Anda di halaman 1dari 49

KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN


PADA TN. S DENGAN TRAUMA CRANIUM

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Praktik Klinik 2


Tahap 2 Daring

Dosen Pembimbing :

Pria Wahyu, S.Kep.Ns., M.Kep

Disusun Oleh :
Uria Rizki Pangestu
NPM.201701113

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KARYA HUSADA
KEDIRI
2021
KEPERAWATAN GAWAT DARURAT
LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN
PADA TN. S DENGAN TRAUMA CRANIUM

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Praktik Klinik 2


Tahap 2 Daring

Dosen Pembimbing :

Pria Wahyu, S.Kep.Ns., M.Kep

Disusun Oleh :
Uria Rizki Pangestu
NPM.201701113

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KARYA HUSADA
KEDIRI
2021
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Pendahuluan Dan Asuhan Keperawatan Gawat Darurat Pada Tn.


S dengan Trauma Cranium di Praktek Keperawatan Klinik 2 Tahap 2 Daring
semester VIII oleh mahasiswa Program Studi Sarjana Keperawatan STIKES
Karya Husada Kediri. telah disetujui dan disahkan :

Nama : Uria Rizki Pangestu


NIM : 2017011113
Tanggal : 13 Februari 2021

Dosen Pembimbing Mahasiswa

Pria Wahyu, S.Kep.Ns., M.Kep. Uria Rizki Pangestu


LEMBAR PENILAIAN PRAKTIK LAB KLINIK

Nama Mahasiswa : Uria Rizki Pangestu

NIM : 201701113

Periode Praktik : Keperawatan Gawat Darurat

Tanggal : 13 Februari 2021

Judul Askep : Laporan Pendahuluan Dan Asuhan Keperawatan Gawat


Darurat Pada Tn. S dengan Trauma Cranium

NIL TOTAL
N NILAI
AI
o ELEMEN TT Preceptor (1)
(0- 1+2+3
.
100)
3
Laporan
1.
Pendahuluan (LP)

Asuhan
2.
Keperawatan
(.........................................................)
3. Responsi
Pria Wahyu, S.Kep.Ns., M.Kep.

TOTAL
NILAI NILAI
No. ELEMEN (0- TT Preceptor (2)
100) 1+2
2

Penguasaan
1. Konsep
Perasat/Skill

Responsi
2. Prosedur/SOP
(.............................................................)
Perasat
Pria Wahyu, S.Kep.Ns., M.Kep.
LAPORAN PENDAHULUAN TRAUMA CRANIUM

1.1.Konsep Gawat Darurat

1.1.1 Definisi Gawat darurat

Gawat darurat adalah keadaan klinis pasien yang membutuhkan

tindakan medis segeraguna penyelamatan nyawa dan pencegahan

kecacatan lebih lanjut (UU no 44 tahun 2009). Gawat darurat adalah suatu

keadaan yang terjadinya mendadak mengakibatkan seseorangatau banyak

orang memerlukan penanganan/pertolongan segera dalam arti

pertolongansecara cermat, tepat dan cepat. Apabila tidak mendapatkan

pertolongan semacam itu mekakorban akan mati atau cacat/ kehilangan

anggota tubuhnya seumur hidup (Saanin, 2012).

Keadaan darurat adalah keadaan yang terjadinya mendadak,

sewaktu-waktu/ kapan sajaterjadi dimana saja dan dapat menyangkut siapa

saja sebagai akibat dari suatu kecelakaan,suatu proses medic atau

perjalanan suatu penyakit (Saanin, 2012).

1.1.2 Klasifikasi Kondisi Gawat Darurat

Kondisi gawat darurat dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

1. Gawat darurat

Suatu kondisi dimana dapat mengancam nyawa apabila tidak

mendapatkan pertolongan secepatnya. Contoh : gawat nafas, gawat

jantung, kejang, koma, traumakepala dengan penurunan kesadaran.

2. Gawat tidak darurat


Suatu keadaan dimana pasien berada dalam kondisi gawat tetapi

tidak memerlukantindakan yang darurat contohnya : kanker stadium

lanjut

3. Darurat tidak gawat

Pasien akibat musibah yang datang tibatiba tetapi tidak

mengancam nyawa atauanggota badannya contohnya : fraktur tulang

tertutup.

4. Tidak gawat tidak darurat

Pasien poliklinik yang datang ke UGD

1.1.3 Triage Dalam Gawat Darurat

Triage adalah suatu sistem seleksi pasien yang menjamin supaya tidak ada

pasien yang tidak mendapatkan perawatan medis. Tujuan triage ini adalah

agar pasien mendapatkan prioritas pelayanan sesuai dengan tingkat

kegawatannya.

1. Pasien yang tiba-tiba dalam keadaan gawat atau akan menjadi gawat

dan terancam nyawanya dan atau anggota badannya (akan menjadi

cacat) bila tidak mendapatkan pertolongan secepatnya . biasanya di

lambangkan dengan label merah. Misalnya AMI (Acut Miocard

Infark).

2. Pasien berada dalam keadaan gawat tetapi tidak memerlukan tindakan

darurat. Biasanya dilambangkan dengan label biru. Misalnya pasien

dengan Ca stadium akhir.


3. Pasien akibat musibah yang datang tiba-tiba, tetapi tidak mengancam

nyawa dan anggota badannya. Biasanya di lambangkan dengan label

kuning. Misalnya, pasien Vulnus Lateratum tanpa pendarahan.

4. Pasien yang tidak mengalami kegawatan dan kedaruratan.Biasanya

dilambangkan dengan label hijau. Misalnya, pasien batuk, pilek.

1.1.4 Pelayanan Gawat Darurat

Pelayanan gawat darurat tidak hanya memberikkan pelayanan untuk

mengatasi kondisi kedaruratan yang di alami pasien tetapi juga memberikan

asuhan keperawatan untuk mengatasi kecemasan pasien dan keluarga.

Keperawatan gawat darurat adalah pelayanan professional keperawatanyang

diberikan pada pasien dengan kebutuhan urgen dan kritis. Namun UGD dan

klinik kedaruratan sering digunakan untuk masalah yang tidak urgent, sehingga

filosofi tentang keperawatan gawat darurat menjadi luas, kedaruratan yaitu

apapun yang dialami pasienatau keluarga harus di pertimbangkan sebagai

kedaruratan (Hati, 2011 dalam Saanin,2012). System pelayanan bersifat darurat

sehingga perawat dan tenaga medis lainnya harus memiliki kemampuan,

keterampilan, tehnik serta ilmu pengetahuan yang tinggi dalammemberikan

pertolongan kedaruratan kepada pasien (Saanin, 2012).

Perawat yang membantu korban dalam situasi emergensi harus

menyadari konsekuensi hukum yang dapat terjadi sebagai akibat dari

tindakan yang mereka berikan. Banyak negara-negara yang telah

memberlakukan undang-undang untuk melindungi personal kesehatan

yang menolong korban-korban kecelakaan. Undang-undang ini bervariasi

diberbagai negara, salah satu diantaranya memberlakukan undang-undang

“Good Samaritan” yang berfungsi untuk mengidentifikasikan bahasa/


istilah hukum orang-orang atau situasi yang memberikan kekebalan

tanggung jawab tertentu, banyak diantaranya ditimbulkan oleh adanya

undang-undang yang umum.

Perawatan yang dapat dipertanggungjawabkan diberikan oleh

perawat pada tempat kecelakaan biasanya dinilai sebagai perawatan yang

diberikan oleh perawatan serupa lainnya dalam kondisi-kondisi umum

yang berlaku. Maka perawatan yang diberikan tidaklah dianggap sama

dengan perawatan yang diberikan diruangan emergensi. Perawat-perawat

yang bekerja di emergensi suatu rumah sakit harus menyadari implikasi

hukum dari perawatan yang diberikan seperti memberikan persetujuan dan

tindakan-tindakan yang mungkin dilakukan dalam membantu kondisi

mencari bukti-bukti.

1.1.5 Karakteristik Keperawatan Gawat Darurat

Keperawatan gawat darurat atau emergency nursing merupakan

pelayanan keperawatan yang komprehensif diberikan kepada pasien

dengan injuri akut atau sakit yang mengancam kehidupan.

Kegawatdaruratan medis dapat diartikan menjadi suatu keadaan cedera

atau sakit akut yang membutuhkan intervensi segera untuk menyelamatkan

nyawaatau mencegah atau mencegah kecacatan serta rasa sakit pada

pasien. Pasien gawat darurat merupakan pasien yang memerlukan

pertolongan segera dengan tepat dan cepat untuk mencegah terjadinya

kematian atau kecacatan. Dalam penanganannya dibutuhkan bantuan oleh

penolong yang profesional. Derajat kegawatdaruratan serta kualitas dari

penanganan yang diberikan membutuhkan keterlibatan dari berbagai


tingkatan pelayanan, baikdari penolong pertama, teknisi kesehatan

kegawatdaruratan serta dokter kegawatdaruratannya itu sendiri. Respon

terhadap keadaan kegawatdaruratan medis bergantung kuat pada

situasinya. Keterlibatan pasien itu sendiri serta ketersediaan sumberdaya

untuk menolong. Hal tersebut beragam tergantung dimana

peristiwakegawatdaruratan itu terjadi, diluar atau didalam rumah sakit

(Caroline 2013). Karakteristik keperawatan gawat darurat terdiri dari:

1. Tingkat kegawatan dan jumlah pasien sulit diprediksi

2. Keterbatasan waktu, data dan sarana: pengkajian, diagnosis, dan

tindakan

3. Keperawatan diberikan untuk seluruh usia

4. Tindakan memerlukan kecepatan dan ketepatan tinggi

5. Saling ketergantungan yang tinggi antara profesi kesehatan

1.1.6 Prinsip Keperawatan Gawat darurat

Prinsip pada penanganan penderita gawat darurat harus cepat dan

tepat serta harusdilakukan segera oleh setiap orang yang pertama

menemukan/mengetahui (orang awam, perawat, para medis, dokter), baik

didalam maupun diluar rumah sakit karena kejadian ini dapat terjadi setiap

saat dan menimpa siapa saja.

1. Bersikap tenang tapi cekatan dan berpikir sebelum bertindak (jangan

panik).

2. Sadar peran perawat dalam menghadapi korban dan wali ataupun

saksi.
3. Melakukan pengkajian yang cepat dan cermat terhadap masalah yang

mengancam jiwa(henti napas, nadi tidak teraba, perdarahan hebat,

keracunan).

4. Melakukan pengkajian sistematik sebelum melakukan tindakan secara

menyeluruh.Pertahankan korban pada posisi datar atau sesuai (kecuali

jika ada ortopnea), lindungi korban dari kedinginan.

5. Jika korban sadar jelaskan apa yang terjadi, berikan bantuan untuk

menenangkan danyakinkan akan ditolong.

6. Hindari mengangkat atau memindahkan yang tidak perlu,

memindahkan jika hanyaada kondisi yang membahayakan.

7. Jangan di beri minum jika ada trauma abdomen atau perkiraan

kemungkinan tindakananastesi umum dalam waktu dekat.

8. Jangan dipindahkan (ditransportasi) sebelum pertolongan pertama

selesai dilakukandan terdapat alat transportasi yang memadai.

1.1.7 Fungsi Perawat Dalam Pelayanan Gawat Darurat

1. Melaksanakan asuhan keperawatan gawat darurat

2. Kolaborasi dalam pertolongan gawat darurat

3. Pengelolaan pelayanan perawatan di daerah bencana dan ruang gawat

darurat

1.1.8 Tindakan – tindakan yang Berhubungan dengan bantuan hidup dasar dan

bantuan hidup lanjut.

Pengetahuan medis teknis yang harus diketahui adalah mengenal

ancaman kematian yang disebabkan oleh adanya gangguan jalan nafas,

gangguan fungsi pernafasan/ventilasi dan gangguan sirkulais darah dalam


tubuh kita. Dalam usaha untuk mengatasi ketiga gangguan tersebut harus

dilakukan upaya pertolongan pertama yang termasuk dalambantuan hidup

dasar yang meliputi:

1. Pengelolaan jalan nafas (airway)

2. Pengelolaan fungsi pernafasan/ventilasi (breathing management)

3. Pengelolaan gangguan fungsi sirkulasi (circulation management)

Setelah bantuan hidup dasar terpenuhi dilanjutkan pertolongan

lanjutan atau bantuan hidup lanjut yang meliputi :

1. Penggunaan obat-obatan (drugs)

2. Dilakukan pemeriksaan irama/gelombang jantung (EKG)

3. Penanganan dalam kasus fibrilasi jantung (fibrilasi)

Khusus untuk kasus-kasus kelainan jantung pengetahuan tentang

ACLS (Advanced Cardiac Life Sipport) setelah tindakan ABC dilakukan

tindakan D (differential diagnosis), untuk kasus-kasus ATLS (Advanced

Trauma Life Support) setelah ABC dilanjutkan dengan D (disability) serta

E (exposure).

1.2.Konsep Trauma Cranium

1.2.1 Definisi Trauma Cranium

Cranium atau tulang kepala atau tulang tengkorak adalah

sekumpulan tulang yang saling berhubungan satu sama lain yang

didalamnya terdapat cavum cranii yang berisi otak atau encephalon.

Cranium dibagi menjadi neurocranium dan viscerocranium, yang

melindungi otak adalah neurocranium dan yang membentuk tulang wajah

adalah viscerocranium. Cranium adalah bagian dari kepala yang bulat,


lebar, melapisi otak, dan tersusun dari tulang-tulang tengkorak (Dorland,

2010).

Trauma kepala adalah serangkaian kejadian patofisiologik yang

terjadi setelah trauma kepala, yang dapat melibatkan kulit kepala, tulang

dan jaringan otak atau kombinasinya (Standar Pelayanan Medis, RS

Dr.Sardjito). Trauma kepala adalah gangguan fungsi normal otak karena

trauma baik trauma tumpul maupun trauma tajam. Deficit neorologis

terjadi karena robekanya subtansia alba, iskemia, dan pengaruh massa

karena hemorogik, serta edema serebral disekitar jaringan otak (Batticaca,

2008).

Trauma kepala merupakan suatu kondisi di mana bagian kepala

mengalami gangguan baik berupa fungsi maupun strukturnya, setelah

mengalami trauma tumpul atau penetrasi. Trauma kepala menimbulkan

kelainan struktural dan atau fungsional pada jaringan otak, bahkan dapat

mengganggu kesadaran dan menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif

dan fisik (Marx, Hockberger, & Walls, 2014). Trauma kepala adalah suatu

kerusakan pada kepala bukan bersifat kongenital maupun degeneratif,

tetapi disebabkan benturan fisik dari luar yang dapat mengurangi dan

mengubah kesadaran serta menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif

dan fisik (Brain Injury Association of America, 2012).

Beberapa kondisi pasien dengan trauma kepala dapat diukur

menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS). Kasus trauma kepala yang

parah biasanya memiliki nilai GCS kurang dari atau sama dengan 8,

mengalami kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24


jam, dapat mengalami kontusio cerebral, laserasi, atau hematoma

intrakranial. Ada beberapa kasus trauma kepala yang parah, tetapi skor

GCS ≥ 8 ketika terdapat perburukan neurologis, fraktur tengkorak, pupil

atau motorik tidak ekual, trauma kepala terbuka disertai keluarnya cairan

cerebro spinal (CSS) atau tampak jaringan otak dan perdarahan

intrakranial (Hadi, 2014; Mary, 2011).

1.2.2 Klasifikasi Trauma Cranium

Berat ringannya cedera kepala bukan didasarkan berat ringannya

gejala yang muncul setelah cedera kepala. Ada beberapa klasifikasi yang

dipakai dalam menentukan derajat cedera kepala. Cedera kepala

diklasifikasikan dalam berbagi aspek, secara praktis dikenal 3 deskripsi

klasifikasi yaitu berdasarkan:

1. Berdasarkan Mekanisme

a. Trauma Tumpul : adalah trauma yang terjadi akibat kecelakaan

kendaraan bermotor, kecelakaan saat olahraga, kecelakaan saat

bekerja, jatuh, maupun cedera akibat kekerasaan (pukulan).

b. Trauma Tembus : adalah trauma yang terjadi karena tembakan

maupun tusukan benda-benda tajam/runcing.

2. Berdasarkan Beratnya Cidera

The Traumatic Coma Data Bank mengklasifisikan berdasarkan

Glasgow Coma Scale:

a. Cedera Kepala Ringan/Minor (Kelompok Risiko Rendah) yaitu,

GCS 14-15, pasien sadar dan berorientasi, kehilangan kesadaran

atau amnesia < dari 30 menit, tidak ada intoksikasi alkohol atau
obat terlarang, klien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing, tidak

terdapat fraktur tengkorak, kontusio, hematom , tidak ada kriteria

cedera sedang sampai berat.

b. Cedera Kepala Sedang (Kelompok Risiko Sedang) yaitu GCS 9-13

(konfusi, letargi dan stupor), pasien tampak kebingungan,

mengantuk, namun masih bisa mengikuti perintah sederhana,

hilang kesadaran atau amnesia > 30 menit tetapi < 24 jam, konkusi,

amnesia paska trauma, muntah, tanda kemungkinan fraktur

kranium (tanda battle, mata rabun, hemotimpanum, otorhea atau

rinorhea cairan serebrospinal).

c. Cedera Kepala Berat (Kelompok Risiko Berat) yaitu GCS 3-8

(koma), penurunan derajat kesadaran secara progresif, kehilangan

kesadaran atau amnesia > 24 jam, tanda neurologis fokal, cedera

kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi cranium.

3. Berdasarkan Morfologinya

Berdasarkan morfologi cedera kepala, Menurut (Tobing, 2011)

yang diklasifikasikan menjadi cedera otak fokal dan cedera otak difus.

a. Cedera otak fokal

1) Perdarahan epidural atau epidural hematoma (EDH)

Epidural hematom (EDH) adalah adanya darah di ruang

epidural yitu ruang potensial antara tabula interna tulang

tengkorak dan durameter. Epidural hematom dapat

menimbulkan penurunan kesadaran adanya interval lusid

selama beberapa jam dan kemudian terjadi defisit neorologis


berupa hemiparesis kontralateral dan gelatasi pupil itsilateral.

Gejala lain yang ditimbulkan antara lain sakit kepala, muntah,

kejang dan hemiparesis.

2) Perdarahan subdural akut atau subdural hematom (SDH) akut

Perdarahan subdural akut adalah terkumpulnya darah di

ruang subdural yang terjadi akut (6-3 hari). Perdarahan ini

terjadi akibat robeknya vena-vena kecil dipermukaan korteks

cerebri. Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh

hemisfir otak. Biasanya kerusakan otak dibawahnya lebih berat

dan prognosisnya jauh lebih buruk dibanding pada perdarahan

epidural.

3) Perdarahan subdural kronik atau SDH kronik

Subdural hematom kronik adalah terkumpulnya darah

diruang subdural lebih dari 3 minggu setelah trauma. Subdural

hematom kronik diawali dari SDH akut dengan jumlah darah

yang sedikit. Darah di ruang subdural akan memicu terjadinya

inflamasi sehingga akan terbentuk bekuan darah atau clot yang

bersifat tamponade. Dalam beberapa hari akan terjadi infasi

fibroblast ke dalam clot dan membentuk noumembran pada

lapisan dalam (korteks) dan lapisan luar (durameter).

Pembentukan neomembran tersebut akan di ikuti dengan

pembentukan kapiler baru dan terjadi fibrinolitik sehingga

terjadi proses degradasi atau likoefaksi bekuan darah sehingga

terakumulasinya cairan hipertonis yang dilapisi membran semi


permeabel. Jika keadaan ini terjadi maka akan menarik likuor

diluar membran masuk kedalam membran sehingga cairan

subdural bertambah banyak. Gejala klinis yang dapat

ditimbulkan oleh SDH kronis antara lain sakit kepala, bingung,

kesulitan berbahasa dan gejala yang menyerupai TIA (transient

ischemic attack).disamping itu dapat terjadi defisit neorologi

yang berfariasi seperti kelemahan otorik dan kejang.

4) Perdarahan intra cerebral atau intracerebral hematom (ICH)

Intra cerebral hematom adalah area perdarahan yang

homogen dan konfluen yang terdapat didalam parenkim otak.

Intra cerebral hematom bukan disebabkan oleh benturan antara

parenkim otak dengan tulang tengkorak, tetapi disebabkan oleh

gaya akselerasi dan deselerasi akibat trauma yang

menyebabkan pecahnya pembuluh darah yang terletak lebih

dalam, yaitu di parenkim otak atau pembuluh darah kortikal

dan subkortikal. Gejala klinis yang ditimbulkan oleh ICH

antara lain adanya penurunan kesadaran. Derajat penurunan

kesadarannya dipengaruhi oleh mekanisme dan energi dari

trauma yang dialami.

5) Perdarahan subarahnoit traumatika (SAH)

Perdarahan subarahnoit diakibatkan oleh pecahnya

pembuluh darah kortikal baik arteri maupun vena dalam jumlah

tertentu akibat trauma dapat memasuki ruang subarahnoit dan

disebut sebagai perdarahan subarahnoit (PSA). Luasnya PSA


menggambarkan luasnya kerusakan pembuluh darah, juga

menggambarkan burukna prognosa. PSA yang luas akan

memicu terjadinya vasospasme pembuluh darah dan

menyebabkan iskemia akut luas dengan manifestasi edema

cerebri.

b. Cedera otak difus

1) Cedera akson difus difuse aksonal injury (DAI)

Difus axonal injury adalah keadaan dimana serabut

subkortikal yang menghubungkan inti permukaan otak dengan

inti profunda otak (serabut proyeksi), maupun serabut yang

menghubungkan inti-inti dalam satu hemisfer (asosiasi) dan

serabut yang menghbungkan inti-inti permukaan kedua

hemisfer (komisura) mengalami kerusakan. Kerusakan sejenis

ini lebih disebabkan karena gaya rotasi antara initi profunda

dengan inti permukaan.

2) Kontsuio cerebri

Kontusio cerebri adalah kerusakan parenkimal otak yang

disebabkan karena efek gaya akselerasi dan deselerasi.

Mekanisme lain yang menjadi penyebab kontosio cerebri

adalah adanya gaya coup dan countercoup, dimana hal tersebut

menunjukkan besarnya gaya yang sanggup merusak struktur

parenkim otak yang terlindung begitu kuat oleh tulang dan

cairan otak yang begitu kompak. Lokasi kontusio yang begitu


khas adalah kerusakan jaringan parenkim otak yang berlawanan

dengan arah datangnya gaya yang mengenai kepala.

3) Edema cerebri

Edema cerebri terjadi karena gangguan vaskuler akibat

trauma kepala. Pada edema cerebri tidak tampak adanya

kerusakan parenkim otak namun terlihat pendorongan hebat

pada daerah yang mengalami edema. Edema otak bilateral lebih

disebabkan karena episode hipoksia yang umumnya

dikarenakan adanya renjatan hipovolemik.

4) Iskemia cerebri

Iskemia cerebri terjadi karena suplai aliran darah ke bagian

otak berkurang atau terhenti. Kejadian iskemia cerebri

berlangsung lama (kronik progresif) dan disebabkan karena

penyakit degeneratif pembuluh darah otak.

1.2.3 Etiologi Trauma Cranium

Fraktur Cranium dapat disebabkan oleh dua hal antara lain :

1. Benda Tajam: Trauma benda tajam dapat menyebabkan cedera

setempat.

2. Benda Tumpul: dapat menyebabkan cedera seluruh kerusakan terjadi

ketika energy / kekuatan diteruskan kepada otak. Kerusakan jaringan

otak karena benda tumpul tergantung pada:

a. Lokasi

b. Kekuatan

c. Fraktur infeksi/ kompresi


d. Rotasi

e. Delarasi dan deselarasi

Mekanisme cedera kepala

1. Akselerasi

Ketika benda yang sedang bergerak membentur kepala yang diam.

Contoh : akibat pukulan lemparan.

2. Deselerasi

Contoh : kepala membentur aspal.

3. Deformitas

Dihubungkan dengan perubahan bentuk atau gangguan integritas

bagan tubuh yang dipengaruhi oleh kekuatan pada tengkorak.

Menurut Hammond and Zimmermann (2013), etiologi trauma

kepala, yaitu:

1. Kecelakaan lalu lintas

Pasien trauma kepala berat yang masuk ke IGD rumah sakit

sebesar 13% disebabkan karena kecelakaan lalu lintas.

2. Jatuh

Pasien trauma kepala berat yang masuk ke IGD rumah

sakit sebesar 40% karena jatuh.

3. Trauma benda tumpul

Trauma benda tumpul menyebabkan substansi otak rusak karena

energi yang diteruskan ke substanso diserap lapisan pelindung, yaitu

rambut, kulit kepala, dan tengkorak.

4. Trauma benda tajam


Trauma ini dapat menyebabkan trauma area setempat dan

menimbulkan trauma lokal.

5. Kecelakaan rumah tangga

Pasien trauma kepala berat yang disebabkan karena kekerasan

rumah tangga yang masuk IGD sebesar 20%.

6. Trauma lahir

Trauma lahir merupakan trauma mekanik yang disebabkan karena

proses persalinan atau kelahiran

1.2.4 Manifestasi Klinis Trauma Cranium

Tanda dan gejala dari cedera kepala tergantung dari berat

ringannya cedera kepala. Perubahan kesadaran adalah merupakan

indikator yang paling sensitive yang dapat dilihat dengan penggunaan

GCS (Glascow Coma Scale). Peningkatan TIK yang mempunyai trias

klasik seperti: nyeri kepala karena regangan dura dan pembuluh darah;

papil edema yang disebabkan oleh tekanan dan pembengkakan diskus

optikus; muntah seringkali proyektil.

Tanda gejala lainnya meliputi hilangnya kesadaran kurang dari 30

menit atau lebih, kebingungan, iritabel, pucat, mual dan muntah, pusing

kepala, terdapat hematoma, kecemasan, sukar untuk dibangunkan, bila

fraktur mungkin adanya cairan serbrosfinal yang keluar dari hidung

(rhinorrea) dan telinga (otorrhea) bila fraktur tulang temporal.

1.2.5 Patofisiologi Trauma Cranium

Trauma kepala dapat menyebabkan kerusakan struktur, misalnya

kerusakan pada jaringan parenkim otak, kerusakan pembuluh darah,


perdarahan, edema, dan gangguan biokimia otak seperti penurunan

triphosphat dan perubahan permeabilitas vaskuler. Patofisiologi dapat

digolongkan menjadi dua, yaitu trauma kepala primer dan sekunder.

Trauma kepala primer merupakan suatu proses biomekanik yang terjadi

secara langsung saat kepala terbentur dan memberi dampak trauma pada

jaringan otak. Kerusakan ini bersifat fokal, lokal, ataupun difus.

Sedangkan, trauma kepala sekunder terjadi sebagai akibat dari trauma

kepala primer, misalnya akibat hipotensi, hiperglikemi, hipoksemia,

iskemia, dan perdarahan. Perdarahan serebral menimbulkan hematoma,

misalnya epidural hematoma, yaitu adanya darah pada ruang epidural di

antara periosteum tengkorak dengan durameter subdural hematoma akibat

berkumpulnya darah pada ruang antara durameter dengan subarakhnoid

dan intra serebral.

Kranium merupakan kerangka kaku yang berisi tiga komponen:

otak, cairan serebro-spinal, dan darah yang masing-masing tidak dapat

diperas. Kranium hanya mempunyai sebuah lubang keluar utama, yaitu

foramen magnum. Ia juga memiliki tentorium kaku yang memisahkan

hemisfer serebral dari serebelum. Otak tengah terletak pada hiatus dari

tentorium. Fenomena otoregolasi cenderung mempertahankan aliran darah

otak stabil bila tekanan darah rata-rata 50–160 mmHg (untuk pasien

normotensif, dan bergeser ke kanan pada pasien hipertensif dan

sebaliknya). Aliran darah < 50 mmHg berkurang bertahap, dan di atas 160

mmHg terjadi dilatasi pasif pembuluh otak dengan akibat peninggian

tekanan intrakranial. Autoregulasi dapat terganggu pada trauma otak


dengan akibat aliran darah otak bergantung secara linear terhadap tekanan

darah. Oleh karena hal-hal tersebut, sangat penting untuk mencegah syok

atau hipertensi; perhatikan tekanan darah pasien sebelum trauma

(Sherwood, 2012; Smith & Roberts, 2011).

Volume total intrakranial harus tetap konstan (Doktrin Monroe-

Kellie: K = Volume otak + Volume CSS + Volume darah + Volume

massa). Kompensasi atas terbentuknya lessi intrakranial adalah digesernya

css dan darah vena hingga batas kompensasi, untuk selanjutnya tekanan

intrakranial akan naik secara tajam. Pada lesi yang membesar cepat seperti

hematoma, perjalanan klinik dapat diprediksi. Bila fase kompensasi

terlewati, tekanan intrakranial meningkat. Pasien nyeri kepala yang

memburuk oleh hal yang meninggikan TIK seperti batuk, membungkuk,

dan terlentang, kemudian mulai mengantuk. Kompresi atau pergeseran

batang otak berakibat peninggian tekanan darah, sedang denyut nadi dan

respirasi menjadi lambat. Pupil sisi massa berdilatasi, bisa dengan

hemiparesisi sisikontralateral massa. Selanjutnya, pasien jadi tidak

responsif, pupil tidak bereaksi dan berdilatasi, serta refleks batang otak

hilang. Akhirnya, fungsi batang otak berhenti, tekanan darah merosot, nadi

lambat, respirasi lambat, dan tidak teratur untuk akhirnya berhenti.

Penyebab akhir kegagalan otak adalah iskemia (Noble, 2010).

Peninggian TIK memengaruhi aliran darah otak akibat kompresi

arterial, regangan, atau robekan arteria dan vena batang otak serta

gangguan perfusi. Aliran darah otak konstan 50 ml/100 gr/menit pada

otoregulasi normal. Aliran darah otak dipengaruhi oleh tekanan darah


arterial, tekanan intrakranial, autoregulasi, stimulasi metabolik, serta

distorsi atau kompresi pembuluh darah oleh massa atau herniasi. Pada

kenyataannya, banyak akibat klinis dari peninggian TIK adalah akibat

pergeseran otak dibanding tingkat TIK sendiri (Noble, 2010; Sitsapesan &

Richards, 2011).

Edema otak yang terjadi oleh sebab apa pun akan meninggikan

TIK yang berakibat gangguan aliran darah otak yang berakibat

memperberat edema sehingga merupakan lingkaran setan. TIK lebih dari

15 mm Hg harus segera ditindaklanjuti. Triad klasik nyeri kepala, edema

papil, dan muntah ditemukan pada dua pertiga pasien. Sisanya hanya dua

gejala. Tidak satu pun khas untuk peninggian TIK, kecuali edema papil,

tetapi memerlukan waktu yang lama untuk timbulnya. Simtom lebih

banyak bergantung penyebab daripada tingkat tekanan. Tidak ada korelasi

konsisten antara tingkat tekanan dengan beratnya gejala. Penurunan

kesadaran adalah ciri trauma otak. Dua jenis trauma otak, yaitu trauma

korteks bilateral serta trauma pada sistem pengaktif retikuler batang otak

di samping peninggian TIK dan penurunan aliran darah otak dapat

menurunkan tingkat kesadaran (Sherwood, 2012).


1.2.6 Pemeriksaan Penunjang Trauma Cranium

1. Foto polos kepala

Indikasi dilakukannya pemeriksaan meliputi jejas lebih dari 5 cm,

luka tembus (peluru/tajam), deformasi kepala (dari inspeksi dan

palpasi), nyeri kepala yang menetap, gejala fokal neurologis, gangguan

kesadaran.

2. CT-Scan

Indikasi CT-Scan adalah:

a. Nyeri kepala menetap atau muntah-muntah yang tidak menghilang

setelah pemberian obat-obatan analgesia.

b. Adanya kejang-kejang, jenis kejang fokal lebih bermakna terdapat

pada lesi intrakranial dibandingkan dengan kejang general.

c. Penurunan GCS lebih dari 1 dimana factor-faktor ekstrakranial

telah disingkirkan (karena penurunan GCS dapat terjadi karena

syok, febris, dll).

d. Adanya fraktur impresi dengan lateralisasi yang tidak sesuai.

e. Luka tembus akibat benda tajam dan peluru.

f. Perawatan selama 3 hari tidak ada perubahan yang membaik dari

GCS (Sthavira, 2012).

3. Magnetic Resonance Imaging (MRI)

MRI digunakan untuk pasien yang memiliki abnormalitas status

mental yang digambarkan oleh CT-Scan. MRI telah terbukti lebih

sensitive daripada CT-Scan, terutama dalam mengidentifikasi lesi difus

non hemoragig cedera aksonal.


4. X-Ray

X-Ray berfungsi mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur),

perubahan struktur garis (perdarahan /edema), fragmen tulang (Rasad,

2011).

5. BGA ( Blood Gas Analyze)

Mendeteksi masalah pernafasan (oksigenasi) jika terjadi

peningkatan tekanan intra kranial (TIK).

6. Kadar elektrolit

Mengoreksi keseimbangan elektrolit sebgai akibat peningkatan

tekanan intra kranial (Musliha, 2010).

1.2.7 Penatalaksanaan Trauma Cranium

Penatalaksanaan medik cedera kepala yang utama adalah

mencegah terjadinya cedera otak sekunder. Cedera otak sekunder

disebabkan oleh faktor sistemik seperti hipotensi atau hipoksia atau oleh

karena kompresi jaringan otak. Pengatasan nyeri yang adekuat juga

direkomendasikan pada pendertia cedera kepala. Penatalaksanaan umum

adalah:

1. Nilai fungsi saluran nafas dan respirasi

2. Stabilisasi vertebrata servikalis pada semua kasus trauma

3. Berikan oksigenasi

4. Awasi tekanan darah

5. Kenali tanda-tanda shock akibat hipovelemik atau neurogenik

6. Atasi shock

7. Awasi kemungkinan munculnya kejang.


Penatalaksanaan lainnya:

1. Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti edema serebral,

dosis sesuai dengan berat ringannya trauma.

2. Terapi hiperventilasi (trauma kepala berat). Untuk mengurangi

vasodilatasi.

3. Pemberian analgetika

4. Pengobatan anti oedema dengan larutan hipertonis yaitu manitol 20%

atau glukosa 40 % atau gliserol 10 %.

5. Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (penisilin).

6. Makanan atau cairan.

Pada trauma ringan bila terjadi muntah-muntah tidak dapat

diberikan apa-apa, hanya cairan infus dextrosa 5% , aminofusin,

aminofel (18 jam pertama dan terjadinya kecelakaan), 2-3 hari

kemudian diberikana makanan lunak. Pada trauma berat, hari-hari

pertama (2-3 hari), tidak terlalu banyak cairan. Dextrosa 5% untuk 8

jam pertama, ringer dextrose untuk 8 jam kedua dan dextrosa 5%

untuk 8 jam ketiga. Pada hari selanjutnya bila kesadaran rendah,

makanan diberikan melalui ngt (2500-3000 tktp). Pemberian protein

tergantung nilai urea.

Tindakan terhadap peningktatan TIK yaitu:

1. Pemantauan TIK dengan ketat

2. Oksigenisasi adekuat

3. Pemberian manitol

4. Penggunaan steroid
5. Peningkatan kepala tempat tidur

6. Bedah neuro.

Tindakan pendukung lain yaitu:

1. Dukungan ventilasi

2. Pencegahan kejang

3. Pemeliharaan cairan, elektrolit dan keseimbangan nutrisi

4. Terapi anti konvulsan

5. Klorpromazin untuk menenangkan klien

6. Pemasangan selang nasogastrik

1.2.8 Komplikasi Trauma Cranium

Menurut Elizabeth J Corwin, komplikasi yang dapat terjadi adalah :

1. Perdarahan didalam otak, yang disebut hematoma intraserebral

Dapat menyertai cedera kepala tertutup yang berat, atau lebih

sering cedera kepala terbuka. Pada perdarahan diotak, tekanan

intracranial meningkat, dan sel neuron dan vascular tertekan. Ini adalah

jenis cedera otak sekunder. Pada hematoma, kesadaran dapat menurun

dengan segera, atau dapat menurun setelahnya ketiak hematoma

meluas dan edema interstisial memburuk.

2. Perubahan perilaku yang tidak nampak dan defisit neurologik maupun

psikologik.

3. Infeksi

Infeksi sistemik (pneumoni, infeksi saluran kemih, septicemia)

atau infeksi bedah neuron (infeksi luka, osteomielytis, meningitis,

abses otak).
4. Edema Serebral

Edema Serebral dimana terjadi peningkatan TIK karena ketidak

mampuan tengkorak utuh untuk membesar meskipun peningkatan

volume oleh pembengkakan otak diakibatkan dari trauma

5. Herniasi

Herniasi Otak adalah perubahan posisi ke bawah atau lateral otak

melalui atau terhadap struktur kaku yang terjadi menimbulkan iskemia,

infark, kerusakan otak irreversible dan kematian.

1.3. Konsep Asuhan Keperawatan Trauma Cranium

1.3.1 Pengkajian

Pengkajian Kegawat daruratan:

1. Primary Survey

a. Airway dan Cervical control

Hal pertama yang dinilai adalah kelancaran airway.

Meliputi pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas yang dapat

disebabkan benda asing, fraktur tulang wajah, fraktur mandibula

atau maksila, fraktur larinks atau trachea. Dalam hal ini dapat

dilakukan “chin lift” atau “jaw thrust”. Selama memeriksa dan

memperbaiki jalan nafas, harus diperhatikan bahwa tidak boleh

dilakukan ekstensi, fleksi atau rotasi dari leher.

b. Breathing dan Ventilation

Jalan nafas yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik.

Pertukaran gas yang terjadi pada saat bernafas mutlak untuk

pertukaran oksigen dan mengeluarkan karbon dioksida dari tubuh.


Ventilasi yang baik meliputi:fungsi yang baik dari paru, dinding

dada dan diafragma.

c. Circulation dan Hemorrhage control

1) Volume darah dan Curah jantung

Kaji perdarahan klien. Suatu keadaan hipotensi harus dianggap

disebabkan oleh hipovelemia. 3 observasi yang dalam hitungan

detik dapat memberikan informasi mengenai keadaan

hemodinamik yaitu kesadaran, warna kulit dan nadi.

2) Kontrol Perdarahan

d. Disability

Penilaian neurologis secara cepat yaitu tingkat kesadaran, ukuran

dan reaksi pupil.

e. Exposure dan Environment control

Dilakukan pemeriksaan fisik head toe toe untuk memeriksa jejas.

2. Secondary Survei

a. Kepala

Kelainan atau luka kulit kepala dan bola mata, telinga bagian luar

dan membrana timpani, cedera jaringan lunak periorbital.

b. Leher

Adanya luka tembus leher, vena leher yang mengembang

c. Neurologis

Penilaian fungsi otak dengan Glasgow Coma Score (GCS)

d. Dada
Pemeriksaan klavikula dan semua tulang iga, suara nafas dan

jantung, pemantauan EKG

e. Abdomen

Kaji adanya luka tembus abdomen, pasang NGT dengan trauma

tumpul abdomen

f. Pelvis dan ekstremitas

Kaji adanya fraktur, denyut nadi perifer pada daerah trauma,

memar dan cedera yang lain

g. Aktivitas/istirahat

Gejala : Merasa lelah, lemah, kaku, hilang keseimbangan.

Tanda : Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, puandreplegia,

ataksia, cara berjalan tidak tegang.

h. Sirkulasi

Gejala : Perubahan tekanan darah (hipertensi) bradikardi, takikardi.

i. Integritas Ego

Gejala : Perubahan tingkah laku dan kepribadian.

Tanda : Cemas, mudah tersinggung, angitasi, bingung, depresi dan

impulsif.

j. Makanan/cairan

Gejala : Mual, muntah dan mengalami perubahan selera.

Tanda : muntah, gangguan menelan.

k. Eliminasi

Gejala : Inkontinensia, kandung kemih atau usus atau mengalami

gangguan fungsi.
l. Neurosensori

Gejala : Kehilangan kesadaran sementara, amnesia, vertigo,

sinkope, kehilangan pendengaran, gangguan pengecapan dan

penciuman, perubahan penglihatan seperti ketajaman.

Tanda : Perubahan kesadaran bisa sampai koma, perubahan status

mental, konsentrasi, pengaruh emosi atau tingkah laku dan

memoris.

m. Nyeri/kenyamanan

Gejala : Sakit kepala.

Tanda : Wajah menyeringai, respon menarik pada rangsangan nyeri

yang hebat, gelisah, tidak bisa istirahat, merintih.

n. Pernafasan

Tanda : Perubahan pola pernafasan (apnoe yang diselingi oleh

hiperventilasi nafas berbunyi)

o. Keamanan

Gejala : Trauma baru/trauma karena kecelakaan.

Tanda : Fraktur/dislokasi, gangguan penglihatan, gangguan rentang

gerak, tonus otot hilang, kekuatan secara umum mengalami

paralisis, demam, gangguan dalam regulasi suhu tubuh.

p. Interaksi sosial

Tanda : Apasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, bicara

berulang-ulang, disartria.

1.3.2 Diagnosa Keperawatan


1. Pola napas tidak efektif b.d. gangguan neurologis cedera kepala

(D.0005)

2. Risiko perfusi serebral tidak efektif b.d. cedera kepala (D.0017)

3. Nyeri akut b.d. agen pencedera fisik trauma (D.0077)

4. Defisit perawatan diri b.d. kelemahan (D.0109)

1.3.3 Rencana dan Tindakan Keperawatan

1. Pola napas tidak efektif b.d. gangguan neurologis cedera kepala

(D.0005)

Setelah dilakukan tindakan 3x24 jam diharapkan pola nafas

membaik dengan kriteria hasil dispnea menurun, penggunaan otot

bantu napas menurun, pernapasan cuping hidung menurun, dan

frekuensi napas membaik.

1) Pemantauan Respirasi (I.01014)

 Observasi

 Monitor frekuensi, irama, kedalaman, dan upaya napas

 Monitor pola napas (seperti bradipnea, takipnea,

hiperventilasi, Kussmaul, Cheyne-Stokes, Biot, ataksik)

 Monitor kemampuan batuk efektif

 Monitor adanya produksi sputum

 Monitor adanya sumbatan jalan napas

 Palpasi kesimetrisan ekspansi paru

 Auskultasi bunyi napas

 Monitor saturasi oksigen

 Monitor nilai AGD


 Monitor hasil x-ray toraks

 Terapeutik

 Atur interval waktu pemantauan respirasi sesuai kondisi

pasien

 Dokumentasikan hasil pemantauan

 Edukasi

 Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan

 Informasikan hasil pemantauan, jika perlu

2) Menejemen Jalan Napas (I. 01011)

 Observasi

 Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman, usaha napas)

 Monitor bunyi napas tambahan (mis. Gurgling, mengi,

weezing, ronkhi kering)

 Monitor sputum (jumlah, warna, aroma)

 Terapeutik

 Pertahankan kepatenan jalan napas dengan head-tilt dan

chin-lift (jaw-thrust jika curiga trauma cervical)

 Posisikan semi-Fowler atau Fowler

 Berikan minum hangat

 Lakukan fisioterapi dada, jika perlu

 Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik

 Lakukan hiperoksigenasi sebelum

 Penghisapan endotrakeal

 Keluarkan sumbatan benda padat dengan forsepMcGill


 Berikan oksigen, jika perlu

 Edukasi

 Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari, jika tidak

kontraindikasi.

 Ajarkan teknik batuk efektif

 Kolaborasi

 Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran,

mukolitik, jika perlu.

2. Risiko perfusi serebral tidak efektif b.d. cedera kepala (D.0017)

Setelah dilakukan tindakan 3x24 jam diharapkan perfusi serebral

meningkat dengan kriteria hasil tingkat kesadaran meningkat, tekanan

intra kranial menurun, sakit kepala menurun, kesadaran membaik, dan

tekanan darah membaik.

1) Menejemen Peningkatan Tekanan Intrakranial (I. 06198)

 Observasi

 Identifikasi penyebab peningkatan TIK (mis. Lesi,

gangguan metabolisme, edema serebral)

 Monitor tanda/gejala peningkatan TIK (mis. Tekanan darah

meningkat, tekanan nadi melebar, bradikardia, pola napas

ireguler, kesadaran menurun)

 Monitor MAP (Mean Arterial Pressure)

 Monitor CVP (Central Venous Pressure), jika perlu

 Monitor PAWP, jika perlu

 Monitor PAP, jika perlu


 Monitor ICP (Intra Cranial Pressure), jika tersedia

 Monitor CPP (Cerebral Perfusion Pressure)

 Monitor gelombang ICP

 Monitor status pernapasan

 Monitor intake dan output cairan

 Monitor cairan serebro-spinalis (mis. Warna, konsistensi)

 Terapeutik

 Minimalkan stimulus dengan menyediakan lingkungan

yang tenang

 Berikan posisi semi fowler

 Hindari maneuver Valsava

 Cegah terjadinya kejang

 Hindari penggunaan PEEP

 Hindari pemberian cairan IV hipotonik

 Atur ventilator agar PaCO2 optimal

 Pertahankan suhu tubuh normal

 Kolaborasi

 Kolaborasi pemberian sedasi dan antikonvulsan, jika perlu

 Kolaborasi pemberian diuretic osmosis, jika perlu

 Kolaborasi pemberian pelunak tinja, jika perlu

2) Pemantauan Tekanan Intrakranial (I.06198)

 Observasi

 Observasi penyebab peningkatan TIK (mis. Lesi

menempati ruang, gangguan metabolism, edema sereblal,


peningkatan tekanan vena, obstruksi aliran cairan

serebrospinal, hipertensi intracranial idiopatik)

 Monitor peningkatan TD

 Monitor pelebaran tekanan nadi (selish TDS dan TDD)

 Monitor penurunan frekuensi jantung

 Monitor ireguleritas irama jantung

 Monitor penurunan tingkat kesadaran

 Monitor perlambatan atau ketidaksimetrisan respon pupil

 Monitor kadar CO2 dan pertahankan dalm rentang yang

diindikasikan

 Monitor tekanan perfusi serebral

 Monitor jumlah, kecepatan, dan karakteristik drainase

cairan serebrospinal

 Monitor efek stimulus lingkungan terhadap TIK

 Terapeutik

 Ambil sampel drainase cairan serebrospinal

 Kalibrasi transduser

 Pertahankan sterilitas system pemantauan

 Pertahankan posisi kepala dan leher netral

 Bilas sitem pemantauan, jika perlu

 Atur interval pemantauan sesuai kondisi pasien

 Dokumentasikan hasil pemantauan

 Edukasi

 Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan


 Informasikan hasil pemantauan, jika perlu

3. Nyeri akut b.d. agen pencedera fisik trauma (D.0077)

Setelah dilakukan tindakan 3x24 jam diharapkan tingkat nyeri

menurun dengan kriteria hasil keluhan nyeri menurun, meringis

menurun, dan frekuensi nadi membaik.

1) Manajemen Nyeri (I. 08238)

 Observasi

 Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas,

intensitas nyeri

 Identifikasi skala nyeri

 Identifikasi respon nyeri non verbal

 Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan

nyeri

 Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri

 Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon nyeri

 Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup

 Monitor keberhasilan terapi komplementer yang sudah

diberikan

 Monitor efek samping penggunaan analgetik

 Terapeutik

 Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa

nyeri (mis. TENS, hypnosis, akupresur, terapi musik,

biofeedback, terapi pijat, aroma terapi, teknik imajinasi

terbimbing, kompres hangat/dingin, terapi bermain)


 Control lingkungan yang memperberat rasa nyeri (mis.

Suhu ruangan, pencahayaan, kebisingan)

 Fasilitasi istirahat dan tidur

 Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan

strategi meredakan nyeri

 Edukasi

 Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri

 Jelaskan strategi meredakan nyeri

 Anjurkan memonitor nyri secara mandiri

 Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat

 Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa

nyeri

 Kolaborasi

 Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu

2) Pemberian Analgetik (I.08243)

 Observasi

 Identifikasi karakteristik nyeri (mis. Pencetus, pereda,

kualitas, lokasi, intensitas, frekuensi, durasi)

 Identifikasi riwayat alergi obat

 Identifikasi kesesuaian jenis analgesik (mis. Narkotika,

non-narkotika, atau NSAID) dengan tingkat keparahan

nyeri

 Monitor tanda-tanda vital sebelum dan sesudah pemberian

analgesik
 Monitor efektifitas analgesik

 Terapeutik

 Diskusikan jenis analgesik yang disukai untuk mencapai

analgesia optimal, jika perlu

 Pertimbangkan penggunaan infus kontinu, atau bolus

opioid untuk mempertahankan kadar dalam serum

 Tetapkan target efektifitas analgesic untuk mengoptimalkan

respon pasien

 Dokumentasikan respon terhadap efek analgesic dan efek

yang tidak diinginkan

 Edukasi

 Jelaskan efek terapi dan efek samping obat

 Kolaborasi

 Kolaborasi pemberian dosis dan jenis analgesik, sesuai

indikasi
ASUHAN KEPERAWATAN TRAUMA CRANIUM
ANALISA DATA
DIAGNOSA KEPERAWATAN
RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN
IMPLEMENTASI DAN EVALUASI KEPERAWATAN
DAFTAR PUSTAKA
Academy For Guided Imagery. (2011). Diakses pada tanggal 25 April 2014 dari

http://www.academyforguidedimagery.com/whatisguidedimagery/index.htm l

Arifin, Zafrullah. (2008). Perbandingan kadar potasium darah penderita cedera

kepala sedang-berat di ruang bedah RS. Dr. Hasan Sakidin Bandung. Diakses

dari http:www//pustaka.unpad.ac.id/archives

Brain Injury Assosiation of America. (2009). Types of Brain Injury. Diakses

pada tanggal 12 September 2018, dari

http://www.biausa.org/pages/typeofbraininjury.html.

Madikians, A., & Giza, C.C. (2006) A Clinician’s Guide to the Pathophysiology

of Trauma Brain Injury. Indian Journal of Neurotrauma,5 (1), 9-17.

Mansjoer, A. (2010). Kapita Selekta Kedokteran, edisi 4. Jakarta : Media

Aesculapius Moscato, D., Peracchi, M.I., Mazzotta, G., Savi, L., (2005). Post-

Traumatic Headache From Moderate Head Injury, Journal Headache Pain (6),

284-286.

Tim Pokja SDKI DPP PPNI, (2016), Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia

(SDKI), Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia

Tim Pokja SIKI DPP PPNI, (2018), Standar Intervensi Keperawatan Indonesia

(SIKI), Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia

Tim Pokja SLKI DPP PPNI, (2018), Standar Luaran Keperawatan Indonesia

(SLKI), Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia

Anda mungkin juga menyukai