Anda di halaman 1dari 10

IMPLEMENTASI DARI SISTEM PERTANIAN MENURUT

MOSHER PADA KOMODITI GARAM INDONESIA

Disusun oleh :
Khairunnisa Mahirah (200308042)
Paskalis Fautasionil Dakhi (200308046)
Priya Mohanisyah Putri (200308047)

FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2020
1. Pengertian
Sistem pertanian adalah sebuah proses yang meliputi penanaman, budidaya,
pemanenan yang kemudian membentuk suatu rangkaian yang terikat di segala aspek
pertanian.

2. IMPLEMENTASI DARI SISTEM PERTANIAN MENURUT MOSHER PADA


KOMODITI GARAM INDONESIA
Mosher mendefinisikan sistem pertanian sebagai sejenis proses produksi khas yang
didasarkan atas proses pertumbuhan tanaman dan hewan. Kegiatan – kegiatan produksi di
dalam setiap usaha tani merupakan suatu bagian usaha, dimana biaya dan penerimaan adalah
penting.
Garam juga merupakan komoditi strategis yang dibutuhkan manusia dalam empat
bentuk yaitu garam konsumsi, aneka pangan, aneka industri, dan garam industri Chlor Alkali
Plant (CAP) untuk pembuatan plastik Polivinil Chlor (PVC). Garam sebagai produk yang
diproduksi dari lahan tambak merupakan salah satu komoditi yang selalu dibutuhkan
manusia.
Sejalan dengan kebutuhan manusia terhadap makanan. Berdasarkan Kementerian
Kelautan dan Perikanan (2010), setiap orang mengonsumsi lebih kurang empat kg garam per
tahun dalam bentuk aneka pangan. Oleh karena itu, diperkirakan kebutuhan garam akan
meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk, pertumbuhan industri Chlor alkali
Plant (CAP), serta industri lainnya yang membutuhkan garam.
5 syarat esensial menurut Mosher yang diimplementasikan dalam komoditi garam di
Indonesia yaitu :
A. Pasar
Adanya pasar untuk produk atau hasil – hasil pertanian adalah hal yang penting dalam
sistem pertanian menurut Mosher. Petani produsen sangatlah senang apabila ia mendapatkan
harga yang tinggi pada saat ia menjual produksinya. Pembangunan pertanian dapat
meningkatkan produksi hasil pertanian. Untuk hasil-hasil itu perlu ada pasaran serta harga
yang cukup tinggi guna membayar kembali biaya-biaya tunai dan daya upaya yang telah
dikeluarkan.
Secara umum pasar garam di Indonesia adalah untuk kebutuhan garam konsumsi dan
garam industri. Kelompok kebutuhan garam konsumsi dibedakan menjadi tiga jenis yaitu
foodgrade dengan kandungan NaCl 97%, medium grade dengan kadar NaCl 94,7%-97% dan
low grade dengan kadar NaCl 90 – 94,7%. Sementara untuk garam industri, secara garis
besar dapat dibedakan menjadi tiga yaitu garam industri perminyakan dengan kadar NaCl
95% - 97%, garam industri lainnya (industri kulit, industri tekstil, pabrik es dan lain-lain)
dengan kadar NaCl minimal 95% dan Garam Industri Chlor Alkali Plant (CAP) dan Industri
Farmasi minimal 99,8% (Permenperin Nomor: 88/M-IND/PER/10/2014).
Kelembagaan utama yang terlibat dalam rantai pasokan garam dari hulu ke hilir
adalah petani garam, PT. Garam, importir, distributor, sub-distributor, agen, sub agen,
pedagang grosir, supermarket/swalayan, dan pedagang eceran. Pada tulisan ini pola
pemasaran dan distribusi garam yang diambil pada empat wilayah di Indonesia yang
diharapkan dapat memberikan gambaran pola pemasaran dan distribusi garam di wilayah
Indonesia. Keempat daerah terpilih dalam tulisan diharapkan dapat memotret pola pemasaran
dan distribusi pada sentra pasar di Indonesia dengan membandingkan keempat daerah
tersebut dengan kelembagaan rantai pasokan secara nasional.
Keempat wilayah tersebut yang pertama adalah Propinsi Daerah Istimewa Aceh yang
merupakan representasi daerah sentra produksi di Pulau Sumatra dan bisa mewakili kawasan
barat Indonesia. Kedua adalah Propinsi Jawa Timur yang merupakan daerah sentra produksi
terbesar garam di Indonesia dan mewakili pulau Jawa. Ketiga adalah Propinsi Nusa Tenggara
Barat yang merupakan salah satu daerah sentra produksi garam di kawasan timur Indonesia.
Keempat adalah Propinsi Sulawesi Tengah yang merupakan representasi daerah bukan sentra
produksi di Indonesia.
Keempat daerah yang dipilih merupakan hasil survei yang dilakukan oleh BPS tahun
2014. Dua kerangka sampel yang digunakan dalam survei BPS adalah kerangka sampel
pedagang dan kerangka sampel produsen. Kerangka sampel pedagang dan produsen mengacu
pada Sensus Ekonomi tahun 2006 yaitu perusahaan perdagangan menengah dan besar dan
direktori industri skala besar dan sedang. Namun demikian, BPS menghadapi kendala dalam
survei khususnya terkait dengan responden perusahaan sebagai produsen yang tidak
memberikan respons sehingga BPS mempublikasikan hasil survei dengan mengasumsikan
perusahaan berfungsi sebagai pedagang. Berdasarkan data tersebut juga empat daerah yang
diangkat dalam buku ini untuk menguraikan rantai distribusi secara umum belum bisa
memotret dua sisi rantai distribusi garam yaitu rantai distribusi garam bahan baku dan rantai
distribusi garam olahan.
Bahan baku pembuatan garam diperoleh produsen dari wilayah Aceh sendiri dan dari
wilayah Sumatera Utara khususnya Kota Medan yang dipasok dari daerah lain melalui
Pelabuhan Belawan (BPS, 2015). Propinsi
Daerah Istimewa Aceh tidak melakukan impor garam dalam proses produksi garam.
Dibandingkan dengan pola distribusi garam nasional, pola distribusi perdagangan garam di
Aceh relatif memiliki rantai yang cukup panjang untuk mencapai konsumen akhir. Di Aceh,
rantai pasok garam terpanjang harus melewati lima elemen rantai pasok sebelum sampai ke
konsumen akhir yaitu kegiatan usaha lainnya dan rumah tangga. Pada rantai pasok yang
terpanjang, pendistribusian garam ke konsumen akhir dikuasai dua elemen rantai pasok yaitu
pedagang grosir dan pedagang eceran. Pedagang grosir akan menyalurkan garam ke
pedagang eceran sebesar 74,4% dan sebesar 24,6% langsung ke rumah tangga, dan sisanya ke
kegiatan usaha lainnya. Selain dari pedagang grosir, pedagang eceran mendapatkan garam
dari agen dan sub agen yang selanjutnya akan memasarkan seluruhnya ke konsumen rumah
tangga. Sementara rantai pasok terpendek adalah dari distributor ke konsumen rumah tangga,
namun jumlahnya sangat kecil (4,3%). Dengan jumlah pasokan yang sedikit, harga garam
yang disalurkan ke konsumen dari distributor akan mengikuti harga jual dari pedagang eceran
dan pedagang grosir.

Gambar 1. Alur distribusi pemasaran komoditi garam di Aceh.

B. Teknologi
Kemajuan dan pembangunan dalam bidang apapun tidak dapat dilepaskan dari
kemajuan teknologi. Revolusi pertanian didorong oleh penemuan mesin-mesin dan cara-cara
baru dalam bidang pertanian. A.T Mosher (Mubyarto, 1989;235) menganggap teknologi yang
senantiasa berubah itu sebagai syarat mutlak adanya pembangunan pertanian. Apabila tidak
ada perubahan dalam teknologi maka pembangunan pertanian pun terhenti. Produksi terhenti
kenaikannya, bahkan dapat menurun karena merosotnya kesuburan tanah atau karena
kerusakan yang makin meningkat oleh hama penyakit yang semakin merajalela.
Teknologi baru yang diterapkan dalam bidang pertanian selalu dimaksudkan untuk
menaikkan produktivitas, apakah ia produktivitas tanah, modal atau tenaga kerja. Seperti
halnya traktor lebih produktif daripada cangkul, pupuk buatan lebih produktif daripada pupuk
hijau dan pupuk kandang, menanam padi dengan baris lebih produktif daripada menanamnya
tidak teratur.
Dalam menganalisa peranan teknologi baru dalam pembangunan pertanian, digunakan
dua istilah lain yang sebenarnya berbeda namun dapat dianggap sama yaitu perubahan teknik
(technical change) dan inovasi (inovation) menurut Mubyarto (1989;235). Istilah perubahan
teknik jelas menunjukkan unsur perubahan suatu cara baik dalam produksi maupun dalam
distribusi barang-barang dan jasa-jasa yang menjurus ke arah perbaikan dan peningkatan
produktivitas. Sedangkan inovasi berarti pula suatu penemuan baru yang berbeda dari yang
sudah ada atau yang sudah dikenal sebelumnya, artinya selalu bersifat baru.
Widiarto et al,(2013) mengemukakan bahwa tambak adalah kolam air payau yang di
gunakan untuk budidaya, sedangkan tambak garam adalah usaha memanfaatkan air laut untuk
dialirkan kedalam petak-petak tambak melalui proses evaporasi, sehingga dapat
menghasilkan garam. Tambak garam yang ada di Indonesia sebagian besar masih
menggunakan metode tambak garam tradisonal, garam yang di hasilkan belum mampu
memenuhi kebutuhan garam nasional. namun, Para petani garam di Kabupaten Pamekasan,
Madura, tak lagi menggunakan metode tradisional untuk memproduksi garam. Mereka kini
sudah menerapkan lima jenis teknologi untuk meningkatkan kapasitas dan kualitas hasil
produksi garam rakyat.Masing-masing yakni teknologi produksi garam Maduris Tradional,
pro duksi garam Potugis, Geomimbran, produksi garam dengan sistem ulir filter, dan
produksi garam dengan sistem teknologi rumah kaca,teknologi geoiso lator untuk produksi
garam dan teknologi bestekin.
Teknologi yang digunakan untuk pembuatan garam juga beragam dan didasarkan oleh
sumber dimana garam tersebut berasal. Proses pembuatan garam tersebut antara lain (Puska
PDN, 2011):
1. Garam dari tambang
Pembuatan garam dari tambang dapat dilakukan melalui dua proses, yaitu :
Proses 1: Penambangan langsung, kemudian dicuci (washing plant),dihilangkan airnya
sampai kadar air mencapai 3-5% dengan centrifuge (untuk menghasilkan jenis garam
bahan baku/garam kasar) dan dilanjutkan dengan pengeringan (drying) dan penggilingan
(crushing) untuk menghasilkan garam halus atau garam meja.
Proses 2: Garam hasil penambangan dilarutkan dalam air (dapat ditambang dahulu
kemudan dicairkan atau dicairkan di bawah permukaan tanah dengan sedikit air dengan
tekanan yang sangat tinggi). Larutan garam ini kemudian diberikan perlakuan khusus agar
jernih dan seminimum mungkin mengandung kotoran (baik lumpur maupun senyawa
kimia yang tidak dikehendaki), kemudian dikristalkan kembali dalam kolom Kristalisasi
(crystallization column). Hasil re-kristalisasi kemudian dikeringkan, diayak (sleving) dan
terakhir dikantongi (packing).
2. Garam dari Air Laut
Garam dari air laut dapat dibuat melalui dua proses, yaitu:
Proses 1: Penguapan air Laut di ladang garam dengan tenaga sinar matahari (Solar
Evaporation). Air laut diuapkan di ladang-ladang garam dengan tenaga sinar matahari.
Hasil garam diambil, kemudian dicuci agar bersih serta sesedikit mungkin mengandung
senyawa lain yang tidak dikehendaki dan lumpur.
Proses 2: Pemisahan NaCl dengan aliran listrik (Elektrodialisa) Air laut dimasukkan dalam
sel-sel elektrolisa yang dialiri listrik sehingga didapatkan larutan NaCl jernih. Larutan ini
kemudian dikristalisasi dalam kolom kristalisasi. Hasil re-kristalisasi dikeringkan, diayak
dan terakhir dikantongi (packing).
3. Garam dari Air Danau Garam(Salt Lake) Pada prinsipnya proses pembuatan garam yang
berasal dari air danau sama dengan garam dari air laut, hanya karena kadar garamnya relatif
lebih tinggi maka hasil garam per satuan lahan maupun per satuan utility (listrik,bahan bakar)
hasilnya menjadi lebih besar dibandingkan dengan penguapan air laut.
C. Sarana Produksi
Jenis-jenis usaha yang terkait dalam kegiatan pembuatan garam di kawasan pesisir
penambangan akan diidentifikasi menurut tahapan dalam rangkaian sistem bisnis garam yang
meliputi; Tahapan Produksi dan Tahapan Pasca Produksi. 1. Tahapan Produksi Kegiatan
Pembuatan Garam Tahapan aktivitas produksi dalam kegiatan pembuatan garam diawali
dengan persiapan diperlukannya sarana alat untuk pembuatan lahan garam dan perbaikan
lahan garam karena sebagian besar lahan garam ketika musim hujan difungsikan sebagai
tambak ikan berupa cangkul,sekop,kincir, pipa-pipa untuk saluran air, dan kemudian
keperluan kebutuhan logistik selama perbaikan lahan berlangsung. Hasil pemetaan di
lapangan, keterkaitan dalam tahapan produksi kegiatan pembuatan garam terdapat beberapa
pelaku usaha, diantaranya (1) petani garam, (2) pedagang atau tengkulak . Hasil pembuatan
garam yang dihasilkan oleh petani garam penambangan setiap hasil pemanenan yang terjadi 4
hari sekali tersebut di masukkan ke dalam gudang penyimpanan tapi sebagian besar yang
dijual langsung kepada tengkulak dimasukkan ke dalam kantong sak untuk langsung dijual.
Bagi petani garam yang memiliki lahan yang luas biasanya tidak menjual secara langsung
akan tetapi menyimpan garam terlebih dahulu baru menjualnya ketika harga jualnya
mengalami kenaikan,karena umumnya ketika panen raya pada musim kemarau harga garam
jatuh pada titik termurah. Ada juga petani yang menjual sebagian dan menyimpan sebagian
karena terbentur kebutuhan untuk menutupi biaya operasional selama kegiatan produksi
garam. 2. Tahapan Pasca Produksi Kegiatan Garam Hasil pemetaan di lapangan tahapan
pasca produksi kegiatan pembuatan garam di Penambangan. Terdapat pelaku usaha dalam
proses pasca produksi (hilir), di antaranya; (1) tengkulak, (2) usaha pengepakan garam, (3)
pembeli perantara dan pembelian akhir. Terkait dalam tahapan aktivitas pasca produksi
kegiatan petani garam pemasaran hasil produksi petani garam dan pengolahan garam hasil
pemanenan. Keterkaitan tersebut memberikan dampak secara ekonomi terhadap para pelaku
usaha di sektor masing-masing. Hubungan keterkaitan yang kuat pada pelaku usaha,
mencerminkan bahwa sistem bisnis garam dalam menghasilkan produk garam sangat
terkait oleh keberadaan petani garam yang dapat memberikan dampak pada beberapa
pelaku usaha lainnya.
Dampak ini direpresentasikan dalam penciptaan pendapatan dan membuka lapangan
kerja yang mempunyai keterkaitan dalam kegiatan pergaraman pada produksi (hulu) sampai
dengan pasca produksi (hilir). Rantai nilai pada sektor hulu kegiatan pergaraman
Penambangan merupakan penciptaan nilai pendapatan yang diperoleh petani garam sebagai
pelaku pembuatan garam. Aktivitas pembuatan garam (produksi) merupakan bagian dari
aktivitas sektor hulu di kawasan pesisir Penambangan. Tahapan aktivitas produksi petani
garam di antaranya
Petani garam membuat garam di tambak -tambak garam. Setelah diperoleh hasil
pembuatan garam selanjutnya dikumpulkan di tempat penampungan garam untuk dilakukan
transaksi penjualan. Secara garis besar dapat dikatakan bahwa kegiatan pembuatan garam
yang terjadi di kawasan Penambangan saat ini telah mendorong pertumbuhan ekonomi lokal
melalui rantai nilai kegiatan usaha garam yaitu tumbuhnya kewirausahaan dan dapat
membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat lokal yang didasari oleh adanya pemanfaatan
sumber daya pesisir kelautan (alam, manusia, kelembagaan dan modal), yang dapat
menciptakan aktivitas pada pelaku usaha dalam keterkaitan kegiatan pembuatan garam.
Kebutuhan garam nasional ± 3 juta ton/tahun sedangkan produksi garam nasional ± 2
Juta ton/tahun. Salah satu faktor industri garam nasional yang menurun adalah kurangnya
penerapan teknologi tepat guna yang digunakan petani garam.
Mayoritas tambak garam di Indonesia sampai saat ini masih menggunakan teknologi
tambak garam tradisonal, dibandingkan dengan tambak garam yang ada diluar negeri.
Salah satu contoh di Indramayu rata-rata produksi garam pada tahun 2000 - 2010
sebesar 56 Ton/Ha/tahun (KKP, 2011), cukup rendah dibandingkan dengan Australia atau
India mencapai 200 ton/Ha/Tahun. Tambak garam dengan metode tradisional mempunyai
mutu yang rendah dan masih belum memenuhi SNI.Garam yang dihasilkan petambak
mempunyai kandungan NaCl dibawah 94%, sedangkan garam konsumsi memerlukan kadar
NaCl yang lebih besar dari 94, 7% dan garam industri memerlukankadar NaCl diatas 94%
(Widiarto,2013)
D. Insentif
Sebagai salah satu komoditas strategis nasional, pemerintah telah berupaya
untuk dapat mendorong produksi garam nasional melalui kebijakan kebijakan yang
dikeluarkan, salah satunya adalah Program Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat (PUGAR)
melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. PER.41/MEN/2011 tentang Pedoman
Pelaksanaan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Kelautan dan Perikanan
Tahun 2011.
Salah satu sasaran yang ingin dicapai dalam program PUGAR adalah untuk memacu
produksi baik dari segi kuantitas maupun kualitas garam melalui penguatan kapasitas petani
garam (Neraca, 2012). Penguatan kapasitas tersebut dilakukan melalui sosialisasi, pelatihan
dan pendampingan serta dengan tersedianya tambahan dana berupa bantuan dana langsung
masyarakat atau Bantuan Langsung Mandiri (BLM) yang diterimakan melalui Kelompok
Usaha Kelautan dan Perikanan (KUKP).
Dalam pelaksanaan program PUGAR, KKP menetapkan lokasi yang dipilih untuk
menjadi sentra PUGAR dan lokasi yang menjadi penyangga PUGAR. Lokasi sentra PUGAR
biasanya merupakan sentra produksi garam. Di tahun 2014, KKP menetapkan 7 lokasi
sebagai sentra PUGAR antara lain: Cirebon, Indramayu, Rembang, Pati, Pamekasan,
Sampang dan Sumenep, sementara lokasi yang terpilih sebagai peyangga PUGAR sebanyak
33 lokasi seperti Karangasem, Buleleng, Bima, Sumbawa, Kota Bima, Lombok Timur,
Lombok Barat, Lombok Tengah, dll (BKIPM, KKP, 2014). Pada tahun 2015, pola kegiatan
dan bantuan yang biasanya diterima oleh petani garam atau kelompok petani garam melalui
program PUGAR mengalami perubahan. Program PUGAR di tahun 2015 tidak lagi
memberikan Bantuan Langsung Mandiri (BLM) kepada petani garam akan tetapi dirubah
menjadi bantuan pembangunan infrastruktur bagi para petani garam. Pembangunan
infrastruktur tersebut berupa pembangunan jalan di sekitar areal tambak garam serta saluran
air (Koran Kabar, 2015).
Berdasarkan hasil wawancara dengan KKP, program PUGAR di tahun 2016 juga
sudah mulai menyasar pada penerapan teknologi-teknologi baru bagi para petani garam
sehingga dapat mengoptimalkan dan mengupayakan peningkatan produksi dan produktivitas
garam dalam negeri serta sebagai antisipasi apabila terjadi anomali cuaca, seperti
pengimplementasian teknologi geomembrane1. Geomembrane adalah sebuah lembaran yang
terbuat dari High Density Polyetylene (HDPE) yang berfungsi untuk mencegah merembesnya
air ke dalam pori-pori tanah sehingga dapat memperbaiki tekstur tanah di tambak garam.
Tekstur tanah dengan tingkat permeabilitas yang rendah merupakan lokasi yang baik untuk
memproduksi garam (Efendy, Zainuri dan Hafiluddin, 2014).
Selain perbaikan dalam hal infrastruktur dan teknologi yang digunakan, KKP melalui
program PUGAR juga saat ini fokus pada pembenahan kelembagaan petani garam melalui
rencana korporatisasi garam rakyat. Korporatisasi garam rakyat didefinisikan sebagai
sejumlah areal garam yang kemudian pengelolaanya dilakukan secara kolektif berdasarkan
ikatan komunal sehingga dapat mencapai skala ekonomis dalam pengelolaannya (Efendy, et
al., 2016). Dengan perbaikan kelembagaan itu diharapkan para petani garam dapat
memperoleh akses yang lebih mudah untuk mengakses sumber daya yang dibutuhkan
sehingga dapat mengoptimalkan kapasitas usahanya serta meningkatkan kemampuan sumber
daya manusia petani garam melalui komunitas yang terorganisasi dengan baik.

E. Transportasi/ Pengangkutan
Menurut Mosher, Transportasi / pengangkutan menjadi faktor terakhir yang dianggap
esensial dalam sistem pertanian. Hal ini dikarenakan alat transportasi adalah satu benda yang
dapat memperlancar sistem distribusi.
1.Terdapat sejumlah sumber dan sejumlah tujuan tertentu
Saluran : Petani –– Pedagang Pengumpul –– Bandul –– Pabrik Garam –– Agen –– Pedagang-
Pengecer – Konsumen
2.Kuantitas komoditas atau barang yang didistribusikan dari setiap sumber dan yang diminta
oleh setiap sumber dan yang diminta oleh setiap tujuan, besarnya tertentu .
3 Komoditas yang dikirim atau diangkut dari suatu sumber ke suatu tujuan, besarnya sesuai
dengan permintaan dan atau kapasitas sumber
4.Ongkos pengangkutan komoditas dari suatu sumber ke suatu tujuan, besarnya tertentu
Daftar Pustaka
Asmarantaka, R W. 2012. Pemasaran Agribisnis (Agrimarketing). Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.

Dahl, D. C and J. W. Hammond. 1977. Market and price Analysis The Agricultural
Industries, Mc Graw,.

Hill Book Company. Newyork.

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). 2010. Kelautan dan Perikanan Dalam Angka
2010.

Pusat Data Statistik dan Informasi (Pusdatin), Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Jakarta.

KKP. 2011. Industrialisasi Usaha Garam Rakyat. Jakarta (ID):KKP

KKP. 2013. Neraca Garam Nasional 2011. Jakarta: Direktorat KP3K. Kementerian
Kelautan dan

Perikanan RI.

Limbong, W.M dan P. Sitorus. 1987. Pengantar Tataniaga Pertanian. Bahan Kuliah. Jurusan
Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor

Mukhtar. 2009. Garis Pantai Indonesia Terpanjang Keempat di Dunia

(terhubung berkala).

Nasution, M.1999. Koperasi: Konsepsi,

Pemikiran dan Peluang Pembangunan Masa Depan Bangsa. Departemen Kehutanan dan
Perkebunan RI. Jakarta.

Rochwulaningsih Y. 2013. Tata Niaga Garam Rakyat dalam Kajian

Struktural. Jurnal Sejarah CITRA LEKHA. Vol.18 p.59-66

Suherman T, Fauziah E dan Hasan F. 2011. Analisis Pemasaran Garam Rakyat (Studi
Kasus Desa

Kertasada, Kecamatan Kalianget, Kabupaten Sumenep). Jurnal

EMBRYO. Vol 8. No 2

Widiarto. 2012. Kajian Efektivitas Implementasi Program Pemberdayaan Usaha


Garam Rakyat di Desa Losarang, Kabupaten Indramayu. Thesis. Program Magister
Profesional Industri Kecil Menengah. Sekolah Pascasarjana. IPB. Bogor.
Salim Zamroni, E.M.,2016.Info Komoditi Garam.Pertama penyunt. Jakarta: Badan
Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan

http://www.kkp.go.id/index.php/arsip/c/1048/Garis-PantaiIndonesia-Terpanjang-Keempatdi-
Dunia/. [28 Februari 2013]

https://arioneuodia.wordpress.com/2012/10/27/aspek-teori-mosher

Anda mungkin juga menyukai