DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 5
APRIASARI SUWARDI D1B120129
HADRIANI D1B120062
KUSWATUH RASMIAH D1B120056
ADITYA SYAFAAT D1B120128
NURDIANTI D1B120126
NUR JUNIYARTI TAJUDDIN D1B120152
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS MEGAREZKY
MAKASSAR
2021
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada ALLAH SWT, Tuhan yang telah
memberikan petunjuk dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyusun dan
menyelesaikan makalah Biologi Molekuler ini.
Bersaman dengan ini, saya juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada
dosen pembimbing mata kuliah Biologi Molekuler Bapak Muhammad Yusuf,
S.farm., M.Sc. Yang telah memberikan arahan kepada kami dalam menyelesaikan
makalah ini.
Penulis
I
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................. i
DAFTAR ISI............................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................... 1
A. LATAR BELAKANG................................................................. 1
B. RUMUSAN MASALAH............................................................ 2
C. TUJUAN MASALAH................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN............................................................................ 3
A. PENDAHULUAN....................................................................... 3
C. RESEPTOR ADRENERGIK...................................................... 16
D. RESEPTOR DOPAMIN............................................................. 25
E. RESEPTOR ANGIOTENSIN..................................................... 31
F. RESEPTOR HISTAMIN............................................................. 33
A. KESIMPULAN........................................................................... 42
B. SARAN........................................................................................ 42
DAFTAR PUSTAKA................................................................................. 43
II
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
1
B. Rumusan masalah
Dalam makalah ini akan dibahas tentang Bagaimana aksi obat yang
berhubungan dengan G protein ?
C. Tujuan penelitian
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENDAHULUAN
Gambar 1.Gambar skematik reseptor tergandeng protein G dengan gugus amina di daerah
ekstrasel dan gugus karbosilat di sitoplasmik, rangkaian peptide reseptor ini
3
melintasi membran sebanyak 7 kali, sehingga sering disebut juga reseptor 7
transmembran
Protein G sendiri adalah suatu protein yang terdin atas tiga rantai
polipeptida yang berbeda yang disebut subunit α, β dan ƴ. Rantai β dan ƴ
membentuk kompleks βƴ yang kuat yang membuat protein G tadi tertambat
pada permukaan sitoplasmik membran plasma, sedangkan subunit α
merupakan subunit tersendiri yang ketika dalam keadaan istirahat terikat
dengan guanosin difosfat (GDP).
Jalur transduksi signal pada GPCR ada dua, yaitu Jalur adenilat siklase
dan jalur fosfolipase. Adenilat siklase adalah enzim yang mengkatalisis
perubahan ATP menjadi bentuk siklisnya, yaitu siklik AMP (cAMP)
sedangkan fosfolipase adalah enzim yang menguraikan/mendegradasi
senyawa fosfolipid. Kapan suatu aktivasi GPCR akan melalui jalur adenilat
siklase atau fosfolipase, tergantung pada macam protein G yang terlibat.
4
1. Aktivasi GPCR Melalui Jalur Adenilat Siklase
Gambar 2.Gambar skematik aktivasi GPCR oleh suatu hormon sampai terbentuknya cAMP)
5
Aktivitas adenilat siklase harus segera dihentikan agar tidak teradi
produksi cAMP yang berlebihan Untuk itu, GTP harus dihidrolisis menjadi
GDP sehingga subunit α kembali ke konformasi semula yang tidak aktif.
Perubahan GTP menjadi GDP dan sebaliknya dikatalisis oleh enzim yang
disebut GAPs (GTPase Activating Proteins) dan GEFs (Guanine Nucleotide
Exchange Factors). Reaksinya dapat dilihat pada Gambar .3
Gambar 3. Reaksi perubahan protein G dari bentuk aktif menjadi inaktif, atau sebaliknya,
dengan katalisis enzim GAP (GTPase Activating Proteins) dan GEF (Guanine
Nucleotide Exchange Factors).
6
respons yang tidak diinginkan. Hal ini seperti yang terjadi pada pasien kolera
yang disebabkan oleh bakteri Vibrio cholerae. Toksis kolera mengubah
subunit α menjadi tidak mampu menghidrolisis GTP. Akibatnya, subunit α
tetap dalam bentuk aktifnya, memicu adenilat siklase membentuk cAMP.
Peningkatan kadar cAMP yang besar-besaran mencapai 100 kali normal
menyebabkan aktivasi PKA, yang membuka kanal CFTR. Pembukaan kanal
CFTR selanjutnya menyebabkan effluks/pengeluaran ion Cl, yang pada
gilirannya menyebabkan sekresi ion Na+ K+, HCO3 dan air ke dalam lumen
usus, yang bertanggung jawab terhadap gejala diare yang parah pada pasien
kolera.
Hal yang serupa terjadi pada pasien batuk rejan akibat bakteri Bordetella
pertussis. Pertussis toxin (toksin penyebab batuk rejan) dapat mengikat
protein Giα, schingga menyebabkan GDP tidak bisa berubah menjadi GTP.
Akibatnya, jalur penghambatan adenilat siklase disekat dan efeknya adalah
perpanyangan aktivitas adenilat siklase yang bertanggungjawad terhadap
refleks batuk yang terus-menerus.
7
dapat meningkatkan ketersediaan cAMP dapat menyebabkan relaksasi otot,
seperti dijumpai pada obat-obat golongan agonis beta adrenergik.
Efek cAMP tidak boleh terlalu lama. Karenanya, sel harus mampu
mendefosforilasi protein yang telah terfosforilasi oleh A-kinase, Bagaimana
caranya? Caranya adalah dengan mendefosforilasi serine dan threonine yang
terfosforilasi. Proses ini dikatalisis oleh serine/threonine phosphoprotein
Phosphatase.
Ada empat kelompok protein phosphatase, yaitu I, IIA, IIB, dan IIC.
8
intraseluler. Aktivasi GPCR melalus jalur fosfolipase C dapat dilihat pada
Gambar 4
Gambar 4. Skema aktivasi GPCR melalui jalur fosfolipase (PLC). Dari jalur ini dihasilkan
IP3 yang memicu pelepasan ion Ca dari tempat penyimpanan di retikulum
endosplasma dan DAG yang mengaktifkan protein kinasi C (PKC)
9
Reseptor ini terdistribusi luas di seluruh bagian tubuh dan mendukung
berbagai fungsi vital, baik di otak maupun sistem saraf otonom, utamanya
saraf parasimpatis, Aktivasi reseptor ini pada saraf perifer menyebahkan
berkurangnya frekuensi denyut jantung, relaksasi pembuluh darah, konstriksi
saluran pernapasan, peningkatan sekresi dari kelenjar keringat dan lakrimasi,
dan konstriksi pada otot spinkter bola mata dan otot siliar mata. Di otak,
reseptor muskarinik dijumpai pada cerebral cortex, striatum, hippocampus,
thalamus dan brainstem, dan berpartisipasi dalam banyak fungsi penting
seperti belajar, ingatan, dan kontrol postur tubuh.
Gambar 5.Model kolinergik sinaps. Terdapat lima subtipe reseptor muskarinik, di mana M 1,
M3, dan M5 tergandeng dengan Gq, sedangkan M2 dan M4 tergandeng dengan Gi
10
dan kanal ion. Amati bahwa proses re-uptake oleh sel dilakukan terhadap kalin
M1 M2 M3 M4 M5
G protein Gq Gi Gq Gi Gq
terkait
11
analgesia otot polos skizofrenia darah otak
bronkus
12
2. Reseptor Muskarinik M2,
Gambar 6. Aksi asetilkolin pada reseptor asetilkolin muskarinik M 2 di otot jantung, subunit
Giα akan menghambat adenilat siklase, sedangkan subunit βƴ akan membuka
kanal ion K, menyebabkan hiperpolarisasi yang akan menyebabkan berkurangnya
frekuensi denyut jantung. Hiperpolarisasi juga dapat menghambat infuks Ca
diperlukan untuk kontraksi otot. Bersamaan dengan berkurangnya cAMP,
Keadaan ini menyebabkan berkurangnya kekuatan kontraksi otot jantung
13
Reseptor M2 juga dijumpai pada otot polos kandung kemih secara
dominan, bersama reseptor M3 Namun, menank bahwa peranan reseptor M2
dalam kontraksi kandung kemih masih belum jelas walaupun jumlahnya jauh
lebih banyak daripada M3. Kontraksi kandung kemih lebih banyak
diperantarai oleh aksi reseptor M3 yang melibatkan jalur fosfolipase dan
peranan kalsium intrasel. Diduga peran reseptor M 2 pada kontraksi kandung
kemih adalah secara tidak langsung dengan cara membalik/melawan relaksasi
yang disebabkan oleh stimulasi reseptor beta adrenergik melalui peningkatan
cAMP.
3. Reseptor Muskarinik M3
14
Reseptor M3 juga menjadi target aksi beberapa agonis, antara lain
pilokarpin. Pilokarpin bersifat tidak selektif. Obat ini digunakan secara Klinis
pada penyakit glaukoma dan gangguan xerostomia, yaitu kekeringan mulut
atau mata akibat berkurangnya produksi saliva dan air mata yang dapat terjadi
setelah terapi radiasi pada kanker di sekitar kepala dan leher atau pada
Sjögren’s syndrome (suatu penyakit autoimun yang menyerang kelenjar-
kelenjar eksokrin yang memproduksi saliva dan air mata)
C. RESEPTOR ADRENERGIK
15
energi dari glukosa, denyut jantung, dilatasi saluran pernapasan, dan
pengaturan sirkulasi perifer. Selama kondisi normal (tanpa stres), reseptor
adrenergik berperan dalam fungsi berbagai sistem dalam tubuh. Reseptor ini
merupakan reseptor bagi neurotransmiter golongan katekolamin yaitu
adrenalin/epinefrin dan noradrenalin/norepinefrin. Epinefrin terutama
menstimulasi reseptor β adrenergik, sedangkan norepinefrin menstimulasi
terutama reseptor α adrenergik.
Dari Gambar 7 di atas, dapat dilihat beberapa enzim yang terlibat dalam
proses sintesis dan degradasi noradrenalin. Dari enzim-enzim ini, yang
banyak menjadi target aksi obat adalah:
16
Obat antidepresan banyak yang beraksi menghambat MAO inhibitor
seperti dijelaskan pada bab enzim sebagai target aksi obat. Contoh :
tranilsipromin, selegilin.
3. Catechol-O-methyl transferase (COMT)
Inhibitor enzim COMT menyebabkan penghambatan degradasi
noradrenalin/adrenalin sehingga meningkatkan kadar neurotransmiter
tersebut. Contohnya adalah tolcapon dan entacapon yang digunakan
untuk pengobatan penyakit Parkinson.
Gambar 8 Gambaran skematik sinaps adrenergik beserta tempat aksi obat-obatnya, baik pada
jalur sintesis maupun degradasinya (diadaptasi dari Rang, 1999). Inhibitor MAO
meningkatkan ketersediaan noradrenalin (NA) dengan menghambat degranasi
NA. Reserpin menghambat uptake NA ke dalam vesikelnya sehingga
mengurangi jumlah NA yang dapat dijelaskan. Metiltirosin menghambat sintesis
NA dengan menjadi substrat palsu, demikian pula metildopa. Obat lain bekerja
menghambat reuptake NA ke presinaptik atau uptake NA ke pascasinaptik
seperti antidepresan trisiklik
17
masih terbagi lagi menjadi α1 dan α2 serta β1, β2, dan β3. Uniknya, mereka
terikat pada jenis protein G yang berbeda-beda sehingga menyebabkan
respons seluler yang berbeda pula (lihat tabel 7). Reseptor α 1 misalnya, yang
terikat dengan Gq, jika teraktivasi akan memicu signal transduksi melalui
fosfolipase yang ada gilirannya memobilisasi Ca dari retikulum endosplasmik
dan mengaktifkan PKC; sedangkan reseptor α2, yang terikat dengan Gi, jika
teraktivasi akan menyebabkan penghambatan adrenilat siklase.
Tabel 2. Ringkasan tentang Distribusi, Transduksi Signal, dan Respons Seluler Reseptor
Adrenergik.
α1 α2 β1 β1 β1
G-protein Gq Gi Gs Gs Gs,Gi
Copled
18
siklase
1. Reseptor α1 Adrenergik
Reseptor α1 kini diketahui memiliki tiga subtipe yaitu α1A, α1B, dan α1D.
Reseptor α1A terutama banyak dijumpai otot polos pembuluh darah,saluran
vas deferens, dan saluran kemih. Reseptor α1B dijumpai di hati dan limpa.
Reseptor α1D, berlokasi di aorta dan arteri. Signaling-nya semua melalui jalur
fosfolipase yang melibatkan mobillisasi kalsium. Aktivasi reseptor α1 antara
lain menyebabkan vasokontriksi. Stimulasi saraf simpatik yang berlebihan
melalui reseptor ini dapat menyebabkan keadaan patologis seperti hipertensi
sehingga reseptor α1 menjadi target aksi obat-obat antihipertensi, seperti
prazosin, doksazosin, dan terazosin yang selektif mengantagonis reseptor α1.
Di sisi lain, vasokontriksi pada pembuluh darah perifer dihidung menjadi
sasaran agonis reseptor α1 seperti fenilefrin dan fenilpropanilamin dalam
aksinya sebagai dekongestan nasal. Efedrin dan pseudoefedrin kerap
19
digunakan sebagai dekongestan, tetapi ia tidak bersifat selektif terhadap
reseptor α1. Karena itu, walaupun sasarannya adalah reseptor α1 yang berada
pada pembuluh darah perifer membran efek sistemik berupa peningkatan
tekanan darah sehingga perlu hati-hati jika digunakan oleh penderita
hipertensi.
2. Reseptor α2 Adrenergik
Reseptor α2 adrenergik terdiri atas tigasubtipe, yaitu α2A, α2B, dan α2C,
tetapi karena belum adanya ligan yang spesifik terhadap subtipe reseptor-
reseptor ini, fungsi biologis spesifik ketiga subtipe reseptor ini belum banyak
diketahui. Reseptor α2 berlokasi pada saraf presinaptik maupun pascasinaptik.
Transduksi signal reseptor α2 adalah melalui ikatannya dengan protein Gi
yang menyebabkan penghambatan adenilat siklase. Reseptor α2 presinaptik
(disebut juga autoreseptor) berperan dalam pengaturan pelepasan
norepinefrin dari ujung saraf dan tampaknya beraksi sebagai bagian dari
mekanisme umpan balik. Jika sudah banyak norepinefrin yang dilepaskan,
sebagian akan beraksi pada autoreseptornya, menghambat pelepasan
norepinefrin lebih lanjut. Mekanisme penghambatan ini diduga melalui
aksinya pada reseptor yang terhubung Gi dan kanal ion K. Aktivasi reseptor
α2 oleh norepinefrin menyebabkan pembukaan kanal K oleh G Protein sub
unit βὙ sehingga menyebabkan hiperpolarisasi membran yang menghambat
influks Ca yang pada gilirannya menghambat pelepasan neurotransmiter.
Contoh agonis reseptor α2 presinaptik adalah klonidin yang dipakai secara
klinis sebagai obat antihipertensi. Subtipe reseptor α2 yang berperan dominan
sebagai autoreseptor adalah subtipe α2A dan α2C , sedangkan α2B tampaknya
lebih banyak dijumpai pada pasca sinaptik.
Contoh antagonis selektif bagi reseptor α2 adalah yohimbin yang
digunakan secara luas untuk mengatasi gangguan disfungsi ereksi pada pria.
Ereksi penil pada pria merupakan peristiwa neurovaskuler yang melibatkan
hemodinamik didalam corpora cavernosa yang diregulasi oleh sistem saraf
cukup kompleks, antara lain saraf adrenergik, kolinergik, dan nonadrenergik
nonkolinergik (NANC). Diketahui bahwa untuk terjadinya ereksi penil,
20
diperlukan relaksasi otot trabecular pada corpora cavesnosa ddan vasodilatasi
pembuluh darah disekitarnya. Yohimbin bekerja pada reseptor α2 baik pada
sentral maupun pada perifer. Pada reseptor α2 yang ada pada sistem saraf
pusat, yohimbin memicu pelepasan neorepinefrin yang dapat meningkatkan
hasrat seksual, sedangkan pada reseptor α2 yang ada di otoplos corpora
cavernosa, yehimbin menghambat reseptor α2 sehingga menyebabkan
vasodilatasi pembuluh darah sekitarnya. Reseptor α2 pascasinaptik juga
memiliki peran dalam kontraksi pembuluh darah yang diinduksi oleh
katekolamin, namun peranannya relatif lebih kecil daripada reseptor α1.
3. Reseptor β1 adrenergik
Reseptor β1 merupakan reseptor adrenergik utama di jantung dan
transduksi signalnya melalui ikatan dengan protein Gs yang mengaktifkan
jalur adenilat siklase. Di jantung, aktivitas resptor β1 menyebabkan
peningkatan kadar cAMP, menstimulasi PKA untuk memfosforsilasi berbagai
protein regulator Ca dan beberapa protein milofilamen (seperti troponin),
menyebabkan efek peningkatan kontraksi otot jantung dan frekuensi denyut
jantung (efek kronotropik dan iontropik positif). Agonis selektif reseptor β1
seperti norepinerfin dan dubotamin digunakan untuk memacu kerja jantung
pada kondisi syok atau penurunan tekanan darah secara drastis, misalnya
pada pasien syok anafilaksis. Sementara itu, antagonis selektifnya seperti
atenolol, alprenolol, metoprolol dan asebutolol banyak dipakai sebagai obat
antihipertensi. Propanolol, antihipertensi yang cukup banyak dipakai, bersifat
tidak selektif, ia bisa mengikat reseptor β1 maupun β2.
4. Reseptor β2 Adrenergik
Reseptor ini terutama dijumpai di sepanjang saluran pernapasan, otot
poos bronkus dan di liver. Sama dengan reseptor β1 , transduksi signal
reseptor ini melalui ikatannya dengan protein Gs yang memicu aktivitas
adenilat siklase. Aktivasi reseptor ini pada otot polos bronkus meningkatkan
adenilat siklase. Aktivasi reseptor ini pada otot polos bronkus meningkatkan
level cAMP, yang mengaktifkan PKA dan menghambat myosine light chain
kinase ,yang ada pada gilirannya menghambat interaksi aktin-myosin
21
sehingga menyebabkan efek bronkodilatasi. Meskipun pengaturan saluran
pernapasan tidak semata-mata oleh persarafan adrenergik, regulasi adrenergik
ini memiliki kontribusi yang besar sehingga menjadi target aksi obat. Pada
kondisi patologis dimana saluran pernapasan mengalami kontraksi seperti
pada penyakit asma dan PPOK, agonis reseptor β2 menjadi salah satu lini
pertama pengobatan, contohnya adalah salbutamol dan terbutalin (aksi
pendek) salmeterol dan formeterol (yang memiliki aksi panjang). Adrenalin
sendiri sebagai agonis tidak selektif juga kerap digunakan pada keadaan
darurat yang memerlukan efek bronkodilatasi yang cepat dan kuat.
Di liver, aktivasi reseptor β2 menstimulasi peristiwa glikogenolisis
(peruraian glikogen menajdi glukosa). Peningkatan cAMP akibat aktivasi
protein Gs akan memicu PKA untuk memfosforilasi protein yang terlibat
dalam glikogenolisis, seperti glikogen fosforilase kinase dan glikogen
fosforilase.
4. Reseptor β3 Adrenergik
Reseptor β3 adrenergik merupakan reseptor adrenergik yang terutama
banyak dijumpai pada jaringan adipose/lemak. Hipotesis adanya reseptor β3
ini berawal dari adanya fakta bahwa pada jaringan adipose, dijumpai efek-
efek lipolisis dan konsumsi oksigen yang tidak diperantarai oleh reseptor β
adrenergik yang sudah diketahui (β1 dan β2), sampai pada akhirnya grup
Emorine dkk. Pada tahun 1989 berhasil dapatmeningkatkan ekspresi protein
“uncoupling protein (UCP)” yang berperan dalam proses termogenesis.
Selain itu, aktivasi reseptor β3 juga berperan penting dalam proses lipolisis
pada sel adiposit. Adanya polimorfisme pada reseptor β3, tepatnya pada allele
W64R, dilaporkan terkait dengan kejadian obesitas, terutama pada pria.
Karena itu reseptor ini sekarang dikembangkan sebagai salah satu target
pengobatan obesitas.
Selain di jaringn adipose, diketahui bahwa reseptor β3 adrenergik jugs
dijumpai pada berbagai jaringan, seperti usus halus, usus besar, lambung,
otak, kandung kemih, uretra, dan pada otot atrial dan ventrikel jantung. Pada
dekade terakhir, karakterisasi reseptor β3 pada sistem kardiovasikuler telah
22
mengubah pandangan terhadap pengaturan sistem saraf simpatik pada sistem
kardiovaskuler. Di jantung, stimulasi reseptor β3 menghasilkan efek yang
berlanan dengan efek yang dihasilkan oleh aktivasi reseptor β1 maupun β2 ,
yakni efek inotropik negatif yang disebabkan oleh stimulasi reseptor β3 ini
adalah berperan sebagai “katup penyelamat” ketika ada stimulasi adrenergik
yang berlebihan.
Pada pembuluh darah, semua tipe reseptor β menyebabkan vasodilatasi.
Karena reseptor β3 teraktivasi pada konsentrasi katekolamin yang lebih tinggi
daripada reseptor β1 dan β2 , ia dapat berperan sebagai cadangan reseptor.
Reseptor β3 ternyata terekspresi berlebhan pada kondisi gagal jantung dan
hipertensi sehingga dapat menjadi target terapi baru untuk gangguan
kardiovaskuler.
Transduksi signal reseptor β3 sama dengan reseptor beta lainnya, yaitu
melalui ikatan Gs yang mengaktifkan adenilat siklase dan menghasilkan
cAMP. Pada otot atrial, aktivasi reseptor β3 memicu fosforilasi kanal Ca dan
meningkatkan kadar Ca intraseluler sehingga memicu kontraksi, sedangkan
pada sel adipose, reseptor ini memperantarai peristiwa lipolisis dan
termogenesis.
Meskipun demikian, aktivasi reseptor β3 pada otot ventrikular
menggunakan jalur transduksi signal yang berbeda, yaitu melalui ikatan
dengan protein G dan Gi yang menyebabkan turunnya kadar cAMP sehingga
menyebabkan relaksasi otot. Selain itu, aktivasi reseptor β3 juga akan
menghasilkan oksida nitrat (NO) melalui aktivasi NO synthase (NOS) pada
sel endotelial maupun pada sel oto ventrikular. NO akan menghasilkan cGMP
yang pada gilirannya juga memberikan efek menurunkan kekuatan kontraksi.
Keberadaan reseptor β3 pada saluran uretracukup menarik juga, yakni
bahwa aktivasi reseptor ini mengatur relaksasi kandung kemih dan uretra.
Jika pada reseptor muskarinik M3 telah dikembangkan antagonis seperti
darifenacin dan solifenacin, untuk reseptor β3 saat ini telah dikembangkan
agonis selektif untuk mengatasi gangguan over-active bladder, yaitu
23
mirabegron dengan nama paten Myrbetriq yang disetujui penggunaannya
oleh FDA pada bulan Juni 2012.
Banyak obat yang bekerja pada reseptor adrenergik, baik sebagai agonis
maupun antagonis, selektif maupun nonselektif. Pada tabel 3 ditampilkan
obat-obat yang bekerja pada reseptor tersebut beserta aksi formakologinya.
Tabel 3. Obat-obat yang Bekerja pada Reseptor Adrenergik Beserta Aksi Farmakologinya.
β2 Salbutamol, Bronkorelaksasi - -
salmeterol, menghambat
formoterol, pelepasan
terbutalin histamin dari sel
mast
24
merelaksasi otot
detrusor pada
kandung kemih
D. RESEPTOR DOPAMIN
25
glikósilasi. Ujung C terminal intraseluler mungkin mengikat gugus palmitoil
yang dapat membentuk hubungan ke membran.
Reseptor dopamin yang termasuk keluarga D1 memiliki protein loop.
Protein intraseluler ketiga yang pendek dan ekor ujung C terminal
intraseluler yang panjang, sedangkan keluarga D2 memiliki protein lingkaran
ketiga intraseluler ketiga yang panjang dan ekor ujung C terminal intraseluler
yang pendek. Hal ini yang tersebut membedakan struktur keluarga D1 dan
D2, juga membedakan interaksi kedua keluarga tersebut dengan protein G.
Tipe reseptor dopamin yang berbeda menunjukan profil farmakologi, lokasi,
dan kerja yang berbeda.
Reseptor dopamin interaksi interaksi dengan protein. Salah satu tipe
protein yang dapat dihubungkan dengan reseptor dopamin disebut Do-
pamine Receptor Interacting Proteins (DRIPS). Salah satu contohnya adalah
neuron Ca sensor-1 (NCS-1) yang berinteraksi dengan D2. Dalam kasus ini,
protein yang berinteraksi dapat memediasi efek Ca2+ pada reseptor D2.
Interaksi juga terjadi dengan jenis reseptor lain, salah satunya kanal ion
aktivasi dan GPCR membentuk homodimer atau heterodimer.
Pada Tabel 4 disajikan subtipe reseptor dopamin, distribusi, transduksi sinyal,
dan beberapa contoh agonis dan antagonisnya.
Tabel 4. Ringkasan tentang Distribusi, Transduksi Signal, dan Respons Seluler Reseptor
Dopamin (Missale, et al., 1998)
D1 D5 D2 D3 D4
26
mus pituitari
Protein G Gs Gs Gi Gi Gi
27
muntah skizofrenia,
hiperprolakt
iriemia
mual dan
muntah
Keluarga D1
Reseptor D1 terdapat dalam jumlah yang tinggi pada otak bagiam
neostriatum, substansia nigra, nucleus accumbens, dan olfactory tubercle,
amyangdala, frontal cortex, dan sedikit lebih rendah pada hippocampus,
cerebellum, thalamic areas, dan hypothalamic. Sementara itu, reseptor D5
ditemukan di hippocampus, thalamus, striatum, dan korteks serebral.
Reseptor D5 ditemukan dalam jumlah yang lebih rendahbila dibandingkan
dengan reseptor D1. Stimulasi reseptor D1 dan D5 akan menyebabkan
aktivasi adenilat siklase. Stimulasi D1 juga menyebabkan stimulasi
fosfolipase C. Belakangan respons ini dihubungkan dengan pembentukan
heterodimer reseptor D1/D2.
Fungsi reseptor D5 belum sepenuhnya diketahui, tetapi perannya pada
fungsi otak telah diusulkan oleh para ahli. Reseptor D1 memegang peranan
penting dalam memediasi aksi dopamin pada proses kontrol pergerakan,
fungsi kognitif, dan fungsi kardiovaskuler. Keluarga reseptor D1 juga dapat
berhubungan langsung dengan reseptor terhubung kanal ion sehingga
menyebabkan modulasi fungsi reseptor (reseptor D1/reseptor NMDA,
reseptor D5/reseptor GABAA).
Apomorfin merupakan agonis keluarga reseptor D1 yang telah lama
dikenal. Senyawa ini memperlihatkan afinitas dan selektivitas yang moderat
terhadap reseptor D1. Agonis keluarga reseptor D1 yang lebih selektif
diantaranya dihidreksin dan SKF 81297. Senyawa golongan tioxantin (contoh
: flupentixol) dan golongan fenotiazin (contoh : flupenazin) merupakan
contoh antagonis yang menunjukkan afinitas yang tinggi terhadap keluarga
D1. Akan tetapi, kedua senyawa ini tidak memperlihatkan selektivitas yang
tinggi pada keluarga D1. SKF 8366 merupakan salah satu antagonis keluarga
28
D1 yang menunjukkan afinitas dan selektivitas yang tingi. Reseptor D5
meiliki afinitas yang lebih tinggi terhadap dopamin daripada reseptor D1.
Keluarga D2
Reseptor D2 merupakan reseptor dopamin yang dominan pada keluarga
D2 di otak. Reseptor D2 banyak ditemukan di nucleus accumbers, alfactory
tubercle, dan korteks serebral. Reseptor D3 dan D4 ditemukan dalam jumlah
yang jauh lebih rendah dan terlokalisasi pada daerah limbik di otak. Beberapa
reseptor D3 juga ditemukan pada daerah yang berhubungan dengan fungsi
motorik seperti putamen.
Keluarga reseptor D2 memperlhatkan penghambatan terhadap adenilat
siklase. Saat diaktivasi, reseptor ini akan menstimulasi beragam proses,
diantaranya peristiwa signaling akut (inhibisi adenilat siklase, stimulasi kanal
K+, inhibisi kanal Ca+, stimulasi pelepasan asam arakidonat) dan signaling
yang dimediasi D3 biasanya memiliki kekuatan yang lebih rendah daripada
signaling yang dihasilkan keluarga D2 pada umumnya.
Reseptor D2 memegang peranan penting dalam memediasi dopamin
pada proses kontrol pergerakan, aspek tingkah laku tertentu pada otak, dan
sekresi prolaktin dari kelenjar pituitari anterior.Fungsi Reseptor D3 dan D4
belum di ketahui secara pasti. Akan tetapi, bila melihat lokalisasinya pada
daerah limbik otak, kedua reseptor ini memiliki peranan penting dalam
kognisi serta fungsi tingkah laku dan emosi. Aktivitas antipsikotik dan efek
samping berupa efek ekstrafiramidal merupakan akibat dari blokade keluarga
reseptor D2 oleh obat neuroleptik generasi lama.
Keluarga reseptor D2 memperlihatkan afinitas yang tinggi terhadap
kebanyakan obat yang digunakan untuk terapi skizofrenia (golongan anti
psikotik) dan terapi penyakit Parkinson ( contoh : Bromokriptia). Banyak
obat yang diduga merupakan antagonis keluarga D2 menunjukkan aktivitas
sebagai inverse agonist pada reseptor D2 dan D3, misalnya obat anti psikotik
Haloperidol, clorpromazin, dan clozapine. Lokasi reseptor dopamine D3 dan
D4 membuatnya menjadi target unutk obat antipsikotik.
29
Dopamin merupakan agonis keluarga reseptor D2 yang menunjukkan
afinitas yang moderat D1 antara keluarga D2, subtipe reseptor D3
memperlihatkan afinitas yang paling tinggi terhadap dopamine. Salah satu
agonis keluarga reseptor D2 yang lebih selektif adalah quinpirole. Obat
golongan butirofenon (contoh : haloperidol) dan benzamid tersubtitusi
(contoh : sulpirid) merupakan antagonis keluarga D2 yang selektif. Kedua
golongan obat ini memperlihatkan afinitas yang tinggi terhadap keluarga
reseptor D2. Obat-obat yang selektif terhadap masing-masing subtipe
reseptornya. Benzamid tersubtitusi seperti sulpirid dan raclopirid
menunjukkanafinitas yang tinggi terhadap reseptor D2 dan D3, tetapi
memiliki afinitas yang lebih rendah terhadap sebtipe reseptor D4. Selain itu,
afrinitasnya dalam tipe reseptor yang seam, tetapi lokasi yang berbeda juga
menunjukkan perbedaan. Misalnya, clozapine memiliki afinitas yang tinggi
pada reseptor D2 yang berada di alfactory tubercle.
Beberapa obat dapat berikatan dengan semua tipe reseptor dopamine,
tetapi dengan kekuatan yang berbeda-beda. Obat-obat golongan antipsikotik,
seperti haloperidol, klorpromazin, dan klozapin berikatan lebih kuat dengan
reseptor D2 yang memang terlibat dalam penyakit skizofrenia. Perlu
diketahui bahwa skizofernia adalah penyakit gangguan kejiwaan yang
ditandai dengan gejala halusinasi, delusi, dan pikiran-pikiran yang tidak
terorganisasi yang Sebagian disebabkan oleh hiperaktivitas dopamine pada
jalur mesolimbic di otak.
Sebaiknya, pada pengobatan penyakit Parkinson, diperlukan obat agois
reseptor dopamine seperti bromokriptin. Obat lebih baru untuk agonis
reseptor dopamine adalah pergolide, pramipreksol, dan ropinirole. Penyakit
Parkinson merupakan penyakit yang ditandai dengan tremor, bradykinesia,
dan ketakseimbangan tubuh yang disebabkan oleh terjadinya degenerasi saraf
dopaminerigik. Karena itu, salah satu pendekatan pengobatannya adalah
dengan mengaktivasi reseptor dopamine dengan agonisnya. Gambaran secara
skematik reseptor dopamine dapat dilihat pada Gambar 9 dan ringkasannya
dapat dilihat pada table 4.
30
Gambar 9. Skematik reseptor dopamine pada sinaps. Amati bahwa ada reseptor dopamine
yang terdapat pada ujung saraf presinaptik, yaitu D2 dan D3. Reseptor D2
berfungsi sebagai autoreseptor, jika diaktivasi akan menghambat pelepasan
dopamine dari presinaptik, sedangkan fungsi reseptor D3 masih belum jelas.
(Dikutip dari Nestler, et al., 2001)
E. RESEPTOR ANGIOTENSIN
31
Aksi ini diperantarai oleh ikatan angiotensin pada rescptornya, yaitu
tescptor angiotensin. Reseptor angiotensin terdiri atas dua subtipe, yaitu
reseptor ATI dan AT2. Rescptor ATI terdistribusi pada otot polos pembuluh
darah, paru-paru, hati, ginjal, dan otaks sedangkan reseptor AT2 terdapat
pada jaringan reproduksi, otak, dan janin, tetapi berkurang dcngan cepa
setelah kelahiran. Hampir sebagian besar aksi angiotensin II diperantarai oleh
reseptor ATI , sedangkan aksi reseptor AT2 adalah melawan aksi dari ATI,
Hanya saja, dalam keadaan normal pada orang dewasa, rescptor ATI ini jauh
lebih sedikit daripada ATI dan reseptor ini di-up-regulasi pada kondisi-
kondisi patologis.
32
Gambar 10 Skema reseptor angioteasin ATI dan Signal transduksinya. Reseptor ATI
tergandeng dengan protein G dan aktivasinya melaluinjalur fosfolipase.
Diadaptasi dari , et al.,1996
F. RESEPTOR HISTAMIN
33
Tabel 5. Profil Subtipe Reseptor Histamin
Histamin H1 Histamin H2 Histamin H3 Histamin H4
G. protein Gq/ 11 Gs Gi/Go Gi/Go
Coupling
Transduksi PLC cAMP MAPK MAPK
signal Ca2+ Ca2+
utama cAMP cAMP
Distribusi Paru-paru, Jantung, Sisrtem saraf Sel mast,
ke Jaringan otak, lambung, otak (CNS,PNS) eosifonil
pembuluh
darah
Fungsi Kontraksi Sekresi asam Tidur, food Chemotaksis
Fisiologis otot polos, lambung intake
food intake,
regulasi
tidur-bangun
Reaksi Reaksi Tukak Coknitive Reaksi imun,
patofisiolo Alergi lambung impairment, inflamasi
gis seizure
Agonis Histamin 2- Histamine Histamine Clobenpropid
(3 Amtamin R-a- 4-
(trifluorometi Dimaprit metilhistami metilhistamin
l)-fenil) Ipromidin n burimamid
histamine 2- arpromidin Imetit
thiazoliletila Immepip
min Na-
metilhistami
n
Antagonis Mepiramin Simetidin Tioperamid Tiperamid
(-) dan (+) Ranitidine Klobenpropi
chlorphenira Tiotidin d
min Zolantidin Lodepenpro
Triploridin famotidin pid
34
Temelastin Iodoproxyfa
Difenhidrami n
n
Prometazin
Efek histamin terhadap proses fisiologis tubuh dimediasi oleh empat tipe
reseptor yang berbeda, yaitu reseptor histamin H1,H2,H3, dan H4 Seluruh
reseptor histamin termasuk dulam golongan G-Proreim Coupled Resentor
(GPCR). Walaupun demikian, reseptor-reseptor tersebut berbeda dalam
distribusi, ikatan dengan ligan, jalur signaling, dan fungsinya. Di antara
keempat reseptor ini, rescptor histamin H merupakan reseptor yang
ditemukan paling baru. Reseptor histamin H1, dan H2, telah menjadi target
ba pengembangan obat alergi dan tukak lambung yang banyak menghaikan
obat yang menjadi pilihan, sedangkan pengembangan obat untuk reseptor
histamin H3, baru memasuki tahap uji klinis dan H⁴ masih dalam tahap
ujiprakinis .
Reseptor Histamin H1
35
Pada sel-sel endotelial pembuluh darah, peningkatan Ca intraseluler dan
ikatan Ca dengan calmodulin dapat mengaktifkan Nitric Oxide (NOygruhase,
yang menghasilkan produksi nitric oxide (NO), NO adalah suatu vasodilator
dengan cara meningkatkan produksi cGMP yang mengaktifkan myosin light
chain posphatase yang pada gilirannya menghambat kontraksi otot. Hal ini
menyebabkan efek vasodilatasi oleh histamin pada pembuluh darah perifer
dan kapiler.
Agonis reseptor H1, tidak banyak digunakan sebagai obat, tetapi lebih
banyak digunakan sebagai bahan uji penclitian farmakologis. Modifikasi
gugus imidazol pada histamin merupakan pendekatan yang paling baik dalam
menghasilkan agonis H1. Ini menunjukkan bahwa sistem tautomer N'N pada
gugus imidazol tidak merupakan suatu kehanwan. Modifikasi gugus Imidazol
ini menghasilkan 2-piridiletilamin dan 2-tiazoliletilamin. Agonis H, lain yang
cukup poten adalah betahistin yang digunakan untuk mengobati penyakit
Meniere. Akan tetapi, obat ini juga menunjukkan aktuvitas Sebagai antagonis
H3.
36
Efek sedative merupakan masalah utama yang di alami saat
menggunakan antagonis histamine H1 generasi pertama seperti
dipenhidramin, doxilamin, dan mepiramin. Hal ani disebabkan Oleh
tingginya penetrasi sawar darah otak sehingga penggunaannya seperti
antagonis histamine H1 mulai berkurang. Antagonis histamine H1 generasi
pertama kini banyak digunakan sebagai sedative ringan
Reseptor Histamin H2
37
impromidin dan arpromidin memiliki afinitas yang lebih tinggi dan pengaruh
inoropik vasodilatasi positif. Gugus guanadium terprotonasi yang memiliki
gugus penarik elektron yang kuat biasa digunakan sebagai prodrug karena
kepolarannya pada medium fisiologis.
3. Reseptor Histamin H3
38
kinase, fosfolipase A, (pelepasan asam arakhidonat) dan AkvGSK-3P kinase,
anlubisi antiporter Na' H' serta menyebabkan mobilisasi Ca 2+ terinduksi K+,
Reseptor H3, terdapat dalam bentuk isoform yang berbeda-beda pada
jaringan dan spesies yang berbeda. Hal ini menimbulkan asumsi bahwa
proses signuling melibatkan oligomerisasi reseptor.
39
aromatik yang kemudian akan dihubungkan lag! kepada gugus peningkat
afinitas yang biasanya berupa gugus basa lam. gugus hidrofilik, gugus
lipofilik, atau kombinasinya.
4.Reseptor Histamin H4
Stimulasi reseptor H4, melalui jalur Ga1, dan Ga0, akan menyebabkan
penghambatan pada sistem adenilat siklase, proses downstream dari elemen
reseponsif cAMP, aktivasi MAP kinase dan fosfolipase C, serta mobilisasi
Ca2+ pada eosinofil dan sel mast.
40
Antagonis H4 memperlihatkan potensi sebagai antiinflamasi pada asma,
artritis, colitis, dan pruritik. Sementara itu, untuk terapinya sebagai terapi
pengobatan gangguan autoimun, kondisi alergi dan respons nosisepuf masih
perlu ditunggu.
41
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Penyakit parkinson berhubungan dengan kekurangan dopamin. Kerja
dopamin berhubungan dengan reseptor dopamin, suatu reseptor yang
bergandeng protein G (G-Protein-Coupled Reseptor (GPCR). Penyakit
parkinson disebabkan karena terjadinya degrenasi saraf dopaminergik.
Karena itu, salah satu pendekatan pengobatannya adalah dengan
mengaktivasi reseptor dopamin dengan agonisnya. Dan obat yang digunakan
yakni APOKYN atau apomorphine hydrachloride.
B. SARAN
Demikian makalah ini penulis selesaikan untuk memperdalam
pengetahuan dan menyelesaikan tugas yang diberikan jika ada kesalahan,
penulis bersedia menerima kritik dan saran.
42
DAFTAR PUSTAKA
2. Lodish, H., Berk, A., Zipursky, A.L., Matsudaira, P., Baltimore, D, Darnell,
J., 2000, Molecular Cell Biology, 4th Ed., Freeman and Company, New York.
4. Bate, L., dan Gardiner, M., 2001, Molecular Genetic of Human Epilepsies,
http://www-ermm.cbcu.cam.ac.uk/9900143Xh. htm
7. Shieh, C., Coghlan, M., Sullivan, JP, Gopalakhrisnan, M., 2000, "Potassium
Channels: Molecular Defects, Diseases, and Therapeutic Opportunities",
Pharmacol Rev, 52:557 593.
8. Kubo, Y., Adelman, J.P., Clapham, D.E., Jan, L.Y., Karschin, A, Kurachi, Y.,
Lazdunski, M., Nichols, C.G., Seino, S., Vandenberg, C.A., 2005,
"International Union of Pharmacology. LIV. Nomenclature and Molecular
Relationships of Inwardly Rectifying Potassium Channels", Pharmacol Rev
57:509-526,
9. Cahalan, MD, Chandy, KG, 2009. "The Functional Network of Ion Channels
in T Lymphocytes", Immunol Rev, 231(1): 59-87.
10. Hill, R.J., Grant, A.M., Volberg W., Rapp L., Faltynek, C., Miller D., Pagani,
K., Baizman, E., Wang S., and Guiles JW., 1995, "WIN 17317-3: Novel
43
Nonpeptide Antagonist of Voltage-activated Kl Channels in Human T
Lymphocytes", Mol Pharmacol, 48:98-104.
44