Anda di halaman 1dari 4

Fitrah bertuhan dan beragama

Surah Al-A'raf ayat 172 menjadi pengingat kepada setiap insan bahwa
sejatinya kita memiliki janji dengan Allah Swt yang pasti pernah dilupakan.

Wa idz akhadza rabbuka mim banii aadama min dzuhuurihim dzurriyyatahum wa


asy-hadahum 'alaa anfusihim, a lastu birabbikum, qaaluu balaa syahidnaa, an
taquuluu yaumal-qiyaamati innaa kunnaa 'an haadzaa ghaafiliin

Artinya: "Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam


dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya
berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau
Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari
kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-
orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)." (QS. Al-A'raf: 172).

Ayat di atas, memberikan sebuah informasi kepada setiap manusia bahwa kita
pernah bersaksi kepada Allah. Akan tetapi, kesaksian saat dalam kandungan sebelum
lahir ke dunia tersebut pasti dilupakan sehingga wajar jika setiap manusia memiliki
keyakinan yang berbeda-beda. Dari kesaksian tersebut, pada hakikatnya kita pernah
berikrar untuk menuhankan Allah (tiada Tuhan selain Allah), berjanji untuk tidak
menyekutukan-Nya, tidak meminta kepada selain-Nya dan berbagai konsekuensi
lainnya. Sayangnya, masing-masing dari kita setelah lahir ke dunia akan lupa dengan
perjanjian tersebut, dan inilah watak asli manusia sebagai tempatnya salah dan lupa.
Adapun diutusnya para Nabi dan Rasul ke dunia ini menurut para ahli tafsir adalah
untuk mengingatkan janji itu agar manusia tidak tersesat.
Dalam sebuah hadis dari Abu Hurairah ra dikatakan, "Sewaktu menciptakan
Nabi Adam, Allah mengusap punggungnya. Maka berjatuhanlah dari punggungnya
setiap jiwa keturunan yang akan diciptakan Allah dari Adam hingga hari kiamat.
Kemudian, di antara kedua mata setiap manusia dari keturunannya Allah menjadikan
cahaya yang bersinar. Selanjutnya, mereka disodorkan kepadanya. Adam pun
bertanya, “Wahai Tuhan, siapakah mereka?” Allah menjawab, “Mereka adalah
keturunanmu.” (HR. Tirmidzi). Sementara itu, latar belakang orangtua juga menjadi
faktor lupa atau ingatnya manusia terhadap janjinya kepada Allah Swt. Dikatakan
dalam sebuah hadis, "Setiap anak yang lahir, dilahirkan di atas fitrah hingga ia fasih
(berbicara). Kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau
Majusi." (HR. Baihaqi dan Thabrani). Dengan demikian, Surah Al-A'raf ayat 172 di
atas membuktikan betapa dahsyatnya penciptaan manusia oleh Allah Swt. Kita tentu
tidak menyadarinya kalau sebenarnya saat masih dalam kandungan, kita
berkomunikasi dengan Zat yang Maha Menciptakan.

Mengenai kata fitrah menurut istilah (terminologi) dapat dimengerti dalam


uraian arti yang luas, sebagai dasar pengertian itu tertera pada surah al-Rum ayat 30,
maka dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa pada asal kejadian yang pertama-
pertama diciptakan oleh Allah adalah agama (Islam) sebagai pedoman atau acuan, di
mana berdasarkan acuan inilah manusia diciptakan dalam kondisi terbaik. Oleh
karena paneka ragam faktor negatif yang mempengaruhinya maka posisi manusia
“bergeser” dari kondisi fitrah-nya, untuk itulah selalu diperlukan petunjuk, peringatan
dan bimbingan dari Allah yang disampaikan-Nya melalui utusannya (Rasul-Nya).

Pengertian sederhana secara terminologi menurut pandangan Arifin; fitrah


mengandung potensi pada kemampuan berpikir manusia di mana rasio atau
intelegensia (kecerdasan) menjadi pusat perkembangannya dalam memahami agama
Allah secara damai di dunia ini. Quraish Shihab mengungkapkan dalam Tafsir al
Misbah nya, bahawa fitrah merupakan menciptakan sesuatu pertama kali tanpa ada
contoh sebelumnya dengan mengikuti sertakan pandangan Quraish Shihab tersebut
berarti fitrah sebagai unsur, sistem dan tata kerja yang diciptakan Allah pada makhluk
sejak awal kejadiannya sehingga menjadi bawaannya, inilah yang disebut oleh beliau
dengan arti asal kejadian, atau bawaan sejak lahir.

Sebagai mahkluk-Nya yang dianugerahi akal, manusia cenderung mencari


hakikat dirinya di atas muka bumi. Dalam Alquran surah ar-Rum ayat ke-30, Allah
SWT sudah mengisyaratkan tentang fitrah kemanusiaan. Prof Yunahar Ilyas dalam
karyanya, Tipologi Manusia Menurut Al-Qur’an (2007, Labda Press) mengikuti
pendapat Ibnu Katsir dalam kitab Mukhtashar Tafsir Ibn Katsir II. Dalam membahas
ayat Alquran tersebut, Ibnu Katsir menegaskan bahwa manusia memiliki fitrah
bertuhan. Fitrah itu, lanjut Yunahar, hanyalah potensi dasar yang harus terus
dipelihara dan dikembangkan, sejak seorang manusia keluar dari rahim ibunya. Maka
dari itu, peran orang tua menjadi begitu penting.

Dalam suatu hadits riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim, Nabi
Muhammad SAW bersabda, "Setiap manusia dilahirkan ibunya di atas fitrah. Kedua
orang tuanya yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Dalam pandangan
Islam, orang tua mesti menumbuhkembangkan anak mereka agar tetap memegang
teguh Tauhid. Lebih dari itu, mereka juga semestinya terus berupaya menjadikan
anak-anaknya Muslim yang baik, yang dapat menjadi kebanggaan Rasulullah SAW,
di dunia dan akhirat kelak. Begitu lahir di dunia, anak-anak adalah tabula rasa. Itu
adalah ungkapan dari bahasa Latin yang berarti 'kertas kosong.' Maknanya, anak-anak
menyimpan potensi untuk menjadi pribadi yang baik dan terus bertauhid di masa
depan. fitrah Allah yaitu penciptaan yang ditetapkan kepada manusia,dimana bahwa
manusia sejak lahir dalam keadaan suci,dengan artian tidak mempunyai dosa.
DAFTAR PUSTAKA

Nawawi, R. S. (2000). Konsep Manusia Menurut al-quran dalam metodologi


psikologi islam. Yogyakarta: Ed. Rendra Pustaka Pelajar.

Rizqa, H. (18 Februari 2019). Bagaimana Fitrah menurut manusia. Journal


keislami, 1(1). [online] diakses dari: https://www.republika.co.id/bagaimana fitrah
manusia menurut alquran-2habis

Anda mungkin juga menyukai