Edukasi Dokter Pada Pasien Sifilis Sebagai Upaya Pencegahan Dan Pengobatan
Edukasi Dokter Pada Pasien Sifilis Sebagai Upaya Pencegahan Dan Pengobatan
Abstract. Syphilis is one of the STDs (Sexually Transmitted Diseases) that causes quite severe
conditions for the sufferer. Caused by the bacterium Treponema pallidum subspecies pallidum
(commonly called Treponema Pallidum) which is spiral in shape. Bacteria that are harmful to
humans which are obligate intracellular, microaerophilic parasites, cannot live if they are
rich in oxygen, antiseptic, soap and high temperatures. Syphilis is chronic, systemic, can
infect the entire body even to the fetus of a pregnant woman. Syphilis is the most transmitted
disease through sexual intercourse. Syphilis is clarified in several ways, one of which is based
on epidemiology, divided into early and advanced stages. Early stage is more infectious
compared to the advanced stage. Early-stage syphilis is divided into primary, secondary and
latent syphilis. Advanced syphilis includes tertiary syphilis (gumatous, cardiovascular
syphilis, neurosyphilis) and advanced latent syphilis. The purpose of this study is to prevent
and treat syphilis patients.
1. PENDAHULUAN
Sifilis merupakan salah satu IMS (Infeksi Menular Seksual) yang menimbulkan kondisi yang
cukup parah terhadapt penderita. Disebabkan oleh bakteri Treponema pallidum subspesies pallidum
(biasa disebut Treponema Pallidum) yang berbentuk spiral. Bakteri yang berbahaya bagi manusia
yang bersifat parasit obligat intraselular, mikroaerofilik, tidak bisa hidup bila ditempat yang kaya
oksigen, antiseptik, sabun, dan suhu yang tinggi.(Efrida, 2014)
Penyakit sifilis bersifat kronis, sistemik, dapat menginfeksi seluruh tubuh bahkan kepada
janin seorang ibu yang hamil. Penyakit ini memiliki gejala klinis mirip dengan berbagai penyakit IMS
(Infeksi Menular Seksual) lainnya, pada keadaan awal (sifilis stadium primer) dapat sembuh dengan
sendirinya, namun apabila tidak diberikan obat dapat berkembang menjadi stadium lanjutan yang
lebih berbahaya.(Indriatmi, 2017) Sifilis dapat menimbulkan kondisi cukup parah terhadap pasien,
dapat terjadi infeksi pada otak (neurosifilis), kecacatan tubuh (guma). Pada populasi ibu hamil yang
terinfeksi sifilis, dapat terjadi hal yang sangat berbahaya pada ibu dan janinnya, yang akan terjadi
pada janin bila ibu tidak diobati dengan adekuat, akan menyebabkan 67% kehamilan berakhir dengan
abortus, lahir mati, atau infeksi neonatus (sifilis kongenital).(Daili, Indriatmi, Wiweko, Tanudjaya,
Wignall & Anartati, 2013)
Sifilis termasuk penyakit yang ditularkan paling banyak melalui hubungan seksual.
Pengobatan sifilis sudah mengalami kemajuan dan sudah bisa didapatkan dengan harga yang sangat
terjangkau, namun sifilis masih merupakan permasalahan kesehatan yang meluas diberbagai negara.
Bahkan menjadi penyebab utama morbiditas dan mortalitas perinatal diberbagai negara. Sifilis dapat
meningkatkan risiko tertular HIV. Pada seseorang HIV negatif yang terkena sifilis akan meningkatkan
risiko tertular hingga 3 sampai 5 kali. Risiko penularan sifilis terhadap HIV masih dibawah Infeksi
Menular Seksual (IMS) lain yaitu chanchroid. Namun angka kejadian sifilis lebih banyak
dibandingkan chanchroid. Tingkat kesembuhan sifilis >95% jika diobati secara adekuat.(Daili,
Indriatmi, Wiweko, Tanudjaya, Wignall & Anartati, 2013)
Data dari Survey Terpadu Biologi dan Perilaku (STBP) pada tahun 2011 di Indonesia
menunjukkan bahwa prevalensi sifilis pada populasi Wanita Pekerja Seks (WPS) yang mengidap
HIV sebesar 16,7%; yang tidak terinfeksi HIV sebesar 9,47%. Prevalensi sifilis pada populasi Lelaki
Suka Lelaki (LSL) positif HIV sebesar 23,8% sedangkan pada HIV negative sebesar 16,67%. Pada
kedua populasi tersebut menunjukkan adanya korelasi positif sifilis terhadap prevalensi HIV.
Korelasi ditunjukkan dengan odds ratio, WPS yang terinfeksi sifilis 1,91 kali lebih berisiko tertular
HIV disbanding yang tidak terkena sifilis, dan LSL terinfeksi sifilis 3,63 kali lebih mudah terinfeksi
HIV dibandingkan LSL yang tidak terinfeksi sifilis. Selain mengenai peningkatan risiko terinfeksi
HIV pada penderita sifilis, pada tahun yang sama STBP juga melaporkan prevalensi sifilis masih
cukup tinggi. Prevalensi sifilis pada waria sebesar 25%, pada wanita penajaja seks langsung sebesar
10%, pada Lelaki Suka Lelaki (LSL) sebesar 9%, pada warga binaan lembaga pemasyarakatan
sebesar 5%, pada pria berisiko tinggi sebesar 4%, pada wanita penjaja seks tidak langsung sebesar
3%, dan pada pengguna narkoba suntik (penasun) sebesar 3%. Pada grafik 1 ditampilkan prevalensi
sifilis pada waria, LSL, dan penasun.
Grafik 1. Prevalensi Sifilis pada Waria, LSL, dan Penasun di Indonesia 2017 dan 2011
Grafik diambil dari Pedoman Tatalaksana Sifilis di Layanan Kesehatan Dasar Kemenkes RI 2013.
Salah satu cara penularan Sifilis melalui hubungan seksual atau ibu ke janinnya, melalui
gubungan seksual memilik 2 cara penularan, yang pertama kontak langsung terhadap membran
mukosa vagina dan uretra dan kontak langsung dengan lesi/luka yang terinfeksi, dari ibu yang
menderita sifilis ke janinnya melalui plasenta pada stadium akhir kehamilan. Treponema pallidum
masuk melalui bagian yang lecet/luka, menuju kedalam kelenjar getah bening, masuk ke aliran
darah dan selanjutnya mengikuti aliran darah dan menyebar keseluruh tubuh. Bergerak masuk
keruang intersisial jaringan dengan cara gerakan cork-screw (seperti membuka tutup botol).
Beberapa jam setelah terpapar terjadi infeksi sistemik meskipun gejala klinis dan serologi belum
kelihatan pada saat itu.(Brown, 2010)
Darah dari pasien yang baru terkena sifilis ataupun yang masih dalam masa inkubasi bersifat
infeksius. Waktu berkembangbiak Treponema pallidum selama masa aktif penyakit secara invivo
30-33 jam. Lesi primer muncul di tempat kuman pertama kali masuk, biasanya bertahan selama 4-6
minggu dan kemudian sembuh secara spontan.
Sifilis diklrarifikasi dalam beberapa cara, salah satunya adalah berdasarkan epidemologik,
dibagi menjadi stadium dini dan lanjut. Stadium dini lebih infeksius dibandingkan dengan stadium
lanjut. Sifilis stadium dini terbagi menjadi sifilis primer, sekunder dan laten dini. Sifilis stadium
lanjut termasuk sifilis tersier (gumatous, sifilis kardiovaskular, neurosifilis) dan sifilis laten lanjut.
(Syakirah, 2014)
Tabel 1. Gejala dan tanda sifilis.(Daili, Indriatmi, Wiweko, Tanudjaya, Wignall & Anartati, 2013)
Perlu dilakukan 2 tahapan tes serologi untuk mendiagnosis pasien yang terkena sifilis, yaitu
VDRL/RPR kemudian dilanjutkan dengan tes TPHA (tes antibody yang spesifik). Bila pemeriksaan
skrining serologi untuk sifilis dengan RPR atau VDRL memberi hasil positif, maka kelainan kulit
tersebut sangat mungkin disebabkan oleh sifilis dan selanjutnya dikonfirmasi oleh TPHA (tes
antibodi yang spesifik).(Daili, Menaldi, & Wisnu, 2005)
Setelah melalui tahapan tes, cara berikutnya untuk membedakan stadium yang sudah dialami
pasien. Sifilis primer didiagnosis berdasarkan gejala klinis ditemukannya satu atau lebih chancre
(ulser). Pemeriksaan Treponema pallidum dengan mikroskop lapangan gelap dan DFA-TP positif.
Sifilis sekunder ditandai dengan ditemukannya lesi mukokutaneus yang terlokalisir atau difus
dengan limfadenopati. Terkadang chancre masih ditemukan. Pemeriksaan mikroskop lapangan
gelap dan DFA-TP positif. Sifilis laten tanpa gejala klinis sifilis dengan pemeriksaan nontreponemal
dan treponemal reaktif (tanpa diagnosis sifilis sebelumnya), riwayat terapi sifilis dengan titer uji
nontreponemal yang meningkat dibandingkan dengan hasil titer nontreponemal sebelumnya. Sifilis
tersier ditemukan guma dengan pemeriksaan treponemal reaktif, sekitar 30% dengan uji
nontreponemal yang tidak reaktif.(Efrida, 2014)
Tabel 2. Tatalaksana sifilis.(Daili, Indriatmi, Wiweko, Tanudjaya, Wignall & Anartati, 2013)
2. METODE
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Penelitian kualitatif
adalah penelitian yang dilakukan fokus yang diteliti selalu konstektual dan natural setting, sehingga
bermakna dalam realitas yang sesungguhnya.(Yusuf & Daharnis, 2013) Data penelitian didapatkan
dengan cara melakukan wawancara kepada seorang dokter.
4. SIMPULAN
Edukasi dilakukan secara langsung oleh dokter yang menangani kepada pasien. Disampaikan
dengan bahasa sehari-hari, agar apa yang disampaikan oleh dekter mudah dipahami dan dimengerti
oleh pasien. Cara mengdekuasi pasien yang terkena sifilis sebagai upaya dalam pencegahan dan
pengobatan pasien disampaikan bagaimana cara penyakit ini bisa menular dan memberi peringatan
kepada pasien agar tidak berhubungan seksual terlebih dahulu termasuk kedalam upaya agar pasien
tidak menularkannya kepada orang lain. Dokter menjelaskan aturan untuk meminum obat dan
kontrol rutin yang harus dijalani oleh pasien minimal 2 minggu sekali sebagai bentuk pengobatan
terhadap pasien.
Cara edukasi yang dilakukan dokter sangat baik, karena tidak hanya dalam bentuk
pengobatan untuk pasien, tetapi juga dalam bentuk pencegahan agar pasien tidak menularkan
penyakitnya kepada orang lain.
5. SARAN
Dokter yang mengedukasi pasien, sebaiknya lebih menjelaskan secara detail dan mudah
dipahami serta memberikan beberapa contoh perilaku salah yang sering dilakukan oleh kebnyakan
pasien dengan penyakit sifilis lainnya agar pasien lebih antusias dalam kontrol rutin tersebut serta
akan berdampak positif untuk penyembuhannya.
6. DAFTAR PUSTAKA
Buku
Daili, S. F., Indriatmi, W., Wiweko, S. N., P, H. D., Tanudjaya, F., Wignall, S., & Anartati,
A. (2013). Pedoman Tatalaksana Sifilis untuk Pengendalian Sifilis di Layanan
Kesehatan Dasar (1st ed.). Jakarta: Kementerian Kesehatan RI
Kingborn, G. R. & Omer, R. (2016). Syphilis and Congenital Syphilis. in: Rook's Textbook of
Dermatology (9th ed.). Publisher: Wiley-Blackwell
Jurnal
Daili, E., Menaldi, S., & Wisnu, I. (2005). Penyakit Kulit Yang Umum Di Indonesia. Jakarta
Pusat: Pt Medical Multimedia Indonesia Kramat …, 66–67. Retrieved from
https://xa.yimg.com/kq/groups/89384802/263124672/name/atlas-kuli.pdf
Yusuf, A. M., & Daharnis, D. (2013). Jurnal konseling dan pendidikan. Jurnal Konseling
Dan Pendidikan, 1(3), 9–27.