ABSTRACT
This article discusses the semiotic analysis of Joko Pinurbo's poem "Sajak Balsem
untuk Gus Mus". The focus of this article's discussion is the sign aspect that appears
throughout the whole poem. The signs that appear are then analyzed based on the
concept of semiotics proposed by experts, namely by taking the aspects that are
most prominent in the discussion. In addition, the discussion of semiotics in this
poem will discuss the relationships between the signs that appear so that it can show
a meeting point that represents other things that are outside the poem. Joko
Pinurbo's poem "Sajak Balsem untuk Gus Mus" has a strong relationship with objects
outside the work. This relation then gave rise to an interpretation which would result
in an interpretation in obtaining the complete meaning of the poem "Sajak Balsem
untuk Gus Mus". The merging or collaboration between internal and external aspects
of this poem is an attempt to give greater appreciation to a work. This means that a
work produced by one's mind can have a myriad of meanings regardless of the first
intention to be conveyed by the writer. The meaning of a literature can even reach
whatever is there and intersect with it both directly and indirectly.
KEYWORDS
Semiotics, Poetry, Joko Pinurbo, Literary Meaning, Meaning Interpretation, Gus Mus
ABSTRAK
Artikel ini membahas analisis semiotika pada puisi “Sajak Balsem untuk Gus Mus”
karya Joko Pinurbo. Fokus pembahasan artikel ini ialah aspek tanda yang muncul
pada keseluruhan puisi tersebut. Tanda-tanda yang muncul kemudian dianalisis
berdasarkan konsep kajian semiotika yang dikemukakan oleh para ahli, yakni dengan
mengambil aspek-aspek yang paling menonjol di antaranya. Selain itu, pembahasan
semiotika pada puisi ini akan memperhatikan hubungan-hubungan di antara tanda-
tanda yang muncul sehingga dapat menunjukkan sebuah titik temu yang
merepresentasikan hal-hal lain yang berada di luar puisi tersebut. Puisi “Sajak
Balsem untuk Gus Mus” karya Joko Pinurbo memiliki hubungan yang kuat relasinya
dengan objek di luar karya tersebut. Relasi tersebut kemudian memunculkan
penafsiran yang akan menghasilkan interpretasi dalam memahami makna puisi
“Sajak Balsem untuk Gus Mus” secara menyeluruh. Penggabungan atau
pengolaborasian antara aspek internal dan eksternal puisi tersebut merupakan
sebuah usaha dalam memberikan apresiasi yang lebih besar terhadap sebuah karya.
Hal ini berarti satu karya hasil kerahan pikiran seseorang itu dapat memiliki
segudang makna terlepas dari maksud pertama yang ingin disampaikan oleh penulis.
Makna sebuah sastra bahkan bisa menjangkau apa saja yang ada dan bersinggungan
dengannya baik secara langsung maupun tidak langsung.
KATA KUNCI
Semiotika, Puisi, Joko Pinurbo, Makna Sastra, Penafsiran Makna, Gus Mus
PENDAHULUAN
Kajian semiotika merupakan kajian yang menghubungkan teks sastra dengan
hal-hal di luar lingkupnya tersebut. Penghubungan tersebut tentunya sesuai
dengan sistem tanda yang bermakna, yang pemakaiannya tidak lepas dari
aturan-aturan yang telah disepakati di dalamnya. Menurut Bustam (2014)
semiotik memandang bahwa fenomena sosial (masyarakat) dan kebudayaan
merupakan tanda-tanda. Semiotik mempelajari konvensi –konvensi yang
memungkinkan suatu tanda yang dimaksud mempunyai arti atau makna.
Puisi yang dikaji dengan teori semiotika akan menunjuk kepada representasi
masing-masing orang. Isnaini (2017) menyatakan bahwa representasi yang
dimaksud dalam hal di atas dapat dilihat dalam beberapa aspek, seperti
penggunaan kata-kata yang menonjol dalam karya tersebut. Karya sastra
hadir dalam masyarakat sebagai suatu cerminan hidup dan penghibur
(Purboasri, dkk.: 2017). Hiburan tersebut merupakan selera yaitu tafsiran dari
tanda-tanda yang ada dalam setiap sastra, begitu juga puisi.
Menganalisis menggunakan kajian semiotik menjadikan peneliti juga
dapat mengetahui makna tersirat dari puisi objek analisis yang menjadi tanda
dan penanda suatu karya (City, dkk, 2018). Pernyataan tersebut menjelaskan
bahwa makna tersirat suatu karya sastra dapat dianalisis melalui kajian
semiotik ini dengan mengetahui terlebih dahulu tanda-tanda yang digunakan
sebagai penanda untuk keseluruhan karya dapat ditafsirkan secara
sempurna. Semiotika pada perkembangannya menjadi perangkat teori yang
digunakan untuk mengkaji kebudayaan manusia (Umam, 2018).
Sebagaimana dalam puisi Joko Pinurbo yang berjudul “Sajak Balsem untuk
Gus Mus” yang sangat sarat dengan kehidupan riil manusia di zaman ini dan
di negeri ini. Fenomena-fenomena selalu meliputi kehidupan manusia-
manusia zaman sekarang dengan segala kegilaan yang bisa saja terjadi.
Sastra, khususnya puisi di kalangan sufi dijadikan medium ekspresi
pengalaman mistiknya (Saddhono & Haniah, 2018). Hal tersebut
menunjukkan bahwa bukan hanya di kalangan tertentu puisi menjadi suatu
symbol, tetapi juga di berbagai bidang lainnya.
Proses kontemplasi yang dilalui para pengarang puisi biasanya
membentuk ciri-ciri terhadap tema yang diambilnya (Azhari, 2014).
Perenungan yang dimaksud ialah proses batiniah yang dilakukan oleh
penyair untuk menjadi modal utama dalam menciptakan sebuah karya yang
tidak biasa. Proses merenung sering kali memunculkan ide-ide yang tak
terduga dan dari hal tersebutlah muncul makna-makna yang lebih dalam dari
setiap diksi yang dipakai oleh penyair dalam puisinya. Setiap makna selalu
memiliki tanda-tanda yang dapat dihubung-hubungkan sehingga membentuk
suatu makna baru yang mencakup keseluruhan isi karya puisi tersebut. Maka
dari itu, setiap penyair seharusnya mempunyai waktu-waktu tertentu yang
digunakan sebagai titik kontemplasinya untuk menaruh tanda-tanda di setiap
makna puisinya.
Puisi yang memiliki makna yang dalam dapat menjadi sebuah
penyejuk hati yang marah dan mampu membantu dalam menyelesaikan
masalah. Puisi memiliki fungsi yang esensial dalam pembinaan proses
pemanusiaan insan-insan modern yang selalu dilanda oleh konflik-konflik
yang tak terselesaikan (Zulfahmi, 2014). Seperti yang telah disinggung
sebelumnya bahwa kontemplasi mampu memperdalam makna puisi. Maka
dari itu, hendaknya menulis puisi itu harus memperhatikan segala hal
termasuk perenungan ini yang sangat memiliki pengaruh terhadap hasil akhir
puisi tersebut. Tanda-tanda yang dimunculkan akan membangun pemaknaan
pembaca terhadap keseuruhan isi puisi. Kata-kata dalam puisi bersifat
simbolis dan bermakna konotatif (Supriyono, dkk.: 2018). Maka dari itu,
setiap kata dalam puisi selalu memiliki makna yang tersembunyi.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Metode deskriptif
kualitatif diuraikan sebagai langkah-langkah pemecahan masalah yang dicari
titik terangnya dengan menggambarkan keadaan objek penelitian
berdasarkan kenyataan yang terlihat. Metode ini bertujuan menunjukkan
secara sistematis karakteristik objek penelitian secara faktual dan cermat.
Metode tersebut digunakan untuk menarasikan dan menuangkan berbagai
pemaknaan pesan yang terdapat di dalam puisi “Sajak Balsem untuk Gus
Mus” dengan kalimat-kalimatnya yang sangat kaya amakna tersirat. Sejalan
dengan pendekatan semiotik, pemaknaan pada penelitian ini tidak semata-
mata mengalihbahasakan, tetapi juga terikat pada konvensi yang mencegah
dari kesalahan penafsiran, juga faktor dari diri penulis yang juga mempunyai
kesan tersendiri dalam membaca karya yang ditulisnya. Larasati dan
Sunanda (2019) menyatakan bahwa menganalisis sebuah karya sastra
dengan pendekatan semiotik akan mendapatkan makna sebenarnya dan
dipahami sebagai karya seni yang mempunyai nilai puitis. Makna sebenarnya
ialah yang murni dari penulis yang benar-benar ingin disiratkan dalam puisi
tersebut kepada penulis.
Bait kelima
Kita sih hepi-hepi saja Gus.
Ngeteh dan ngebul di beranda
Bersama khong guan isi rengginang.
Menyimak burung-burung
Bermain puisi di dahan-dahan.
Menyaksikan matahari
Koprol di ujung petang.
Bait kelima menunjukkan sikap santai yang sangat menyenangkan. Jika hidup
bisa senikmat itu mengapa harus keras dan malah menjadikan keadaan diri
sendiri menjadi tidak karuan, bahkan gila. Hidup ini sangat indah, masih
banyak kebesaran Tuhan yang perlu disyukuri daripada hanya sibuk
mengamati orang lain lalu berkomentar sinis dan belum tentu akan
membawa suatu manfaat bagi dirinya sendiri.
Bait keenam
Bahagia adalah memasuki hatimu
Yang lapang dan sederhana.
Hati yang seluas cakrawala.
Bait ini mempertegas bait sebelumnya. Bahagia merupakan keadaan atau
perasaan senang dan tenteram dan tidak ada sedikit pun kesusahan yang
menghampiri. Kesederhaan merupakan kebahagiaan dan seni dalam
menikmati anugerah hidup dari Sang Pencipta.
Puisi“Sajak Balsem untuk Gus Mus” tidak dapat dimaknai hanya
ditingkat leksikal, tetapi harus melewati tahapan semiotik, yaitu melalui
pembacaan retroaktif atau hermeneutik yang melibatkan kode-kode di luar
bahasa agar makna teks dapat ditemukan dan diselami. Judul puisi dapat
dikaji melalui tahapan semiotik, yaitu Gus Mus bermakna simbolis yang
dikorelasikan dengan penyair melalui aku liris yang implisit
terepresentasikan dalam puisi dan pemikirannya. Korelasi keduanya
menunjukkan penafsiran bahwa kedua simbol tersebut sebagai wujud
toleransi antartokoh yang sekaligus umat Tuhan yang berkeyakinan
berbeda, namun memandang perbedaan sebagai rahmat dan jalan menuju
keindahan. “Sajak balsem untuk Gus Mus” sebagai simbol kehidupan yang
saling bertoleransi di atas keyakinan yang sering kali dianggap sebagai
polemik sosial. Melalui sajak balsam, penyair menerangkan bahwa
permasalahan tentang keyakinan itu tidak perlu dibahas berlebihan karena
tidak akan pernah bertemu dengan penyelesaian yang melegakan semua
pihak seperti balsem. Bentuk kritik diungkapkan oleh Joko Pinurbo tentang
ketakwaan manusia penganut keyakinan yang belum sempurna sehingga
tidak dapat menjalani hidup dengan cinta.
Joko Pinurbo juga menggambarkan karut-marut diri dan hati manusia
yang dalam berhubungan dengan umat lain memanfaatan agama untuk
kepentingan diri sendiri dan duniawi dengan tidak mengikutsertakan Tuhan
dalam segala keadaan yang dialaminya. Manusia sering kali memiliki hawa
nafsu yang tidak pernah selesai dan tidak pernah terpenuhi. Peristiwa yang
digambarkan dalam puisi Joko Pinurbo tersebut berupa keserakahan
manusia yang semakin saja meresahkan manusia lain. Peristiwa-peristiwa
tidak jelas yang terus terjadi berulang-ulang tanpa titik temu merupakan
peristiwa aktual di tanah air yang selalu menjadi bahan perenunga kritis di
benak dan hati penyair dan pembaca. Keindahan bahasa dalam sastra
merupakan bagaian dari proses kreatif dari seorang pengarang dalam
pemilihan kata (Rondiyah, dkk.: 2017. Oleh sebab itu, tanda-tanda yang
muncul dari sastra selalu memungkinkan pemaknaan yang indah pula.
Selain kombinasi tanda, analisis semiotik juga mengungkap interaksi di
antara tanda-tanda (Piliang, 2004). Dapat dilihat dalam puisi “Sajak Balsem
untuk Gus Mus” tersebut bahwa antartanda saling berinteraksi sehingga
menimbulkan suatu pemaknaan yang semakin luas dan bervariasi. Puisi
senantiasa berbicara mengenai sesuatu secara tidak langsung dengan
menyembunyikannya ke dalam suatu tanda (Huri, dkk., 2017). Tanda
merupakan tempat persembunyian dari maksud yang ingin disampaikan
kepada pembaca yang tersebar dalam semua titik dalam puisi. Tanda-tanda
yang tersebar tersebut dapat membaca pembaca kepada penafsiran yang
utuh jika telah menyelesaikan membaca dan mencerna suatu puisi atau
karya sastra lainnya.
Menurut Fadli (2015), dimungkinkan berbagai lapis tafsir dalam
penafsiran puisi yang bermuara dari pemakaian kata-kata kiasan dan
bermakna ganda yang terdapat di dalam puisi tersebut. Tafsir yang berlapis
maksudnya ada cabang-cabang konteks makna yang dapat diserap oleh
setiap penikmat puisi tersebut dengan dipengaruhi oleh faktor yang dimiliki
oleh pembaca tersebut seperti, tingkat pengetahuan, pengalaman,
banyaknya bacaan serupa, dan lain sebagainya. Menganalisis dengan
pendekatan semiotik terhadap puisi dapat dikembangkan dalam
pembelajaran sastra (puisi) karena pendekatan semiotik cukup mendasar
dalam memaknai puisi (Yukiarti, 2014). Pendekatan ini dapat
mempermudah dalam penyampaian materi kepada peserta didik. Dikaitkan
dengan pembelajaran, memang belajar selalu dengan menggabungkan
yang sedikit-sedikit menjadi satu kemudian memaknai suatu ilmu secara
utuh atau secara keseluruhan.
SIMPULAN
Berdasarkan pembahasan yang telah diselesaikan di atas, puisi “Sajak
Balsem untuk Gus Mus” karya Joko Pinurbo menunjukkan tanda yang
merepresentasikan sesuatu yang berada di luar karya tersebut. Sesuatu yang
ada di dalam pembahasan tersebut akan saling memiliki hubungan. Puisi
“Sajak Balsem untuk Gus Mus” jelas mempunyai relasi dengan objek di luar
yang jelas akan menghasilkan interpretasi dalam memahami makna puisi ini.
Puisi “Sajak Balsem untuk Gus Mus” dapat dibaca sebagai sebuah
interpretasi tentang realita yang ada dalam kehidupan yang digambarkan
dengan kata-kata yang sederhana namun menyelekit. Dengan kata lain,
penulis memberikan semangat kepada orang yang dituju yaitu Gus Mus
tentang keramahan yang ditunjukkan oleh Gus Mus dengan makna ini.
Penelitian ini mengajarkan dan mengingatkan kepada pembaca untuk dapat
memahami makna puisi “Sajak Balsem untuk Gus Mus” tidak hanya secara
lateral, tetapi dapat mengaitkannya dengan kehidupan sehari-hari.
REFERENSI
Azhari, W. (2014). Makna Kematian dalam Puisi-Puisi Joko Pinurbo Melalui
Pendekatan Semiotika. Bahtera Sastra: Antologi Bahasa dan Sastra
Indonesia, 2(2), 1-15.
https://ejournal.upi.edu/index.php/BS_Antologi_Ind/article/view/645
Bustam, B. M. R. (2014). Analisis Semiotika Terhadap Puisi Rabi’atul
Adawiyah dan Kalimat Suci Mother Teresa. Analisa: Journal of Social
Science and Religion, 21(2), 227-238. DOI:
https://doi.org/10.18784/analisa.v21i02.17
City, I., Shalihah, N., & Primandika, R. B. (2018). Analisis Puisi Sapardi Djoko
Damono “Cermin 1” dengan Pendekatan Semiotika. Parole (Jurnal
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia), 1(6), 1015-1020.
DOI: http://dx.doi.org/10.22460/p.v1i6p%25p.1711
Fadli, Z. A. (2015). Kajian Semiotik: Interpretasi Puisi Kurofune Karya
Kinoshita Mokutaro. Izumi, 4(2), 69-75. DOI:
https://doi.org/10.14710/izumi.4.2.69-75
Utomo, F. S., & Erowati, R. (2014). Dimensi sufistik dalam puisi “tapi” karya
sutardji calzoum bachri. Dialektika: Jurnal Bahasa, Sastra, dan
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, 1(1), 1-20.
DOI: https://doi.org/10.15408/dialektika.v1i1.1414