et la
Documentation française, 1992. 470 p.
BRUNO, Andrea. Esprit du lieu et authenticité. Projet urbain n° 13, août 1998, p.
6-11
BUDIHARJO, Eko. Architectural conservation in Bali. Jogyakarta : Gajahmada
University Press, 1986, 113 p.
CAPANA, Antonio ; CAPANA CAPELLA, Margarita Campana et FORMELLS CASAS,
Francesc. El mejor de Barcelona. Barcelona : A. Campaña, 1994. 128 p.
CAUVIN, Colette. Proposition pour une approche de la cognition spatiale intra-
urbaine, Cybergeo, No.72, 2/01/99,
http://www.cybergeo.presse.fr/geocult/ texte/COGNIMA.HTM
CATANESE, Anthony J ; SNYDER, James C. Introduction to Urban Planning. New
York : McGraw-Hill, 1979. 455 p.
CHAMPIGNEULLE, Bernard. Paris : architectures, sites et jardins. Paris : Editions
du Seuil, 1973. 639 p.
CHASTEl André. Le patrimoine. in Encyclopedia Universalis, 1990, p.220
CHENEIVIERE, Alain. Bali : une île en fête. Paris, Denoël,1990. 120 p.
CHILDE, V. Gordon. The urban revolution. Town Planning Review, Vol. 21, 1950,
p 3-17
CHOAY, Françoise. L’allégo ie du pat i oi e. Paris : Seuil, 1992, 119 p.
CHOAY, Françoise ; BANHAM, Reyner ; Baird Georges… [et al.]. Le sens de la ville.
Paris : Éditions du Seuil, 1972. 182 p.
CLAVAL, Paul. La logique des villes : essai d’u a ologie. Paris : Litec, 1981. 633
p.
CLAVAL, Paul. La géographie culturelle. Paris : Nathan, 1995. 384 p.
COUTEAU, JEAN. Regard sur Denpasar, in Archipel 36, Paris, 1988, p 42-58
DAMANHURI. Sejarah kelahiran Kabupaten Dati II Jembrana. L’histoire de la
naissance du département de Buleleng). 1993 [non-publié]
DANISWORO, Mohammad. The need for appropriate development Guidelines in
urban heritage conservation. In Day Workshop on innovative planning
technology for cultural heritage : Yogyakarta, 1994. [non publié]
DEGRÉMONT, Isabelle. Patrimoine et aménagement : étude géog aphi ue d’u
outil d’a é age e t, Thèse de doctorat de Géographie-
aménagement sous la dir. de Vincent BERDOULAY, Pau : Université de
Pau et des Pa s de l’Adour, . p.
DELFANTE, Charles. Grande histoire de la ville : de la Mésopotamie aux Etats-
Unis, Paris : Armand Colin, 1997. 461 p.
DENNIS, Michael. Court and Garden, From the French Hotel to the City of Modern
Architecture. Cambridge : MIT Press, 1986. 285 p.
376
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

DEVILLERS, Christian. Le projet urbain face à la logique sectorielle. Projet Urbain,


n° 5, Septembre 1995, p. 4
DEVILLER“, Christian. Rendre l’espa e à l’usage. Projet Urbain, n° 4, Mai1995,
p.4
DIDIER MOLONGUET, Lise. L’a te ultu el. Paris : l’Har attan, . p.
DORIER-APPRILL Elisabeth (dir.). Vocabulaire de la ville : notions et références,
Paris : Édition du Temps, 2001. 191 p.
DUPUIS, Xavier. Culture et développement : de la e o aissa e à l’évolutio ,
Paris : Unesco, 1991. 174 p.
DUPUY, Gabriel. L’u a is e des éseau : théories et méthodes. Paris : Armand
Colin, 1991. 198 p.
ELIADE, Mircea. Le the de l’éte el etou : achétypes et répétitions. Paris :
Editions Gallimard, 1949. 255 p.
ELIADE, Mircea. Images et symboles : essais sur le symbolisme magico-religieux.
Paris : Gallimard, 1952. 239 p.
ELIADE, Mircea. Le sacré et le profane. Paris : Gallimard, 1965. 192 p.
EPRON, Jean-Pierre (dir.). Architecture : une anthologie. Tome 1 : la culture
architecturale. Liège : Pierre Mardaga Editeur, 1992. 383 p.
EVERSON, Norma. Paris : a century of change 1878-1978. New Haven : Yale
University Press. 1979. 382 p.
FERRER, Amador. Barcelone : l’int gration par l’espa e pu li . Projet urbain,n°11,
novembre 1997, p.10-11
FERRER, Amador. Barcelone : à chacun son remède. Projet urbain, n°11,
novembre 1997, p.12-13
FRANCE. MINISTÈRE DE L’ÉQUIPEMENT, DE“ TRANSPORT ET DU LOGEMENT. La
ville au is ue de l’é ologie ; uestio s à l’e vi o e e t u ai .
Programme « Écologie urbain » Bilan d’un pre ier appel d’offres et
état des lieux du programme, Juin 1997 (Rapport non publié]
GARNHAM, Harry Launce. Maintaining the spirit of place : a process for the
preservation of town character. Mesa, Ariz. : PDA Publishers, 1985,
158 p.
GEERTZ, Clifford C. Negara : the theatre state in nineteenth century Bali.
Princeton : University Press, 1980. 285 p.
GEERTZ, Clifford C. Bali : I te p étatio d’u e ultu e. Paris : Gallimard, 1983.
255 p.
GELEBET, I Nyoman. Arsitektur Tradisional Daerah Bali. L’ar hite ture
traditionnel balinais). Denpasar : Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Proyek Inventarisasi dan Dokomentasi Kebudayaan
Daerah, 1985. 476 p.
GERIYA, Wayan. Pariwisata dan dinamika kebudayaan lokal, nasional, global (Le
tourisme et la dynamique culturelle locale, nationale, globale).
Denpasar : Upada Sastra, 1995. 135 p.

377
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

GESICK, Lorraine (dir.). Centers, symbols and hierarchies : essay on the classical
state of Southeast Asia. New Haven, Conn. : Yale University Southeast
Asia Studies, 1983. 241 p.
GINARSA, Ketut. 30 Maret Lahirnya Kota Singaradja. (Le 30 mars, naissance de
la ville Singaraja). Singaraja : Indra Djaya, 1968
GOI““AUD, Anton . Hauss ann et l’ur anis e parisien. in Architecture : une
anthologie. Tome 1 : la culture architecturale sous la dir. de Jean-
Pierre Epron. Liège : P. Mardaga, 1992. p. 137-140
GORIS, R. et Dronkers P. L. Bali : Atlas Kebudayaan, Cults and Costums. Jakarta :
Republic of Indonesia, 1955. 208 p.
GREENE, Patrick. Looking at Paris. Paris Hachette Réalités, 1973. 155 p.
GUILLAUME, Marc. La Politique du patrimoine. Paris : Edition Galilée, 1980. 196
p.
HALL, Edward Twitchell. La dimension cachée. Paris : Editions du Seuil, 1971, 256
p.
HARDOY, Jorge Enrique. Pre-Columbian cities. New York : Walker, 1973. 602 p.
HAUMONT, Nicole ; JALOWIECKI, Bohdan ; MUNRO, Moïra et SZIRMAI, Viktoria.
Villes nouvelles et villes traditionnelles : une comparaison
internationale. Paris : L’Har attan, . 3 p.
HEDMAN, Richard et JASZEWSKI, Andrew. Fundamentals of urban design.
Washington, D.C. : Planners Press, American Planning Association,
1984. 146 p.
HEIDEGGER, Martin. L’Et e et le te ps. Paris : J. Lechaux, 1985. 323 p.
HEINE-GELDERN, Robert. Conceptions of state and kingship in Southeast Asia.
Ithaca, N.Y. : Dept. of Asian Sudies, Cornell University, 1956. 14 p.
INSEE. Inventaire Communal 1998. [CD : Communoscopes Cartovisions]
JACOBS, Allan. B. Great Streets. Cambridge, Mass. : MIT Press,1993. 331 p.
JELLICOE, Geoffrey and JELLICOE, Susan. The lanscape of man : shaping the
environment from prehistry to the present day. 3e éd. New York :
Thames and Hudson, 1995. 408 p.
JEUDI, Henry-Pierre. Le patrimoine en folie. Paris : Maison des Sciences de
l’ho e,
KOENTJARANINGRAT, R. M. Kebudayaan, mentalitas dan pembangunan ( la
culture, la mentalité et le développement ). Jakarta : Gramedia, 1981.
151 p.
LANCRET, Nathalie. La maison balinaise en secteur urbain : étude ethno-
architecturale. Paris : Association Archipel, 1997. 303 p.
LARSEN, Svend Erik and PETERSEN, Annelise Ballegaard. La rue – espace ouvert.
Odense : Odense University Press, 1997, 219 p. [voir]
LAVEDAN, Pierre. Géographie des villes. Paris : Gallimard, 1937. 207 p.
LENIAUD, Jean-Michel. L’utopie f a çaise : essai sur le patrimoine. Paris : Éditions
Mengès, 1992. 181p.
LÉVY, Jacques et LUSSAULT, Michel (dir.). Logiques de L’espa e, Esp it des lieux :
géographies à Cerisy. Paris : Édition Belin, 2000. 351 p.
378
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

LÉVY, Ja ues. La esure de l’ur anit . Urbanisme n°296, sept – oct. 1997, p.58-
61
LYNCH, Kevin. The Image of the City, 1960
MAC RAE, Graeme S. Economy, ritual and history in a balinese tourist town.
Thèse : Auckland University,1997
MAKI, Fumihiko. Investigation in collective form. Saint-Louis : Washington
University,1964. 87 p.
MANGIN, David et PANERAI, Philippe. Projet Urbain. Marseille : Éd.
Parenthèses,1999. 185 p.
MANGUNWIJAYA, Johanes. Wastu Citra. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama,
1985, 352 p.
MARTOPO, S. Bali : balancing environment, economy & culture. [Waterloo, Ont] :
Department of Geography, University of Waterloo, 1995. 644 p.
MASBOUNGI, Arielle. Quelle odernit pour l’espa e pu li ? . Projet urbain n°
4, mai 1995, p.1
MAUBOURGUET, Jean. Sarlat et ses châteaux. Périgueux : Pierre Fanlac,
1967.107 p.
MERLIN, Pierre. L’u a is e. Paris : Presses universitaires de France, 1991. 127
p.
MERLIN, Pierre. et CHOAY, Françoise (dir.). Di tio ai e de l’u a is e et de
l’a é age e t. 3° éd. revue et corrigée. Paris : Presses universitaires
de France, 2000, 902 p.
MITAL, Ranjana. A Tradition for the future. in La tradition et la modernité :
sé i ai e d’a hite ture. Jakarta : Université Mercu Buana, 1996. p.
415-436
MONNERAYE, Jean.Visage de l’Île-de-France. Paris : Horizons de
France,1946.p11-74.
MONNET, Jérôme. La symbolique des lieux : pour une géographie des relations
entre espace, pouvoir et identité.
http://www.cybergeo.presse.fr/geoculte/ texte/monet.htm, 1998. 12
p.
MOUDON, Anne Vernez (dir.). Public streets for public use. New York : Van
Norstrand Reinhold, 1987. 351 p.
MOUGHTIN, James Clifford. Urban design : street and square. Oxford :
Butterworth Architecture, 1992. 211 p.
MUIJZENBERG, O. Van den, and WOLTERS W. Conceptualizing development. The
historical-sociological tradition in Dutch non-western sociology.
Amsterdam : Free university Press, 1988
NGURAH, AA Gde. Raja Bangli menjadi raja Buleleng. (Le roi de Bangli est devenu
le roi Buleleng). Bangli, 1997 [non publié]
NORBERG-SCHULZ, Christian. Genius Loci : paysage, ambiance, architecture.
Bruxelles : P. MARDAGA, 1981. 213 p.
NORBERG-SCHULZ, Christian. L’a t du lieu : architecture et paysage,
permanence et mutations. Paris : le Moniteur, 1997. 312 p.
379
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

NORDHOLT, Henk Schulte. Bali : colonial conceptions and political change, 1700-
1940 : from shifting hierarchies to « fixed » order. Rotterdam : Erasmus
University, 1986. 62 p.
NORDHOLT, Henk Schulte. State, village and ritual in Bali : a historical
perspective. Amsterdam : University Press, 1991. 50 p.
NORDHOLT, Henk Schulte. The spell of power : a history of balinaise politics,
1650-1940. Leiden : KITLV Press, 1996. 388 p.
PANERAI, Philippe ; DEPAULE, Jean-Charles et DEMORGON, Marcelle. Analyse
urbaine. Marseille : Ed. Parenthèses, 1999. 189 p.
PARIMIN, Ardi Pardima. Fundamental study on spatial formation of island
village : environmental hirarchy of sacred-profane concept in Bali.
Thèse de doctorat : Université Osaka, 1986
PATURUSI, Syamsul Alam. Pengaruh pariwisata pada tata ruang tradisional Bali.
Les influen es de touris e de asse sur l’espa e traditionnel alinais .
Thèse aménagement du territoire de PWK-ITB : Institut Teknologi
Bandung, 1988
PATURUSI, Syamsul Alam. Le problème des impacts culturels du tourisme à Bali
(Indonésie) : vers une alternative planificatrice, Thèse de doctorat en
Géographie-aménagement, sous la dir. d’Olivier “ou e ran, Pau :
Universit de Pau et des Pa s de L’Adour, . p.
PREVELAKIS, Georges. Les Grandes métropoles comme carrefours des diasporas.
http://www.cybergeo.presse.fr/culture/prevelak.htm, 1999. 8 p.
PURWA, Treh Pancoran. (Le dynastie Pancoran). Negara, 1976 [non-publié]
PUTRA, I Gusti Made. Kekuasaan dan transformasinya dalam arsitektur : studi
budaya kasus puri Tabanan. (Le pouvoir et la transformation
architecturale : une élaboration culturelle le cas du palais Tabanan).
Thèse de Lettres : Université Udayana : Denpasar, 1998. 239 p.
QUANTRILL, Malcolm. The environmental memory : man and architecture in
landscape of ideas. New York : Schocken Books, 1987. 214 p.
RAPOPORT, Amos. House form and culture. Englowood Cliffs, N.J. : Prentice Hall,
1969. 146 p.
RAPOPORT, Amos. Human aspect of urban form : toward a man-environment
approach to urban form and design. Oxford ; New York : Pergamon
Press, 1977. 438 p.
RAPOPORT, Amos. Asal Usul budaya permukiman. (Origin of the human
settlement), dans CATANES, Anthony. J et SNYDER, James C :
Pengantar Perencanaan kota, (Introduction to urban planning),
tradu tion de l’anglais en Indon sien, Pener it Erlangga, Jakarta, ,
p 38-82.
RACINE, Jean-Bernard. La ville entre Dieu et les hommes. Paris : Anthropos ;
Genève : Presses bibliques universitaires, 1993. 354 p.
REICHERT Henri et REMOND Jean-Daniel. Analyse sociale de la ville. Paris :
Masson, 1980. 226 p.

380
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

RIEGL, Alois. Le culte moderne des monuments : essence et genèse. Paris : Ed.
du Seuil, 1984. 122 p.
RIVAI Abu (dir.), Sistem Kesatuan Hidup Setempet Daerah Bali, (Le systéme
d’u ité de la vie lo ale ali aise). Denpasar : PDK (Département
d’Édu ation et de la ulture , 980/1981. 160 p.
ROTENBERG, Robert L. et MCDONOGH, Gary W.(dir.). The cultural meaning of
urban space. Westport, Conn. : Bergin & Garvey, 1993. 226 p.
ROUX, Michel, Géographie et complexité. Les espaces de la nostalgie,
L’Har attan, Paris, , 33 p.
SAEZ, Jean-Pierre (Dir.). Identités, cultures et territoires. Paris : Desclée de
Brouwer, 1995. 267 p.
SALAIN, Putu Rumawan. Norma-norma dan prinsip asta bumi dalam
pencerminan wujud penataan ruang perumahan dan permukiman
Bali. (Les normes et principe asta bumi dans la transformation de
l’a nage ent spatial des ha itations alinaises : séminaire
« Regionalisasi Penyebarluasan Produk », Bali, février, 1996, [non
publié]
SALIYA, Yuswadi. Spatial concept in balinese traditional architecture : its
possibilities for future development. Thése de magister : Université of
Hawai, 1975, 143 p.
SASTRODIWIRYO, Sugianto. Gusti Anglurah Panji Sakti Raja Buleleng (1599-
1680), (Gusti Anglurah Panji Sakti le roi de Buleleng 1599-1680).
Denpasar : Kayumas Agung, 1993
SASTRODIWIRYO, Sugianto. Perang Jagaraga (1846-1849). (La guerre de
Jagaraga 1846-1849). Denpasar : Kayumas Agung,1994
SHASTRI, ND Pandit. Sejarah Bali Dwipa Histoire de l’Île de Bali . Denpasar :
Bhuvana Saraswati, 1963, 103 p.
SHIRVANI, Hamid. The urban design process. New York : Van Nostrand Reinhold,
1985. 214 p.
SHORT, John R. An introduction to urban geography. Londres : Routledge &
Kegan Paul, 1987. 259 p.
SIDEMEN, Ida Bagus (dir.). Sejarah Klungkung : Dari Smarapura sampai Puputan
L’histoire de Klungkung : de Smarapura à Puputan). Klungkung :
Gouvernement du Departement, 1983. 206 p.
SIMPEN AB, Wayan. Babad Kerajaan Buleleng. (La chronique du royaume
Buleleng). Denpasar : Cempaka2, 1989
SOUBEYRAN, Olivier. Comment se fabrique un territoire de la prospective ?. in
La façade atlantique : é e ge e, suppo ts et pe spe tives d’u
te itoi e pou l’a é age e t, Rappo t fi al de e he he, C.N.R.S.
Pau : Universit de Pau et des Pa s de l’Adour ; Paris : DATAR, 1993. 12
p.
SOUBEYRAN, Olivier. Imaginaire, science et discipline. Paris : l’Har attan, .
482 p.

381
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

SOUBEYRAN, Olivier. De la prise en compte du milieu à son évacuation dans la


géographie médicale du début du XXe siècle. in Milieu, colonisation et
développement durable : Perspectives géographiques sur
l’a é age e t, sous la dir. de Vincent Berdoulay et Olivier
Soubeyran. Paris : L’Har attan, . p. – 115
SOUBEYRAN, Olivier. De quelques implications de la « relation homme/milieu ».
in Logi ue de l’espa e, esp it des lieu : géographies à Cerisy, sous la
dir. de Jacques Lévy et Michel Lussault. Paris : Ed. Belin, 2000. p. 253-
268
STEFANON, Laurence ; HENRY-CLAUDE, Michel et SPIERCKEL, Pierre. Cité de
Sarlat guide aide-mémoire. Gavaudun : Éd. Fragile, 1994. 8 p
STIERLIN, Henri. Angkor. Fribourg : Office du Livre, 1970. 192 p.
SUANDRA, I Made. Peraturan Upacara agama Hindu untuk rumah Bali L’ordre
de cérémonie rituelle hindoue pour la maison balinaise). Denpasar :
Upada Sastra, 1996
SUGIHANTARA, I Ketut. Model Penataan Kawasan Pusat Kota di Bali dengan
konsep « Catus Patha » Le od le d’a nage ent de entre ville à
Bali à partir la conception de « Catus Patha »). Thèse de magister
d’ar hite ture : Institut Teknologi Bandung, 1996
SULARTO, Robby. A brief introduction to traditional architecture of Bali, some
basic norms : séminaire de « The AgaKhan Awards for Architecture ».
Bali, 1987, [non publié]
SULISTYAWATI, A. Balinese Traditional Architectural Principles in Hotel
Buildings. Th se d’ar hite ture : Oxford University, 1995
SUMAWA, I Gusti Made. Kerajaan Bangli Tahun 1849. (Le royaume Bangli en
1849). Thèse : Université de Denpasar, 1992
TARNUTZER, Andreas. Kota Adat Denpasar (Bali). (La ville coutumiére de
Denpasar, Bali). Stadtentwicklung, Staatliches Handeln und endogene
Institutionen, Anthropogeographie, Vol. 12, Zürich, 1993. 245 p.
THURIOT, Fabrice, Fonctions culturelles et aménagement du territoire, in Quels
acteurs et quels moyens pour la France de 2005 ?, p 201-227
TOO, Lilian. Applikasi Feng Shui : Pa-Kua et Lo-Shu. L’appli ation du Feng Shui :
Pa-Kua et Lo-Shu). Jakarta : Gramedia, 1995, 169 p.
TURCO, Angelo. Pragmatiques de la territorialité : compétence, science,
philosophie. in Logi ue de l’espa e, esp it des lieu : géographies à
Cerisy, sous la dir. de Jacques Lévy et Michel Lussault. Paris : Ed. Belin,
2000. p. 287-298
TURCO, Angelo. Colonisation et après : légitimité territoriale et développement
durable en Afrique sub-saharienne. in Milieu, colonisation et
développement durable : perspectives géographiques sur
l’a é age e t, sous la dir. de Vincent Berdoulay et Olivier
Soubeyran. Paris : l’Har attan, . p. – 184

382
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

TURCO, Angelo. Sociotopies : institutions géographiques de la subjectivité.


Cahiers de Géographie du Québec, Volume 45, N° 125, septembre
2001, p. 269 – 284
TURCO, Angelo. Mythe et géographie. Cahiers de Géographie du Québec,
Volume 45, N° 126, décembre 2001, p. 369 – 388
UDAYANA, Panji Tisna. Pahlawan Nasional Patih Jelantik : Seorang Ksatri
Buleleng. (Le héros national Patih Jelantik : Un héros de Buleleng).
Jakarta : PT. Pustaka Utama Grafiti, 1996
UNESCO (ED.). La dimension culturelle du développement : vers une approche
pratique. Paris : Ed. UNESCO, 1994. 241 p.
UNITED “TATE“. NATIONAL MAIN “TREET CENTER…[et al.] Ed. . What do people
do downtown ? : How to look at Main Street acvitity. New York : The
preservation Press National Trust for historic preservation, 1981. 106
p.
VOLWAHSEN, Andreas. Inde bouddhique, hindoue et jaïna. Fribourg : Office du
Livre, 1968. 192 p.
WEBB, Michael. The city Square. Londres :Thames and Hudson, 1990. 224 p.
WEBER, Max. La ville. Paris : Aubier-Montaigne, 1982. 218 p.
WHEATLEY, Paul. The pivot of the Four Quarters : a preliminary enquiry into the
origins and character of ancient Chinese city. Edimbourg : Edinburg
University Press,1971. 602 p.
WIDIASTUTI. Identifkasi orientasi tidur orang Bali dalam rumah massal
Identifi ation de l’orientation de dor ir des Balinais dans les aisons
industriel . Bali : Centre de Re her he, Universit d’Udayana, 1989
WIDIASTUTI. Kebijakan pemerintah dalam pembangunan perumahan di
Indonesia (La politique du gouvernement dans la réalisation du projet
de logement en Indonésie). Bali : Centre de Recherche, Université
d’Uda ana, 3
WIDIASTUTI. «Quo Vadis» arsitektur tradisional Bali «Quo Vadis» l’ar hite ture
traditionnelle balinaise), s inaire d’histoire de l’ar hite ture.
Bandung : Institut de Technologie de Bandung, 1996. [non publié]
WIDIASTUTI. Peran Undagi dalam konservasi arsitektur Bali (Le rôle de
l’«Undagi» dans la onservation de l’ar hite ture alinaise , séminaire
d’histoire de l’ar hite ture. Bandung : Institut de Technologie de
Bandung, 1997 [non publié]
WIDIASTUTI. Pempatan Agung sebagai embrio perkembangan kota-kota di Bali
(Le Pempatan Agung, en tant que le point de départ de croissance des
villes balinaises). Bali : Centre de Re her he, Universit d’Uda ana,
1997. [non publié]
WIDIASTUTI. Penataan system penghubung di pusat pariwisata Kuta, Bali.
L’a nage ent du s st e de liaison de centre touristique de Kuta,
Bali). Th se agister d’ar hite ture : Institut de Technologie de
Bandung, 1997

383
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

WIDIASTUTI. Partisipasi masyarakat dalam pembangunan prasarana kota di


Bali, Parti ipation o unautaire dans l’ ta lisse ent
d’ uipe ents urbains à Bali). Bali : Centre de Recherche, Université
d’Uda ana, . [non pu li ]
WIKARMAN, I Nyoman Singgih. Bangli Tempo Dulu, (Bangli autrefois). Denpasar :
Yayasan Wikarman, 1997. [non publié]
WILMOTTE, Jean-Michel. Paris : Une culture urbaine de la voirie. Le Projet urbain,
n° 5, septembre 1995, p 7-8
WIRASONJAYA, Slamet. Grid system. in Environmental design : a study for
Tangerang mega block, 1994 [non publié.]
WIRTH, Louis. Urbanism as way of life. American Journal of Sociology, vol. 44,
1938, p 1-24
WIRYOMARTONO, Bagoes.P. Seni Bangunan dan seni bina kota di Indonesia,
L’art des âti ents et de ville en Indon sie . Jakarta : Gramedia, 1995.
201 p.
WUNENBURGER, Jean-Jacques. Le sacré. Presses universitaires de France, 1981.
127 p.
ZEISEL, John. Inquiry by design : tools for environment-behavoiur research.
Monterey, Calif. : Brooks/Cole Pub. Co., 1981. 250 p.

MAJALAH, KORAN

Asie. Magazine Air France, n° 51 Juillet 2001, p. 58-112


Barcelone. GEO, n° 127, septembre 1989, p : 69-108
Filisofi «Tri Hita Karana» banyak dikebiri. (La philosophie « Tri Hita Karana » est
beaucoup réduite). Bali Post , 28 septembre 2000.
[http://www.balipost.co.id/ ]
Konsep «Tri Hita Karana» perlu ditinjau. (Le concept « Tri Hita Karana » doit être
examiné). Bali Post, 1 août 2000. [http://www.balipost.co.id/.]
Les olle tions de L’Histoire, Paris : la traversée des siècles, no. 9 -Octobre 2000,
114 p.
MESSIER Jean-Marie. Vivre la diversité culturelle. Le Monde, mardi 10 avril 2001,
p.1 &15
Paris : Splendeurs du passé, vertiges du futur. GEO, n° 93, novembre 1986, p.
111-206
Paris 1989-1989. GEO, n° 118, décembre 1988, p. 101-174
Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Bali. Plan d’a nage ent du territoire de
Bali). Bali Post, 11 –31 juillet 1996, p. 3 : Extrait de PERDA No°.4 1996.

384
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

PERATURAN

BIRO HUKUM DAN HUBUNGAN MASYARAKAT,. Undang-Undang Republik


Indonesia Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya,. (
R pu li ue d’Indon sie loi sur les r serves ulturelles 1992 numéro 5).
Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
DEPARTEMENT PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN. Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1993 Tentang Pelaksanaan UU
No.5 Tahun 1992 Tentang benda cagar budaya
GIARSA, Ketut, Darmaning Hasta Kosala-Kosali. (Les traductions en indonésien
des anciennes inscriptions des hasta kosala-kosali). Singaraja, 1967. 66
p. [non publié]
PEMERINTAH DAERAH PROPINSI BALI. Peraturan Daerah Propinsi Tingkat I Bali
Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi
Daerah Tingkat I Bali. Bali, 1996
TONJAYA, I Nyoman Gede Bandesa.K. Lintasan Asta Kosali. Denpasar : Penerbit
& Toko Buku Ria, 1982. 55 p.

385

Anda mungkin juga menyukai