Anda di halaman 1dari 7

BAB II

PEMBAHASAN

METAFORA (ROMAN JAKOBSON)

Dalam bukunya berjudul Linguistics and Poetics, Roman Jakobson menyebutkan


bahwa metafora berfungsi sebagai media pengungkapan perasaan manusia misalnya rasa
sedh, gembira, marah, kesal, dan sebagainya. Fungsi tersebut juga bisa disebut sebagai
fungsi emotif (Jakobson, 1960:4). Metafora juga berfungsi sebagai penyampai pesan atau
amanat tertentu, pengungkapan gagasan, perasaan, kemauan, dan tingkah laku seseorang.
Fungsi ini disebut juga dengan fungsi puitik (Jakobson: 1960:17).

Metafora dijelaskan Roman Jakobson sebagai hubungan antar tanda secara


paradigmatik. Analoginya adalah seperti hubungan saudara. Jadi, suatu tanda
memiliki kesamaan (similarity) dengan tanda-tanda yang lain. Hubungannya adalah
kesamaan tersebut. Maka, menggunakan metafora, seseorang berarti harus
melakukan seleksi; dia harus memilih salah satu dari antara tanda-tanda yang sama
tersebut. Sehingga, suatu tanda berhubungan dengan tanda-tanda lain yang mirip
(similar) dengannya, dan tanda-tanda lain tersebut hadir secara laten (in absentia).

Salah satu usaha untuk memahami bahasa yang dilakukan oleh Roman Jakobson yaitu
dengan cara pendekatan linguistik dan pengetahuan neurologis. Roman Jakobson
mengambil penderita afasia sebagai objek penelitian terkait dengan kemampuan
berbahasa. Jakobson mengkategorikan dua kendala yang dialami penderita apasia, yaitu
pertama gangguan persamaan (similarity), ketidakmampuan untuk menggunakan
metafora atau kelemahan operasi metalinguistik.  Kedua, gangguan kedekatan
(contiguity), ketidakmampuan menggunakan metonimi atau ketidakmampuan untuk
menjaga hirarki unit linguistik. Perkembangan wacana secara linguistik menurut
Jakobson bergerak pada poros semantik yang berbeda, yaitu metaforis dan metonimis dan
menurutnya gejala ini, identik dengan penderita apasia yang mengamali similarity
disorder dan contiguity disorder. Para penderita apasia ini, biasanya hanya mampu
menggunakan metafora dan metonimi.

Untuk mendukung argumennya Jakobson mengambil contoh kasus dari tes


psikologi anak yang terkenal pada zamannya yang menunjukkan predikatif dan subtitusi.
Predikatif ini memiliki unsur persamaan (similarity) dan kedekatan (contiguity).
Jakobson mencontohkan kata “pondok” secara predikatif menghasilkan kata “bakar” dan
“miskin”. Kata bakar dapat merujuk pada narasi/kalimat yang sempurna (metaforis)
sedangkan “miskin” ada hubungan ganda dengan subjek (metonimi). Sedangkan subtitusi
juga memiliki unsur persamaan dan kedekatan. Contohnya dari kata pondok bersinonim
dengan gubuk, kabin dan antonimnya istana.  Metaforisnya dapat digantikan dengan
sarang atau liang. Sedangkan metonimisnya dapat berupa jerami, sampah, dan miskin
untuk merujuk kembali kata pondok.

Pada dasarnya dapat dikatakan Jakobson melihat ketidakmampuan linguistic dari


penderita apasia adalah dasar dari cara berbahasa. Sehingga praktik normal berbahasa
pada dasarnya terdiri atas kemampuan metaforis dan metonimi. Jakobson dalam
tulisannya berusaha juga mengarahkan bentuk analisis ini pada pendekatan sastra.
Metonimi pada umumnya digunakan di dalam prosa sedangkan metaforis digunakan
dalam puisi. Begitu juga menurutnya perkembangan sastra aliran romantisisme dan
simbolisme yang lebih bersifat metaforis sedangkan naturalis dan realis lebih bersifat
metonimi

Jakobson lebih menitikberatkan metafora sebagai suatu yang utama dibandingkan


dengan metonimi. Pada garis besarnya metafora mendasarkan diri pada persamaan atau
analogi antara subjek harfiah dan substansi metaforik-nya. Istilah metafora, dapatnya
mengacu pada gejala pergantian sebuah kata yang harfiah dengan sebuah kata lain yang
figuratif. Dan yang menjadi penggantian ini adalah kemiripan atau analogi di antara yang
harfiah dan penggantiannya yang metaforik.

Dua figur retorik pokok, metafora dan metonimi, merupakan figur ekuivalensi dalam arti
bahwa keduanya secara khas mengajukan suatu entitas yang berbeda sebagai hal yang
mempunyai status ekuivalensi dengan apa yang menjadi subjek pokok figur. Dalam puisi
menurut Jakobson beroperasi dua aspek dasar struktur bahasa, yakni gambaran metaphor
retoris (kesamaan) dan metonimia (kesinambungan).
METONIMIA (ROMAN JAKOBSON)

Roman Jakobson menjelaskan  METONIMIA  sebagai hubungan antartanda


secara sintagmatik. Analoginya adalah seperti “hubungan tetangga”. Tanda dihubungkan
dengan tanda lain di sekitarnya sehingga menghasilkan rangkaian sintagma.
Hubungannya ibarat sebuah gerendel rantai yang saling terkait satu dengan yang lain;
bergandengan dengan kanan-kirinya. Hubungannya pun berurutan/berangkaian, yang satu
mengikuti yang lain.

Beberapa tanda pokok membentuk suatu tanda. Tanda tersebut kemudian


dikombinasikan dengan tanda-tanda yang lain sehingga menjadi suatu unit tanda yang
sederhana. Unit tanda yang sederhana itu menemukan makna/konteksnya ketika
dihubungkan dengan (atau bersama unit tanda sederhana lain membentuk suatu) unit
tanda yang lebih rumit. Secara sederhana, saya mengkombinasikan tanda-tanda menjadi
suatu unit tanda, misalnya “Saya lapar.” Kemudian, unit tanda sederhana itu saya
kombinasikan dengan unit tanda sederhana lain, misalnya “Saya lapar dan tepat di tepi
jalan ada Warung Makan Tegal. Maka saya menepikan sepeda motor, masuk ke warung
tersebut, dan memesan nasi opor ayam serta es teh manis.” Saya dinilai dari gabungan
tanda yang saya buat, yaitu bahwa “saya lapar” dan kemudian “saya makan”. Gabungan
tanda yang saya buat itu pun menjadi konteks, yaitu “peristiwa saya lapar dan makan di
Warung Makan Tegal”.

Metonimi merupakan Majas yang berupa pemakaian nama ciri atau nama hal
yang ditautkan dengan orang, barang, atau hal sebagai penggantinya, misal ia menelaah
Chairil Anwar (karyanya); olahragawan itu hanya mendapat perunggu (medali perunggu)

Metafora-metonimi pasangan memiliki peran penting dalam pembaruan bidang


retorika di tahun 1960-an. Dalam esainya tahun 1956, "The Metaphoric and Metonymic
Poles", Roman Jakobson menggambarkan pasangan itu mewakili kemungkinan seleksi
linguistik (metafora) dan kombinasi (metonymy); Karya Jakobson menjadi penting
bagi strukturalis Prancis seperti Claude Lévi-Strauss dan Roland Barthes . [3] Dalam
esainya, Jakobson juga mengemukakan bahwa metafora adalah dasar puisi, terutama
seperti yang terlihat dalam sastra Romantisisme dan Simbolisme , sedangkan metonimi
menjadi dasar Realisme dalam sastra .

Dua figur retorik pokok, metafora dan metonimi, merupakan figur ekuivalensi
dalam arti bahwa keduanya secara khas mengajukan suatu entitas yang berbeda sebagai
hal yang mempunyai status ekuivalensi dengan apa yang menjadi subjek pokok figur.
Dalam puisi menurut Jakobson beroperasi dua aspek dasar struktur bahasa, yakni
gambaran metaphor retoris (kesamaan) dan metonimia (kesinambungan).
AFASIA (ROMAN JAKOBSON)

AFASIA merupakan suatu ketidakmampuan untuk mengungkapkan atau 


memahami bahasa. Ada dua jenis afasia, yaitu Similarity Disorder dan Contiguity
Disorder.

SIMILARITY DISORDER
Bagi penderita aphasia tipe pertama dengan gangguan pada seleksi, konteks
merupakan faktor yang sangat diperlukan dan paling menentukan. Pasien aphasia jenis ini
cenderung berbicara reaktif: ia mudah terlibat dalam percakapan tetapi sulit memulai
sebuah dialog. Semakin banyak ucapannya bergantung pada konteks, semakin baik ia
mengulang dengan ucapan verbal. Contohnya, kalimat “sedang hujan” tidak bisa dibuat
kecuali kalau pengucapnya melihat bahwa memang benar-benar sedang hujan (Jakobson,
1956: 63). 

Dalam teori tentang bahasa sejak awal Abad Pertengahan yang menegaskan
bahwa kata yang berada di luar konteks sama sekali tidak memiliki makna, bagaimana
pun juga khusus untuk aphasia teristimewa aphasia tipe pertama (Jakobson, 1956: 64).
Sejak kata-kata khusus memiliki jumlah informasi yang lebih tinggi daripada homonimi,
beberapa aphasis dengan tipe ini menambahkan konteks yang berbeda dari sebuah kata
dengan istilah berbeda, masing-masing kata khusus untuk lingkungan yang ditampilkan. 

Kembali ke pembagian dikotomis antara metafora dan metonimi, pasien aphasia


(atau sakit paradigmatic) dengan gangguan similarity disorder dapat dibantu dan dipahami
melalui metafora yang menggunakan prosedur penggantian dengan kemiripan. Di sini,
pasien dibantu untuk melakukan seleksi/substitusi guna menemukan kesamaan sebuah
penanda yang dapat digunakan untuk menunjuk (atau menggantikan) yang lain. Biasanya
penderita afasia similarity disorder ini sangat realis dan lebih mampu menggunakan
metonimia (rangkaian sintagma).

CONTIGUITY DISORDER

Bagi penderita aphasia tipe kedua dengan gangguan contiguity disorder dapat
dipahami melalui metonimi. Gangguan ini bisa disebut sebagai sakit sintagmatik yakni
hilangnya kemampuan mengorganisasi kata secara sintagtik kedalam sebuah unit yang
lebih tinggi (Jakobson, 1956:72). Susunan kata menjadi kacau-balau. Di sini, pasien
memang mudah memahami, mengulang dan secara spontan mengucapkan kata tertentu
namun tidak bisa memahami dan mengulang rangkaian yang bukan-bukan. 

Oleh sebab itu, pasien dengan gangguan contiguity dapat dibantu melalui metonimi
di mana kata yang berasal dari akar kata yang sama secara semantik dikaitkan melalui
hubungan. Ini disebut dengan mode kombinasi yakni menggabungkan unit makna yang
berbeda secara bersamaan dengan menempatkan mereka dalam konteks yang sama.
BAB III

PENUTUP

A.Kesimpulan
Berdasarkan Makalah di atas maka dapat disimpulkan bahwa Metafora itu sebagai
hubungan antar tanda secara paradigmatik. Analoginya adalah seperti hubungan
saudara.berdasarkan makalah di atas roman jakobson mengemukakan ada dua cara usaha untuk
memahami bahasa yang dilakukan yaitu secara linguistik dan pengetahuan neurologis,dengan
dua konteks penderita Metafora yaitu "similiarity"dan "continguity". sedangkan Metonimia
adalah hubungan tanda secara sintagmatik,atau untuk analoginya seperti hubungan
tetangga.berdasarkan makalah di atas ada beberapa jenis penderita Metonimia yaitu
seperti,Afasia, similiarity disorder,dan continguity. berdasarkan makalah di atas diharapkan
pembaca ataupun penulis mampu memahami konteks Metafora dan Metonimia dengan
seksama,mampu memahami penggunaan bahasa.

B.saran
Kami menyadari bahwa makalah ini banyak sekali kesalahan dan sangat jauh dari
kesempurnaan.Oleh karena itu kami sebagai penulis berusaha memberikan yang terbaik. dengan itu,kami
sebagai penulis sangat membutuhkan saran,kritik dan tanggapan dari pembaca,untuk meningkatkan
kemampuan kami sebagai penulis di kemudian harinya.makalah diatas sangat penting untung di pelajari
khususnya bagi para mahasiswa/mahasiswi.

REFERENCES

http://www.atadiken.com/2020/01/penggunaan-konsep-metafora-dan-metonimi.html

http://www.sarang-kalong.com/2014/02/metafora-dan-metonimia-roman-
jakobson.html

https://ngerti.wordpress.com/2010/11/27/dari-roman-jakobson-untuk-metafora-desti-
laela/

http://www.sarang-kalong.com/2014/02/metafora-dan-metonimia-roman-
jakobson.html?m=1#:~:text=Roman%20Jakobson%20menjelaskan
%20METONIMIA%20sebagai,sekitarnya%20sehingga%20menghasilkan
%20rangkaian%20sintagma.&text=METAFORA%20dijelaskan%20Roman
%20Jakobson%20sebagai%20hubungan%20antartanda%20secara
%20paradigmatik.

http://www.atadiken.com/2020/01/penggunaan-konsep-metafora-dan-metonimi.html?
m=1

Anda mungkin juga menyukai