Makalah Laporan Kasus Kulit
Makalah Laporan Kasus Kulit
TINEA KORPORIS
Oleh:
Pembimbing:
RST SOEDJONO
MAGELANG
2017
LEMBAR PENGESAHAN
Laporan Kasus
“ Tinea Korporis “
Oleh
Telah disetujui,
Mengetahui,
Dokter Pembimbing
Sebagai negara tropis, Indonesia memiliki iklim yang panas dan lembab,
jika hal tersebut disertai dengan higiene yang buruk, maka akan mempermudah
terjadinya infestasi jamur kulit yang saat ini semakin sering kejadiannya. Infeksi
jamur pada kulit meliputi berbagai jenis penyakit yang disebabkan oleh kolonisasi
jamur atau ragi pada kulit, rambut dan kuku. Dari segala macam penyakit jamur
kulit, penyakit yang sering ditemui yaitu ptiriasis versikolor, dermatofitosis dan
kandidosis yang merupakan jenis jamur superfisial atau mukokutan.
Prevalensi infeksi jamur kulit di rumah sakit Dr. Cipto
Mangunkusumo/Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (RSCM/FKUI)
Bagian Mikologi Bagian Penyakit Kulit dan Kelamin, pada tahun 1992 ditemukan
2500 penderita dari 19.000 jumlah pengunjung dibagian tersebut. Ini berarti
kurang lebih sekitar 13% pasien penderita penyakit jamur kulit. Keadaan serupa,
hampir sama dengan daerah-daerah lain di Indonesia. Demikian pula keadaan di
rumah sakit Dr. Sutomo, Surabaya, dermatomikosis superfisialis masih
merupakan penyakit kulit yang banyak ditemui. Keadaan di poliklinik rumah sakit
di kota-kota lain diperkirakan tidak banyak berbeda. Data dari RSUD Kabupaten
Buleleng didapatkan penderita penyakit jamur yaitu pada tahun 2004 sebanyak
240 kasus, tahun 2005 sebanyak 390 kasus dan semester I tahun 2006 sebanyak
162 kasus.
Dermatofitosis adalah golongan penyakit jamur superfisial yang
disebabkan oleh jamur dermatofita, yakni Trichophyton sp, Microsporum sp, dan
Epidermophyton sp. Penyakit ini menyerang jaringan yang mengandung zat
tanduk yakni, epidermis ( Tinea korporis, Tinea kruris, Tinea manus et pedis ),
rambut ( Tinea kapitis ), kuku ( Tinea unguinum ). Selain bentuk tersebut
juga ada bentuk khusus yaitu tinea imbrikata, tinea favosa, tinea fasialis dan tinea
sirsinata.
Dermatofitosis terjadi oleh karena adanya inokulasi jamur pada tempat
yang terserang, biasanya pada tempat yang lembab dengan maserasi atau ada
trauma sebelumnya. Higiene juga berperan untuk timbulnya penyakit ini.
Pada dasarnya, jamur ada dimana-mana, hanya sebagian kecil saja yang
dapat menimbulkan penyakit, sebagian besar lainnya tidak bersifat patogen,
namun bisa menjadi patogen bila ada faktor-faktor predisposisi tertentu baik
fisiologis maupun patologis. Faktor-faktor predisposisi fisologis meliputi
kehamilan dan umur, sedangkan yang termasuk faktor predisposisi patologis
adalah keadaan umum yang jelek, penyakit tertentu, iritasi setempat, dan
pemakaian obat-obat tertentu seperti antibiotika, kortikosteroid dan sitostatik.
Dari berbagai macam penyakit jamur kulit, yang merupakan tipe infeksi
superfisial dan kutan, maka pitiriasis versikolor, dermatofitosis dan kandidosis
kulit yang tersering ditemui. Penyakit jamur pada kulit merupakan salah satu
penyakit rakyat yang masih banyak terdapat di Indonesia. Kurangnya pengetahuan
mengenai kebersihan merupakan salah satu faktor yang menghambat dalam
pemberantasannya. Oleh karena itu, pada kesempatan ini saya akan membahas
salah satu topik pada dermatofitosis yaitu tinea korporis.
STATUS PENDERITA
A. Identitas Penderita
Nama : Ny. DW
Usia : 67 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Magelang, Jawa Tengah
Agama : Islam
Status : Menikah
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Tanggal periksa : 3 April 2018
No. CM : 002354
B. Anamnesis
1. Keluhan utama
Gatal gatal di seluruh tubuh sejak 3 bulan yang lalu
C. Pemeriksaan Fisik
STATUS GENERALIS
1. Keadaan umum : Tampak sakit ringan
2. Kesadaran : Compos Mentis
3. Status gizi : Cukup
4. Vital sign :
- Tekanan darah : Tidak dilakukan
- Nadi : Tidak dilakukan
- RR : Tidak dilakukan
- Suhu : Tidak dilakukan
STATUS DERMATOLOGIS
1. Regio Thorakal
Tampak makula eritematosa luas berukuran 15 x 10 cm, sirkumskrip, tepi lesi
aktif dengan central healing ditutupi skuama halus, diserat adanya papul milier
2. Regio Cervical
3. Regio Cruris
E. Diagnosa Banding
1. Tinea Korporis
2. Tinea Kruris
3. Dematitis Seboroik
4. Pitiriasis Rosea
5. Psoriasis
F. Diagnosis Kerja
1. Tinea Korporis Luas
G. Penatalaksanaan
Medikamentosa
1. Ketoconazol
2. Mikonazol
3. Zalf 2 - 4
4. Cetirizine
Non- Medikamentosa
H. Prognosis
1. Quo ad vitam : dubia ad bonam
2. Quo ad functionam : dubia ad bonam
3. Quo ad sanationam : dubia ad malam
4. Quo ad comesticam : dubia ad bonam
BAB III
PEMBAHASAN
III.1 Definisi
Penyakit yang disebabkan oleh jamur secara umum disebut mikosis.
Mikosis dapat diklasifikasikan menjadi dua bentuk yaitu mikosis profunda, yaitu
yang menyerang jaringan di bawah kulit dan mikosis superfisialis, yaitu yang
menyerang kulit, rambut, atau kuku. Mikosis superfisialis dapat dibagi menjadi
dermatofitosis dan non dermatofitosis (Benedicta et al., 2013).
Dermatofitosis adalah penyakit pada jaringan yang mengandung zat
tanduk. Jaringan tersebut misalnya adalah stratum korneum, rambut, dan kuku.
Penyebab dari dermatofitosis ini adalah dermatofita. Dermatofita bersifat
keratofilik, mencerna keratin dan membutuhkan zat makanan untuk
pertumbuhannya sehingga dermatofita akan banyak ditemukan pada daerah yang
kaya akan zat keratin seperti kulit, kuku, dan rambut. Hingga saat ini terdapat 40
dermatofita yg telah dikenal, terbagi dalam tiga spesies yaitu epidermophyton,
microsporum, dan trichophyton (Benedicta et al., 2013).
Tinea korporis adalah penyakit dermatofit pada kulit glabrosa, selain kulit
kepala, wajah, kaki, telapak tangan dan kaki, janggut dan lipatan paha.
Manifestasinya akibat infiltrasi dan proliferasinya pada stratum korneum dan
tidak berkembang pada jaringan yang hidup. Metabolisme dari jamur dipercaya
menyebabkan efek toksik dan respon alergi. Tinea korporis umumnya tersebar
pada seluruh masyarakat tapi lebih banyak di daerah tropis.
Penyakit ini dapat terjadi pada semua umur dan paling sering terjadi pada
iklim yang panas (tropis dan subtropis). Ada beberapa macam variasi klinis
dengan lesi yang bervariasi dalam ukuran derajat inflamasi dan kedalamannya.
Variasi ini akibat perbedaan imunitas hospes dan spesies dari jamur.
III.2 Epidemiologi
Tinea korporis merupakan infeksi yang umumnya sering dijumpai
didaerah yang panas, Tricophyton rubrum merupakan infeksi yang paling umum
diseluruh dunia dan sekitar 47 % menyebabkan tinea korporis. Tricophyton
tonsuran merupakan dermatofit yang lebih umum menyebabkan tinea kapitis, dan
orang dengan infeksi tinea kapitis antropofilik akan berkembang menjadi tinea
korporis.. Walaupun prevalensi tinea korporis dapat disebabkan oleh peningkatan
Tricophyton tonsuran, Microsporum canis merupakan organisme ketiga sekitar
14 % menyebabkan tinea korporis.
III.4 Patogenesis
Jalan masuk yang mungkin pada infeksi dermatofita adalah kulit yang
luka, jaringan parut, dan adanya luka bakar. Infeksi ini disebabkan oleh masuknya
artrospora atau konidia. Patogen menginvasi lapisan kulit yang paling atas, yaitu
pada stratum korneum, lalu menghasilkan enzim keratinase dan menginduksi
reaksi inflamasi pada tempat yang terinfeksi. Inflamasi ini dapat menghilangkan
patogen dari tempat infeksi sehingga patogen akan mecari tempat yang baru di
bagian tubuh. Perpindahan organisme inilah yang menyebabkan gambaran klinis
yang khas berupa central healing.
Dermatofita dapat bertahan pada stratum korneum kulit manusia karena
stratum korneum merupakan sumber nutrisi untuk pertumbuhan dermatofita
dan untuk pertumbuhan miselia jamur. Infeksi dermatofita terjadi melalui tiga
tahap: adhesi pada keratinosit, penetrasi, dan perkembangan respon host.
1. Adhesi pada keratinosit
Adhesi dapat terjadi jika fungi dapat melalui barier agar artrokonidia
sebagai elemen yang infeksius dapat menempel pada keratin. Organisme
ini harus dapat bertahan dari efek sinar ultraviolet, variasi suhu dan
kelembaban, kompetisi dengan flora normal, dan zat yang dihasilkan oleh
keratinosit. Asam lemak yang dihasilkan oleh kelenjar sebasea bersifat
fungistatik.
2. Penetrasi
Setelah adhesi, spora harus berkembang biak dan melakukan penetrasi
pada stratum korneum. Penetrasi didukung oleh sekresi proteinase, lipase,
dan enzim musinolitik yang juga menyediakan nutrisi untuk fungi ini.
Trauma dan maserasi juga memfasilitasi penetrasi dan merupakan faktor
yang penting juga pada patogenesis tinea. Mannan yang terdapat pada
dinding sel jamur menyebabkan penurunan proliferasi keratinosit.
Pertahanan yang baru timbul pada lapisan kulit yang lebih dalam,
termasuk kompetisi besi oleh transferin yang belum tersaturasi dan dapat
menghambat pertumbuhan jamur yang didukung oleh progesteron.
3. Perkembangan respon host
Derajat inflamasi dipengaruhi oleh dua faktor yaitu status imun
penderita dan organisme itu sendiri. Deteksi imun dan kemotaksis pada sel
yang mengalami inflamasi dapat terjadi melalui beberapa mekanisme.
Beberapa jamur menghasilkan kemotaktik faktor seperti yang dihasilkan
juga oleh bakteri. Jamur juga bisa mengaktivasi komplemen melalui jalur
alternatif, yang kemudian menghasilkan faktor kemotaktik berasal dari
komplemen.
Pembentukan antibodi tidak memberikan perlindungan pada infeksi
dermatofita, seperti yang terlihat pada penderita yang mengalami infeksi
dermatofita yang luas juga menunjukkan titer antibodi yang meningkat
namun tidak berperan untuk mengeliminasi jamur ini. Akan tetapi, reaksi
hipersensitivitas tipe lambat (tipe IV) berperan dalam melawan
dermatofita. Respon dari imunitas seluler diperankan oleh interferon-γ
yang diatur oleh sel Th1. Pada pasien yang belum pernah mendapatkan
paparan dermatofita sebelumnya, infeksi primer akan menghasilkan
inflamasi yang ringan dan tes trikopitin biasanya menunjukkan hasil yang
negatif. Infeksi akan tampak sebagai eritema dan skuama ringan, sebagai
hasil dari percepatan tumbuhnya keratinosit. Ada yang mengungkapkan
hipothesis bahwa antigen dari dermatofita lalu diproses oleh sel
Langerhans dan dipresentasikan di nodus limfatikus kepada sel limfosit T.
Sel limfosit T berproliferasi klonal dan bermigrasi ke tempat infeksi untuk
melawan jamur. Saat itu lesi kulit menunjukkan reaksi inflamasi dan barier
epidermal menjadi permeable untuk migrasi dan perindahan sel. Sebagai
akibat dari reaksi ini jamur dieliminasi dan lesi menjadi sembuh spontan.
Dalam hal ini tes trikopitin menunjukkan hasil yang positif dan
penyembuhan terhadap infeksi yang kedua kalinya menjadi lebih cepat.
Selain reaksi hipersensitivitas tipe lambat, infeksi jamur juga dapat
menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe cepat (tipe 1). Mekanisme imun
yang terlibat di dalam patogenesis infeksi jamur masih perlu diteliti lebih
jauh lagi. Penelitian yang baru menunjukkan bahwa munculnya respon
imun berupa reaksi hipersensitivitas tipe cepat (tipe I) atau tipe lambat
(tipe IV) terjadi pada individu yang berbeda. Antigen dari dermatofita
menstimulasi produksi IgE, yang berperan dalam reaksi hipersensitivitas
tipe cepat, terutama pada penderita dermatofitosis kronik. Dalam
prosesnya, antigen dermatofita melekat pada antibodi IgE pada permukaan
sel mast kemudian menyebabkan cross-linking dari IgE. Hal ini dapat
menyebabkan terpicunya degranulasi sel mast dan melepaskan histamin
serta mediator proinflamasi lainnya.
III.5 Gambaran Klinik
Lokasi lesi Tinea korporis adalah wajah, anggota gerak atas dan bawah,
dada, punggung. Pada penyebab antropofilik biasanya terdapat di daerah yang
tertutup atau oklusif atau daerah trauma.
Keluhan berupa rasa gatal. Pada kasus yang tipikal didapatkan lesi bulla
yang berbatas tegas, pada tepi lesi tampak tanda radang lebih aktif dan bagian
tengah cenderung menyembuh. Lesi yang berdekatan dapat membentuk pola
gyrate atau polisiklik. Derajat inflamasi bervariasi, dengan morfologi dari eritema
sampai pustula, bergantung pada spesies penyebab dan status imun pasien. Pada
penyebab zoofilik umumnya didapatkan tanda inflamasi akut. Pada keadaan
imunosupresif, lesi sering menjadi lebih luas.
Untuk kulit tidak berambut dapat diambil bagian tepi dengan kelainan
sampai sedikit di luar menggunakan bagian tumpul dari skalpel. Untuk kulit
berambut dapat digunakan pinset untuk mencabut rambut dengan kelainan. Kulit
sekitar daerah rambut tersebut juga dikerok. Pemeriksaan dengan lampu wood
dapat dilakukan sebelum pengumpulan bahan. Untuk kuku dapat dilakukan
pemotongan hingga mengenai seluruh tebal kuku pada kuku yang sakit dan
diambil bahan di bawah kuku (Budimulja, 2013).
Jika spesimen akan dibuat sediaan basah, maka specimen diletakkan di
atas gelas objek kemudian diteteskan 1-2 tetes larutan KOH. KOH yang
digunakan untuk rambut adalah 10 %, kulit 20%, dan kuku 30%. Setelah itu
ditunggu 15-20 menit agar jaringan larut. Dapat dilakukan pemanasan untuk
mempercepat proses akan tetapi jangan sampai beruap. Pada sediaan kulit dan
kuku dapat terlihat hifa ataupun artrospora. Pada sediaan rambut dapat terlihat
mikrospora dan makrospora.
Pemeriksaan dengan biakan diperlukan untuk menentukan spesies jamur.
Media yang digunakan adalah agar saboraud. Da pat ditambahkan antibiotik
seperti kloramfenikol untuk menghindari kontaminasi (Budimulja, 2013).
a. Dermatitis Seboroik
Secara klinis tampilannnya adalah:
- Kelainan umum berupa eritema dan papuloskuama, membentuk plakat
eritroskuamosa di tempat predileksinya, yaitu terutama di alis dan
nasolabial, scalp, retroaurikuler, sternal terutama daerah V,
interskapula, aksila. umbilikus, dan genito-krural (Siregar, 2003).
b. Psoriasis
Merupakan peradangan pada kulit yang bersifat kronik residitif
yang ditandai dengan plak eritematosa dengan skuama kasar di atasnya
yang transparan, berlapis- lapis. Pada penyakit ini juga terdapat fenomena
tetesan lilin, Auspitz, dan Koebner (Budimulja, 2013).
Gambar 4. Psoriasis
c. Pitiriasis Rosea
Muncul lesi pertama (herald patch) pada 50 – 90% kasus. Lesi ini
biasanya berbentuk oval / bulat dengan warna salmon / eritematosa atau
hiperpigmentasi (pada pasien dengan kulit gelap), berdiameter 2 – 4 cm,
berbatas tegas , dengan skuama halus di bagian dalam tepi perifer plak.
Lesi primer ini umumnya terletak pada bagian badan yang tertutup baju.
Meskipun dapat juga pada leher. Jarang di wajah atau penis (Sugito,
2011).
Gambar 5. Ptiriasis Rosea
III.6 Tatalaksana
A. Terapi topikal
a. Econazol 1 %
b. Ketoconazol 2 %
c. Clotrinazol 1%
d. Miconazol 2% dll.
B. Terapi sistemik
1. Griseofulvin
2. Ketokonazol
Merupakan OAJ sistemik pertama yang berspektrum luas, fungistatik,
termasuk golongan imidazol. Absorbsi optimum bila suasana asam.
3. Flukonazol
4) Itrakonazol
5. Amfosterin B
III.7 Komplikasi
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi, antara lain (Suryantara et al., 2012):
a. Penyebaran infeksi ke area yang lain
b. Infeksi bakteri pada lesi
c. Dermatitis kontak atau kelainan kulit yang lain
d. Efek samping dari pengobatan
III.8 Pencegahan
III.9 Prognosis
III. 10 Kesimpulan
Tinea korporis adalah penyakit dermatofit pada kulit glabrosa, selain kulit
kepala, wajah, kaki, telapak tangan dan kaki, janggut dan lipatan paha.
Manifestasinya akibat infiltrasi dan proliferasinya pada stratum korneum dan
tidak berkembang pada jaringan yang hidup. Metabolisme dari jamur dipercaya
menyebabkan efek toksik dan respon alergi. Tinea korporis umumnya tersebar
pada seluruh masyarakat tapi lebih banyak pada didaerah tropis.
Untuk tinea korporis yang bersifat lokal, prognosisnya akan baik dengan
tingkat kesembuhan 70-100% setelah pengobatan dengan azol topikal atau
allilamin atau dengan menggunakan anti jamur sistemik.
DAFTAR PUSTAKA
Benedicta MS, Calvin KM, Mario MN & Michael C 2013, ‘Tinea Fasialis’,
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Siregar RS, 2003. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Jakarta: EGC; 2014
Sugito TL, Hakim L, Suseno LSU, Suriadiredja AS, Toruan TL, Alam TN.
Panduan Pelayanan Medis Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin. Jakarta:
Perdoski; 2011
Suryantara IPA, Rusyati LM, Darmada IGK. Diagnosis dan Tatalaksana Tinea
Fasialis. Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, SMF Ilmu Kesehatan
Kulit, Rumah Sakit Umum Pusat, Sanglah, Denpasar.