Anda di halaman 1dari 11

TUGAS

MATA KULIAH KEWARGANEGARAAN

PAHAM RADIKALISME DI INDONESIA MENURUT IDEOLOGI PANCASILA

Dosen Pengampu: Dr. Agustinus Wisnu Dewantara S.S., M.Hum

Oleh:

Angelina Dina

16.2874

SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

WIDYA YUWANA

2019
ABSTRAK

Radikalisme adalah suatu perubahan sosial dengan jalan kekerasan, meyakinkan


dengan satu tujuan yang dianggap benar tapi dengan menggunakan cara yang salah.
Radikalisme dalam artian bahasa berarti paham atau aliran yang menginginkan perubahan
atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis. Dalam artian lain,
esensi radikalisme adalah konsep sikap jiwa dalam mengusung perubahan. Yang dimaksud
dengan radikalisme adalah gerakan yang berpandangan kolot dan sering menggunakan
kekerasan dalam mengajarkan keyakinan mereka. Di Indonesia, kebijakan negara terkait
penanganan radikalisme dan terorisme banyak mengalami resistensi, khususnya di kalangan
radikal sendiri, mengingat upaya penumpasan kelompok radikal hanya didasarkan pada satu
pendekatan saja, yakni pendekatan keamanan.

Keyword: Radikalisme, Demokrasi, Ideologi Pancasila


BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Dewasa ini, Indonesia dihadapkan dengan berbagai persoalan dan ancanan
radikalisme, terorisme dan separatism yang semuanya bertentangan dengan nilai-nilai
Pancasila dan UUD’45. Radikalisme merupakan ancaman terhadap ketahanan ideologi.
Jika Ideologi negara sudah tidak kokoh maka akan berdampak terhadap ketahanan
nasional.
Radikalisme bisa diartikan suatu sikap atau paham yang secara ekstrim,
revolusioner dan militant untuk memperjuangkan perubahan dari arus utama yang
dianut masyarakat. Radikalisme tidak harus muncul dalam wujud yang berbau
kekerasan fisik. Ideologi pemikiran, kampanye yang masif dan demontrasi sikap yang
berlawanan dan ingin mengubah mainstream dapat digolongkan sebagai sikap radikal.
Melalui peristiwa-peristiwa kemanusiaan yang kini telah dihadapi oleh seluruh
lapisan masyarakat Indonesia. Meningkatnya radikalisme dalam agama Indonesia
menjadi fenomena sekaligus bukti nyata yang tidak bisa begitu saja diabaikan ataupun
dihilangkan. Radikalisme keagamaan yang semakin meningkat di Indonesia ini ditandai
dengan berbagai aksi kekerasan dan terror. Aksi tersebut telah menyedot banyak
potensi atau energi kemanusiaan serta telah merenggut hak hidup orang banyak
termasuk orang yang sama sekali tidak mengerti mengenai permasalahan ini. Meski
berbagai seminar dan dialog telah digelar untuk mengupas persoalan ini yaitu mulai
dari pencarian sebab hingga sampai pada penawaran solusi, namun tidak juga
kunjungan memperlihatkan adanya suatu titik terang.
Fenomena tindak radikalisme dalam agama memang bisa dipaham secara
beragama, namun secara ensensial, radikalisme agama umunya memang selalu
dikaitkan dengan pertentangan secara tajam anatara nilai-nilai yang diperjuangkan
kelompok agama tertentu dengan tatanan nilai yang berlaku atau dipandang mapan
pada saat itu. Dengan demikian, adanya pertentangan, pergesekan ataupun ketegangan,
pada akhirnya menyebabkan konsep dari radikalisme selalu saja dikonotasikan dengan
kekerasan fisik. Apalagi realitas yang saat ini telah terjadi dalam kehidupan masyarakat
Indonesia sangat mendukung dan semakin memperkuat munculnya pemahaman seperti
itu.
A. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Radikalisme?
2. Apa yang dimaksud dengan Idiologi Pancasila?
3. Bagaimana implementasi nilai-nilai Pancasila dalam menghadapi radikalisme?

B. Tujuan
1. Mengerti yang dimaksud dengan radikalisme
2. Mengerti yang dimaksud dengan idiologi Pancasila
3. Mengerti implementasi nilai-nilai Pancasila dalam menghadapi radikalisme
BAB II
PEMBAHASAN
A. Radikalisme
Radikalisme adalah suatau perubahan sosial dengan jalan kekerasan, menyakinkan
dengan satu tujuan yang dianggap benar tetapi dengan menggunakan cara yang salah.
Radikalisme dalam arti bahasa berarti paham atau aliran yang mengingatkan perubahan
atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis. Namun, dalam
artian lain, ensensi radikalisme adalah konsep sikap jiwa dalam mengusung perubahan.
Sementara itu radikalisme menurut pengertian lain adalah inti dari perubahan itu
cenderung menggunakan kekerasan. Yang dimaksud dengan radikalisme adalah gerakan
yang berpandang kolot dan sering menggunakan kekerasan dalam mengajarkan sikap
berdamai dan mencari perdamaian Islam tidak pernah membenarkan praktek penggunaan
kekerasan dalam menyabarkan agama, paham keagamaan serta paham politik. (Hilmy,
n.d.)
Dawinsha mengemukakan definisi radikalisme menyamakan dengan teroris. Tapi ia
sendiri memakai radikalisme dengan membedakan antar budaya. Radikalisme adalah
kebijakan dan terorisme bagaian dari kebijakan radik tersebut. Definisi Dawinsha lebih
nyata bahwa radikalisme itu mengandung sikap jiwa yang membawa kepada tindakan
yang bertujuan melemahkan dan mengubah tatanan kemampuan dan menggantinya
dengan gagasan baru.
Makna yang terakhir ini, radikalisme adalah sebagai pemahaman negatif dan bahkan
bisa menjadi berbahaya sebagai ekstrim kiri dan kanan.
Gerakan radikalisme sesungguhnya bukan sebuah gerakan yang muncul begitu saja
tetapi mempunyai latar belakang yang sekaligurs menjadi faktor pendorong munculnya
gerakan radikalisme.
1. Faktor Sosial-Politik
Gejala kekerasan “agama” lebih tepat dilihat sebagai gejala sosial-politik
daripada gejala keagamaan. Gerakan yang secara salah oleh Barat disebut sebagai
radikalisme itu lebih tepat dilihat akar permasalahannya oleh sudut konteks sosial-
politik dalam kerangka historisitas manusia yang ada di masyarakat. Secara historis
kita bisa melihat bahwa konflik-konflik yang ditimbulkan oleh kalangan radikal
dengan seperangkat alat kekerasannya dalam menentang dan membenturkan diri
dengan kelompok lainnya ternyata lebih berakar pada masalah sosial-politik.
Dengan membawa bahasa dan simbol serta slogan-slogan agama, kaum radikalis
mencoba menyentuh emosi keagamaan dan menggalang kekuatan untuk mencapai
tujuan “mulia” dari politiknya.
2. Faktor-faktor Emosi Keagamaan
Harus diakui bahwa salah satu penyebab gerakan radikalisme adalah faktor
sentiment keagamaan, termasuk didalamnya adalah solidaritas keagamaan untuk
kawan yang tertindas oleh kekuatan tertentu. Tetapi hal ini lebih tepat dikatakan
sebagai faktor emosi keagamaannya, dan bukan agama (wahyu suci yang obsolut)
walaupun gerakan radikalisme selalu mengibarkan bendera dan simbol agama seperti
dahil membela agama, jihad dan mati syahid. Dalam konteks ini yang dimaksud
dengan emosi keagamaan adalah agama sebagai pemahaman realitas yang sifatnya
interpretative. Jadi sifatnya nisbi dan subjektif.
3. Faktor-faktor Kultural
Ini juga memiliki andil yang cukup besar yang melatar belakangi munculnya
radikalisme. Hal ini wajar karena memang secara kultural didalam masyarakat selalu
ditemukan usaha untuk melepaskan diri dari jeratan jarring-jaring kebudayaan tertentu
yang dianggap tidak sesuai. Sedangkan yang dimaksud faktor kultural disini adalah
sebagai anti tesa terhadap budaya sekularisme. Badaya barat merupakan sumber
sakularisme yang dianggap sebagai musuh yang harus dihilangkan dari bumi.
Sedangkan faktor sejarah memperlihatkan adanya dominasi Barat dari berbagai
aspeknya atas negara-negara dan budaya. Peradaban barat sekarang ini merupakan
ekspresi dominan dan universal umat manusia yang telah dengan sengaja melakukan
proses merjinalisasi seluruh sendi-sendi kehidupan.
4. Faktor-faktor Ideologis Anti Westernisme
Motivasi dan gerakan anti Barat tidak bisa disalahkan dengan alasan keyakinan
keagamaan tetapi jalan kekerasan yang ditempuh kaum radikalisme justru
menunjukkan ketidakmampuan mereka dalam memprosisikan diri sebagai pesaing
dalam budaya dan peradaban.
5. Faktor-faktor Kebijakan Pemerintah
Ketidakmampuan pemerintah di negara-negara Islam untuk bertindak situasi atas
berkembangnya frustasi dan kemarahan sebagai umat Islam disebabkan dominasi
ideologi, militer maupun ekonomi dari negara-negara besar. Dalam hal ini elit-elit
pemerintah di negara-negara belum atau kurang dapat mencari akar yang menjadi
penyebab munculnya tindak kekerasan (radikalisme) sehingga tidak dapat mengatasi
problematika sosial yang dihadapi umat. Disamping itu, faktor media massa (pers)
Barat yang selalu memojokkan umat Islam juga menjadi faktor reaksi dengan
kekerasan yang dilakukan.

B. Ideologi Pancasila
Pancasila ditawarkan Soekarno sebagai philosofische Gronslag (dasar, filsafat, atau
jiwa) dari Indonesia merdeka. Sebelum mengutarakan gagasan mengenai dasar negara,
Soekarno merasa perlu untuk meyakinkan para peserta sidang bahwa mereka tidak perlu
terlalu memusingkan perkara yang kecil-kecil daripada kemauan untuk merdeka.
Kemauan dan hasrat untuk merdeka, menurut Soekarno, harus mendahului perdebatan
mengenai dasar negara. Mengapa? Karena buat apa membicarakan dasar negara jika
kemerdekaan tidak ada? Dari sini dimengerti logika berpikir Soekarno yang terlebih
dahulu menggelorakan semangat untuk merdeka, bahkan ketika rakyat masih miskin,
belum bisa baca tulis, belum bisa mengendarai mobil, dan seterusnya. (Wisnu Dewantara,
2015)
Argumentasi Soekarno mengenai dasar negara dibuka dengan suatu pertanyaan,
“Apakah Weltanschauung (dasar dan filsafat hidup) kita, jikalau kita hendak mendiirkan
Indonesia merdeka?” Selanjutnya Soekarno menguraikan dasar-dasar apa saja yang perlu
dimiliki bagi bangunan Indonesia merdeka. Dasar-dasar yang ia sebutkan adalah
kebangsaan Indonesia, internasionalisme (kemanusiaan), mufakat/permusyawaratan,
kesejahteraan (keadilan sosial), dan akhirnya Ketuhanan. Kelima prinsip itulah yang dia
namakan Pancasila, dan diusulkannya sebagai Weltanschauung negara Indonesia merdeka.
(Wisnu Dewantara, 2015)
Ideologi tentu haus memiliki fungsi, khsusunya bagi sekelompok orang yang
meyakininya. Fungsi Pancasila sebagai sebuah ideologi bangsa tentunya sudah dipikirkan
matang-matang sebelum oleh para pendiri bangsa secara formal disepakati. Pada
perkembangannya, fungsi ideologi bangsa bisa makin variatif seiring dengan dinamika
kehidupan bangsa tersebut, bahkan mungkin berfungsi diluar apa yang belum pernah
terpikirkan sebelumnya. Fungsi yang muncul belakangan ini bisa bersifat positif atau
negatif. (Wisnu Dewantara, 2017)
Fungsi yang diharapkan tentu saja fungsi positif. Pancasila sebagai ideologi negara
memiliki fungsi dan peranan sebagai berikut:
- Sebagai inspirasi seseorang untuk menemukan identitas dan jati diri
kebangsaannya.
- Sebagai prinsip dasar untuk memahami dan menafsirkaan kehidupannya dalam
konteks berbangsa dan bernegara.
- Sebagai kekuatan yang memotivasi seseorang untuk melaksanakan hak dan
kewajibannya sebagai warga negara.
- Sebagai pedoman seseorang dalam bertindak bagi bangsanya.
- Sebagai inspirasi tumbuhnya jiwa nasionalisme dan patriotisme.
- Sebagai sarana keilmuwan yang menghubungkan warga negara terhadap
pemikiran para pendiri bangsanya.
- Sebagai jalan untuk menemukan jawaban mengapa bangsa Indonesia didirikan.

Selain fungsi yang telah disepakati, Pancasila sebagai ideologi bisa pula dimanfaatkan
sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan. Fungsi ini tentu saja bersifat negatif.
Indonesia pernah mengalami masa dimana Pancasila nyaris kehilangan makna dan hanya
digunakan sebagai instrumen kekuasaan belaka. Pancasila ditafsir oleh rezim berkuasa dan
dimonopoli kebenarannya seabgai alat untuk memberangus mereka yang berbeda
pandangan. Ciri secara tipikal berkaitan dengan rezim berkuasa yang menafsirkan
Pancasila secara sepihak. Sehingga pihak lain yang berbeda pandangan berpotensi
dianggap sebagai tidak mendukung rezim dan akhirnya dicap anti-Pancasila atau radikal.

C. Implementasi Nilai-Nilai Pancasila dalam Menghadapi Radikalisme


Saat ini Pancasila adalah ideologi yang terbuka, dan sedang diuji daya tahannya
terhadap gempuran, pengaruh dan ancaman ideologi-ideologi besar lainnya, seperti
liberalism (yang menjunjung kebebasan dan persaingan), sosialisme (yang menekankan
harmoni), humanisme (yang menekankan kemanusiaan), nihilisme (yang menafsirkan
nilai-nilai luhur yang mapan), maupun ideologi yang berdimensi keagamaan.
Pancasila, sebagai ideologi terbuka pada dasarnya memiliki nilai-nilai yang sama
dengan ideologi lainnya, seperti keberadaban, penghormatan akan HAM, kesejahteraan,
perdamaian dan keadilan. Di era globalisasi, romantisme kesamaan historis zaman lalu
tidak lagi merupakan pengikat rasa kebersamaan yang kokoh. Kepentingan akan tujuan
yang akan dicapai lebih kuat pengaruhnya daripada kesamaan latar kesejahteraan. Karena
itu, implementasi nilai-nilai Pancasila, agar tetap aktual dalam menghadapi ancaman
radikalisme harus lebih ditekankan pada penyampaian tiga massage berikut:
a. Negara yang dibentuk berdasarkan kesepakatan dan kesetaraan, dimana di
dalamnya tidak boleh ada yang merasa sebagai pemegang saham utama, atau
warga kelas satu.
b. Aturan main dalam bernegara telah disepakati, dan negara memiliki kedaulatan
penuh untuk menertibkan anggota negaranya yang berusaha secara sistematis
untuk merubah tatanan, dengan cara-cara yang melawan hukum.
c. Negara memberikan perlindungan, kesempatan, masa depan dan pengayoman
seimbang untuk meraih tujuan nasional masyarakat adil adn makmur, sejahtera,
aman dan berkeadaban dan merdeka.
Nilai-nilai Pancasila dan UUD’45 yang harus tetap diimplementasikan itu adalah:
1. Kebangsaan dan persatuan
2. Kemanusiaan dan penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia
3. Ketuhanan dan toleransi
4. Kejujuran dan ketaatan terhadap hukum dan peraturan
5. Demokrasi dan kekeluargaan
Ketahanan nasional merupakan suatu kondisi kehidupan nasional yang harus
diwujudkan dan dibina secara terus menerus secara sinergis dan dinamis mulai dari
pribadi, keluarga, lingkungan dan nasional yang bermodalkan keuletan dan ketangguhan
yang mengandung kemampuan pengembangan kekuatan nasional.
Salah satu unsur ketahanan nasional adalah Ketahanan Ideologi. Ketahanan Ideologi
perlu ditingkatkan dalam bentuk:
- Pengamalan Pancasila secara objektif dan subjektif
- Aktualisasi, adaptasi dan relevansi ideologi Pancasila terhadap nilai-nilai baru
- Pengembangan dan penanaman nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika dalam seluruh
kehidupan berbangsa dan bermasyarakat.
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Radikalisme adalah suatu perubahan sosial dengan jalan kekerasan, meyakinkan
denngan satu tujuan yang dianggap benar namun dengan menggunakan cara yang salah.
Radikalisme merupakan gerakan yang berpandang kolot dan sering menggunakan kekerasan
dalam mengajarkan sikap, berdamai dan mencari perdamaian. Soekarno menawarkan suatu
ideologi yang sesuai dengan dasar kebiasaan yang ada di Indonesia. Soekarno sepertinya
dapat melihat bahwa akan terjadi berbagai gerakan yang dapat merusak atau mengancam
negara Indonesia salah satunya adalah Radikalisme. Dengan mengamalkan nilai-nilai dalam
ideologi Pancasila, suatu bangsa dapat menjalankan proses hidup dalam berbangsa dan
bernegara tanpa ada ancaman dari gerakan yang mengancam keutuhan negara.
DAFTAR PUSTAKA

Hilmy, M. (n.d.). RADIKALISME AGAMA DAN POLITIK DEMOKRASI DI


INDONESIA PASCA-ORDE BARU, (117), 407–425.

Wisnu Dewantara, A. (2015). PANCASILA DAN MULTIKULTURALISME INDONESIA,


15(2), 1–14.

Wisnu Dewantara, A. (2017). DISKURSUS FILSAFAT PANCASILA DEWASA INI. Kanisius.

Dewantara, A. (2017). Diskursus Filsafat Pancasila Dewasa Ini.

Anda mungkin juga menyukai