Anda di halaman 1dari 16

SISTEM REPRODUKSI PADA CRUSTACEA

Disusun sebagai salah satu syarat untuk memenuhi salah satu tugas
Mata Kuliah Fisiologi Hewan Air semester ganjil

Disusun oleh:

Alfath Dhary A. S 230110150225


M. Lutfi Nursopian 230110160151
Shafira Nurul Hudani 230110160164
Ibrahim Abdullah 230110160180
Ayu Octrina 230110160182
Ressa M. Santika 230110160196
Kelas:
Perikanan C/Kelompok 9

UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
PROGRAM STUDI PERIKANAN
JATINANGOR

2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Makalah
ini berjudul “Sistem Reproduksi pada Crustacea”. Makalah ini diajukan untuk
memenuhi salah satu tugas mata kuliah Fisiologi Hewan Air.
Makalah ini dapat terselesaikan dengan bantuan-bantuan pihak terkait,
seperti teman-teman yang telah membantu dalam proses pelaksanaan pembuatan
makalah. Untuk itu, kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Makalah
ini merupakan karya yang masih jauh dari kata baik, sebab karya ini masih dan
akan terus diproses untuk menjadi karya yang jauh lebih baik lagi. Oleh karena
itu, kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak.
Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat dan menambah
pengetahuan dalam pengembangan pengetahuan di bidang perikanan khususnya
bagi kami selaku penyusun laporan, dan kepada khalayak umum.

Jatinangor, 27 September 2017

Kelompok 2
DAFTAR ISI

BAB Halaman
KATA PENGANTAR...........................................................................i
I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.............................................................................1
1.2 Tujuan..........................................................................................2
1.3 Kegunaan.....................................................................................2

II PEMBAHASAN
2.1 Reproduksi Crustacea..................................................................3
2.1.1 Organ X dan Kelenjar Sinus........................................................4
2.1.2 Organ Y.......................................................................................4
2.2 Kelenjar Androgen......................................................................5
2.3 Ovarium.......................................................................................5
2.4 Molting pada Crustacea...............................................................5
2.5 Reproduksi pada Udang..............................................................6
2.6 Reproduksi pada Kepiting...........................................................8
2.7 Reproduksi pada Lobster.............................................................9
2.8 Pengaturan Hormonal dan Steroidgenesis Testis........................10

III KESIMPULAN DAN SARAN


3.1 Simpulan......................................................................................12
3.2 Saran............................................................................................12

DAFTAR PUSTAKA............................................................................13

ii
1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Crustacea adalah fillum Arthropoda yang sebagian besar hidup di laut dan
bernapas dengan insang. Tubuhnya terbagi dalam kepala (cephalo), dada (thorax),
dan perut (abdomen). Kepala dan dada bergabung membentuk kepala-dada
(chepalothorax). Kepalanya biasanya terdiri dari lima ruas yang tergabung
menjadi satu. Mereka mempunyai dua pasang antena, sepasang mandibel
(mandible) atau rahang dan dua pasang maksila (maxilla). Beberapa diantaranya
digunakan untuk berjalan. Ruas abdomen biasanya sempit dan lebih mudah
bergerak dari padakepala dan dada. Ruas-ruas tersebut mempunyai embelan yang
ukurannya sering mengecil (Nontji 1993).
Crustacea mempunyai kulit (cangkang) yang keras disebabkan adanya
endapan kalsium karbonat pada kutikula. Semua atau sebagian ruas tubuh
mengandung apendik yang aslinya biramus. Bernapas dengan insang atau seluruh
permukaan tubuh. Kelenjar antena (kelenjar hijau) atau kelenjar maxilla
merupakan alat ekskresi. Kecuali jenis-jenis tertentu, crustacea pada umumnya
dioecious, pembuahan di dalam. Sebagian besar mengerami telurnya. Tipe awal
larva crustacea pada dasarnya adalah larva nauplius yang berenang bebas sebagai
plankton (Ghufronet et al. 1997).
Reproduksi utama pada Crustacea adalah secara seksual; umumnya
dioecious, namun beberapa parasit dan sebagian besar teritip, yang sulit
menemukan pasangan, bersifat hermafrodit simultan (menjadi jantan dan betina
pada waktu bersamaan). Cara tersebut meningkatkan peluang bertemu pasangan
dan memungkinkan terjadinya pembuahan sendiri (self-fertilization) sebagai
pilihan terakhir.
Reproduksi pada crustacea juga distimulasi oleh kelenjar endokrin pada
crustacea itu sendiri, kelenjar endokrim mengeluarkan hormone-hormone yang
akan merangsang crustacean untuk bereproduksi, adapula hormone yang dapat
menghambat reproduksinya. Dalam suatu kasus hormone penghambat yang
2

diproduksi pada organ di mata crustacean dipotong atau disebut ablasi supaya
dapat bereproduksi dengan cepat (Alfath 2017).

1.2 Rumusan Masalah


a. Bagaimana sistem reproduksi pada klas crustacea?
b. Apa Organ endokrin yang mempengaruhi reproduksi pada crustacean?
c. Bagaimana kerja organ endokrin dalam proses reproduksi crustacean?
d. Apa hormone yang dihasilkan kelenjar endokrin dalam proses reproduksi
crustacean?
e. Bagaimana kerja hormone pada proses reproduksi crustacean?

1.3 Tujuan
a. Untuk mengetahui sistem reproduksi pada klas crustacea.
b. Untuk mengetahui organ endokrin yang mempengaruhi reproduksi pada
crustacean.
c. Untuk mengetahui kerja organ endokrin dalam proses reproduksi
crustacean.
d. Untuk mengetahui hormone yang dihasilkan kelenjar endokrin dalam
proses reproduksi crustacean.
e. Untuk mengetahui kerja hormon pada proses reproduksi crustacean.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Reproduksi Crustacea


Reproduksi utama pada Crustacea adalah secara seksual; umumnya
dioecious, namun beberapa parasit dan sebagian besar teritip, yang sulit
menemukan pasangan, bersifat hermafrodit simultan (menjadi jantan dan betina
pada waktu bersamaan). Cara tersebut meningkatkan peluang bertemu pasangan
dan memungkinkan terjadinya pembuahan sendiri (self-fertilization) sebagai
pilihan terakhir. Beberapa Crustacea berganti jenis kelamin ketika mereka
semakin tua. Banyak Crustacea menunjukkan tingkah laku bersaing memikat
pasangannya, dan yang jantan bertarung untuk mendapatkan peluang kawin. Satu-
satunya reproduksi aseksual berlangsung secara partenogenesis (berkembang dari
telur yang tidak dibuahi), namun ini sangat jarang terjadi. Crustacea laut yang
masih muda umumnya melalui satu atau lebih tahap larva yang sangat berbeda
dengan bentuk dewasa. Seringkali larva berenang di perairan terbuka untuk
menemukan tempat hidup.
Organ endokrin yang terdapat pada crustacea, sebagaimana halnya pada
insekta, dibagi dalam 3 katagori yaitu:
a. Sekumpulan sel-sel neuro-sekretoris yang menghasilkan neuro hormon
dan melepaskannya melalui terminal-terminal axonnya. Termasuk dalam
kategori ini adalah organ X pada tangkai mata.
b. Organ-organ neurohemal yang menyimpan, kemungkinan memodifikasi
dan melepaskan neurohormon. Termasuk katagori ini adalah kelenjar sinus
(sinus gland), organ commissurale, organ pericardiale.
c. Organ endokrin (non-neural) yang mensekresikan hormon langsung ke
dalam darah. Termasuk disini adalah organ Y, kelenjar androgen
(androgenic gland) dan ovarium.

3
4

2.1.1 Organ X dan Kelenjar Sinus


Organ X terletak pada tangkai mata, memiliki 2 struktur yaitu ganglionic
X organ dan sensory pore X organ. Kedua struktur ini pada beberapa spesies
terpisah tetapi ada pula yang tergabung menjadi satu kesatuan. Pada spesies yang
tidak mempunyai tangkai mata, organ X terletak pada kaput.
Kelenjar sinus terletak di pangkal tangkai mata, merupakan organ
neurohemal, tersusun terutama oleh terminal-terminal axon dan berhubungan erat
dengan pembuluh pembuluh darah. Kelenjar sinus dinyatakan analog dengan
neurohipofisa vertebrata dan korpora kardiaka pada insekta. Kelenjar sinus
penting sebagai reservoir untuk penimbunan/penyimpanan dan pelepasan
neurohormon yang berasal dari axon-axon organ neurosekretoris. Neurosekresi
dari kompleks organ X-kelenjar sinus menghasilkan Gonad Inhibiting Hormone
(GIH). Hormon ini memiliki aktifitas penghambatan proses vitelogenesis,
penghambatan pematangan ovarium dan penghambatan aktifitas sekresi kelenjar
androgen. Sekresi dari GIH sangat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan. Ablasi
(penghilangan) tangkai mata (Organ X dan kelenjar sinus) akan menyebabkan
pembesaran/perkembangan ovarium, vitelogenesis pada oosit akan terjadi.
Kompleks organ X-kelenjar sinus juga menghasilkan hormon penghambat
molting.

2.1.2 Organ Y
Organ Y terletak pada segmen maksilaris atau antena, dalam beberapa hal
mirip dengan prothoracic yaitu kelenjar yang mengatur molting/ecdysis pada
insekta. Fungsi organ Y dipengaruhi oleh kompleks neurosekretoris tangkai mata
(kompleks organ X sinus gland). Organ Y merupakan penghasil Gonad
Stimulating Hormone (GSH) yang berpengaruh pada gonad. Organ Y juga
menghasilkan molting hormon (ecdyson) yang juga penting dalam diferensiasi
normal dari ovarium dan testis. Pada hewan muda apaila dilakukan ablasi organ
Y, maka proses mitosis pada ovarium dan testis akan terhambat, proses mitosis
oogonia pada ovarium terhenti, folikel tidak terbentuk dan vitelogenesis tidak
5

terjadi. Pada testis, mitosis spermatogonia terhenti dan testis tidak mengandung
sel-sel kecambah yang matang (depleted of mature germ cells).
2.2 Kelenjar Androgen
Kelenjar ini ditemukan pada beberapa crustacea juga beberapa spesies
insekta. Biasanya terletak diluar testis sepanjang duktus deferens. Pada betina
kelenjar ini rudimenter (tak berkembang). Kelenjar maskulinisasi ini diduga diatur
oleh neurohormon yang berasal dari kompleks organ X-kelenjar sinus. Kelenjar
androgen menghasilkan hormon yang mengatur spematogenesis dan sifatsifat
kelamin sekunder jantan. Pengaruh dari kelenjar androgen bila dibandingkan
dengan ovarium jauh lebih kuat. Transplantasi kelenjar androgen pada hewan
betina dapat menyebabkan transformasi ovarium menjadi testis yang
memproduksi spermatozoa.

2.3 Ovarium
Ovarium pada crustacea, memiliki fungsi endokrin sedangkan testis tidak
memiliki fungsi ini. Ovarium dan kelenjar androgen menghasilkan hormon yang
mempengaruhi diferensiasi sifat-sifat kelamin jantan dan betina. Testis
kemungkinan tidak memiliki fungsi endokrin. Pada crustacea, diferensiasi sel-sel
kecambah bersifat reversible. Pada keadaan hormon dari kelenjar androgen tidak
ada, gonad akan menjadi ovarium tetapi untuk diferensiasi menjadi testis maka
keberadaan hormon dari kelenjar androgen harus ada. Pada beberapa spesies
dekapoda yang hermaprodit protandri, kelenjar androgen ada selama fase jantan
dan hilang selama fase betina.

2.4 Molting pada Crustacea


Pada crustacea, molting mencakup proses-proses metabolik dan
morfologik. Berlainan dengan insekta, yang tidak mengalami molting setelah
stadium dewasanya tercapai, crustacea mengalami molting/ecdysis sepanjang
hidupnya. Proses molting ini dipengaruhi oleh sekresi dari kompleks organ X-
kelenjar sinus dan organ Y. Pembentukan eksoskeleton crustacea meliputi
6

pembentukan scleroprotein, sintesis khitin dan deposit garam-garam kalsium.


Terdapat 4 tahapan pada proses molting crustacea yaitu:
a. Pre Molt (Proecdysis)
Merupakan tahap persiapan untuk molting peristiwa yang terjadi adalah
penipisan cuticle secara bertahap, penimbunan zat-zat anorganik di dalam
gastrolith (hepatopancreas) guna pembentukan eksoskeleton baru, mempercepat
proses-proses regenerasi jaringan, penimbunan glikogen di jaringan hipodermis,
terjadi peningkatan kebutuhan oksigen.
b. Molting (Ecdysis)
Peristiwa-peristiwa yang terjadi selama tahap ini adalah pecah dan
terkelupasnya kutikula yang tua (usang), peningkatan/pembesaran ukuran tubuh
karena adanya absorbsi air segera setelah kutikula pecah. Air ini menyebabkan
tersedianya ruangan (bahkan setelah cuticle baru mengeras) bagi pertumbuhan
badan. Terjadi resorbsi kutikula.
c. Post Molting (Post ecdysis)
Merupakan periode pembentukan eksoskeleton baru dengan redeposisi
secara cepat dari khitin dan garam-garam anorganik dan terjadi pertumbuhan
jaringan.
d. Intermolt (Inter ecdysis)
Merupakan tahap istirahat, dimana proses-proses fisiologis sehubungan
dengan proses molting tidak ada. Biasanya terjadi penimbunan bahan-bahan
anorganik pada hepatopancreas dan tempat lainnya untuk persiapan molting
berikutnya. Bahan tersebut antara lain Kalsium, Fosfat, glikogen, lipid. Terdapat
crustacea yang gagal dalam proses moltingnya. Akibatnya hewan tersebut tidak
mengalami pertumbuhan, kondisi demikian dikenal sebagai anecdysis.

2.5 Reproduksi pada Udang


Menurut Ghufran (2009) udang jantan dan betina dapat dibedakan dengan
melihat alat kelamin sekundernya. Alat kelamin udang jantan yang disebut
petasma terletak di antara kaki renang pertama, sedangkan alat kelamin udang
betina disebut juga thelicum yang terletak di antara pangkal kaki jalan keempat
7

dan kelima, dengan lubang saluran kelamin yang terletak di antara pangkal kaki
ketiga.

Alat kelamin primer disebut gonad terletak di dalam bagian kepala-dada.


Pada udang jantan dewasa, gonad akan menjadi testis yang berfungsi sebagai
penghasil sperma. Sedangkan pada udang betina, gonad akan menjadi ovarium
(induk telur) yang berfungsi sebagai penghasil sel telur. Ovarium yang telah
matang akan meluas sampai ke ekor.
Sperma yang dihasilkan udang jantan pada saat pemijahan (kawin) akan
dikeluarkan dari dalam kantong seperti lendir yang dinamakan spermatophora
(kantung sperma). Dengan bantuan petasma, spermatophora dilekatkan pada
thelicum udang betina, yang akan disimpan di tempat tersebut sampai saatnya
pengeluaran. Jika udang betina bertelur, spermatophora akan pecah dan sel-sel
spermanya akan membuahi telur di luar badan induknya. Proses fertilisasi udang
terjadi pada malam hari (kondisi gelap).
8

2.6 Reproduksi pada Kepiting


Kepiting jantan dan betina dapat dibedakan dengan mengamati alat
kelamin yang terdapat dibagian perut. Pada bagian perut jantan umumnya terdapat
organ kelamin berbentuk segi tiga yang sempit dan dapat meruncing di bagian
depan. Organ kelamin betina berbentuk segitiga yang relatif lebar dan di bagian
depan agak tumpul. Kepiting jantan dan betina dibedakan oleh ruas abdomennya.
Ruas abdomen kepiting jantan berbentuk segitiga, sedangkan pada kepiting betina
berbentuk agak membulat dan lebih lebar.

Perkawinan terjadi di saat suhu air mulai naik, biasanya betina akan
mengeluarkan cairan kimiawi perangsang, yaitu pheromone ke dalam air untuk
menarik perhatian kepiting jantan, setelah jantan berhasil terpikat maka kepiting
jantan akan naik ke atas karapas kepiting betina untuk berganti kulit (molting),
selama kepiting betina molting maka kepiting jantan akan melindungi kepiting
betina selama 2-4 hari sampai cangkang terlepas, kepiting jantan akan
membalikkan tubuh kepiting betina untuk melakukan kopulasi/perkawinan.
Kepiting betina biasanya segera melepaskan telur sesaat setelah kawin, tetapi sang
betina memiliki kemampuan untuk menyimpan sperma sang jantan hingga
beberapa bulan lamanya. Telur yang akan dibuahi selanjutnya dimasukkan pada
tempat (bagian tubuh) penyimpanan sperma. Setelah telur dibuahi telur-telur ini
akan ditempatkan pada bagian bawah perut (abdomen). Jumlah telur yang dibawa
tergantung pada ukuran kepiting. Beberapa spesies dapat membawa puluhan
hingga ribuan telur ketika terjadi pemijahan. Telur ini akan menetas setelah
beberapa hari kemudian menjadi larva (individu baru) yang dikenal dengan
“zoea”. Ketika melepaskan zoea ke perairan, sang induk menggerak-gerakkan
9

perutnya untuk membantu zoea agar dapat dengan mudah lepas dari abdomen.
Larva kepiting selanjutnya hidup sebagai plankton dan melakukan moulting
beberapa kali hingga mencapai ukuran tertentu agar dapat tinggal di dasar perairan
sebagai hewan dasar (Prianto 2007). Proses fertilisasi kepiting tidak halnya seperti
udang yang hanya terjadi pada malam hari (kondisi gelap). Kepiting juga dapat
melakukan perkawinan atau pemijahan pada siang hari.

2.7 Reproduksi pada Lobster


Menurut Subani (1978), sistem pembuahan lobster terjadi di luar badan
induknya (external fertilization). Indung telur nya berupa sepasang kantong
memanjang terletak mulai dari belakang perut (stomach) dibawah jantung
(pericarduim) yang dihubungkan keluar oleh suatu pipa peneluran (oviduct) dan
bermuara di dasar kaki jalannya yang ketiga.

Umur pertama kali matang gonad yaitu ditaksir antara 5 tahun – 8 tahun.
Pada waktu pemijahan lobster mengeluarkan sperma (spermatoforik) dan
meletakkannya di bagian dada (sternum) betina mulai dari belakang celah genital
(muara oviduct) sampai ujung belakang sternum. Peletakan spermatoforik ini
terjadi sebelum beberapa saat peneluran terjadi. Masa spermatoforik yang baru
saja dikeluarkan sifatnya lunak, jernih dan kemudian agak mengeras dan warna
agak menghitam dan membentuk selaput pembungkus bagian luar atau semacam
kantong sperma (Utami 1999).
Pembuahan terjadi setelah telur-telur dikeluarkan dan ditarik kearah
abdomen yaitu dengan cara merobek selaput pembungkus oleh betina dengan
10

menggunakan cakar (kuku) yang berupa capit terdapat pada ujung pasangan kaki
jalannya. Lobster yang sedang bertelur melindungi telurnya dengan cara
meletakkan atau menempelkan dibagian bawah dada (abdomen) sampai telur
tersebut dibuahi dan menetas menjadi larva atau biasa disebut burayak atau
tumpayak (Moosa dan Aswandy 1984). Lobster betina kadang-kadang dapat
membawa telur antara 10.000 -100.000 butir, sedangkan pada jenis-jenis yang
besar bisa mencapai 500.000 hingga jutaan telur. Banyak sedikitnya jumlah telur
tergantung dari ukuran lobster air laut tersebut.

2.8 Pengaturan Hormonal pada Steroidgenesis Tesis


Testis mensekresikan bermacam-macam steroid yang disintesis dari
kolesterol. Hasil sekresi sebagian besar berupa testosteron yang dihasilkan sel
Leydig. Testosteron diklasifikasikan sebagai androgen karena dapat merangsang
timbulnya sifat-sifat kelamin sekunder yang khas pada hewan jantan. Sintesis
testosteron melalui jalur-jalur biosintesa yang hasil akhirnya ditentukan oleh
proses-proses enzimatik. Dalam jalur sintesis tersebut, kolesterol diubah menjadi
pregnenolone dengan menghilangkan rantai C12 kemudian melalui fase
progesteron berubah menjadi beberapa substansi androgenic semacam
dehydroepiandrosterone, androstenedione dan testosteron.
Dehydroepiandrosterone dan androstenedione disekresikan jauh lebih
sedikit dibanding testosteron. Testosteron disekresikan oleh sel Leydig yang
dirangsang oleh LH. Reseptor untuk LH yang ditemukan pada sel Leydig, dan
pada sebagian besar mamalia, peningkatan sekresi LH akan diikuti oleh
peningkatan testosteron. Pada kenyataannya, sekresi LH dan testosteron episodic
dan perubahan level besar terjadi setiap 24 jam. Respon sel Leydig terhadap
peningkatan LH sangat cepat, pada manusia kadar tertinggi testosteron sudah
tercapai dalam 1-2 jam setelah penyuntikan LH atau HCG. Penting untuk
diketahui bahwa LH juga memiliki aktifitas tropic (nutrisi) pada sel Leydig,
rangsangan LH akan menyebabkan hipertropi. Penghilangan LH dengan
hipofisektomi atau netralisasi aktifitasnya dengan antiserum yang spesifik
menyebabkan penghentian produksi testosteron dan penyusutan ukuran sel-sel
11

Leydig. Aksi LH dimediasi melalui pembentukan 3-5 adenosin monophosphat


(cAMP) intraseluler yang seterusnya melalui mekanisme proteinkinase
merangsang aktifitas sejumlah reaksi seluler, salah satunya adalah sekresi
testosteron. Enzim diperlukan dalam produksi testosteron berhubungan dengan
mitokondria dan smooth endoplasmic reticulum pada selsel Leydig. Akibatnya,
stimulasi LH dalam jangka lama mengakibatkan pembesaran sel secara serentak
dengan meningkatnya mitokondria dan smooth endoplasmic reticulum. Sampai
saat ini sedikit sekali diketahui bagaimana cara testosteron meninggalkan sel
Leydig, akan tetapi jelas testosteron banyak ditemukan dalam konsentrasi besar
dalam vena spermatica, testicular lymph dan dalam cairan yang ada dalam tubuli
seminiferi. Walaupun LH secara prinsip merupakan faktor utama dalam
pengaturan sekresi testosteron, bukti-bukti terakhir menunjukkan bahwa
kemungkinan prolaktin juga mempengaruhi fungsi sel-sel Leydig. Reseptor bagi
prolaktin ditemukan pada sel-sel Leydig dan meningkatnya sekresi prolactin pada
manusia (adanya tumor pituitari) dihubungkan dengan penurunan kadar
testosteron yang berhubungan dengan penurunan libido dan ketidakmampuan
ereksi secara normal. Reseptor untuk GnRH dan estradiol juga ditemukan pada
sel-sel Leydig tetapi peranan keduanya secara fisiologik masih tidak jelas.
BAB III
SIMPULAN DAN SARAN

3.1 Simpulan
Reproduksi utama pada Crustacea adalah secara seksual, namun beberapa
Crustacea berganti jenis kelamin ketika mereka semakin tua. Banyak Crustacea
menunjukkan tingkah laku bersaing memikat pasangannya, dan yang jantan
bertarung untuk mendapatkan peluang kawin. Alat reproduksi pada Crustacea
umumnya terpisah, kecuali pada beberapa Crustacea rendah. Alat kelamin betina
terdapat pada pasangan kaki ketiga. Sedangkan alat kelamin jantan terdapat pada
pasangan kaki kelima. Pembuahan pada Crustacea terjadi diluar tubuh. Pada saat
kopulasi spermatozoa akan di tampung dalam penampung sperma, kemudian
kedua hewan berpisah. Beberapa hari kemudian, udang betina membersihkan
daerah abdomennya dengan menggunakan kaki renagnya. Kemudian udang betina
membalikkan tubuhnya, melipat tubuh dan keluarlah sekresi berupa lendir yang
menyelaputi kaki renang. Ovum akan keluar dari oviduk sekitar 200-400 buah dan
akan dibuahi oleh spermatozoa yang keluar dari kantong penampung
spermatozoa. Telur tetap melekat pada kaki renang sampai menetas (Kastawi
2009).

3.2 Saran
Pembuatan makalah sistem reproduksi pada crustacea haruslah dengan
banyak referensi, terutama referensi yang bersifat internasional. Sebab, dengan
begitu akan dihasilkan informasi yang lebih jelas dan lengkap.

12
DAFTAR PUSTAKA

Ghufron, Muneaki, Basri. 1997. Potensi Budidaya Udang. Bina Tjipta, Jakarta
Ghufran, M dan Kordi K. 2009. Budi Daya Perairan Buku Kedua. Penerbit PT
Citra Aditya Bakti. Bandung
Moosa, M. K., Aswandy I. 1984. Udang Karang (Panulirus sp) dari Perairan
Indonesia. Proyek Studi Pengembangan Alam Indonesia, Studi Hayati
Potensi Ikan, Lembaga Oseanografi Nasional, Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia. Jakarta.
Nontji.2002. Laut Nusantara. Jakarta: Djambatan.
Prianto, E. 2007. Peran Kepiting Sebagai Spesies Kunci (Keystone Spesies) pada
Ekosistem Mangrove. Prosiding Forum Perairan Umum Indonesia IV.
Balai Riset Perikanan Perairan Umum. Banyuasin.
Suhandoyo, 2009. Materi E-Learning: Reproduksi dan Embriologi pada Hewan.
Jurusan Pendidikan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam UNY. Yogyakarta
Subani, W. 1978. Perikanan Udang Barong (Spiny Lobster) dan Prospek Masa
Depannya. Prosiding Seminar ke II Perikanan Udang 15-18 Maret
1977. Lembaga Penelitian Perikanan Laut. Badan Penelitian
Pengembangan Perikanan. Jakarta
Utami DDY. 1999. Analisa Sumberdaya dan Tingkat Pemanfaatan lobster
(Panulirus sp) yang Didaratkan di Pangandaran, Ciamis, Jawa Barat.
[Skripsi]. Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor

13

Anda mungkin juga menyukai