Paradigma Hubungan Internasional Dan STR
Paradigma Hubungan Internasional Dan STR
I. Pengantar
Sejak peristiwa 11 September 2001, kekhawatiran dunia akan terorisme internasional terus meningkat. Apa
yang oleh Lesser dkk. (1999) disebut sebagai ‘terorisme baru’ ini terus menjadi catchphrase dalam studi
Hubungan Internasional kontemporer meskipun sebenarnya fenomena terorisme itu sendiri telah ada sejak lama.
Terorisme internasional telah ‘mempermalukan’ negara yang secara tradisional menempati posisi terhormat
sebagai aktor utama dalam hubungan internasional. Kelompok teroris menyerang aspek fisik negara (teritori dan
penduduknya) sekaligus non-fisik (legitimasi politik dan monopoli akan penggunaan kekerasan yang sedianya
hanya dimiliki oleh negara).
Pasca-9/11, pemerintahan Bush melancarkan ‘Perang Global melawan Teror’ (GWOT) yang kemudian
dinyatakan sebagai ‘new master strategic narrative’ yang menggantikan konteks strategis Perang Dingin (Gray
2007: 119). GWOT telah mempengaruhi seluruh negara di dunia karena Bush Jr. memaksudkannya seperti itu,
sebagaimana tercermin dalam pernyataannya: “either you are with us or against us.” (Musarrat 2009: 175).
GWOT telah mengundang banyak kritik, terutama dari pihak-pihak yang tidak setuju bahwa terorisme dan
kontraterorisme harus dipandang sebagai perang dalam artian non-metaforis. Berbagai pandangan yang
bertentangan tentang respon yang tepat terhadap terorisme ini sering dikelompokkan ke dalam dua perspektif
besar, yaitu respon statist yang menekankan peran negara dan instrumen represif, termasuk kekuatan militer,
dan respon communitarian yang menekankan respon legal dan kerja sama internasional (Shimko 2005: 293).
Upaya mengkaji terorisme dalam studi Hubungan Internasional tidak dapat dilakukan tanpa mengkaji
berbagai paradigma utama dalam HI. Makalah ini bertujuan untuk mengkaji perspektif yang ditawarkan berbagai
paradigma arus-utama dalam HI terhadap karakter terorisme, jejaring terorisme, dan strategi
anti/kontraterorisme. Paradigma-paradigma yang akan diulas dalam makalah ini adalah realisme, liberalisme,
strukturalisme, dan konstruktivisme. Sebagaimana akan kita lihat, paradigma yang berbeda akan memandang
terorisme sebagai sesuatu yang berbeda pula dan hal ini akan mengarah pada perbedaan dalam hal preskripsi
penanggulangan terorisme. Tentunya berbagai paradigma ini tidak pernah diterapkan secara mutually exclusive
di dunia nyata. Untuk menggambarkan kompleksitas konsepsi dan penanggulangan terorisme dalam dunia
nyata, makalah ini akan mencontohkan strategi anti/kontraterorisme pada masa pemerintahan Bush Jr.
1
seperti Nassar mendefinisikan terorisme sebagai “a political label given to people who are perceived to be
planning or carrying out acts of violence for political ojectives.” Definisi ini menekankan sifat pendefinisian
terorisme yang secara inheren bersifat politis dan merupakan pelabelan peyoratif. Menurutnya, terorisme tidak
selalu dilakukan oleh individu atau kelompok di bawah negara, tetapi juga oleh pemerintah dan agen pemerintah
(Nassar 2010: 18). Makalah ini akan memfokuskan diri pada aksi teror yang dilakukan oleh individu dan
kelompok non-negara sesuai dengan pandangan sebagian besar paradigma arus-utama yang dibahas dalam
makalah ini.
2
II. Paradigma Realisme dalam Hubungan Internasional
Realisme adalah paradigma yang dominan dalam HI meskipun saat ini banyak ditantang oleh paradigma-
paradigma yang lebih baru. Realisme memiliki empat asumsi utama, yaitu: 1) negara adalah aktor dan unit
analisis utama dalam studi HI. Aktor-aktor non-negara dipandang kurang penting dibandingkan negara. Dengan
demikian, realisme bersifat state-centric dan berfokus pada hubungan antarnegara 2) negara adalah aktor yang
manunggal (unitary) di mana seluruh perbedaan di dalam negara dianggap sudah selesai dan negara memiliki
satu suara resmi, 3) negara adalah aktor yang rasional dalam artian mengejar tujuan-tujuannya dengan
mempertimbangkan berbagai alternatif yang ada dan kapabilitas yang dimilikinya, dan 4) politik internasional
dikarakteristikkan oleh pengejaran power dan power politics di antara negara-negara sehingga isu keamanan
(high politics) menempati prioritas tertinggi dalam agenda negara (Viotti dan Kauppi 1999: 55-7).
3
simbol, dan aturan-aturan. Dengan demikian, kaum konstruktivis berpandangan bahwa semua realitas sosial
adalah hasil konstruksi (Barnett 2008: 162-3).
4
Konsepsi terorisme sebagai ‘perang terhadap negara’ mensyaratkan kontraterorisme dalam konsepsi yang
sama, yakni perang asimetris. Hal ini berarti respon realis terhadap terorisme adalah respon yang termiliterisasi
(fully-militerised response), bukan sekadar pemanfaatan militer untuk membantu otoritas sipil dalam upaya
kontrateror (hal ini yang membedakannya dari respon liberalisme) (Wilkinson 2006: 70). Strategi kontrateror
realis tidak ragu untuk menggunakan kekuatan militer untuk mencegah, mengendalikan eskalasi, dan
mengeliminasi jejaring teroris (tidak hanya kelompoknya, tetapi juga negara yang mendukungnya) sebagaimana
dikemukakan Shimko, “...terrorist attacks as acts of war...might require a forceful response not only against
terrorist organizations but also against states that actively support or passively tolerate them (Shimko 2005: 293).
Strategi inilah yang diadopsi oleh U.S. Department of Defense, yang mendefinisikan kontraterorisme sebagai
‘langkah-langkah ofensif,’ termasuk di dalamnya pre-emptive dan preventive strike. Hal ini berkaitan erat dengan
pandangan realis terhadap jejaring teror yang selalu menghubungkan atau menarik garis lurus antara kelompok
teroris dengan negara teroris yang memberikan dukungan dan perlindungan terhadapnya. Realisme
meresepkan respon yang ‘kuat’ terhadap teroris, termasuk aksi ofensif terhadap negara lain, karena terorisme
dipandang sebagai ancaman terhadap keamanan nasional (Van Evera 2006: 10), bukan hanya kejahatan
terhadap kemanusiaan.
Negara yang menyatakan perang, seperti ketika Bush menyatakan bahwa Amerika adalah “nation at war”
pasca-9/11 (Murray 2004: v), menyiratkan sebuah kondisi ‘supreme emergency,’ suatu kondisi di mana
masyarakat/negara menghadapi ancaman penghancuran dahsyat (anihilasi) yang akan datang dengan segera
(Fiala 2002). Dalam kondisi ini, negara dapat memberlakukan ‘supreme emergency exemption,’ yaitu
pengecualian-pengecualian terhadap kehidupan normal, termasuk pembatasan kebebasan sipil misalnya dalam
bentuk langkah-langkah intelijen terhadap warga negaranya sendiri sampai langkah-langkah ekstrim seperti
pelarangan aktivitas-aktivitas berkelompok dan pemberlakuan larangan keluar rumah (curfew). (Beyer 2006 )
Semua ini dilakukan karena_seperti dikemukakan oleh Van Evera_“business as usual will not suffice” (Van
Evera 2006: 22).
Yang menarik dari realisme adalah kemunculan ‘sayap progresif’ realisme yang menyatakan bahwa
kontraterorisme perlu dilakukan dengan menggunakan hard power, tetapi juga harus disertai dengan upaya
diplomasi publik (penggunaan soft power) untuk “memenangkan hati dan pikiran” masyarakat dunia, terutama di
negara-negara sponsor terorisme itu sendiri (Kreisler 2002; Nye; 2006; Van Evera 2006). Langkah-langkah
antiterorisme menurut perspektif ini turut mencakup pemanfaatan media global, program pertukaran, bantuan
pembangunan dan bencana, dan kerja sama militer dalam damai. Meskipun demikian, soft power ini hanya
dimaksudkan sebagai pelengkap, bukan pengganti hard power.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa realisme pertama-tama memandang terorisme sebagai ‘act of
war’ terhadap negara dan bahwa organisasi teroris tidak dapat dipisahkan dari negara yang mensponsorinya
sehingga strategi anti/kontraterorisme ditekankan pada penggunaan intelijen dan militer untuk mengeliminasi
organisasi teror (dalam bentuk perang asimetris dengan tujuan mencapai Carthiginian Peace), termasuk respon
militer terhadap negara-negara sponsor terorisme. Karena berfokus pada terorisme sebagai ‘act of war,’ realisme
tidak tertarik untuk berupaya mengeliminasi ‘akar penyebab’ terorisme (Ibid.) karena realisme memandang
5
terorisme sebagai akibat dari adanya ‘fundamental clash of values’ yang tidak akan pernah dapat dihilangkan
(Shimko 2005: 293).
6
Kaum liberal, sesuai dengan pandangannya terhadap ‘akar penyebab’ terorisme, juga menekankan
promosi demokrasi (Wilkinson 2006: 51) dan pendekatan diplomasi dan politik (melalui peace process) sebagai
strategi antiterorisme jangka panjang, salah satunya dengan mempromosikan penyelesaian konflik Israel-Palestina
(Ibid., h. 58).
Sebagian besar upaya kontraterorisme liberal diletakkan di pundak penegak hukum, yaitu polisi (dalam,
bentuk intelijen dan agensi khususnya, misalnya Densus 88) untuk mencegah dan mengendalikan eskalasi insiden
teror. Meskipun demikian, paradigma liberal juga memungkinkan dimasukannya unsur militer dalam strategi
kontraterorisme, yaitu dalam konsep MACP atau military aid to civil power dan bukan dalam bentuk fully-militerised
response sebagaimana telah dibahas sebelumnya (Wilkinson 2006: 70). Paradigma liberal juga menekankan peran
intelijen dalam kontraterorisme, namun harus tetap berada di bawah otoritas sipil dan dikaji secara periodik oleh
parlemen.
Liberalisme tidak akan membenarkan ‘perang melawan teror’ dalam bentuk kampanye militer penuh
dengan alasan tingginya resiko jatuhnya korban yang tidak bersalah dan resiko terjadinya full-scale war (Ibid., h.
72) ‘Perang melawan teror’ dalam konteks liberal hanya bersifat metaforis dan harus dilakukan dalam konteks
hukum yang berlaku (Fiala 2002).
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa paradima liberal memandang terorisme sebagai aksi kriminal
dan jejaring teror pertama-tama sebagai kumpulan individu dan organisasi yang melakukan aksi teror (tidak serta-
merta mengaitkannya secara absolut terhadap sebuah negara sponsor). Strategi anti dan kontraterorisme dalam
paradigma liberal mencakup upaya-upaya diplomatik dan politik untuk menyelesaikan konflik internal dan
internasional (peace process), penegakkan hukum melalui aksi polisional, peradilan kriminal (sipil), dan bantuan
militer terhadap otoritas sipil (MACP). Dalam jangka panjang, strategi antiteror liberalisme mencakup eliminasi akar
penyebab terorisme, yaitu dengan mempromosikan demokrasi dan hak asasi manusia tanpa pemaksaan ataupun
kekerasan.
7
kerangka konseptualisasi teror dari Schmid (2010), terorisme dari paradigma strukturalis dapat dipandang sebagai
aktivitas politik untuk mewujudkan tatanan baru yang lebih adil.
8
Strategi anti/kontraterorisme dalam paradigma konstrutivis bergantung pada bagaimana karakter dan
jejaring terorisme dikonstruksikan. Pada intinya, strategi anti/kontraterorisme merupakan produk diskursif yang
terbentuk melalui interaksi dan dialog yang menciptakan kesepakatan bersama yang mengikat semua pihak
dalam bentuk regulative speech. Strategi kontrateror yang ofensif dan represif, misalnya, merupakan hasil dari
proses sekuritisasi yang melibatkan speech act untuk meningkatkan ‘status’ terorisme dari aksi kriminal biasa
menjadi ancaman terhadap keamanan nasional. Begitupula sebaliknya, dapat terjadi desekuritisasi yang
mengubah makna terorisme dan pada gilirannya mengubah strategi anti/kontrateror untuk menghadapinya.
7. Simpulan
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa secara sederhana, paradigma realis memandang terorisme
sebagai perang asimetris yang harus ditanggapi secara militer, liberalisme memandang terorisme sebagai aksi
kriminal yang harus ditangani melalui prosedur hukum dalam konteks nilai dan norma demokratis, strukturalisme
memandang terorisme sebagai aksi kriminal/aktivitas politik sebagai reaksi terhadap ketidakadilan struktural dan
radikalisasi yang harus ditangani dengan menghilangkan root cause dan deradikalisasi, sedangkan
konstruktivisme memandang terorisme dan strategi penanganannya sebagai produk diskursif yang dicapai
melalui regulative speech. Perbandingan antarparadigma dan contoh kasus dapat dilihat dalam Tabel 1 dan 2
berikut.
9
No Kriteria Realisme Liberalisme Strukturalisme Konstruktivisme
Pembanding
1 Karakter Terorisme sebagai Terorisme sebagai aksi Terorisme sebagai Terorisme sebagai
Terorisme perang (asimetris) kriminal/kekerasan non- aksi kriminal atau produk diskursus;
diskriminatif aktivitas politik keamanan-resiko
2 ‘Root Cause’ Fundamental clash of Rezim pemerintahan yang Ketimpangan Bergantung pada
values represif dan tidak demokratis ekonomi akibat proses diskursif
globalisasi, deprivasi,
dominasi global AS,
kebijakan luar negeri
AS yang interventif
Radikalisasi
10
Tabel 1. Perbandingan Antarparadigma dalam Memandang Terorisme
Tabel 2. Contoh Kasus Strategi Anti/Kontraterorisme AS pada Masa Pemerintahan Bush Jr. (Strategi 4D)
11