Anda di halaman 1dari 35

MAKALAH

RITUAL ADAT RAMBU SOLO

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK

1. ANASTASIA HOAR BEREK 113063C118003


2. FIRSTY ALMA DIENY 113063C118009
3. GITA GLORY SABATINI 113063C118011
4. KRISNA 113063C118017
5. KRISTIA MATIUS 113063C118018
6. LOLA GLORIA LISTHY 113063C118020
7. RISNO 113063C118037
8. TRI SUSANTO 113063C118040

DOSEN PENGAMPU :
YOHANA GABRILINDA KOBUN, M.Kes

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SUAKA INSAN


BANJARMASIN
PROGRAM STUDI SARJANA ILMU KEPERAWATAN DAN PROFESI NERS
TAHUN AJARAN 2019/2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan karunia-
Nya sehingga kami berhasil menyelesaikan makalah ini dengan tepat pada waktu nya, makalah
ini yang berjudul
diharapkan makalah ini dapat memberikan informasi dan pengetahuan kepada kita
semua. Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna dan masih banyak terdapat
kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Oleh sebab itu kami mengharapkan kritik serta saran
dari pembaca untuk makalah ini, agar makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih
baik lagi. Akhir kata kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan
dalam pembentukan makalah ini dari awal hingga akhir.

Banjarmasin, 05 November 2019

penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................... Error! Bookmark not defined.

BAB I ..................................................................... Error! Bookmark not defined.

PENDAHULUAN ................................................ Error! Bookmark not defined.

A. LATAR BELAKANG............................. Error! Bookmark not defined.

B. RUMUSAN MASALAH ........................ Error! Bookmark not defined.

C. TUJUAN ...................................................................................................5

BAB II ................................................................... Error! Bookmark not defined.

PEMBAHASAN ................................................... Error! Bookmark not defined.

A. KONSEP MASYARAKAT ..................................................................... 6

B. KONSEP BUDAYA ................................................................................. 7

C. KONSEP BUDAYA SUKU TORAJA ................................................... 12

D. KONSEP TRANSCULTURAL .............................................................. 14

E. KONSEP UPACARA PEMAKAMAN RAMBU SOLO ...................... 16

BAB III.................................................................................................................. 24

ASUHAN KEPERAWATAN .............................................................................. 24

A. PENGKAJIAN ........................................................................................ 25

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN ............................................................. 31

C. PERENCANAAN KEPERAWATAN .................................................... 31

BAB IV .................................................................................................................. 34

KESIMPULAN ..................................................................................................... 34

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 35


BAB 1
PENDAHULUAN
1. Latar belakang

Banyak sekali budaya di indonesia yang masih dianut oleh masyarakatnya dan diwariskan
kepada generasi selanjutnya. Budaya merupakan identitas dan komunitas suatu daerah yang
dibangun dari kesepakatan-kesepakatan sosial dalam kelompok masyarakat tertentu. Budaya
dapat menggambarkan kepribadian suatu bangsa sehingga budaya dapat menjadikan ukuran bagi
majunya suatu peradaban manusia. Indonesia adalah negara yang kaya akan budaya salah
satunya salah satunya budaya di Kabupaten Tana Toraja, Provinsi Sulawesi Selatan. Suku
bangsa Toraja terkenal sebagai suku bangsa yang masih teguh memegang adat. Setiap pekerjaan
mesti dilaksanakan menurut adat, karena melanggar adat adalah suatu pantangan dan masyarakat
memandang rendah terhadap perlakuan yang memandang rendah adat itu. Apalagi dalam
kelahiran, perkawinan, kematian, upacara adat tidak boleh ditinggalkan. Kebudayaan yang paling
terkenal di Tana Toraja adalah upacara pemakaman yang disebut Rambu Solo. Meskipun orang
Toraja pada masa kini telah memiliki agama dan keyakinan namun kebudayaan leluhur mereka
masih terus dipertahankan. Ritual adat kematian kuno ini merupakan bentuk penegasan
keberadaan status sosial mereka.

2. Rumusan masalah

1. Bagaimana gambaran umum tentang masyarakat dan kebudayaan?


2. Bagaimana gambaran umum tentang kesehatan lingkungan?
3. Bagaimana gambaran umum tentang upacara pemakaman rambu solo?
4. Bagaimana pengaruh rambu solo terhadap kesehatan lingkungan?

3. Tujuan
Setelah menyusun makalah ini diharapkan mahasiswa dapat mengetahui dan memahami
tentang pengaruh upacara pemakaman rambu solo terhadap kesehatan.
BAB 2
PEMBAHASAN
1. Konsep Masyarakat

Pengertian

Istilah masyarakat berasal dari akar kata Arab “syaraka” yang berarti ikut serta
(berpartisipasi). Dalam bahasa inggris dipakai istilah society yang berasal dari kata Latin
“socius” yang berarti kawan. Menurut Koentjaraningrat masyarakat adalah kesatuan hidup
manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinu,dan
yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama. Dalam pengertian sosiologi, masyarakat tidak
dipandang sebagai suatu kumpulan individu-individu semata. Masyarakat merupakan suatu
pergaulan hidup, oleh karena manusia hidup bersama. Masyarakat merupakan suatu sistem yang
terbentuk karena hubungan anggota-anggotanya. Dengan kata lain, masyarakat adalah suatu
sistem yang terwujud dari kehidupan bersama manusia, yang lazim disebut dengan sistem
kemasyarakatan. Emile Durkheim (1951) menyatakan bahwa masyarakat merupakan suatu
kenyataan yang obyektif secara mandiri, bebas dari individu-individu yang merupakan anggota-
anggotanya.

Ciri-ciri Masyarakat

1. Interaksi diantara sesama anggota masyarakat

Di dalam masyarakat terjadi interaksi sosial yang merupakan hubungan sosial yang
dinamis yang menyangkut hubungan antar perseorangan, antar kelompok-kelompok maupun
antara perseorangan dengan kelompok, untuk terjadinya interaksi sosial harus memiliki dua
syarat, yaitu kontak sosial dan komunikasi.

2. Menempati wilayah dengan batas-batas tertentu

Suatu kelompok masyarakat menempati suatu wilayah tertentu menurut suatu keadaan
geografis sebagai tempat tinggal komunitasnya, baik dalam ruang lingkup yang kecil RT/RW,
Desa/Kelurahan, Kecamatan, Kabupaten, Propinsi, dan bahkan Negara.
3. Saling tergantung satu dengan lainnya

Anggota masyarakat yang hidup pada suatu wilayah tertentu saling tergantung satu
dengan yang lainnya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Tiap-tiap anggota masyarakat
mempunyai keterampilan sesuai dengan kemampuan dan profesi masing-masing. Mereka hidup
saling melengkapi, saling memenuhi agar tetap berhasil dalam kehidupannya.

4. Memiliki adat istiadat tertentu/kebudayaan

Adat istiadat dan kebudayaan diciptakan untuk mengatur tatanan kehidupan


bermasyarakat, yang mencakup bidang yang sangat luas diantara tata cara berinteraksi antara
kelompok-kelompok yang ada di masyarakat, apakah itu dalam perkawinan, kesenian, mata
pencaharian, sistem kekerabatan dan sebagainya.

5. Memiliki identitas bersama

Suatu kelompok masyarakat memiliki identitas yang dapat dikenali oleh anggota masyarakat
lainnya, hal ini penting untuk menopang kehidupan dalam bermasyarakat yang lebih luas.
Identitas kelompok dapat berupa lambang-lambang bahasa, pakaian, simbol-simbol tertentu dari
perumahan, benda-benda tertentu seperti alat pertanian, mata uang, senjata tajam, kepercayaan
dan sebagainya.

2. Konsep Budaya

Pengertian

Secara sederhana kebudayaan dapat diartikan sebagai hasil dari cipta, karsa, dan rasa.
Sebenarnya Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang
merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan
dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal
dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan.

Koentjaraningrat (2009) mendefinisikan kebudayaan adalah seluruh kelakuan dan hasil kelakuan
manusia yang teratur oleh tata kelakuan yang harus didapatkannya dengan belajar dan semuanya
tersusun dalam kehidupan masyarakat. Asalkan sesuatu yang dilakukan manusia memerlukan
belajar maka hal itu bisa dikategorikan sebagai budaya.
Taylor dalam bukunya Primitive Culture, memberikan definisi kebudayaan sebagai
keseluruhan yang kompleks yang didalamnya terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, dan
kemampuan kesenian, moral, hukum, adat-istiadat dan kemampuan lain serta kebiasaan-
kebiasaan yang didapat manusia sebagai anggota masyarakat.

Menurut Herskovits, Budaya sebagai hasil karya manusia sebagai bagian dari
lingkungannya (culture is the human-made part of the environment). Artinya segala sesuatu yang
merupakan hasil dari perbuatan manusia, baik hasil itu abstrak maupun nyata, asalkan
merupakan proses untuk terlibat dalam lingkungannya, baik lingkungan fisik maupun sosial,
maka bisa disebut budaya.

Menurut Robert H Lowie kebudayaan adalah segala sesuatu yang di peroleh individu dari
masyarakat, mencakup kepercayaan, adat istiadat, norma-norma artistic, kebiasaan makan,
keahlian yang di peroleh bukan dari kreatifitasnya sendiri melainkan merupakan warisan masa
lampau yang di dapat melalui pendidikan formal atau informal.

Sedangkan menurut M. Jacobs dan B.J. Stern kebudayaan mencakup keseluruhan yang
meliputi bentuk teknologi social, ideologi, religi, dan kesenian serta benda, yang kesemuanya
merupakan warisan sosial.

Dari berbagai definisi di atas, dapat diperoleh kesimpulan mengenai kebudayaan yaitu
sistem pengetahuan yang meliputi sistem ide gagasan yang terdapat di dalam pikiran manusia,
sehingga dalam kehidupan sehari-hari kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan
kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang
berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku,
bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi seni dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan
untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.

Wujud Kebudayaan

J. J Honigmann (dalam Koenjtaraningrat, 2009) membedakan adanya tiga ‘gejala kebudayaan’ :


yaitu : (1) ideas, (2) activities, dan (3) artifact, dan ini diperjelas oleh Koenjtaraningrat yang
mengistilahkannya dengan tiga wujud kebudayaan :
1. Wujud kebudayaan sebagai suatu yang kompleks dari ide-ide, gagasan-gagasan, nilai-nilai,
norma-norma, peraturan dan sebagainya.

Wujud tersebut menunjukann wujud ide dari kebudayaan, sifatnya abstrak, tak dapat diraba,
dipegang ataupun difoto, dan tempatnya ada di alam pikiran warga masyarakat dimana
kebudayaan yang bersangkutan itu hidup.

Budaya ideal mempunyai fungsi mengatur, mengendalikan, dan memberi arah kepada tindakan,
kelakuan dan perbuatan manusia dalam masyarakat sebagai sopan santun. Kebudayaan ideal ini
bisa juga disebut adat istiadat.

2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia
dalam masyarakat.

Wujud tersebut dinamakan sistem sosial, karena menyangkut tindakan dan kelakuan berpola dari
manusia itu sendiri. Wujud ini bisa diobservasi, difoto dan didokumentasikan karena dalam
sistem sosial ini terdapat aktivitas-aktivitas manusia yang berinteraksi dan berhubungan serta
bergaul satu dengan lainnya dalam masyarakat. Bersifat konkret dalam wujud perilaku dan
bahasa.

3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.

Wujud ini disebut juga kebudayaan fisik, dimana seluruhnya merupakan hasil fisik. Sifatnya
paling konkret dan bisa diraba, dilihat dan didokumentasikan. Contohnya : candi, bangunan,
baju, kain komputer dll.

Unsur-unsur Kebudayaan

Koentjaraningrat (2009) membagi budaya menjadi 7 unsur, yaitu :

1. Sistem religi

- sistem kepercayaan

- sistem nilai dan pandangan hidup

- komunikasi keagamaan
- upacara keagamaan

2. Organisasi sosial

- kekerabatan

- asosiasi dan perkumpulan

- sistem kenegaraan

- sistem kesatuan hidup

- perkumpulan

3. Sistem pengetahuan

- flora dan fauna

- waktu, ruang dan bilangan

- tubuh manusia dan perilaku antar sesama manusia

4. Bahasa

- lisan

- tulisan

5. Kesenian

- seni patung/pahat

- relief

- lukis dan gambar

- rias

- vokal

- musik
- bangunan

- kesusastraan

- drama

6. Sistem mata pencaharian hidup

- berburu dan mengumpulkan makanan

- bercocok tanam

- peternakan

- perikanan

- perdagangan

7. Sistem teknologi dan peralatan hidup

- produksi, distribusi, transportasi

- peralatan komunikasi

- peralatan konsumsi dalam bentuk wadah

- pakaian dan perhiasan

- tempat berlindung dan perumahan

- senjata

Ketujuh unsur budaya di atas kemudian membentuk budaya secara keseluruhan.

Aspek Budaya yang Mempengaruhi Status Kesehatan Dan Perilaku Kesehatan

Menurut G.M. Foster (1973) , aspek budaya dapat mempengaruhi kesehatan al :

Pengaruh tradisi
Ada beberapa tradisi didalam masyarakat yang dapat berpengaruh negatif terhadap kesehatan
masyarakat.

Sikap fatalistis

Hal lain adalah sikap fatalistis yang juga mempengaruhi perilaku kesehatan. Contoh: Beberapa
anggota masyarakat dikalangan kelompok tertentu (fanatik) yang beragama islam percaya bahwa
anak adalah titipan Tuhan, dan sakit atau mati adalah takdir , sehingga masyarakat kurang
berusaha untuk segera mencari pertolongan pengobatan bagi anaknya yang sakit.

Sikap ethnosentris

Sikap yang memandang kebudayaan sendiri yang paling baik jika dibandingkan dengan
kebudayaan pihak lain.

Pengaruh perasaan bangga pada statusnya

Contoh: Dalam upaya perbaikan gizi, disuatu daerah pedesaan tertentu, menolak untuk makan
daun singkong, walaupun mereka tahu kandungan vitaminnya tinggi. Setelah diselidiki ternyata
masyarakat bernaggapan daun singkong hanya pantas untuk makanan kambing, dan mereka
menolaknya karena status mereka tidak dapat disamakan dengan kambing.

Pengaruh norma

Contoh: upaya untuk menurunkan angka kematian ibu dan bayi banyak mengalami
hambatan karena ada norma yang melarang hubungan antara dokter yang memberikan pelayanan
dengan bumil sebagai pengguna pelayanan.

Pengaruh nilai

Nilai yang berlaku didalam masyarakat berpengaruh terhadap perilaku kesehatan.


Contoh: masyarakat memandang lebih bergengsi beras putih daipada beras merah, padahal
mereka mengetahui bahwa vitamin B1 lebih tinggi diberas merah daripada diberas putih.
Pengaruh unsur budaya yang dipelajari pada tingkat awal dari proses sosialisasi terhadap
perilaku kesehatan

Kebiasaan yang ditanamkan sejak kecil akan berpengaruh terhadap kebiasaan pada
seseorang ketika ia dewasa. Misalnya saja, manusia yang biasa makan nasi sejak kecil, akan sulit
diubah kebiasaan makannya setelah dewasa.

Pengaruh konsekuensi dari inovasi terhadap perilaku kesehatan

Apabila seorang petugas kesehatan ingin melakukan perubahan perilaku kesehatan


masyarakat, maka yang harus dipikirkan adalah konsekuensi apa yang akan terjadi jika
melakukan perubahan, menganalisis faktor-faktor yang terlibat/berpengaruh pada perubahan, dan
berusaha untuk memprediksi tentang apa yang akan terjadi dengan perubahan tersebut.

3. Konsep budaya suku toraja

Suku Toraja

Suku Toraja adalah suku yang menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan,
Indonesia. Populasinya diperkirakan sekitar 1 juta jiwa, dengan 500.000 di antaranya masih
tinggal di Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten Toraja Utara, dan Kabupaten Mamasa. Mayoritas
suku Toraja memeluk agama Kristen, sementara sebagian menganut Islamdan kepercayaan
animismeyang dikenal sebagai Aluk To Dolo. Pemerintah Indonesia telah mengakui kepercayaan
ini sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.

Kata toraja berasal dari bahasa Bugis, to riaja, yang berarti “orang yang berdiam di negeri
atas”. Pemerintah kolonial Belandamenamai suku ini Toraja pada tahun 1909.Suku Toraja
terkenal akan ritual pemakaman, rumah adat tongkonandan ukiran kayunya. Ritual pemakaman
Toraja merupakan peristiwa sosial yang penting, biasanya dihadiri oleh ratusan orang dan
berlangsung selama beberapa hari.

Identitas Etnis

Sebelum penjajahan Belandadan masa pengkristenan, suku Toraja, yang tinggal di daerah
dataran tinggi, dikenali berdasarkan desa mereka, dan tidak beranggapan sebagai kelompok yang
sama. Meskipun ritual-ritual menciptakan hubungan di antara desa-desa, ada banyak keragaman
dalam dialek, hierarki sosial, dan berbagai praktik ritual di kawasan dataran tinggi Sulawesi.
“Toraja” (dari bahasa pesisir ke, yang berarti orang, dan Riaja, dataran tinggi) pertama kali
digunakan sebagai sebutan penduduk dataran rendah untuk penduduk dataran tinggi. Akibatnya,
pada awalnya “Toraja” lebih banyak memiliki hubungan perdagangan dengan orang luar—
seperti suku Bugisdan suku Makassar, yang menghuni sebagian besar dataran rendah di
Sulawesi—daripada dengan sesama suku di dataran tinggi. Kehadiran misionarisBelanda di
dataran tinggi Toraja memunculkan kesadaran etnis Toraja di wilayah Sa’dan Toraja, dan
identitas bersama ini tumbuh dengan bangkitnya pariwisata di Tana Toraja. Sejak itu, Sulawesi
Selatan memiliki empat kelompok etnis utama—suku Bugis (kaum mayoritas, meliputi pembuat
kapal dan pelaut), suku Makassar (pedagang dan pelaut), suku Mandar(pedagang dan nelayan),
dan suku Toraja (petani di dataran tinggi).

Masyarakat

Keluarga adalah kelompok sosial dan politik utama dalam suku Toraja. Setiap desa
adalah suatu keluarga besar. Setiap tongkonan memiliki nama yang dijadikan sebagai nama desa.
Keluarga ikut memelihara persatuan desa. Pernikahan dengan sepupu jauh (sepupu keempat dan
seterusnya) adalah praktek umum yang memperkuat hubungan kekerabatan.Suku Toraja
melarang pernikahan dengan sepupu dekat (sampai dengan sepupu ketiga) kecuali untuk
bangsawan, untuk mencegah penyebaran harta.[13]Hubungan kekerabatan berlangsung secara
timbal balik, dalam artian bahwa keluarga besar saling menolong dalam pertanian, berbagi dalam
ritual kerbau, dan saling membayarkan hutang.

Kelas sosial

Dalam masyarakat Toraja awal, hubungan keluarga bertalian dekat dengan kelas sosial.
Ada tiga tingkatan kelas sosial: bangsawan, orang biasa, dan budak (perbudakandihapuskan pada
tahun 1909 oleh pemerintah Hindia Belanda). Kelas sosial diturunkan melalui ibu. Tidak
diperbolehkan untuk menikahi perempuan dari kelas yang lebih rendah tetapi diizinkan untuk
menikahi perempuan dari kelas yang lebih tingi, ini bertujuan untuk meningkatkan status pada
keturunan berikutnya. Sikap merendahkan dari Bangsawan terhadap rakyat jelata masih
dipertahankan hingga saat ini karena alasan martabat keluarga.
Agama

Sistem kepercayaan tradisional suku Toraja adalah kepercayaan animismepoliteistik yang


disebut aluk, atau “jalan” (kadang diterjemahkan sebagai “hukum”). Dalam mitos Toraja, leluhur
orang Toraja datang dari surga dengan menggunakan tangga yang kemudian digunakan oleh
suku Toraja sebagai cara berhubungan dengan Puang Matua, dewa pencipta. Alam semesta,
menurut aluk, dibagi menjadi dunia atas (Surga) dunia manusia (bumi), dan dunia bawah. Pada
awalnya, surga dan bumi menikah dan menghasilkan kegelapan, pemisah, dan kemudian muncul
cahaya. Hewan tinggal di dunia bawah yang dilambangkan dengan tempat berbentuk persegi
panjang yang dibatasi oleh empat pilar, bumi adalah tempat bagi umat manusia, dan surga
terletak di atas, ditutupi dengan atap berbetuk pelana. Dewa-dewa Toraja lainnya adalah Pong
Banggai di Rante (dewa bumi), Indo’ Ongon-Ongon (dewi gempa bumi), Pong Lalondong (dewa
kematian), Indo’ Belo Tumbang (dewi pengobatan), dan lainnya.

Kebudayaan

Rumah Adat Tongkonan adalah rumah tradisional Toraja yang berdiri di atas tumpukan
kayu dan dihiasi dengan ukiran berwarna merah, hitam, dan kuning. Kata “tongkonan” berasal
dari bahasa Toraja tongkon (“duduk”). Tongkonan merupakan pusat kehidupan sosial suku
Toraja. Ritual yang berhubungan dengan tongkonan sangatlah penting dalam kehidupan spiritual
suku Toraja oleh karena itu semua anggota keluarga diharuskan ikut serta karena Tongkonan
melambangan hubungan mereka dengan leluhur mereka. Menurut cerita rakyat Toraja,
tongkonan pertama dibangun di surga dengan empat tiang. Ketika leluhur suku Toraja turun ke
bumi, dia meniru rumah tersebut dan menggelar upacara yang besar.

4. Konsep Transcultural

Transcultural merupakan suatu area kajian ilmiah yang berkaitan dengan perbedaan
maupun kesamaan nilai–nilai. Bila ditinjau dari makna kata, transkultural berasal dari kata trans
dan culture. Trans berarti aluar perpindahan, jalan lintas atau penghubung. Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia trans berarti melintang, melintas, menembus, melalui. Cultur berarti
kebudayaan, cara pemeliharaan, pembudidayaan. Selain itu, culture juga berarti kepercayaan,
nilai – nilai dan pola perilaku yang umum berlaku bagi suatu kelompok dan diteruskan pada
generasi berikutnya. Cultural berarti sesuatu yang berkaitan dengan kebudayaan. Budaya sendiri
berarti akal budi, hasil,dan adat istiadat.

Budaya merupakan salah satu dari perwujudan atau bentuk interaksi yang nyata sebagai manusia
yang bersifat sosial. Budaya yang berupa norma, adat istiadat menjadi acuan perilaku manusia
dalam kehidupan dengan yang lain. Pola kehidupan yang berlangsung lama dalam suatu tempat,
selalu diulangi, membuat manusia terikat dalam proses yang dijalaninya. Keberlangsungaan
terus–menerus dan lama merupakan proses internalisasi dari suatu nilai–nilai yang
mempengaruhi pembentukan karakter, pola pikir, pola interaksi perilaku yang kesemuanya itu
akan mempunyai pengaruh pada pendekatan intervensi keperawatan (cultural nursing approach)

5. Konsep Upacara Pemakaman Rambu Solo

Pengertian

Suku Toraja adalah suku yang menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan,
Indonesia. Populasinya diperkirakan sekitar 1 juta jiwa, dengan 500.000 di antaranya masih
tinggal di Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten Toraja Utara, dan Kabupaten Mamasa.Mayoritas
suku Toraja memeluk agama Kristen, sementara sebagian menganut Islam dan kepercayaan
animisme yang dikenal sebagai Aluk To Dolo. Pemerintah Indonesia telah mengakui
kepercayaan ini sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma. Kepercayaan yang di Anut
Masyarakat Tana Toraja

Orang Toraja memiliki satu sistem kepercayaan yang disebut Alukta. Agama ini sering
disebut Aluk Todolo untuk menggambarkan bahwa agama ini adalah asli ciptaan leluhur orang
Toraja. Disadari atau tidak, satu pandangan yang masih dianut dan dipraktikkan oleh hampir
sseluruh masyarakat Toraja adalah pandangan tentang kehidupan yang berputar.

Manusia berasal dari langit, turun ke bumi – kehidupan di bumi – dan kembali lagi ke
langit setelah mengalami transformasi. Pandangan ini nampak dalam semua aspek budaya
Toraja. Misalnya dalam lagu-lagu duka ( badong ) narasi bergerak dalam tema ini : manusia lahir
dari langit, turun ke bumi dan kembali lagi ke langit ( ossoran ). Rumah Tongkonan ( rumah adat
Toraja ) dan alang ( lumbung padi ) didirikan mengikuti arah dari selatan ke utara sampai titik
zenit tertinggi atau sebaliknya dari utara ke selatan ke langit tertinggi.

Suku Toraja terkenal akan ritual pemakaman, rumah adat tongkonan dan ukiran kayunya.
Dalam masyarakat Toraja, upacara pemakaman merupakan ritual yang paling penting dan
berbiaya mahal. Semakin kaya dan berkuasa seseorang, maka biaya upacara pemakamannya
akan semakin mahal. Dalam agama aluk, hanya keluarga bangsawan yang berhak menggelar
pesta pemakaman yang besar. Pesta pemakaman seorang bangsawan biasanya dihadiri oleh
ribuan orang dan berlangsung selama beberapa hari.

Upacara ini biasanya dilaksanakan pada siang hari, saat matahari mulai condong ke barat.
Sebuah tempat prosesi pemakaman yang disebut rante biasanya disiapkan pada sebuah padang
rumput yang luas, selain sebagai tempat pelayat yang hadir, juga sebagai tempat lumbung padi,
dan berbagai perangkat pemakaman lainnya yang dibuat oleh keluarga yang ditinggalkan.
Kuburannya sendiri dibuat di bagian atas tebing di ketinggian bukit batu. Karena menurut
kepercayaan Aluk To Dolo di kalangan orang Tana Toraja, semakin tinggi tempat jenazah
tersebut diletakkan, maka semakin cepat pula rohnya sampai ke nirwana.

Rambu Solo adalah upacara adat kematian masyarakat Tana Toraja yang bertujuan untuk
menghormati dan mengantarkan arwah orang yang meninggal dunia menuju alam roh, yaitu
kembali kepada keabadian bersama para leluhur mereka di sebuah tempat peristirahatan (dunia
arwah, atau akhirat), disebut dengan Puya, yang terletak di bagian selatan tempat tinggal
manusia. Upacara ini sering juga disebut upacara penyempurnaan kematian. Dikatakan
demikian, karena orang yang meninggal baru dianggap benar-benar meninggal setelah seluruh
prosesi upacara ini digenapi. Jika belum, maka orang yang meninggal tersebut hanya dianggap
sebagai orang “sakit” atau “lemah”, sehingga ia tetap diperlakukan seperti halnya orang hidup,
yaitu dibaringkan di tempat tidur dan diberi hidangan makanan, minuman dan rokok atau sirih,
bahkan selalu diajak berbicara.

Jenazah dipindahkan dari rumah duka menuju tongkonan pertama (tongkonan tammuon),
yaitu tongkonan dimana ia berasal. Di sana dilakukan penyembelihan 1 ekor kerbau sebagai
kurban atau dalam bahasa Torajanya Ma'tinggoro Tedong, yaitu cara penyembelihan khas orang
Toraja, menebas kerbau dengan parang dengan satu kali tebasan saja. Kerbau yang akan
disembelih ditambatkan pada sebuah batu yang diberi nama Simbuang Batu. Setelah itu, kerbau
tadi dipotong-potong dan dagingnya dibagi-bagikan kepada mereka yang hadir.

Jenazah berada di tongkonan pertama (tongkonan tammuon) hanya sehari, lalu keesokan
harinya jenazah akan dipindahkan lagi ke tongkonan yang berada agak ke atas lagi, yaitu
tongkonan barebatu, dan di sini pun prosesinya sama dengan di tongkonan yang pertama, yaitu
penyembelihan kerbau dan dagingnya akan dibagi-bagikan kepada orang-orang yang berada di
sekitar tongkonan tersebut.

Jenazah diusung menggunakan duba-duba (keranda khas Toraja). Di depan duba-duba


terdapat lamba-lamba (kain merah yang panjang, biasanya terletak di depan keranda jenazah, dan
dalam prosesi pengarakan, kain tersebut ditarik oleh para wanita dalam keluarga itu).Prosesi
pengarakan jenazah dari tongkonan barebatu menuju rante dilakukan setelah kebaktian dan
makan siang. Barulah keluarga dekat arwah ikut mengusung keranda tersebut. Para laki-laki
yang mengangkat keranda tersebut, sedangkan wanita yang menarik lamba-lamba.

Dalam pengarakan terdapat urut-urutan yang harus dilaksanakan, pada urutan pertama
kita akan lihat orang yang membawa gong yang sangat besar, lalu diikuti dengan tompi saratu
(atau yang biasa kita kenal dengan umbul-umbul), lalu tepat di belakang tompi saratu ada barisan
tedong (kerbau) diikuti dengan lamba-lamba dan yang terakhir barulah duba-duba. Jenazah
tersebut akan disemayamkan di rante (lapangan khusus tempat prosesi berlangsung), di sana
sudah berdiri lantang (rumah sementara yang terbuat dari bambu dan kayu) yang sudah diberi
nomor. Lantang itu sendiri berfungsi sebagai tempat tinggal para sanak keluarga yang datang
nanti. Karena selama acara berlangsung mereka semua tidak kembali ke rumah masing-masing
tetapi menginap di lantang yang telah disediakan oleh keluarga yang sedang berduka.

Iring-iringan jenazah akhirnya sampai di rante yang nantinya akan diletakkan di lakkien (menara
tempat disemayamkannya jenazah selama prosesi berlangsung). Menara itu merupakan bangunan
yang paling tinggi di antara lantang-lantang yang ada di rante. Lakkien sendiri terbuat dari pohon
bambu dengan bentuk rumah adat Toraja. Jenazah dibaringkan di atas lakkien sebelum nantinya
akan dikubur. Di rante sudah siap dua ekor kerbau yang akan ditebas.

Setelah jenazah sampai di lakkien, acara selanjutnya adalah penerimaan tamu, yaitu
sanak saudara yang datang dari penjuru tanah air. Pada sore hari setelah prosesi penerimaan tamu
selesai, dilanjutkan dengan hiburan bagi para keluarga dan para tamu undangan yang datang,
dengan mempertontonkan ma'pasilaga tedong (adu kerbau), kerbau yang diadu adalah kerbau
khas Tana Toraja yang memiliki ciri khas yaitu memiliki tanduk bengkok kebawah ataupun
(balukku', sokko) yang berkulit belang (tedong bonga), tedong bonga di Toraja sangat bernilai
tinggi harganya sampai ratusan juta.

Kerbau Tedong Bonga adalah termasuk kelompok kerbau lumpur (Bubalus bubalis)
merupakan endemik spesies yang hanya terdapat di Tana Toraja. Kesulitan pembiakan dan
kecenderungan untuk dipotong sebanyak-banyaknya pada upacara adat membuat plasma nutfah
(sumber daya genetika) asli itu terancam kelestariannya.Selama beberapa hari ke depan
penerimaan tamu dan adu kerbau merupakan agenda acara berikutnya, penerimaan tamu terus
dilaksanakan sampai semua tamu-tamunya berada di tempat yang telah disediakan yaitu lantang
yang berada di rante. Sore harinya selalu diadakan adu kerbau, hal ini merupakan hiburan yang
digemari oleh orang-orang Tana Toraja hingga sampai pada hari penguburan. Baik itu yang
dikuburkan di tebing maupun yang di patane' (kuburan dari kayu berbentuk rumah adat).

Ada tiga cara pemakaman dalam rambu solo, diantaranya: Peti mati dapat disimpan di
dalam gua, atau di makam batu berukir, atau digantung di tebing. Orang kaya terkadang dikubur
di makam batu berukir. Makam tersebut biasanya mahal dan waktu pembuatannya sekitar
beberapa bulan. Di beberapa daerah, gua batu digunakan untuk meyimpan jenazah seluruh
anggota keluarga. Patung kayu yang disebut tau tau biasanya diletakkan di gua dan menghadap
ke luar. Peti mati bayi atau anak-anak digantung dengan tali di sisi tebing. Tali tersebut biasanya
bertahan selama setahun sebelum membusuk dan membuat petinya terjatuh.

Kemeriahan upacara Rambu Solo ditentukan oleh status sosial keluarga yang meninggal,
diukur dari jumlah hewan yang dikorbankan. Semakin banyak kerbau disembelih, semakin tinggi
status. Bila bangsawan yang meninggal dunia, maka jumlah kerbau yang akan dipotong untuk
keperluan acara jauh lebih banyak dibanding untuk mereka yang bukan bangsawan. Untuk
keluarga bangsawan, jumlah kerbau bisa berkisar dari 24 sampai dengan 100 ekor kerbau.
Sedangkan warga golongan menengah diharuskan menyembelih 8 ekor kerbau ditambah dengan
50 ekor babi, dan lama upacara sekitar 3 hari.
Tapi, sebelum jumlah itu mencukupi, jenazah tidak boleh dikuburkan di tebing atau di
tempat tinggi. Makanya, tak jarang jenazah disimpan selama bertahun-tahun di Tongkonan
(rumah adat Toraja) sampai akhirnya keluarga almarhum/ almarhumah dapat menyiapkan hewan
kurban. Namun bagi penganut agama Nasrani dan Islam kini, jenazah dapat dikuburkan dulu di
tanah, lalu digali kembali setelah pihak keluarganya siap untuk melaksanakan upacara ini.

Upacara Rambu Solo terbagi dalam beberapa tingkatan yang mengacu pada strata sosial
masyarakat Toraja, yakni:

• Dipasang Bongi: Upacara pemakaman yang hanya dilaksanakan dalam satu malam saja.

• Dipatallung Bongi: Upacara pemakaman yang berlangsung selama tiga malam dan
dilaksanakan dirumah almarhum serta dilakukan pemotongan hewan.

• Dipalimang Bongi: Upacara pemakaman yang berlangsung selama lima malam dan
dilaksanakan disekitar rumah almarhum serta dilakukan pemotongan hewan.

• Dipapitung Bongi: Upacara pemakaman yang berlangsung selama tujuh malam yang pada
setiap harinya dilakukan pemotongan hewan.

Dulu, upacara ini hanya mampu dilaksanakan oleh keluarga bangsawan. Namun seiring dengan
perkembangan ekonomi, strata sosial tidak lagi berdasarkan pada keturunan atau kedudukan,
melainkan berdasarkan tingkat pendidikan dan kemampanan ekonomi. Saat ini, sudah banyak
masyarakat Toraja dari strata sosial rakyat biasa menjadi hartawan, sehingga mampu menggelar
upacara ini.

Nilai-Nilai yang Terkandung dalam Rambu Solo

Upacara Rambu Solo memiliki nilai-nilai luhur dalam kehidupan masyarakat, di


antaranya adalah gotong royong dan tolong-menolong. Meskipun terlihat sebagai pemborosan
karena mencari harta untuk dihabiskan dalam suatu kematian, unsur gotong royong yang terlihat
sangatlah jelas, contohnya dalam hal penyediaan kerbau. Suatu keluarga yang dirundung duka
(yang ditinggal mati) mendapat sumbangan kerbau, babi, atau uang dari sanak keluarganya untuk
melangsungkan Rambu Solo.
Unsur tolong-menolong pun juga berperan dalam pelaksanaan Rambu Solo. Upacara ini
dilakukan oleh siapa pun yang mampu. Biasanya, ada juga pembagian daging kerbau kepada
orang-orang yang tidak mampu. Hal ini menyebabkan adanya pengurangan kesenjangan sosial.

Selain dua nilai di atas, nilai religi juga tampak dari upacara Rambu Solo. Masyarakat
Toraja memaknai kematian sebagai suatu hal tak ditakuti karena mereka percaya bahwa ada
kehidupan setelah kematian. Bagi mereka, kematian adalah bagian dari ritme kehidupan yang
wajib dijalani. Walau boleh ditangisi, kematian juga menjadi kegembiraan yang membawa
manusia kembali menuju surga, asal-muasal leluhur. Dengan kata lain, mereka percaya adanya
kehidupan setelah kematian.

Dalam upacara kematian Rambu Solo, kesedihan tidak terlau tergambar di wajah-wajah
keluarga yang berduka, sebab mereka punya waktu yang cukup untuk mengucapkan selamat
jalan kepada si mati, sebab jenazah yang telah mati biasanya disimpan dalam rumah adat (
tongkonan ), disimpan bisa mencapai hitungan tahun. Maksud dari jenazah disimpan ada
beberapa alasan, pertama adalah menunggu sampai keluarga bisa atau mampu untuk
melaksanakan upacara kematian Rambu Solo, kedua adalah menunggu sampai anak-anak dari si
mati datang semua untuk siap menghadiri pesta kematian ini. Karena mereka menganggap
bahwa orang yang telah mati namun belum diupacarakan tradisi Rambu Solo ini dianggap belum
mati dan dikatakan hanya sakit, karena statusnya masih “ sakit “. Orang yang sudah meninggal
tadi harus dirawat dan diperlakukan sebagai orang yang masih hidup.

Pengaruh Rambu Solo terhadap Kesehatan Lingkungan

Upacara pemakaman Rambu Solo membutuhkan biaya yang sangat besar. Apalagi, harus
memotong puluhan bahkan ratusan hewan terdiri dari kerbau, sapi, babi dan lainnya. Sebelum
upacara ini dilaksanakan maka orang yang meninggal itu dianggap sebagai orang sakit dan tetap
ditempatkan dalam tongkonan. Untuk masyarakat yang memiliki satus sosial rendah, perlu
menunggu waktu yang lama sehingga upacara rambu solo dapat dilaksanakan. Selama
menunggu waktu tersebut, mayat tentu akan mengalami pembusukan walaupun sudah disiasati
dengan pengawetan alami atau pembalseman. Proses pembusukan berawal dari mikroba yang
berada dalam tubuh organisme yang sudah tidak bernyawa, misalnya bakter-bakteri yang hidup
dalam usus besar manusia.
Sesaat setelah makhluk hidup tidak bernyawa, bakteri mulai mendegradasi protein yang
terdapat dalam tubuh. Jika seluruh jenis ikatan protein sudah terputus, maka beberapa jaringan
tubuh menjadi tidak berfungsi. Proses ini dilanjutkan oleh bakteri yang datang dari luar, berasal
dari udara, air dan tanah. Berbagai jenis bakteri tersebut menyerang sistem pertahanan tubuh
yang sudah tidak aktif, menghancurkan jaringan otot, atau menghasilkan enzim penghancur sel
(protease).

Tidak semua mikroba mampu mendegradasi mayat, pada umumnya jenis bakteri
heterotrof. Bakteri ini membutuhkan molekul-molekul organik dari organisme lain sebagai
nutrisi agar bisa bertahan hidup dan berkembangbiak. Organisme heterotrof biasanya hidup dan
berkembangbiak pada organisme mati. Mikroba tersebut mendapatkan energi dengan
menguraikan senyawa organik pada organisme mati. Molekul-molekul besar seperti protein,
karbohidrat, lemak atau senyawa organik lainnya mengalami dekomposisi menjadi molekul
tunggal seperti asam amino, metana, gas CO2, serta molekul lain yang merupakan senyawa
karbon, hidrogen, nitrogen, oksigen, fosfor dan sulfur. Pembusukan dimulai dengan pemutusan
ikatan protein-protein besar pada jaringan tubuh oleh bakteri fermentasi menggunakan enzim
protease. Pemutusan protein menghasilkan asam amino.

Misalnya asam amino akan dicerna bakteri asetogen yang direkasikan dengan oksigen
dan menghasilkan asam asetat yang menimbulkan bau tidak sedap. Asam asetat akan diproses
oleh bakteri metanogen, misalnya Methanolhemobacter thermoantrotrophicum yang biasa hidup
di lingkungan kotor seperti selokan dan pembuangan limbah. Bakteri mereaksikan asam asetat
dengan gas hidrogen dan karbondioksida. Metana dalam bentuk gas juga berbau busuk. Selain
asam asetat dan metana, beberapa bakteri menghasilkan gas hidrogen sulfida yang baunya seperti
telur busuk. Bau busuk yang bercampur dengan uap garam dan berbagai zat di udara bebas dapat
mereduksi konsentrasi elektrolit dalam tubuh. Produk berbahaya selain gas yang dihasilkan
cairan asam dan cairan lain yang mengandung protein toksik.

Jika cairan ini menginfeksi kulit yang luka atau terkena makanan, bukan hanya produk
beracunnya yang masuk dalam tubuh tetapi juga bakteri heterotrof patogen seperti Clostridium.
Bakteri tersebut dapat menimbulkan berbagai masalah kesehatan seperti lemahnya sistem
pertahanan tubuh, malaria, diare, tetanus, serta infeksi lainnya. Tongkonan yang digunakan
sebagai tempat menyimpan mayat sebelum upacara rambu solo dilaksanakan juga ditempati oleh
anggota keluarga lainnya yang masih sehat. Dalam tongkonan tidak hanya dihuni oleh orang
dewasa, tetapi juga anak-anak, ibu hamil bahkan bayi. Sehingga ditakutkan bakteri dalam
pembusukan dari mayat yang tinggal beserta anggota keluarga lain yang sehat dapat
menimbulkan berbagai masalah kesehatan bagi anggota keluarga yang tinggal dengan mayat
tersebut.

Selain itu penyembelihan kerbau dalam jumlah banyak dengan cara sekali tebas yang
dilakukan di area tanah terbuka tanpa alas, kemudian dagingnya dipotong-potong dan dibagikan
ke orang-orang yang hadir. Dengan cara seperti ini, dapat diketahui bahwa higiene dari daging
tersebut tidak terjaga dengan baik, sehingga akan menimbulkan masalah kesehatan bagi orang
yang mengkonsumsinya.

Selain masalah di atas, upacara rambu solo juga dapat menimbulkan masalah ekosistem
karena kerbau yang diadu adalah kerbau khas Tana Toraja yang memiliki ciri khas yaitu
memiliki tanduk bengkok kebawah ataupun (balukku', sokko) yang berkulit belang (tedong
bonga), tedong bonga di Toraja sangat bernilai tinggi harganya sampai ratusan juta. Kerbau
Tedong Bonga adalah termasuk kelompok kerbau lumpur (Bubalus bubalis) merupakan endemik
spesies yang hanya terdapat di Tana Toraja. Kesulitan pembiakan dan kecenderungan untuk
dipotong sebanyak-banyaknya pada upacara adat membuat plasma nutfah (sumber daya
genetika) asli itu terancam kelestariannya.
BAB 3

ASUHAN KEPERAWATAN

Tongkongan yang digunakan sebagai tempat menyimpan mayat sebelum upacara rambu
solo dilaksanakan juga ditempati oleh anggota keluarga lainnya yang masih sehat. Dalam
tongkongan tidak hanya dihuni oleh orang dewasa, tetapi juga anak-anak, ibu hamil bahkan bayi.
Telah diuraikan bahwa bakteri dalam pembusukan dari mayat yang tinggal beserta anggota
keluarga lain yang sehat dapat menimbulkan berbagai masalah kesehatanseperti lemahnya sistem
pertahanan tubuhatau imunitas

Imunitas atau kekebalan tubuh adalah sistem mekanisme pada organisme yang
melindungi tubuh terhadap pengaruh biologis luar dengan mengidentifikasi dan membunuh
patogen serta sel tumor. Sistem ini mendeteksi berbagai macam pengaruh biologis luar yang
luas, organisme akan melindungi tubuh dari infeksi, bakteri, virus sampai cacing parasit, serta
menghancurkan zat-zat asing lain dan memusnahkan mereka dari sel organisme yang sehat dan
jaringan agar tetap dapat berfungsi seperti biasa. Deteksi sistem ini sulit karena adaptasi patogen
dan memiliki cara baru agar dapat menginfeksi organisme. Menggunakan APD (Alat Pelindung
Diri) pada saat beraktivitas didalam rumah, selain itu pisahkan pula kamar antara kamar yang
telah meninggal (keadaan sakit) dengan yang masih sehat. Karena tanpa melakukan itu tidak
menutup kemungkinan orang yang sehat bisa ikut terinfeksi oleh bakteri yang menyebabkan
pembusukan pada mayat, sehingga pertahanan tubuh tidak terganggu. Rambu Solo adalah
upacara pemakaman yang berada di Tana Toraja. Upacara ini merupakan adat istiadat yang telah
diwarisi oleh masyarakat Toraja secara turun-temurun ini mewajibkan keluarga yang ditinggal
mati membuat pesta besar sebagai penghormatan terakhir kepada mendiang yang telah pergi.

Dibalik kemegahan pesta pemakaman berdampak tidak langsung dari beban keuangan
saat melakukan upacara rambu solo. Dalam menghadapi beban keuangan rambu solo’ sebagai
stresor, Strategi coping, cenderung mengalami penurunan secara bertahap dari coping berfokus
pada masalah kemudian beralih pada coping berfokus pada emosi dan dari coping adaptif beralih
pada coping maladaptive, dampak psikologis yang ditemukan: stres, ketakutan (kecemasan),
depresi ringan.
Dalam mengatasi strategi coping yang menurun diperlukan kepercayaan dalam diri
sendiri serta support dari orang dekat untuk meyakinkan bahwa semua masalah pasti ada jalan
keluarnya apabila kita mau berusaha. Dengan begitu pelaku Rambu Solo tidak akan merasa
sendiri, sehingga dia akan lebih yakin dapat mengatasi masalahnya tersebut. Pelaku upacara
rambu solo sangat kompleks, sebagai pilihan dari proses internal, beban keuangan rambu solo
dinilai subjek sebagai konsekuensi dan untuk itu mereka berupaya mencari kebutuhan-kebutuhan
yang sama atau berbeda yang adekuat atas deprivasi kebutuhan dasar dalam dirinya.

Untuk asuhan keperawatan dari kasus rambu solo kami mengangkat sebuah kasus adat
pada suku toraja (sulawesi selatan) dimana dalam proses asuhan keperawatannya kami
menggunakan teori dari Medeleine Leninger,

KASUS

Ny. N berusia 68 tahun tinggal diBangkelekila, Toraja Utara. Keluarga Ny. N membawa
Ny. N kepuskesmas terdekat karena Ny. N menderita gatal-gatal berlebihan sehingga
menimbulkan ruam ditubuhnya. Keluarga Ny. N juga mengatakan bahwa Ny. N jarang makan
karena lebih mementingkan memberikan makanan kepada suami nya yang telah meninggal. Ny.
N tinggal bersama suami nya yang telah meninggal selama 7 tahun. Ia menempatkan suami nya
didalam peti. Ny. N juga selalu memberikan makan, minum, dan menggantikannya pakaian.

Menurut kepercayaan nenek moyang terdahulu orang yang meninggal belum lah
meninggal sebelum di adakannya upacara rambu solo (atau bentuk penghormatan pada orang
yang meninggal). Dan disebabkan karena Ny. N belum memiliki uang yang cukup unuk
mengadakanrambu solo. Sekitar 2 tahun selepas kepergian suami nya, Ny,. N tidak pernah
bekerja di ladang ataupun keluar rumah. Anak dan cucu nya yang sudah pindah ke agama kristen
mengkhawatirkan kondisi Ny. N, dan membawa nya ke rumah sakit di kota yang letak nya
berjauhan dari rumah Ny. N. Setelah dibawa kerumah sakit didapatkan diagnosa medis
Dermatitis Atopic. Dengan tanda-tanda vital TD : 110/70 mmHg; Nadi : 80x/ menit ; suhu 36,7
derajad celcius, RR : 19x/menit.
PENGKAJIAN

Identitas klien

Nama Ny. N

Usia 68 Tahun

Agama Kristen

pendidikan Tidak bersekolah

Pekerjaan Petani

Suku Toraja (sulawesi selatan)

Alamat Jl. Akung, bangkelekila toraja utara.

Diagnosa Medis Dermatitis Atopic

No register 510132

ANALISA KASUS

Identitas penanggung jawab

Nama Tn. M

Usia 46 tahun

Agama Kristen

Pendidikan SMP

Pekerjaan Peternak

Suku Toraja

Alamat Jl. Akung bangkelekila toraja utara.

Hubungan klien Anak pertama


Data biologis/ variasi biokulutral

Wana kulit Sawo matang

Rambut Ikal

Struktur tubuh Kurus

Bentuk wajah Lonjong

Tanda tanda vital :

TD 110/70 mmHg

Nadi 80 x/menit

Suhu 36,7 derajad celcius

RR 19 x/menit

Riwayat kesehatan sekarang

Berat badan dan kekebalan tubuh klien menurun, klien sering mengalami gatal-gatal dan
ruam, klien mengatakan bahwa itu hukuman untuknya karena tidak mengurus jenazah suami nya
dalam peti. Jenazah suami nya selalu dimandikan dua kali sehari. Klien juga memberikan
makanan dan minuman kepada suami nya. Sedangkan klien tidak mementingkan kesehatannya.
Klien menganggap suami nya hanya sakit, sebelum diadakannya rambu solo. Tubuh klien gatal-
gatal dan terdapat ruam, klien merasa hal itu karena klien tidak mengurus suami nya yang
dianggap sakit.

Faktor teknologi

 Ny. N bepergian kegunung dan sawah dengan berjalan tanpa menggunakan alas
kaki
 Bahasa yang digunakan untuk berkomunikasiadalah bahasa toraja.
 Ny. N tidak mempercayai dunia medis, dan puskesmas berada jauh dari rumahnya.
 Respon terhadap teknologi kesehatan : keluarga Ny.N mendaptkan keluarga yang
masih kurang memahami teknologi sehingga tidak dapat mengakses teknologi
tersebut dan tidakdapat mencar informasi merawat kulit dermatitis atau alergi yang
baik dan benar. Hal ini juga mempengaruhi pada informasi yang didapat oleh
keluarga Ny. N kurang uptodate atau informasi terbaru .
 Ny. N tidak memiliki alat komunikasi seperti handphone ataupun telepon.
Faktor agama dan Falsafah hidup
 Agama yang di anut Ny. N ialah kristen namun sebelum menikah Ny. N menganut
animisme (percaya pada roh/ghoib )
 Keyakinan Ny. N bahwa apa yang ia rasakan merupakan balasan/kutukan karena
Ny. N tidakbecus merawat suami nya yang dianggap nya sedang sakit.
 Upaya yang dilakukan keluarga nya untuk mengobati Ny. N ialah membawanya ke
gereja. Tetapi Ny. Selalu menolak dan tetp mempertahankan ajaran nenek
moyangnya.

Faktor sosial dan keterikatan keluarga

Hubungan kekeluargaan Ny. N terbilang meregang sejak banyak keluarganya yang


pindah agama kristen secara keseluruhan dan tidak lagi menganut paham animisme. Meskipun
demikian anak-anak dan cucu-cucunya tetap menemani Ny. N dirumah. Suku torajabiasa
menikah dengan sepupu jauh, termasuk NY. N yang menikah dengan sepupu dari cucu adik
nenek nya. Saat suaminya meninggal, Ny. N dislahkanoleh keluarga dekat suami nya. setalah 2
tahun suami nya meninggal, Ny. N tidak pernah pergi keladang atau keluar rumah.

Faktor nilai-nilai budaya dan gaya hidup

Bahasayan digunakan Ny. N ialah bahasa toraja dalam adat toraja keluarga yang
ditinggalkan wajib menggelar pesta sebagai tanda penghormatan terakhir kepada yang telah
meninggal. Bagi masyarakat toraja, orang yang sudah meninggal tidak dengan sendirinya
mendapatkan gelar orang mati. Bagi mereka sebelum terjadi nya upacara rambu solo maka orang
yang meninggal itu dianggap sebagai orang sakit. Karena statusnya masih sakit maka orang yang
sudah meninggal tadi harus dirawat dan diperlakukan layaknya orang masih hidup seperti
menemani nya , menyediakan makanan , minuman, dan rokok atau sirih.

Faktor kebijakan dan peraturan yang berlaku

 sebelum penjajahan belanda dan masa pengkristenan, suku toraja, yang


tinggal didaerah dataran tinggi, dikenal berdasarkan desa mereka dan tidak
beranggapan sebagai kelompok yang sama. Meskipun ritual-ritual
menciptakan hubungan di antar desa-desa , ada banyak keragaman dalam
dialek, hierarki sosial dan berbagai praktik ritual dikawasan dataran tinggi
sulawesi.
 Kehadiran misionaris belanda didataran tinggi toraja memunculkan kesadaran
etnis toraja diwilayah sa’dan toraja dan identitas bersama ini tumbuh dengan
bangkitnya pariwisata ditana toraja. Sejak saat itu sulawesi selatan memiliki
empat kelompok etnis utama suku bugis(kaum mayoritas meliputi pembuatan
kapal dan pelaut) suku makassar (pedagang dan pelaut ), suku mandar
(pedagang dan nelayan), dan suku toraja (petani didataran tinggi).

Faktor ekonomi

Ada tiga tingkatan kelas sosial yang menentukan perekonomian di suku toraja :
bangsawan , orang biasa dan budak. Ny. N termasuk dalam keturanan budak, meskipun
perbudakan dihapuskan pada tahung 1909 oleh pemerintah hindia belanda. Ny. N merasa kalau
kemerahan dan gatal nya disebakan oleh ia belum menyelenggarakan Rambu solo unntuk suami
nya dikarenakan kurangnya biaya Ny. N hanya bergantung pada pemberian anak-anaknya untuk
kehidupan sehari-hari dari beternak. Sedangkan Ny. N sudah tidak lagi pergi berladang Ny. N
juga tidak memiliki jaminan kesehatan karena minim nya informasi diaerah ia tinggal.

Faktor pendidikan

Ny. N tidak pernah menempuh jenjang pendidikan karena, sedari kecil ia terbiasa bekerja
diladang membantu orang tua nya. Keluarga Ny. N , trutama anak-anaknya telah mengetahui
bahwa kemerahan dan gatal pada Ny. N disebabkan oleh Ny. N masih menyimpan jenzah suami
nya selam 7 tahun. Meskipun jenazahnya sudah diberi pengawet dari dedaunan dan sering
dimandikan oleh Ny. N , anak-anaknya Ny. N tidak dapat berbuat apa-apa dengan sikap Ny. N.
Ny. N bersikukuh dengan pengalaman hidupnya yang diajar kannenek moyang untuk
menghormati orang yang telah meninggal.
ANALISA DATA

Data fokus Masalah Penyebab

Data subjektif : Kerusakan integritas kulit Imunodefisiensi

 Klien mengatakan
bahwa dirinya
gatal-gatal karena
tidak merawat
suami nya dengan
baik
 Kelurga klien
mengatakan bahwa
klien tidak makan
secara teratur dan
hanya memberikan
makan pada suami
nya.

Data objektif :

Tanda-tanda vital :

 TD : 110/70 mmHg
 Nadi : 80x/menit
 Suhu : 36,7 derajad
celcius
 RR : 19 x/menit

Kulit klien tampak ruam

Klien tampak kotor


ANALISA DATA

Data fokus Masalah Penyebab


Data subjektif : Distres Spritual Kematian orang terdekat
 Klien mengatakan
bahwa dirinya
masih menganut
paham animisme.
 Klien mengatakan
bahwa suaminya
belum mati dan
hanya sakit
sebelum klien
mengadakan
perayaan rambu
solo.
Data objektif :
 Klien percaya
bahwa dirinya sakit
karena kutukan
untuk dirinya.
 Klien tampak
murung dan
mengisolasi diri
sejak suami nya
meninggal.
 Klien tidak pernah
pergi kegereja
DIAGNOSA KEPERAWATAN

 Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan imunodefisiensi.


 Distress spiritual berhubungan dengan kematian orang terdekat.

 Kerusakan integritas kulit berhubngan dengan imunodefiseinsi

NOC NIC
Setelah dilakukan tindakan asuhan Pengecekan Kulit
keperawatan selama 3x24 jam, kerusakan  Monitor kulit untuk adanya ruam dan
integritas kulit klien dapat teratasi dengan lecet.
kriteria hasil :  Ajarkan anggota keluarga/ pemberi
 Respon alergi : lokal asuhan mengenai tanda-tanda
Rasa gatal setempat (lokal) kerusakan kulit dengan tepat.
Ruam kulit setempat (lokal)  Lakukan langkah-langkah utuk
 Status nutrisi : mencegah kerusakan lebih lanjut.
Asupan makanan Terapi Nutrisi
Energi  Lengkapi pengkajian nutrisi sesuai
kebutuhan.
 Tentukan jumlah kalori dan tipe
nutrisi yang diperlukan untuk
memenuhi kebutuhan nutrisi dengan
berkolaborasi dengan ahli gizi sesuai
kebutahan.
 Kaji preferensi makanan yang sesuai
dengan budaya dan agama (pasien)
 Distress Spiritual berhubungan dengan kematian orang terdekat.
NOC NIC
Kepuasan klien : pemenuhan kebutuhan Peningkatan koping :
budaya.  Berikan penilaian mengenai
 Menggabungkan keyakinan budaya dampak dari situasi kehidupan
dalam pengajaran kesehatan. pasien terhadap peran dan
 Menggunakan metode-metode yang hubungan yang ada .
kreatif untuk membangun komunikasi  Dukung pasien untuk
terkait perbedaan bahasa. mengidentifikasi deskripsi
 Mempertimbangkan harapan budaya. realistik terhadap adanya
Resulosi berduka : perubahan dalam peran.
 Menyatakan fakta tentang kehilangan.  Kenali latar belakang budaya dan
 Menyatakan menerima kehilangan. spiritualitas pasien.
 Dukung pasien untuk
mengeevaluasi perilaku nya
sendiri.
Menyampaikan kebenaran :
 Konsultasikan dengan keluarga
pasien sebelum mengatakan
kebenaran sesuai budaya.
 Catat perbedaan antara perilaku
dan keyakinan yang di ugkapkan
pasien sesuai kebutuhan .
 Bangun hubungan saling
percaya.
 Samapaikan kebenaran secara
sensitive, hangat dan terus
terang.
PERENCANAAN TRANSCULTURAL NURSHING

Cultural care peservation/maintenance Cultural care accomodation/negotiation


(pelestarian atau pemeliharaan budaya) (akomodasi atau negoisasi perawatan
budaya)
 Identifikasi perbedaan konsep  Gunakan bahasa yag mudahdipahami
antara klien dan perawat tentang oleh klien.
factor-factor pencetu gatal-gatal  Libatkan keluarga dalam perencanaan
dan ruam. perawatan.
 Bersikap tenang dan tidak terburu-  Apabila konflik tidak
buru saat berinteraksi dengan klien. terselesaikan,lakukan negosiasi
 Mendiskusikan kesenjangan dimana kesepakatan berdasarkan
budaya yang dimiliki klien dan pengetahuan biomedis, pengetahuan
perawat. klien dan standar etik.

EVALUASI

Kemajuan perkembangan pasien dapat dilihat dari :

 Klien sudah mengikhlaskan kematian suami nya


 Klien tidak melakukan ritual seperti nenek moyang
 Klien juga sudah tidak menganggap penyakitnya sebagai kutukukan roh
 Setelah dirawat dirumah sakit kota klien tidak merasakan lagi gatal-gatal ditubuhnya
sudah tidak ada lagi ruam dikulitnya.
BAB 4

PENUTUP

Kesimpulan

Kebudayaan merupakan sistem pengetahuan yang meliputi sistem ide gagasan yang
terdapat di dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari kebudayaan itu bersifat
abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia
sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata,
misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi seni dan lain-lain,
yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan
bermasyarakat. Salah satu warisan kebudayaan yang dimiliki Indonesia yang sangat terkenal
hingga ke luar negeri adalah kebudayaan suku Tana Toraja yang memiliki ritual pemakaman
yang dianggap paling rumit di dunia yang disebut Rambu Solo.Rambu Solo adalah upacara adat
kematian masyarakat Tana Toraja yang bertujuan untuk menghormati dan mengantarkan arwah
orang yang meninggal dunia menuju alam roh di sebuah tempat peristirahatan (dunia arwah, atau
akhirat), disebut dengan Puya, yang terletak di bagian selatan tempat tinggal manusia.Dibalik
keindahan dan keunikan rambu solo ternyata terdapat beberapa masalah yang ditimbulkan
misalnya bakteri dalam pembusukan dari mayat yang tinggal beserta anggota keluarga lain yang
sehat dapat menimbulkan berbagai masalah kesehatan seperti lemahnya sistem pertahanan tubuh
atau imunitas, malaria, diare, tetanus, serta infeksi lainnya. Serta punahnya ekosistem kerbau
Tedong Bonga akibat sering dipotong dalam jumlah banyak.

Saran

Setelah membaca makalah ini dan mengetahui masalah-masalah yang dapat ditimbulkan
akibat upacara pemakaman rambu solo, diharapkan masyarakat pada umumnya dan pembaca
pada khususnya dapat menerapkan penanggulangan dan pencegahan dari masalah-masalah
tersebut, seperti penggunakan alat pelindung diri serta pola hidup yang sehat untuk menjaga daya
tahan tubuh, serta melakukan pendekatan terhadap tokoh adat untuk mengubah kebiasaan yang
dianggap tidak baik bagi kesehatan lingkungan dengan cara mengganti dengan alternatif lain
sehingga budaya tetap terjaga serta kesehatan lingkungan juga tetap terjaga.
DAFTAR PUSTAKA

Saransi. Ahmad. Tradisi Masyarakat di Sulawesi Selatan,Makassar: Lamacca Press, 2003

Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sulawesi Selatan, Adat dan Upacara Kematian
Daerah Sulawesi Selatan, Makassar: 14 Juli 2006.

wikipedia.org, www.korantempo.com, mamasa-online.blogspot.com,( diakses tanggal 20 maret


2014 )

onezimus.wordpress.com ( diakses tanggal 20 maret 2014 )

http://www.anneahira.com/ kebudayaan-tana-toraja-rambuh-solo.tm ( diakses tanggal 20 maret


2014 )

http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Toraja ( diakses tanggal 21 maret 2014 )

Anda mungkin juga menyukai