ASBAB AN-NUZUL
(Sebab-sebab Turunyyan Ayat Al-Qur’an)
Dosen Pengampu:
Dr. H. Otong Surasman, M.A.
Disusun oleh:
Kelompok V
Muntaha : 2022520066
Siti Mursinah : 2022520082
M Alhabib Yusron : 2022520089
Nur Lazuardini Makmur : 2022520070
Bismillah, washolatu wassalamu ‘ala rasulillah, tiada kata yang pantas kami
ucapkan selain alhamdulillah sebagai ungkapan rasa syukur kami kepada Allah SWT, Dzat
yang Maha Esa dan Maha Kuasa, karena hanya dengan hidayah dan limpahan rahmat-Nya
kami dapat menyusun makalah dengan judul “Asbab an-Nuzul (Sebab-sebab Turunnya Ayat
Al-Qur’an).
Makalah ini disusun dan dipresentasikan pada mata kuliah Ulum al-Qur’an, yaitu
mata kuliah yang mempelajari tentang ilmu-ilmu al-Qur’an. Makalah ini membahas tentang
definisi Asbab an-Nuzul, urgensinya dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an dan manfaat
memahaminya sebagai modal awal untuk memahami ayat-ayat al-Qur’an secara
komprehensif..
Semoga makalah ini dapat memberi manfaat bagi kami (penyusun) khususnya dan
bagi semua pihak serta kepada Allah Swt. kami memohon keberkahan dan maanfaat dari
ilmu yang sedang kami pelajari.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Asbāb al-nuzūl ......................................................................... 3
2.2 Urgensi memahami Asbāb al-nuzūl .......................................................... 4
2.3 Unsur-unsur Asbāb al-nuzūl ...................................................................... 7
2.4 Pedoman dan Metode dalam Mengetahui Asbāb al-nuzūl ........................ 10
2.5 Aplikasi Asbab an-Nuzul dalam Kehidupan Modern ............................... 16
2.6 Redaksi Asbab an-Nuzul ........................................................................... 19
2.7 Manfaat Memahami Asbab an-Nuzul ....................................................... 20
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
Jalaluddin As-Suyuthi, Sebab Turunnya Ayat Al-Qur'an (Depok : Gema Insani, 2008)
2
Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuti, Al-ltqon fi Ulumil Qur'an (Kairo : Musthafa al-Babi al- Halabi, 1951(,
hal. 40
3
Wahidi, Ridhoul, Asbabun Nuzul Sebagai Cabang Ulumul Qur'an (Jurnal Syahadah, 2015, Vol. III. No. 1.(
1
utuh. Langkah yang harus ditempuh adalah melihat sebab turunnya setiap ayat agar
memperoleh pemahaman akan makna ayat yang sempurna. Jika tidak melihat sebab
turunnya ayat, seringkali penafsiran ayat tidak memberikan penjelasan apapun. Asbāb al-
nuzūl menjadi ilmu yang penting bagi para ulama karena dapat memahami arti dan makna
ayat-ayat tersebut secara lebih komprehensif.4
4
Ibid.
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
konteks dalam memahami perintah-perintahnya. Sudah tentu bahan-bahan ini hanya
melingkupi peristiwa pada masa Al-Qur’an masih turun (ashr at-tanzil).5
Bentuk-bentuk peristiwa yang melatarbelakangi turunnya Al-Qur’an itu sangat
beragam, diantaranya berupa konflik sosial, seperti ketegangan yang terjadi diantara suku
Aus dan suku Khazraj, atau seperti kasus seorang sahabat yang mengimani shalat dalam
keadaan mabuk, dan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh salah seorang sahabat
kepada nabi, baik berkaitan dengan sesuatu yang telah lewat, sedang, atau yang akan rerjadi.
Persoalan mengenai apakah seluruh ayat Al-Qur’an memiliki asbab an- nuzul atau
tidak, ternyata telah menjadi bahan kontroversi diantara para ulama. Sebagian ulama
berpendapat bahwa tidak semua ayat Al-Qur’an memiliki asbab an-nuzul. Oleh sebab itu,
ada ayat Al-Qur’an yang diturunkan tanpa ada yang melatarbelakanginya (ibtida’), dan
sebagian lainnuya diturunkan dengan dilatarbelakamgi oleh sesuatu peristiwa (ghair
ibtida’).
Pendapat tersebut hampir menjadi kesepakatan para ulama. Akan tetapi sebagian
berpendapat bahwa kesejarahan bangsa Arab pra-qur’an pada masa turunnya Al-Qur’an
merupakan latar belakang makro Al-Qur’an, sedangkan riwayat-riwayat asbāb al-nuzūl
merupakan latarbelakang mikronya. Pendapat ini merupakan anggapan bahwa semua ayat
Al-Qur’an memiliki sebab-sebab yang melatarbelakanginya.
5
Rosihon Anwar, Ulumul Qur’an (Bandung: Pustaka Setia, 2006), hal. 61
6
Syaikh Muhammadi Ali Ash-Shabuni, At-Tibyan Fi Ulumil Qur’an (Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis), hal. 27
4
Adalah bahaya jika menafsirkan ayat tanpa memahami konteks latar belakang
turunnya ayat (asbab al-nuzul). Tanpa memahami sabab nuzul ayat, maka peluang terjadinya
kekeliruan di dalam pemahaman teks Al-Qur’an sangat besar.
Memahami Al-Qur’an tidak semudah membalikkan telapak tangan. Kesulitan
tersebut tidak hanya dirasakan oleh kalangan non-Arab yang secara kasat mata bahasa
ibunya bukan bahasa Arab, tetapi juga melanda masyarakat Arab sendiri yang kesehariannya
menggunakan bahasa Arab.
Permasalah utama ialah karena Al-Qur’an adalah wahyu Allah yang mempunyai
nilai suci, sehingga tidak ada seorang pun dapat memahami dengan kebenaran mutlak tanpa
adanya petunjuk dan hidayah. Pada saat yang sama, bahasa yang digunakan Al-Qur’an
secara eksplisit adalah bahasa Arab yang merupakan bahasa ibu dari wilayah Timur Tengah.
Penggunaan bahasa Arab adalah suatu keniscayaan, melihat konteks turunnya wahyu Al-
Qur’an yang berada di wilayah Arab. Sehingga secara historis Al-Qur’an terkait erat dengan
peradaban Arab, tetapi hal ini tidak menjadi bagian penting secara menyeluruh dalam
memahami Al-Qur’an, meskipun secara redaksional dan historis mempunyai hubungan.
Karena, turunnya Al-Qur’an tidak selalu berhubungan dengan suatu peristiwa maupun
pertanyaan yang berkaitan dengan kehidupan Arab.
Meski demikian, dalam memahami Al-Qur’an seorang harus mengetahui asbāb al-
nuzūl (konteks turunnya ayat). Latar belakang turunnya tidak hanya merespon masalah yang
mengitari kehidupan Nabi dan masyarakat sekitar, tetapi juga mengandung pelajaran bahwa
wahyu Al-Qur’an turun melalui proses dan melatih kesabaran.
Begitu pentingnya asbāb al-nuzūl dalam memahami ayat Al-Qur’an telah ditegaskan
oleh Imam al-Wahidi, beliau menyampaikan:
ااوباَايَانااناُاُزماو الَا ا
َالا ُايمكا ُانا َام ماعارافَاةُاتَا مافسا ماياامآلايَةاا ُاد ماو َانااالمُاوقُا ماوفاا َاعالَىاقاصاتا َاه َا
“Seseorang tidak akan mengetahui tafsir (maksud) dari suatu ayat tanpa berpegang pada
peristiwa dan konteks turunnya ayat.7
Pandangan al-Wahidi memberikan pengertian bahwa asbāb al-nuzūl yang
melatarbelakangi turunnya ayat adalah salah satu komponen penting yang harus diperhatikan
bagi orang yang ingin memahami maksud Al-Qur’an, dan peringatan bahwa belajar Al-
Qur’an tidak cukup hanya membaca terjemahan atau belajar sendiri dari teks-teks
7
Jalalud Din as-Syuyuti, Loc.Cit.
5
terjemahan. Karena tidak semua terjamahan atau kitab tafsir memuat asbāb al-nuzūl secara
keseluruhan, sehingga potensi untuk salah paham akan besar.
Imam al Syathibi dalam kitabnya yang berjudul “al-Muwâfaqât fi Ushul asy-
Syarî’ah” memberikan peringatan keras kepada orang yang hanya belajar dan memahami al-
Qur’an hanya dari teksnya. Lebih lanjut, beliau berkata bahwa seorang tidak boleh
memahami al Qur’an hanya terpaku pada teksnya saja, tanpa melihat atau memperhatikan
konteks turunnya ayat, karena asbab al nuzul adalah komponen dasar dalam memahami al
Qur’an.8
Pendapat al Wahidi diperkuat oleh imam Ibn Daqiq al-Aid yang berpendapat bahwa
salah satu yang penting dalam memahami ayat Al-Qur’an adalah mengetahui asbāb al-nuzūl
dari ayat itu sendiri, karena hal tersebut adalah cara untuk memperkuat dalam mengetahui
makna Al-Qur’an. Beliau mengatakan:
8
Abu Ishaq al Syathibi, al-Muwâfaqât fî Ushûl asy-Syari’ah, vol. III (Beirut: Bar al-Kutub al-Ilmiah, 2005),
hal. 258
9
Jalalud Din as-Syuyuti, Op.Cit. hal. 41
6
Sedangkan metode kedua, hanya orang tertentu yang bisa mengetahui karena
berkaitan dengan masa sahabat sehingga dapat dipastikan hanya sahabat awal yang
mengetahui peristiwa wahyu.
“Katakanlah:”Dia-lah Allah, yang maha Esa (1) Allah adalah tuhan yang
bergantung kepada-Nya segala sesuatu (2) Tiada berada beranak dan tiada pula
di peranakkan (3) Dan tiada seoarangpun yang setara dengan dengan dia (4).
10
Muhammad Ali Ash-shaabuuniy, At-Tibyaan Fii Uluumil Qur’an, Alih Bahasa oleh. Aminuddin, Studi Ilmu
al-Qur’an (Bandung: Pustaka Setia, 1998), hal. 52
7
b. Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa Nabi Saw. shalat dzuhur di waktu
yang sangat panas, di belakang rasulullah tidak lebih dari satu atau dua shaf
saja yang mengikutinya. Kebanyakan diantara mereka sedang tidur siang,
adapula yang sedang sibuk berdagang. Maka turunlah ayat tersebut diatas
(HR.ahmad, an-nasa’i, ibnu jarir).
c. Dalam riwayat lain dikemukakan pada zaman rasulullah SAW. Ada orang-
orang yang suka bercakap-cakap dengan kawan yang ada di sampingnya saat
meraka shalat. Maka turunlah ayat tersebut yang memerintahkan supaya diam
pada waktu sedang shalat (HR. Bukhari muslim, tirmidhi, abu daud, nasa’i
dan ibnu majah).
d. Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa ada orang-orang yang bercakap-
cakap di waktu shalat, dan ada pula yang menyuruh temannya menyelesaikan
dulu keperluannya (di waktu sedang shalat). Maka turunlah ayat ini yang
memerintahkan mereka supaya khusyuk ketika shalat.
“(ingatlah) hari (ketika) kami menghantam mereka dengan hantaman yang keras.
Sesungguhnya kami memberi balasan”.
8
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa asbāb al-nuzūl dari ayat-ayat tersebut
adalah; ketika kaum Quraisy durhaka kepada Nabi Saw., beliau berdoa supaya
mereka mendapatkan kelaparan umum seperti kelaparan yang pernah terjadi pada
zaman Nabi Yusuf. Alhasil mereka menderita kekurangan, sampai-sampai
mereka pun makan tulang belulang, sehingga turunlah (QS. Ad-dukhan/44: 10).
Kemudian mereka menghadap Nabi Saw untuk meminta bantuan. Maka
Rasulullah Saw berdoa agar di turunkan hujan. Akhirnya hujanpun turun, maka
turunnlah ayat selanjutnya (QS. Ad-dukhan/44: 15), namun setelah mereka
memperoleh kemewahan merekapun kembali kepada keadaan semula (sesat dan
durhaka) maka turunlah ayat ini (QS. Ad-dukhan/44: 16) dalam riwayat tersebut
dikemukakan bahwa siksaan itu akan turun di waktu perang badar.
Contoh yang lain adalah hadis yang diriwayatkan oleh Tirmizi dan Hakim
dari Ummu Salamah, ia berkata: “Wahai Rasulullah, saya tidak mendengar Allah
menyebutkan sesuatu kepada kaum wanita tentang hijrah”, maka Allah
menurunkan ayat 195 dari surat Ali ‘Imrān:
َ ُ َ َ َ ِ ُ ِ
َٰٰۡۖنث َٰ َ َ َ َ ُ ُ ٓ َ ِ َ ُ ُّ َ ُ َ َ َ َ َ
ضيع ۡعمل ۡع دم ٖل ۡمدنكم ۡمدن ۡذك ٍر ۡأو ۡأ اب ۡلهم ۡربهم ۡأ دّن َۡل ۡأ د ۡ ۡفٱستج
ُ ُ َ
ك ِد
ۡ ۡ١٩٥ .......ٰۡۖمۡم ُۢن َۡبع ٖض بعض
“Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman):
“Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di
antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah
turunan dari sebagian yang lain”.....(Q.S. Ali Imron: 195)
9
Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan
yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki
dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan
perempuan yang khusyu´, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki
dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara
kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah,
Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (Q.S.
Al-Ahzab: 35) dan juga surah Ali Imron ayat 195 seperti tersebut di atas.
Dan diriwayatkan juga dari Ummu Salamah, bahwa ia berkata: “laki-laki
berperang dan perempuan tidak berperang, dan kita mendapat warisan nishf
(setengah)”, maka Allah menurunkan ayat 32 dari surat an-Nisā:
ٞ دلر َجال ۡنَص
ِ يب ِ َ ۡلَعََ ُ َ َ ُ َ ۡما ۡفَ َض َل ۡٱ
َ َل ۡ َت َت َم َنواََ
ۡۡم َدما ض ۡل ِ د د د ٖۚ ٖ ع ۡب َٰ م كض ع
ۡ ب ۡ ۦد ۡ
ه د بۡ ۡ
ّلل ۡ و
َ َ َ َ َُ َ َ َ َ ِ يب ٞ ٱكتَ َس ُبواۡۡ َول دلنِ َسآءدۡنَص
َۡ ّللۡمدنۡفضل د ۡهدۚ ۡۦٓۡإدنۡٱ
ّۡلل َۡ سۡلواۡٱ ۡ ۡم َدماۡٱكتس
بۚۡو د د
َ َۡشء
ٗ ۡعل َ ُِ َ َ
ۡ ۡ٣٢ۡديما ٍ َكنۡبدك دل
“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada
sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain” dan ayat 35 dari surat
al-Ahzāb seperti tersebut di atas.
10
a. Adakalanya kalangan sahabat dan tabiin telah mengemukakan hukum suatu kisah
ketika menjelaskan suatu ayat. Tetapi mereka tidak secara tegas menyatakan bahwa
kisah itu merupakan asbāb al-nuzūl. Padahal, setelah diteliti ternyata kisah itu
merupakan sebab turunnya ayat tersebut.
b. Adakalnya kalangan sahabat dan tabiin mengemukakan hukum suatu kasus dengan
mengemukakan ayat tertentu, kemudian mereka menyatakan dengan kalimat “nizilat
kadza” seolah-olah mereka menyatakan bahwa peristiwa itu merupakan penyebab
turunnya ayat tersebut. Padahal, boleh jadi pernyataan itu sekedar istinbath hukum
dari Nabi tentang ayat yang dikemukakan tadi.11
Dalam penegasan al-Dahlawi ini tersirat, bahwa pernyataan-pernyataan sahabat dan
tabiin sehubungan dengan sebab turunya ayat al-Qur’an, harus terlebih dahulu diteliti,
sebelum disimpulkan bahwa pernyataan tersebut berfungsi sebagai sebab turunnya ayat
tersebut.
Oleh karena itu, dalam mengetahui Asbāb al-nuzūl (sebab-sebab turunnya ayat) para
ulama berpedoman pada Riwayat shahih yang berasal dari Rasulullah saw dan sahabat.
Lebih lanjut Al-Wahidi mengatakan sebagaimana dikutip oleh as-Suyuti, “tidak halal
berpendapat mengenai asbāb al-nuzūl kitab kecuali dengan berdasarkan pada riwayat atau
mendengar langsung dari orang-orang yang menyaksikan turunnya, mengetahui sebab-
sebabnya, dan membahas tentang pengertiannya”.12
Metode inilah yang ditempuh oleh ulama Salaf, mereka amat berhati-hati untuk
mengatakan sesuatu mengenai asbabun-nuzul tanpa pengetahuan yang jelas. Oleh kerana itu,
yang dapat dijadikan pegangan dalam asbāb al-nuzūl adalah riwayat, ucapan-ucapan
sahabat yang bentuknya seperti musnad yang secara pasti menunjukkan asbabun-nuzul. As-
Sayuti berpendapat bahwa: “Bila ucapan-ucapan seorang Tabi’in secara jelas menunjukkan
asbabun-nuzul, maka ucapan itu diterima”.13 Dengan kata lain apabila musaffir tersebut
memiliki otoritas dalam kedudukannya sebagai mufasir maka dia benar meskipun
riwayatnya berbeda dengan orang lain, (kaidah mikro tentang teori kebenaran “otoritas”).
Selanjutnya, metode untuk mengetahui asbāb al-nuzūl, sebagaimana dikemukakan
oleh az-Zarqani dalam bukunya Manahil al-Irfan fi Ulum al-Qur'an adalah sebagai berikut:14
11
Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an, Cet. I )Jakarta: PT Raja Grafindo, 2013(, hal. 31
12
Jalaluddin As-Suyuti, Lubab An-Nuqul fi Al-Asbab An-Nuzul (Maktabah Ar-Riyadh Al-Hadisah), hal. 3.
13
Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, Cet.1 (Jakarta: Pustaka Litera, 2001), hal. 108-109
14
Muhammad Abdul Adzim al-Zarqani, Manahil Al-‘Urfan fi Ulum Al-Qur’an (Jakarta: Gaya Media Pratama,
2001), hal. 124
11
a. Jika ada dua riwayat, yang satu shahih dan yang lain dha'if, maka yang digunakan
adalah riwayat yang kualitasnya shahih, sedangkan yang kualitasnya dha'if secara
otomatis ditinggalkan. Sebagai contoh kaidah ini ialah asbāb al-nuzūl yang berkaitan
dengan turunnya tiga ayat dari surat Adh-Dhuha. Riwayat pertama, diriwayatkan
oleh Imam Bukhori dari Jundab berkata, Nabi Muhammad saw. sakit, sehingga
beliau tidak shalat malam satu atau dua malam, datanglah seorang wanita yang
berkata kepadanya, “Hai Muhammad aku melihat syaithanmu (yang dimaksud
Malaikat Jibril) telah meninggalkanmu,” maka Allah menurunkan “Wa dhuha wa
laili idza saja” (adh-dhuha: 1-3). Riwayat kedua, diriwayatkan oleh ath-Thabrani dan
Ibn Abi Syaibah dari sumber Khaulah, yang merupakan pelayan Rasulullah. Bahwa
ada seekor anak anjing yang masuk rumah Nabi, lalu menyelinap di bawah ranjang
dan mati. Kemudian, selama empat hari tidak ada wahyu yang turun kepada Nabi.
Lalu beliau bersabda: Wahai Khaulah, apa yang terjadi di rumahku, sehingga Jibril
tak mendatangiku? Khaluah bergumam dalam hati seandainya engkau memeriksa
bagian bawah ranjang, lalu menyapunya, (tentu engkau menemukan sesuatu)..
kemudian aku menengok ke bawah ranjang, lalu mengeluarkan anak anjing yang
telah menjadi bangkai itu. Kemudian Nabi datang dalam keadaan bergerak-gerak
jenggotnya. Dan memang begitu bila hendak turun wahyu, beliau sering gemetar
seperti itu. Lalu Allah Swt. menurunkan ayat:
َ َ َ َ َ ُّ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ ُّ
َٰ َٰ
ۡ ۡ٣ۡۡۡماۡودعكۡربكۡوماۡقَل٢ۡلۡإدذاۡسَجَ َٰۡ َ َوٱلض
ۡۡۡ ۡوٱَّل د١ۡح
“Demi waktu matahari sepenggalahan naik, Dan demi malam apabila telah sunyi
(gelap), Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu”.
Dalam dua contoh di atas menurut az-Zarqani, yang harus didahulukan adalah
riwayat yang pertama, bukan riwayat yang kedua, karena riwayat yang pertama lebih
shahih, sedangkan riwayat yang kedua, di antara sanadnya ada yang tidak dikenal.
Ibn Hajar memberi komentar: “Kisah tentang keterlambatan datangnya Jibril
disebabkan anak anjing yang mati di bawah pembaringan Nabi Saw. sangat terkenal,
akan tetapi, sangat janggal jika dikatakan sebagai asbāb al-nuzūl surat Adh-Dhuha,
karena di dalam sanadnya ada orang yang tidak dikenal.
b. Apabila langkah pertama itu tidak memungkinkan, dikarenakan riwayat yang
berbilangnya bernilai sama-sama shahih, jalan keluarnya dengan cara di-tarjih,
12
apabila kedua riwayat kurang lebih sama shahihnya, akan tetapi memungkinkan
untuk di-tarjih, yang dipegang adalah yang rajih dan meninggalkan yang marjuh,
Misalnya riwayat Imam Bukhari dari Ibnu Mas’ud, beliau berkata: Aku berjalan
bersama Nabi Saw. di Madinah, Beliau saw. bertumpu pada tulang ekor. Lalu beliau
melewati sekelompok orang Yahudi, sebagian mereka bertanya: “ceritakan kepada
kami tentang roh”. Sejenak beliau berdiri dan mengangkat kepala. Aku tahu bahwa
beliau hendak mendapat wahyu. Kemudian beliau membaca:
ٗ َ َ ََُٓ َِ َ َ َ َُ ََ
َ ِ ُ
ۡ ۡ٨٥ۡوحۡمدنۡأم درۡر دّبۡوماۡأوت ديتمۡمدنۡٱلعدل دۡمۡإدَلۡقل ديًل ُّ ۡوحٰۖۡقُل
ُۡ ٱلر ۡ د ُّ ۡكۡ َعن
ٱلر ۡ ويسۡلون
د د
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. katakanlah: "Roh itu termasuk
urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit".
Sedangkan riwayat yang lain diceritakan oleh Imam Tirmidzi yang dinilainya
shahih, dari Ibn Abbas, beliau berkata: kaum Quraisy berkata kepada kaum Yahudi:
“Berilah kami sesuatu, tentu kami akan tanyakan pada laki-laki ini”. Mereka berkata:
“Tanyakan kepadanya tentang roh”. Mereka pun bertanya tentang roh, dan Allah
Swt. menurunkan ayat di atas.
Riwayat yang kedua ini menunjukan bahwa peristiwa itu terjadi di Makkah,
dan sebab turunnya ayat itu adalah pertanyaan kaum Quraisy kepada Nabi Saw.
Adapun yang pertama secara tegas menjelaskan bahwa ayat di atas turun di Madinah
dengan sebab pertanyaan dari kaum Yahudi kepada beliau. Ini lebih kuat dengan dua
alasan. Pertama, ia merupakan riwayat dari Imam Bukhari sedangkan yang
berikutnya merupakan riwayat Imam Tirmidzy. Dan telah menjadi kesepakatan,
bahwa yang diriwayatkan Imam Bukhari lebih kuat dibandingkan dengan riwayat
yang lainnya. Kedua, perawi yang pertama yaitu Ibn Mas’ud merupakan saksi primer
dalam kisah itu.
c. Apabila ada dua riwayat atau lebih sama shahihnya dan tidak memungkinkan untuk
di-tarjih, dengan kata lain keshahihan kedua riwayat itu sama dan tidak ditemukan
penguat (murajjih) bagi salah satunya akan tetapi keduanya dapat dikompromikan,
yakni dua riwayat itu sama-sama menjelaskan asbāb al-nuzūl dan ayat yang
diturunkan setelah peristiwa-peristiwa yang disebutkan terjadi dalam waktu yang
berdekatan, maka Menurut Ibn Hajar banyaknya asbāb al-nuzūl itu tidak masalah.
Misalnya pada firman Allah SWT dalam surah an-Nur ayat 6-9:
13
ُۡنف ُس ُهمۡفَ َش َه َٰ َدةُۡأَ َح ددهدمۡأَر َبع ُ َ ٓ َ ُ ٓ َ َ ُ ُ َ ُ َ َ َ ُ َ َٰ َ َ َ ُ َ َ َ َ
دينۡيرمونۡأزوجهمۡولمۡيكنۡلهمۡشهداءۡإدَلۡأ ۡ وٱَّل
َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ ُ َ َٰ َ َ َ َ َ َ َ َ َ
ۡٱّللدۡعليهدۡإدنَۡكن ۡ ۡ ۡوٱلخ دمس ۡة ۡأن ۡلعنت٦ۡ دني َۡ ٱّللدۡإدن ُۡهۥ ۡل دم َن ۡٱلص َٰ ددق
ۡ ت ۡۡب د ِۢ َٰ شهَٰد
َۡٱّللدۡإنَ ُۡهۥۡل َ دمن
َ َ َٰ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ ُ َ َ َ َ
تۡۡب د ۡ د َٰ
ِۢ ابۡأنۡتشهدۡأربعۡشهد ۡ ۡويدرؤاۡۡعنهاۡٱلعذ٧ۡني َۡ م َدنۡٱلكَٰذدب د
َ َ َ َ َ ٓ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َٰ َ َ َ
ۡ٩ۡدني َٰ
ۡ ٱّللدۡعليهاۡإدنَۡكنۡمدنۡٱلص ددق ۡ ۡۡوٱلخ دمس ۡةۡأنۡغضب٨ۡني َۡ ٱلكَٰذدب د
“Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), Padahal mereka tidak ada
mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah
empat kali bersumpah dengan nama Allah, Sesungguhnya Dia adalah Termasuk
orang-orang yang benar (6). Dan (sumpah) yang kelima: bahwa la'nat Allah
atasnya, jika Dia Termasuk orang-orang yang berdusta (7). Istrinya itu dihindarkan
dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah Sesungguhnya suaminya
itu benar-benar Termasuk orang-orang yang dusta (8). Dan (sumpah) yang kelima:
bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu Termasuk orang- orang yang
benar(9)”.
Bukhari, Tirmidzy dan Ibn Majah meriwayatkan dari Ibn Abbas bahwa ayat
itu turun mengenai Hilal bin Umayah yang menuduh istrinya berbuat zina dengan
Syuraik bin Sahma di hadapan Nabi. Maka Nabi berkata: “Harus ada bukti, bila tidak
punggungmu yang didera”. Hilal berkata: “Wahai Rasulullah, apabila salah seorang
di antara kami melihat sorang laki-laki mendatangi istrinya; apakah ia harus mencari
bukti?. Rasulullah menjawab: “Harus ada bukti, bila tidak punggungmu yang
didera.” Hilal berkata: “Demi Yang mengutus engkau dengan kebenaran,
sesungguhnya perkataanku itu benar dan Allah benar-benar akan membebaskan
punggungku dari dera.” Maka turunlah Jibril dan menurunkan ayat di atas.
Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Sahl bin Sa’d bahwa Uwaimir
datang kepada ‘Asim bin ‘Adi, lalu berkata: “tanyakan kepada Rasulullah tentang
seorang laki-laki yang mendapati istrinya bersama laki-laki lain; apakah ia harus
membunuhnya sehingga ia di-qishas atau apa yang harus ia lakukan?”. Kedua
riwayat tersebut di atas dapat dipadukan, yaitu bahwa peristiwa Hilal terjadi lebih
dahulu, dan kebetulan pula ‘Uwaimir mengalami kejadian serupa, maka turunlah
ayat yang berkenaan dengan urusan kedua orang itu.
d. Apabila ada dua riwayat atau lebih yang sama-sama shahih tetapi tidak ada penguat
(murajjih) pada salah satunya, sedangkan peristiwa terjadinya pada waktu yang
berjauhan, maka tidak dapat dijadikan asbāb al-nuzūl secara bersama-sama. Maka
ketentuanya adalah mengartikan ayat turun berulang-ulang karena banyaknya sebab.
14
Dan ini merupakan jenis mengamalkan semua riwayat. Seperti apa yang pernah
disampaikan az-Zarkasyi yang juga dikutip az-Zarqani dari al-Burhan: kadang
sesuatu itu dimaksudkan untuk mengagungkan posisinya dan mengingatkan
peristiwa yang menjadi sebab turunnya, karena khawatir terlupakan. Seperti riwayat
Baihaqi dan al-Bazzar dari sumber Abu Hurairah, bahwa Nabi. Melihat Hamzah
sewaktu gugur syahid dan tubuhnya dicincang. Lalu bersabda : “Sungguh aku akan
merobek-robek tujuh puluh orang di antara mereka untuk membalas siksaan
kepadamu ini”. Lalu turunlah Jibril, ketika Nabi masih berdiri terpaku, membawa
ayat-ayat terakhir dari surat An-Nahl, yaitu:
َ ِ ٞ َ َ َُ ُ َ َ َ َ ُ ِإَونۡۡ ََع َقب ُتم َۡف َعاق ُدبواۡبمثل َۡم
ۡ ۡ َوٱص د١٢٦ۡين
ۡۡب َ دلصَٰۡب
دد اۡعوق دب ُتمۡب د ۡهدۦۡۡولئدنۡصۡبتمۡلهوۡخريۡل دد د
َ َ َ ُ َ َ ِ َ ُ َ ََ ََ َ َ ََ َ َ ُ َ ََ
َۡ ۡۡۡإدن١٢٧ۡاۡيمك ُرون
ۡٱّلل ِۡفۡضي ٖقۡمدم
ٱّللۚدۡوَل َۡتزنۡعلي دهمۡوَلۡتك د ۡ ۡب َكۡإدَلۡۡب د وماۡص
َ ُّ ُ َ َ َ َ َ َ َ َ َ
ۡ ۡ١٢٨ۡدينۡهمُّۡمس ُدنون ۡ دينۡٱتقواۡۡ ۡوٱَّل ۡ معۡٱَّل
“Dan jika kamu memberikan balasan, Maka balaslah dengan balasan yang sama
dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. akan tetapi jika kamu bersabar,
Sesungguhnya Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar. Bersabarlah
(hai Muhammad) dan Tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan
Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah
kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan. Sesungguhnya Allah
beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan”. (QS.
An-Nahl: 126-128)
Sedang Tirmidzi dan Hakim meriwayatkan dari Ubaiy ibn Ka’ab, beliau
berkata: Sewaktu terjadi perang Uhud, ada enam puluh orang yang terbunuh. Itu yang
berasal dari kaum Anshar. Sedang yang dari kaum Muhajirin, jumlahnya enam
orang, termasuk Hamzah. Lalu kaum Anshar berkata: “Seandainya kamu dapat
menemukan orang yang terbunuh di antara mereka, tentu kami akan memberi balasan
yang lebih.” Kemudian sewaktu terjadi Fath Makkah, Allah Swt. menurunkan ayat
di atas.
Riwayat yang pertama menjelaskan bahwa ayat tersebut turun sewaktu
perang Uhud, sedang yang lainnya menunjukkan bahwa ayat itu turun pada waktu
Fath Makkah. Dengan demikain, menurut az- Zarqani ayat tersebut turun dua kali.15
15
Ibid., hal. 123-128. Baca juga Manna‟ al-Qattan, op. cit., hal. 125-133
15
2.5 Aplikasi Asbab an-Nuzul dalam Kehidupan Modern
Dari waktu ke waktu, Al-Qur’an mengalami gesekan dan pergulatan dengan
perjalanan manusia. Ketika itu, al-Qur’an tetap mampu berdialektika dengan sekelilingnya.
Itulah implikasi dari universalitas makna teks. Mengenai univesalitas makna dan elastisitas
pemahaman sebuah teks, M. Quraish Shihab memverivikasi asbab an-nuzul sebagai
perpaduan antara pelaku, peristiwa dan waktu. Selama ini, menurut beliau, pemahaman ayat
sering kali hanya menekankan pada peristiwanya dan mengabaikan “waktu” terjadinya.16
Akibatnya, muncul interpretasi-interpretasi searah teks tanpa mengaitkan pada realitas sosial
yang melingkupi objek aksiologisnya.
Kajian terhadap aspek ruang dan waktu sangat penting dalam mengungkap ajaran-
ajaran al-Qur’an. Pemahaman terhadap proses interaksi sosial memerlukan pengetahuan
tentang hubungan ruang dan waktu yang melekat dalam konteks tersebut. Hal ini disebabkan
karena setiap proses interaksi yang ada terletak dalam lingkup ruang dan waktu. Asbab an-
nuzul merupakan metode untuk mengungkap hubungan teks dengan ruang dan waktu.
Metode asbab an-nuzul juga mengindikasikan adanya sebuah metode perubahan sosial yang
dilakukan melalui wahyu secara aplikatif. Dengan mengetahui asbab an-nuzul suatu ayat,
akan ditemukan inti ajaran al-Qur’an dan proses dinamika sosial yang terjadi dalam
penanaman nilai-nilai ajarannya.
Asbab an-nuzul juga mengandung sebuah misi yang terkait dengan penurunan ayat.
Misi yang dimaksud adalah menyelesaikan masalah yang sedang terjadi sehingga ayat yang
diwahyukan berposisi sebagai problem solving. Metode pemecahan masalahnya
menggunakan sistem sosial yang berlaku dalam masyarakat arab pada waktu itu. Dalam
wilayah ini, ayat-ayat yang memiliki asbabun nuzul mengandung aspek partikular. Dengan
kata lain, kandungan ayat memiliki kekhususan sebab yang perlu dipertimbangkan dalam
penafsiran maupun implementasinya.17 Tidak heran jika Komaruddin Hidayat kemudian
menyimpulkan bahwa teks al-Qur’an memiliki hubungan dengan konteks sosial dan situasi
psikologis Nabi Muhammad Saw sebagai penerima wahyu.18 Dan menyangkut pula
masyarakat pada umumnya. Konteks inilah yang menggambarkan dan mengungkapkan ciri-
16
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat
(Bandung: Mizan, 2007), hal. 88
17
Ali Sadikin, Antropologi Al-Qur’an Model Dialektika & Budaya (Jogjakarta: Ar-Ruzz Mediah), hal. 12-13
18
Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutika (Bandung: Mizan, 2011),
hal. 162
16
ciri sendiri yang dapat diketahui melalui ayat-ayat yang berhubungan, baik makiyyah
maupun madaniyyah.
Melalui pemahaman terhadap asbab an-nuzul inilah ditemukan konteks suatu ayat
atau hubungan ayat dengan kondisi atau permasalahan masyarakat pada waktu ayat yang
bersangkutan diturunkan. Dari sini kemudian dipakai metode analogi atau qiyas untuk
diproyeksikan kepada kondisi sekarang dan yang akan datang, yang telah dan akan berubah.
Dari situ akan diperoleh keterangan bahwa konteks masyarakat kini dan yang akan datang
itu berbeda karena perubahan zaman. Dengan begitu, makna suatu kata, istilah atau ayat,
bisa saja berbeda atau mendapatkan penafsiran baru.
Kesulitan yang dialami sesorang dalam memahami suatu ayat al-Qur’an adalah
karena kesulitan menghubungkan apa yang dibacanya dengan kerangka referensinya yang
terbentuk dari pengalamannya. Itulah sebabnya para mufasir menganjurkan untuk
mengetahui asbab an-nuzul, sebab keterangan yang akan diperoleh bisa membantu atau
menggantikan pengalamannya sendiri sebagai kerangka referensi yang diperlukan dalam
memahami suatu ayat tersebut.
Masalah selanjutnya yang lebih esensial ialah bagaimana suatu nilai dari sebuah
kasus dapat ditarik generalitasnya supaya nilai tersebut tidak lagi terikat oleh kekhususan
peristiwa asal mulanya dan dapat diberlakukan pada kasus-kasus lain di semua tempat dan
inilah yang dianggap sebagai universalitas suatu nilai.
Berdasarkan persoalan di atas, ada sebuah tawaran metodologi yang akan
mengefektifkan proses dialektis teks al-Qur’an dengan sosiokultural yang menyertainya:
setelah makna tekstual suatu teks diketahui dalam proses tafsir, maka teks tersebut
dikembalikan ke zamannya ketika diturunkan (asbab an-nuzul) sesuai kondisi ruang dan
waktu saat itu. Formulasi makna yang diperoleh kemudian diturunkan dan didialektikan
dengan psiko-sosio-kultural penafsir atau audiens bersangkutan dengan standar
pertimbangan tertentu, seperti universalitas dan kemaslahatan umum (mashlahatul
‘ammah). Maka implikasinya akan searah dengan kaidah fikih yang menyatakan
“taghayyurul ahkam bi taghayyuriz zaman wal makan” (hukum berubah dengan perubahan
zaman).19
Ulama telah membahas tentang hubungan tentang sebab yang terjadi dengan ayat
yang turun. Hal ini dianggap penting, karena sangat erat kaitannya dengan penetapan hukum,
19
Muhammad Chirzin, Buku Pintar Asbabun Nuzul: Mengerti Pesan Moral di Balik Ayat-Ayat Al-Qur’an
(Zaman), hal. 20
17
sebagai akibat darinya, berdasarkan ayat yang bersangkutan. Yakni, apakah ayat itu berlaku
secara umum berdasarkan bunyi lafalnya, ataukah tetap terkait dengan sebab turunnya ayat
itu. Puncak perselisihan paham ini melahirkan dua kaidah yang saling berhadapan, yang
masing-masing berbunyi:
با
ص ماوصااالساابَ ا
ابُ ُا
االمعامبااَراةُابا اعُ ُام ماوماااللا مافظااَال ا
“Yang menjadi ‘ibarah (pegangan) ialah keumuman lafal bukan kekhususan sebab.”
Dalam kedua kaidah tersebut jumhur ulama berpendapat, bahwa yang harus
dipegangi adalah keumuman lafal dan bukan kekhususan sebab. Dengan argumen sebagai
berikut:
a. Hujjah yang harus dipegangi adalah lafal ayat dan sebab-sebab yang timbul
hanya berfungsi sebagai alasan.
b. Pada prinsipnya, kandungan lafal memiliki pengertian umum terkecuali ada
qarinah antara keduanya.
c. Para sahabat Nabi dan mujtahid di berbagai tempat dan masa berpegang pada
teks ayatnya dan bukan pada sebabnya.
Meski demikian, ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa yang harus dipegang
adalah kekhusuan sebabnya. Di anatra argumennya adalah bahwa ayat yang turun pada
hakikatnya merupakan keringkasan kasus yang terjadi beserta petunjuk penyelesaiannya.
Sedangkan pada kasus lain yang serupa dengannya, maka hukum yang dipakai tidak berasal
langsung dari ayat itu sendiri, melainkan berasal dari pemakaian qiyas (analog).
Puncak khilafiyah (perbedaan pendapat) yang terdapat pada persoalan asbab an-
nuzul ini terjadi ketika sebab dan akibat tidak memiliki qarinah. Akan berbeda halnya jika
sebab dan akibat mempunyai qarinah. Dengan demikian, sesungguhnya antara pendapat
jumhur dengan sebagian ulama di atas, tidaklah berbeda bila dilihat dari segi kapasitas dan
aplikasi dan cakupan hukumnya. Yang berbeda hanyalah bahwa jumhur ulama
menggunakan dalil manthuq al-ayah, sedangkan yang lain menggunakan jalan qiyas.
18
2.6 Redaksi Asbab an-Nuzul
Bentuk redaksi yang menerangkan asbāb al-nuzūl itu adakalanya berupa pernyataan
tegas mengenai sebab dan adakalanya pula berupa pernyataan yang hanya mengandung
kemungkinan mengenainya. Cara menilai bentuk redaksi asbāb al-nuzūl yang bersumber
dari riwayat yang shahih, adalah:
a. Berupa pernyataan tegas, ialah jika perawi mengatakan: “sabab al-nuzūl ayat ini
adalah begini”, atau menggunakan “fa ta’qibiyah” (yang artinya “maka”,
menunjukkan urutan peristiwa) yang dirangkaikan dengan kata “turunlah ayat”,
sesudah ia menyebutkan peristiwa atau pertanyaan. Misalnya ia mengatakan: ث َكذَا
َ ََحد
menjelaskan kandungan hukum ayat yaitu bila perawi mengatakan: َنزَ لَت َهذه اآل َية
( في َكذَاayat ini turun mengenai hal ini). Ungkapan atau redaksi seacam ini bisa saja
mengandung sabab nuzūl ayat namun dapat pula mengacu hal lain yaitu lebih pada
kandungan hukum ayat tersebut.
Demikian juga bila ia mengatakan: “ أ َحسب أ َن َهذه اآل َيةَ َنزَ لَت في َكذَاAku
mengira ayat ini turun mengenai hal ini” atau َكذَا َما أ َحسب أ َن َهذه اآل َيةَ َنزَ َلت في
“Aku tidak mengira ayat ini turun mengenai hal ini.” Dengan bentuk redaksi
demikian, perawi tidak dapat memastikan sabab nuzūl ayat tertentu. Kedua bentuk
redaksi tersebut mungkin menunjukkan sebab nuzūl dan mungkin pula menunjukkan
kepada hal yang lain.
Ada beberapa riwayat mengenai asbāb al-nuzūl, terkadang terdapat banyak riwayat
mengenai asbāb al-nuzūl suatu ayat. Ringkasnya, bila sebab nuzūl suatu ayat itu banyak,
maka terkadang semuanya tidak tegas, terkadang pula semuanya tegas dan terkadang
sebagiannya tidak tegas, sedangkan sebagian lainnya tegas dalam menunjukkan sebab.
Dalam keadaan demikian, sikap seorang mufasir kepadanya sebagai berikut:
19
a. Apabila semuanya tidak tegas dalam menunjukkan sebab, maka tidak ada salahnya
untuk membawanya dan dipandang sebagai tafsir dan kandungan ayat.
b. Apabila sebagian tidak tegas dan sebagian lain tegas, maka yang harus menjadi
pegangan adalah yang tegas.
c. Apabila semuanya tegas, maka tidak terlepas dari kemungkinan bahwa adanya salah
satu yang sahih atau semuanya sahih. Apabila salah satunya sahih sedang yang
lainnya tidak, maka yang sahih itulah yang menjadi pegangan.
d. Apabila semuanya sahih, maka dilakukan pentarjihan bila mungkin.
e. Bila tidak mungkin dengan pilihan pentarjihan tersebut, maka dipadukan bila
mungkin.
f. Bila tidak mungkin dipadukan, maka dipandanglah ayat tersebut diturunkan
beberapa kali dan berulang.20
20
Manna Khalil al-Qattan, Op. Cit., hal. 108-109
20
kebajikan dengan kerelaan hati, sesungguhnya Allah maha mensyukuri kebaikan
lagi maha mengetahui”.
Urwah bin zubair kesulitan memahami “tidak ada dosa” di dalam ayat ini lalu
ia menanyakan kepada Aisyah perihal ayat tersebut, lalu Aisyah menjelaskan bahwa
peniadaan dosa di situ bukan peniadaan hukum fardhu. Peniadaan di situ
dimaksudkan sebagai penolak keyakinan yang telah mengakar di hati muslimin pada
saat itu, bahwa melakukan sa’i antara Sofa dan Marwa termasuk perbuatan Jahiliyah.
Keyakinan ini didasarkan atas pandangan bahwa pada masa pra Islam di bukit
Safa terdapat sebuah patung yang di sebut “Isaf” dan di bukit Marwa ada patung
yang di sebut “Na’ilah”. Jika melakukan sa’i di antara dua bukit itu orang Jahiliyah
sebelumnya mengusap kedua patung tersebut. Ketika islam datang, patung-patung
tersebut itu dihancurkan, dan sebagian ummat Islam enggan melakukan Sa’i di
tempat itu, maka turunlah ayat ini; QS. Al-Baqarah:158.
3. Pengetahuan asbab an-nuzul dapat mengkhususkan (takhsis) hukum terbatas pada
sebab, terutama ulama yang menganut kaidah (khusus as-sabab) sebab khusus.
Sebagai contoh turunnya ayat-ayat dhihar pada permulaan surat al-Mujadalah, yaitu
dalam kasus Aus Ibnu As-Samit yang mendzihar istrinya, Khaulah Binti Hakam Ibnu
Tsa’labah.
4. Yang paling penting ialah asbab an-nuzul dapat membantu memahami apakah suatu
ayat berlaku umum atau berlaku khusus, selanjutnya dalam hal apa ayat itu di
terapkan. Maksud yang sesungguhnya suatu ayat dapat di pahami melalui asbab an-
nuzul.
5. Pengetahuan tentang asbab an-nuzul akan mempermudah orang yang menghafal
ayat-ayat al-qur’an serta memperkuat keberadaan wahyu dalam ingatan yang
mendengarnya jika mengetahui sebab turunnya. Sebab, pertalian antara sebab dan
musabab (akibat), hukum dan peristiwa, peristiwa dan pelaku, masa dan tempatnya,
semua ini merupakan faktor-faktor yang menyebabkan mantapnya dan terlukisnya
dalam ingatan.
21
BAB III
KESIMPULAN
22
DAFTAR PUSTAKA
Al Syathibi, Abu Ishaq. al-Muwâfaqât fî Ushûl asy-Syari’ah, vol. III. Beirut: Bar al-Kutub
al-Ilmiah, 2005
Al-Qattan, Manna Khalil. Studi Ilmu-ilmu Qur’an, Cet.1. Jakarta: Pustaka Litera, 2001
Ash-shaabuuniy, Muhammad Ali. At-Tibyaan Fii Uluumil Qur’an, Alih Bahasa oleh.
Aminuddin, Studi Ilmu al-Qur’an. Bandung: Pustaka Setia, 1998
As-Suyuthi, Jalaluddin, Sebab Turunnya Ayat Al-Qur'an. Depok : Gema Insani, 2008.
As-Suyuti, Jalaluddin Abdurrahman. Al-ltqon fi Ulumil Qur'an. Kairo : Musthafa al-Babi al-
Halabi, 1951
Channa AW, Dra liliek, Ulum Qur’an dan Pembelajarannya. Surabaya: Kopertais IV Press,
2010
Chirzin, Muhammad. Buku Pintar Asbabun Nuzul: Mengerti Pesan Moral di Balik Ayat-
Ayat Al-Qur’an. Zaman.
Rohman, Abid, M. Fil. I, dkk.Studi al-Qur’an. Surabaya: IAIN Sunan Ampel Pres, 2011
Sadikin, Ali. Antropologi Al-Qur’an Model Dialektika & Budaya. Jogjakarta: Ar-Ruzz
Mediah.
Shihab, M. Quraish. Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat. Bandung: Mizan, 2007
Suma, Muhammad Amin, Ulumul Qur’an, Cet. I. Jakarta: PT Raja Grafindo, 2013
Wahidi, Ridhoul. Asbabun Nuzul Sebagai Cabang Ulumul Qur'an. Jurnal Syahadah, 2015
23