Anda di halaman 1dari 47

MAKALAH

RESEPTOR TERGANDENG PROTEIN G SEBAGAI TARGET AKSI OBAT

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 5
APRIASARI SUWARDI D1B120129
HADRIANI D1B120062
KUSWATUH RASMIAH D1B120056
ADITYA SYAFAAT D1B120128
NURDIANTI D1B120126
NUR JUNIYARTI TAJUDDIN D1B120152

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS MEGAREZKY

MAKASSAR

2021

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada ALLAH SWT, Tuhan yang telah
memberikan petunjuk dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyusun dan
menyelesaikan makalah Biologi Molekuler ini.

Bersaman dengan ini, saya juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada
dosen pembimbing mata kuliah Biologi Molekuler Bapak Muhammad Yusuf,
S.farm., M.Sc. Yang telah memberikan arahan kepada kami dalam menyelesaikan
makalah ini.

Makalah ini merupakan salah satu bagian dari serangkaian kegiatan


pembelajaran mata kuliah Biologi Molekuler. Adapun maksud penulisan makalah
ini untuk membahas tentang RESEPTOR TERGANDENG PROTEIN G
SEBAGAI TARGET AKSI OBAT.

Demikian makalah ini penulis selesaikan untuk memperdalam pengetahuan


dan menyelesaikan tugas yang diberikan jika ada kesalahan, penulis bersedia
menerima kritik dan saran. Semoga bermanfaat.

Makassar, 7 Januari 2021

Penulis

I
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................. i

DAFTAR ISI............................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN........................................................................... 1

A. LATAR BELAKANG................................................................. 1

B. RUMUSAN MASALAH............................................................ 2

C. TUJUAN MASALAH................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN............................................................................ 3

A. PENDAHULUAN....................................................................... 3

B. RESEPTOR ASETILKOLIN MUSKARINIK........................... 9

C. RESEPTOR ADRENERGIK...................................................... 16

D. RESEPTOR DOPAMIN............................................................. 25

E. RESEPTOR ANGIOTENSIN..................................................... 31

F. RESEPTOR HISTAMIN............................................................. 33

BAB III PENUTUP..................................................................................... 42

A. KESIMPULAN........................................................................... 42

B. SARAN........................................................................................ 42

DAFTAR PUSTAKA................................................................................. 43

II
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Farmakologi molekuler adalah ilmu yang mempelajari mengenai


transduksi signal dan mekanisme aksi obat pada berbagai target aksi obat,
meliputi kanal ion, enzim, transporter dan reseptor. Reseptor pada tingkat
molekuler ikatan obat reseptor pada membran plasma dan sel, system enzim
sebagai target aksi molekul obat, perubahan-perubahan biokimia karena aksi
obat, keragaman reseptor obat dan ekspresi gen yang berperan dalam
mekanisme resistensi sehingga memberikan penjelasan bagaikan aksi obat
sampai level molekuler, sehingga banyak membantu dalam menjelaskan
Bagaimana mekanisme aksi obat .

Farmakologi molekuler menjadi penting karena interaksi obat dalam


targetnya bersifat Kompleks melibatkan sistem seluler yang terjadi pada
tingkat molekuler dan melibatkan serangkaian proses biokimia di dalam sel
Untuk menimbulkan efek ilmu tersebut sudah berkembang pesat di Eropa
pada abad ke-19 dengan pioner seorang ilmuwan Jerman bernama “Paul
Ehlichr (1854-1915). Dia mengatakan obat tidak akan bekerja jika tidak
berkaitan dengan target aksinya dalam tubuh sejak itu perkembangan
farmakologi molekuler sangat pesat pada penemuan saat itu sangat terkenal
antara lain: Thomas renton. Elliot (1877-1961) dan Sir Hendri dale (1875-
1968) dan jelaskan tentang konsep transmisi senyawa kimia pada sel saraf
yang melibatkan neutrontransmitter suatu senyawa yang memedia sittransfer
informasi dari satu sel saraf menuju sel saraf lainnya.Perkembangan
penelitian farmakologi molekuler, selanjutnya meliputi kloning gen pengkode
beberapa kanal ion protein regulator enzim metabolisme. Dari penelitian
tersebut dapat diketahui mekanisme nasib obat atau aksi obat dalam tubuh
secara molekuler.

1
B. Rumusan masalah

Dalam makalah ini akan dibahas tentang Bagaimana aksi obat yang
berhubungan dengan G protein ?

C. Tujuan penelitian

Untuk mengetahui tentang aksi obat yang berhubungan dengan G protein

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. PENDAHULUAN

Pada tahun 1969, Martin Rodbell, dkk. menyampaikan hasil penelitannya


bahwa satu seri hormon, yang semuanya mengaktifkan adenilat siklase,
ternyata beraksi dengan cara berikatan dengan suatu reseptor spesifik yang
tergandeng dengan adenilat siklase intraseluler dalam suatu sistem transduksi.
Interaksi antara reseptor spesifik tersebut dan protein target diperantarai oleh
suatu protein ketiga yang kemudian dikarakterisasi sebagai heterotrimeric
guanine nucleotide binding protein atau disebut G-protein. Reseptor spesifik
tadi kemudian disebut G-Protein-coupled Reseptor (GPCR) atau dalam buku
ini disebut sebagai reseptor tergandeng protein G.

Reseptor tergandeng protein G, disebut juga reseptor metabotropik,


merupakan famili terbesar dari reseptor membran sel. Reseptor ini menjadi
mediator dari respons seluler berbagai molekul, seperti: hormon,
neurotransmiter, mediator lokal, dan lain-lain. Reseptor tergandeng protein G
merupakan satu rantai polipetida tunggal yang keluar masuk menembus
membran sel sampai 7 kali sehingga dikatakan memiliki 7 transmembran
(lihat Gambar 1).

Gambar 1.Gambar skematik reseptor tergandeng protein G dengan gugus amina di daerah
ekstrasel dan gugus karbosilat di sitoplasmik, rangkaian peptide reseptor ini

3
melintasi membran sebanyak 7 kali, sehingga sering disebut juga reseptor 7
transmembran

Dari bentuknya, reseptor tergandeng protein G merupakan suatu rantai


polipeptida tunggal yang melewati membran sebanyak tujuh kali. Reseptor
ini terutama mengaktivasi rangkaian peristiwa yang mengubah konsentrasi
Satu atau lebih suatu molekul signaling intraseluler atau yang disebut second
Messenger untuk menimbulkan respons seluler. Beberapa second messenger
yang terlibat dalam transduksi signal melalui reseptor ini adalah siklik AMP
(cAMP), protein kinase A (PKA), diasil gliserol (DAG), inositol trifosfat
(IP3), protein kinase C (PKC), dan kalsium (Ca).

Protein G sendiri adalah suatu protein yang terdin atas tiga rantai
polipeptida yang berbeda yang disebut subunit α, β dan ƴ. Rantai β dan ƴ
membentuk kompleks βƴ yang kuat yang membuat protein G tadi tertambat
pada permukaan sitoplasmik membran plasma, sedangkan subunit α
merupakan subunit tersendiri yang ketika dalam keadaan istirahat terikat
dengan guanosin difosfat (GDP).

Jalur transduksi signal pada GPCR ada dua, yaitu Jalur adenilat siklase
dan jalur fosfolipase. Adenilat siklase adalah enzim yang mengkatalisis
perubahan ATP menjadi bentuk siklisnya, yaitu siklik AMP (cAMP)
sedangkan fosfolipase adalah enzim yang menguraikan/mendegradasi
senyawa fosfolipid. Kapan suatu aktivasi GPCR akan melalui jalur adenilat
siklase atau fosfolipase, tergantung pada macam protein G yang terlibat.

Berdasarkan aksinya, protein G ada 3 jenis, yaitu:

1) Gs (stimulatory G protein) yang bekerja mengaktifkan enzir adeniat


siklase;

2) Gi (inhibitory G protein) yang bekerja menghambat cnzim adenilat


siklase; dan

3) Gq yang bekerja mengaktifkan enzim fosfolipase pada jalur fosfolipase.

4
1. Aktivasi GPCR Melalui Jalur Adenilat Siklase

Rangkaian peristiwa molekuler yang terjadi pada aktivasi reseptor GPCR


melalui jalur adenilat siklase adalah sebagai berikut (lihat Gambar 2).

1) Pada bentuk inaktif, protein G berada sebagai suatu trimer dengan


Guanosine Diphosphate (GDP) yang terikat pada subunit α. Pada kondisi
ini, semua subunit berada dalam satu kompleks.

2) Jika suatu ligan atau neurotransmiter atau hormon berikatan dengan


GPCR, dimulailah proses signaling yang diawali dengan perubahan
konformasi reseptor yang melibatkan daerah sitoplasmik reseptor yang
menyebabkan daerah sitoplasmik reseptor menjadi aktif terhadap protein
G. Selanjutmya, subunit Gα akan melepaskan GDP dan akan mengikat
Guanosine Triphosphate (GTP) dan terjadilah pertukaran GDP-GTP.

3) Penggantian GDP menjadi GTP menyebabkan perubahan konformasi


pada subunit Gα. Subunit Gα yang terikat dengan GTP tersebut
kemudian terdisosiasi dari subunit βƴ menjadi subunit yang aktif yang
akan mengaktifkan adenilat siklase (AC) memproduksi cAMP.

4) Selanjutnya, cAMP akan mengaktifkan PKA (cAMP-Dependent Protein


Kinase) yang akan mengkatalisis fosforilasi berbagai protein targetnya
dan menimbulkan aktivitas.

Gambar 2.Gambar skematik aktivasi GPCR oleh suatu hormon sampai terbentuknya cAMP)

5
Aktivitas adenilat siklase harus segera dihentikan agar tidak teradi
produksi cAMP yang berlebihan Untuk itu, GTP harus dihidrolisis menjadi
GDP sehingga subunit α kembali ke konformasi semula yang tidak aktif.

Selain itu, cAMP juga bisa didegradasi dengan bantuan enzim


fosfodiesterase.

Proses menghentikan proses signaling ini bisa terjadi sebagai berikut.

1. GTP dihidrolisis menjadi GDP + Pi dengan bantuan enzim Guanine


nucleotide Exchange Factors (GEFs) Dengan terikat pada GDP, Gα akan
kembali berikatan dengan kompleks βƴ sehingga aktivasi adenilat siklase
terhenti.

2. Selain itu, cAMP akan dihidrolisis menjadi AMP oleh enzim


fosfodiesterase.

Perubahan GTP menjadi GDP dan sebaliknya dikatalisis oleh enzim yang
disebut GAPs (GTPase Activating Proteins) dan GEFs (Guanine Nucleotide
Exchange Factors). Reaksinya dapat dilihat pada Gambar .3

Gambar 3. Reaksi perubahan protein G dari bentuk aktif menjadi inaktif, atau sebaliknya,
dengan katalisis enzim GAP (GTPase Activating Proteins) dan GEF (Guanine
Nucleotide Exchange Factors).

Jika ada senyawa yang dapat mengubah konformasi subunit α sehingga


tidak dapat menghidrolisis GTP, akan terjadi perpanjangan aktivitas adenilat
siklase dan memperlama peningkatan kadar cAMP, yang dapat menimbulkan

6
respons yang tidak diinginkan. Hal ini seperti yang terjadi pada pasien kolera
yang disebabkan oleh bakteri Vibrio cholerae. Toksis kolera mengubah
subunit α menjadi tidak mampu menghidrolisis GTP. Akibatnya, subunit α
tetap dalam bentuk aktifnya, memicu adenilat siklase membentuk cAMP.
Peningkatan kadar cAMP yang besar-besaran mencapai 100 kali normal
menyebabkan aktivasi PKA, yang membuka kanal CFTR. Pembukaan kanal
CFTR selanjutnya menyebabkan effluks/pengeluaran ion Cl, yang pada
gilirannya menyebabkan sekresi ion Na+ K+, HCO3 dan air ke dalam lumen
usus, yang bertanggung jawab terhadap gejala diare yang parah pada pasien
kolera.

Hal yang serupa terjadi pada pasien batuk rejan akibat bakteri Bordetella
pertussis. Pertussis toxin (toksin penyebab batuk rejan) dapat mengikat
protein Giα, schingga menyebabkan GDP tidak bisa berubah menjadi GTP.
Akibatnya, jalur penghambatan adenilat siklase disekat dan efeknya adalah
perpanyangan aktivitas adenilat siklase yang bertanggungjawad terhadap
refleks batuk yang terus-menerus.

Apa peran cAMP dalam sistem biologis? Sikik AMP bekerja


mengaktivitasi Protein Kinase A (PKA) atau A-kinase yang selanjutnya akan
memfosforilasi banyak jenis protein dan mengaktifkannya. Disebut protein
kinase A karena aktivasinya diregulasi oleh adanya cAMP. PKA berperan
dalam regulasi enzim metabolisme, misalnya metabolisme glukosa, dengan
menstimulasi peruraian glikogen dan menghambat sintesis glikogen sehingea
meningkatkan, memaksimalkan ketersediaan glukosa dalam sel.

Pada otot polos, cAMP akan mengaktifkan PKA yang selanjutnya


memfosforilasi myosin light chain kinase (MLCK). MLCK yang
terfosforilasi menjadi berkurang afinitasnya terhadap kompleks Ca-
Calmodulin, sehingga aktivitasnya juga berkurang dalam memfosforilasi
myosin. Dengan demikian, ikatan aktin-myosin-P pada otot polos akan
berkurang sehingga tidak terjadi kontraksi otot. Karena itu, obat-obat yang

7
dapat meningkatkan ketersediaan cAMP dapat menyebabkan relaksasi otot,
seperti dijumpai pada obat-obat golongan agonis beta adrenergik.

Efek cAMP tidak boleh terlalu lama. Karenanya, sel harus mampu
mendefosforilasi protein yang telah terfosforilasi oleh A-kinase, Bagaimana
caranya? Caranya adalah dengan mendefosforilasi serine dan threonine yang
terfosforilasi. Proses ini dikatalisis oleh serine/threonine phosphoprotein
Phosphatase.

Ada empat kelompok protein phosphatase, yaitu I, IIA, IIB, dan IIC.

1) Protein phosphatase-I: berespons terhadap cAMP.

2) Protein phosphatase-IIA: tidak spesifik, mendefosforilasi protein-protein.


yang difosforilasi oleh A-kinase, berperan dalam regulasi cell cycle.

3) Protein phosphatase-IIB: disebut calcineurin→ teraktivasi oleh Ca, dan


terdapat dalam jumlah besar di otak.

4) Protein phosphatase-lIC: tidak begitu berperan.

2.Aktivasi GPCR Melalui Jalur Fosfolipase

Reseptor tergandeng protein G akan teraktivasi melalui jalur fosfolipase


jika tergandeng dengan protein Gq. Perstiwa molekuler yang mengawali
aktivasi melalui jalur ini sampai terbentuknya subunit α yang aktif sama
dengan jalur adenilat siklase, tetapi pada jalur ini, subunit α yang aktif akan
mengaktivasi enzim fosfolipase C

Enzim fosfolitpase C selanjutnya bekerja menguraikan fosfatidil inositol


bisfosfat (PIP2), suatu senyawa fosfolipid di membran sel, menjadi inositol
trifosfat (IP2) dan diasil gliserol (DAG). Keduanya berperan dalam transduksi
signal sebagai second messenger. Selanjutnya, IP3 akan berikatan dengan
reseptor spesifik pada retikulum endoplasmik (RE) yang terkait kanal Ca
memicu pelepasan Ca dant RE ke sitosol schingga meningkatkan kadar Ca

8
intraseluler. Aktivasi GPCR melalus jalur fosfolipase C dapat dilihat pada
Gambar 4

Gambar 4. Skema aktivasi GPCR melalui jalur fosfolipase (PLC). Dari jalur ini dihasilkan
IP3 yang memicu pelepasan ion Ca dari tempat penyimpanan di retikulum
endosplasma dan DAG yang mengaktifkan protein kinasi C (PKC)

Dari aktivasi reseptor melalui jalur fosfolipase, diperoleh beberapa


second messenger, yaitu DAG, IP3, dan Ca. Apa perannya masing-masing-
masing? DAG memiliki dua peran dalam signaling, yaitu dapat diurai
menghasilkan asam arakidonat dan bersama kalsium mengaktivasi protein
kinase C (C-kinase atau PKC), PKC sendiri disebut demikian karena
aktivitasnya tergantung pada kalsium PKC bekerja dengan cara
memfosfirilasi) bagian serine dan threonine pada banyak jenis protein target,
tergantung pada tipe selnya. Aktivitas PKC jugs dapat meningkatkan
transkripsi gen tertentu, sedangkun Ca sangat penting untuk kontraksi otot,
pelepasan neurotransmiter, dan eksositosis seperti yang telah diuraikan pada
bab tentang kanal ion Ca.

B. RESEPTOR ASETILKOLIN MUSKARINIK

Reseptor ini pertama kali dikenal karena kemampuannya mengikat


muskarin, suatu senyawa yang berasal dari jamur Amanita muscaria.

9
Reseptor ini terdistribusi luas di seluruh bagian tubuh dan mendukung
berbagai fungsi vital, baik di otak maupun sistem saraf otonom, utamanya
saraf parasimpatis, Aktivasi reseptor ini pada saraf perifer menyebahkan
berkurangnya frekuensi denyut jantung, relaksasi pembuluh darah, konstriksi
saluran pernapasan, peningkatan sekresi dari kelenjar keringat dan lakrimasi,
dan konstriksi pada otot spinkter bola mata dan otot siliar mata. Di otak,
reseptor muskarinik dijumpai pada cerebral cortex, striatum, hippocampus,
thalamus dan brainstem, dan berpartisipasi dalam banyak fungsi penting
seperti belajar, ingatan, dan kontrol postur tubuh.

Reseptor asetilkolin muskarinik terdiri atas lima subtipe yang semuanya


tergandeng dengan protein G, yaitu reseptor M1, M2, M3, M4, M5. Keberadaan
subtipe reseptor muskarinik ini pertama kali didukung oleh studi farmakologi
pada awal tahun 1980-an, ketika ditemukannya suatu antagonis muskarinik,
yaitu pirenzepin, yang mengikat secara selektif reseptor M 1 . Sejak itu para
ahli memastikan keberadaan lima subtipe tersebut dengan penemuan berbagai
ligan selektif. Reseptor M1, M3, dan M5 diketahui teryandeng dengan protein
Gq, sedangkan reseptor M2, dan M4, terhubung dengan protein Gi dandengan
suatu kanal ion, seperti terlihat pada Gambar 5

Gambar 5.Model kolinergik sinaps. Terdapat lima subtipe reseptor muskarinik, di mana M 1,
M3, dan M5 tergandeng dengan Gq, sedangkan M2 dan M4 tergandeng dengan Gi

10
dan kanal ion. Amati bahwa proses re-uptake oleh sel dilakukan terhadap kalin

sebagai hasil degradasi asetilkolin.

Respons yang timbul dari aktivasi reseptor muskarinik oleh asetilkolin


dapat berbeda-beda, tergantung pada subtipe reseptor dan lokasinya. Di
bawah ini disajikan tabel tentang ringkasan distribusi, macam protein G dam
respons intraseluler yang terjadi pada setiap subtipe reseptor (Tabel 1).

Tabel 1. Ringkasan tentang distribusi, Transduksi Signal, dan Respons


Seluler Reseptor Muskarinik

Reseptor asetilkolin Muskarinik

M1 M2 M3 M4 M5

Distribusi Cortex, Jantung, Kalenjer Neostratum Substantia


hippoca CNS, otot eksokrin, (otak) nigra
mpus, polos saluran (otak),
ganglia cerna, otot mata
simpatik polos
pernapasa
n, mata

G protein Gq Gi Gq Gi Gq
terkait

Respons Aktivasi Inhibisi Aktivasi Inhibisi Aktivasi


intraseluler PLC adenilat PLC adenilat PLC
siklase siklase

Peranan Berperan Mengatur Mengatur Mengatur Mengatur


dalam dalam denyut motilitas analgesia, pelepasan
sistem fungsi jantung, GI, sekresi mengatur dopamin,
biologis kognitif suhu kalenjar pelepasan regulasi
dan tubuh, (salivasi, dopamin dilatasi
memori kontrol lakrimasi), pada pembuluh
gerakan kontraksi

11
analgesia otot polos skizofrenia darah otak
bronkus

1. Reseptor Muskarinik M1,

Reseptor M1, merupakan subtipe reseptor mukarinik yang paling banyak


dijumpai di otak dan berperan dalam fungsi kognitif dan memori. Blokade
pada reseptor M1, dapat menyebabkan efek-efek penurunan kemampuan
kognitif dan memori. Penelitian menunjukkan bahwa berkurangnya reseptor
M1 dapat memperparah penurunan fungsi kognitif dan menyebabkan patologi
menyerupai Alzheimer. Adanya polimorfisme genetik reseptor ini juga
dilaporkan terkait erat dengan kerentanan terjadinya penyakit Alzheimer.
Degenerasi saraf kolinergik pada penderita Alzheimer menyebabkan
terbentuknya β-amyloids yang mengganggu kopling reseptor M 1. Gangguan
ini selanjutnya akan menghambat transduksi signal yang akan menurunkan
precursor protein APP (amyloid precursor protein) dan meningkatkan
pembentukan β-amyloids yang juga dapat menekan sintesis dan pelepasan
asetilkolin. Kondisi ini seperti “lingkaran setan” karena akan menyebabkan
defisiensi kolinergik lebih jauh. Pemberian agonis selektif pada reseptor M 1,
belakangan ini sedang dikembangkan sebagai target terapi Pengobatan
Alzheimer. Beberapa agonis reseptor M1 seperti AF102B (cevimelin HCL),
AF150(S), dan AF267B telah terbukti memiliki efek menngkatkan
kemampuan kognitif dengan cara menurunkan β-amyloid dan menurunkan
fosforilasi protein tau. Diketahui bahwa selam defisinsi kolinergik, Patologi
penyakit Alzheimer juga dikarakterisasi dengan ditemukannys plak β-
amyloid pada saraf dan adanya neurofibrillary tangles yang berasal dan
akumulasi protein tau. Agonis lain, yaitu xanomelin dan talsaklidin masih
diteliti penggunaannya sebagai peningkat fungsi kognitif pada pasien
Alzheimer. Talsaklidin dilaporkan dapat menurunkan level β-amyloid pady
cairan serebrospinal pasien Alzheimer, sedangkan xanomelin telah memasuki
tahap uji klinik.

12
2. Reseptor Muskarinik M2,

Reseptor muskarinik M2, banyak dijumpai pada otot jantung. Aktivasi


reseptor M2 pada sel otot jantung menyebabkan penurunan kekuatan
kontraksi maupun frekuensi denyut jantung yang merupakan aksi saraf
parasimpatik. Bagaimana mekanismenya? Reseptor M2 merupakan reseptor
yang tergandeng dengan protein Gi dan kanal ion K+. Jika asetilkolin
berikatan dengan reseptor ini, subunit Giα akan menghambat adenilat siklase,
sementara kompleks subunit βƴ beraksi langsung membuka kanal ion K+ pada
membran sel otot schingga menyebabkan terjadinya hiperpolarisasi membran.
Hiperpolarisasi ini akan mengurangi penghantaran signal sehingga
mengurangi frekuensi kontraksi otot jantung (efek kronotropik negatif),
Hiperpolarisasi juga menghambat pembukaan kanal Ca. Berkurangnya
pemasukan Ca intrasel akibat penghambatan kanal Ca menyebabkan
kekuatan kontraksi otot jantung berkurang. Di sisi lain, penurunan kadar
cAMP pada sel otot jantung juga menurunkan kekuatan kontraksi otot (efek
inotropik negatif). Mekanismenya dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Aksi asetilkolin pada reseptor asetilkolin muskarinik M 2 di otot jantung, subunit
Giα akan menghambat adenilat siklase, sedangkan subunit βƴ akan membuka
kanal ion K, menyebabkan hiperpolarisasi yang akan menyebabkan berkurangnya
frekuensi denyut jantung. Hiperpolarisasi juga dapat menghambat infuks Ca
diperlukan untuk kontraksi otot. Bersamaan dengan berkurangnya cAMP,
Keadaan ini menyebabkan berkurangnya kekuatan kontraksi otot jantung

13
Reseptor M2 juga dijumpai pada otot polos kandung kemih secara
dominan, bersama reseptor M3 Namun, menank bahwa peranan reseptor M2
dalam kontraksi kandung kemih masih belum jelas walaupun jumlahnya jauh
lebih banyak daripada M3. Kontraksi kandung kemih lebih banyak
diperantarai oleh aksi reseptor M3 yang melibatkan jalur fosfolipase dan
peranan kalsium intrasel. Diduga peran reseptor M 2 pada kontraksi kandung
kemih adalah secara tidak langsung dengan cara membalik/melawan relaksasi
yang disebabkan oleh stimulasi reseptor beta adrenergik melalui peningkatan
cAMP.

3. Reseptor Muskarinik M3

Reseptor M3 merupakan reseptor muskarinik yang paling luas


distribusinya dalam berbagai organ dalam sistem biologis, terutama pada otot
polos berbagai organ dan pada kelenjar-kelenjar eksokrin. Reseptor ini
memperantarai berbagai efek biologis seperti kontraksi bronkus, kontraksi
kandung kemih, kontraksi saluran cerna, salivasi dan lakrimasi, serta
kontraksi otot spinkter bola mata, dan lain-lain. Aktivasi reseptor M3 akan
mengaktifkan sistem fosfolipase C yang akan memobilisasi kalsium (Ca)
sehingga berperan dalam kontraksi otot.

Beberapa gangguan patologis disebabkan oleh kontraksi yang


diperantarai oleh aksi M3, antara lain pada asma, penyakit paru obstruksi
kronis (PPOK), dan gangguan overactive bladder (OAB). Karena itu,
reseptor M3 cukup banyak menjadi target aksi obat. Ipratropium bromida dan
tiotropium bromida adalah antagonis reseptor M3 yang banyak digunakan
secara Klinis sebagai bronkodilator pada penyakit asma dan PPOK.

Untuk overactive bladder (yang disebabkan oleh kontraksi kandung


kemih berlebihan), obat-obat yang dikembangkan adalah antagonis
muskarinik, yaitu trospium, tolterodin (tidak spesifik, mengikat M 2 dan M3),
solifenasin, oksibutinin (relatif selektif terhadap M3), dan darifenasin (sangat
Selektif terhadap reseptor M3).

14
Reseptor M3 juga menjadi target aksi beberapa agonis, antara lain
pilokarpin. Pilokarpin bersifat tidak selektif. Obat ini digunakan secara Klinis
pada penyakit glaukoma dan gangguan xerostomia, yaitu kekeringan mulut
atau mata akibat berkurangnya produksi saliva dan air mata yang dapat terjadi
setelah terapi radiasi pada kanker di sekitar kepala dan leher atau pada
Sjögren’s syndrome (suatu penyakit autoimun yang menyerang kelenjar-
kelenjar eksokrin yang memproduksi saliva dan air mata)

4. Reseptor Muskarinik M4 dan M5

Meskipun transduksi signal dan distribusinya telah banyak dipelajari,


Peranan reseptor muskarinik M4 dan M5 pada sistem biologix belum banyak
diketahui dengan luas, demikian pula obat-obat yang beraksi padanya.
Sebuah studi menunjukkan peran reseptor M4 dalam meregulasi
keseimbangan transmisi kolinergik dan dopaminergik, di mana kurangnya
aktivitas muskarinik M4 akan menyebabkan aktivitas dopaminergik yang
berlebihan. Demikian pula reseptor M5, dilaporkan merupakan subtipe
reseptor muskarinik yang berkontribusi pada pelepasan dopamin pada saraf
dopanminergik di ventral tegmental area di otak tengah (midbrain)

Selain obat-obat yang bersifat selektif pada subtipe reseptor tertentu


cukup banyak obat-obat antagonis maupun agonis reseptor muskarinik yang
bersifat tidak selektif, seperti skopolamin, atropin. dan benztropin.
Skopolamin diduga beraksi reseptor M1 dan dapat digunakan untuk mencegah
mual muntah pada mabuk penjalanan karena saat ini jarang digunakan secara
klinis karena blokade pada reseptor M1 berlebihan dapat menyebabkan
gangguan kognitif. Atropin digunakan untuk menghasilkan efek midriasis
mata, sedangkan benztropin banyak digunakan untuk pengobatan penyakit
Parkinson.

C. RESEPTOR ADRENERGIK

Reseptor adrenergik merupakan reseptor yang memperantarai berbagai


aksi saraf simpatik (flight, fright or fight responses), meliputi pelepasan

15
energi dari glukosa, denyut jantung, dilatasi saluran pernapasan, dan
pengaturan sirkulasi perifer. Selama kondisi normal (tanpa stres), reseptor
adrenergik berperan dalam fungsi berbagai sistem dalam tubuh. Reseptor ini
merupakan reseptor bagi neurotransmiter golongan katekolamin yaitu
adrenalin/epinefrin dan noradrenalin/norepinefrin. Epinefrin terutama
menstimulasi reseptor β adrenergik, sedangkan norepinefrin menstimulasi
terutama reseptor α adrenergik.

Epinefrin dan norepinefrin adalah hormon yang disekresikan oleh


glandula adrenal dan disintesis dari prekursiornya tirosin dengan bantuan
beberapa enzim, yaitu tirosin hidroksilase, dopa dekarboksilase, dan
dopamine β hidroksilase. Jalur sintesis dan degradasi norepinefrin dapat
dilihat pada skema berikut. (Gambar 7)

Gambar 7. Skema jalur sintesis dan degradasi neurotransmiter noradrenalin/norepinefrin

Dari Gambar 7 di atas, dapat dilihat beberapa enzim yang terlibat dalam
proses sintesis dan degradasi noradrenalin. Dari enzim-enzim ini, yang
banyak menjadi target aksi obat adalah:

1. Tirosin hidroksilase (TH)


Obat-obat seperti kafein, nikotin, morfin dapat meng-up-regulasi
ekspresi TH sehingga meningkatkan aktivitasnya.
2. Monoamin oksidase (MAO)

16
Obat antidepresan banyak yang beraksi menghambat MAO inhibitor
seperti dijelaskan pada bab enzim sebagai target aksi obat. Contoh :
tranilsipromin, selegilin.
3. Catechol-O-methyl transferase (COMT)
Inhibitor enzim COMT menyebabkan penghambatan degradasi
noradrenalin/adrenalin sehingga meningkatkan kadar neurotransmiter
tersebut. Contohnya adalah tolcapon dan entacapon yang digunakan
untuk pengobatan penyakit Parkinson.

Obat-obat dapat beraksi pada jalur sintesis dan degradasi noradrenalin


seperti digambarkan pada Gambar 8

Gambar 8 Gambaran skematik sinaps adrenergik beserta tempat aksi obat-obatnya, baik pada
jalur sintesis maupun degradasinya (diadaptasi dari Rang, 1999). Inhibitor MAO
meningkatkan ketersediaan noradrenalin (NA) dengan menghambat degranasi
NA. Reserpin menghambat uptake NA ke dalam vesikelnya sehingga
mengurangi jumlah NA yang dapat dijelaskan. Metiltirosin menghambat sintesis
NA dengan menjadi substrat palsu, demikian pula metildopa. Obat lain bekerja
menghambat reuptake NA ke presinaptik atau uptake NA ke pascasinaptik
seperti antidepresan trisiklik

Adrenalin dan noradrenalin bekerja menghasilkan berbagai efek


biologis/farmakologis melalui aksinya pada reseptornya, yaitu reseptor
adrenergik. Reseptor adrenergik terbagi menjadi dua subtipe, yaitu α dan β
yang semuanya merupakan rseptor metabotropik. Masing-masing subtipe ini

17
masih terbagi lagi menjadi α1 dan α2 serta β1, β2, dan β3. Uniknya, mereka
terikat pada jenis protein G yang berbeda-beda sehingga menyebabkan
respons seluler yang berbeda pula (lihat tabel 7). Reseptor α 1 misalnya, yang
terikat dengan Gq, jika teraktivasi akan memicu signal transduksi melalui
fosfolipase yang ada gilirannya memobilisasi Ca dari retikulum endosplasmik
dan mengaktifkan PKC; sedangkan reseptor α2, yang terikat dengan Gi, jika
teraktivasi akan menyebabkan penghambatan adrenilat siklase.

Tabel 2. Ringkasan tentang Distribusi, Transduksi Signal, dan Respons Seluler Reseptor
Adrenergik.

α1 α2 β1 β1 β1

Distribusi Otot Polos Ujung Terutama Otot polos Jaringan


pada saraf, pada pada adiposit
berbagai Pembuluh jantung, berbagai
organ,liver, darah, ujung organ,
kalenjar ginjal, otak saraf, liver, sel
saliva Kalenjar mast, otot
saliva rangka

G-protein Gq Gi Gs Gs Gs,Gi
Copled

Urutan Epinefrin = Epinefrin = Epinefrin > Epinefrin > Epinefrin =


Kekuatan norepinefri norepinefri norepinefri norepinefri norepinefri
n n n n n

Tranduks Terganden Menghamb Mengaktiv Mengaktiv Mengaktiva


i Sinyal g pada at adenilat asi adenilat asi si adenilat
hidrolisis siklase, siklase, adenilatsikl siklase,
inosotil mengaktiva aktivasi ase, aktivasi
lipid, si kanal K, PKA aktivasi PKA;
mengaktiv menghamb aktivasi PKA menghamb
asi PKC at kanal Ca kanal Ca at adenilat

18
siklase

Respons - Vasokontra - - Metabolism


seluler Eksitabilita ksi Meningkat Bronkorela e energi,
s neuron kan ksasi thermogeni
kekuatan s
- -
dan
Vasokonstr vasodilatasi
kecepatan
aksi
denyut -Tremor
- jantung
-
Bronkokon
-Lipolisis Glikogenas
striksi
i
-
-
Glikogenol
Penghamba
isis
tan
pelepasan
histamin

1. Reseptor α1 Adrenergik
Reseptor α1 kini diketahui memiliki tiga subtipe yaitu α1A, α1B, dan α1D.
Reseptor α1A terutama banyak dijumpai otot polos pembuluh darah,saluran
vas deferens, dan saluran kemih. Reseptor α1B dijumpai di hati dan limpa.
Reseptor α1D, berlokasi di aorta dan arteri. Signaling-nya semua melalui jalur
fosfolipase yang melibatkan mobillisasi kalsium. Aktivasi reseptor α1 antara
lain menyebabkan vasokontriksi. Stimulasi saraf simpatik yang berlebihan
melalui reseptor ini dapat menyebabkan keadaan patologis seperti hipertensi
sehingga reseptor α1 menjadi target aksi obat-obat antihipertensi, seperti
prazosin, doksazosin, dan terazosin yang selektif mengantagonis reseptor α1.
Di sisi lain, vasokontriksi pada pembuluh darah perifer dihidung menjadi
sasaran agonis reseptor α1 seperti fenilefrin dan fenilpropanilamin dalam
aksinya sebagai dekongestan nasal. Efedrin dan pseudoefedrin kerap

19
digunakan sebagai dekongestan, tetapi ia tidak bersifat selektif terhadap
reseptor α1. Karena itu, walaupun sasarannya adalah reseptor α1 yang berada
pada pembuluh darah perifer membran efek sistemik berupa peningkatan
tekanan darah sehingga perlu hati-hati jika digunakan oleh penderita
hipertensi.
2. Reseptor α2 Adrenergik
Reseptor α2 adrenergik terdiri atas tigasubtipe, yaitu α2A, α2B, dan α2C,
tetapi karena belum adanya ligan yang spesifik terhadap subtipe reseptor-
reseptor ini, fungsi biologis spesifik ketiga subtipe reseptor ini belum banyak
diketahui. Reseptor α2 berlokasi pada saraf presinaptik maupun pascasinaptik.
Transduksi signal reseptor α2 adalah melalui ikatannya dengan protein Gi
yang menyebabkan penghambatan adenilat siklase. Reseptor α2 presinaptik
(disebut juga autoreseptor) berperan dalam pengaturan pelepasan
norepinefrin dari ujung saraf dan tampaknya beraksi sebagai bagian dari
mekanisme umpan balik. Jika sudah banyak norepinefrin yang dilepaskan,
sebagian akan beraksi pada autoreseptornya, menghambat pelepasan
norepinefrin lebih lanjut. Mekanisme penghambatan ini diduga melalui
aksinya pada reseptor yang terhubung Gi dan kanal ion K. Aktivasi reseptor
α2 oleh norepinefrin menyebabkan pembukaan kanal K oleh G Protein sub
unit βὙ sehingga menyebabkan hiperpolarisasi membran yang menghambat
influks Ca yang pada gilirannya menghambat pelepasan neurotransmiter.
Contoh agonis reseptor α2 presinaptik adalah klonidin yang dipakai secara
klinis sebagai obat antihipertensi. Subtipe reseptor α2 yang berperan dominan
sebagai autoreseptor adalah subtipe α2A dan α2C , sedangkan α2B tampaknya
lebih banyak dijumpai pada pasca sinaptik.
Contoh antagonis selektif bagi reseptor α2 adalah yohimbin yang
digunakan secara luas untuk mengatasi gangguan disfungsi ereksi pada pria.
Ereksi penil pada pria merupakan peristiwa neurovaskuler yang melibatkan
hemodinamik didalam corpora cavernosa yang diregulasi oleh sistem saraf
cukup kompleks, antara lain saraf adrenergik, kolinergik, dan nonadrenergik
nonkolinergik (NANC). Diketahui bahwa untuk terjadinya ereksi penil,

20
diperlukan relaksasi otot trabecular pada corpora cavesnosa ddan vasodilatasi
pembuluh darah disekitarnya. Yohimbin bekerja pada reseptor α2 baik pada
sentral maupun pada perifer. Pada reseptor α2 yang ada pada sistem saraf
pusat, yohimbin memicu pelepasan neorepinefrin yang dapat meningkatkan
hasrat seksual, sedangkan pada reseptor α2 yang ada di otoplos corpora
cavernosa, yehimbin menghambat reseptor α2 sehingga menyebabkan
vasodilatasi pembuluh darah sekitarnya. Reseptor α2 pascasinaptik juga
memiliki peran dalam kontraksi pembuluh darah yang diinduksi oleh
katekolamin, namun peranannya relatif lebih kecil daripada reseptor α1.
3. Reseptor β1 adrenergik
Reseptor β1 merupakan reseptor adrenergik utama di jantung dan
transduksi signalnya melalui ikatan dengan protein Gs yang mengaktifkan
jalur adenilat siklase. Di jantung, aktivitas resptor β1 menyebabkan
peningkatan kadar cAMP, menstimulasi PKA untuk memfosforsilasi berbagai
protein regulator Ca dan beberapa protein milofilamen (seperti troponin),
menyebabkan efek peningkatan kontraksi otot jantung dan frekuensi denyut
jantung (efek kronotropik dan iontropik positif). Agonis selektif reseptor β1
seperti norepinerfin dan dubotamin digunakan untuk memacu kerja jantung
pada kondisi syok atau penurunan tekanan darah secara drastis, misalnya
pada pasien syok anafilaksis. Sementara itu, antagonis selektifnya seperti
atenolol, alprenolol, metoprolol dan asebutolol banyak dipakai sebagai obat
antihipertensi. Propanolol, antihipertensi yang cukup banyak dipakai, bersifat
tidak selektif, ia bisa mengikat reseptor β1 maupun β2.
4. Reseptor β2 Adrenergik
Reseptor ini terutama dijumpai di sepanjang saluran pernapasan, otot
poos bronkus dan di liver. Sama dengan reseptor β1 , transduksi signal
reseptor ini melalui ikatannya dengan protein Gs yang memicu aktivitas
adenilat siklase. Aktivasi reseptor ini pada otot polos bronkus meningkatkan
adenilat siklase. Aktivasi reseptor ini pada otot polos bronkus meningkatkan
level cAMP, yang mengaktifkan PKA dan menghambat myosine light chain
kinase ,yang ada pada gilirannya menghambat interaksi aktin-myosin

21
sehingga menyebabkan efek bronkodilatasi. Meskipun pengaturan saluran
pernapasan tidak semata-mata oleh persarafan adrenergik, regulasi adrenergik
ini memiliki kontribusi yang besar sehingga menjadi target aksi obat. Pada
kondisi patologis dimana saluran pernapasan mengalami kontraksi seperti
pada penyakit asma dan PPOK, agonis reseptor β2 menjadi salah satu lini
pertama pengobatan, contohnya adalah salbutamol dan terbutalin (aksi
pendek) salmeterol dan formeterol (yang memiliki aksi panjang). Adrenalin
sendiri sebagai agonis tidak selektif juga kerap digunakan pada keadaan
darurat yang memerlukan efek bronkodilatasi yang cepat dan kuat.
Di liver, aktivasi reseptor β2 menstimulasi peristiwa glikogenolisis
(peruraian glikogen menajdi glukosa). Peningkatan cAMP akibat aktivasi
protein Gs akan memicu PKA untuk memfosforilasi protein yang terlibat
dalam glikogenolisis, seperti glikogen fosforilase kinase dan glikogen
fosforilase.
4. Reseptor β3 Adrenergik
Reseptor β3 adrenergik merupakan reseptor adrenergik yang terutama
banyak dijumpai pada jaringan adipose/lemak. Hipotesis adanya reseptor β3
ini berawal dari adanya fakta bahwa pada jaringan adipose, dijumpai efek-
efek lipolisis dan konsumsi oksigen yang tidak diperantarai oleh reseptor β
adrenergik yang sudah diketahui (β1 dan β2), sampai pada akhirnya grup
Emorine dkk. Pada tahun 1989 berhasil dapatmeningkatkan ekspresi protein
“uncoupling protein (UCP)” yang berperan dalam proses termogenesis.
Selain itu, aktivasi reseptor β3 juga berperan penting dalam proses lipolisis
pada sel adiposit. Adanya polimorfisme pada reseptor β3, tepatnya pada allele
W64R, dilaporkan terkait dengan kejadian obesitas, terutama pada pria.
Karena itu reseptor ini sekarang dikembangkan sebagai salah satu target
pengobatan obesitas.
Selain di jaringn adipose, diketahui bahwa reseptor β3 adrenergik jugs
dijumpai pada berbagai jaringan, seperti usus halus, usus besar, lambung,
otak, kandung kemih, uretra, dan pada otot atrial dan ventrikel jantung. Pada
dekade terakhir, karakterisasi reseptor β3 pada sistem kardiovasikuler telah

22
mengubah pandangan terhadap pengaturan sistem saraf simpatik pada sistem
kardiovaskuler. Di jantung, stimulasi reseptor β3 menghasilkan efek yang
berlanan dengan efek yang dihasilkan oleh aktivasi reseptor β1 maupun β2 ,
yakni efek inotropik negatif yang disebabkan oleh stimulasi reseptor β3 ini
adalah berperan sebagai “katup penyelamat” ketika ada stimulasi adrenergik
yang berlebihan.
Pada pembuluh darah, semua tipe reseptor β menyebabkan vasodilatasi.
Karena reseptor β3 teraktivasi pada konsentrasi katekolamin yang lebih tinggi
daripada reseptor β1 dan β2 , ia dapat berperan sebagai cadangan reseptor.
Reseptor β3 ternyata terekspresi berlebhan pada kondisi gagal jantung dan
hipertensi sehingga dapat menjadi target terapi baru untuk gangguan
kardiovaskuler.
Transduksi signal reseptor β3 sama dengan reseptor beta lainnya, yaitu
melalui ikatan Gs yang mengaktifkan adenilat siklase dan menghasilkan
cAMP. Pada otot atrial, aktivasi reseptor β3 memicu fosforilasi kanal Ca dan
meningkatkan kadar Ca intraseluler sehingga memicu kontraksi, sedangkan
pada sel adipose, reseptor ini memperantarai peristiwa lipolisis dan
termogenesis.
Meskipun demikian, aktivasi reseptor β3 pada otot ventrikular
menggunakan jalur transduksi signal yang berbeda, yaitu melalui ikatan
dengan protein G dan Gi yang menyebabkan turunnya kadar cAMP sehingga
menyebabkan relaksasi otot. Selain itu, aktivasi reseptor β3 juga akan
menghasilkan oksida nitrat (NO) melalui aktivasi NO synthase (NOS) pada
sel endotelial maupun pada sel oto ventrikular. NO akan menghasilkan cGMP
yang pada gilirannya juga memberikan efek menurunkan kekuatan kontraksi.
Keberadaan reseptor β3 pada saluran uretracukup menarik juga, yakni
bahwa aktivasi reseptor ini mengatur relaksasi kandung kemih dan uretra.
Jika pada reseptor muskarinik M3 telah dikembangkan antagonis seperti
darifenacin dan solifenacin, untuk reseptor β3 saat ini telah dikembangkan
agonis selektif untuk mengatasi gangguan over-active bladder, yaitu

23
mirabegron dengan nama paten Myrbetriq yang disetujui penggunaannya
oleh FDA pada bulan Juni 2012.
Banyak obat yang bekerja pada reseptor adrenergik, baik sebagai agonis
maupun antagonis, selektif maupun nonselektif. Pada tabel 3 ditampilkan
obat-obat yang bekerja pada reseptor tersebut beserta aksi formakologinya.
Tabel 3. Obat-obat yang Bekerja pada Reseptor Adrenergik Beserta Aksi Farmakologinya.

Agonis Aksi Antagonis Aksi Farmakologi


Farmakologi

α1 Efedrin, Vasokontraksi Prazosin Mengurangi


pseudoefedrin, perifer, sebagai Vasokontraksi,
fenilefrin dekongestan sebagai
nasal antihipertensi

α2 Klonidin Menghambat Yohimbin Vasodilatasi


pelepasan perifer, untuk
norepinefrin, mengatasi
antihipertensi gangguan ereksi
sentral pada pria

β1 Norepinefrin, Vasokontraksi, Propanolol, Vasodilatasi,


Xamoteral, untuk mengatasi atenolol, sebagai
denopamin syok alprenolon, antihipertensi
labetolol

β2 Salbutamol, Bronkorelaksasi - -
salmeterol, menghambat
formoterol, pelepasan
terbutalin histamin dari sel
mast

β3 Oktopamin Lipolisis sel - -


Mirabegron adiposit, untuk
mengontrol
berat badan

24
merelaksasi otot
detrusor pada
kandung kemih

D. RESEPTOR DOPAMIN

Dopamin adalah senyawa katekolamin yang penting pada otak mamalia


yang mengontrol berbagai fungsi, meliputi aktivitas lokomotor, kognisi,
emosi, reunforcement positif dan regulasi endokrin. Di perifer, dopamin
turut membantu fungsi kardiovaskuler, sekresi hormon, tonus pembal darah,
fungsi renal dan motilitas gastrointestinal. Sistem dopaminergik menarik
perhatian sejak lebih dari 40 tahun yang lalu karena banyak terlibat dalam
patofisiologi berbagai penyakit seperti penyakit Parkinson skizofrenia, dan
hiperprolaktinemia.
Laporan pertama keberadaan reseptor dopamin pada sistem saraf pusat
datang pada tahun 1972 dari suatu studi biokimia yang menunjukkan bahwa
dopamin dapat menstimulasi adenilat siklase. Sejak itu, reseptor dopamin
mulai banyak diteliti. Pada awalnya, ditemukan dua subtipe reseptor
dopamin, yaitu reseptor D1 dan D2. Selanjutnya, setelah studi tentang
kloning gen diperkenalkan, ditemukan tiga lagi subtipe reseptor, yaitu
reseptor D4, dan D5. Reseptor subtipe ketiga ini kemudian digolongkan
berdasar kemiripannya terhadap dua jenis reseptor yang lebih dulu ditemukan
yaitu keluarga reseptor DI dan D2. Yang termasuk keluarga D1 adalah
reseptor D1 dan D5, sedangkan yang digolongkan keluarga reseptor D2
adalah res0tor D2, D3, dan D4. Semuanya merupakan reseptor metabotropik.
Setiap reseptor dopamin memiliki struktur yang sama dan memediasi
efeknya melalui GPCR (G-Protein Coupled Receptor). Semua reseptor
dopamin tersusun dari sekitar 400 asam amino. Reseptor dopamin memiliki
ujung N terminal ekstraseluler dan 7 protein a-beliks yang masuk oleh loop
protein intraseluler dan ekstraseluler. Ujung N terminal ekstraseluler dan loop
protein ekstiraselider kedua merupakan tempat yang mudah mengalami

25
glikósilasi. Ujung C terminal intraseluler mungkin mengikat gugus palmitoil
yang dapat membentuk hubungan ke membran.
Reseptor dopamin yang termasuk keluarga D1 memiliki protein loop.
Protein intraseluler ketiga yang pendek dan ekor ujung C terminal
intraseluler yang panjang, sedangkan keluarga D2 memiliki protein lingkaran
ketiga intraseluler ketiga yang panjang dan ekor ujung C terminal intraseluler
yang pendek. Hal ini yang tersebut membedakan struktur keluarga D1 dan
D2, juga membedakan interaksi kedua keluarga tersebut dengan protein G.
Tipe reseptor dopamin yang berbeda menunjukan profil farmakologi, lokasi,
dan kerja yang berbeda.
Reseptor dopamin interaksi interaksi dengan protein. Salah satu tipe
protein yang dapat dihubungkan dengan reseptor dopamin disebut Do-
pamine Receptor Interacting Proteins (DRIPS). Salah satu contohnya adalah
neuron Ca sensor-1 (NCS-1) yang berinteraksi dengan D2. Dalam kasus ini,
protein yang berinteraksi dapat memediasi efek Ca2+ pada reseptor D2.
Interaksi juga terjadi dengan jenis reseptor lain, salah satunya kanal ion
aktivasi dan GPCR membentuk homodimer atau heterodimer.
Pada Tabel 4 disajikan subtipe reseptor dopamin, distribusi, transduksi sinyal,
dan beberapa contoh agonis dan antagonisnya.
Tabel 4. Ringkasan tentang Distribusi, Transduksi Signal, dan Respons Seluler Reseptor
Dopamin (Missale, et al., 1998)

Keluarga Reseptor Keluarga Reseptor D2


D1

D1 D5 D2 D3 D4

Distribusi Korteks, Basal Korteks, Sistem Sistem


sistem gangglia, sistem limbik, limbik,
limbik, hipotalam limbik, basal basal
ganglia, us ganglia ganglia ganglia
basal, basal,
hipotala glandula

26
mus pituitari

Protein G Gs Gs Gi Gi Gi

Tranduks Aktivasi Aktivasi Penghambat Penghamb Penghamb


i signal adenilat adenilat adenilat at adenilat at adenilat
siklase siklase siklase siklase siklase

Agonis Apomor Apomorfi Apomorfin Apomorfin Apomorfin


dan fin n +++ ++ +++
kekuatan +/- + Bromokripti Bromokrip Bromokrip
nya bromokr bromokrip n +++ tin +++ tin +
iptin + tin + dopamin + dopamin + dopamin +
dopamin dopamin + + +
+/- SKP-
SKP- 38393 ++
38393 + ++
++

Antagoni Klorpro Klorprom Klorpromaz K Klorproma


s dan mazin + azin + in +++ zin ++
kekuatan Baloperi Baloperid Baloperidol Baloperido
nya dol + ol + ++++ l +++
Klozapi Klozapin Klozapin + Klozapin +
n + + SCH- SCH-23890 + SCH-
SCH- 23890 ++ +/- 23890 +/-
23890 + ++ spiperone + spiperone
+++ spiperone +++ ++++
spiperon +/-
e+

Peranann Terlihat Mungkin Terlibat Mungkin Mungkin


ya dalam dalam mirip D1 dalam mirip D2 mirip D2
sistem mual penyakit
biologis dan parkinson,

27
muntah skizofrenia,
hiperprolakt
iriemia
mual dan
muntah

Keluarga D1
Reseptor D1 terdapat dalam jumlah yang tinggi pada otak bagiam
neostriatum, substansia nigra, nucleus accumbens, dan olfactory tubercle,
amyangdala, frontal cortex, dan sedikit lebih rendah pada hippocampus,
cerebellum, thalamic areas, dan hypothalamic. Sementara itu, reseptor D5
ditemukan di hippocampus, thalamus, striatum, dan korteks serebral.
Reseptor D5 ditemukan dalam jumlah yang lebih rendahbila dibandingkan
dengan reseptor D1. Stimulasi reseptor D1 dan D5 akan menyebabkan
aktivasi adenilat siklase. Stimulasi D1 juga menyebabkan stimulasi
fosfolipase C. Belakangan respons ini dihubungkan dengan pembentukan
heterodimer reseptor D1/D2.
Fungsi reseptor D5 belum sepenuhnya diketahui, tetapi perannya pada
fungsi otak telah diusulkan oleh para ahli. Reseptor D1 memegang peranan
penting dalam memediasi aksi dopamin pada proses kontrol pergerakan,
fungsi kognitif, dan fungsi kardiovaskuler. Keluarga reseptor D1 juga dapat
berhubungan langsung dengan reseptor terhubung kanal ion sehingga
menyebabkan modulasi fungsi reseptor (reseptor D1/reseptor NMDA,
reseptor D5/reseptor GABAA).
Apomorfin merupakan agonis keluarga reseptor D1 yang telah lama
dikenal. Senyawa ini memperlihatkan afinitas dan selektivitas yang moderat
terhadap reseptor D1. Agonis keluarga reseptor D1 yang lebih selektif
diantaranya dihidreksin dan SKF 81297. Senyawa golongan tioxantin (contoh
: flupentixol) dan golongan fenotiazin (contoh : flupenazin) merupakan
contoh antagonis yang menunjukkan afinitas yang tinggi terhadap keluarga
D1. Akan tetapi, kedua senyawa ini tidak memperlihatkan selektivitas yang
tinggi pada keluarga D1. SKF 8366 merupakan salah satu antagonis keluarga

28
D1 yang menunjukkan afinitas dan selektivitas yang tingi. Reseptor D5
meiliki afinitas yang lebih tinggi terhadap dopamin daripada reseptor D1.
Keluarga D2
Reseptor D2 merupakan reseptor dopamin yang dominan pada keluarga
D2 di otak. Reseptor D2 banyak ditemukan di nucleus accumbers, alfactory
tubercle, dan korteks serebral. Reseptor D3 dan D4 ditemukan dalam jumlah
yang jauh lebih rendah dan terlokalisasi pada daerah limbik di otak. Beberapa
reseptor D3 juga ditemukan pada daerah yang berhubungan dengan fungsi
motorik seperti putamen.
Keluarga reseptor D2 memperlhatkan penghambatan terhadap adenilat
siklase. Saat diaktivasi, reseptor ini akan menstimulasi beragam proses,
diantaranya peristiwa signaling akut (inhibisi adenilat siklase, stimulasi kanal
K+, inhibisi kanal Ca+, stimulasi pelepasan asam arakidonat) dan signaling
yang dimediasi D3 biasanya memiliki kekuatan yang lebih rendah daripada
signaling yang dihasilkan keluarga D2 pada umumnya.
Reseptor D2 memegang peranan penting dalam memediasi dopamin
pada proses kontrol pergerakan, aspek tingkah laku tertentu pada otak, dan
sekresi prolaktin dari kelenjar pituitari anterior.Fungsi Reseptor D3 dan D4
belum di ketahui secara pasti. Akan tetapi, bila melihat lokalisasinya pada
daerah limbik otak, kedua reseptor ini memiliki peranan penting dalam
kognisi serta fungsi tingkah laku dan emosi. Aktivitas antipsikotik dan efek
samping berupa efek ekstrafiramidal merupakan akibat dari blokade keluarga
reseptor D2 oleh obat neuroleptik generasi lama.
Keluarga reseptor D2 memperlihatkan afinitas yang tinggi terhadap
kebanyakan obat yang digunakan untuk terapi skizofrenia (golongan anti
psikotik) dan terapi penyakit Parkinson ( contoh : Bromokriptia). Banyak
obat yang diduga merupakan antagonis keluarga D2 menunjukkan aktivitas
sebagai inverse agonist pada reseptor D2 dan D3, misalnya obat anti psikotik
Haloperidol, clorpromazin, dan clozapine. Lokasi reseptor dopamine D3 dan
D4 membuatnya menjadi target unutk obat antipsikotik.

29
Dopamin merupakan agonis keluarga reseptor D2 yang menunjukkan
afinitas yang moderat D1 antara keluarga D2, subtipe reseptor D3
memperlihatkan afinitas yang paling tinggi terhadap dopamine. Salah satu
agonis keluarga reseptor D2 yang lebih selektif adalah quinpirole. Obat
golongan butirofenon (contoh : haloperidol) dan benzamid tersubtitusi
(contoh : sulpirid) merupakan antagonis keluarga D2 yang selektif. Kedua
golongan obat ini memperlihatkan afinitas yang tinggi terhadap keluarga
reseptor D2. Obat-obat yang selektif terhadap masing-masing subtipe
reseptornya. Benzamid tersubtitusi seperti sulpirid dan raclopirid
menunjukkanafinitas yang tinggi terhadap reseptor D2 dan D3, tetapi
memiliki afinitas yang lebih rendah terhadap sebtipe reseptor D4. Selain itu,
afrinitasnya dalam tipe reseptor yang seam, tetapi lokasi yang berbeda juga
menunjukkan perbedaan. Misalnya, clozapine memiliki afinitas yang tinggi
pada reseptor D2 yang berada di alfactory tubercle.
Beberapa obat dapat berikatan dengan semua tipe reseptor dopamine,
tetapi dengan kekuatan yang berbeda-beda. Obat-obat golongan antipsikotik,
seperti haloperidol, klorpromazin, dan klozapin berikatan lebih kuat dengan
reseptor D2 yang memang terlibat dalam penyakit skizofrenia. Perlu
diketahui bahwa skizofernia adalah penyakit gangguan kejiwaan yang
ditandai dengan gejala halusinasi, delusi, dan pikiran-pikiran yang tidak
terorganisasi yang Sebagian disebabkan oleh hiperaktivitas dopamine pada
jalur mesolimbic di otak.
Sebaiknya, pada pengobatan penyakit Parkinson, diperlukan obat agois
reseptor dopamine seperti bromokriptin. Obat lebih baru untuk agonis
reseptor dopamine adalah pergolide, pramipreksol, dan ropinirole. Penyakit
Parkinson merupakan penyakit yang ditandai dengan tremor, bradykinesia,
dan ketakseimbangan tubuh yang disebabkan oleh terjadinya degenerasi saraf
dopaminerigik. Karena itu, salah satu pendekatan pengobatannya adalah
dengan mengaktivasi reseptor dopamine dengan agonisnya. Gambaran secara
skematik reseptor dopamine dapat dilihat pada Gambar 9 dan ringkasannya
dapat dilihat pada table 4.

30
Gambar 9. Skematik reseptor dopamine pada sinaps. Amati bahwa ada reseptor dopamine
yang terdapat pada ujung saraf presinaptik, yaitu D2 dan D3. Reseptor D2
berfungsi sebagai autoreseptor, jika diaktivasi akan menghambat pelepasan
dopamine dari presinaptik, sedangkan fungsi reseptor D3 masih belum jelas.
(Dikutip dari Nestler, et al., 2001)

E. RESEPTOR ANGIOTENSIN

Angiotensin adalah hormon peptida yang berasal dari protein


angiolensinogen. Angiotensinogen diubah menjadi angiotensin 1 dengan
katalisis Tenin. Selanjutnya, angiotensin I akan diubah menjadi angrotensin II
dengan dikatalisasi oleh enzim ACE (angiotensin-converting enzyme)
Angiotensin Il akan bekerja pada reseptornya memicu berbagai proses
fisiologis yang enyebabkan kenaikan tekanan darah arteri dan fungsi renal
sehingga ter. libat dalam patofisiologi berbagai penyakit, seperti hipertensi,
hipertrofi Jantung, gagal jantung, dan penyakit nefropati diabetik.

Beberapa aksi angiotensin ll di berbagai organ antara lain menyebabkan


kontraksi arteri, memicu sekresi aldosteron, meningkatkan reabsorpsi Na di
ginjal, dan meningkatkan pelepasan epinefrin dari adrenal. Semua aksi
tersebut meningkatkan tekanan darah dan memengaruhi fungsi ginjal. Selain
aksi yang onsetnya relatif cepat tersebut, angiotensin Il juga berperan dalam
bertumbuhan sel pembuluh darah, mengurangi apoptosis, meningkatkan
broduksi kolagen, fibronektin, dan lain-lain yang semuanya berkontribusi
terhadap peningkatan tekanan darah dan berpengaruh terhadap gangguan
kardtovaskuler kronis.

31
Aksi ini diperantarai oleh ikatan angiotensin pada rescptornya, yaitu
tescptor angiotensin. Reseptor angiotensin terdiri atas dua subtipe, yaitu
reseptor ATI dan AT2. Rescptor ATI terdistribusi pada otot polos pembuluh
darah, paru-paru, hati, ginjal, dan otaks sedangkan reseptor AT2 terdapat
pada jaringan reproduksi, otak, dan janin, tetapi berkurang dcngan cepa
setelah kelahiran. Hampir sebagian besar aksi angiotensin II diperantarai oleh
reseptor ATI , sedangkan aksi reseptor AT2 adalah melawan aksi dari ATI,
Hanya saja, dalam keadaan normal pada orang dewasa, rescptor ATI ini jauh
lebih sedikit daripada ATI dan reseptor ini di-up-regulasi pada kondisi-
kondisi patologis.

Reseptor ATI merupakan reseptor yang tergandeng protein Gg. Secara


skematis, signal transduksinya dan kerja antagonisnya dapat dilihat pada
Gambar 10. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa reseptor ini terikat pada
protein Gg yang mengaktivasi sistem fosfolipase. Protein Gg yang teraktivasi
akan menstimulasi PLC dan membuka kanal Ca. PLC mem. belah
phosphoinositide (PIP:) menjadi inositol trisphosphate (IP) dan
diacylglycerol (DAG). IP3 akan memicu pelepasan Ca dari retikulum endo.
plasmik. DAG dan Ca akan mengaktivasi enzim, termasuk PKC dan caici.
um-calmodulin protein kinases. Berbagai protein selanjutnya akan
difosforilasi oleh protein kinase dan memicu berbagai fungsi sel yang terkait.

Pada reseptor terdapat dua daerah di mana angiotensin II dan


antagonisnya dapat berikatan. Antagonis reseptor ini dapat berinteraksi
dengan asam amino pada domain transmembran yang dapat mencegah
angiotensin II untuk berikatan dengan reseptornya. Antagonisme terhadap
angiotensin Il ini menyebabkan signal transduksi terhenti dan meniadakan
efek-efek angiotensin, seperti vasokonstriksi, sekresi aldosteron, retensi Na,
dan lain-lain. Obat yang bekerja sebagai antagonis reseptor angiotensin II
antara lain golongan sartan, seperti candesartan, losartan, ibesartan, dan
valsartan.

32
Gambar 10 Skema reseptor angioteasin ATI dan Signal transduksinya. Reseptor ATI
tergandeng dengan protein G dan aktivasinya melaluinjalur fosfolipase.
Diadaptasi dari , et al.,1996

F. RESEPTOR HISTAMIN

Histamin merupakan senyawa amin endogenous yang diproduksi melalui


proses dekarboksilasi asam amino L-histidin dan disimpan dalam sel asam
amino L-histidin dan di simpan dalam sel mast, basofil dan beberapa neuron.
Senyawa ini memediasi beberapa proses fisologis tubuh, baik di jaringan
pusat maupun jaringan perifer. Sejak pertama kali ditemukan oleh Barger dan
Dale pada tahun 1910, peran lustamin pada proses fisiologis tubuh telah
banyak ditemukan, di antaranya pada proses fisiologis yang berperan dalam
fungsi gastrointestinal (proses sekresi asam lambung), fungsi sistem saraf
pusat (ncurotransmisi), dan fungsi imun (inflamasi). Histamin merupakan
mediator utama reaksi alergi atau inflamasi karena disintesis oleh sel-sel
imunitas seperti sel mast dan basofil dan dilepaskan jika ada stimulus berupa
ikatan anugen dan antibodi (12E). Beragamnya proses fisiologi yang
dipengaruhi oleh histamin membuatnya menjadi objek yang menarik untuk
dipelajari untuk mendapatkan 1gen pengobatan baru. Pada Tabel 5 disajikan
profil reseptor histamine.

33
Tabel 5. Profil Subtipe Reseptor Histamin
Histamin H1 Histamin H2 Histamin H3 Histamin H4
G. protein Gq/ 11 Gs Gi/Go Gi/Go
Coupling
Transduksi PLC cAMP MAPK MAPK
signal Ca2+ Ca2+
utama cAMP cAMP
Distribusi Paru-paru, Jantung, Sisrtem saraf Sel mast,
ke Jaringan otak, lambung, otak (CNS,PNS) eosifonil
pembuluh
darah
Fungsi Kontraksi Sekresi asam Tidur, food Chemotaksis
Fisiologis otot polos, lambung intake
food intake,
regulasi
tidur-bangun
Reaksi Reaksi Tukak Coknitive Reaksi imun,
patofisiolo Alergi lambung impairment, inflamasi
gis seizure
Agonis Histamin 2- Histamine Histamine Clobenpropid
(3 Amtamin R-a- 4-
(trifluorometi Dimaprit metilhistami metilhistamin
l)-fenil) Ipromidin n burimamid
histamine 2- arpromidin Imetit
thiazoliletila Immepip
min Na-
metilhistami
n
Antagonis Mepiramin Simetidin Tioperamid Tiperamid
(-) dan (+) Ranitidine Klobenpropi
chlorphenira Tiotidin d
min Zolantidin Lodepenpro
Triploridin famotidin pid

34
Temelastin Iodoproxyfa
Difenhidrami n
n
Prometazin

Efek histamin terhadap proses fisiologis tubuh dimediasi oleh empat tipe
reseptor yang berbeda, yaitu reseptor histamin H1,H2,H3, dan H4 Seluruh
reseptor histamin termasuk dulam golongan G-Proreim Coupled Resentor
(GPCR). Walaupun demikian, reseptor-reseptor tersebut berbeda dalam
distribusi, ikatan dengan ligan, jalur signaling, dan fungsinya. Di antara
keempat reseptor ini, rescptor histamin H merupakan reseptor yang
ditemukan paling baru. Reseptor histamin H1, dan H2, telah menjadi target
ba pengembangan obat alergi dan tukak lambung yang banyak menghaikan
obat yang menjadi pilihan, sedangkan pengembangan obat untuk reseptor
histamin H3, baru memasuki tahap uji klinis dan H⁴ masih dalam tahap
ujiprakinis .

Reseptor Histamin H1

Reseptor histamin H1 tersebar dalam area yang luas dalam jaringan


tubuh mamalia, seperti otak, sistem saraf pusat, sistem kardiovasular, otot
polos (terutama pada jalur pernapasan), saluran pencernaan, sistem genitous
nnari, sel endotelial, dan limfosit.

Transduksi signal pada reseptor H1, terutama diperantarai oleh ikatannya


dengan protein G jenis Gg. Aktivasi reseptor ini oleh ligannya akan memicu
pembentukan 1,4,S-inositol trifosfat (IP)) dan 1,2-diasilgliserol (DAG) yang
dikatalisis oleh fosfolipasc C. Jalur ini akan memobilisasi kalsium dari
tempat penyimpanannya dan menyebabkan peningkatan Ca intraseluler. Pada
sel-sel otot polos bronkus, saluran pencernaan, dan saluran genitourinari,
aktivasi reseptor H1, menyebabkan efek kontraksi otot.

35
Pada sel-sel endotelial pembuluh darah, peningkatan Ca intraseluler dan
ikatan Ca dengan calmodulin dapat mengaktifkan Nitric Oxide (NOygruhase,
yang menghasilkan produksi nitric oxide (NO), NO adalah suatu vasodilator
dengan cara meningkatkan produksi cGMP yang mengaktifkan myosin light
chain posphatase yang pada gilirannya menghambat kontraksi otot. Hal ini
menyebabkan efek vasodilatasi oleh histamin pada pembuluh darah perifer
dan kapiler.

Aktivasi reseptor H1 di sistem saraf pusat menyebabkan cefek mual/


muntah yang dimediasi oleh reseptor H1, yang berada di chtemoreceptor
trigger zone, suatu arca di otak yang mengatur mual muntah. Sclain itu,
kondisi terjaga (bangun) serta regulasi nafsu makan juga disebabkan karena
aktivitas reseptor Hj, di sistem saraf pusat. Karena itu, antagonisme pada
reseptor H, di sistem saraf pusat dapat memberikan ctek antiemetk, sedatif,
dan meningkatkan nafsu makan.

Agonis reseptor H1, tidak banyak digunakan sebagai obat, tetapi lebih
banyak digunakan sebagai bahan uji penclitian farmakologis. Modifikasi
gugus imidazol pada histamin merupakan pendekatan yang paling baik dalam
menghasilkan agonis H1. Ini menunjukkan bahwa sistem tautomer N'N pada
gugus imidazol tidak merupakan suatu kehanwan. Modifikasi gugus Imidazol
ini menghasilkan 2-piridiletilamin dan 2-tiazoliletilamin. Agonis H, lain yang
cukup poten adalah betahistin yang digunakan untuk mengobati penyakit
Meniere. Akan tetapi, obat ini juga menunjukkan aktuvitas Sebagai antagonis
H3.

Bila dibandingkan agonisnya, antagonis H1, lebih banyak menjadi Pusat


pengembangan obat. Umumnya, antagonis H1 memiliki gugus fungsi
nitrogen yang dihubungkan kepada gugus aromatik lipofilik dengan gugus
penghubung yang berbeda-beda. Antagonis H1, yang ada saat ini dapat di
bedakan menjadi beberapa generasi. Perbedaan ini utamanya dy eneras) goni
H, terhadap sistem saraf pusat.

36
Efek sedative merupakan masalah utama yang di alami saat
menggunakan antagonis histamine H1 generasi pertama seperti
dipenhidramin, doxilamin, dan mepiramin. Hal ani disebabkan Oleh
tingginya penetrasi sawar darah otak sehingga penggunaannya seperti
antagonis histamine H1 mulai berkurang. Antagonis histamine H1 generasi
pertama kini banyak digunakan sebagai sedative ringan

Reseptor Histamin H2

Rescptor histamin H2 dapat ditemukan di berbagai macam jaringan


antara lain Otak, sel Parictal lambung, dan jaringan jantung. Stimulasi
reseptor H2 dapat memediasi efek ionotropik dan kronotropik positif pada
jaringan atrium dan pentrikel tetapi efek yang paling utama adalah stimulasi
sekresi asam lambung. Beberapa polimorfisme telah ditemukan pada gen
reseptor.histamin H2 manusia dan salah satu mutusi pada gen ini
dihubungkan dengan nyakit skizofrenia

Stimulasi reseptor H2 akan mengaktifkan sistem adenilat siklase (pada


otak, otot polos vaskuler, otot myocyte jantung, mukosa lambung, dan paru)
melalui stimulasi G, yang selanjutnya akan mengaktifkan second messenger
CAMP. Namun, nda beberapa tipe sel yang lain, dijumpai trans duksi signal
lain, yaitu jalur fosfolipase yang berhubungan dengan Gaq, dan terkait dengan
peningkatan Ca2+ intraselular, termasuk pada sel parictal lambung. Dijumpai
peningkatan Ca intraseluler setelah aktivasi sel parietal lambung oteh
agonisnya.

Banyak agonis H2 telah berhasil dikembangkan, di antaranya dimaprit


dan amptamin yang merupakan analog aromatik dimaprit. Dimaprit
memperlihatkan aktivitas yang sama seperti histamin pada reseptor histamin
H2. Akan tetapi, belakangan diketahui bahwa dimaprit memperlihatkan
aktivitas sebagai antagonis reseptor histamin Hj dan agonis reseptor histamin
H3. Amptamin memperlihatkan selektivitas dan potensi yang lebih baik
dibandingkan dengan histamin. Agonis H2 turunan guanidin seperti

37
impromidin dan arpromidin memiliki afinitas yang lebih tinggi dan pengaruh
inoropik vasodilatasi positif. Gugus guanadium terprotonasi yang memiliki
gugus penarik elektron yang kuat biasa digunakan sebagai prodrug karena
kepolarannya pada medium fisiologis.

Burimamid yang merupakan turunan tiourca adalah antagonis H2 yang


pertama kali ditemukan. Akan tetapi, belakangan diketahui burimamid adalah
antagonis reseptor H3 yang poten dan merupakan agonis reseptor H4.
Pengembangan lebih lanjut menghasilkan metinamid dan cimetidin yang
merupakan terapi pertama terhadap tukak lambung. Akan tetapi, cimetidin
memiliki aktivitas lain sebagai penghambat CYP 450. Gugus 4-metilimidazol
dari cimetidin dapat diganti dengan gugus heterosiklik lain. Penggantiannya
dengan gugus furan(misal: ranitidin) atau dengan gugus tiazol(tiotidin dan
famotidin) menghasilkan senyawa yang lebih poten daripada Cimetidin.
Penggantian gugus imidazol cimetidin ini juga mengurangi aktiYitas
penghambatannya pada CYP 450. Keamanan dari antagonis H2 yang baru
membuatnya dapat beredar di pasaran sebagai obat-obatan over the Counter
(OTC). Namun demikian, penggunaannya sebagai terapi pertama Pengobatan
tukak lambung telah digantikan dengan proton pump inhibitor Seperti
omeprazol yang menunjukkan hasil yang lebih baik,

3. Reseptor Histamin H3

Fungsi histamin sebagai ncurotransniiter dibuktikan dengan ditemu, Ya


reseptor histamin H3, Reseptor histamin H, berfungsi sebagai auto. reseptor
yang mengatur pelepasan dan produksi histamin. Reseptor int juga diketahui
menuhiki fungsi regulator pada pelepasan neurotransmiter Jain, seperu
serotonin, noradrenalin, dan dopamin. Rescptor ini sebagian besar ditemukan
pada sistem saraf pusat (basal ganglia, hippocampus, dan arca kortikat), tetapi
juga ditemukan pada sistem saraf perifer (saluran pencernaan, saluran udara,
dan sistem kardiovasular). Stimulasi rescptor ini mengaktiikan jalur Ga 1, dan
Ga0, mengakibatkan penghambatan sistem adendar Siklasc, akuvasi MAP

38
kinase, fosfolipase A, (pelepasan asam arakhidonat) dan AkvGSK-3P kinase,
anlubisi antiporter Na' H' serta menyebabkan mobilisasi Ca 2+ terinduksi K+,
Reseptor H3, terdapat dalam bentuk isoform yang berbeda-beda pada
jaringan dan spesies yang berbeda. Hal ini menimbulkan asumsi bahwa
proses signuling melibatkan oligomerisasi reseptor.

Aktivasi reseptor H3, menstimulasi mekanisme feedback negative, yaitu


mengurangi aktivitas sentral histamincrgik. Rescptor ini diperkirakan terhebat
pada keadaan kognitif, kcadaan bangun-tidur, regulasi homcostatis energi,
dan inflamasi. Karena perannya yang luas ini, banyak ligan reseptor histamin
H, telah dikembangkan untuk berbagai macam terapi, di antaranya obesitas,
narcolepsy, demensia, dan migrain.

Turunan histamin termetilasi merupakan agonis H3, yang telah sering


digunakan sebagai senyawa untuk mengkarakterisasi reseptor histamin H,,
Contoh senyawa ini adalah Na-metilhistamin dan R-a-metilhistamin yang
memiliki selektivitas dan potensi lebih besar dibandingkan Na-metulhistamin.
Akan tetapi, kedua agonis ini masih memiliki afinitas terhadap reseptor
histamin H4. Imetit, immcpip, dan immetridin dapat digunakan sebaga
alternatif. Agonis Hj turunan histamin sederhana sangat cepat dimetabolisme
oleh histamin N-metiltransferase (HMT) sehingga pengembangan prodrugnya
sebagai alternatif agonis H3, telah mulai dikembangkan dan dikenalkan
hingga uji klinik (misal azomethin).

Turunan senyawa dengan imidazol sebagai gugus utama dan tersubstitusi


oleh monoalkil (sepert tioperamid, clobenpropit, dan ciproxifan) merupakan
golongan antagonis Hj yang pertama. Akan tetapi, dalam perkembangan
selanjutnya, ada klaim bahwa antagonis dengan gugus utama imidazol dapat
menghambat isoenzim CYP. Hal ini berkaitan dengan elemen siklus porfirin
dan tingkah laku farmakologi yang kompleks sehingga antagonis dengan
cincin imidazol berusaha digantikan oleh antagonis upe baru. Antagonis tipe
baru ini memilki gugus basa yang dihubungkan denga gugus lain kepada inti

39
aromatik yang kemudian akan dihubungkan lag! kepada gugus peningkat
afinitas yang biasanya berupa gugus basa lam. gugus hidrofilik, gugus
lipofilik, atau kombinasinya.

Gangguan seperti cognitive Impalrmeni, gangguan hiperaktivitas


sehizofrenia, narcolepsy, kejang, dan obesitas merupakan mdikasi terapetik
yang telah diklaim dimiliki olch antagonis H5. Akan tetnpi, masih belum ada
senyawa yang berhasil dipasarkan, Antagonis H, yang telah memasuki tahap
aji klinis antara lain GSK-1892854 dan JNJ 17216498.

4.Reseptor Histamin H4

Rescptor histamin H4, memiliki 31-4% kesamaan homologi yang paling


tinggi dengan reseptor histamin H3. Rescptor H4 banyak ditemukan di
sumsum tulang belakang dan leukosit, terutama pada eosinofil, sel mast, sel
dendritik, basofil, dan sel T. Rescptor ini juga ditemukan dalam jumlah
sedang pada empedu dan usus halus. Pada jumlah yang rendah, reseptor ini
dapat dijumpai hampir pada seluruh jaringan dan langsung berhubungan
dengan sel-sel hematopocetik.

Stimulasi reseptor H4, melalui jalur Ga1, dan Ga0, akan menyebabkan
penghambatan pada sistem adenilat siklase, proses downstream dari elemen
reseponsif cAMP, aktivasi MAP kinase dan fosfolipase C, serta mobilisasi
Ca2+ pada eosinofil dan sel mast.

Reseptor histamin H4 diperkirakan berpcran dalam proscs inflamasi dan


respons imun karena ekspresi reseptor ini dimodulasi oleh IL-10 dan IL13.
Pada upstream gen reseptor histamin H4, terdapat tempat ikatan bagi faktor
transkripsi yang diregulasi oleh sitokin, seperti interferon regulatory fector-1,
TNF-a, NF-KB, dan IL-6. Reseptor H, memediasi kermotaksis dan mobilisasi
kalsium intraselular pada sel mast, respons kemotaktik dan perubahan
sitosekletal cosinofil, mengontrol pelepasan IL-16 dari sel CD8 + T, dan
mengontrol produksi Icukotricn B4 oleh sel mast.

40
Antagonis H4 memperlihatkan potensi sebagai antiinflamasi pada asma,
artritis, colitis, dan pruritik. Sementara itu, untuk terapinya sebagai terapi
pengobatan gangguan autoimun, kondisi alergi dan respons nosisepuf masih
perlu ditunggu.

Beberapa senyawa yang telah dilaporkan memiliki afinitas pada reseptor


histamin H3 ternyata juga memiliki afinitas pada reseptor H4, Di antara
Senyawa-senyawa itu adalah senyawa yang memiliki gugus imidasol dalam
strukturnya dengan beberapa pengecualian. Imifuramia, senyawa turunan
tetrahidrofuran, dan turunan sianoguanidinnya memperlihatkan selekuvitas
lebih besar terhadap reseptor histamin H4, 4-metilhistamin yang memuliki
afinitas terhadap reseptor histamin H2, menunjukkan afinitas yang lebih besar
terhadap reseptor histamin H4.

Antagonis reseptor H4 telah dikembangkan dun menghasilkan bebe.


Tapa senyawa yang berpotensi untuk dikembangkan lebih lanjut untuk men.
jadi agen terapetik. Salah satu antagonis H4, yang sedang dikemban kan lah
JNJ7777120 (golongan idolilpiperazin). Akan tetapi. Senyawa ini miliki
waktu paruh yang rendah, 1-2 jam karena sangat cepat dimetabolisme oleh
sel mikrosom hati.

41
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Penyakit parkinson berhubungan dengan kekurangan dopamin. Kerja
dopamin berhubungan dengan reseptor dopamin, suatu reseptor yang
bergandeng protein G (G-Protein-Coupled Reseptor (GPCR). Penyakit
parkinson disebabkan karena terjadinya degrenasi saraf dopaminergik.
Karena itu, salah satu pendekatan pengobatannya adalah dengan
mengaktivasi reseptor dopamin dengan agonisnya. Dan obat yang digunakan
yakni APOKYN atau apomorphine hydrachloride.
B. SARAN
Demikian makalah ini penulis selesaikan untuk memperdalam
pengetahuan dan menyelesaikan tugas yang diberikan jika ada kesalahan,
penulis bersedia menerima kritik dan saran.

42
DAFTAR PUSTAKA

1. Kenakin, T., 1997, Molectdar Pharmacology, Blackwell Science Ine, Oxtord.

2. Lodish, H., Berk, A., Zipursky, A.L., Matsudaira, P., Baltimore, D, Darnell,
J., 2000, Molecular Cell Biology, 4th Ed., Freeman and Company, New York.

3. Tamarkin, D.A., 2003, “Resting Potential", STCC Foundation Press,


http://distance.stcc.edu/AandP/AP/AP I pages/nervssys/ unutlO resting htm

4. Bate, L., dan Gardiner, M., 2001, Molecular Genetic of Human Epilepsies,
http://www-ermm.cbcu.cam.ac.uk/9900143Xh. htm

5. Nestler, E.J.. Hyman, S.E. and Malenka, R.C., 2008, Moleculer


Neuropharmacology: A Foundation for Clinical Neuroscience, 2ed Ed.,
McGraw-Hill Inc., Singapore.

6. Tortora, G.J., dan Grabowski, S.R., 2002, Principles of Anatomy &


Physiology, Support & Movement of the Human Body, Willey Text Books.

7. Shieh, C., Coghlan, M., Sullivan, JP, Gopalakhrisnan, M., 2000, "Potassium
Channels: Molecular Defects, Diseases, and Therapeutic Opportunities",
Pharmacol Rev, 52:557 593.

8. Kubo, Y., Adelman, J.P., Clapham, D.E., Jan, L.Y., Karschin, A, Kurachi, Y.,
Lazdunski, M., Nichols, C.G., Seino, S., Vandenberg, C.A., 2005,
"International Union of Pharmacology. LIV. Nomenclature and Molecular
Relationships of Inwardly Rectifying Potassium Channels", Pharmacol Rev
57:509-526,

9. Cahalan, MD, Chandy, KG, 2009. "The Functional Network of Ion Channels
in T Lymphocytes", Immunol Rev, 231(1): 59-87.

10. Hill, R.J., Grant, A.M., Volberg W., Rapp L., Faltynek, C., Miller D., Pagani,
K., Baizman, E., Wang S., and Guiles JW., 1995, "WIN 17317-3: Novel

43
Nonpeptide Antagonist of Voltage-activated Kl Channels in Human T
Lymphocytes", Mol Pharmacol, 48:98-104.

44

Anda mungkin juga menyukai