Anda di halaman 1dari 10

JURNAL DAN PEMBAHASANNYA

Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas


Mata Kuliah Asuhan Kebidanan Komprehensif

Dosen Pembimbing : Sri Rintani, SST, M.Kes

Disusun Oleh:

Cut Julia (2001032026)


Erni Handayani (2001032027)
Isnaida Andini (2001032031)
Eka Sofyana (2001032065)
Verawaty (2001032050)
Mardiana (2001032079)

PROGRAM STUDI D4 KEBIDANAN


FAKULTAS FARMASI DAN KESEHATAN
INSTITUT KESEHATAN HELVETIA
MEDAN 2021
1. Bahas jurnal tentang Pengaruh Inisiasi Menyusu Dini (IMD) terhadap Suhu dan
Kehilangan Panas pada Bayi Baru Lahir
a. Bahas jurnal
1) Judul jurnal
Pengaruh Inisiasi Menyusu Dini (IMD) terhadap Suhu dan Kehilangan Panas
pada Bayi Baru Lahir.
2) Kata kunci
IMD, suhu aksila, kehilangan panas kering
3) Penulis jurnal
Hotma Sauhur Hutagaol, Eryati Darwin, Eny Yantri
4) Latar belakang masalah
Resiko kematian pada bayi baru lahir tinggi pada saat kelahiran dan semakin
menurun pada hari dan minggu berikutnya. Sekitar 50% kematian bayi terjadi
dalam 24 jam pertama kelahiran dan sekitar 75% terjadi selama minggu pertama
kelahiran. Kematian bayi dikenal dengan fenomena 2/3, pertama, fenomena 2/3
kematian bayi pada bulan pertama, 2/3 kematian bayi pada 1 minggu pertama dan
2/3 kematian bayi pada 24 jam pertama. Hipotermia cenderung terjadi pada masa
transisi pada bayi baru lahir. Masa transisi bayi merupakan masa yang sangat
kritis pada bayi dalam upaya untuk dapat bertahan hidup. Bayi baru lahir harus
beradaptasi dengan kehidupan di luar uterus yang suhunya jauh lebih dingin bila
dibandingkan suhu didalam uterus yang relatif lebih hangat sekitar 37 0C. Suhu
ruangan yang normalnya 250C – 270C berarti ada penurunan sekitar 100C.
Kemampuan bayi baru lahir tidak stabil dalam mengendalikan suhu secara
adekuat, bahkan jika bayi lahir saat cukup bulan dan sehat sehingga sangat rentan
untuk kehilangan panas. Asuhan essensial diperlukan pada bayi baru lahir agar
dapat mencegah terjadinya komplikasi dan dapat menyelamatkan nyawa bayi
seperti segera mengeringkan tubuh bayi baru lahir dan inisiasi menyusu dini
sangat diperlukan untuk upaya bayi dapat bertahan hidup dan menunda
semua asuhan lainnya minimal satu jam pertama kelahiran.
5) Hasil penelitian dan Pembahasan
Pada penelitian ini didapatkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang bermakna
pada kelompok IMD dan non IMD terhadap kehilangan rerata panas kering pada
bayi satu jam kelahiran atau setelah IMD, baik kehilangan panas secara konveksi,
konduksi dan radiasi. Namun rerata kehilangan panas sesudah IMD lebih kecil
pada kelompok IMD dari pada kehilangan panas satu jam kelahiran pada
kelompok non IMD. Secara statistik dengan teknik t-test diperoleh nilai p value >
0,05. Hal ini kemungkinan dipengaruhi oleh suhu udara, suhu dinding, kecepatan
angin dan insulasi pakaian yang hampir sama pada kedua kelompok responden.
Suhu ruangan bersalin selalu diupayakan sehangat mungkin dan penelitian ini
diperoleh rerata suhu ruangan bersalin sekitar 300C demikian halnya dengan suhu
dinding. Setelah lahir bayi juga mendapat perlakuan yang sama yaitu segera
dikeringkan dan dibungkus dengan bahan yang sama dan jumlah lapisan yang
sama. Bedanya kelompok bayi dengan IMD ditutup dari atas punggung dengan
kontak kulit ke kulit ibu, sedangkan bayi tanpa IMD langsung dibedung tanpa
dilakukan kontak kulit ke kulit. Kekurangan dalam penelitian ini adalah tidak
dilakukannya kontak kulit tangan ibu ke badan bayi, dimana tangan ibu hanya
memeluk bayinya dari luar kain penutup bayi.
Pada saat lahir suhu kulit kelompok non IMD lebih tinggi dari kelompok IMD
yaitu 36,5± 0,40C dan meningkat 0,50C selama satu jam kelahiran. Rerata suhu
kulit kelompok IMD lebih rendah dibandingkan kelompok non IMD yaitu 36,4±
0,30C namun mengalami peningkatan yang lebih tinggi diban- dingkan kelompok
non IMD yaitu 0,80C.
Suhu kulit berbeda dengan suhu inti, dapat naik dan turun sesuai dengan suhu
lingkungan. Suhu inti cenderung dipertahankan selalu konstan. Suhu kulit
merupakan suhu yang penting apabila merujuk pada kemampuan kulit untuk
melepaskan panas ke lingkungan, sehingga bila terjadi perubahan pada suhu
lingkungan eksternal maka tubuh akan melakukan pengaturan untuk
mempertahankan keseimbangan suhu.

Menurunkan kehilangan panas sangat berhubungan dengan upaya untuk bertahan


hidup pada bayi baru lahir. Selama periode kontak kulit ke kulit, suhu inti dan
suhu kulit perut meningkat yang mengindikasikan keuntungan dalam pencegahan
kehilangan panas. Selama bayi berada dalam bedung dan jauh dari ibu terjadi
penurunan suhu tubuh dan peningkatan kehilangan panas mendekati kompensasi
bayi baru lahir sekitar 70W/m2. Bedung yang terlalu ketat dan kuat akan
membuat bayi lebih dingin karena tidak dapat mempertahankan posisi flexi.

Kontak kulit ke kulit pada bayi baru lahir sama efektifnya dengan pemanas bayi
yang dapat mencegah kehilangan panas pada bayi baru lahir aterm.
2. Bahas jurnal tentang Waktu Penundaan Pengkleman Tali Pusat Berpengaruh Terhadap
Kadar Hemoglobin Pada Bayi Baru Lahir
a. Bahas jurnal
1) Judul jurnal
Waktu Penundaan Pengkleman Tali Pusat Berpengaruh Terhadap Kadar
Hemoglobin Pada Bayi Baru Lahir.
2) Kata kunci
Waktu pengkleman tali pusat, Hemoglobin, Bayi baru lahir
3) Penulis jurnal
Rafika
4) Latar belakang masalah
Salah satu penyebab kematian bayi dan balita di Indonesia adalah masalah
anemia defesiensi besi yang hampir terdapat di seluruh Negara berkembang
(Johnson, 2013). Lebih dari 50% di Negara berkembang diperkirakan mengalami
anemia pada tahun pertama kehidupannya. Anemia defesiensi besi merupakan
anemia yang sering terjadi pada bayi dengan kejadian tertinggi pada umur 6-24
bulan. Tingginya angka kejadian anemia pada bayi usia 6-9 bulan berhubungan
dengan tidak cukupnya penyimpanan cadangan zat besi pada bayi tersebut
sehingga dapat mengakibatkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan dalam
6 bulan pertama kehidupannya dan beberapa faktor postnatal yang bisa
mengakibatkan penurunan dini pada penyimpanan cadangan zat besi tergantung
pada beberapa faktor seperti status besi ibu yang mengandung janin tersebut,
berat badan lahir dan lamanya waktu penundaan penjepitan dan pemotongan tali
pusat.
Masalah anemia defisiensi besi merupakan masalah sosialekonomi dan kesehatan
yang berkepanjangan. Penyimpanan cadangan zat besi saat lahir adalah faktor
utama yang mempengaruhi pertumbuhan bayi dan insiden anemia defesiensi besi.
Ibu hamil di Negara berkembang sering mengalami anemia defesiensi zat besi
dan persalinan preterm atau bayi dengan berat badan lahir rendah sering terjadi.
Salah satu asumsi penyebab sementara atas kasus fenomena tersebut adalah
adanya ICC (Imediettly Cord Clamping) di setiap persalinan (standar di Indonesia
mengunakan 58 langkah Asuhan Persalinan Normal) yaitu 2 menit setelah bayi
lahir. Pengkleman tali pusat secepatnya akan mengambil darah bayi 54-160 cc,
yang artinya setengah lebih volume darah total bayi. Pengkleman sebelum bayi
bernafas mengakibatkan suplai darah ke paru-paru berkurang sehingga terjadi
hipovolemi. Pengkleman tali pusat secepatnyanya juga meningkatkan resiko bayi
terkena anemia.
Penjepitan dan pemotongan tali pusat merupakan prosedur standar yang selalu
dilakukan saat bayi dilahirkan. Namun sampai saat ini waktu yang paling tepat
untuk penjepitan dan pemotongan tali pusat masih menjadi perdebatan oleh para
ahli. Tidak ada panduan yang pasti tentang hal tersebut. Departeman Kesehatan
Republik Indonesia sejak tahun 2007 sudah merekomendasikan untuk melakukan
penundaan penjepitan tali pusat hingga 2 menit untuk bayi normal (Nurrochmi,
dkk, 2014). Penjepitan tali pusat tunda merupakan strategi yang murah dan
efektif untuk menurunkan kejadian anemia pada bayi terutama pada negara
berkembang.
Lubis (2008) menunjukkan bahwa pengkleman tali pusat segera (dalam 5-10
detik), bila dibandingkan dengan pengkleman tali pusat yang ditunda ternyata
menimbulkan penurunan 20-40 ml darah perkilogram berat badan yang setara
dengan 30-35 mg zat besi. Terdapat peningkatan dari kadar hemoglobin dan
hematokrit dari bayi yang dilakukan penundaan penjepitan tali pusat selama 2
menit dibandingkan dengan bayi yang dilakukan penjepitan tali pusat segera.
Hasil penelitian Destariyani (2015) bahwa nilai rata-rata kadar Hb pada bayi yang
dilakukan penundaan pengkleman dan pemotongan tali pusat > 3 menit adalah
14,5 gr%, sedangkan pada kelompok pengkleman dan pemotongan tali pusat ≤ 3
menit kadar Hb 12,4 gr% dan ada pengaruh penundaan pengkleman dan
pemotongan tali pusat terhadar kadar zat besi bayi baru lahir.
Waktu yang tepat untuk melakukan penjepitan tali pusat sampai saat ini masih
banyak diperdebatkan. Walaupun perdebatan telah berlangsung lama, namun
jawaban atas pertanyaan mana yang lebih baik bagi bayi, penjepitan dini atau
tunda dan kapan waktu penjepitan yang terbaik, para ahli masih berbeda
pandangan.
5) Hasil penelitian dan Pembahasan
Penatalaksanaan dalam asuhan kebidanan persalinan normal manajemen aktif
Kala III dengan mengklem tali pusat menggunakan klem umbilikal kira-kira 3 cm
dari pusat bayi. Melakukan urutan pada tali pusat mulai dari klem ke arah ibu dan
memasang klem kedua dengan jarak 2 cm dari klem pertama (ke arah ibu).
Memegang tali pusat dengan satu tangan dan melindungi bayi dari gunting dan
memotong tali pusat di antara dua klem tersebut (Prawirohardjo, 2014). Selain
manajemen aktif kala III ada juga yang disebut manajemen fisiologis persalinan
kala III atau penundaan pengkleman tali pusat sampai tali pusat berdenyut.
Menurut WHO pada manajemen fisiologis ini waktu yang optimal untuk
pengkleman dan pemotongan tali pusat semua bayi tanpa memandang usia
kehamilan atau berat badan janin adalah ketika sirkulasi atau denyut di tali pusat
berhenti dan tali pusat terlihat mendatar sekitar 3 menit atau lebih setelah bayi
lahir.
Hasil penelitian hubungan karakteristik ibu responden dengan waktu penundaan
pengkleman tali pusat bahwa tidak terdapat hubungan antara pendidikan,
pekerjaan, paritas, usia kehamilan, jumlah konsumsi tablet Fe dengan waktu
penundaan pengkleman tali pusat baik kelompok 2 menit maupun 3 menit, namun
terdapat hubungan umur ibu dengan waktu penundaan pengkleman tali pusat.
Hal ini karena usia ibu saat hamil juga turut mempengaruhi hasil keluaran
kehamilan. Usia reproduksi sehat pada wanita adalah usia 20 -35 tahun. Usia
kurang 20 tahun atau lebih dari 35 tahun meningkatkan resiko terjadinya
komplikasi kehamilan, salah satu diantaranya solusio plasenta. Faktor-faktor yang
ikut megang peranan penting terjadinya komplikasi dalam kehamilan yaitu
kekurangan gizi, anemia, paritas tinggi dan usia lanjut pada ibu hamil (Suyono,
2007). Menurut Lubis (2008) bahwa diperoleh dari uji statistik chi square pada
usia ibu nilai p = 0.831 (p>0.05), pendidikan diperoleh p = 0.207 (p>0.05), usia
kehamilan p = 0.796 (p>0.05) dan jumlah paritas didapatkan p = 0.231 (p>0.05)
maka tidak terdapat perbedaan usia ibu, pendidikan, usia kehamilan dan jumlah
paritas yang bermakna diantara kedua kelompok penelitian (kelompok segera dan
ditunda 2 menit). Hal ini didukung pula penelitian Destariyani (2015)
menyatakan tidak didapatkan ibu dengan umur di bawah 20 tahun dan umur
diatas 40 tahun. Setelah umur ibu dikelompokkan menjadi kelompok umur ibu
20-35 tahun dan umur > 35 tahun, rerata Hb pada kelompok umur ibu tersebut
tidak berbeda, nilai p= 0,665 dan p=0,088. Semua jurnal penelitian pada
karakteristik data umur ibu sudah matching pada kelompok penjepitan tali pusat
yang diteliti. Gupta dan Ramji (2002) dan Emhamed, et. al. (2004), meneliti
pengaruh waktu penjepitan tali pusat, didapatkan rerata umur ibu pada kelompok
penjepitan tali pusat, masing-masing secara statistik tidak berbeda bermakna,
p>0,05.
Penelitian ini diperoleh nilai rata-rata kadar hemoglobin bayi baru lahir pada
kelompok 2 menit sebesar 14,5 gr/dl dan kelompok 3 menit sebesar 15,9 gr/dl,
berarti terdapat perbedaan kadar Hb bayi pada kedua kelompok waktu penundaan
pengkleman tali pusat. Penjepitan tunda akan meningkatkan jumlah eritrosit yang
ditransfusikan ke bayi, hal tersebut tercermin dalam peningkatan kadar Hb bayi
baru lahir baik pada kelompok 3 menit dibandingkan kelompok 2 menit waktu
penundaan klem tali pusat. Hasil uji statistik didapatkan nilai p=0.000 (p<0.05).
Hal ini berarti ada pengaruh waktu penundaan pengkleman tali pusat terhadap
kadar hemoglobin pada bayi baru lahir. Hal ini menunjukkan waktu penundaan
pengkleman tali pusat 3 menit lebih tinggi kadar hemoglobinnya dibandingkan
waktu 2 menit, namun keduanya memberikan kadar hemoglobin yang normal.
Berarti semakin lama waktu penundaan pengkleman tali pusat, maka akan
memberikan dampak yang lebih baik terhadap peningkatan jumlah hemoglobin
bayi, sehingga bisa mengurangi defisiensi zat besi bayi baru lahir.

3. Bahas jurnal tentang Perawatan Tali Pusat Terbuka Sebagai Upaya Mempercepat
Pelepasan Tali Pusat
a. Bahas jurnal
1) Judul jurnal
Perawatan Tali Pusat Terbuka Sebagai Upaya Mempercepat Pelepasan Tali Pusat.
2) Kata kunci
Perawatan tali pusat terbuka, mempercepat pelepasan tali pusat
3) Penulis jurnal
Nor Asiyah, Islami, Lailatul Mustagfiroh
4) Latar belakang masalah
Tali pusat merupakan jalan masuk utama infeksi sistemik pada bayi baru lahir
(Shafique. 2006). Perawatan tali pusat secara umum bertujuan untuk mencegah
terjadinya infeksi dan mempercepat putusnya tali pusat. Infeksi tali pusat pada
dasarnya dapat dicegah dengan melakukan perawatan tali pusat yang baik dan
benar, yaitu dengan prinsip perawatan kering dan bersih. Banyak pendapat
tentang cara terbaik untuk merawat tali pusat. (Permanasari, DK. 2009)
Perawatan tali pusat untuk bayi baru lahir yaitu dengan tidak membungkus
puntung tali pusat atau perut bayi dan tidak mengoleskan cairan atau bahan
apapun ke puntung tali pusat. (JNPK-KR, 2008). Upaya untuk mencegah infeksi
tali pusat sesungguhnya merupakan tindakan sederhana, yang penting adalah tali
pusat dan daerah sekitarnya selalu bersih dan kering. Sudah banyak penelitian
yang dilakukan untuk meneliti bahan yang digunakan untuk merawat tali pusat.
Perawatan tali pusat secara medis menggunakan bahan antiseptik yang meliputi
alkohol 70% atau antimikrobial seperti povidon-iodin 10% (Betadine),
Klorheksidin, Iodium Tinstor dan lain-lain yang disebut sebagai cara modern.
Sedangkan perawatan tali pusat metode tradisional menggunakan madu, Minyak
Ghee (India) atau kolostrum ASI. Dore 1998 membuktikan adanya perbedaan
antara perawatan tali pusat yang menggunakan alkohol pembersih dan dibalut
kasa steril. Ia menyimpulkan bahwa waktu pelepasan tali pusat kelompok alkohol
adalah 9,8 hari dan mengalami kering 8,16 hari. Penelitian ini merekomendasikan
untuk tidak melanjutkan penggunaan alkohol dalam merawat tali pusat. Penelitian
Kurniawati 2006 di Indonesia membuktikan bahwa waktu pelepasan tali pusat
menggunakan ASI adalah 127 jam (Waktu tercepat 75 Jam) dan waktu pelepasan
menggunakan tehnik kering terbuka (Tanpa diberi apapun) rata-rata 192,3 jam
(Waktu tercepat 113 jam). Hasil penelitian Triasih, Widowati Haksari dan
Surjono yang belum di publikasikan menemukan rata-rata waktu pelepasan tali
pusat pada kelompok kolostrum lebih pendek bermakna dibanding kelompok
alkohol (133,5±38,0 jam vs. 188,0 ±68,8 jam). Perbedaan rata-rata 54,5 jam. Dan
lebih efektif untuk perawatan tali pusat pada bayi sehat yang lahir cukup bulan.
Dore (1998) dan WHO (1998) tidak merekomendasikan pembersihan tali pusat
menggunakan alkohol karena memperlambat penyembuhan dan pengeringan
luka. WHO menjelaskan bahwa aplikasi antimikrobial topikal pada tali pusat
masih kontroversi dan hasil dari beberapa penelitian masih belum dapat
disimpulkan apakah aplikasi antimikrobial topikal adalah zat terbaik dalam
menjaga tali pusat tetap bersih. Penggunaan antimikrobakterial juga cenderung
meningkatkan pembiayaan.
Berbagai penelitian memperlihatkan bahwa dengan membiarkan tali pusat
mengering, tidak ditutup, hanya dibersihkan setiap hari dengan air bersih,
merupakan cara paling efektif dan murah untuk perawatan tali pusat. (Sodikin,
2009).
Hasil survai menunjukkan semua bidan anggota Ikatan Bidan Indonesia (IBI) di
wilayah ranting cendono masih menggunakan kassa steril dalam melakukan
perawatan tali pusat meskipun telah ada penelitian yang menunjukkan bahwa
perawatan tali pusat tanpa apapun juga sangat efektif dan lebih efisien karena
bisa menekan biaya perawatan dan bisa mengurangi sampah di lingkungan sekitar
karena penggunaan kassa.
5) Hasil penelitian dan Pembahasan
Lama waktu pelepasan tali pusat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Beberapa
faktor yang dapat menunda pelepasan tali pusat pada bayi baru lahir adalah
pemberian antiseptik yang dapat menghilangkan flora di sekitar umbilicus dan
menurunkan jumlah leukosit yang akan melepaskan tali pusat. Faktor yang lain
adalah adanya infeksi tali pusat sehingga menyebabkan tali pusat lembab dan
tidak cepat kering.
Tali pusat puput dari pusat melalui proses gangrene kering. Terjadi perembesan
sel darah putih pada saat proses pelepasan tali pusat sehingga sejumlah cairan
kental akan mengumpul pada pangkalnya, tampak sedikit lembab dan lengket.
Dalam beberapa hari ke minggu, tunggul tersebut akan mengelupas dan
meninggalkan luka granulasi kecil, yang setelah proses penyembuhan
membentuk umbilicus. Tali pusat mengering lebih cepat dan lebih mudah
terpisah ketika terkena udara. Dengan demikian, penutupan tali pusat tidak.
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian pada tabel 4.3 nampak bahwa pada metode
perawatan tali pusat terbuka terdapat 1 (5%) bayi yang tali pusatnya lepas >7
hari. Sementara itu, pada metode perawatan tali pusat tertutup terdapat 6 (30%)
bayi yang tali pusatnya lepas >7 hari. Didukung dengan hasil uji statistik mann
whitney didapatkan hasil ρvalue 0,022 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan
bermakna lama lepas tali pusat antara perawatan tali pusat terbuka dengan
perawatan tali pusat tertutup.
Sejalan dengan penelitian Martini (2012) menemukan rerata waktu pelepasan tali
pusat pada bayi yang mendapatkan perawatan dengan menggunakan kassa kering
steril adalah 7,1 hari, hal ini lebih cepat jika dibandingkan dengan perawatan
menggunakan kompres kassa alkohol yakni 8,8 hari. Menurut Penny (2007)
dalam Martini (2012) menyatakan bahwa tali pusat lepas sehari lebih cepat pada
kelompok dimana tali pusat dibiarkan mengering secara alami. Tali pusat yang
dirawat dengan dibiarkan terbuka (tidak dibungkus) sesuai anjuran Kemenkes
(2011) akan lebih cepat kering dan puput sehingga meminimalisir risiko
terjadinya infeksi dan Tetanus neonatorum. Tali pusat yang terbuka akan banyak
terpapar dengan udara luar sehingga air dan Wharton,s jelly yang terdapat di
dalam tali pusat akan lebih cepat menguap. Hal ini dapat mempercepat proses
pengeringan (gangrene) tali pusat sehingga cepat puput. Sebagaimana diketahui,
bahwa tali pusat yang masih menempel pada pusar bayi merupakan satu-satunya
pintu masuk spora kuman Clostridium tetani ke dalam tubuh bayi. Dengan
mempercepat proses pelepasan tali pusat, maka meminimalisir risiko bayi terkena
tetanus neonatorum.
Perawatan tali pusat yang baik dan benar akan menimbulkan dampak yang
positif yaitu tali pusat akan puput pada hari ke-5 dan ke-7 tanpa ada
komplikasi. Perawatan tali pusat yang tidak baik menyebabkan tali pusat
menjadi lama lepas. Risiko bila tali pusat lama lepas adalah terjadinya infeksi
tali pusat dan Tetanus Neonatorum. Spora kuman Clostridium tetani masuk
ke dalam tubuh bayi melalui tali pusat yang dapat terjadi pada saat
pemotongan tali pusat ketika bayi lahir maupun pada saat perawatannya
sebelum puput (terlepasnya tali pusat).
Cara perawatan tali pusat dan puntung tali pusat pada masa segera setelah
persalinan berbeda-beda, bergantung pada faktor sosial, budaya, dan geografis.
Kebersihan tali pusat sangat penting. Mencuci tangan perlu dilakukan sebelum
dan setelah merawat tali pusat. Tidak ada perawatan tali pusat khusus yang harus
dilakukan, meskipun banyak variasi cara yang dilakukan untuk mempermudah
pemisahan lebih awal. Namun, harus diperhatikan penggunaan topikal dapat
mengganggu proses normal kolonisasi dan memperlambat pemisahan tali pusat.
Membersihkan dengan air biasa dan menjaga tali pusat tetap kering terbukti
mempercepat pemisahan. Disarankan untuk memastikan tali pusat tidak tertutup
popok karena dapat terkontaminasi oleh urine dan feses.

Anda mungkin juga menyukai