Anda di halaman 1dari 58

BAB 2

KESETIMBANGAN FASA
2.1 PENGERTIAN DASAR TENTANG FASA
Dalam membicarakan fasa, terlebih dahulu harus dipahami pengertian-pengertian
dari istilah-istilah yang digunakan yang berhubungan dengan hal tersebut. Istilah-istilah
tersebut adalah fasa, komponen dan derajat kebebasan.
2.1.1 Fasa
Fasa adalah bagian yang serba sama dari suatu sistem, yang dapat dipisahkan
secara mekanik; serbasama dalam hal komposisi kimia dan sifat-sifat fisika. Jadi suatu
sistem yang mengandung cairan dan uap masing-masing mempunyai bagian daerah yang
serbasama. Dalam fasa uap kerapatannya serbasama di semua bagian pada uap tersebut.
Dalam fasa cair kerapatannya serbasama di semua bagian pada cairan tersebut, tetapi nilai
kerapatannya berbeda dengan di fasa uap. Contoh lainnya adalah air yang berisi pecahan-
pecahan es merupakan suatu sistem yang terdiri atas dua fasa, yaitu fasa yang berwujud
padat (es) dan fasa yang berwujud cair (air).
Sistem yang hanya terdiri atas campuran wujud gas saja hanya ada satu fasa pada
kesetimbangan sebab gas selalu bercampur secara homogen. Dalam sistem yang hanya
terdiri atas cairan-cairan pada kesetimbangan bisa terdapat satu fasa atau lebih,
tergantung pada kelarutannya. Padatan-padatan biasanya mempunyai kelarutan yang lebih
terbatas dan pada suatu sistem padat yang setimbang bisa terdapat beberapa fasa padat
yang berbeda.
2.1.2 Komponen
Jumlah komponen dalam suatu sistem merupakan jumlah minimum dari spesi
yang secara kimia independen yang diperlukan untuk menyatakan komposisi setiap fasa
dalam sistem tersebut. Cara praktis untuk menentukan jumlah komponen adalah dengan
menentukan jumlah total spesi kimia dalam sistem dikurangi dengan jumlah reaksi-reaksi
kesetimbangan yang berbeda yang dapat terjadi antara zat-zat yang ada dalam sistem
tersebut. Sebagai contoh kita tinjau sistem yang terdiri atas tiga spesi yakni,PCl5, PCl3,
Cl2. Sistem memang terdiri atas 3 spesi, tetapi hanya ada dua komponen karena adanya
kesetimbangan yang terjadi pada sistem tersebut:
PCl 5 ↔ PCl 3 + Cl 2
Dua dari spesi di atas dapat dipilih dan ditentukan jumlah mol-nya masing-masing,
sedangkan jumlah mol spesi ketiga dapat ditentukan melalui keadaan kesetimbangan,

30
X PCl3 X Cl2
Kx =
X PCl5
Sebagai akibatnya, hanya ada dua spesi secara kimia independen, spesi ketiga tidak
independen. Jadi hanya ada dua komponen untuk sistem di atas. Pada sistem lain yaitu
air-etanol, ada dua spesi. Jumlah komponennya juga ada dua karena tidak dikenal
kesetimbangan yang menghubungkan keduannya pada suhu biasa.
2.1.3 Derajat Kebebasan
Untuk menguraikan keadaan kesetimbangan dari suatu sistem yang terdiri atas
beberapa fasa dengan beberapa spesi kimia, kita dapat menentukan mol masing-masing
spesi dalam setiap fasa serta suhu (T) dan tekanan (P). Akan tetapi penentuan mol tidak
akan kita lakukan karena massa setiap fasa dalam sistem tidak menjadi perhatian kita.
Massa atau ukuran dari setiap fasa tidak mempengaruhi posisi kesetimbangan fasa,
karena kesetimbangan fasa ditentukan oleh kesamaan dalam potensial kimia (akan
dijelaskan secara rinci pada bagian lain), yang merupakan variabel intensif. Sebagai
contoh, dalam sistem dua fasa yang terdiri atas dua larutan AgBr dengan padatan AgBr
pada T dan P tertentu, konsentrasi kesetimbangan dari AgBr yang larut (dalam larutan
jenuh) tidak tergantung pada massa dari masing-masing fasa, jadi tidak penting apakah
terdapat sedikit atau banyak endapan AgBr atau sevolume besar larutan, asal kedua fasa
ada dalam keadaan kesetimbangan, konsetrasi kesetimbangan dalam larutan tersebut
mempunyai nilai tertentu pada T dan P tertentu. Oelh karena itu dalam membicarakan
kesetimbangan fasa, kita tidak akan meninjau variabel ekstensif yang bergantung pada
massa dari setiap fasa. Kita hanya akan meninjau variabel-variabel intensif seperti suhu,
tekanan dan komposisi (fraksi mol). Jumlah variabel intensif independen yang
diperlukan untuk menyatakan keadaan suatu sistem disebut derajat kebebasan dari
sistem tersebut. Kita akan lihat nanti bahwa tak semua variabel-variabel intensif
independen.
2.2 KRITERIA KESETIMBANGAN FASA
Telah diuriaikan di bagian kesetimbangan kimia, perubahan energy Gibbs yang
disebabkan oleh perubahan suhu, tekanan dan mol zat dinyatakan melalui persamaan
dG = − SdT + VdP + ∑ µi dni (2.1)
i

u i potensial kimia, yang didefinisikan sebagai

31
 ∂G 
µi =   (2.2)
 ∂ni T , P , n i

merupakan besaran intensif karena merupakan turunan dari sifat ekstensif terhadap sifat
ekstensif lainnya. Oleh karena itu nilainya harus sama di semua tempat dalam suatu
sistem pada keadaan kesetimbangan. Kita tinjau suatu sistem di dua tempat/bagian α dan

β dengan potensial kimia zat I masing-masing µ i α dan µ i β . Andaikan terjadi


pemindahan dni mol zat I dari fasa α ke β pada suhu, tekanan dan jumlah mol zat

lainnya tetap, perubahan energy Gibbs di kedua fasa tersebut dinyatakan dengan
dG α = µ iα dn αi dan dG β = µ iβ dn iβ . Perubahan energy Gibbs total dari sistem adalah

dG = dG α + dG β (2.3)

dG = µiα dnαi + µiβ dn iβ (2.4)


β α
Berdasarkan konervasi materi: dni = - dni oleh karena itu Persamaan (2.4) menjadi

dG = ( µ iα − µ iβ ) dn iα (2.5)

Jika pemindahan zat tersebut berlangsung spontan harus disertai dengan penurunan
energy Gibbs
(
dG = µ iα − µ iβ dn αi < 0 ) (2.6)
α
Karena aliran/pemindahan I terjadi dari fasa α ke β maka dni bernilai negatif. Dengan

demikian, dari persamaan (2.6) diperoleh


(µ α
i )
− µ iβ > 0 atau µ iα > µ iβ (2.7)

Dengan kata lain, perpindahan zat i yang spontan akan terjadi dari fasa α ke
fasa β , atau dari fasa dengan potensial kimia besar ke fasa lain yang potensial kimianya
lebih rendah. Aliran atau perpindahan ini akan terus berlangsung sampai potensial kimia
zat i di semua fasa dalam sistem menjadi sama. Secara matematis hal ini dapat dilihat dari
Persamaan (2.5). jika sistem telah mencapai kesetimbangan, maka Persamaan (2.5)
menjadi
(
dG = µ iα − µ iβ dn αi = 0 ) (2.8)

Karena dn αi ≠ 0 , maka

µ iα = µ iβ (2.9)

32
Persamaan ini merupakan syarat kesetimbangan antara dua fasa untuk zat murni pada
suhu dan tekanan tertentu. Jadi pada keadaan kesetimbangan potensial kimia zat i di fasa`
α sama dengan potensial kimia i di fasa β atau secara umum dapat dinyatakan bahwa
pada keadaan kesetimbangan, potensial kimia setiap zat i harus sama di semua fasa.
Pada dasarnya, suatu sistem disebut setimbang secara termodinamika jika
dipenuhi kriteria kesetimbangan termal, kesetimbangan mekanik dan kesetimbangan
material. Jika T α > T β , panas akan mengalir spontan dari fasa α ke fasa β sampai

T α = T β . Jika P α > P β kerja akan “mengalir” spontan dari fasa α ke fasa β sampai

P α = P β . Jika µ iα > µ iβ maka zat i akan mengalir spontan dari fasa α ke fasa β

sampai µ iα = µ iβ .

Fungsi keadaan T menentukan ada tidaknya kesetimbangan termal antar fasa. Fungsi
keadaan P menentukan ada tidaknya kesetimbangan termal antar fasa. Fungsi keadaan µ
menentukan ada tidaknya kesetimbangan mekanik antar fasa.
2.3 ATURAN FASA GIBBS
Jika suatu sistem mengandung satu atau lebih komponen dalam satu atau lebih fasa
pada keadaan kesetimbangan, ada suatu hubungan umum yang penting yang harus
dipenuhi antara jumlah fasa (p), komponen (c) dan derajat kebebasan (f).
Kita tinjau sistem dengan c komponen dan p fasa. Pada setiap fasa, fraksi mol setiap
komponen harus ditentukan. Jadi untuk satu fasa diperlukan c fraksi mol dan untuk
menguraikan p fasa diperlukan pc fraksi mol. Variabel pc ini tak semuanya independen,
karena ada hubungan tertentu diantara variabel tersebut. Yang pertama adalah jumlah
fraksi mol dalam setiap fasa harus sama dengan satu.
X 1α + X 2β + .... + X Cα = 1 (2.10)

Untuk setiap fasa, ada persamaan seperti pada persamaan (2.10). jadi untuk p fasa ada
sejumlah p persamaam seperti itu. Yang kedua adalah karena sistem ada dalam
kesetimbangan maka harus dipenuhi syarat kesetimbangan seperti yang dinyatakan pada
Persamaan (2.9). Untuk setiap komponen ada satu set persamaan:
µ iα = µ iβ = µ iγ = ...... = µ iP (6.11)

Karena persamaan (2.11) maka untuk sistem dengan p fasa hanya mengandung
p-1 persamaan , ada (p-1) tanda sama dengan (=) untuk setiap komponen pada p fasa. Jadi
untuk c komponen ada c(p-1) persamaan. Oleh karena itu jumlah total variabel
konsentrasi dikurangi jumlah syarat-syarat Persamaan (2.10) dan (2.11) menghasilkan

33
pc - p - c (p - 1) = c – p
dengan menambahkan 2 untuk P dan T, kita peroleh derajat kebebasan sistem
f= c – p+ 2 (2.12)
Persamaan 2.12 biasa dikenal dengan aturan fasa, dikemukakan oleh J. Willard Gibbs.
Untuk memudahkan mengingatnya, harus disadari, semakin banyak jumlah komponen,
semakin banyak variabel, oleh karena itu c bertanda positif. Semakin banyak jumlah fasa,
semakin banyak pula syarat kesetimbangan dan jumlah persamaannya, sehingga
mengurangi beberapa variabel, jadi tanda p bertanda negatif.
Contoh soal 1.1
Pada Gambar (1.1) diperlihatkan sistem yang terdiri atas dua larutan, yakni dietil eter
dalam air dan air dalam dietil eter yang berkesetimbangan dengan fasa uapnya

Gambar 1.1. Sistem eter dan air yang berkesetimbangan dengan fasa uapnya
Analisis penyelesaian
Sistem terdiri atas dua komponen, yakni air dan eter yang tidak saling bereaksi. Larutan
eter dalam air dan larutan air dalam eter masing-masing terpisah dengan batas yang jelas,
jadi ada dua fasa cair, satu fasa uap air yang bercampur homogen dengan uap eter.
Dengan demikian sistem ini memiliki tiga fasa.
f=c–p+2
Penyelesaian
c=2
p=3
f=2–3+2=1
Kesimpulan
Sistem mempunyai satu derajat kebebasan atau univarian. Jadi jika suhu sudah
dinyatakan maka tekanan dan komposisi dari semua fasa sudah tertentu nilainya.

34
2.4 PERSAMAAN CLAPEYRON
Ingat kembali bahwa syarat kesetimbangan antara dua fasa untuk zat murni
pada T dan P tertentu adalah

µα = µ β (2.13)

Subskrip dihilangkan karena sistem hanya terdiri atas satu komponen, zat murni. Jika
tekanan diubah menjadi P + dP, suhu kesetimbangan akan berubah menjadi T + dT dan
nilai masing-masing µ akanberubah menjadi µ + dµ . Jadi pada T + dT dan P + dP
syarat kesetimbangannya adalah

µ α + dµ α = µ β + dµ β (2.14)

Dengan mengurangkan Persamaan (2.13) terhadap persamaan (2.14) akan diperoleh

dµ α = dµ β (2.15)

Berdasarkan persamaan termodinamika fundamental, kita peroleh dµ secara eksplisit


dalam bentuk dP dan dT adalah sebagai berikut
− −
dµ α = − S α dT + V α dP
dan
− −
dµ β = − S β dT + V β dP
Substitusi keduanya pada Persamaan (2.15) menghasilkan
− − − −
− S α dT + V α dP = − S β dT + V β dP
Penyusunan ulang persamaan tersebut menjadi

− β − α  − β − α 
S − S  dT =  V − V  dP (2.16)
   
→ β maka
Jika terjadi perubahan dari α 
− − − − − −
∆ S = S β − S α dan ∆ V = V β − V α

Dengandemikian, daripersamaan (2.16) diperoleh



dP ∆ S
= (2.17)
dT ∆ V−

Untuk perubahan fasa pada kesetimbangan (bersifat reversibel),

35

− ∆H
∆S = , sehingga persamaan menjadi
T

dP ∆ H
= (2.18)
dT T∆V
Persamaan (2.18) disebut dengan Persamaan Clapeyron.
2.5 PERSAMAAN CLAUSIUS-CLAPEYRON
Untuk kesetimbangan padat-cair, persamaan (2.18) mempunyai bentuk

∆H fus
dP = −
dT (2.19)
T∆ V fus
Sehingga

P2 Tm,
∆ H fus dT
∫P dP = T∫ − T (2.20)
1 m ∆V
fus

− −
Jika ∆ H fus dan ∆ V fus tidak bergantung pada T dan P, Persamaan (2.20) menjadi

∆ H fus Tm'
P2 − P1 = −
ln
∆ V fus Tm

DenganTm adalah titik leleh pada tekanan P1 dan Tm' titikleleh pada tekanan P2. Karena Tm' -

Tm biasanya sangat kecil, maka logaritmanya dapat diperluas menjadi

Tm'  T + Tm' − Tm   T ' −T  T ' −T


ln = ln m  = ln1 + m m  ≈ m m
Tm  Tm   Tm  Tm
DengandemikianPersamaan (2.21) menjadi

∆ H fus ∆T
∆P = − (6.22)
∆V Tm
fus

Untuk kesetimbangan fasa terkondensasi, baik padat maupun cair dengan uapnya kita
mempunyai
− −
dP ∆ S ∆H
= − = − −
(2.23)
dT ∆ V  
T V g − V c 
 

36

Dengan ∆ H merupakan kalor penguapan molar cairan atau kalor sublimasi molar dari
− − − −
padatan dan V c adalah volum molar padatan atau cairan. Pada umumnya V g − V c ≈ V g
− RT
dandengan mengasumsikan gas sebagai gas ideal, V g = , makaPersamaan (2.23)
P
menjadi

dP ∆ H P
=
dT RT 2
Atau

d ln P ∆ H
= (2.24)
dT RT 2

Persamaan (2.24) dikenal sebagai Persamaan Clausius-Clapeyron. Jika ∆ H tidak
bergantung pada suhu, maka integrasi persamaan tersebut menghasilkan

P T
∆H
∫ d ln P = ∫ RT 2
dT
P0 T0

− − −
P ∆H 1 1  ∆H ∆H
ln = −  −  = − + (2.25)
P0 R  T T0  RT RT0
DenganP0 adalah tekanan uap pada T0 dan P tekanan uap padaT. JikaP0 =1 atm, maka T0
adalah titik didih normal dari cairan (titik sublimasi normal dari padatan), dengan
demikian
− −
∆H ∆H
ln P = −
RT0 RT
1
Dari persamaan (2.26) dapat dilihat bahwa jika ln P dialurkan terhadap akan diperoleh
T

∆H
kurva linear dengan kemiringan sama dengan − . Perpotongan terhadap sumbu tegak
R

1 ∆H
pada =0 menghasilkan .
T RT0

37

Jadi dari kemiringan dan perpotongan tadi dapat ditentukan baik ∆ H maupun T0. Kalor
penguapan dan sublimasi seringkali ditentukan melalui pengukuran tekanan uap zat
tersebut sebagai fungsi suhu.
Contoh Soal 1.2:
Titik didih normal dari benzene adalah 353,2 K. Perkirakan tekanan yang memungkinkan
benzene mendidih pada 330 K.
Analisis Penyelesaian
Diketahui: Benzen T0= 353,2 K
T = 330 K
Titikdidih normal adalah titik didih pada tekanan 1 atm, sehingga P0 = 1 atm
Ditanyakan: P ?

P ∆ HV 1 1 
ln = −  − 
P0 R  T T0 
Untuk memperkirakan P dari persamaan diatas diperlukan data ∆H V . Secara kasar dapat

diperkirakan dari aturan Trouton. Untuk kebanyakan cairan, entropi penguapan pada titik
didih normalnya mempunyai nilai yang mendekati sama, yakni ∆S V ≈ 90 J/Kmol

Olehkarena itu kalor penguapan cairan adalah sebagai berikut.


(
∆H V ≈ 90 J K -1mol −1 T0 )
Penyelesaian
∆H V = 90 J K -1mol −1 (353,2 K )
= 31800 J mol -1
P atm 31800 Jmol −1  1 1 
ln =− -1 −1
 − 
1 atm 8,314 JK mol  330 K 353,2 K 
= - 0,76
P = 0,47atm
Kesimpulan
Jadi benzene akan mendidih pada 330 K jika tekanannya diturunkan menjadi 0,47 atm.
Contoh soal 1.3

Hitung kemiringan darikurva padat-cair pada diagram fasa air pada 273,15 K. ∆ H fus =
6,01 kJmol-1, volum molar air 0,0180 L mol-1dan volum molar es adalah 0,0196 L mol-1.
Berikan artifisik dari kemiringan tersebut.

38
Analisis Penyelesaian
Diketahui: untuk air Tf = 273,15 K Vl = 0,0180 Lmo1-1

∆ H fus = 6,01 kJmo1-1 V s = 0,196 Lmo1-1


dP
Ditanyakan: = ?
dT

∆H fus
dP
=
dT Tf ∆Vfus
Dengan menggunakan faktor konversi
0,08205LatmK −1mol −1
∆ fus = 6010 j mol χ
-1
8,314 JK −1mol −1
= (6010) x 9,87 x 10-3 L atm mol-1
Penyelesaian:

dP
(6010)(9,87 x10 )L
−3
atm mol −1
= = −136 atm K −1
dT
(273,15K )(0,0180 − 0,0190 )L mol −1

Kesimpulan
Kemiringan kurva padat-cair untuk air adalah -136 atm K-1. Dengan kata
lain, untuk menurunkan titik beku air sebesar 1 derajat diperlulan peningkatan
tekanan sebesar 136 atm.
Contoh soal 2.4:
Data berikut memperlihatkan variasi tekanan uap air sebagai fungsi suhu
P/(mmHg) 17,54 31,82 55,32 92,51 149,39 233,7 355,1
t / 0C 20 30 40 50 60 70 80
Tentukan kalor penguapan air
Analisis Penyelesaian
Diketahui: tekanan uap air (mmHg) pada berbagai suhu (oC)
Ditanyakan: ∆ H v air
Langkah penyelesaian:

39
1. Mengubah data kedalam bentuk yang cocok untuk dialurkan, yakni ln P
1
terhadap
T
1
2. Mengalurkan ln P terhadap
T
1
3. Menentukan kemiringan kurva ln P terhadap
T
4. Menentukan ∆ H v dari persamaan
∆H v ∆H v
ln P= −
RTo RT
∆H
Kemiringan = −
R
Penyelesaian
ln P 2,864 3,460 4,013 4,527 5,006 5,545 5,872

x10 3 / (K −1 )
1 3,41 3,30 3,19 3,10 3,00 2,91 2,83
T
1
Kemiringan ln P terhadap diperoleh -5090 K.
T

∆H v
-5090 = −
R
( )
∆ H v = 8,3141JK −1mol −1 (5090 K )
−1
= 42.300 jmol
= 42,3kjmol , −1
Kesimpulan
Kalor penguatan moral air adalah 42,3 kj mol −1

Alur Ln p vs 1/T

40
2.6 SISTEM SATU KOMPONEN
Pada bagian ini akan dibahas kesetimbangan fasa pada sistem dengan satu
komponen independen (sebagai zat murni). Untuk sistem satu komponen, aturan
fasanya adalah
= 3- P
Jika P=1 maka =2, jika P=2, =1 dan jika P=3, = 0. maksimunya adalah 2.
Jadi untuk sistem satu komponen , paling bnyak ada dua variabel intensif untuk
menyatakan keadaan sistem.
Kita menggambarkan setiap keadaan dari sistem satu komponen dengan satu titik
pada diagram dua dimensi P dan T. Diagaram seperti ini merupakan salah satu
contoh dari digram fasa. Pada diagram fasa tergambar sifat-sifat zat seperti titik
didih, titik leleh, titik tripel. Garis – garis pada diagram fasa membagi fasa-fasa
tersebut kedalam daerah padat, cair, dan gas. Jika suatu titik yang menggabarkan
keadaan sistem ada di daerah padat, zat tersebut ada pada keadaan padat,
demikian pula jika ada di daerah cair, maka zat tersebut dalam keadan cair. Jika
titik tersebut terletak pada garis misalnya s-l (padat-cair), maka zat tersebut ada
dalam kesetimbangan antara keadaan cair dan padatnya. Garis l-g (cair-gas)
mempunyai batas tertentu pada suhu dan tekanan kritis, karena di atas suhu dan
tekanan tersebut tidak mungkin untuk membedakan antara cairan dan gas.
1.6.1 Diagram Fasa Air
Untuk menggambarkan garis-garis kesetimbangan pada diagram fasa
digunakan persamaan Claeyron dan Clausius-Clapeyron. Garis kesetimbangan
padat-cair dapat digambarkan dengan menggunakan persamaan (2.18)
dP ∆ H
=
dT T∆V

41
Dalam hal ini ∆ H = H cair − H padat = ∆ H fus dan ∆V = Vcair − V padat = ∆V fus .

Perubahan dari padat ke cair selalu disertai dengan penyerapan kolor, ∆ H fus > 0.

nilai ∆V fus dapat positif atau negatif tergantung pada kerapatan padatan dan

cairanya. jika kerapatan padatnya lebih besar dari pada cairannya, maka ∆V fus > 0

dan jika kerapatan padatnya lebih kecil dari pada cairanya maka ∆V fus < 0 .

Untuk kebanyakan zat ∆V fus > 0 . Kecuali untuk air ∆V fus < 0 . Kalau kita
gambarkan P sebagai fungsi T maka kemiringanya sesuai dengan persamaan

(2.18). Untuk air, karena ∆ H fus > 0 dan ∆V fus < 0 , maka kemiringanya berharga
negatif, dengan demikian garisnya miring ke arah kiri. Besar – kecilnya

kemiringan ini ditentukan oleh besar-kecilnya harga ∆ H fus dan ∆V fus .


Garis kesetimbangan cair-gas dan padat-gas secara kualitatif dapat diperoleh
dengan menerapkan persamaan (2.23)

dP ∆ S ∆H
= =
(
dT ∆V T V gas − V cond ) (2.26)

Untuk perubahan cair menjadi gas maupun padat menjadi gas diperoleh ∆ H vap

dan ∆ H sub yang selalu positif untuk semua zat. ∆ H untuk perubahan-perubahan

tersebut juga berharga positif, karena V gas > V padat dan juga V gas > V cond ,
akibatnya jika kita alurkan P terhadap T akan diperoleh kemiringan yang positif.
Dengan demikian, kita dapat memahami bahwa diagram fasa untuk air adalah
sebagai berikut:

42
Gambar 2.2 Diagram Fasa air
Garis padat-cair menggambarkan keadaan dari semua titik (T,P) untuk
kesetimbangan padat-cair. Semua titik disebelah kiri garis ini ada dibawah titik
bekunya, dan yang stabil pada keadaan ini adalah padatnya. Semua titik agak ke
kanan dari garis ini ada di atas bekunya, karena itu titik-titik yang ada di daerah
tersebut berada pada keadaan cair dan titik sebelah kanan dari garid cair-gas dan
garis padat-gas akan berada dalam keadaan gas.
Perpotongan garis padat-cair dan cair-gas dan padat-gas bertemu di satu titik
pada tekanan dan suhu tertentu yang fasa padat,cairan,dan gas-nya ada bersama-
sama dalam keadaan kesetimbangan disebut titik tripel. Pada keadaan ini harus
dipenuhi kriteria.
µ padat (T,P)= µ cair (T,P) dan µ cair (T,P)=µ gas (T,P) (2.27)

Titik tripel untuk air ada pada 273,16 K dan 611 Pa.
2.6.2 Diagram fasa CO2
Diagram fasa CO2 diperlihatkan pada gambar (2.3).

43
Gambar 2.3. Diagram fasa CO2
Berbeda dengan H2O, dan CO2 titik lelehnya naik dengan naiknya tekanan.
Hal ini dapat dilihat dari kemiringan garis kesetimbangan padat-cair yang
berharga positif. Penyebabnya adalah karena V cair >V padat .

Titik tripel CO2 ada pada tekanan 5,11 atm. Oleh karena itu pada 1 atm
padatan CO2 akan menyublin menjadi uapnya jika dipanaskan hal ini
menyebabkan padatan CO2 disebut sebagai “es kering”, karena dengan
pemanasan, padatnya tidak berubah menjadi cair melainkan langsung menjadi
uapnya.
Sama halnya seperti pada air, garis cair-uap pada diagram P-T berhenti di
titik kritis, cairan dan uapnya tak dapat dibedakan.
2.7 SISTEM DUA KOMPONEN
Sistem dua komponen, biasa disebut sistem biner, memiliki jumlah
komponen dua (c=2), sehingga aturan fasanya ( = 2 − + 2) menjadi =4-P.
Untuk sistem satu fasa (p=1) derajat kebebasanaya ( ) sama dengan tiga. jadi ada
3 variabel intensif independen yang diperlukan untuk menyatakan keadaan sistem
tersebut yakni T,P, dan fraksi mol.
Biasanya, satu dari ketiga variabel tersebut dibuat tetap, sehingga dua
variabel sisanya dapat di gambarkan dalam diagram fasa dua dimensi. variabel
yang biasa dipilih tetap P atau T.
2.7.1 Sistem Dua Komponen Cair-Uap Ideal
Pada bagian ini akan dibahas sistem dua komponen yang membentuk
larutan ideal, dan diagram fasa yang ditinjau hanya bagian cair-uapnya saja.
Larutan ideal adalah larutan yang memenuhi Hukum Raoult pada semua
rentang konsentrasi. Menurut Hukum Raoult, tekanan uap jenuh berbanding lurus
dengan fraksi molnya.
Pi = Xi Poi (2.28)
Dengan Pi menyatakan tekanan uap (jenuh) i di atas larutan pada suhu T, Xi
menyatakan fraksi mol i dalam larutan ideal, dan Pio menyatakan tekanan uap
(jenuh) pelarut murni i pada suhu T.

44
Pada suhu tertentu (tetap) kita dapat menggambarkan diagram fasa tekanan,
P, terhadap fraksi mol, X. Untuk itu marilah kita tinjau suatu larutan ideal yang
terdiri atas cairan A dan B dengan komposisi tertentu yang ada dalam suatu
silinder yang dilengkapi dengan piston dan dimasukkan ke dalam suatu penangas
bersuhu tetap. Mula-mula kita atur tekanan luar pada piston cukup tinggi sehingga
sistem seluruhnya ada dalam keadaan cair (titik C pada gambar 2.4)

Gambar 2.4 Sistem larutan ideal terdiri dari cairan A dan B dalam silinder yang
dilengkapi piston dimasukan dalam penangas dalam suhu tetap.

Berdasarkan gambar 2.5, mula-mula tekanan luar pada piston cukup tinggi sehingga
sistem seluruhnya dalam keadaan cair (titik a). Tekanan diturunkan dibawah titik a
hingga cairan tepat mulai menguap (titik a1). Pada titik a1 cairan mempunyai komposisi
cairan semula, karena cairan yang menguap masih sangat sedikit (tak hingga kecilnya).

Gambar 2.5 Diagram fasa fraksi mol (X) versus tekanan P larutan ideal terdiri dari
cairan A dan B

Komposisi uapnya berdasarkan Hukum Dalton:


PA
XA.v = (2.29)
P

45
PB
XB.v = (2.30)
P
Berdasarkan hokum Roult: PA = P0A . xAl (2.31)
Menghubungkan persamaan Hukum Dalton dan Raoult:
o
PA
XA.v = X A.l (2.32a)
P
o
P
X B.v = B X A.l (2.32b)
P
Dengan P=PA+PB, tekanan sistem
Perbandingan komposisi fasa uap A dan B adalah
o
X A.v X A.l PA
= (2.33)
X B.v X B.l PB o

Jika A lebih muda menguap, maka PAo > PBo. Dengan demikian maka
X A.v X A.l
> .
X B .v X B .l (2.34)
Sehingga uap di atas larutan lebih kaya akan zat A, yang lebih muda menguap,
dibandingkan dengan cairanya.
Jika tekanan diturunkan lagi (secara isoternal) dibawah titik a1, maka cairan
yang menguap akan lebih banyak lagi dan pada akhirnya cairan tetap habis
menguap di titik . Di bawah titik hanya terdapat uap saja. Setiap titik antara
a1 dan menyatakan adanya cairan dan uapnya bersama-sama dalam
kesetimbangan.
Eksperimen yang sama akan diulang-ulang dengan komposisi awal yang
berbeda-beda. Hasil kurvanya terlihat pada gambar (2.5). untuk setiap titik a1
garis l , cairan dengan komposisi X l tepat mulai menguap. Tekanan uap dari
cairan ini adalah
P=PA+PB= X A.l PA o + X B .l PB o = X A.l PA o + (1 − X A.l )PB o
atau
P = PB o + ( PA o − PB o ) X A.l (2.35)

46
Persamaan (2.35) merupakan persamaan garis lurus tekanan uap total, P,
terhadap X A,l yang dimulai dari PBo untuk X A,l = 0 dan berakhir di PA0 untuk

X A,l = 1. Karena sepanjang garis l tersebut cairan baru menguap, maka fraksi

molnya sama dengan fraksi mol dalam cairanya.


Kurva sepanjang garis v menunjukan zat cair tepat habis menguap, sehingga
X keseluruhan sama dengan fraksi mol dalam fasa uapnya, XV . Jadi garis v
merupakan aluran P terhadap XV. Untuk memperoleh P sebagai fungsi XV, kita
dapat menyatakan dalam bentuk XA,V. Untuk itu XA, l pada persamaan (2.35)
diubah menjadi XA,V. Dari persamaan (2.34) diperoleh
X X A.l PA
o
A .V
= (2.36)
1 − X A.v (1 − X A.l ) PB
o

Penyelesaian untuk, X Al menghasilkan


o
X A.v PB
X A.l = (2.37)
X A.v ( P o B − PA ) + PA
o o

Substitusi persamaan (2.35) menghasilkan


o o
PA PB
P= (2.38)
X A.v ( PB − PA ) + PA
o o o

Persamaan (2.38) menyatakan hubungan antara P dan XA,v. Kurva yang dihasilkan
dari persamaan ini akan sesuai dengan garis v.

Gambar 2.6 Perubahan tekanan secara isothermal pada diagram P-X cair-uap
larutan ideal

47
Perubahan sistem sekarang dikaji dengan penurunan tekanan secara
isotermal. Oleh karena sistemnya sistem tertutup, maka komposisi sistem secara
keseluruhan tetap pada fraksi mol A dengan XA pada (gambar 2.6). Meskipun
fraksi mol keseluruhan tetap, akan tetapi komosisi cairan dan uapnya berubah-
ubah selama proses penurunan tekanan. Kalau kita lihat pada gambar (2.6), proses
ini dinyatakan oleh garis vertikal, dari titik C ke K. Di titik C sistem ada dalam
keadaan cair, dan tetap cair ketika tekanan diturunkan sampai dicapai dititik D. Di
titik D mulai muncul uap dengan komposisi XA,1. Uap yang muncul pertama kali
ini lebih kaya dengan zat A (yang lebih muda menguap), dibandingkan dengan
cairanya. Penurunan tekakanan selanjutnya akan mencapai titik E. Selama
penurunan tekanan ini (dari PD ke PE) komposisi cair bergerak sepanjang garis D-
K. Di titik E, cairan mempunyai komposisi XA,3 dan uapnya mempunyai
komposisi XA,2. Penurunan selanjutnya sampai di titik F. Di titik ini tepat semua
cairan menjadi uapnya. Cairan terakhir yang mempunyai komposisi XA,4 dan
uapnya mempunyai komposisi XA. Kita lihat bahwa cairan terakhir yang tersisa
lebih kaya dengan zat yang lebih sukar menguap (zat B). Penurunan tekanan
selanjutnya akan masuk ke daerah uap.
Dari titik F ke titik K, praktis hanya terjadi ekspansi dari uap, dengan
komposisi uap yang lebih pasti sama dengan komposisi cairan semula, XA. Uap
yang terbentuk di atas cairan saat tekanan diturunkan, lebih kaya dengan zat yang
lebih mudah menguap. Ini merupakan dasar dari salah satu metode pemisahan,
yakni distilasi secara isotermal. Cara ini sangat bermanfaat untuk memisahkan
campuran yang mudah terurai jika didistalasi dengan cara biasa. Cara ini tidak
bisa digunakan, kecuali jika cara-cara lain tidak cocok.
Contoh soal 2.5

Campuran uap dari A dan B yang membentuk larutan ideal, dimasukkan ke dalam
suatu silinder yang dilengkapi pistol pada suhu tetap, T. pada suhu tersebut PAo
dan PBo masing masing adalah 0,4 dan 1,2 atm. Campuran uap tersebut
mengandung 40% mol A. campuran kemudian dikompressi secara perlahan
lahan. Hitung tekanan total yang menyebabkan cairan pertama mulai
terkondensasi dan komposisi dari cairan tersebut.

48
Analisis Penyelesaian:

PAo = 0,4 atm

PBo = 1,2 atm

Ditanyakan : P saat uap mulai mencair

X Al yang pertama muncul

Saat uap mulai mencair, komposisi uap sama dengan sebelum mencair, yakni X Al
= 0,4 karena cairan yang muncul masih sangat sedikit sekali (tak hingga kecilnya).

X Al = P= PA + PB

Pi = Xi,l Pio XA + XB = 1

XA,l
XA,v =
XA,l ,

,
XA,v =
, , )

Penyelesaian

, ,
0,4 =
, , , ) ,

, ,
0,4 =
, , ,

XA,l = 0,7

Ptotal = ( 1,2 − 0,8 #$,% ) &'

= ( 1,2 − 0,8 ( 0,7) &' = 0,62 &'

49
Kesimpulan

Tekanan total pada saat cairan pertama mulai muncul adalah 0,6 atm dengan
komposisi cairan tersebut XA,l = 0,7

Diagram fasa P – X cair – uap pada suhu tetap dari dua cairan yang
membentuk larutan ideal terdiri atas tiga daerah. Setiap titik yang ada di atas
kurva atas ( kurva cairan) ada dalam keadaan cair dan titik yang ada di bawah
kurva bawah (kurva uap) ada dalam keadaan uap. Setiap titik yang ada di antara
kedua kurva menyatakan keadaan sistem dimana cairan dan uapnya terdapat
bersama – sama dalam keadaan kesetimbangan. Daerah ini disebut sebagai daerah
cair – uap. Jadi titik E pada gambar (2.6) yang ada di daerah ini, terdapat di daerah
dua fasa yakni fasa cairan dengan komposisi H dan fasa uapnya dengan
komposisi I, sementara komposisi keseluruhan di titik E adalah XA. Garis
horizontal HEI disebut dengan garis dasi. Di daerah antar kurva cair dan kurva
uap tidak bisa diperoleh fasa tunggal (homogen), melainkan selalu terdapat dua
fasa, cair dan uapnya. Satu titik yang ada dalam daerah dua fasa dengan
komposisi keseluruhan tertentu mempunyai komposisi uap dan cair yang ada di
ujung garis dasinya.

Di daerah dua fasa, sistem mempunyai derajat kebebasan f = 2- 2 + 2 = 2.


Karena T-nya tetap, maka f menjadi 1. Jadi pada suhu tertentu, cukup satu variable
dari P, Xv, X l yang diperlukan untuk menyatakan keadaan sistem. Sampai sejauh

ini kita sudah menggunakan XA,l atau XA,v untuk menyatakan keadaaan sistem.

Sebenarnya bisas saja kita menggunakan XB,v atau XB,l untuk mennyatakan
keadaan sistem, karena kita mempunyai hubungan XA,l + XB,l = 1 dan XA,v + XB,v

= 1. Jika kita plih tekanan untuk menyatakan keadaan sistem di daerah dua fasa,
maka perpotongan garis horizontal di kurva cair dan uapnya menghasilkan X l

dan Xv nya langsung. Jika XA,l yang dipilih untuk menyatakan keadaan sistem,

maka perpotongan garis vertical (pada XA,l ) dengan kurva cair akan
menghasilkan nilai P. Dari nilai P ini maka nilai XA,v dapat segera diketahui.

50
Aturan Lever

Di daerah dua fasa, daerah (l + v) pada gambar (2.6), komposisi sistem


secara keseluruhan dapat bervariasi antara batas – batas X l dan Xv tergantung
pada jumlah relative cairan dan uap yang ada. Jumlah relative cairan dan uap yang
ada dihitung dengan aturan lever (lever – rule). Panjang segmen garis antara titik
E dan H dalam gambar (2.6) kita nyatakan dengan ,+,,, dan antar E dan I
dinyatakan dengan ,,,
+- ; nA,l dan nA,v merupakan jumlah mol komponen A, masing –
masing dalam fasa cair dan uapnya; maka nA = nA,l + nA,v. Jika nl dan nv merupakan
jumlah mol total cairan dan uap yang ada nl + nv maka dari gambar (2.6)
diperoleh

,+,,, = XA – XA,3 dan ,,,


+- = XA,2 - XA
. , .
,+,,, = . − ,,,
+- = . ,/ −
.
. . / .

. . , . .
,+,,, -,,,
+- = 0 . − 1 - 0 . ,/ − 1
. / .

Kalikan ,+,,, dengan nl dan ,,,


+- dengan nv lalu dikurangkan.

. . , . ,/ .
,+,,, -,,,
+- = 0 − 1-0 − 1
. . ./ .

. , . ,/
(+ ,,, )nv = 2% 0. −
,,,, )nl – (+- 1 - 23 0 −
.
1
. . ./ .

,,, )nv = (nl + nv) . − 2$,% + 2$,3 )


,,,, )nl – (+-
(+
.

.
(,+,,, )nl – (,,,
+- )nv = (n) − 2$ )
.

(,+,,, )nl – (,,,


+- )nv = 2$ − 2$ = 0

. 4)
+-
Jadi (,+,,, )nl = (,,,
+- )nv atau = (2.39)
./ ,,,,)
+

Persamaan (2.39) disebut sebagai aturan lever. Jika titik E lebih dekat ke garis
cair (titik H), sistem mengandung cairan yang labih banyak dibandingkan dengan
jumlah uapnya. Jika titik E lebih dekat ke garis uap (ke titik I), jumlah cairan yang

51
ada relatif lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah uap yang ada. Jika titik E
berimpit dengan titik H, maka ,+,,, nol dan nv harus sama dengan nol, jadi hanya
terdapat cairan saja.
Penurunan aturan lever di atas dapat diterapkan untuk setiap sistem dua
komponen dua fasa, tidak hanya kesetimbangan cair – uap saja. Jadi jika ada dua
fasa α dan β, nα dan nβ adalah jumlah total mol dalam fasa α dan β, lα serta lβ
merupakan panjang garis dari suatu titik (di daerah dua fasa) ke garis fasa α dan β,
maka analog dengan persamaan (2.39) kita peroleh
nα l α = nβ l β (2.40)

kadang – kadang, dalam diagram fasa digunakan (sebagai absis) fraksi berat atau
persen berat (bukan XA). Dalam keadaan seperti ini, aturan lever menjadi

m α l α = mβ l β (2.41)

dengan mα dan mβ masing – masing adalah massa dari fasa α dan β.

Contoh Soal 2.6


Jika sistem dua komponen pada gambar di bawah ini menngandung 6 mol A, dan
4 mol B, hitunglah masing-masing mol A dan B di fasa uap dan di fasi cair pada
tekanan dan komposisi yang dinyatakan oleh titik E, jika panjang segmen ,+,,, =
,,, = 0,60 cm dan jika #$, = 0,67 dan #$, = 0,40
0,80 cm sedangkan segmen +-

Analisis Penyelesaian:
Diketahui pada diagram fasa tersebut, nA = 6 mol, nB = 4 mol

52
Dinyatakan nA,v, nB,v, nA,l, dan nB,l di titik E.
Dari gambar tersebut, menurut aturan Lever
2% ,,,
+-
=
23 ,+,,,
Perbandingan panjang garis ,,,
+- dan ,+,,, dapat ditentukan dengan menggunakan
penggaris. Dengan penggaris juga kita dapat menentukan bahwa di titik E, fraksi
mol (keseluruhan) dari A = XA
.
XA =
. ./

Di titik E, nilai XA,v adalah XA,2 dan dapat ditentukan dengan menggunakan
penggaris.
nA,v = XA,v nv
Penyelesaian
25 ,,,
+- 0,60 7'
= = = 8, 9:
26 ,+,,, 0,80 7'
Dititik E, XA = 0,60
; <=%
0,6 =
. ./

2% + 23 = 10 '>?
2% = 10 '>? − 23
.5 A .6
.6
= 0,75 = .6

0,75 23 = 10 '>? − 23
23 = 5,7 '>?
Dititik E, #$,3 = #$, = 0,67, BCℎE2FF
GH,6 = 8, I9 :, 9 JK5)
=3,8 mol
Maka GL,6 = 1,9 mol
Dititik E, #$,% = #$, = 0,40, BCℎE2FF
GH,5 = 8, N8 N, O JK5)= 1,72 mol
Maka GL,5 = 2,58 mol

Diagram suhu – komposisi

53
Diagram fasa diuraikan pada bagian sebelumnya gambar (2.6) merupakan
diagram tekanan – komposisi pada suhu tetap. Kita dapat pula menggambarkan
diagram fasa pada tekanan tetap dengan mengalurkan T terhadap X. digram T – X
pada P tetap untuk larutan ideal yang bersesuaian dengan gambar (2.6),
diperlihatkan pada gambar (2.7).

Gambar 2.7 Diagram fasa suhu terhadap komposisi fasa cair-uap untuk larutan
ideal
TBo dan TAo masing – masing adalah titik didih zat B murni dan A murni.
Perhatikan bahwa daerah cair – uap pada gambar (2.6) mempunyai kemiringan
yang terbalik dengan daerah cair – uap gambar (2.7). Hal ini sesuai dengan fakta
bahwa cairan A mempunyai tekanan uap yang lebih tinggi, artinya zat tersebut
mempunyai titik didih yang lebih rendah (lebih mudah mendidih) dibandingkan
dengan B. Juga perlu diperhatikan bahwa daerah cair pada gambar (2.7) ada di
bagian bawah diagram (berbeda dengan gambar (2.6) dimana daerah cair ada di
bagian atas diagram).
Hal ini disebabkan oleh karena pada tekanan tetap, cairan lebih stabil pada
suhu rendah, dan pada suhu tinggi, uapnya yang lebih stabil. Kurva yang lebih
bawah pada gambar (2.7) menyatakan komposisi cairan sedangkan kurva yang
lebih atas menyatakan komposisi uapnya. Sebetulnya daerah cair atau uap dalam
diagram fasa tidak perlu dihafalkan. Kita hanya perlu sedikit berpikir untuk
menyatakan lokasi daerah cair atau uap tersebut. Cairan lebih stabil pada suhu
rendah, artinya ada di bagian bawah diagram T – X dan juga cairan lebih stabil
pada tekanan tinggi, bagian atas diagram P- X. Hal yang sejalan dapat diterapkan
untuk menentukan daerah fasa uap ada diagram T – X dan P – X.

54
Bagaimanakah cara menggambarkan kedua kurva pada gambar (2.7) ?
Kita dapat mulai dari PAo (T) dan PBo(T), tekanan uap dari A dan B murni sebagai
fungsi dari suhu. Hal ini bisa diperoleh melalui percobaan langsung atau dari
persamaan Clausisus – Clapeyron. Jika tekanan pada P, maka P = PA + PB,
dengan PA dan PB masing – masing adalah tekanan parsial A dan B dalam uapnya.
Dari hokum Raoult diperoleh

P = #$,% PAo(T) + (1 - #$,% ) PBo(T)

Atau

P)
#$,% = (2.42)
P) P)

Karena PAo dan PBo diketahui sebagai fungsi suhu, maka kita dapat menggunakan
persamaan (2.42) untuk mendapatkan #$, pada berbagai T. Dengan demikian
dapat kita peroleh kurva cairan (kurva bawah). Untuk mendapatkan kurva uap,
kita gunakan hubungan

#$,3 = = ,
(2.43)

Subtitusi persamaan (2.42) ke dalam persamaan (2.43) menghasilkan

P) P) )
#$,3 = (2.44)
P) P)

Persamaan (2.44) merupakan persamaan XA,v sebagai fungsi dari T. Dengan


demikian dapat diperoleh kurva uap (kurva atas)

Prinsip – prinsip yang digunakan ketika membahas diagram P – X dapat


diterapkan dengan cara yang sama untuk diagram T – X. Pada P tetap untuk
sistem dua komponen, dari aturan fasa diperoleh derajat kebebasan, f = 3 – p. Di
daerah fasa, f = 2, ada dua variabel yang diperlukan untuk menyatakan keadaan
sistem. Sementara di daerah dua fasa, f = 1, hanya satu variable saja yang
diperlukan untuk menyatakan keadaan sistem. Setiap titik dalam diagram T – X
menggambarkan sutu keadaan sistem. Titik yang ada di bagian paling atas dari

55
diagram T – X adalah keadaan gas dan titik yang terletak di bagian paling bawah
adalah keadaan cair. Titik di antara kurva cair dan uap (daerah tengah)
menggambarkan keadaan dimana cairan dan uapnya terdapat bersama – sama
dalam kesetimbangan. Garis dasi di daerah cair – uap menghubungkan komposisi
cair dan uap yang ada bersama – sama pada suhu tertentu. Aturan lever juga
digunakan pada diagram T – X.

Jika kita panaskan sistem dengan komposisi XA secara isobar, uap mulai
muncul di titik L. Peningkatan suhu selanjutnya akan menghasilkan uap yang
lebih banyak. Cairan akan semakin kaya dengan zat yang lebih sukar menguap,
zat B, dengan titik didih yang lebih tinggi. Ketika titik M dicapai, tepat semua
cairan berubah menjadi uapnya.

Uap pertama yang muncul ketika larutan dengan komposisi XA dididihkan


terdapat pada titik Q. Komposisi dari uap ini adalah XA,l. Jika uap ini dikeluarkan
dari sistem dan didinginkan, akan diperoleh cairan dengan komposisi XA,1.
Pemanasan cairan ini sampai mendidih akan menghasilkan uap awal dengan
komposisi XA,2. Pengulangan proses ini secara berkelanjutan pada akhirnya akan
menghasilkan distilat yang semakin kaya dengan komponen cairan yang lebih
mudah menguap sementara residunya semakin kaya dengan cairan yang lebih sulit
menguap, disamping sederet fraksi dengan komposisi di antara keduanya.
Pemisahan yang dilaksanakan dengan proses di atas memerlukan waktu dan
tenaga yang tidak sedikit. Untuk mengatasi maka digunakan metoda kontinu
dengan menggunakan kolom fraksinasi, dan caranya disebut dengan distilasi
bertingkat.

2.7.2 Sistem Dua Komponen Cair – Uap Tak Ideal.

Diagram fasa cair – uap untuk sistem tak ideal diperoleh melalui
pengukuran tekanan dan komposisi uapnya dalam kesetimbangan dengan cairan
yang diketahui komposisinya. Jika larutan sedikit tak ideal, kurvanya mirip
dengan larutan ideal dan tidak ada perubahan yang signifikan. Akan tetapi jika

56
larutan menyimpang cukup besar dari keadaan ideal, akan diperoleh maksimum
atau minimum pada kurva P – Xl.

Untuk larutan yang mengalami deviasi positif dari hokum Raoult akan
diperoleh maksimum pada kurva P – Xl gambar (2.8).

(a) Diagram fasa P-X (b) Diagram fasa T-X


Gambar 2.8 Diagram cair-uap dengan tekanan campuran maksimum
Campuran yang ideal atau menyimpang sedikit dari keidealan dapat
dipisahkan ke dalam komponen–komponennya melalui distilasi bertingkat. Tetapi
jika penyimpanganya besar sampai diperoleh kurva maksimum atau minimum
dalam kurva P – X atau kurva minimum dan maksimum dalam kurva T – Xi, maka
campuran seperti ini tak dapat dipisahkan ke dalam komponen – komponennya
melalui distilasi bertingkat.

Campuran dengan komposisi cairan X’A pada gambar (2.8b) jika


dididihkan akan mempunyai komposisi uap yang sama denngan cairannya.
Karena penguapan tidak mengubah komposisi cairannya, keseluruhan sampel cair
akan mendidih pada suhu konstan. Larutan yang mempunyai titik didih konstan
seperti ini disebut azeotrop. Titik didih larutan azeotrop mirip dengan suatu zat
murni dan sangat berbeda dengan kebanyakan larutan dari dua cairan yang
mendidih pada rentang suhu tertentu.
Distilasi bertingkat dari larutan yang membentuk azeotrop akan
menghasilkan pemishan larutan menghasilkan A murni dan azeotrop (jika XA,l >
X’A) atau B murni dan azeotrop jika XA,l < X’A.

57
Azeotrop yang paling dikenal adalah azeotrop yang terbentuk antara air
dan etanol. Pada 1 atm, komposisi azeotrop ini adalah 96% berat etanol, dengan
titik didih 78,2 oC, di bawah titik didih air dan etanol. Komposisi azeotrop
bergantung pada tekanan. Jadi perubahan tekanan akan menghasilkan perubahan
komposisi azeotrop, dan juga titik didihnya.
Untuk larutan yang tidak membentuk azeotrop, seperti pada gambar (2.7),
uap yang berada dalam kesetimbangan dengan cairannya selalu lebih kaya dengan
komponen bertitik didih lebih rendah (lebih mudah menguap). Akan tetapi jika
terbentuk azeotrop dengan titik didih minimum, seperti yang dapat dilihat pada
gambar (2.8), untuk cairan dengan komposisi tertentu (Xl > X’A), uapnya lebih
kaya dengan komponen bertitik didih lebih tinggi (lebih sukar menguap).

Untuk penyimpangan negatif yang cuckup besar dari hukum Raoult akan
diperoleh minimum pada kurva P – XA dan maksimum pada kurva T – X dengan
azeotrop bertitik didih maksimum (gambar 2.9a dan b). Jika penyimpangan positif
dari keidealan cukup besar, kedua cairan satu sama lain dapat saling larut
(misibel) sebagian.

(a) Diagram fasa P-X (b) Diagram fasa T-X

Gambar 2.9 Diagram cair – uap dengan tekanan campuran minimum


2.7.3 Sistem Dua Komponen Cair – cair
Dua cairan dikatakan larut (missible) sebagian jika A larut dalam B dalam
jumlah yang terbatas, dan demikian pula dengan B, larut dalam A dalam jumlah
yang terbatas. Bentuk yang paling umum dari diagram fasa T – X cair – cair pada
tekanan tetap, biasanya 1 atm, dapat dilihat gambar 2.10..

58
Gambar 2.10 Diagram fasa T – X cair –cair untuk dua cairan yang missible
sebagian.

Diagram ini dapat diperoleh secara eksperimen dengan menambahkan


suatu zat cair ke dalam cairan murni lain pada tekanan dengan variasi suhu.
Sebagai contoh kita mulai dari cairan B murni yang secara bertahap ditambahkan
sedikit demi sedikit cairan A pada suhu tetap, T1. Sistem dimulai dari titik C
(murni zat B) dan bergerak ke arah kanan secara horizontal sesuai dengan
penambahan zat A. dari titik C ke titik D diperoleh satu fasa, artinya A yang
ditambahkan larut dalam B. Di titik D diperoleh kelarutan maksimum cairan A
dalam cairan B pada suhu T1. Penambahan A selanjutnya akan menghasilkan
sistem dua fasa (dua lapisan), yakni lapisan pertama (L1) larutan jenuh A dalam B
dengan komposisi XA,1 , dan lapisan kedua (L2) larutan jenuh B dalam A dengan
komposisi XA,2. Kedua lapisan ini disebut larutan konyugat, terdapat bersama –
sama di daerah antara D dan F. Komposisi secara keseluruhan ada di antar titik D
dan F. Di titik E komposisi keseluruhan adalah XA,3. Jumlah relatif kedua fasa
dalam kesetimbangan ditentukan aturan Lever. Di E, lapisan pertama lebih
banyak dari lapisan kedua. Penambahan A selanjutnya akan mengubah komposisi
keseluruhan semakin ke kanan, sementara komposisi kedua lapisan akan tetap XA,1
dan XA,2. Perbedaan akibat penambahan A secara terus menerus terletak pada

59
jumlah relatif lapisan pertama dan kedua. Semakin kekanan jumlah relatif lapisan
pertama akan berkurang sedangkan lapisan kedua akan bertambah. Di titik F, A
yang ditambahkan cukup untuk melarutkan semua B dalam A membentuk suatu
larutan jenuh B dan A. Dengan demikian sistem di F menjadi suatu fasa. Dari F ke
G, penambahan A hanya merupakan pengenceran larutan B dalam A. Untuk
mencapai titik G diperlukan penambahan jumlah A murni pada suhu T1, titik G,
lalu dilakukan penambahan B sedikit demi sedikit sampai dicapai titik F dan
seterusnya.

Jika percobaan dilakukan pada suhu yang lebih tinggi akan diperoleh batas
kelarutan yang berbeda. Semakin tinggi suhu, kelarutan masing – masing
komponen satu sama lain meningkat, sehingga daerah dua fasa semakin
menyempit. Kurva kelarutan pada akhirnya bertemu di satu titik pada suhu
konsolut atas, atau disebut juga sushu kelarutan kritis, TC. Di atas TC cairan saling
melarut sempurna dalam berbagai komposisi. Contoh sistem yang mengikuti
kurva seperti ini adalah sistem air – fenol dengan TC = 65,85oC.
Ada juga pasangan cairan yang kelarutannya bertambah dengan turunnya
suhu. Untuk sistem seperti ini diperoleh suhu konsolut bawah. Contoh sistem
seperti ini adalah air – trietilamina. Diagram fasanya dapat dilihat pada gambar
(2.11a). Suhu konsolut bawah air – trietilamina adalah 18,5 oC.
Ditemukan juga sistem yang mempunyai suhu kelarutan kritis atas dan
bawah sekaligus, meskipun sangat jarang, contohnya adalah sistem nikotin – air
yang diagram fasanya dapat dilihat pada gambar (2.11b). Suhu konsolut atasnya
sekitar 210 oC dan suhu konsulat bawahnya sekitar 61oC.
Aturan fasa untuk suatu sistem pada tekanan tetap adalah f = c – p + 1.
Untuk sistem dua komponen, f = 3 – p. Di daerah dua fasa, f = 1, hanya
diperlukan satu variable saja yang diperlukan untuk menyatakan keadaan sistem.
Jika variable yang dipilih adalah suhu, maka titik potong garis dasi dengan kurva
menghasilkan komposisi kedua larutan konyugat. Sama halnya jika variable yang
dipilih adalah komposisi salah satu larutan konyugat, maka dapat ditentukan suhu
dan komposisi larutan konyugat lainnya. Untuk daerah satu fasa, f = 2, ada dua

60
variabel yang diperlukan untuk menyatakan keadaan sistem. Jadi suhu dan
komposisi larutan keduanya harus dinyatakan dengan jelas.

(a) air-trietilamina (b) air-nikotin


Gambar 2.11 Diagram fasa T – X cair – cair.
Contoh Soal 2.7

Gambar (2.12) berikut memperlihatkan daerah kelarutan untuk sistem A dan B


pada berbagai suhu. Jika 3,0 mol campuren dengan komposisi XA = 0,50 di daerah
satu fasa, diturunkan suhunya sampai T’, berapa massa dari kedua fasa pada
kesetimbangan. Massa molar A dan B masing – masing 123,11 dan 86,18 g mol-1.

Gambar 2.12. Sistem biner A – B

61
Analisis Penyelesaian
Diketahui: diagram fasa dua cairan A dan B yang missible sebagian
n = n1 + n2 = 3,00 mol
n1 = jumlah mol zat pada fasa 1
n2 = jumlah mol zat pada fasa 2
XA = 0,50
MA = 123,11 g mol-1
MB = 86,18 g mol-1
Ditanyakan: m1 dan m2 pada saat kesetimbangan ?
n = nA + nB = n1 + n2 (pers. 1)
.Q
dapat diperoleh dari aturan lever
.R
.Q
.R
= ,R
(pers. 2) atau bisa juga berdasarkan XB
,Q

Dari persamaan (1) dan (2) diperoleh n1 dan n2 yakni jumlah mol lapisan 1 dan 2.
Lapisan 1 mempunyai komposisi XA,1 = 0,23
XB,1 = 1 - XA1 = 1-0,23 =0,77
Lapisan 2 mempunyai komposisi XA,2 = 0,89
XB,2 = 1 – 0,89 = 0,11
Dengan mengetahui komposisi A dan B dalam setiap lapisan dan juga jumlah mol
setiap lapisan, maka dapat ditentukan mol A dan B pada setiap lapisan, demikian
pula dengan beratnya.
.S
Xi = atau ni = Xi n m i = n i Mi
.

m1= mA,1 + mB,1 dan m2 = mA,2 + mB,2


Penyelesaian
n1 + n2 =3 mol
.Q , T ,U , T
= = = 1,4
.R ,U , , V

n2 = (3,00 – n1) = 1,4


2
= 1,4
3,00 − 2 )
3,00 ( 1,4 − 1,4 2 = 2
GA = A, X JK5, GY = O, 88 − A, X = A, Y JK5

62
Pada fasa 1: 2$, = 0,23 ( 1,8)'>? = 0,41 '>?
'$, = 0,41 '>? ( 123,11 F '>? = 50,5 F
2Z, = 1 − 0,23) 1,8)'>? = 1,39 '>?
'Z, = 1,39 '>? ( 86,18 F '>? = 119,8 F
' = 50,5 F + 119,8 F = 170,3 F
Pada fasa 2: 2$, = 0,89 ( 1,2)'>? = 1,07 '>?
'$, = 1,07 '>? ( 123,11 F '>? = 131,7 F
2Z, = 1 − 0,89) 1,2)'>? = 0,13 '>?
'Z, = 0,13 '>? ( 86,18 F '>? = 11,2 F
' = 131,7 F + 11,2 F = 142,9 F
Jadi massa cairan di fasa 1 adalah 170,3 g, berkesetimbangan dengan fasa 2 yang
bermassa 142,9 g.

2.7.4 Sistem Dua Komponen Padat – Cair


Ada banyak ragam jenis kesetimbangan dua komponen padat–cair.
Beberapa jenis kesetimbangan padat-cair akan dibahas pada bagian ini.
Kedua komponen missible dalam fasa cair dan immissible dalam fasa padat
Jenis kesetimbangan ini dimiliki oleh dua zat yang dapat saling larut
dalam keadaan cairannya, sementara di fasa padatnya terdapat komponen-
komponen murninya (tidak membentuk larutan padat/tidak saling melarutkan).
Jika larutan cair A dan B diturunkan suhunya, pada suatu saat akan mencul
padatan. Suhunya disebut sebagai titik beku larutan. Pada suhu ini terdapat dua
fasa, cair dan padat. Oleh karena itu f = c – p + 2 = 2 – 2 + 2 = 2, sistem
mempunyai dua derajat kebebasan. Biasanya proses dilakukan pada tekanan tetap,
sehingga sistem menjadi univarian, jadi cukup suhu saja atau komposisi saja yang
diperlukan untuk menyatakan keadaan sistem (misalnya: dipilih variabel
komposisi saja maka titik bekunya sudah tertentu); setiap larutan mempunyai titik
beku tertentu. Jika titik beku sederet larutan cair dengan berbagai komposisi
ditentukan lalu dialurkan terhadap komposisi cairannya akan diperoleh kurva CE
dan DE seperti yang terlihat pada gambar (2.13).

63
Gambar 2.13 Diagram fasa untuk cairan missible dan padatan immisible
Titik C dan D merupakan titik beku A murni dan B murni. Penambahan B
terhadap A akan menurunkan titik bekunya sepanjang garis CE, begitu pula
penambahan A terhadap B akan menurunkan titik beku sepanjang garis DE. Jika
larutan yang kaya akan A, yakni larutan dengan komposisi antara A dn Xe,
didinginkan, maka terpisah zat padat A, sementara larutan yang kaya akan B yakni
larutan dengan komposisi antara Xe dab B, didinginkan akan terbentuk zat padat B.
jadi kurva CE dan DE dapat dipandang sebagai kondisi suhu dimana larutan (cair)
pada berbagai komposisi ada dalam kesetimbangan dengan padatan A (untuk
kurva CE) dan dengan padatan B (untuk kurva DE). Di titik E kedua kurva
bertemu, sehingga baik padatan A maupun B keduanya ada dalam kesetimbangan
dengan larutannya. Titik E merupakan suhu beku terendah dari setiap campuran
cair A dan B, yang juga merupakan titik leleh terendah dari setiap campuran
padatan A dan B. Oleh karena itu titik E disebut titik eutectic (Yunani: mudah
leleh), dan merupakan suhu terendah bagi keberadaan fasa cair.
Dari uraian di atas dapat kita nyatakan bahwa daerah di atas kurva CED
merupakan daerah cair, hanya fasa cair yang ada, karena suhunya di atas titik leleh
setiap campuran. Derajat kebebasan di daerah ini, f =c – p + 2 = 2 – 1 + 2 = 3,
tapi karena tekanannya sudah tertentu maka f = 2, jadi perlu dinyatakan suhu dan
komposisi larutan untuk menyatakan keadaan sistem. Di bawah kurva FEG, hanya
terdapat fasa padat. Di daerah ini ada dua fasa padat, yakni A murni dan B murni.
Menurut aturan fasa, sistemnya pada tekanan tetap adalah sistem univarian.

64
Karena komposisi setiap fasa sudah tertentu, yakni zat murni masing-masing,
maka variabelnya hanya suhu. Daerah CEF merupakan daerah dua fasa, yakni
fasa padat A murni, dan fasa cair. Daerah DEG juga daerah dua fasa, fasa padat B
murni dan fasa cair.
Sekarang kita tinjau secara lebih terinci apa yang terjadi pada proses
pendinginan secara isobar dari larutan A dan B dengan komposisi XA,l. Kita mulai
dari titik H lalu turun secara vertical sampai di titik S. Garis HIJKS disebut garis
isopleth, yakni garis dengn komposisi tetap. Di titik H, campuran (larutan) A dan
B ada dalam keadaan cair. Ketika suhu mencapai T1, padatan B mulai membeku.
Ketika B membeku, nilai XA dalam larutan (cair) akan meningkat, dan titik
bekunya akan terus menurun. Untuk memperoleh padatan B yang lebih banyak
maka suhu harus terus diturunkan. Pada suhu T2, terdapat kesetimbangan antara
padatan B (XB = 1) dan larutan dengan komposisi yang dinyatakan titik M, yakni
X”A. Seperti telah dibahas dibagian sebelumnya, garis MJN merupakan garis dasi.
,,,, /]_
Berdasarkan aturan lever maka nB,S /(nA,l + nB,l ) = \] ,,,,, dengan nB,S jumlah
mol padatan B berkesetimbangan dengan larutan (cair) yang terdiri ats nA,l dan nB,l
mol B. Di titik I, nB,S = 0. Penurunan suhu sepanjang garis IJK mengakibatkan
jarak horizontal terhadap garis IME meningkat, artinya terjadi peningkatan
padatan B dengan berkurangnya suhu. Pada suhu T3, suhu eutectic, diperoleh titik
K. Di titik K, larutan mempunyai komposisi Xe (titik E), dan A maupun B
keduanya membeku. Jumlah relative A dan B yang membeku bergantung pada
komposisi eutectic dari larutan, Xe. keseluruhan larutan yang ada akan membeku
pada suhu T3 tanpa mengalami perubahan komposisi lagi. Di titik K ada tiga fasa
dalam kesetimbangan yakni padatan A, padatan B dan larutan. Derajat kebebasan
untuk tiga fasa: f =2 – 3 + 2 = 1,karena tekanan sudah tertentu maka tak ada
derajat kebebasan, sistem invariant. Suhu harus tetap konstan di T3 sampai semua
larutan membeku dan jumlah fasa berkurang menjadi 2. Di bawah T3 penurunan
suhu hanya mendinginkan campuran padatan A dan padatan B.
Jika prosesnya dibalik dan dimulai dari titik S (padatan A dan padatan B),
cairan akan meleleh pada rentanng suhu T3 sampai T1. Titik leleh yang tajam
merupakan salah satu tes yang biasa digunakan orang kimia organik untuk

65
menguji kemurnian suatu senyawa. Jika ttitik lelehnya ada dalam rentang suhu
tertentu, artinya zat yang diuji merupakan campuran, bukan merupakan senyawa
murni. Campuran padat dengan komposisi eutectic akan meleleh seluruhnya pada
satu suhu (T3). Demikian pula larutan menghasilkan A dan B dengan komposisi
eutektik akan membeku seluruhnya pada suhu T3 menghasilkan campuran eutektik
padatan A dan B. Oleh karena itu dulu pernah muncul anggapan yang salah yang
menduga bahwa sistem eutectic adalah suatu senyawa, padahal bukan. Pengujian
mikroskopis memperlihatkan bahwa padatan eutektik terdiri atas campuran Kristal
A dan kristal B.
Sekarang kita tinjau proses isothermal pada suhu tertentu, T4 yakni
sepanjang garis horizontal RUVWXY. Titik R menyatakan zat A murni pada suhu
T4. Sejumlah zat B ditambahkan pada A hingga komposisinya sampai di titik U.
Titik U ini terletak di daerah dua fasa, yakni fasa padat A murni dan larutan (cair)
dengan komposisi pada titik V. Semua B yang ditambahkan akan meleleh jauh di
bawah titik lelehnya dan lelehan B akan melarutkan sebagian A sampai komposisi
cairannya ada di V. Dari aturan Lever dapat diperoleh jumlah relative cairan yang
ada di titik U cukup kecil. Pada penambahan B selanjutnya, B akan terus meleleh
dan melarutkan lebih banyak lagi A untuk membentuk larutan V, jadi titik
bergerak dari U ke V. Ketika titik V dicapai, B yang telah ditambahkan cukup
untuk melarutkan semua padatan A semula membentuk larutan jenuh A dalam B.
Penambahan B selanjutnya hanya akan mengencerkan larutan dan titik kedaan
bergerak melalui daerah cair dan V ke W. Di W larutannya jenuh dengan B.
Penambahan B selanjutnya tidak mengubah komposisi larutannya, zat padatan B
yang ditambahkan tetap sebagai padatannya.
Sistem dengan diagram fasa seperti terlihat pada gambar (2.13) disebut
sistem eutectic sederhana. Contoh sistem seperti ini adalah Sn – Pb, Si – Al, KCl
– AgCl, benzene – naftalena, Bi – Cd dan sebagainya.
Contoh soal 2.8

Diagram fasa kadmium bismut adalah sebagai berikut:

66
A merupakan kadmium dan B merupakan Bi.
Campuran 68,27 g Cd dan 31,73 g Bi dilelehkan dalam krus dan didinginkan
perlahan-lahan. Uraikan fasa padat yang ada dalam krus pada proses pendinginan
hingga suhu kamar, dengan komposisinya. Bila diketahui titik E (eutectic)
bertepatan dengan XBi = 0,55.
(Massa molar : Cd = 112,5 g mol-1 , Bi = 209,0 g mol-1)

Analisis Penyelesaian:
Diketahui : Diagram fasa Cd – Bi
mCd = 68,27 g MrCd = 112,5 g mol-1
mBi = 31,73 g MrBi = 209,0 g mol-1
Ditanyakan: Bagaimana komposisi padatan pada proses pendinginan sampai
suhu kamar ?
Oleh karena itu diagram fasa komposisi dinyatakan dalam fraksi mol,
maka massa Cd dan Bi harus diubah ke dalam mol.
Jika fraksi mol baik Cd ataupun Bi pada cawan krus sudah diketahui, maka
lelehan campuran tersebut dapat dinyatakan denga satu titik pada diagram fasa Cd
– Bi, lalu ditarik garis vertikal (isopleth) dari titik tersebut sampai sekitar suhu
ruang. Junlah relatif padatan murni dan campuran eutektik dapat ditentukan
dengan menggunakan garis dasi.

67
Penyelesaian

; , V`
nCd =
,U ` <=%aQ
= 0,61 '>?

,V `
nBi =
T, ` <=%aQ
= 0,15 '>?

nCd + nBi = 0,61 mol + 0,15 mol = 0,76 mol

,; <=% ,;
XCd = = = 0,80 '>?
,; , U)<=% ,V;

XBi = 1 – 0,80 = 20
Lelehan dari campuran dengan XBi = 0,20 dapat dinyatakan dengan titik X1.
Di titik P mulai muncul padatan Cd murni. Dengan pendinginan selanjutnya,
jumlah padatan Cd murni semakin banyak. Di titik R pada suhu T4 dicapai, mulai
muncul padatan eutectic E.
Jumlah relatif padatan Cd murni dan campuran eutectic adalah
2bc ,,,,
d+ 0,55 − 0,20 35
= = =
2% ,,,,
de 0,20 − 0 20
Jumlah mol total zat n = nCd + nBi = nCd + nE = 0,76 mol
Jadi padatan Cd murni, nE = (0,76 mol – nCd)
2bc 35
=
0,76 '>? − 2bc 20

68
20 nCd = 35 (0,76 mol – nCd)
(20 + 35)nCd = 35(0,76)mol
;,;
nCd = = 0,4836 '>?
UU

nE = (0,76 mol – nCd) = 0,76 – 0,4836 = 0,2763 mol


Mol Cd dalam larutan eutectic (nE) = 0,61 – 0,4836 mol = 0,1263 mol
, ;
Dengan demikian komposisi eutectic = ( 100% = 45,72 % mol Cd.
, V;

Jadi pada suhu kamar, padatan di dalam cawan krus hasil pendinginan dari lelehan
campuran Bi – Cd, terdiri atas 0,4836 mol Cd murni dan 0,2763 mol campuran
eutectic yang mengandung 45,72% mol Cd.
Metoda percobaan

Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk menentukan diagram fasa
melalui percobaan adalah dengan analisa termal. Melalui cara ini suatu campuran
dengan komposisi yang diketahui dipanaskan sampai suhu yang cukup tingi
sehingga terbentuk cairan yang homoge. Lalu campuran cair tersebut didinginkan
dengan kecepatan yang teratur, suhu sistem diukur sebagai fungsi dari waktu.
Percobaan yang sama untuk beberapa cairan dengan komposisi yang berbeda-beda
untuk memperoleh satu set kurva pendinginan. Variabel waktu t, kira-kira
sebanding dengan jumlah kalor Q yang dikeluarkan sistem, sehingga kemiringan
dT/dt dari kurva pendinginan kira-kira berbanding terbalik dengan kapasitas kalor
sistem, Cp = dQ/dT. Kurva pendinginan untuk sistem eutektik sederhana (gambar
2.13) diperlihatkan pada gambar (2.14)

Gambar 2.14 Kurva pendinginan

69
Jika B cairan murni didinginkan (kurva 1), suhu pada titik beku B, TBo
konstan sampai semua sampel membeku. Kapasitas kalor sistem B (s) + B (l) pada
TBo adalah tak hingga. Adanya sedikit penurunan di bawah titik beku A
disebabkan oleh “supercooling”. Sesudah sampel membeku, suhu turun ketika B
didinginkan. Kurva 2 adalah untuk campuran cair dengan komposisi H pada
gambar (2.13). Ketika B mulai membeku di T1, pada kurva pendinginan terlihat
adanya penurunan dalam kemiringannya, perubahan kemiringan ini disebabkan
oleh karena kapasitas kalor sistem B (s) + larutan cair lebih besar daripada sistem
yang hanya mengandung larutan cair saja, karena sebagian kalor dikeluarkan pada
perubahan cairan B menjadi padatannya. Ketika sistem mencapai suhu
eutektiknya, semua cairan yang tersisa membeku pada suhu konstan dan kurva
pendinginan menjadi horizontal. Dengan mengalurkan suhu diman terjadi
perubahan kemiringan yang diamati pada kurva pandinginan terhadap XA dan XB
maka akan kita peroleh kurva penurunan titik beku CE dan DE.
Cara lain untuk menentukan diagram fasa adalah dengan membiarkan
sistem yang diketahui komposisi keseluruhannya pada suhu tertentu dalam waktu
yang cukup lama supaya kesetimbanngan tercapai. Fasa – fasa yang ada kemudian
dipisahkan dan dianalisis secara kimia. Hal ini diulangi lagi untuk berbagai
komposisi dan suhu yang berbeda – beda untuk mendapatkan diagram fasa.
Kedua komponen membentuk senyawa dengan titik leleh kongruen
Jika komponen A dan B membentuk suatu senyawa padat AB, dengan fasa
cairnya missible, sementara fasa padatnya immissible maka diagram
kesetimbangan padat-cairnya akan mengikuti gambar (2.15).
Gambar (2.15) akan lebih mudah dipahami dengan membayangkan bahwa
diagram tersebut terdiri atas dua diagram eutektik sederhana yang berdampingan
antara A – AB dan AB – B.

70
Gambar 2.15 Diagram fasa padat-cair dengan senyawa bertitik leleh kongruen
Disebelah kiri garis D-AB merupakan gambaran dari kesetimbangan fasa
dua komponen A dan AB, sementara sebelah kanan garis D-AB merupakan
gambaran kesetimbangan fasa AB dan B. Larutan cair di bagian atas diagram
merupakan campuran cairan A, B dan AB. Jika larutan ini didinginkan akan
terpisah padatan A, B dan AB, tergantung pada komposisi larutannya. Saat
mencapai salah satu dari dua suhu eutektik, barulah akan mulai muncul padatan
kedua. Di titik D, fasa cair dan padatnya mempunyai komposisi yang sama,
sehingga D dianggap sebagai titik leleh senyawa AB. Jadi senyawa AB dikatakan
mempunyai titik leleh yang kongruen, tidak ada perubahan komposisi padat dan
cairannya.
Jika kedua komponen membentuk lebih dari satu senyawa, diagram
fasanya akan mempunyai kurva yang mirip dengan gambar (2.15). Jika senyawa
yang terbentuk ada n senyawa, maka digram fasa padat-cairnya dapat dipandang
terdiri atas (n + 1) diagram fasa eutektik sederhana yang diletakkan secara
berdampingan. Sebagai contoh diagram fasa untuk pembentukan dua macam
senyawa A2B dan AB2 dari dua komponen A dan B diperlihatkan pada gambar
(2.16). dan contoh lainnya adalah sistem air-feriklorida seperti yang terlihat pada
gambar (2.17)

71
Gambar 2.16 Diagram fasa padat-cair dua komponen yang membentuk dua
senyawa bertitik-leleh kongruen

Kedua komponen membentuk senyawa dengan titik leleh inkongruen


Pada sistem yang terlihat dalam gambar (2.15), senyawa yang terbentuk
mempunyai titik leleh yang lebih tinggi dari kedua komponennya. Pada situasi
seperti ini, selalu diperoleh bentuk diagram fasa seperti pada gambar (2.15), ada
dua titik eutektik dalam diagram. Akan tetapi jika titik leleh senyawa ada di
bawah salah satu konstituen penyusunnya, muncul dua kemungkinan.
Kemungkinan yang pertama akan diperoleh diagram fasa seperti terdapat pada
gambar (2.17). Masing – masing bagian dari diagram merupakan diagram eutektik
sederhana pada gambar (2.15). Kemungkinan yang kedua digambarkan dengan
sistem kalium-natrium seperti terlihat pada gambar (2.18)

Gambar 2.17 Sistem H2O-Fe2Cl6 dengan titik leleh senyawa yang kongruen

72
Jika senyawa padat murni, Na2K, dinaikkan suhunya, titik keadaan bergerak
sepanjang garis AB. Di B terbentuk cairan dengan komposisi C. Karena cairan ini
lebih kaya akan kalium dibandingkan senyawa semula, maka terdapat sebagian
natrium padat yang tetap tak meleleh. Jadi pada pelelehan terjadi reaksi disosiasi,
Na2K (s) → Na (s) + K (l)

Gambar 2.18 Sistem dengan titik leleh senyawa yang inkongruen

Reaksi ini disebut reaksi peritektik atau reaksi fasa. Senyawanya, Na2K,
dikatakan meleleh secara inkongruen, karena lelehannya mempunyai komposisi
yang berbeda dengan senyawanya. Karena di titik B ini terdapat tiga fasa, yakni
padatan Na2K, padatan Na dan cairan, maka derajat kebebasannya, f = 0. Sistem
invarian. Meskipun ada kalor mengalir ke dalam sistem, suhunya akan tetap sama,
yakni dalam hal ini 7 oC, sampai semua senyawa padat meleleh. Lalu suhu akan
naik kembali. Titik keadaan akan bergerak sepanjang garis BEF dan sistem terdiri
atas natrium padat dan larutan. Di titik F, nantrium padat tepat habis meleleh, dan
di atas F sistem hanya terdiri atas satu fasa, cair. Penurunan suhu larutan dengan
komposisi G membalik perubahan di atas. Di F mulai muncul natrium padat.
Penurunan lebih lanjut menyebabkan jumlah natrium padat bertambah dan
komposisi cairan bergerak sepanjang FC. Di B terdapat cairan dengan komposisi
C bersama-sama dengan padatan natrium dan padatan Na2K. Reaksi fasa yang
sebaliknya Na (s) + K (l) →Na2K (s), terjadi sampai cairan dan natrium padat
keduanya bereaksi secara simultan, sehingga ketika titik keadaan bergerak
sepanjang BA hanya ada Na2K padat.

73
Jika cairan denga komposisi I didinginkan, natrium padat mulai muncul di
J, dan komposisi cairan bergerak sepanjang JC ketika kristal natrium yang
terbentuk makin banyak. Pada titik K terbentuk Na2K padat karena reaksi
peritektik Na (s) + K (l) →Na2K (s). Jumlah Natrium pada komposisi I tidak
cukup untuk mengubah semua cairan menjadi senyawanya. Karena itu keristal
natrium yang ada akan bereaksi semuanya tetapi K (l) masih tersisa. Setelah
natrium padat habis, suhu akan turun, Na2K mengkristal dan komposisi cairan
bergerak sepanjang CM. Di L, garis dasi MLN menunjukkan bahwa Na2K, titik N
terdapat bersama-sama dengan caiaran M. Ketika titik O dicapai, cairan
mempunyai komposisi eutektik P. Sistem infarian sampai cairan habis
membentuk cairan kalium padat dan Na2K padat.
Jika sistm dengan komposisi Q didiginkan, natrium padat mulai muncul di
R. Pendinginan selanjutnya memnyebabkan natrium padat tambah banyak dan
komposisi cairan bergerak sepanjang garis RC. Di titik S, muncul padatan Na2K
hasil reaksi peritektik. Cairan yang ada bereaksi semua dengan Na padat kerena
komposisi asal (Q) lebih kaya akan Na dibandingkan dengan Na2K, maka pada
reaksi peritektik berikut
Na (s) + K (l) →Na2K (s
Na padat tidak habis bereaksi tetapi K(l) habis bereaksi dan titik keadaan turun ke
titik T dengan penurun suhu sehingga di T terdapat campuran padat Na2K dan
Natrium.
Kedua komponen membentuk larutan padat
Ada pasangan zat tertentu yang dapat membentuk larutan padat. Dalam larutan
padat A dan B tidak ada kristal A ataupun B. Larutan nikel dan tembaga adalah
salah satu contohnya. Kedua zat yakni nikel dan tembaga dapat saling melarut
dalam semua komposisi di fasa padatnya. Diagram fasa sistem tembaga/nikel
dapat dilihat pada gambar (2.19 dan 2.20)

74
Gambar 2.19 Diagram fasa tembaga-nikel

Kurva pada di atas pita kesetimbangan padat-cair gambar (2.19) merupakan kurva
cair dan kurva bawahnya merupakan kurva padat. Interpretasi diagram ini sama
dengan dengan interpretasi diagram fasa dua komponen cair-uap.

Gambar 2.20 Larutan padat dengan titik leleh minimum

Selain diagram seperti yang terdapat pada gambar (2.19), dikenal pula sistem
binar yang membentuk larutan padat dengan titik leleh maksimun maupun
minimum lihat gambar (2.20). Diagram fasanya mirip dengan kurva cair-uap pada
sisitem yang membentuk azeotrop. Akan tetapi campuran dengan kurva titik leleh
maksimum lebih jarang ditemukan.
Kedua komponen misibel dalam fasa cair dan misibel sebagian dalam fasa
padat
Sering kali ditemukan dua zat yang dapat saling larut dalam berbagai
komposisi pada fasa cair, sementara pada fasa padat kedua zat saling melarutkan

75
hanya dalam batas - batas tertentu saja. Jadi pada pada batas – batas konsentrasi
tertentu dapat diperoleh 2 larutan padat konjugat. Gejala ini mirip dengan larutan
cairan yang misibel sebagian. Padatan A dapat larut dalam sejumlah padatan B
membentuk suatu larutan padat demikian pula halnya dengan padatan B yang
dapat larut dalam sejumlah tertentu padatan A. Tetapi jika konsentrasi-
konsentrasi ini dilampaui akan diperoleh 2 fasa padat masing-masing larutan
padat A dalam B dan larutan padat B dalam A. Diagram fasa yang paling umum
untuk sistem seperti ini dapat dilihat pada gambar (2.21)

Gambar 2.21 Diagram fasa padat-cair, miscible dalam fasa cair dan miscible
sebagian dalam fasa padat

Jika larutan cair dengan komposisi R didinginkan, di titik S mulai terpisah


fasa padat, yang dalam hal ini disebut sebagai fasa g , yakni larutan padat B dalam
A. Komposisi larutan padat ini dinyatakan dengan X, di ujung garis dasi SX.
Pendinginan selanjutnya mengakibatkan jumlah B dalam larutan padat bertambah.
Di titik T, larutan cair mempunyai komposisi Z dan larutan padat mempunyai
komposisi Y. Perbandingan jumlah larutan padat dan cair dinyatakan oleh
,,,, / ei
perbandingan panjang garis eh ,,,,.
Di titik Y dapat dilihat bahwa jumlah B dalam larutan padat tersebut lebih
banyak dibandingkan dalam larutan padat di titik X. Di titik U, lelehannya
mempunyai komposisi eutektik dan kedua fasa padat sekarang membeku, yakni
fasa g (padatan A yang jenuh dengan B) dan fasa j (padatan B yang jenuh

76
dengan A). Di titik ini, terdapat tiga fasa, dua fasa padat dan satu fasa cair; dengan
demikian derajat kebebasan pada P tetap adalah f=c-p+1=2-3+1=0, jadi sistem
invarian. Pendinginan lebih lanjut sampai di V diperoleh dua larutan padat
bersama-sama yaitu padatan g dengan komposisi M dan padatan j dengn
komposisi N.
Suatu kesulitan yang muncul adalah difusi molekul, atom atau ion melalui
padatan sangat rendah, dalam memerlukan waktu yang sangat lama untuk
mencapai kesetimbangan dalam fasa padat. Di titik T, padatan yang
berkestimbangan dengan lelehannya mempunyai komposisi Y, sementara padatan
yang pertama muncul mempunyai komposisi X. Jadi sistem perlu dibiarkan di titik
T untuk waktu yang lama sebelumnya fasa padat menjadi homogen dengan
komposisi Y semua. Dalam membicarakan diagram-diagram ini kita asumsikan
kesetimbangan telah dicapai dan mengesampingkan kesulitan percobaan.
Kalau kita bandingkan titik eutektik pada Gambar (2.21) dengan gambar
(2.13), dapat dilihat bahwa pada titik eutektik gambar (2.13) cairannya
berkesetimbangan dengan fasa padatan murni A dan B, sementara pada gambar
(2.21) fasa padat yang berkesetimbangan dengan cairannya bukan zat murninya
melainkan larutan padat yang dinyatakan dengan titik O dan P. Dapat kita lihat
bahwa sistem dengan kurva seperti pada gambar (2.21) sebenarnya merupakan
kurva antara gambar (2.13) (fasa padatnya immisibel) dan gambar 2.20 (larutan
padat yang mempunyai titik leleh minimum). Jika padatan dalam Gambar (2.21)
kita bayangkan menjadi semakin misibel, titik O dan P akan semakin menjauh
dan pada akhirnya akan berimpit masing-masing dengan A murni dan B murni
seperti yang terlihat pada gambar (2.13).
Contoh sistem mempunyai kurva seperti pada gambar (2.21) adalah
sistem emas-nikel, bismut-timbal, kadmium-timbal, perak klorida-tembaga (I)
klorida dan sebagainya.

77
Gambar 2.22 Diagram fasa pada cair dengan titik peritektik
Ada pula sistem padat-cair yang membentuk larutan padat, mempunyai kurva
yang berbeda dengan gambar (2.21), seperti yang terlihat pada gambar (2.22).
Kurva ini dapat kita bayangkan terbentuk dari kurva kelarutan padat-padat yang
misibel sebagian (mirip dengan kurva kelarutan cair-cair pada gambar (2.10) dan
kurva larutan padat yang kontinu seperti pada gambar (2.9).
Jika padatan g dengan komposisi F dipanaskan, maka padatan tersebut
akan mulai meleleh di titik G membentuk campuran 2 fasa yakni padatan g dan
larutan cair dengan komposisi awal N. Ketika dicapai titik H, sisa dari fasa g
mencair membentuk larutan cair dengan komposisi M dan padatan fasa j dengan
komposisi R :
k (s) → l (s) + Larutan cair
Pada transisi ini, fasa yang ada 3, yaitu fasa g , j dan cairan; dengan
derajat kebebasan f=2-3+2 =1, tapi karena P tetap maka sistem mempunyai
derajat kebebasan 0, transisi dari g menjadi j dan cairan harus terjadi pada suhu
tertentu (disebut suhu peritektik atau suhu transisi). Pemanasan selanjutnya
sesudah keadaan transisi H mengakibatkan sistem masuk ke daerah fasa j dan
larutan cair dan pada akhirnya ke daerah satu fasa, yaitu larutan cair.
SISTEM TIGA KOMPONEN
Dalam sistem tiga komponen, derajat kebebasan, f = 3-p+2 = 5-p. Untuk p
=1, ada 4 derajat kebebasan. Cukup sulit untuk menyatakan sistem seperti ini
dalam bentuk grafik lengkap dalam tiga dimensi, apalagi dalam dua dimensi.
Penggambaran dalam tiga dimensi membutuhkan perangkat lunak computer yang

78
baik, oleh karena itu biasanya dinyatakan pada suhu dan tekanan yang tetap, dan
derajat kebebasannya menjadi f = 3-p. Jadi derajat kebebasannya paling banyak
adalah dua, dan dapat dinyatakan dalam satu bidang. Pada suhu dan tekanan tetap,
variabel yang dapat digunakan untuk menyatakan keadaan sistem tinggal
komposisi yakni XA , XB, XC yang dihubungkan melalui XA + XA + XA = 1 .
Komposisi salah satu komponen sudah tertentu jika dua komponen lainnya
diketahui. Untuk menyatakannya dalam suatu grafik, Gibbs dan Rozenboom
menggunakan suatu segitiga sama sisi. Titik A, B, C pada setip sudut tiga masing-
masing menyatakan 100% A, 100% B dan 100% C (gambar 2.23). Tiap titik
dalam segitiga tersebut jika dihubungkan secara tegak lurus ke sisi-sisinya dan
diperoleh penjumlahan ketiga garis ini selalu konstan, sama dengan tinggi segitiga
tersebut, h.
Pada Gambar (2.23), ,,,, mn + ,,,,
m+ + ,,,, mo = h. Dalam hal ini, tinggi segitiga
dinyatakan dalam 100 satuan, sehingga panjang garis ,,,, ,,,, masing-
,,,, dan mo
m+ , mn
masing sama dengan persentase dari A, B dan C (bisa dalam persen mol atau
dalam persen berat). Jika setiap komposisi dari sistem dapat dinyatakan oleh suatu
titik di dalam segitiga atau pada segitiga tersebut.
Untuk memudahkan, pada Gambar (2.23) digambarkan garis-garis yang
sejajar dengan sisi- sisi segitiga dengan rentang jarak yang sama. Pada suatu garis
yang sejajar dengan AB, komposisi C tetap. Titik H yang ada pada gambar
menyatakan 25% A, 50% B dan 25% C. Sepanjang garis AB, persentase C nol;
artinya setiap titik pada AB sesuai dengan sistem biner A dan B.

Gambar 2.23 Sistem koordinat segitiga yang digunakan dalam diagram fasa terner

79
Salah satu conto sistem ini adalah aseton-air-dietil eter (“eter”) pada 1 atm
dan 30p. Pada keadaan ini, air dan aseton misibel, demikian pula eter dan aseton
misibel, akan tetapi ai dan eter misibel sebagian. Diagram fasa sistem ini dapat
dilihat pada gambar (2.24).

Gambar 2.24 Diagram fasa cair-cair system aseton-air-eter pada 30 oC dan 1 atm,
koordinat merupakan persen mol.
Daerah di atas kurva CFKHD merupakan daerah satu fasa. Setiap titik yang ada di
bawah kurva menyatakan adanya dua fasa cair dalam kesetimbangan. Garis-garis
yang ada dalam daerah ini merupakan garis dasi yang ujungnya menyatakan
komposisi kedua fasa. Berbeda halnya dengan sistem biner yang garis dasinya
horisontal, garis dasi pada sistem terner ini tidak seperti itu.
Kedudukan garis dasi ditentukan melalui analisis kimia dari setiap fasa.
Pada gambar (2.24), sistem dengan komposisi (keseluruhan) G terdiri atas dua
fasa, yakni fasa g , eter yang larut dalam air dengan komposisi F dan fasa j , air
yang larut dalam eter dengan komposisi H. Kemiringan garis dasi FGH
menunjukkan bahwa aseton dalam fasa j lebih banyak dari fasa g .
Titik K adalah titik batas yang didekati oleh garis dasi dimana kedua fasa
dalam kesetimbangan menjadi semakin dan semakin mirip. Titik K disebut
dengan “ plait point”, dan kurva CFKHD disebut dengan kurva “binodal”.
Jika ada dua pasang cairan yang misibel sebagian, misalnya pasangan A-B
dan B-C maka kurva binodalnya akan muncul seperti pada Gambar (6.23.a). Pada
suhu yang lebih rendah, kedua kurva binodal pada gambar (2.25.a) bisa overlap.
Jika overlapnya sedemikian rupa sehingga plait pointnya saling bergabung satu

80
sama lain, maka daerah dua-fasa menjadi berubah seperti yang terlihat pada
gambar (2.25b)

Gambar 2.25 Dua pasang cairan yang misibel sebagian


Jika kurva binodal tak bertemu di plait point, diagramnya mempunyai bentuk
seperti yang terlihat pada Gambar (2.25c). Setiap titik dalam segitiga kecil abc
menyatakan keadaan sistem dimana tiga lapisan cair yang mempunyai komposisi
a, b dan c terdapat bersama-sama.

Gambar 2.26 Sistem koordinat segitiga dalam sistem 3 komponen


Titik G mempunyai koordinat 25 % mol A, 10 % mol B dan 65 % molC.
Titik G dapat dibuat dengan memotongkan garis yang mempunyai komposisi 25
% mol A yaitu garis sejajar BC, 10 % mol B yaitu garis sejajar AC dan garis
sejajar AB dengan % mol 65 %.
Gambar 2.27 adalah contoh diagram fasa 3 komponen cair-cair sistem
aseton- air-eter pada 30 oC, 1 atm dengan koordinat persen mol . Daerah di bawah
kurva adalah daerah 2 fasa yaitu air-aseton dan eter-aseton. Dalam gambar terlihat
pada komposisi ekstrem (komposisi sangat banyak atau eter sangat banyak,
daerah dengan komposisi mendekati 100% air atau 100% eter) air dapat
bercampur sempurna dengan eter. Sedangkan aseton dapat bercampur homogen
baik dengan air maupun eter.

81
Gambar 2.27 Diagram fasa air- eter- aseton
Kristalisasi pada sistem tiga komponen
Gambar 2.28 Memperlihatkan representasi tiga dimensi dari sistem tiga
komponen (terner) ABC. Perhatikan bahwa komposisi diukur di sepanjang sisi
segitiga basal dan suhu (atau tekanan) diukur secara vertikal. Bagian atas gambar
menunjukkan permukaan dengan garis kontur yang mewakili suhu konstan.
Kontur ini disebut isoterm. Perhatikan bahwa titik eutektik di masing-masing
proyeksi sistem biner ke dalam sistem terner sebagai kurva. Kurva ini disebut
kurva batas, dan setiap komposisi pada salah satu kurva ini akan mengkristal dua
fase di kedua sisi kurva.

Gambar 2.28 Representasi tiga dimensi dari sistem terner ABC

82
Gambar 2.29 menunjukkan gambar yang sama seperti gambar 2.28, dalam dua
dimensi seperti yang terlihat dari atas. Kurva batas dan isoterm juga ditampilkan
diproyeksikan ke segitiga basal. Perhatikan bagaimana suhu menurun ke tengah
diagram.

Gambar 2.29 Representasi dua dimensi dari sistem terner ABC


Pada Gambar 2.30 kita menelusuri kristalisasi komposisi X. Gambar 2.30 sama
dengan Gambar 2.29, dengan isoterm yang tersisa untuk kejelasan yang lebih
besar.

Gambar 2.30 Kristalisasi system terner ABC dengan komposisi awal X


Perhatikan bahwa padatan akhir harus terdiri dari kristal A + B + C karena
komposisi awal adalah dalam segitiga ABC. Pada suhu sekitar 980 ° C cairan
dengan komposisi X akan memotong permukaan likuidus. Pada titik ini zat C
akan mulai memadat. Ketika suhu diturunkan, kristal C akan terus mengendap,
dan komposisi cairan akan bergerak sepanjang garis lurus menjauh dari C. Ini

83
karena C adalah endapan dan cairan menjadi miskin C dan diperkaya dalam
komponen A + B. Pada suhu sekitar 820 °C, titik L pada gambar 2.30, kita dapat
menentukan proporsi relatif kristal dan cairan.
% Kristal = a/(a+b) x 100
% liquid(cairan) = b/(a+b)*100
Dengan pendinginan lebih lanjut, jalur komposisi cairan akan memotong kurva
batas pada titik O. Pada kurva batas kristal A kemudian akan mengendap. Jalur
cairan kemudian akan mengikuti kurva batas menuju titik M. Komposisi umum
fase padat yang diendapkan selama interval ini akan menjadi campuran A + C
dalam proporsi yang ditunjukkan oleh titik P. Pada titik M, komposisi sebagian
besar fase padat yang diendapkan sejauh ini melalui tahapan pendinginan tadi
terletak di titik N (perpanjangan garis lurus dari M melalui komposisi awal X).
Pada saat tersebut jumlah paatan akan diberikan oleh jarak:
(Jarak MX/Jarak MN) x 100
Dan jumlah persentasi cairan dinyatakan oleh:
(jarak XN/jarak MN) x 100
Perhatikan, bagaimanapun, bahwa padatan pada titik ini terdiri dari kristal A dan
kristal C. Jadi, kita harus memecah lebih lanjut persentase padatan. Ini dilakukan
sebagai berikut: Persentase padatan yaitu A akan diberikan oleh jarak dari C ke N
relatif terhadap jarak antara A dan C; yaitu dengan rumus:
% padatan A = (jarak NC/jarak AC) x 100
Demikian pula, persentase padatan yang terdiri dari kristal C diberikan oleh
rumus:
% padatan C = (Jarak AN/Jarak AC) x 100
Kita sekarang dapat menghitung persentase tepat dari semua fase yang ada dalam
komposisi X pada suhu 660 ° (di mana komposisi cairan berada pada titik M).
Rumus berikut berlaku:
% Kristal A = %A dalam padatan x % kristal/100
Atau
%A = (Jarak NC/Jarak AC)x100 x (Jarak MX/Jarak MN)
Dan % Kristal C = %C dalam padatan x % kristal/100

84
Atau
%C = (Jarak NA/jarak AC)x100 x jarak MX/jarak MN
Perhatikan juga bahwa kita dapat menentukan komposisi semua fase yang ada
dalam sistem pada titik tersebut. Komposisi cairan diperoleh dengan membaca
komposisi titik M dari segitiga basal. Karena merupakan campuran A, B, dan C,
maka akan memiliki komposisi yang dinyatakan dalam persentase A, B, dan C.
Komposisi padatan adalah 100% A dan 100% C; yaitu fase padat murni (bukan
campuran).
Dengan pendinginan lebih lanjut, komposisi cairan akan pindah ke
eutektik terner, E, pada suhu sekitar 650 °, di mana kristal titik B akan
mengendap. Suhu akan tetap konstan sampai semua cairan habis. Produk kristal
akhir akan terdiri dari kristal A + B + C dalam proporsi yang diberikan oleh
komposisi awal X. Kristalisasi akan mengalami proes yang mirip untuk semua
komposisi lain dalam sistem terner.
Secara singkat, kita dapat mengekspresikan tahapan atau proses kristalisasi
pada sistem tiga komponen dengan komposisi X dalam bentuk singkat sebagai
berikut:
T > 980° semua fasa cair
980°-680° cairan + padatan C
680°-650° Cairan + padatan C + padatan A
T = 650° cairan + padatan C + padatan A + padatan B
T < 650° padatan C+ padatan A + padatan B (semua dalam bentuk
padatan)

85
Gambar 2.31 Bidang isotermal untuk sistem terner ABC pada 700 °C
Pada suhu berapa pun bidang isotermal dapat dibangun melalui sistem
yang akan menunjukkan fase yang ada untuk semua komposisi dalam sistem
terner. Seperti bidang isotermal untuk sistem ABC pada 700 °C ditunjukkan pada
Gambar 2.31.
Soal Latihan:
1. Perhatikan gambar berikut

Bila daerah di bawah kurva adalah daerah 2 fasa, maka jelaskan keadaan
titik Y
2. Diketahui sistem 3 komponen A-B-C, komposisi titik K : 40% A, 20%B; titik
L: 30%A, 30% C. Gambarkan titik K dan L
3. Bi dan Te membentuk senyawa padat Bi2Te3 yang meleleh secara kongruen
pada suhu sekitar 600℃. Bi dan Te masing – masing meleleh pada suhu sekitar
300℃ dan 450℃. Padatan Bi2Te3 misibel sebagian pada semua suhu dengan
padatan Bi dan misibel sebagian pada semua suhu dengan padatan Te. Buat
sketsa diagram fasa T-XA padat cair Bi – Te dan beri label semua bagian pada
diagram tersebut.

86
Pustaka Acuan:
Atkins, P.W. 1994. Physical Chemistry, 5th.ed. Oxford University Press, Oxford
Achmad, Hiskia. 1992. Wujud Zat dan Kesetimbangan Kimia. Citra Aditya Bakti,
Bandung.
Fogiel, M. 1992. The Essentials of Physical Chemistry II. Research and Education
Association, Nex Jersey
Ternary phase Diagrams, https://www.tulane.edu/~sanelson/eens212/ternaryphdiag.htm

87

Anda mungkin juga menyukai