SEPULUH NOVEMBER
SURABAYA
Disusun Oleh
SUDRAJAT
311 420 7804
Dosen
Dr. Ir. Eko Budi Santoso, MSc. Lie. Rer. Reg.
DAFTAR ISI
INVESTASI INFRASTRUKTUR
TERHADAP PENGEMBANGAN EKONOMI WILAYAH
DI KABUPATEN WONOSOBO
BAB I
PENDAHULUAN
tidak mau Indonesia haru mengimpor produk pertanian dari luar untuk memenuhi
kebutuhan pangan di dalam negeri. Hal ini diperparah dengan populasi penduduk yang
semakin meningkat, berbanding lurus dengan kebutuhan pangan masyarakat Indonesia.
Dengan demikian, penurunan produktivitas pertanian dikhawatirkan dapat menimbulkan
kondisi rawan pangan di masa mendatang.
Namun, penurunan produktivitas pertanian tidak hanya semata-mata disebabkan
terdesaknya sektor pertanian akibat konversi lahan dan percepatan urbanisasi. Melainkan,
juga dipicu oleh produktivitas dan pemasaran pertanian yang masih rendah, budaya petani
lokal yang cenderung subsisten, serta kelembagaan dan lingkungan permukiman yang tidak
kondusif.
Berkaca pada kondisi tersebut, diperlukan upaya-upaya pengembangan kawasan
perdesaan yang mencakup segala aspek kehidupan dengan memanfaatkan seluruh potensi
sumber daya yang dimiliki perdesaan. Sebagai sebuah negara yang memiliki berbagai
produk unggulan di setiap daerahnya, pengembangan ekonomi Indonesia hendaknya
berorientasi pada pembangunan agribisnis yang berbasis pertanian, sehingga
kesejahteraaan masyarakat lebih meningkat.
1.3. Tujuan
1.4. Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan gambaran mengenai
potensi dan pengembangan investasi infrastruktur di Kabupaten Wonosobo. Bagi peneliti
sendiri agar memperoleh pengetahuan mengenai situasi dan kondisi pengembangan
investasi daerah di Kabupaten Wonosobo, serta dapat memberikan masukan kepada mereka
yang tertarik untuk meneliti masalah ini lebih lanjut.
BAB II
LANDASAN TEORI
INFRASTRUKTUR
Pada dasarnya, infrastruktur memiliki arti yang berbeda-beda tergantung dari
konteksnya namun demikian, umumnya infrastruktur ini dipahami sebagai suatu produk fisik,
seperti: jalan, jaringan drainase, jaringan air minum dan instalasi listrik yang terkait dengan
konteks infrastruktur sipil dan perkotaan. Akan tetapi, definisi infrastruktur tidak hanya
meliputi pengertian seperti di atas, prosedur operasi serta kebijakan pembangunan juga
merupakan salah satu jenis infrastruktur. Pembahasan ini kemudian dikenal istilah Hard
Infrastructure dan Soft Infrastructure, yang pada akhirnya kedua jenis infrastruktur ini saling
terkait dalam menciptakan layanan infrastruktur secara utuh. Berdasarkan definisi tersebut
infrastruktur memiliki cakupan yang lebih luas (Soerjo, 2007, dikutip oleh Arman, 2008).
Ada beberapa penelitian yang pernah dilakukan untuk mengkaji seberapa besar
pengaruh infrastruktur terhadap pengembangan suatu wilayah. Fika Novitasari dan Sri
Maryati dalam penelitiannya yang berjudul “Pengaruh Pembangunan Infrastruktur Terhadap
Perkembangan Wilayah di Indonesia” menyimpulkan bahwa atribut infrastruktur yang paling
signifikan mempengaruhi perkembangan wilayah dengan tingkat perkembangan PDRB per
kapita rendah adalah perkembangan panjang jalan nasional. Hal ini dibuktikan oleh nilai
signifikansi atribut perkembangan panjang jalan nasional pada karakteristik perkembangan
di wilayah dengan tingkat perkembangan PDRB per kapita rendah dibawah 0,05 dan ada di
setiap based reference. Upaya yang dapat dilakukan terhadap faktor-faktor infrastruktur
yang signifikan mempengaruhi karakteristik perkembangan wilayah di Indonesia. Seperti di
wilayah yang memiliki pertumbuhan PDRB per kapita rendah, maka dapat dilakukan
intervensi terhadap pertumbuhan panjang jalan nasional, misalnya dengan menambah
insentif untuk pembangunan panjang jalan nasional atau melakukan perbaikan terhadap
pembangunan panjang jalan nasional di wilayah dengan tingkat perkembangan PDRB
rendah.
Sementara itu, dalam penelitian yang dilakukan oleh Hengki Purwoto, SE, M.A dan Dwi
Ardianta Kurniawan, ST yang berjudul “Kajian Dampak Infrastruktur Jalan Terhadap
Pembangunan Ekonomi dan Pengembangan Wilayah” mengemukakan bahwa investasi jalan
di Jawa secara total memberikan dampak terbesar terhadap pengembangan ekonomi Lebih
jauh, analisis memperlihatkan masing-masing jenis investasi penanganan jalan mempunyai
pengaruh berbeda-beda terhadap perekonomian wilayah pada wilayah yang berbeda. Hasil
analisis memperlihatkan bahwa pengaruh penanganan jalan adalah berbeda-beda untuk tiap
jenis penanganan. Kebijakan saat ini yang menggabungkan anggaran pembangunan dan
peningkatan jalan menimbulkan kesulitan dalam menentukan pengaruh masing-masing jenis
investasi terhadap perekonomian daerah. Untuk itu diperlukan identifikasi dan pemisahan
yang jelas antara anggaran pembangunan dan peningkatan jalan, dampak investasi jalan di
daerah yang berbeda adalah berbeda baik dalam magnitude maupun dalam pergerakan
tahunannya. Hal ini akan membawa implikasi kebijakan yang dilematis antara aspek
pertumbuhan dan pemerataan dalam pengalokasian anggaran di daerah maju dan
tertinggal. Trade-off antara target pertumbuhan dan pemerataan dalam investasi jalan harus
benar-benar dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan.
Lain lagi penelitian yang dilakukan oleh Fadly Elwa Purwansyah, Syamsurijal Tan dan
Erni Achmad. Dalam penelitan mereka yang berjudul “Pengaruh Pembangunan Infrastruktur
Terhadap Pengembangan Sektor Pertanian di Kabupaten Muaro Jambi” menyimpulkan
bahwa Variabel infrastruktur jalan, irigasi dan pasar secara bersama-sama berpengaruh
positif dan signifikan terhadap nilai tambah pada sektor pertanian. Secara parsial variabel
infrastruktur jalan dan irigasi berpengaruh secara signifikan terhadap nilai tambah sektor
pertanian, namun variabel pasar meskipun berpengaruh positif namun tidak signifikan.
Dari 3 penelitian di atas, jelas sudah bahwa infrastruktur mempunyai peranan yang
sangat signifikan bagi pengembangan suatu wilayah.
INVESTASI
Investasi merupakan pembelian atas suatu aset yang diharapkan dapat dijual lebih
tinggi di masa yang akan datang. Investasi juga dapat dikatakan sebagai suatu penundaan
konsumsi saat ini untuk konsumsi masa depan. Harapan pada keuntungan di masa datang
merupakan kompensasi atas waktu dan risiko yang terkait dengan suatu investasi yang
dilakukan.
Investasi (investment) terdiri dari barang – barang yang dibeli untuk penggunaan masa
depan. Investasi juga dibagi menjadi tiga subkelompok:
1. Investasi tetap bisnis adalah pembelian pabrik dan peralatan baru oleh perusahaan
2. Investasi tetap residensi, adalah pembelian rumah baru oleh rumah tangga dan
tuan tanah
3. Investasi persediaan adalah peningkatan dalam persediaan barang perusahaan (jika
investasi gagal, investasi persediaan negative) (N. Gregory Mankiw, 1999;425).
3. Kependudukan
Karena pertumbuhan penduduk sangat tinggi sementara pendapatan perkapita rendah
maka akibatnya keseluruhan pendapatan dipergunakan untuk menghidupi tambahan
penduduk dan hanya sedikit yang ditabung untuk pembentukan modal.
4. Kekurangan wiraswasta
Karena kecilnya pasar, kurangnya modal, langkanya milik pribadi dan perjanjian
memperlambat usaha dan inisiatif untuk berwiraswasta sedangkan dalam kenyataannya
kewiraswastaan merupakan faktor penting dalam pembangunan ekonomi;
5. Kekurangan overhead ekonomi
Karena kurangnya sumber tenaga, angkutan, perhubungan, air dan sebagainya telah
memperlambat kegiatan usaha yang akhirnya berpengaruh terhadap pembentukan modal.
6. Kekurangan peralatan modal
Di negara berkembang ketersediaan barang modal hanya sekitar 5-6 persen dari
pendapatan nasionalnya, sedangkan di negara maju sampai 15-20 persen dari pendapatan
nasionalnya. Karena rendahnya modal maka penggatian barang modal menjadi tidak
mungkin dan ini mempengaruhi pembentukan modal
7. Ketimpangan distribusi pendapatan
Adanya ketidakmerataan pendapatan di negara berkembang dimana hanya sekitar 3-5
persen berpenghasilan tinggi dan mereka ini berivestasi tidak pada saluran yang produktif
menyebabkan pembentukan modal tetap rendah.
8. Pasar sempit
Karena kemampuan untuk menyerap penawaran suatu produk baru, menyebabkan
tidak bergairahnya tumbuhnya usaha dan inisiatif masyarakat sehingga upaya pembentukan
modal tetap rendah.
9. Kekurangan lembaga Keuangan
Karena kurang berkembangnya pasar uang, pasar modal, lembaga kredit dan bank di
Negara berkembang menyebabkan pengerahan dana tabungan dalam jumlah yang cukup
untuk tujuan investasi menjadi rendah.
10. Keterbelakangan ekonomi dan teknologi
Aktifitas ekonomi yang terbatas dan terbengkalai, efisiensi buruh yang rendah, nilai dan
struktur sosial yang tradisional serta teknik produksi yang masih kuno telah menghambat
pembentukan modal.
PENGEMBANGAN WILAYAH
Menurut Sandy (1982) Pengembangan wilayah adalah pelaksanaan pembangunan
nasional di suatu wilayah yang disesuaikan dengan kemampuan fisik dan sosial wilayah
tersebut serta mentaati peraturan perundangan yang berlaku. Selanjutnya menurut
Hadjisaroso (1994), pengembangan wilayah adalah suatu tindakan mengembangkan wilayah
atau membangun daerah atau kawasan dalam rangka usaha memperbaiki tingkat
kesejahteraan hidup masyarakat atau memajukan dan memperbaiki serta meningkatkan
sesuatu yang sudah ada.
Pengembangan wilayah juga bermakna sebagai peningkatan aktifitas terhadap unsur-
unsur dalam wilayah yang mencakup institusi, ekonomi, sosial dan ekologi dalam upaya
meningkatkan tingkat dan kualitas hidup masyarakat. Dengan demikian, menurut Misra
(1982) perencanaan dan pembangunan wilayah ditopang oleh empat pilar yaitu aspek
geografi, aspek ekonomi, teori lokasi dan perencanaan kota. Namun, menurut Budiharsono
(2005), keempat pilar di atas belum mencakup aspek-aspek lainnya yang juga memberikan
kontribusi besar terhadap pengembangan wilayah seperti aspek biogeofisik sosial dan
lingkungan. Hal ini sedikit bebeda dengan pandangan sebagian besar para ahli ilmu ekonomi
regional barat yang lebih menitik beratkan bahwa pembangunan regional mencakup kepada
empat aspek utama yakni aspek kelembagaan, aspek sosial, aspek ekonomi dan aspek
ekologi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengembangan wilayah pada dasarnya
adalah peningkatan nilai manfaat wilayah bagi masyarakat suatu wilayah tertentu mampu
menampung lebih banyak penghuni dengan tingkat kesejahteraan masyarakat yang rata-
rata membaik disamping menunjukkan lebih banyak sarana/prasarana, barang atau jasa
yang tersedia dan kegiatan usaha-usaha masyarakat yang meningkat baik dalam arti
jenis,intensitas, pelayanan maupun kualitasnya.
BAB III
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif yang dimaksud adalah
Penelitian yang menghasilkan penemuan-penemuan yang tidak dicapai dengan
menggunakan prosedur statistik atau cara kuantifikasi lainnya.
Strauss and Oorbin dalam BMrowi dan Sudfltin (Rusian, 2003:202-203) mengatakan
bahwa: “Qualitative Research merupakan jenis penelitian yang menghasilkan penemuan-
penemuan yang tidak dapat dicapai dengan menggunakan prosedur statistik atau cara
kuantifikasi lainnya. Penelitian kualitatif dapat dipergunakan untuk penelitian kehidupan
masyarakat, sejarah, tingkah laku, fungsional organisasi, peristiwa tertentu, pergerakan-
pergerakan sosial dan hubungan kekerabatan dalam keluarga”.
Terdapat beberapa istilah yang digunakan untuk penelitian kualitatif, yaitu penelitian
atau inkuiri naturalistic atau alamiah, etnografi, interaksionis simbolik, perspektif ke dalam,
etnometodologi, the Chicago School, fenomenologis, studi kasus, interpretative, ekologis dan
deskriptif (Bogdan dan Biklen dalam Moleong, 1982:3).
Pendekatan yang dilakukan disini menggunakan pendekatan studi kasus yang bersifat
deskriptif. Dimana penelitian ini menggambarkan fenomena yang ada dengan menganalisis
dan menyajikan data secara sistematis untuk mempermudah pemahaman untuk penarikan
kesimpulan. Sumber data dalam penelitian adalah data sekunder yang diperoleh melalui
dokumen-dokumen resmi yang berkaitan dengan obyek penelitian baik secara nasional,
catatan-catatan penunjang, dan literatur, buku-buku perpustakaan, dokumentasi, arsip-arsip
dan keterangan-keterangan lain yang berhubungan dengan masalah penelitian yang
digunakan sebagai pelengkap.
BAB IV
ANALISA DAN PEMBAHASAN
Secara geografis Kabupaten Wonosobo terletak antara 7. 11’ dan 7. 36’ Lintang Selatan
(LS), 109. 43’ dan 110. 04’ Bujur Timur (BT). Jarak ibukota Kabupaten Wonosobo ke ibukota
Provinsi Jawa Tengah berjarak 120 Km dari ibukota negara (Jakarta) berjarak 520 Km.
Kabupaten wonosobo merupakan daerah pegunungan dengan ketinggian berkisar antara
275 meter sampai 2.250 meter di atas permukaan laut.
Dalam lingkup wilayah provinsi, Kabupaten Wonosobo terletak di bagian tengah yang
berbatasan dengan beberapa kabupaten. Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten
Kendal dan Batang, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Temanggung dan
Magelang, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Kebumen dan Purworejo,
sedangkan sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Banjarnegara.
Secara administratif Kabupaten Wonosobo dibagi menjadi 15 kecamatan. Jarak
kecamatan ke ibukota kabupaten terjauh adalah 37 Km. Jarak terjauh antar ibukota
kecamatan adalah 54 Km. Luas wilayah Kabupaten Wonosobo mencapai 98.468 hektare
dengan kondisi biogeofisik sebagai berikut: kemiringan 3-8 seluas 54,4 ha, 8-15 seluas
24.769,1 ha, 15- 40 seluas 42.173,6 ha dan lebih dari 40 derajad seluas 31.829.9 ha.
Apabila ditinjau dari penggunaan lahan, wilayah terluas sebagai tegalan/kebun yang
mencapai 42.73 persen, lahan sawah 16.29 persen dan butan negara 17.10 persen.
Sebagaimana keadaan di Indonesia pada umumnya, Kabupaten Wonosobo beriklim tropis
dengan dua musim dalam setahun, kemarau dan penghujan. Rata-rata suhu udara 14.3-
26.5 derajat celcius, dengan curah hujan pertahun berkisar antara 1.713-4.255 mm/tahun.
Secara kelembaban Wonosobo mempunyai kelembaban kelas lembab. Dengan curah
hujan cukup tinggi dan tanah yang cukup subur Kabupaten Wonosobo menjadikan pertanian
sebagai sektor yang cukup dominan.
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan salah satu ukuran tingkat
keberhasilan pembangunan di bidang ekonomi sekaligus diperlukan untuk menyusun
perencanaan dan evaluasi pembangunan ekonomi regional. Pada tahun 2012 PDRB
Kabupaten Wonosobo atas dasar harga berlaku mengalami kenaikan sebesar 10,66 persen
menjadi 4.784.241,25 juta rupiah dibandingkan pada tahun 2011 yaitu sebesar 4.323.254,88
juta rupiah, sedangkan atas dasar harga konstan naik sebesar 5,14 persen menjadi
2.075.562,04juta rupiah dari tahun 2011 yaitu sebesar 1.9741.114,17 juta rupiah.
Tabel 4.1. Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Wonosobo Atas Dasar
Harga Berlaku (juta rupiah), 2010 - 2012
Lanjutan...
Tabel 4.2. Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Wonosobo Atas Dasar
Harga Konstan (juta rupiah), 2010 - 2012
Lanjutan...
IV.3. Kependudukan
Hasil registrasi penduduk akhir tahun 2012, jumlah penduduk Kabupaten Wonosobo
adalah sebanyak 773.243 jiwa, yang terdiri dari laki-laki 391.882 jiwa dan perempuan
381.361 jiwa dengan rasio jenis kelamin 102,76.
Bila dilihat per kecamatan, jumlah penduduk terbesar adalah di Kecamatan Wonosobo
yaitu sebanyak 86,076 jiwa, disusul Kecamatan Kerteksebesar 77.882 jiwa, sedangkan
kecamatan yang jumlah penduduknya paling sedikit adalah Kecamatan Kalibawang yaitu
sebesar 22.801 jiwa.
Kepadatan penduduk di Kabupaten Wonosobo tahun 2012 sebesar 785 jiwa per km2.
Bila dilihat per kecamatan, angka kepadatan penduduk cukup bervariasi. Angka kepadatan
penduduk yang paling tinggi terdapat di Kecamatan Wonosobo sebesar 2.658 jiwa per km2
sedangkan yang paling rendah di Kecamatan Wadaslintang sebesar 421 jiwa per km2.
Komposisi penduduk Kabupaten Wonosobo termasuk penduduk muda. Hal ini terlihat dari
banyaknya penduduk yang berada di kelompok usia muda, tertinggi di kelompok usia 10-14
tahun sebanyak 72.460 jiwa, disusul kelompok usia 5-9 tahun sebanyak 68.516 jiwa, dan
kelompok usia 0-4 tahun sebanyak 68.287 jiwa.
IV.4. Ketenagakerjaan
Pada tahun 2012, jumlah pencari kerja sebanyak 6.003 orang, dimana dari jumlah
tersebut 2.233 laki-laki dan 3.770 perempuan. Bila dirinci menurut tingkat pendidikan yang
ditamatkan, sebagian besar pencari kerja tersebut adalah tamatan SLTA dan Sarjana,
sedangkan sisanya dari tamatan D1/D2, SLTP, dan SD.
Keterbatasan lapangan pekerjaan yang ada dan sulitnya menciptakan lapangan kerja
pada saat sekarang ini menyebabkan tidak semua pencari kerja memperoleh penempatan
seperti yang diinginkan. Pada tahun 2012 hanya 3.879 orang atau sekitar 64.62 persen
pencari kerja yang memperoleh penempatan sedangkan sisanya masih harus menunggu
sampai ada formasi kerja baru.
Luar negeri masih menjadi daya tarik bagi pencari kerja di Indonesia khususnya dari
Kabupaten Wonosobo. Pada tahun 2012 penempatan tenaga kerja kerja di luar negeri
tercatat sebanyak 1.447 orang. Negara yang paling banyak menerima pekerja dari
Wonosobo adalah Taiwan dengan jumlah 456 pekerja, disusul Singapura 408 pekerja, dan
Hongkong 317 pekerja, sedangkan sisanya terdapat di negara Malaysia dan negara – negara
Timur Tengah serta Korea.
Panjang jalan kabupaten, di wilayah Kabupaten Wonosobo sampai dengan tahun 2012
belum ada perubahan bila dibanding dengan tahun-tahun sebelumnya yaitu 810,10
kilometer. Jalan kabupaten yang terpanjang berada di wilayah Kecamatan Watumalang yaitu
94,05 kilometer atau 11,60 persen dari total panjang jalan kabupaten yang ada di wilayah
Kabupaten Wonosobo. Sedangkan panjang jalan kabupaten yang terpendek berada di
wilayah Kecamatan Garung yaitu 10,40 kilometer atau hanya 1,28 persen dari total panjang
jalan kabupaten.
Perubahan permukaan jalan dari jalan makadam/rolak menjadi jalan aspal mengalami
peningkatan. Pada tahun 2011 panjang jalan aspal tercatat 648,500kilometer, sedangkan
pada tahun 2012 meningkat menjadi 653,100 kilometer atau terjadi penambahan jalan aspal
sepanjang 4,600kilometer. Peningkatan tersebut ditandai dengan penurunan jalan
makadam/rolak, dari 152,000 kilometer pada tahun 2011 turun menjadi 147,400 pada tahun
2012 dan jalan tanah tetap9,600 km ditahun 2012 ini. Dilihat dari kondisi kualitas jalan
kabupaten, di Kabupaten Wonosobo pada tahun 2012 mengalami peningkatan kualitas
kondisi jalan bila dibandingkan dengan tahun 2011.Pada tahun 2011 jalan dengan kondisi
baik 528,570 kilometer (65,25%), kondisi sedang 109,660 kilometer (13,54%), kondisi rusak
77,720 kilometer (9,59%) dan kondisi rusak berat 94,150kilometer (11,62%).Sedangkan
pada tahun 2012 jalan dengan kondisi baik 530,506 kilometer (65,49%), kondisi sedang
108,028 kilometer (13,34%),kondisi rusak 77,406 kilometer (9,56%) dan kondisi rusak berat
94,160kilometer (11,62%).
Tabel 4.6. Panjang Jalan Kabupaten Menurut Jenis Permukaan, Kondisi Jalan,
dan Kelas Jalan di Kabupaten Wonosobo (km), 2012
Banyak sekali potensi daerah yang dimiliki Kabupaten Wonosobo. Sektor pertanian,
sektor perdagangan, hotel, dan restoran, serta sektor industri pengolahan dan sektor jasa
merupakan sektor-sektor yang memberikan kontribusi yang cukup siginifikan bagi
pertumbuhan ekonomi di Wonosobo. Berikut ini adalah beberapa profil potensi daerah di
Kabupaten Wonosobo yang bisa dijadikan peluang investasi :
Carica
Lokasi : Hanya Tumbuh di Pegunungan Dieng, Kejajar.
Kapasitas : Luas lahan saat ini ± 115,77 ha. Carica saat ini dimanfaatkan
untuk usaha home industri, namun kontinuitas ketersediaan
bahan bakunya belum terjamin. Kondisi pertanaman saat ini
30.000 batang, potensi pengembangan ± 120.000 batang
dengan cara monokultur, tanaman sela/tumpang sari dan
terasering.
Pemasaran : Daerah sendiri dan lain
Keterangan : Carica adalah sejenis pepaya khas pegunungan, di dunia hanya
tumbuh di 3 tempat, Indonesia (Pegunungan Dieng), Rusia
dan Argentina.
Kopi Arabica
Lokasi : Wilayah Produksi Kecamatan Mojotengah, Watumalang,Kertek,
Garung, Kejajar, Kalikajar.
Kapasitas : 124.800 ton/tahun,ketersediaan Lahan : 3500 Ha
Pemasaran : Daerah sendiri dan daerah lain
Tanaman Purwaceng
Tanaman Purwaceng hanya bisa ditanam di ketinggian lebih dari 1.400 dpl yakni
di Kecamatan Kejajar, dan hanya di tempat-tempat tertentu, seperti di Desa
Sikunang, Kejajar. Tanaman ini diolah menjadi minuman untuk menjaga
kesehatan dan stamina. Biasanya diolah dalam bentuk Teh Purwaceng, Kopi
Purwaceng dan Purwaceng Susu. Menurut Penelitian dari berbagai laboratorium
Perguruan Tinggi, khasiat tanaman ini melebihi tanaman ginseng. Sejauh ini
tanaman ini banyak diminati oleh perorangan maupun perusahaan jamu. Luas
area produksi tanaman ini sekitar 0,5 ha pada tahun 2008 dengan produksi
mencapai 0,31 ton.
2) Sektor Perikananan
Selama ini, aktivitas perikanan tangkap mendominasi pembangunan perikanan
nasional. Secara politik, kondisi ini memposisikan perikanan darat/perairan umum
(sungai, situ, danau dan rawa) sebagai kelas dua, maka aktivitas perikanan darat
stagnan.
Pembangunan bidang perikanan di Kabupaten Wonosobo dalam pengertian
perikanan darat, memiliki potensi yang besar khususnya kolam air tawar dan
karamba jaring apung (KJA). Keberadaan Waduk Wadaslintang, Telaga Menjer,
Daerah Aliran Sungai (DAS) Serayu menjadikan Kabupaten Wonosobo memiliki
potensi sumberdaya perairan yang cukup besar. Hal ini dapat dikembangkan untuk
usaha perikanan secara menyeluruh mulai dari pembenihan, pembesaran,
penangkapan maupun pengolahan.
Waduk Wadaslintang berada di dua wilayah kabupaten, yaitu Kabupaten Kebumen
(Kecamatan Padureso) dan Wonosobo, tepatnya di Kecamatan Wadaslintang.
Letaknya sangat strategis, karena berada di jalur selatan Jawa Tengah. Selain untuk
wisata air, waduk dimanfaatkan juga untuk pembangkit listrik, transportasi air dan
budidaya ikan nila, dengan karamba jaring apung. Budidaya ikan nila dengan
karamba jaring apung di Waduk Wadaslintang (385 unit), mampu menghasilkan ikan
konsumsi rata-rata 3.462,810 ton/tahun. Sedangkan di Telaga Menjer (150 unit),
budidaya ikan dengan karamba jaring apung baru dikembangkan akhir-akhir ini,
dengan komoditas ikan nila, ikan mas dan jenis ikan konsumsi lainnya. Melihat luasan
genangan dan pemanfaatan lahan yang ada, masih sangat memungkinkan untuk
pengembangan unit karamba jaring apung
3) Sektor Peternakan
Pada tahun 1954/1955 Pemerintah mendatangkan 500 Ekor Domba Texel dari
Belanda dan dialokasikan ke beberapa daerah di Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah
(Baturaden Banyumas dan Tawangmangu) dan Jawa Timur, tetapi tidak bisa
berkembang. Dari 100 ekor yang dialokasikan di Baturaden tinggal tersisa 5 ekor (1
ekor jantan murni, 1 ekor jantan keturunan dan 3 ekor betina murni). Selanjutnya 5
ekor Domba Texel di Baturaden itu, pada Tahun 1957, dipindahkan oleh Kepala
Dinas Peternakan Provinsi Jawa tengah, ke Wonosobo, dan berkembang hingga
dewasa ini mencapai populasi 8.753 ekor, yang saat ini lebih dikenal dengan Domba
Wonosobo (Dombos)
Domba Texel tergolong ternak unggulan, di samping cepat berkembang biak, juga
berpotensi sebagai penghasil daging. Bobot badan dewasa jantan dapat mencapai
100 kg dan betina 80 kg, dengan karkas sekitar 55 %. Masyarakat Wonosobo, telah
merintis usaha penggemukan intensif terhadap domba persilangan texel dengan
domba lokal, yang menghasilkan keuntungan memadai. Selain itu, domba texel
dapat menghasilkan bulu wool berkualitas sebanyak 1000 gram/ekor/tahun, yang
dapat diolah sebagai komoditas yang mempunyai nilai tambah Investasi yang
ditawarkan, yaitu pengembangan dan pelestarian Dombos, dengan lokasi prospektif
Kecamatan Kalikajar, Kejajar, Garung, Kertek, dan potensi pengembangan38.143 AU
atau sekitar 267.001 ekor.
Kendala pengembangan Dombos berupa tingginya permintaan dari luar daerah yang
disinyalir untuk di ekspor ke Malaysia, di satu sisi meningkatkan pamor dan nilai
harga Dombos itu sendiri, sehingga meningkatkan kesejahteraan masyarakat
peternak Dombos maupun masyarakat pedagang Dombos. Namun di sisi lain, bila
pengeluaran ke luar daerah tak dikendalikan, bisa mengancam terjadinya pengurasan
ternak. Kendala lain, perkembangbiakan Dombos masih tergantung pada kawin alam,
berhubung belum terdapatnya produsen frozen semen Dombos. Saat ini sentra
Dombos di Wonosobo terdapat di Dusun Klowoh Desa Kwadungan Kecamatan
Kalikajar dan Desa Surenggede Kecamatan Kejajar.
Pada tahun 2007 telah dilakukan studi kelayakan mikrohidro, termasuk DED (Detail
Engineering Design) beberapa lokasi yang potensial. Salah satu lokasi tersebut,
adalah Argopeni. Bangunan sipil utama untuk PLTM Argopeni memanfaatkan aliran
irigasi Wanganaji. Dari analisis pada tahap studi optimasi, PLTMH Argopeni
menghasilkan potensi kapasitas sebesar 495.49 kW, dimana kapasitas ini
diperoleh dari debit air sebesar 1,14 m3/detik dan tinggi jatuh (head) sebesar 55 m.
PLTMH Argopeni memiliki jaringan transmisi 20 kV sepanjang 50 m dengan energi
terpasang 3.846.632,48 kWh, terdapat kehilangan energi sebesar 0,0005 % (19.23
kWh). Sumber pendapatan dari proyek ini adalah penjualan listrik ke PLN UPJ
Wonosobo.
Potensi sumberdaya air di Wonosobo, sebagian besar dimanfaatkan untuk irigasi,
pertanian dan air minum. Selama ini sebagian potensi hidro tersebut masih terbuang
percuma karena belum dimanfaatkan secara tepat dan berdaya guna.
Salah satu proyek percontohan pembangkit listrik mikro hidro di Wonosobo adalah
PLTMH Wanganaji, yang dikelola oleh Koperasi Pondok Pesantren Roudlotul Tolibin.
PLTMH Wanganaji memiliki kapasitas 174 kW dan energi listrik yang dihasilkan dijual
ke PLN UPJ Wonosobo.Diharapkan dengan dimanfaatkannya potensi PLTMH yang
ada di Wonosobo, dapat mensuplai energi ke PLN, yang pada akhirnya dapat
mengurangi krisis energi yang terjadi saat ini.
5) Sektor Pariwisata
Ada beberapa lokasi wisata yang masih bisa dikembangkan. Lokasi pariwisata itu
antara lain :
Waduk Wadaslintang
Waduk Wadaslintang merupakan waduk dengan luas genangan 3.000 ha.
Terletak di wilayah perbatasan, yaitu Kabupaten Kebumen dan Wonosobo.
Letaknya sangat strategis, karena berada di jalur selatan Jawa Tengah. Selain
sebagai pembangkit listrik,irigasi dan transportasi air serta budidaya ikan nila
dengan karamba jaring apung, juga dimanfaatkan sebagai obyek wisata. Melihat
potensi dan letaknya yang sangat strategis, Waduk Wadaslintang sangat potensial
untuk dikembangkan menjadi obyek wisata alam, pendidikan dan wisata maupun
olahraga air.
Telaga Menjer
Telaga Menjer merupakan danau/telaga vulkanis, terletak 12 km dari Kota
Wonosobo, tepatnya di Desa Maron Kecamatan Garung. Saat ini, Telaga Menjer
dimanfaatkan untuk PLTA, budidaya ikan nila dan sebagai obyek wisata, namun
belum dikembangkan/dikelola secara optimal. Didukung pemandangan alam yang
indah, udara yang sejuk, serta lingkungan perdesaan yang masih tradisional,
menjadikan Telaga Menjer prospektif untuk dikembangkan sebagai obyek wisata
alam dan air.
infrastruktur akan meningkat pesat seiring dengan pertumbuhan ekonomi suatu wilayah,
dalam hal ini Kabupaten Wonosobo pada umumnya.
Namun masalahnya, keterbatasan anggaran daerah membuat pemenuhan infrastruktur
yang memadai masih dirasa jauh dari kata cukup. Oleh karenanya, Pemerintah Kabupaten
Wonosobo berupaya untuk melibatkan sektor swasta di dalam penyediaan infrastrukturnya.
Setidaknya ada 3 peluang investasi yang ditawarkan pihak Pemkab Wonosobo kepada pihak
ke-3.
Pertama adalah Peluang Investasi Pembangunan Dieng Convention Hotel. Berdasarkan
data dari Central Java Investment Projects, Pemkab Wonosobo bekerja sama dengan pihak
ke-3 berencana untuk membangun hotel yang representative untuk menampung para
wisatawan yang mengunjungi lokasi pariwisata di Wonosobo. Sebagaimana kita tahu, Dieng
merupakan salah satu tempat pariwisata yang sangat mempesona, selain pesona alam yang
sangat menakjubkan terdapat pula situs-situs candi yang merupakan peninggalan pada
zaman kerajaan hindhu yang sampai sekarang masih tetap berdiri. Obyek wisata yang
terdapat di dieng yaitu telaga warna, telaga pengilon, kawah dikidang, tukbimo lukar dan
masih banyak lagi. Dengan berbagai kelebihannya maka tak mengherankan jika wisatawan
yang datang cukup meningkat , baik wisatawan mancanegara maupun wisatawan domestic.
Para wisatawan biasanya mengunjungi dieng untuk berwisata dan tidak menginap
karena belum adanya tempat penginapan seperti hotel ataupun losmen di lokasi tersebut.
Mengingat hal tersebut pembangunan convention hotel dieng adalah salah satu langkah
tepat yang perlu segera direalisasikan. Dengan adanya convention dalam hotel ini
diharapkan akan menambah adanya sarana yang lebih representative untuk menginap dan
sarana pertemuan. Pembangunan convention hotel ini nantinya akan dibangun dekat dengan
objek wisata candi dieng, sehingga memudahkan para wisatawan untuk mencapainya.
Investasi infrastruktur yang ke-2 yang ditawarkan Pemkab Wonosobo adalah investasi
pembangkit listrik tenaga mikro hidro. Dalam rangka memenuhi kebutuhan listrik,
Pemerintah membuat program peningkatan pembangunan pembangkit listrik alternatif non
minyak antara lain dengan memanfaatkan Energi Baru Terbarukan (EBT). Salah satu
teknologi yang saat ini layak diperhitungkan adalah Pembangkit Listri Tenaga Mikrohidro
(PLTMH). PLTMH memiliki banyak keuntungan antara lain bersifat desentralisasi sehingga
bisa ditempatkan berdekatan dengan konsumen pengguna listrik dan dapat menjangkau
daerah terpencil. Disamping itu PLTMH dapat diinterkoneksikan dengan jaringan listrik milik
PT. PLN (Persero).
Potensi tenaga air cukup melimpah di wilayah Kabupaten Wonosobo. Wilayah DAS
Serayu khususnya jaringan irigasi memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai sumber
energi listrik mikro (PLTMH), dan saat ini terdapat 5 PLTMH yang telah dimanfaatkan oleh
pengembang dalam tahap proposal maupun PPA.
Berikut lokasi yang dapat dikembangkan :
1) PLTMH Jengkol (DAS Serayu, Kejajar) : dengan debit rata-rata 2,67 m³/detik, dan
kapasitas 840 KW.
2) PLTMH Telon (DAS Serayu, Kalibeber Mojotengah) : dengan debit rata-rata 0,34
m³/detik, dan kapasitas 74 KW.
3) PLTMH Kemiri (DAS Serayu, Kalibeber Mojotengah) : dengan debit rata-rata 5,95
m³/detik, dan kapasitas 1,18 KW.
4) PLTMH Jaringan Irigasi Wanganaji, Andongsili, Mojotengah : dengan debit andalan
2,02 m³/detik, dan kapasitas 158 KW.
5) PLTMH Jaringan Irigasi Tandu, Larangan, Mojotengah : dengan debit andalan 2,10
m³/detik, dan kapasitas 610 KW.
6) PLTMH Jaringan Irigasi Mangli-1, Kejiwan : dengan debit andalan 2,52 m³/detik, dan
kapasitas 594 KW.
7) PLTMH Jaringan Irigasi Mangli-2, Kejiwan : dengan debit andalan 2,52 m³/detik, dan
kapasitas 198 KW.
8) PLTMH Jaringan Irigasi Geblok, Mlipak, Wonosobo : dengan debit andalan 4,07
m³/detik, dan kapasitas 320 KW.
9) PLTMH Jaringan Irigasi Jaraksari, Wonosobo : dengan debit andalan 1,26 m³/detik,
dan kapasitas 80 KW.
Tenaga Listrik yang dihasilkan dari PLTMH yang dibangun oleh pihak swasta nantinya
akan dimanfaatkan oleh PT. PLN (Persero) guna memenuhi kebutuhan tenaga didaerah
setempat melalui suatu perjanjian jual beli tenaga listrik PPA (Persero) dengan pihak swasta
tersebut. Dengan demikian, ada semacam simbiosis mutualisma yang saling
menguntungkan, sehingga diharapkan pertumbuhan ekonomi wilayah di Kabupaten
Wonosobo ini semakin lebih mengeliat.
BAB V
PENUTUP
V.1. Kesimpulan
V.2. Saran
pasar kerja. Peningkatan kualitas SDM ini dipersiapkan terlebih dahulu dengan
memberikan pendidikan dan pelatihan. Hal ini perlu diberikan karena untuk menjadi
individu yang memiliki keahlian dasar dibutuhkan pendidikan yang memadai dan
pelatihan-pelatihan.
3. Kebutuhan infrastruktur mutlak diperlukan. Agar kebutuhan infrastruktur ini
memadai baik dari segi kualitas maupun kuantitas, maka Pemkab Wonosobo perlu
mengalokasian dana yang lebih besar untuk pembangunan infrastruktur agar
ketersediaannya dapat dinikmati seluruh masyarakat. Tentunya infrastruktur ini tidak
terbatas pada penyedian sarana dan prasarana yang dilakukan pemerintah saja.
Namun peran serta pihak ke-3, baik oleh swasta maupun masyarakat sangat
membantu sekali bagi pengembangan ekonomi wilayah khususnya di Kabupaten
Wonosobo ini.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik Kabupaten Wonosobo. 2013. Wonosobo Dalam Angka 2013,
Badan Pusat Statistik Kabupaten Wonosobo.
Peraturan Daerah Kabupaten Wonosobo Nomor 2 Tahun 2011 tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Wonosobo Tahun 2011 – 2031.
Makmun dan Yasin, Akhmad. 2003. Pengaruh Investasi dan Tenaga Kerja Terhadap
PDB Sektor Pertanian. Kajian Ekonomi dan Keuangan. 7(3): 57-83.
Sukirno, Sadono. 1994. Pengantar Teori Ekonomi. Jakarta : Raja Grafindo Persada.