Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN KASUS

TINEA KORPORIS

Oleh:

Fauzia Citra Dyanti 1620221221

Pembimbing:

Letkol CKM (K) dr. Susilowati, Sp.KK

FAKULTAS KEDOKTERAN UPN ‘VETERAN’ JAKARTA

KEPANITERAAN ILMU KULIT DAN KELAMIN

RST SOEDJONO

MAGELANG

2017
LEMBAR PENGESAHAN
Laporan Kasus

“ Tinea Korporis “

Oleh

Fauzia Citra Dyanti 1620221221

Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti ujian Kepaniteraan Klinik di bagian


Ilmu Kulit dan Kelamin RST Soedjono Magelang

Telah disetujui,

pada 4 April 2018

Mengetahui,

Dokter Pembimbing

Letkol CKM (K) dr. Susilowati, Sp. KK


BAB I
PENDAHULUAN

Sebagai negara tropis, Indonesia memiliki iklim yang panas dan lembab,
jika hal tersebut disertai dengan higiene yang buruk, maka akan mempermudah
terjadinya infestasi jamur kulit yang saat ini semakin sering kejadiannya. Infeksi
jamur pada kulit meliputi berbagai jenis penyakit yang disebabkan oleh kolonisasi
jamur atau ragi pada kulit, rambut dan kuku. Dari segala macam penyakit jamur
kulit, penyakit yang sering ditemui yaitu ptiriasis versikolor, dermatofitosis dan
kandidosis yang merupakan jenis jamur superfisial atau mukokutan.
Prevalensi infeksi jamur kulit di rumah sakit Dr. Cipto
Mangunkusumo/Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (RSCM/FKUI)
Bagian Mikologi Bagian Penyakit Kulit dan Kelamin, pada tahun 1992 ditemukan
2500 penderita dari 19.000 jumlah pengunjung dibagian tersebut. Ini berarti
kurang lebih sekitar 13% pasien penderita penyakit jamur kulit. Keadaan serupa,
hampir sama dengan daerah-daerah lain di Indonesia. Demikian pula keadaan di
rumah sakit Dr. Sutomo, Surabaya, dermatomikosis superfisialis masih
merupakan penyakit kulit yang banyak ditemui. Keadaan di poliklinik rumah sakit
di kota-kota lain diperkirakan tidak banyak berbeda. Data dari RSUD Kabupaten
Buleleng didapatkan penderita penyakit jamur yaitu pada tahun 2004 sebanyak
240 kasus, tahun 2005 sebanyak 390 kasus dan semester I tahun 2006 sebanyak
162 kasus.
Dermatofitosis adalah golongan penyakit jamur superfisial yang
disebabkan oleh jamur dermatofita, yakni Trichophyton sp, Microsporum sp, dan
Epidermophyton sp. Penyakit ini menyerang jaringan yang mengandung zat
tanduk yakni, epidermis ( Tinea korporis, Tinea kruris, Tinea manus et pedis ),
rambut ( Tinea kapitis ), kuku ( Tinea unguinum ). Selain bentuk tersebut
juga ada bentuk khusus yaitu tinea imbrikata, tinea favosa, tinea fasialis dan tinea
sirsinata.
Dermatofitosis terjadi oleh karena adanya inokulasi jamur pada tempat
yang terserang, biasanya pada tempat yang lembab dengan maserasi atau ada
trauma sebelumnya. Higiene juga berperan untuk timbulnya penyakit ini.
Pada dasarnya, jamur ada dimana-mana, hanya sebagian kecil saja yang
dapat menimbulkan penyakit, sebagian besar lainnya tidak bersifat patogen,
namun bisa menjadi patogen bila ada faktor-faktor predisposisi tertentu baik
fisiologis maupun patologis. Faktor-faktor predisposisi fisologis meliputi
kehamilan dan umur, sedangkan yang termasuk faktor predisposisi patologis
adalah keadaan umum yang jelek, penyakit tertentu, iritasi setempat, dan
pemakaian obat-obat tertentu seperti antibiotika, kortikosteroid dan sitostatik.
Dari berbagai macam penyakit jamur kulit, yang merupakan tipe infeksi
superfisial dan kutan, maka pitiriasis versikolor, dermatofitosis dan kandidosis
kulit yang tersering ditemui. Penyakit jamur pada kulit merupakan salah satu
penyakit rakyat yang masih banyak terdapat di Indonesia. Kurangnya pengetahuan
mengenai kebersihan merupakan salah satu faktor yang menghambat dalam
pemberantasannya. Oleh karena itu, pada kesempatan ini saya akan membahas
salah satu topik pada dermatofitosis yaitu tinea korporis.
STATUS PENDERITA

A. Identitas Penderita
Nama : Ny. DW
Usia : 67 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Magelang, Jawa Tengah
Agama : Islam
Status : Menikah
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Tanggal periksa : 3 April 2018
No. CM : 002354

B. Anamnesis

1. Keluhan utama
Gatal gatal di seluruh tubuh sejak 3 bulan yang lalu

2. Riwayat penyakit sekarang


Pasien datang ke poliklinik kulit dan kelamin RST Soedjono
Magelang pada tanggal 2 April 2018 dengan keluhan gatal pada seluruh
tubuh terutama di daerah dada, punggung, dan daerah lipatan, seperti lipatan
ketiak dan lipatan lutut. Keluhan mulai dirasakan sejak 3 bulan yang lalu
dan makin hari keluhan makin memburuk. Rasa gatal dirasakan sepanjang
hari dan semakin bertambah buruk terutama saat pasien merasa cuaca panas
dan banyak berkeringat. Riwayat gatal pada malam hari disangkal. Pada
awalnya sekitar 3 bulan yang lalu, keluhan gatal pertama kali muncul di
daerah dada, menurut pasien keluhan pertama kali muncul seperti bercak
kemerahan, bentuknya oval, ukurannya sebesar uang logam, disertai dengan
adanya kulit bersisik, lalu bercak tersebut muncul kembali di bagian leher
sebelah kiri dengan jumlah yang lebih banyak dan bentuk yang berbeda
beda. Selain itu, bercak kemerahan juga muncul di bagian lipatan ketiak
sebelah kiri dan kanan serta muncul juga di daerah lipatan lutut sebelah
kanan.

3. Riwayat penyakit dahulu


Pasien menyangkal adanya keluhan kelainan kulit yang serupa
sebelumnya. Pasien memiiki riwayat penyakit diabetes sejak tahun 2005.
Saat ini pasien menggunakan Insulin sebagai obat untuk penyakit
diabetesnya. Pasien mengaku selalui rutin menggunakan insulin.

4. Riwayat penyakit keluarga


Pasien mengaku adanya keluhan kelainan kulit yang serupa pada
keluarga pasien yaitu cucu pertamanya. Namun setelah ditelusuri, cucu
pertama pasien memiliki keluhan gatal yang semakin memburuk saat
malam hari dan cucu pertama pasien tinggal di daerah pondok pesantren.

5. Riwayat sosial dan exposure


a. Community
Pasien merupakan ibu rumah tangga yang memiliki tiga orang anak.
b. Home
Rumah terdiri dari 3 kamar dan dihuni oleh 5 orang. Kamar mandi dan
jamban di dalam rumah. Atapnya memakai genteng dan lantai dari
keramik.
c. Occupational
Pasien tidak melakukan pekerjaan di luar rumah.
d. Personal habit
Pasien tidak merokok ataupun minum alkohol, namun jarang
berolahraga. Pasien mengaku mandi sebanyak 2 kali sehari.
e. Drugs and Diet
Pasien rutin mengunakan insulin untuk penyakit diabetesnya. Pola makan
pasien teratur, sehari 3 kali.
f. Biaya pengobatan
Pasien berasal dari keluarga dengan sosial ekonomi menengah ke atas.
Sumber pembiayaan kesehatan menggunakan BPJS.

C. Pemeriksaan Fisik
STATUS GENERALIS
1. Keadaan umum : Tampak sakit ringan
2. Kesadaran : Compos Mentis
3. Status gizi : Cukup
4. Vital sign :
- Tekanan darah : Tidak dilakukan
- Nadi : Tidak dilakukan
- RR : Tidak dilakukan
- Suhu : Tidak dilakukan

STATUS DERMATOLOGIS
1. Regio Thorakal
Tampak makula eritematosa luas berukuran 15 x 10 cm, sirkumskrip, tepi lesi
aktif dengan central healing ditutupi skuama halus, diserat adanya papul milier

2. Regio Cervical

Tampak makula eritematosa luas berukuran 7 x 8 cm, sirkumskrip,


tepi lesi aktif dengan central healing ditutupi skuama halus.

3. Regio Cruris

Tampak makula eritematosa, berukuran 3 x 2 cm, numular,


sirkumskripta, tepi lesi aktif dengan central healing ditutupi skuama halus,
disertai dengan adanya erosi berukuran 1 cm
D. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan mikroskopis
Sediaan basah dibuat dengan meletakkan bahan diatas gelas alas,
kemudian ditambahkan 1-2 tetes larutan KOH 10%, setelah sediaan
dicampur dengan larutan KOH, ditunggu 15-20 menit, hal ini
diperlukan untuk melarutkan jaringan.
Pada sediaan akan ditemukan elemen jamur seperti hifa, yaitu dua
garis sejajar, terbagi oleh sekat dan bercabang, maupun spora berderet
(artospora) dan miselium.
b. Pemeriksaan makroskopis
Pemeriksaan dengan pembiakan perlu dilakukan untuk mendukung
pemeriksaan langsung dan untuk menentukan spesies jamur.
Pemeriksaan ini dilakukan dengan menanamkan bahan klinis pada
media buatan, media yang dianggap paling baik saat ini adalah
Sabaroud Dekstrose Agar (SDA). Pada agar tersebut dapat ditambahkan
antibiotik saja (kloramfenikol) atau ditambah pula klorheksimid. Kedua
zat tersebut diperlukan untuk menghindari kontaminasi bakterial
maupun jamur kontaminan.

E. Diagnosa Banding
1. Tinea Korporis
2. Tinea Kruris
3. Dematitis Seboroik
4. Pitiriasis Rosea
5. Psoriasis

F. Diagnosis Kerja
1. Tinea Korporis Luas

G. Penatalaksanaan
Medikamentosa
1. Ketoconazol
2. Mikonazol
3. Zalf 2 - 4
4. Cetirizine

Non- Medikamentosa

a. Menjaga kebersihan badan, pakaian dan lingkungan


b. Mandi minimal 2x/hari dengan air bersih

c. Menjaga daerah lesi dari keringat atau keadaan yang lembab,


misalnya memakai pakaian dari bahan yang dapat menyerap keringat dan
longgar.

d. Pakaian yang basah karena keringat, segera diganti dengan yang


bersih dan kering.

e. Meminum dan menggunakan obat dengan teratur dan sesuai


petunjuk, jika keluhan hilang tetap kontrol ke dokter hingga dinyatakan
sembuh.
f. Mengganti pakaian dalam dengan teratur minimal 2 kali sehari.
g. Menghindari pemakaian handuk dan pakaian bersama-sama.
h. Menjaga agar kuku tetap pendek.

H. Prognosis
1. Quo ad vitam : dubia ad bonam
2. Quo ad functionam : dubia ad bonam
3. Quo ad sanationam : dubia ad malam
4. Quo ad comesticam : dubia ad bonam
BAB III
PEMBAHASAN

III.1 Definisi
Penyakit yang disebabkan oleh jamur secara umum disebut mikosis.
Mikosis dapat diklasifikasikan menjadi dua bentuk yaitu mikosis profunda, yaitu
yang menyerang jaringan di bawah kulit dan mikosis superfisialis, yaitu yang
menyerang kulit, rambut, atau kuku. Mikosis superfisialis dapat dibagi menjadi
dermatofitosis dan non dermatofitosis (Benedicta et al., 2013).
Dermatofitosis adalah penyakit pada jaringan yang mengandung zat
tanduk. Jaringan tersebut misalnya adalah stratum korneum, rambut, dan kuku.
Penyebab dari dermatofitosis ini adalah dermatofita. Dermatofita bersifat
keratofilik, mencerna keratin dan membutuhkan zat makanan untuk
pertumbuhannya sehingga dermatofita akan banyak ditemukan pada daerah yang
kaya akan zat keratin seperti kulit, kuku, dan rambut. Hingga saat ini terdapat 40
dermatofita yg telah dikenal, terbagi dalam tiga spesies yaitu epidermophyton,
microsporum, dan trichophyton (Benedicta et al., 2013).
Tinea korporis adalah penyakit dermatofit pada kulit glabrosa, selain kulit
kepala, wajah, kaki, telapak tangan dan kaki, janggut dan lipatan paha.
Manifestasinya akibat infiltrasi dan proliferasinya pada stratum korneum dan
tidak berkembang pada jaringan yang hidup. Metabolisme dari jamur dipercaya
menyebabkan efek toksik dan respon alergi. Tinea korporis umumnya tersebar
pada seluruh masyarakat tapi lebih banyak di daerah tropis.

Penyakit ini dapat terjadi pada semua umur dan paling sering terjadi pada
iklim yang panas (tropis dan subtropis). Ada beberapa macam variasi klinis
dengan lesi yang bervariasi dalam ukuran derajat inflamasi dan kedalamannya.
Variasi ini akibat perbedaan imunitas hospes dan spesies dari jamur.

III.2 Epidemiologi
Tinea korporis merupakan infeksi yang umumnya sering dijumpai
didaerah yang panas, Tricophyton rubrum merupakan infeksi yang paling umum
diseluruh dunia dan sekitar 47 % menyebabkan tinea korporis. Tricophyton
tonsuran merupakan dermatofit yang lebih umum menyebabkan tinea kapitis, dan
orang dengan infeksi tinea kapitis antropofilik akan berkembang menjadi tinea
korporis.. Walaupun prevalensi tinea korporis dapat disebabkan oleh peningkatan
Tricophyton tonsuran, Microsporum canis merupakan organisme ketiga sekitar
14 % menyebabkan tinea korporis.

Tinea korporis mungkin ditransmisikan secara langsung dari infeksi


manusia atau hewan melalui autoinokulasi dari reservoir, seperti kolonisasi
T.rubrum di kaki. Anak-anak lebih sering kontak pada zoofilik patogen seperti
M.canis pada kucing atau anjing. Pakaian ketat dan cuaca panas dihubungkan
dengan banyaknya frekuensi dan beratnya erupsi.

Infeksi dermatofit tidak menyebabkan mortalitas yang signifikan tetapi


mereka bisa berpengaruh besar terhadap kualitas hidup. Tinea korporis
prevalensinya sama antara pria dan wanita. Tinea korporis mengenai semua orang
dari semua tingkatan usia tapi prevalensinya lebih tinggi pada preadolescen. Tinea
korporis yang berasal dari binatang umumnya lebih sering terjadi pada anak-anak.
(7,8)
Secara geografi lebih sering pada daerah tropis daripada subtropis.

Berdasarkan habitatnya dermatofit digolongkan sebagai antropofilik


(manusia), zoofilik (hewan), dan geofilik (tanah). Dermatofit yang antropofilik
paling sering sebagai sumber infeksi tinea, tetapi sumber yang zoofilik di
identifikasi (jika mungkin) untuk mencegah reinfeksi manusia.
III.3 Etiologi
Tinea korporis dapat disebabkan oleh berbagai spesies dermatofit seperti
Trichophyton, Microsporum, dan Epidermophyton. Variasi penyebabnya dapat
ditemukan berdasarkan spesies yang terdapat di daerah tertentu. Namun demikian
yang lebih umum menyebabkan tinea korporis adalah T.rubrum,
T.mentagrophytes, dan M.canis.

III.4 Patogenesis

Dermatofitosis bukanlah patogen endogen. Transmisi dermatofit ke


manusia dapat melalui 3 sumber masing-masing memberikan gambaran tipikal.
Karena dermatofit tidak memiliki virulensi secara khusus dan khas hanya
menginvasi bagian luar stratum korneum dari kulit.

Types Of Dermatophytes Based On Mode Of Transmission

Category Mode of transmission Typical clinical features

Antropofilik Manusia ke manusia Ringan, tanpa inflamasi,


kronik

Inflamasi hebat (mungkin


Zoofilik Hewan ke manusia pustula dan vesikel), akut.

Geofilik Tanah ke manusia atau Inflamasi sedang


hewan

Jalan masuk yang mungkin pada infeksi dermatofita adalah kulit yang
luka, jaringan parut, dan adanya luka bakar. Infeksi ini disebabkan oleh masuknya
artrospora atau konidia. Patogen menginvasi lapisan kulit yang paling atas, yaitu
pada stratum korneum, lalu menghasilkan enzim keratinase dan menginduksi
reaksi inflamasi pada tempat yang terinfeksi. Inflamasi ini dapat menghilangkan
patogen dari tempat infeksi sehingga patogen akan mecari tempat yang baru di
bagian tubuh. Perpindahan organisme inilah yang menyebabkan gambaran klinis
yang khas berupa central healing.
Dermatofita dapat bertahan pada stratum korneum kulit manusia karena
stratum korneum merupakan sumber nutrisi untuk pertumbuhan dermatofita
dan untuk pertumbuhan miselia jamur. Infeksi dermatofita terjadi melalui tiga
tahap: adhesi pada keratinosit, penetrasi, dan perkembangan respon host.
1. Adhesi pada keratinosit
Adhesi dapat terjadi jika fungi dapat melalui barier agar artrokonidia
sebagai elemen yang infeksius dapat menempel pada keratin. Organisme
ini harus dapat bertahan dari efek sinar ultraviolet, variasi suhu dan
kelembaban, kompetisi dengan flora normal, dan zat yang dihasilkan oleh
keratinosit. Asam lemak yang dihasilkan oleh kelenjar sebasea bersifat
fungistatik.
2. Penetrasi
Setelah adhesi, spora harus berkembang biak dan melakukan penetrasi
pada stratum korneum. Penetrasi didukung oleh sekresi proteinase, lipase,
dan enzim musinolitik yang juga menyediakan nutrisi untuk fungi ini.
Trauma dan maserasi juga memfasilitasi penetrasi dan merupakan faktor
yang penting juga pada patogenesis tinea. Mannan yang terdapat pada
dinding sel jamur menyebabkan penurunan proliferasi keratinosit.
Pertahanan yang baru timbul pada lapisan kulit yang lebih dalam,
termasuk kompetisi besi oleh transferin yang belum tersaturasi dan dapat
menghambat pertumbuhan jamur yang didukung oleh progesteron.
3. Perkembangan respon host
Derajat inflamasi dipengaruhi oleh dua faktor yaitu status imun
penderita dan organisme itu sendiri. Deteksi imun dan kemotaksis pada sel
yang mengalami inflamasi dapat terjadi melalui beberapa mekanisme.
Beberapa jamur menghasilkan kemotaktik faktor seperti yang dihasilkan
juga oleh bakteri. Jamur juga bisa mengaktivasi komplemen melalui jalur
alternatif, yang kemudian menghasilkan faktor kemotaktik berasal dari
komplemen.
Pembentukan antibodi tidak memberikan perlindungan pada infeksi
dermatofita, seperti yang terlihat pada penderita yang mengalami infeksi
dermatofita yang luas juga menunjukkan titer antibodi yang meningkat
namun tidak berperan untuk mengeliminasi jamur ini. Akan tetapi, reaksi
hipersensitivitas tipe lambat (tipe IV) berperan dalam melawan
dermatofita. Respon dari imunitas seluler diperankan oleh interferon-γ
yang diatur oleh sel Th1. Pada pasien yang belum pernah mendapatkan
paparan dermatofita sebelumnya, infeksi primer akan menghasilkan
inflamasi yang ringan dan tes trikopitin biasanya menunjukkan hasil yang
negatif. Infeksi akan tampak sebagai eritema dan skuama ringan, sebagai
hasil dari percepatan tumbuhnya keratinosit. Ada yang mengungkapkan
hipothesis bahwa antigen dari dermatofita lalu diproses oleh sel
Langerhans dan dipresentasikan di nodus limfatikus kepada sel limfosit T.
Sel limfosit T berproliferasi klonal dan bermigrasi ke tempat infeksi untuk
melawan jamur. Saat itu lesi kulit menunjukkan reaksi inflamasi dan barier
epidermal menjadi permeable untuk migrasi dan perindahan sel. Sebagai
akibat dari reaksi ini jamur dieliminasi dan lesi menjadi sembuh spontan.
Dalam hal ini tes trikopitin menunjukkan hasil yang positif dan
penyembuhan terhadap infeksi yang kedua kalinya menjadi lebih cepat.
Selain reaksi hipersensitivitas tipe lambat, infeksi jamur juga dapat
menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe cepat (tipe 1). Mekanisme imun
yang terlibat di dalam patogenesis infeksi jamur masih perlu diteliti lebih
jauh lagi. Penelitian yang baru menunjukkan bahwa munculnya respon
imun berupa reaksi hipersensitivitas tipe cepat (tipe I) atau tipe lambat
(tipe IV) terjadi pada individu yang berbeda. Antigen dari dermatofita
menstimulasi produksi IgE, yang berperan dalam reaksi hipersensitivitas
tipe cepat, terutama pada penderita dermatofitosis kronik. Dalam
prosesnya, antigen dermatofita melekat pada antibodi IgE pada permukaan
sel mast kemudian menyebabkan cross-linking dari IgE. Hal ini dapat
menyebabkan terpicunya degranulasi sel mast dan melepaskan histamin
serta mediator proinflamasi lainnya.
III.5 Gambaran Klinik

Lokasi lesi Tinea korporis adalah wajah, anggota gerak atas dan bawah,
dada, punggung. Pada penyebab antropofilik biasanya terdapat di daerah yang
tertutup atau oklusif atau daerah trauma.

Keluhan berupa rasa gatal. Pada kasus yang tipikal didapatkan lesi bulla
yang berbatas tegas, pada tepi lesi tampak tanda radang lebih aktif dan bagian
tengah cenderung menyembuh. Lesi yang berdekatan dapat membentuk pola
gyrate atau polisiklik. Derajat inflamasi bervariasi, dengan morfologi dari eritema
sampai pustula, bergantung pada spesies penyebab dan status imun pasien. Pada
penyebab zoofilik umumnya didapatkan tanda inflamasi akut. Pada keadaan
imunosupresif, lesi sering menjadi lebih luas.

Tinea korporis dapat bermanifestasi sebagai gambaran tipikal, dimulai


sebagai lesi eritematosa, plak yang bersisik yang memburuk dan membesar,
selanjutnya bagian tengah dari lesi akan menjadi bentuk yang anular akan
mengalami resolusi, dan bentuk lesi menjadi anular berupa skuama, krusta,
vesikel, dan papul sering berkembang, khususnya pada bagian tepinya. Kadang-
kadang terlihat erosi dan krusta akibat garukan. Lesi pada umumnya merupakan
bercak terpisah satu dengan yang lainnya. Pada tinea korporis yang menahun,
tanda radang akut biasanya tidak terlihat lagi. Kelainan ini dapat terjadi pada tiap
bagian tubuh dan bersama-sama dengan kelainan pada sela paha. Dalam hal ini
disebut tinea korporis dan kruris.

Bentuk khas tinea korporis yang disebabkan oleh Trichophyton


concentricum disebut tinea imbrikata. Tinea imbrikata mulai dengan bentuk papul
berwarna coklat, yang perlahan-lahan menjadi besar. Stratum korneum bagian
tengah ini terlepas dari dasarnya dan melebar. Proses ini setelah beberapa waktu
mulai lagi dari bagian tengah, sehingga terbentuk lingkaran-lingkaran skuama
yang konsentris.

Gambar 1. Tinea Korporis

III. 6 Pemeriksaan Penunjang

Untuk pemeriksaan penunjang dapat dilakukan pemeriksaan mikologik


dapat berupa pemeriksaan langsung ataupun biakan. Bahan untuk pemeriksaan
mikologik dapat berupa kerokan kulit, rambut, dan kuku. Sebelum dikerok, daerah
yang akan diambil spesimen terlebih dahulu dibersihkan dengan kapas alkohol
(Budimulja, 2013).

Gambar 2.1 Epidermophyton sp Gambar 2.1 Tricophyton sp


Gambar 2.3 Microsporum sp

Untuk kulit tidak berambut dapat diambil bagian tepi dengan kelainan
sampai sedikit di luar menggunakan bagian tumpul dari skalpel. Untuk kulit
berambut dapat digunakan pinset untuk mencabut rambut dengan kelainan. Kulit
sekitar daerah rambut tersebut juga dikerok. Pemeriksaan dengan lampu wood
dapat dilakukan sebelum pengumpulan bahan. Untuk kuku dapat dilakukan
pemotongan hingga mengenai seluruh tebal kuku pada kuku yang sakit dan
diambil bahan di bawah kuku (Budimulja, 2013).
Jika spesimen akan dibuat sediaan basah, maka specimen diletakkan di
atas gelas objek kemudian diteteskan 1-2 tetes larutan KOH. KOH yang
digunakan untuk rambut adalah 10 %, kulit 20%, dan kuku 30%. Setelah itu
ditunggu 15-20 menit agar jaringan larut. Dapat dilakukan pemanasan untuk
mempercepat proses akan tetapi jangan sampai beruap. Pada sediaan kulit dan
kuku dapat terlihat hifa ataupun artrospora. Pada sediaan rambut dapat terlihat
mikrospora dan makrospora.
Pemeriksaan dengan biakan diperlukan untuk menentukan spesies jamur.
Media yang digunakan adalah agar saboraud. Da pat ditambahkan antibiotik
seperti kloramfenikol untuk menghindari kontaminasi (Budimulja, 2013).

III.5 Diagnosis Banding

a. Dermatitis Seboroik
Secara klinis tampilannnya adalah:
- Kelainan umum berupa eritema dan papuloskuama, membentuk plakat
eritroskuamosa di tempat predileksinya, yaitu terutama di alis dan
nasolabial, scalp, retroaurikuler, sternal terutama daerah V,
interskapula, aksila. umbilikus, dan genito-krural (Siregar, 2003).

Gambar 3. Dermatitis Seboroik

- Pada bayi dan anak:


 Dapat dimulai pada masa bayi berusia 2 minggu, menyembuh
sebelum usia 1 tahun.
 Relatif tidak gatal, dapat menyerupai dermatitis atopic, skuama
dan krusta lebih berminyak.
 Pada daerah scalp, krusta dapat menebal dan menyerupai topi.
 Bila meluas dapat menjadi eritroderma, dapat merupakan
bagian dari sindrom Leiner bila disertai anemia, diare dan
muntah sertai infeksi sekunder bakteri.
- Pada dewasa:
Kelainan kulit lebih kering. Tempat predileksi lebih utama pada
daerah berambut atau kepala. Gatal terutama bila berkeringat atau
udara panas.

b. Psoriasis
Merupakan peradangan pada kulit yang bersifat kronik residitif
yang ditandai dengan plak eritematosa dengan skuama kasar di atasnya
yang transparan, berlapis- lapis. Pada penyakit ini juga terdapat fenomena
tetesan lilin, Auspitz, dan Koebner (Budimulja, 2013).

Gambar 4. Psoriasis

c. Pitiriasis Rosea
Muncul lesi pertama (herald patch) pada 50 – 90% kasus. Lesi ini
biasanya berbentuk oval / bulat dengan warna salmon / eritematosa atau
hiperpigmentasi (pada pasien dengan kulit gelap), berdiameter 2 – 4 cm,
berbatas tegas , dengan skuama halus di bagian dalam tepi perifer plak.
Lesi primer ini umumnya terletak pada bagian badan yang tertutup baju.
Meskipun dapat juga pada leher. Jarang di wajah atau penis (Sugito,
2011).
Gambar 5. Ptiriasis Rosea

Lesi sekunder umumnya muncul pada 2 minggu setelah kemunculan


plak primer, namun dapat bervariasi antara 2 hari hingga 2 bulan. Erupsi
simetris terutama pada badan, leher, dan ekstremitas proksimal. Lesi
sekunder ini terbagi atas 2 tipe utama, yaitu plak kecil menyerupai plak
primer, sejajar dengan aksis panjang lines of cleavage dengan pola
distribusi menyerupai bentuk pohon cemara; dan papul kecil yang
biasanya berwarna kemerahan, tanpa skuama (Siregar, 2003).

III.6 Tatalaksana

Menghilangkan faktor predisposisi penting, misalnya mengusahakan


daerah lesi selalu kering dan memakai baju yang menyerap keringat.

A. Terapi topikal

Terapi direkomendasikan untuk infeksi lokal karena dermatofit


biasanya hidup pada jaringan. Berbagai macam preparat imidazol dan
alilamin tersedia dalam berbagai formulasi. Dan semuanya memberikan
keberhasilan terapi (70-100%). Terapi topikal digunakan 1-2 kali sehari
selama 2 minggu tergantung agen yang digunakan. Topikal azol dan
allilamin menunjukkan angka perbaikan perbaikan klinik yang tinggi.

Berikut obat yang sering digunakan :

1. Topical azol terdiri atas :

a. Econazol 1 %

b. Ketoconazol 2 %

c. Clotrinazol 1%

d. Miconazol 2% dll.

Derivat imidazol bekerja dengan cara menghambat enzim 14-


alfa-dimetilase pada pembentukan ergosterol membran sel jamur.

2. Allilamin bekerja menghambat allosterik dan enzim jamur skualen


2,3 epoksidase sehingga skualen menumpuk pada proses
pembentukan ergosterol membran sel jamur. yaitu aftifine 1 %,
butenafin 1% Terbinafin 1% (fungisidal bersifat anti inflamasi ) yang
mampu bertahan hingga 7 hari sesudah pemakaian selama 7 hari
berturut-turut.

3. Sikloklopirosolamin 2% (cat kuku, krim dan losio) bekerja


menghambat masuknya bahan esensial selular dan pada konsentrasi
tinggi merubah permeabilitas sel jamur merupakan agen topikal yang
bersifat fungisidal dan fungistatik, antiinflamasi dan anti bakteri serta
berspektrum luas.

4. Kortikosteroid topikal yang rendah sampai medium bisa


ditambahkan pada regimen anti jamur topikal untuk menurunkan
gejala. Tetapi steroid hanya diberikan pada beberapa hari pertama
dari terapi.

B. Terapi sistemik

Pedoman yang dikeluarkan oleh American Academy of


Dermatology menyatakan bahwa obat anti jamur (OAJ) sistemik dapat
digunakan pada kasus hiperkeratosis terutama pada telapak tangan dan
kaki, lesi yang luas, infeksi kronis, pasien imunokompromais, atau pasien
tidak responsif maupun intoleran terhadap OAJ topikal.

1. Griseofulvin

Obat ini berasal dari penicillium griceofulvum dan masih dianggap


baku emas pada pengobatan infeksi dermatofit genus Trichophyton,
Microsporum, Epidermophyton. Berkerja pada inti sel, menghambat
mitosis pada stadium metafase.

2. Ketokonazol
Merupakan OAJ sistemik pertama yang berspektrum luas, fungistatik,
termasuk golongan imidazol. Absorbsi optimum bila suasana asam.

3. Flukonazol

Mempunyai mekanisme kerja sama dengan golongan imidazol, namun


absorbsi tidak dipengaruhi oleh makanan atau kadar asam lambung.

4) Itrakonazol

Merupakan OAJ golongan triazol, sangat lipofilik, spektrum luas,


bersifat fungistatik dan efektif untuk dermatofita, ragi, jamur dismorfik
maupun jamur dematiacea. Absorbsi maksimum dicapai bila obat
diminum bersama dengan makanan.

5. Amfosterin B

Merupakan anti jamur golongan polyen yang diproduksi oleh


Streptomyces nodosus. Bersifat fungistatik, pada konsentrasi rendah
akan menghambat pertumbuhan jamur, protozoa dan alga. Digunakan
sebagai obat pilihan pada pasien dengan infeksi jamur yang
membahayakan jiwa dan tidak sembuh dengan preparat azol.

III.7 Komplikasi

Beberapa komplikasi yang dapat terjadi, antara lain (Suryantara et al., 2012):
a. Penyebaran infeksi ke area yang lain
b. Infeksi bakteri pada lesi
c. Dermatitis kontak atau kelainan kulit yang lain
d. Efek samping dari pengobatan

III.8 Pencegahan

Faktor-faktor yang perlu dihindari atau dihilangkan untuk mencegah


terjadinya dermatofitosis antara lain (Sularsito, 1986):
a. Mengurangi kelembaban dari tubuh penderita dengan menghindari
berkeringat yang berlebihan.
b. Menghindari sumber penularan yaitu binatang, kuda, sapi, kucing, anjing,
atau kontak penderita lain.
c. Menghilangkan fokal infeksi ditempat lain misalnya di kuku atau di kaki.
d. Meningkatkan hygiene dan memperbaiki makanan.
e. Faktor-faktor predisposisi lain seperti diabetes mellitus, kelainan endokrin
harus dikontrol.

III.9 Prognosis

Prognosis dari dermatofita bergantung pada bentuk klinis, penyebab


spesies dermatofita dan hospesnya sendiri, termasuk sosial budaya dan status
imunologisnya, namun pada umumnya prognosis penyakit ini adalah baik
(Sularsito, 1986).

III. 10 Kesimpulan

Tinea korporis adalah penyakit dermatofit pada kulit glabrosa, selain kulit
kepala, wajah, kaki, telapak tangan dan kaki, janggut dan lipatan paha.
Manifestasinya akibat infiltrasi dan proliferasinya pada stratum korneum dan
tidak berkembang pada jaringan yang hidup. Metabolisme dari jamur dipercaya
menyebabkan efek toksik dan respon alergi. Tinea korporis umumnya tersebar
pada seluruh masyarakat tapi lebih banyak pada didaerah tropis.

Tinea korporis lebih sering ditemukan sebagai asimptomatik atau gatal


ringan. Secara obyektif tipikal lesinya mulai sebagai makula eritematosa atau
papul yang menjalar dan berkembang menjadi anular, dan lesi berbatas tegas,
skuama atau vesikel, tepi yang berkembang dan healing center. Tinea korporis
lebih sering pada permukaan tubuh yang terbuka antara lain wajah, lengan dan
bahu.

Untuk tinea korporis yang bersifat lokal, prognosisnya akan baik dengan
tingkat kesembuhan 70-100% setelah pengobatan dengan azol topikal atau
allilamin atau dengan menggunakan anti jamur sistemik.
DAFTAR PUSTAKA

Benedicta MS, Calvin KM, Mario MN & Michael C 2013, ‘Tinea Fasialis’,
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

Budimulja, U, Mikosis. Dalam: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. Ilmu Penyakit


Kulit dan Kelamin. Edisi ke 5. Jakarta: Penerbit FK UI; 2007.

Siregar RS, 2003. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Jakarta: EGC; 2014

Sugito TL, Hakim L, Suseno LSU, Suriadiredja AS, Toruan TL, Alam TN.
Panduan Pelayanan Medis Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin. Jakarta:
Perdoski; 2011

Sularsito SA, Dermatologi Praktis-Perkumpulan Ahli Venereologi: Jakarta: EGC;


1986

Suryantara IPA, Rusyati LM, Darmada IGK. Diagnosis dan Tatalaksana Tinea
Fasialis. Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, SMF Ilmu Kesehatan
Kulit, Rumah Sakit Umum Pusat, Sanglah, Denpasar.

Szepietowski JC. Tinea Faciei. Medscape. 2012, Cited: 6 Desember 2017,


Available on: http://emedicine.medscape.com/article/1118316-overview.
Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ.
Fitzpatrrick’s Dermatology in General Medicine Volume Two. Ed. 7. New
York: The McGraww-Hill Companies, Inc.

Anda mungkin juga menyukai