Laporan Kasus Hernia Diafragmatika 2 Revisi Lagi
Laporan Kasus Hernia Diafragmatika 2 Revisi Lagi
Disusun oleh:
W. Gilang Pratama
0808113095
Pembimbing:
0
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Hernia diafragma kongenital (HDK) adalah penonjolan organ abdomen ke
dalam rongga dada melalui suatu lubang pada diafragma. Lubang pada diafragma
ini dapat mengakibatkan terjadinya perpindahan bagian viseral kedalam rongga
toraks. Lokasi HDK umumnya ditemukan di sebelah kiri.3
Defek diafragma terjadi pada masa embriogenesis, karena hal tersebut
organ viseral (intestinal, gaster, hati, dan limpa) masuk ke dalam rongga dada.
Dengan adanya isi perut di rongga dada, pertumbuhan dan perkembangan paru-
paru terganggu.2
2
posterior diafragma setinggi costa 10 dan 11, tepat di atas glandula adrenal. Defek
ini dapat meluas dari lateral dinding dada sampai ke hiatus esophagus.
Hernia diafragmatika kongenital (HDK) pada tipe Morgagni terdapat defek
di bagian anterior diafragma dan tipe pars sternalis terdapat defek di sentral
diafragma (gambar 2). Sekitar 85% defek diafragma terjadi pada sisi kiri, 13%
pada sisi kanan dan 20% pada bilateral. Tipe bilateral dari defek diafragma jarang
terjadi dan biasanya merupakan kondisi yang berat. Hernia diafragmatika
kongenital (HDK) dikaitkan dengan kelainan kromosom atau malformasi. Hernia
diafragmatika kongenital (HDK) berkaitan dengan gangguan satu gen atau aberasi
kromosomal seperti sindrom turner, trisomi 13, dan trisomi 18.
3
Tendon
IVC hiatus Morgagni
hernia
Other anterior
hernias
Costal
cartilages
Esophageal Crura
hiatus
Bochdalek hernia Morgagni hernia and other anterior hernias Central hernia
2.2. Etiologi
Penyebab hernia diafragma kongenital masih belum diketahui. Informasi
spesifik mengenai HDK masih terbatas, tetapi kelainan genetik mempunyai
pengaruh untuk terjadinya HDK di beberapa penelitian. Hernia diafragmatika
kongenital (HDK) telah dikaitkan dengan kromosom yang abnormal, dan paling
sering terjadi duplikasi kromosom atau delesi pada kromosom, termasuk sindrom
Turner (monosomi X), sindrom Down (Trisomi 21), Edward sindrom (trisomi 18),
dan sindrom Patau (trisomi 13).
Penelitian Albert 2007 menunjukkan data sitogenetika dari 200 pasien
dengan HDK terdapat 24 pasien (12%) menunjukkan kelainan. Empat belas
pasien (7%) menunjukkan kelainan numerik (trisomi 18 atau 21). Sisanya 10
4
pasien (5%) memiliki anomali struktural, dan 3 dari pasien (1,5%) yang terbukti
delesi pada dari kromosom 15q.
Gambar 3. Presentasi hasil penelitian kromosom 15q pada pasien HDK dan
tanpa HDK
Dikutip dari : Klaassens.6
2.3. Embriologi
2.3.1. Perkembangan diafragma
Diafragma adalah suatu struktur seperti kubah musculotendineos yang
memisahkan rongga toraks dan abdomen. Diafragma terbentuk dari 4
struktur:
1. Septum transversum
Septum transversum merupakan pembentuk tendon sentral diafragma.
Septum transversum pertama kali diidentifikasi pada akhir minggu ke-3
sebagai massa mesoderm dari arah kranial ke rongga perikardial. Setelah
lipatan kepala terbentuk selama minggu ke-4, septum transversum menjadi
bagian tebal yang tidak komplit diantara rongga abdominopelvic dan toraks.
Septum transversum menyatu ke arah dorsal dengan mesenkimal ventral ke
arah esofagus (mediastinum primitif) dan kemudian kearah membran
pleuroperitoneal pada akhir minggu ke-6.7
Pericardioperitoneal
canal
LUNG
PLEURAL CAVITY
PLEURO-
PERITONEAL
MEMBRANE
HEART
PERICARDIAL
CAVITY
AORTA
PLEURAL AORTA
CAVITY
MESOESOPHAGUS
CHEST WALL
ESOPHAGUS IN
PRIMITIVE
MEDIASTINUM
PHRENIC
INFERIOR
NERVE VENA CAVA
PERICARDIUM
5
PERICARDIAL
PERICARDIAL CAVITY CAVITY
Gambar 3. Potongan transversal embrio pada bagian septum transversum
Dikutip dari: Moore KL.7
2. Membran pleuroperitoneal
Membran pleuroperitoneal menyatu dengan mesentrium dorsal esofagus
dan bagian dorsal dari septum transversum. Penggabungan membran
pleuroperitoneal tersebut melengkapi bagian dari rongga abdominopelvic dan
toraks, serta membentuk diafragma primitif.
Walaupun membran pleuroperitoneal membentuk sebagaian besar dari
diafragma primitif namun membran pleuroperitoneal hanya mewakili
sebagian kecil dari bentuk akhir diafragma.
ESOPHAGUS
INFERIOR
VENA CAVA
PERICARDIO-
PERITONEAL AORTA BODY WALL AND RIBS
CANAL
Septum transversum
CENTRAL TENDON
Mesentery of
the esophagus INFERIOR VENA CAVA
Pleuroperitoneal ESOPHAGUS
membranes 6
AORTA
Body wall
crura
Gambar 4. Skematik perkembangan diafragmatika
Dikutip dari: Moore KL.7
4. Dinding tubuh
Selama masa perkembangan minggu ke-9 hingga minggu ke-12, rongga
pleura membesar dan meluas hingga ke dinding lateral abdomen. Selama
proses tersebut, jaringan dinding tubuh terpisah kearah medial dan
membentuk bagian perifer dari diafragma, sedangkan bagian eksternal
dibentuk dari membran pleuroperitoneal.
Perluasan dari rongga pleural hingga dinding tubuh membentuk sudut
costodiafragmatik yang menjadi karakteristik diafragma dewasa yaitu
berbentuk sperti kubah.7
Body
wall Costo
diaphragmatic
7
dimana terjadi pembukaan yang besar (sering disebut foramen Bochdalek)
pada regio posterolateral diafragma. Defek tersebut 5 kali lebih sering terjadi
pada sisi kiri dibandingkan yang kanan. Hal tersebut terjadi akibat penutupan
dini dari pleuroperitoneal kanan pada saat masa perkembangan.
Pada akhir minggu ke-6, normalnya membran pleuroperitoneal menyatu
dengan komponen diafragma lainnya. Jika membran pleuroperitoneal tidak
menyatu saat usus kembali ke rongga abdomen melalui tali pusat selama
minggu ke-10, maka usus tersebut akan masuk kedalam rongga dada.
Umumnya bila hal tersebut terjadi, maka limpa, sekum, apendik, kolon
asending dan transversum dapat masuk kedalam rongga dada. Organ-organ
viseral tersebut dapat bergerak secara bebas kedalam toraks melalui defek,
terutama saat bayi sedang berbaring dan kembali ke rongga abdominal saat
bayi berbaring kekanan. Jika organ viseral tersebut sudah berada dirongga
toraks sejak bayi lahir, maka akan terjadi gangguan pernapasan. Jantung dan
mediastinum umumnya bergeser kearah kanan karena organ viseral lebih
sering mengenai sisi toraks sebelah kiri. Paru-paru umunya mengalami
hipoplastik dan ukurannya mengecil. Gangguan perkembangan paru tersebut
dikarenakan karena kurangnya ruangan untuk paru berkembang secara
normal pada rongga toraks. Sisi paru yang terkena dapat kembali terisi udara
dan mencapai ukuran normal jika dilakukan perbaikan defek pada diafragma
dan organ viseral kembali ke rongga abdomen.7
8
terjadi pertukaran gas yang efektif. Hipertensi pulmoner ini terjadi setelah
beberapa jam selama neonatus beradaptasi terhadap sirkulasi postnatal.8
Pada kasus-kasus tanpa gejala neonatal, HDK dapat bermanifestasi pada
segala usia dengan distres pernapasan ringan atau secara tidak sengaja ditemukan
saat dilakukan pemeriksaan medis.
2.5. Diagnosis
9
pemeriksaan computerised tomography (CT) scan toraks atau USG focused
assessment with sonography for trauma (FAST) untuk memastikan diagnosis
hernia diafragma.1,2
2.6. Penatalaksanaan
a. Kasus yang berat yang telah didiagnosis sebelum persalinan dapat
dilakukan dengan tatalaksana prosedur ex utero intrapartum treatment
(EXIT) dengan pemberian ECMO segera. Extracorporeal membrane
oxygenation (ECMO) merupakan sebuah teknik untuk melakukan bypass
sementara dari jantung atau paru ke mesin ECMO yang berfungsi untuk
mensuplai oksigen pada pembuluh darah jantung yang akan dipompakan
ke seluruh tubuh sehingga tubuh tidak kekurangan oksigen.
Extracorporeal membrane oxygenation (ECMO) biasanya dilakukan
hanya sementara hingga kondisi bayi stabil dan membaik. Terapi ECMO
membutuhkan team multidisiplin yang terdiri dari ahli bedah, dokter
kandungan, neonatologis, anastesiologis, perawat, terapis respirasi dan
teknisi ECMO. Anastesi umum yang dalam diberikan pada ibu untuk
mendapatkan efek anastesi pada fetus. Laparotomi maternal dilakukan
dengan mengekspos uterus yang sudah hipotoni akibat anastesi.
Perdarahan diminimalisir dengan menggunakan alat khusus untuk
membuka uterus yang dapat memotong uterus dan secara simultan
10
memasang klip hemostatik pada sepanjang tempat insisi. Bayi kemudian
sebagian dilahirkan melalui pembukaan uterus. Sebuah pulse oxymetri
dipasang pada tangan bayi untuk mendapatkan monitor langsung dari
denyut jantung dan saturasi oksigen. Saturasi oksigen bayi dipertahankan
sekitar 60%. Jika saturasi oksigen terlalu tinggi maka pembuluh darah
umbilikal akan mengalami konstriksi dan suplai darah ke umbilikal akan
terhenti.
Bayi kemudian diintubasi dan dinilai lalu segera dilakukan keputusan
apakah perawatan selanjutnya dilakukan sesuai dijelaskan pada
(b.intubasi). Jika kondisi bayi tidak membaik setelah intubasi atau hernia
diafragma maka prosedur EXIT dapat dilakukan sebagai jembatan untuk
dilakukan pemasangan ECMO. Setelah bayi sebagian dilahirkan, maka
ahli bedah akan mengeksplorasi pembuluh darah utama di leher dan
memasang kateter ECMO. Peralatan ECMO portable dibawa di operasi
dan digunakan selama transportasi keruang unit perawatan intensif.
b. Intubasi : semua bayi harus segera diintubasi setelah dilahirkan jika
sebelumnya telah didiagnosis saat antenatal care atau pada saat diagnosis
postnatal. Perawatan harus diiringi dengan pemasangan ventilator agar
tekanan inspirasi tetap rendah untuk menghindari kerusakan atau ruptur
dari paru-paru kontralateral. Sedasi yang dalam harus dihindari karena
pernapasan spontan membantu dalam penggunaan ventilator untuk
menghindari barotrauma.
c. Penatalaksanaan preoperasi : difokuskan untuk menghindari barotrauma
dan meminimalisirkan terjadinya hipertensi pulmoner, maka hiperkapniea
merupakan metode pendekatan pernapasan yang dilakukan walaupun
metode ini masih cukup kontroversial. Pemberian nitrit oxyda inhalasi
tidak tampak menunjukkan penurunan kebutuhan terhadap ECMO namun
dapat bermanfaat mengurangi cedera pada jantung kanan.1
d. Waktu yang tepat dilakukannya koreksi bedah : Pertimbangan waktu
untuk dilakukannya koreksi bedah dapat dilakukan dengan penanganan
secara cepat (< 24 jam) atau dengan melakukan stabilisasi awal terlebih
dahulu dengan menggunakan strategi ventilasi yang bervariasi sebelum
11
dilakukan operasi. Akan tetapi, hal tersebut masih menjadi kontroversi
apakah menunda operasi lebih dapat memberikan keuntungan. Pada dua
penelitian secara acak dengan total 86 bayi yang membandingkan waktu
dilakukannya operasi secara cepat (<24 jam) dan penundaan (>24 jam)
bayi HDK dengan gejala pada saat lahir dilaporkan bahwa tidak terdapat
perbedaan berarti terhadap angka kematian pada kedua kelompok
tersebut.9
e. Koreksi bedah : HDK merupakan kegawatdaruratan bedah yang dilakukan
koreksi secara bedah segera setelah lahir. Akan tetapi, penundaan
pembedahan belum menunjukkan mengurangi mortalitas dengan asumsi
terjadinya stabilisasi pasien dan hipertensi pulmoner telah tertatalaksana
dengan baik. Akan tetapi, waktu yang tepat untuk dilakukannya operasi
masih belum diketahui. Banyak ahli bedah menunda intervensi operasi 7
hingga 10 hari setelah kelahiran agar vaskularisasi pulmoner telah
berelaksasi maksimal. Perbaikan dengan operasi dipertimbangkan setelah
bayi memiliki pertukaran gas yang adekuat dengan menggunakan tekanan
inspiratorik yang rendah dan resistensi vaskuler paru yang telah berkurang.
Pada beberapa centre, penggunaan bantuan ventilasi dapat ditunda sampai
bayi mampu mentoleransi pada masa transisi ventilasi konvensional
dilepas selama rentang waktu lamanya operasi berjalan.1-3,9
12
muntah, sehingga bayi mengalami kesulitan untuk makan. Hal tersebut dapat
menyebabkan bayi gagal tumbuh.
b. Gangguan perkembangan
Beberapa penelitian jangka panjang terhadap bayi yang bertahan setelah
koreksi bedah, didapatkan adanya abnormalitas neurologik dan gangguan
perkembangan yang ringan sampai sedang, terutama pada bayi yang menerima
terapi ECMO. Informasi mengenai hal ini masih terbatas, karena masih sedikitnya
penelitian prospektif yang menilai mengenai gangguan perkembangannya. Untuk
mengatasi hal tersebut, perlu dilakukan fisioterapi, terapi bicara, terapi
kemandirian untuk membantu bayi tersebut untuk mendapatkan kekuatan otot dan
koordinasi.
c. Gangguan pendengaran
Gangguan pendengaran sensorineural didapatkan pada 25% bayi dengan
HDK dan 100% dari bayi tersebut dirawat dengan menggunakan terapi ECMO.
Sebuah penelitan terhadap bayi dengan terapi ECMO didapatkan terjadi gangguan
pendengaran sensorineural, umumnya onset lambat dan angka kejadiannya 2,5
kali lebih sering pada bayi yang diterapi dengan ECMO dibandingkan yang tidak
diberikan terapi ECMO. Terapi jangka panjang dengan pemberian aminoglikosida
dan ECMO meningkatkan resiko terjadinya gangguan pendengaran sensorineural.
Faktor lain yang mempengaruhi terjadinya gangguan pendengaran sensorineural
adalah penggunaan nitrit oxyda, ventilasi mekanik frekuensi tinggi jangka
panjang, dan kondisi metabolik alkalosis.11
13
BAB III
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama : By. N
Umur : 7 hari
ALLOANAMNESIS
Keluhan Utama
Bayi usia 7 hari, rujukan Puskesmas Kandis dengan gangguan nafas berat dan
sianosis.
Bayi lahir tanggal 31 Desember 2013 jam 09.15di klinik Muara Fajar secara
spontan, ditolong bidan, nilai APGAR tidak diketahui, resusitasi dilakukan tidak
diketahui, keadaan setelah lahir merintih, injeksi neo K (-), salep mata tidak
diketahui, sisa ketuban jernih, IMD (-), sudah diberi ASI, BAB (+), BAK (+),
muntah (-), kembung (-), sesak (+), biru (+), banyak terdapat lendir dimulut,
demam (+)dengan suhu 37.8oC. Setelah lahir, pasien sesak kemudian dibawa ke
Puskesmas yang diperiksa oleh bidan dan dikatakan tidak ada masalah dengan
pasien. 6 hari SMRS pasien hanya dirawat dirumah saja, selama dirumah pasien
tampak sesak, menyusu kurang, gerak tidak aktif, demam (-), muntah (-), BAB
(+), BAK (+).1 hari SMRS, tubuh pasien membiru, tidak mau menyusu, sesak,
14
gerak tidak aktif, dikarenakan keadaan pasien tidak juga membaik, orang tua
pasien kemudian membawa pasien ke Puskesmas Kandis lalu pasien langsung
dirujuk ke RSUD AA.
Riwayat Kehamilan
Saat usia kehamilan 6 bulan, terdapat benjolan pada vagina ibu pasien dan
disarankan untuk melahirkan di Pekanbaru oleh dokter.
Riwayat Persalinan
Pasien mulai merasakan sakit pada pinggang pada tanggal 31 Desember 2013 jam
08.30, keluar air-air yang tidak bisa ditahan (+), keluar lendir campur darah (+),
pasien langsung dibawa ke klinik Muara Fajar, disana pasien dilakukan
pemeriksaan dalam dan sudah ada pembukaan,jam 9.00 pasien langsung
direncanakan untuk melahirkan secara spontan. Bayi lahir tanggal 31 Desember
2014 jam 9.15.
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : tampak kulit sianosis, tonus lemah, gerakan letargi, tangis
lemah, akral dingin, nafas sesak(+), kesadaran letargi
Tanda-tanda vital :
Riwayat pertumbuhan :
- BBL : 3900 gr
- BBM : 3420 gr
15
- PB :51cm
- LK :37cm
- LiLa : 11 cm
- LP : 29 cm
- LD : 32 cm
Sistem saraf pusat: warna kulit sianosis, aktivitas bayi mengantuk,
kesadaran letargi, ukuran pupil 2mm/2mm, refleks pupil (+/+), kejang (-),
tonus otot lemah.
Kepala/wajah : fontanella datar, sutura normal, langit-langit normal,
sianosis sentral, lidah biru (+), telinga low set ear (-)
Sistem kardiovaskuler : frekuensi jantung 132x/i, bunyi jantung 1 dan
bunyi jantung 2 (+), bising jantung (-), denyut perifer (+), CRT 2 detik
Sistem respirasi: frekuensi nafas 68x/i, bernapas dengan upaya keras,
merintih (+), pernapasan cuping hidung (+), sesak (+), retraksi interkosta
(+),gerakan dinding dada asimetris, kanan agak tertinggal, bunyi nafas
bronkovesikuler, ronkhi (-/-),DownScore = 6
Sistem gastrointestinal: warna dinding abdomen pucat, LP 29 cm, perut
supel, bising usus (+) normal, anus paten, organomegali (-), edema tali
pusat (-),
Sistem genitalia: ♀ dalam batas normal
Ekstrimitas : simetris, CTEV (-), polidaktili (-), akral dingin, CRT 2”,
gerakan sendi panggul normal, spina bifida (-),kelainan pada garis
tangan(-), denyut nadi femoral (+)
Kelainan kongenital : jejas persalinan (-)
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
- Hb : 15,7 gr/dl
- Ht : 46,4%
- Leu : 17.000/µl
16
- Plt : 335.000/µl
- GDS : 72 mg/dl
- pH : 7,2
- pCO2 : 82
- pO2 : 55 mmhg
- HCO3 : 32,8
- TCO2 : 35,5
- BE : 49
- SO2 : 81
- Na+ : 140 mmol/l
- K+ : 3,1 mmol/l
- Ca++ : 0,81 mmol/l
Diagnosis
Neonatus cukup bulan (42 minggu) sesuai masa kehamilan berat bayi lahir cukup
3900 gram + gawat nafas + Hernia diafragma sinistra + hipotermi
17
Penatalaksanaan
18
BAB IV
PEMBAHASAN KASUS
19
DAFTAR PUSTAKA
20
9. Kays KW. Congenital diaphragmatic hernia and neonatal lung lesions.
Surg Clin N Am 86.[serial on the internet]. 2014 Feb [cited 2006 Jun];
329-52. Available from: http://www.ohsu.edu/res_lounge_kays-HDK-
review.pdf
11. Pober BR, Russell MK, Ackerman KG. Congenital diaphragmatic hernia.
University of Washington. [serial on the internet]. 2014 Feb [cited 2010
March 16]. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK1359/
21