Anda di halaman 1dari 14

MAKALA PKN

KASUS PEMBUNUHAN ANGELINE

DISUSUN OLEH :

 DHIA ISTIQOMAH
 JATI RAHARJO
 M. RIZKY FATURRAHMAN
 (SRI KOMALA)
 (YAUFIY SUNANDAR)

KELOMPOK 8
KELAS XII IPA 2 & XII IPA 3
MAN 2 KOTA TANGERANG

KATA PENGANTAR

Assalamu’allaikum wr.wb

Alhamdulillah hirobbil’alamin puja dan puji syukur ke khadirat ALLAH SWT. Yang
meciptakan, mengatur, dan menguasai makhluk hidup di dunia dan akhirat. Semoga kita
mendapatkan limpahan rahmat dan hidayahnya. Shalawat serta salam marilah kita curahkan ke
kharibaan baginda nabi Muhammad saw. Kepada para keluarganya, para sahabatnya dan
tentunya kita sebagai umatnya.

Makalah ini di sajikan dengan bahasa yang komunikatif dengan singkat dan jelas,
dengan maksud membantu siswa menelaah makalah PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
(PKN) dengan judul “PELANGGARAN HAM KASUS PEMBUNUHAN ANGELINE”
penyusun berusaha semaksimal mungkin untuk dapat menyajikan makalah ini agar benar-benar
bermanfaat, mudah di pahami bagi rekan siswa semua.

Demikian penyusun menyadari bahwa makalah ini belum dikatakan sempurna dan baik
oleh sebab itu kami menginginkan teman –teman semua untuk memberikan kritikan dan saran
bila ada kesalahan di makalah ini.

Wa’alaikum sallam wr.wb

Tangerang, 23 Juli 2017

Penulis

Kelompok 8
Kata Pengantar

Daftar Isi

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang .........................................................................1


1.2 Rumusan Masalah .........................................................................2
1.3 Tujuan Penulisan .........................................................................2

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Artikel Kasus engeline........................................................................3
2.2 Contoh Pelanggaran HAM ............................................................ 3

BAB III PENUTUP


3.1 Kesimpulan .....................................................................................8
3.2 Saran .....................................................................................8

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................9


BAB I
PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG
Engeline lahir pada tanggal 19 Mei 2007[14] di sebuah klinik di daerah Canggu sebagai
puteri dari seorang ibu bernama Hamidah dan ayah bernama Achmad Rosyidi. Ia adalah puteri
kedua dari tiga bersaudara. Tetapi para anggota keluarga ini kemudian tinggal terpencar karena
orangtuanya bercerai setelah melahirkan puteri ketiga. Anak sulungnya, Inna (12 tahun), tinggal
bersama keluarga ayahnya di Rogojampi, Banyuwangi. Sedangkan Aisyah (4 tahun), anak
bungsu, tinggal bersama neneknya di Desa Tulungrejo, Banyuwangi.[15] Sementara itu, Engeline
bersama orangtua angkatnya yang terakhir tinggal di Sanur, Denpasar tepatnya di Jalan Sedap
Malam.
Ibu kandung Engeline, Hamidah (28 tahun), adalah wanita kelahiran Banyuwangi
namun sejak usia 15 tahun sudah merantau ke Bali untuk bekerja sebagai pembantu rumah
tangga. Di sana pula ia bertemu dengan suami pertamanya, ayah kandung Engeline yang
bernama Achmad Rosyidi (31 tahun), seorang pekerja buruh bangunan, untuk kemudian
menikah dan menetap di Bali. Namun kini mereka sudah bercerai. Hamidah sudah menikah
kembali dengan seorang pemuda Bali dan mereka sudah memiliki satu orang putera. Sekarang
Hamidah sudah tidak lagi bekerja sebagai pembantu rumah tangga.

2. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana bentuk pelanggaran HAM kasus tersebut?
2. Apakah termasuk kejahatan genosida atau kemanusiaan?
3. Bagaimana proses penyelesaian kasus tersebut?
4. Apa solusinya menurut kelompok?

3. TUJUAN PENULISAN
 Agar memahami bahwa setiap orang mempunyai HAM salah satunya adalah hak untuk
hidup, dan hak anak kepada orang tua, seperti yang terjadi pada kasus pembunuhan
angeline.
 Agar memahami dan meganalisis berbagai kasus pelanggaran HAM secara argumentatif
dan saling berhubungan antara aspek ideal, instrumental, dan praksis sila sila pancasila.
BAB II
PEMBAHASAN

1. ARTIKEL PEMBUNUHAN

Proses adopsi
Ketika melahirkan Engeline, Hamidah tidak sanggup melunasi biaya persalinannya ke
klinik. Saat sedang mengalami kesulitan demikian, seseorang mempertemukan dan
memperkenalkannya dengan Margriet Christina Megawe yang menawarkan bantuan untuk
melunasi biaya tersebut sekaligus bermaksud untuk mengadopsi bayinya. Waktu itu, Margriet
datang ditemani suaminya yang bernama Douglas Scarborough. Untuk keperluan tersebut,
Margriet mengeluarkan biaya sebesar Rp 1,8 juta, dengan rincian biaya persalinan Rp 800 ribu
dan biaya perawatan Hamidah Rp 1 juta.[16] Maka tiga hari setelah lahir, Engeline langsung
dibawa oleh Margriet dan tidak pernah bertemu lagi dengan kedua orangtuanya. Saat itu, anak
tersebut belum diberi nama oleh Hamidah. Nama "Engeline" diberikan oleh Margriet, mengikuti
nama depan ibunya (nenek angkat Engeline),[17] Engelina Sumilat.[18] Dalam proses adopsi ini,
Douglas ternyata tidak ikut campur. Sehingga pihak yang tercantum dalam surat perjanjian
pengadopsian tersebut hanya Margriet saja.[19][20]
Pengadopsian tersebut sebetulnya belum disahkan melalui pengadilan. Mereka hanya
membuat perjanjian di notaris yang tertulis dalam Akta Pengakuan Pengangkatan Anak Nomor
18 tertanggal 24 Mei 2007 di notaris Anne Wibowo.[16] Proses adopsi yang tidak sesuai dengan
prosedur hukum tersebut membuat Komnas Perlindungan Anak sempat hendak mengembalikan
hak asuh Engeline kepada orangtua kandungnya.[5]
Dalam akta perjanjian yang dibuat di notaris, sebenarnya telah ada klausul yang
menyatakan bahwa Margriet sebagai ibu angkat harus menyayangi Engeline sebagaimana anak
kandungnya sendiri. Namun kenyataan terakhir yang dialami Engeline jauh berbeda, sehingga
Rosyidi menyesal telah membuat perjanjian tersebut.[21]
Bagian lain dari perjanjian tersebut menyatakan bahwa keluarga Margriet Christina
Megawe, akan menjadikan Engeline sebagai ahli warisnya di kemudian hari. Sementara keluarga
Hamidah, ibu kandung Angeline, melepaskan semua hak waris yang melekat pada anak tersebut.
Juga disebutkan jika Engeline meninggal maka hak waris akan menjadi milik ahli waris
Margriet.[21] Selain itu, mereka juga menyepakati agar kedua orangtua kandung Engeline tidak
menemui anak kandungnya tersebut sampai ia berusia 18 tahun.
Pengasuhan orangtua angkat
Engeline diterima di keluarga angkatnya dan diperlakukan sebagaimana anak kandung
Margriet lainnya.[22] Ia mempunyai dua kakak angkat yaitu Yvonne Caroline Megawe (39 tahun)
dan Christina Telly Megawe (30 tahun). Engeline tumbuh sebagai anak ceria yang selalu
berkomunikasi menggunakan bahasa Inggris dengan Margriet.[22] Keluarga ini sempat berpindah-
pindah tempat tinggal diantaranya ke Pekanbaru, Bekasi, dan Bali. Ayah angkat Engeline,
Douglas, dikabarkan sangat menyayangi anak angkatnya tersebut.[21] Namun kemudian Douglas
meninggal dunia pada tanggal 17 September2008.[19] Margriet tampak terpukul dengan kematian
suami keduanya tersebut.
Dalam pengasuhan Margriet sebagai orangtua tunggal, pada tahun-tahun terakhirnya
diduga Engeline mengalami banyak kekerasan baik secara fisik maupun mental.[23] Diketahui
bahwa ibu angkatnya tersebut menjadi seorang yang temperamental. Dari foto-foto yang ada dan
kesaksian dari guru di sekolahnya[24] tampak bahwa pada tahun terakhir kehidupannya ia
mengalami penurunan berat badan. Engeline juga tinggal di rumah yang tidak layak huni, karena
dikelilingi oleh kandang ayam dan berbau tidak sedap walaupun mereka adalah keluarga yang
secara ekonomi berkecukupan.
Setiap hari Engeline diberi tugas untuk mencuci baju, mengepel lantai, membersihkan
rumah, serta memberi makan binatang-binatang peliharaan ibu angkatnya berupa ayam, anjing,
dan kucing.[24] Bila ia lupa melakukannya, maka ia pasti mendapatkan perlakuan kasar dari ibu
angkatnya.[25] Padahal jumlah ayam yang dimiliki ibu angkatnya tersebut mencapai puluhan ekor.
Akibat tugas tersebut, ia sering datang ke sekolah dalam keadaan baju yang lusuh serta badan
dan rambut yang bau.[26] Bahkan pernah ia dilaporkan oleh teman-teman sekelas kepada guru
kelasnya di kelas 2B, Putu Sri Wijayanti, karena baunya. Ternyata saat itu di rambut Angeline
banyak gumpalan kotoran ayam[24] sehingga ia harus dimandikan dan dikeramasi rambutnya oleh
Wijayanti.
Di sekolahnya, SD 12 Sanur, Denpasar, khususnya setelah menginjak kelas 2, Engeline
terlihat sebagai anak yang memiliki sifat pendiam, pemurung, lusuh, berwajah sendu, dan sering
terlambat. Dia bersekolah pukul 12.00 WITA dan pulang pukul 17.00 WITA. Ia harus
mempersiapkan bekal sekolahnya sendiri dan pergi ke sekolah dengan berjalan kaki sejauh 2 km
bila melaui jalan raya atau 1 km bila melalui pematang sawah. Rutinitas pekerjaan yang tidak
sewajarnya bagi seorang anak ini mengakibatkan Engeline tampak kelelahan, tidak sehat, dan
terganggu perkembangannya.[26] Namun Engeline bersifat tertutup dan tidak mau bercerita
tentang penderitaan yang ia alami kepada gurunya. Hanya setelah didesak akhirnya ia mau
mengatakan kepada gurunya bahwa ia sering pusing di sekolah karena belum makan. Mengenai
hal ini, Margriet membela diri bahwa Engeline memang tidak suka makan dan cuma mau minum
susu saja. Padahal ketika diberi makan di sekolah oleh gurunya, ternyata Engeline bisa sampai
menghabiskan dua piring makanan yang disediakan.[27]
Mengetahui keadaan yang dialami Engeline, Kepala Sekolahnya - I Ketut Ruta - sempat
berniat untuk mengadopsi anak tersebut. Ia meminta wali kelas Engeline untuk menyampaikan
niatnya kepada Margriet. Namun Margriet melarangnya dengan alasan Engeline mempunyai
tanggung jawab berupa berbagai tugas dan kewajiban yang harus dilakukannya di rumah.
Walaupun Margriet adalah seorang yang temperamental tetapi ia membantah sangkaan
bahwa ia sebagai ibu angkat tidak mengasuh Engeline dengan baik apalagi sampai melakukan
kekerasan. Ia menyatakan bahwa ia menyayangi Engeline dan anak itu pun menyayangi dia. Ia
memberi berbagai tugas kepada Engeline semata hanya untuk mendidiknya agar mandiri.[28] Ia
mengaku tidak mau dipisahkan dengan Engeline, sehingga ketika mendengar bahwa Komnas
Perlindungan Anak akan mengambil hak asuh anaknya, ia berang dan menyatakan akan
membunuh siapapun yang akan mengambil anak itu dari sisinya.[29] Kasih sayang Margriet
kepada Engeline juga diungkapkan oleh mantan tetangganya di Pekanbaru. Saat mereka
berkunjung ke Pekanbaru, ia melihat hubungan Margriet dengan anak angkatnya itu selayaknya
hubungan ibu dengan anak kandungnya.[22] Pengacara Margriet, Hotma Sitompul, juga
menyatakan bahwa salah satu bukti Margriet menyayangi anak angkatnya itu adalah pemberian
nama ibu kandung Margriet kepada anak tersebut.[30]
Hilangnya Engeline
Kasus yang menimpa Engeline pertama kali mengemuka dengan beredarnya kabar
tentang hilangnya anak tersebut. Kabar tersebut tersebar luas antara lain akibat dibuatnya sebuah
laman di jejaring sosial facebook berjudul "Find Angeline-Bali's Missing Child". Laman tersebut
dibuat oleh salah satu kakak angkat Engeline yang sedang kuliah di Amerika Serikat, yaitu
Christine, pada tanggal 16 Mei 2015 sekitar pukul 17.00 WITA.[31] Sementara Yvonne membuat
selebaran mengenai hilangnya Engeline.[31][32]
Keesokan harinya berbagai media massa turut memberitakan kehilangan tersebut.[1][33]
[34]
 Berdasarkan informasi dari Yvonne, dikabarkan bahwa adiknya hilang saat mereka bermain
di depan rumah sekitar pukul 15.00 WITA.[1] Setelah tidak juga ditemukan sampai pukul 18.00,
maka kemudian Yvonne melaporkannya ke polisi. Tim pencari anak hilang dari kepolisian lantas
mencarinya dari Denpasar sampai ke Banyuwangi, tampat lahir orang tua kandungnya. Berbagai
upaya dilakukan oleh polisi, seperti mengamati CCTV di sekitar lokasi, menganalisis telepon
seluler orang tua kandung dan orang tua angkatnya, serta menggunakan anjing pelacak. Namun
anjing tersebut tidak menemukan jejak Engeline dan hanya berputar-putar di sekitar rumah saja.
Keluarga Engeline yang berasal dari luar Bali pun berdatangan ke kediaman Engeline untuk
membantu mencari anak tersebut.
Kasus kehilangan anak ini juga menarik perhatian Komisi Nasional Perlindungan Anak
Indonesia (KPAI), sehingga ketuanya, Arist Merdeka Sirait, beserta dua anggota timnya datang
ke Bali untuk melakukan dialog dengan Polresta Denpasar dan Polda Bali. Mereka juga
kemudian berkunjung dan menemui Margriet di rumahnya. Saat itu, Margriet memperkenankan
mereka untuk melihat kamar dan ruangan dalam rumah. Dari hasil kunjungan itu, Arist
berkesimpulan bahwa selama ini Engeline tinggal di rumah yang kondisinya sangat buruk dan
tidak layak huni dengan halaman dipenuhi kandang ayam berjumlah sekitar seratus ayam
sehingga akan membuat anak tidak bisa berkembang dengan baik.[4] KPAI juga menyatakan
maksudnya akan mengambil alih sementara hak asuh Margriet atas Engeline, sehingga membuat
Margriet menangis histeris. Dia mengaku tidak terima, bahkan mengancam akan membunuh
siapa pun yang akan mengambil anaknya itu karena dia menyayangi Engeline dan Engeline pun
menyayanginya.[29]
Selain oleh KPAI, rumah Margriet juga didatangi oleh dua menteri Kabinet Kerja,
yaitu Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Yuddy Chrisnandi,
dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak,Yohana Yembise. Namun
Margriet menolak menemui keduanya dan kedua menteri itu tidak diperbolehkan memasuki
rumahnya.
Hilangnya Engeline juga dibantu penanganannya oleh Pusat Pelayanan Terpadu
Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kota Denpasar, yang merupakan perpanjangan
tangan Pemerintah Kota Denpasar yang menangani perempuan dan anak. Mereka sudah
memiliki kekhawatiran bahwa hilangnya Angeline bukan karena diculik atau melarikan diri, tapi
justru dibunuh. Hal ini dinyatakan oleh pendamping hukum P2TP2A, Siti Sapurah tanpa
mencurigai siapa pun termasuk ibu angkatnya.[9] Hal tersebut didasari minimnya indikasi yang
mereka temukan bahwa Engeline hilang di sekitar rumah atau diambil seseorang. Sehingga
mereka menduga bahwa Engeline dihilangkan, dikubur atau dibunuh. Apalagi saat polisi
melakukan pemeriksaan Margriet tidak koperatif dan ada ruang di rumah Margriet yang tidak
boleh dimasuki orang lain kecuali orang terdekatnya dia. Ditambah lagi karena mantan pembantu
Margriet, yaitu Agus Tay Hamba May, pernah mengatakan bahwa satu hari sebelum dilaporkan
hilang, hidung Engeline berdarah karena dipukul ibunya.
Pencarian Engeline terhenti setelah ia ditemukan dalam keadaan tewas terkubur di
halaman belakang rumahnya pada hari Rabu, 10 Juni 2015. Jasadnya dalam kondisi membusuk
di bawah pohon pisang, ditutup sampah, terkubur bersama bonekanya. Otopsi segera dilakukan
di Instalasi Forensik di RSUP Sanglah pimpinan dr Ida Bagus Putu Alit, DMF, SpF. Dari hasil
otopsi, Engeline diketahui meninggal sejak tiga minggu sebelumnya. Di tubuh jenazah
ditemukan luka-luka kekerasan berupa memar pada wajah, leher, serta anggota gerak atas dan
bawah. Di punggung kanan jenazah ditemukan luka sundutan rokok. Selain itu, ditemukan juga
luka lilitan dari tali plastik sebanyak empat lilitan. Sebab kematiannya dipastikan karena
kekerasan benda tumpul pada wajah dan kepala yang mengakibatkan pendarahan pada otak.
[35]
 Jasad Engeline kemudian dimakamkan di Dusun Wadung Pal, Desa Tulungrejo, Kecamatan
Glenmore, Kabupaten Banyuwangiyang merupakan kampung halaman dari ibu kandungnya.

Kasus hukum
Penyidikan
Setelah ditemukannya jasad Engeline pada tanggal 10 Juni 2015, Kepolisian Resor Kota
Denpasar segera mengadakan pemeriksaan terhadap tujuh orang, yaitu Margriet (ibu angkat),
Yvonne dan Christina (kakak angkat), Agus Tay (pembantu), dua penghuni indekos (suami istri
Rahmat Handono dan Susiani), dan petugas keamanan (satpam, Dewa Ketut Raka), yang disewa
khusus oleh Margriet untuk menjaga rumah itu setelah ramainya pemberitaan terkait Angeline.
[36]
Dari hasil pemeriksaan awal tersebut, polisi menetapkan Agus Tay Hamba May sebagai
tersangka pembunuh Engeline[36]yang mengakui telah membunuh dan memperkosa Engeline
pada tanggal 16 Mei 2015 sekitar pukul 13.00 WITA, tepat pada hari hilangnya anak tersebut,
dan kemudian menguburkan jasadnya di belakang rumah majikannya itu pada pukul 20.00
WITA.[37]
Pada tanggal 14 Juni 2015, Kepolisian Daerah Bali menetapkan ibu angkat Angeline,
Margriet Megawe, sebagai tersangka dalam kasus dugaan pelantaran anak [38] dan
menempatkannya di tahanan Mapolda Bali.
Pada tanggal 28 Juni 2015, Margriet ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus
pembunuhan berdasarkan tiga alat bukti, yaitu pengakuan Agus, bukti-bukti kedokteran forensik
RS Sanglah, dan hasil olah tempat kejadian perkara (TKP) oleh tim forensik Polresta Denpasar,
Inafis (Indonesia Automatic Finger Print Identification System) Polda Bali, dengan bantuan
Inafis Mabes Polri. Dari bukti-bukti tersebut Margriet diduga menjadi otak pembunuhan, dan
Agus hanya membantu menguburkan jasad Engeline.[13] Namun tim pengacara tersangka
Margriet mempermasalahkan penetapan tersangka Margriet terkait kasus pembunuhan Engeline
dan mendaftarkan gugatan praperadilan di Pengadilan Negeri Denpasar pada tanggal 2 Juli 2015.
[39]

Pada tanggal 6 Juli 2015, Polresta Denpasar menggelar rekonstruksi pembunuhan


Engeline di Tempat Kejadian Perkara di Jalan Sedap Malam 26 Denpasar dihadiri dua
tersangka.Tanggal 29 Juli 2015, praperadilan yang diajukan Margriet ditolak oleh Pengadilan
Negeri Denpasar. Hakim tunggal Achmad Peten Sili menilai bahwa pihak pemohon, Margriet,
melalui kuasa hukumnya, Hotma Sitompoel & Associates, tidak bisa membuktikan dalil-dalil
permohonannya bahwa termohon (Polda Bali) dalam menetapkan tersangka (Margriet) tidak
didasari adanya alat bukti yang sah adalah argumentasi yang tidak beralasan.
Pada tanggal 7 September 2015, berkas perkara tentang pembunuhan Engeline
dinyatakan sudah lengkap (P21) dan diserahkan ke Kejaksaan Negeri Denpasar bersama dengan
dua tersangkanya untuk segera dilimpahkan kepengadilan.[42] Dalam berkas tersebut, tertera
sejumlah pasal yang disangkakan kepada Margriet yaitu pasal pembunuhan berencana,
pembunuhan, penganiayaan mengakibatkan korban meninggal, dan penelantaran anak.[43]
Peradilan
Sidang perdana kasus pembuhunan Engeline digelar pada tanggal 22 Oktober 2015, pada
sidang tersebut jaksa menyebutkan jika Margriet menyuruh Agus Tay untuk menguburkan jasad
Engeline dengan iming-iming uang, Margriet pula yang menyuruh Agus untuk menyalakan
rokok dan menyundutkannya ke tubuh Engeline, dan hal tersebut sesuai dengan hasil visum
RSUP Sanglah Denpasar.[44] Dalam persidangan tersebut jaksa mengungkapkan bahwa
tanggaal 16 Mei 2015, Margriet memukuli Engeline berkali kali pada bagian wajah dengan
tangan kosong hingga hidung dan telinga Engeline mengeluarkan darah. Pembunuhan Engeline
kemudian direncanakan dengan maksud untuk menghilangkan jejak.[45] Sementara dalam
persidangan tersebut Margriet menolak tuduhan jaksa yang menyatakan bahwa dirinya yang
telah membunuh Engeline, margriet menyatakan bahwa dirinya menyayangi Engeline
sebagaimana layaknya anaknya.

2. CONTOH PELANGGARAN HAM KASUS PEMBUNUHAN ANGELINE

A. BENTUK PELANGGARAN HAM

Dari kasus ini, kita dapat melihat adanya berbagai kasus pelanggaran Hak Asasi Anak
diantaranya pelecehan seksual, penganiayaan, serta pembunuhan. Selain itu, Engeline juga
dipandang tidak mendapatkan kehidupan yang sejahtera dan pantas untuk ia dapatkan. Padahal,
Ibu angkatnya merupakan seorang yang berkecukupan. Jelas sekali pelanggaran terhadap Hak
Asasi Anak yang berlapis-lapis terpampang jelas di kasus ini.
Padahal, hukum mengenai perlindungan Hak Asasi Anak sudah jelas tertulis dalam
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 mengenai Perlindungan Anak. Disana dijelaskan bahwa
anak adalah seseorang yang belum berumur 18 ( delapan belas ) tahun, termasuk anak yang
masih dalam kandungan. Hal-hal yang dilindungi dalam Undang-Undang ini yaitu diantaranya
mengenai jaminan kesejahteraan tiap warga negaranya ( termasuk anak ), juga perlindungan anak
dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal
dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi.

-Mengambil hak anak sampai kehilangan nyawanya.

-Melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960.

-Melanggar Pasal 21 Ayat (1).

-Melanggar Pasal 21 Ayat (3).

-Melanggar Pasal 36 Ayat (1).

-Melanggar Pasal 35 Ayat (1) UU Perkawinan dan mengatur soal harta bersama.

-Melanggar Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945.

-Melanggar UUD tentang perlindungan terhadap anak.

-Angeline meninggal pada tanggal Kamis, 18 Juni 2015.

B. TERMASUK KEJAHATAN KEMANUSIAAN

, kasus ini dapat dikategorikan dalam pelanggaran berat terhadap Hak Asasi Anak. Kasus
ini dapat terjadi karena kurangnya perhatian dan pengetahuan rakyat Indonesia terhadap hukum
perlindungan anak sehingga pelaku pelanggaran tidak mengetahui konsekuensi yang akan
didapat jika melakukan pelanggaran. Hal ini juga dapat terjadi akibat kurang tegasnya hukum di
Indonesia. Yang dimaksud dengan kurang tegasnya hukum di Indonesia yaitu salah satunya
ketakutan saksi pelanggaran untuk melaporkan kasus pelanggaran kepada pihak yang
berwenangan.

-Tubuh bocah 8 tahun itu penuh dengan luka memar, antara lain di wajah, kepala, leher, lengan,
paha, punggung dan kaki. Namun penyebab utama kematiannya diduga karena benturan benda
tumpul di kepalanya.

-Angeline mengalami kekerasan seksual yang dilakukan oleh Agus. (Agus adalah orang yang
baru diterima oleh Margareta untuk bekerja dirumahnya sebagai pengurus ayam dan ternak
lainnya). Pemerkosaan kedua yang berujung fatal.

-Margareta membunuh Angeline karena berhubungan dengan harta warisan.

-Dia sering dipukuli dan dimarahi oleh ibu angkatnya, Margareta.

-Margareta tidak niat untuk menjaga dan mempelihara anak angkatnya, Angeline.

-Margareta berniat jahat untuk memprilakukan Angeline.     

C. PROSES PENYELESAIN

Ditemukannya mayat Angeline disusul dengan penetapan tersangka pembunuhan. Tersangka


pertama yang ditetapkan polisi sebagai tersangka adalah pembantu rumah tangga Margareta, Agus Tae
Hamda May.

Saat pembunuhan terjadi, Agus baru satu minggu bekerja dengan Margareta. Penetapan tersangka
ini baru diketahui pada Rabu 10 Juni 2015. Dalam prarekonstruksi kejadian, terungkap Agus membunuh
Angeline.

Agus membunuh Angeline pada adegan ke-7 dengan cara membenturkan kepala Angeline ke
tembok dan lantai berkali-kali. Agus juga mencekik leher Angeline dengan tangannya hingga tubuh
bocah malang itu lemas. 

Saat Angeline tidak berdaya, Agus sempat diminta untuk memperkosa Angeline. Namun Agus
menolaknya. Setelah Angeline tewas, dia langsung menguburnya bersama boneka berbie kesayangan
Angeline. 

Kepada polisi, Agus mengaku melakukan pembunuhan keji itu tidak sendiri. Dia disuruh
majikannya, yakni Margereta. Keterangan Agus dijadikan dasar untuk menjadikan Margareta sebagai
tersangka kedua. 

Pada awalnya, Margareta ditetapkan sebagai pelaku penganiayaan Angeline. Baru kemudian
menjadi tersangka pembunuhan Angeline. Dalam sidang, terungkap bahwa Margareta adalah pelaku
utama pembunuhan itu. 
Sidang kasus pembunuhan Angeline berjalan sangat alot hingga berlangsung empat bulan. Selain
karena adanya dugaan praktik kecurangan pada majelis hakim, juga adanya permainan di kepolisian. 

Sidang yang awalnya dipimpin Hakim Ketua I Gede Ketut Wanugraha, Made Sukreni, dan
Ahmad Paten Silly dipindakan ke Ambon. Penyebabnya karena sidang berlangsung langsung lambat dan
berlarut-larut. 

Pada pihak kepolisian, kecugiaan akan adanya permainan terjadi saat video pemeriksaan Agus
berhasil diperoleh Tim Pengacara Margareta. Video itu merupakan dokumentasi Polri yang sifatnya
rahasia. 

Setelah melewati proses yang melelahkan, pengadilan akhirnya menjatuhkan vonis 10 tahun
penjara terhadap Agus dan penjara seumur hidup terhadap Margareta.

D. SOLUSI KELOMPOK

Cara penanganan atau solusi agar kejadian pembunuhan seperti Angeline tidak terjadi lagi:

-Bekerja sama dengan pihak sekolah, tetangga, orang yang dikenal, dll. Sehingga hal itu tidak
terjadi.

-Menurut kami Margareta harus mendapat pelajaran yang seharusnya diterima.

-Menurut kami setelah kematian suaminya jika Margareta tidak niat menjaga dan melindungi
Angeline, lebih baik tidak perlu mengadopsinya.

-Menurut kami anak adalah generasi yang akan menjadi penerus di masa yang akan datang, jadi
kita harus menjaga dan melindunginya dengan baik.    
BAB III
PENUTUP

1. KESIMPULAN

Pada dasarnya pelanggaran HAM terjadi karena ketidaktahuannya tentang hak asasi
manusia dan juga menipisnya keimanan sebagai seorang manusia. Sehingga hal-hal tersebut
sering terjadi karena lingkungan yang tidak baik serta pergaulan yang negatif.
Pemerintah juga harus bertindak tegas,dan harus ikut serta dalam memberikan sosialisasi
atau pembinaan terhadap orangtua agar menambah pengetahuan bagaimana cara mendidik anak
yang baik dan seharusnya juga komnas HAM bisa bertindak tegas, cepat, dan tepat dalam
menangani kasus pelanggaran HAM.
Pemerintah juga kurang memberatkan hukuman yang ada sehingga para pelaku
pelanggaran HAM kurang  jera akan hukuman tersebut.
Daftar Pustaka

http://beritakaltara.com/?p=2153
http://id.wikipedia.org/wiki/Kekerasan_terhadap_anak                                  
http://anakbersinar.com/news/detail/id/122/Mencegah-Tindakan-Kekerasan-Terhadap-Anak.html

Anda mungkin juga menyukai