Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH DESAIN PELATIHAN

Untuk memenuhi mata kuliah model-model pelatihan

DOSEN PENGAMPU
Olievia Prabandini Mulyana, S.Psi., M.Psi., Psikolog

2016A
Disusun Oleh :
Yanna Murnika Sari (16010664021)
Dinda Rizqia Widodo (16010664033)
Disya Nafisah Muhadi (16010664037)
Hayen Mareta (16010664051)
Dinda Ayu Mutiara P (16010664067)

UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
PSIKOLOGI
2019
I. PENGERTIAN PELATIHAN
Pelatihan adalah suatu kegiatan untuk memperbaiki kemampuan dan meningkatkan
kinerja karyawan dalam melaksanakan tugasnya dengan cara peningkatan keahlian,
pengetahuan, keterampilan, sikap dan perilaku yang spesifik dan berkaitan dengan pekerjaan.
Menurut Pangabean (2004) pelatihan didefinisikan sebagai cara yang digunakan untuk dapat
memberikan atau meningkatkan keterampilan yang dibutuhkan guna melaksanakan pekerjaan.

II. TUJUAN PELATIHAN


Menurut Pangabean (2004) pelatihan dilakukan untuk kepentingan karyawan,
perusahaan, dan konsumen. Berikut adalah tujuan dilakukannya pelatihan untuk karyawan,
perusahaan, dan konsumen :
1) Karyawan
a) Memberikan ketrampilan dan pengetahuan yang diperlukan karyawan saat bekerja.
b) Meningkatkan moral pada karyawan pada saat bekerja dan dapat menyelesaikan
pekerjaannya dengan baik.
c) Membantu karyawan menghadapi perubahan-perubahan. Perubahan-perubahan
tersebut dapat berupa struktur organisasi, teknologi, maupun sumber daya manusia.
d) Memperbaiki kinerja pada karyawan.

2) Perusahaan
a) Memenuhi kebutuhan-kebutuhan perencanaan sumber daya manusia. Dengan adanya
pelatihan maka perusahaan akan melakukan upaya yang sesuai untuk mendapatkan
sumber daya manusia yang memenuhi kebutuhan perusahaan.
b) Memperkuat komitmen karyawan.
c) Mengurangi tingkat kerusakan dan kecelakaan di perusahaan.
3) Konsumen
a) Dengan pelatihan, maka konsumen akan memperoleh produk yang lebih baik dalam
hal kualitas dan kuantitas.
b) Konsumen akan mendapatkan pelayanan yang lebih baik.

III. PRINSIP-PRINSIP PELATIHAN


A. Mc. Gehee, dalam Mangkunegara (2006),
mengungkapkan bahwa prinsip-prinsip pelatihan adalah sebagai berikut:
 Materi yang diberikan sistematis dan berdasarkan tahapan-tahapan.
 Tahapan tersebut harus disesuaikan dengan tujuan yang ingin dicapai.
 Pelatih/pengajar/pemateri harus mampu memotivasi dan menyebarkan respon yang
berhubungan dengan serangkaian materi pelajaran.
 Adanya penguat (reinforcement) untuk membangkitkan respon yang positif dari peserta.
 Menggunakan konsep pembentukan perilaku.
B. Manullang (2004) mengemukakan bahwa
prinsip-prinsip pelatihan, adalah sebagai berikut:
 Individual Difference; dalam pelaksanaan suatu pelatihan harus diingat adalah
adanya perbedaan peserta pengikut training, seperti latar belakang pendidikan,
pengalaman maupun keinginan.
 Relation to Job analysis; bahan yang diajarkan dalam pendidikan harus berhubungan
dengan apa yang dinyatakan dalam job specification.
 Motivation; orang akan bersungguh-sungguh dalam melaksanakan tugas tertentu bila
ada timbal baliknya, seperti kenaikan upah atau kenaikan kedudukan.
 Active Participation; dalam pelatihan harus memberikan kesempatan untuk bertukar
pikiran antara peserta dengan pelatih agar peserta berpartisipasi dan menjadi aktif
dalam proses pelatihan.
 Selection of Trains; seleksi atau pemilihan calon peserta pelatihan perlu dilakukan
untuk menjaga agar perbedaan tidak terlalu besar.
 Selection of Trainer; jabatan pengajar perlu suatu kualifikasi tersendiri, karena itu
orang menganggap bahwa salah satu asas penting dari pelatihan adalah tersedianya
tenaga pelatih yang berminat dan mempunyai kesanggupan untuk mengajar.
 Trainer Training; para pelatih dalam suatu pelatihan harus sudah mendapat
pendidikan secara khusus untuk menjadi tenaga pelatih.
 Training method; metode pelatihan harus cocok dengan pelatihan yang diberikan.
Program pelatihan harus pula diperhatikan serta metode pendidikan yang bagaimana
yang harus dianut dalam memberikan pelatihan.
 Principles of Learning; orang akan lebih mudah menangkap pelajaran apabila
didukung oleh pedoman tentang cara-cara belajar dengan cara efektif bagi para
karyawan.
IV. METODE PELATIHAN
Andrew F. Sikula (Dalam Malayu Hasibuan, 2010), menjelaskan metode-metode
pelatihan sebagai berikut:
a) On the Job; para peserta latihan langsung bekerja di tempat untuk belajar dan meniru
suatu pekerjaan di bawah bimbingan dari pengawas.
b) Vestibule; metode latihan yang dilakukan dalam kelas atau bengkel untuk memperkenalkan
pekerjaan kepada karyawan baru dan melatih mereka mengerjakan pekerjaan tersebut.
c) Demonstration and example; metode latihan yang dilakukan dengan cara memperagakan
bagaimana cara mengerjakan suatu pekerjaan melalui contoh atau percobaan yang
didemonstrasikan oleh pelatih.
d) Simulation; metode simulasi merupakan situasi yang ditampilkan semirip mungkin dengan
situasi yang sebenarnya tetapi tetap hanya tiruan tiruan saja.
e) Apprenticeship; suatu cara yang digunakan untuk mengembangkan keahlian pertukangan
sehingga para karyawan yang bersangkutan dapat mempelajari segala aspek dari
pekerjaannya.
f) Classroom methods; metode pertemuan yang dilakukan di dalam kelas meliputi lecture
(pengajaran), conference (rapat), programmed instruction, role playing, metode studi
kasus, metode diskusi, serta seminar.
V. EVALUASI HASIL PROGRAM PELATIHAN
A. Pengertian Pelatihan
Menurut Brikerhoff (1986) evaluasi merupakan proses yang menentukan efektifitas tujuan
pendidikan yang dapat dicapai. Pelaksaan evaluasi terdiri dari tujuh elemen yang harus
dilakuakan, antara lain:
1. Penentuan focus yang dievaluasi
2. Penyusunan desain evaluasi
3. Pengumpulan informasi
4. Analisis dan intepretasi informasi
5. Pembuatan laporan
6. Pengelolahan evaluasi
7. Evaluasi untuk evaluasi
Dalam evaluasi tahap awal adalah menentukan focus evaluasi dan desain evaluasi,
sehingga dibutuhkan kejelasan apa yang akan dievaluasi, secara implisit menekankan opada
tujuan evaluasi dan perencanaan pelaksanaan evaluasi.
Selanjutnya pengumpulan data, analisis dan intepretasi yang nantinya dibuat sebuah
laporan. Evaluator harus mengatur kegiatan evaluasi dan mengevaluasi pelaksanaan secara
keseluruhan (Widoyoko, 2017). Weiss (1972) menyatakan bahwa tujuan evaluasi adalah The
purpose of evaluation research is to measure the effect of program against the goals it set out
accomplish as a means of contributing to subsuquest decision making about the program and
improving future programing.
Berdasarkan beberapan pendapat dapat diketahui bahwa evaluasi merupakan proses
sistematis dan berkelanjutan dengan tujuan mengumpulkan, mendeskripsikan, mengintepretasikan
dan menyajikan informasi yang nantinya dapat dijadikan dasar pembuatan keputusan, kebijakan
dan perbaikan program dimasa mendatang.
B. Tujuan Evaluasi
Tujuan evaluasi dapat dikatakan adakah untuk melihat pengaruh program apa yang akan
dicapai sebagai kontribusi dalam pengambilan keputusan dan perbaikan program dimasa yang
akan datang.
C. Model-Model Evaluasi Program Pelatihan
Terdapat banyak model evaluasi yang dikembangakan para ahli dalam mengevaluasi
program pelatihan. Model-model ini dapat dijadikan pilihan dalam mengevaluasi suatu program
training. (Widoyoko, 2017). Model-model tersebut diantaranya:
1. Evaluasi model CIPP ( Context, Input, Prosess, dan Product)
Model CIPP ditawarkan pertama oleh Stufflebeam tahun 1965. Model evaluasi ini
berpandangan bahwa tujuan penting evaluasi adalah memperbaiki bukan untuk membuktikan.
Evaluasi model ini dapat diterapkan dalam berbagai bidang seperti pendidikan, manajemen,
perusahaan dan sebagainya. Model evaluasi CIPP terdiri dari 4 dimensi yaitu: (Sudjana &
Ibrahim, 2004)
a) Context, situasi yang mempengaruhi tujuan dan strategi pendidikan yang akan
dikembangkan dalam sistem yang bersangkutan.
b) Input, sarana/modal/bahan serta strategi yang ditetapkan demi tercapainya tujuan
pendidikan.
c) Process, pelaksanaan strategi dan penggunaan modal/sarana/bahan di kegiatan nyata
lapangan.
d) Product, hasil yang dicapai selama proses dan akhir program.
e) Evaluasi model Brinkerhoff; Brinkerhoff dkk mengemukakan tiga golongan evaluasi yang
disusun berdasarkan penggabungan elemen-elemen yang sama, antara lain:
 Fixed vs Emergent Evaluation Design
Desain evaluasi tetap (fixed) dutentukan dan direncanakan secara sistematis
sebelum diimplementasikan, model ini dikembangkan berdasarkan tujuan program.
Desain tetap (fixed) lebih terstruktur daripada desain emergent, desain fixed ini
juga mampu dirubha sesaui dengan kebutuhan pelatihan.

 Formative vs Submative Evaluation


Evaluasi formative bertujuan untuk memperoleh informasi guna membantu
dalam perbaikan program. Evaluasi ini dilakukan saat implementasi program
sedang berjalan dengan focus evaluasi nya adalah kebutuhan yang dirumuskan oleh
karyawan atau orang-orang program. Strategi pengumpulan informasi dapat
digunakan dalam usaha memberikan informasi yang berguna dalam perbaikan
program. Sedangkan evaluasi submatif bertujuan untuk menilai manfaat suatu
program sehingga hasil evaluasi dapat menentukan suatau program tertentu
diteruskan atau diberhentikan. Pelaksanaan evaluasi submatif dilakuakn pada akhir
implementasi program. Strategi informasi akan memaksimalkan validitas eksternal
dan internal.

 Experimental and Quasi Experimental Design Vs Naural/Unotrusive


Evaluasi memakai metodologi penelitian klasik dengan tujuan untuk menilai
manfaat suatu program yang akan dicobakan. Evaluasi antara dapat melibatkan
intervensi atau tidak ke dalam kegiatan program/mencoba memanipulasi kondisi,
orang diperlakukan, variabe1 dipengaruhi dan sebagainya.

2. Evaluasi model Kirkppatrick


Evaluasi pelatihan menurut konsep Kirkpatrick dilakukan dalam 4 level sebagai
berikut: (Sitorus & Tania, 2012)
a) Level Reaksi; merupakan tahap awal dalam evaluasi dengan tujuan mengukur
reaksi peserta pelatihan terhadap program pelatihan. Diasumsikan bahwa apabila
program pelatihan direspon baik, maka terjadi proses pembelajaran. Reaksi peserta
pelatihan diukur dengan mengumpulkan data yang diperoleh dari lembar evaluasi
pada akhir pelatihan. Lembar evaluasi tersebut mengukur seberapa baik
pelaksanaan pelatihan menurut peserta.
b) Level Belajar; pelatihan menghasilkan pembelajaran yang nantinya akan dilakukan
pengukuran. Pembelajaran khususnya mengenai kemahiran dalam menghadapi
fakta, prosedur, teknik, dan informasi lain yang biasanya dilakukan dengan tes
tertulis.
c) Level Perilaku; tahap dimana terjadi perubahan perilaku secara nyata pada peserta
pelatihan terhadap pekerjaannya.
d) Level Hasil; level ini berfokus pada pencapaian hasil. Seringkali, tujuan akhir dari
pelatihan adalah memberi pengaruh yang kuat pada sasaran organisasi secara
umum.

3. Evaluasi model Stake (Model Countenance)


Model ini menekankan pada dua dasar kegiatan dalam evaluasi yaitu, description
dan judgement serta membedakan tiga tahap dalam program pelatihan, yaitu antecedent
(context), transaction (process) dan outconmes. Hal penting dalam model ini bahwa
evaluator yang membuat penilaian tentang program yang akan dievaluasi. Dalam model ini
evaluasi dilakuakn dengan membandngkan satu program dengan program lain yang
dianggap standart.

VI. LANGKAH-LANGKAH EVALUASI PROGRAM PELATIHAN


Dalam pelaksanaan evaluasi pada program pelatihan secara sistematis terdiri dari empat
langkah, yaitu: (Purwanto & Suparman, 1999)
a) Penyususnan desain evaluasi
Langkah pertama evaluasi adalah menyususn rencana evaluasi yang menghasilkan
desain evaluasi. Evaluator mempersiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan pelaksanaan
evaluasi , seperti menentukan tujuan evaluasi, model evaluasi yang digunakan, informasi yang
ingin didapat, metode pengumpulan data dan analisis data.
b) Pengembangan instrument pengumpulan data
Setelah metode pengumpulan data ditentukan , maka bentuk instrument dan responden
instrument harus ditentukan. Kemudian butir-butir dalam instrument dikembangkan dengan
berbagai pertimbangan seperti, infromasi apa yang ingin didapat, instrument dikembangkan
sendiri, mengadopsi ataupun menggunakan instrument baku. Pemerolehan data yang valid perlu
memperhatian masalah validitas dan reliabilitas instrument. Instrumen yang biasa digunakan
dalam pengumpulan data evaluasi program pelatihan adalah angket, ceklist, pengamatan,
wawancara, atau evaluator sendiri sebagai instrumen
c) Pengumpulan data (assessment), menafsirkan dan membuat penilaian
Langkah ketiga ini masuk salahsatu tahap pelaksanaan dari rancangan evaluasi
program pelatihan. Evaluator akan mengimplementasikan desain yang telah dibuat di lapangan
dimulai dari mengumpulkan dan menganalisa data, mengintepratasikan dan menyajikannya
dengan mudah untuk dipahami dan komunikatif.
d) Penyusunan laporan hasil evaluasi
Tahap ini merupakan tahap terakhir dari evaluasi program pelatihan dengan menyusun
laporan hasil evaluasi. Laporan disusun sesuai dengan kesepakatan kontarak yang telah
disepakati. Langkah ini berkaitan dengan tujuan dari evaluasi oleh karena itu penyampaian dan
format laporan menyesuaikan penerima laporan.
VII. JENIS-JENIS PELATIHAN
A. Pelatihan berdasarkan kebutuhan (Training Need Assesment)
Jenis pelatihan ini berfokus pada kebutuhan belajar individu yaitu kemampuan standard
yang harus dimiliki individu atau dengan kata lain, individu dituntut untuk memiliki kemampuan
tertentu dimana itu bagian dari prasyarat suatu pekerjaan atau jobdesc. Kemampuan tersebut
tentunya mencakup banyak aspek sesuai dengan kebutuhan instansi terkait, misalnya kemampuan
pengetahuan, sikap, nilai, dan lain sebagainya.
Kebutuhan belajar tentu berubah-ubah setiap waktu, dapat berkembang, bertambah, dan
bahkan dapat berkurang. Hal ini bergantung pada kemampuan individu dalam memandang
prioritas kebutuhan tersebut, kemauan untuk terus belajar serta kemampuan dalam memahami
diri sendiri. Sebagai contoh, apabila individu telah memiliki kemampuan membaca, seiring
berjalannya waktu ia akan berusaha untuk memahami isi bacaan tersebut. Pada intinya, ketika
individu telah mendapatkan pengetahuan dasar, ia akan cenderung melakukan self-assesment dan
menjadikannya bekal untuk memenuhi kebutuhan yang lain di waktu yang akan dating.
Beberapa teknik Training Need Assesment yang umum digunakan oleh masyarakat adalah
interview (proses belajar dari bertanya atau mewawancarai orang lain yang dianggap lebih
mampu), observing (proses belajar dari mengamati lingkungan sekitar), working with group
(proses belajar dari penerapan secara langsung ketika bekerja dalam sebuah kelompok).
Selain itu, terdapat beberapa model dalam melakukan identifikasi kebutuhan belajar,
diantaranya adalah sebagai berikut:
1) Model induktif

Model ini digunakan untuk mengidentifikasi jenis kebutuhan belajar yang bersifat felt
needs atau dengan kata lain, kebutuhan belajar dirasakan langsung oleh individu yang
bersangkutan (peserta pelatihan). Model ini mengidentifikasi kemampuan yang sudah dimiliki
individu dan membandingkannya dengan kemampuan standard atau yang diharapkan.
Keuntungan dari model pendekatan ini adalah trainer dapat berkomunikasi secara
langsung dengan peserta pelatihan mengenai kebutuhan peserta, sehingga trainer dapat memilih
materi apa yang cocok dan pelatihan yang diberikanpun dapat berjalan dengan efektif.
Namun, model pendekatan ini memiliki kekurangan yakni dengan banyaknya peserta
pelatihan yang hadir, otomatis semakin banyak pula kebutuhan yang harus dipenuhi dengan
kemampuan individu yang berbeda-beda. Jadi model pendekatan ini akan memakan waktu,
tenaga, dan biaya yang cukup besar.
Adapun langkah-langkah pendekatan ini adalah sebagai berikut:

 Proses pengukuran kemampuan peserta pelatihan, merupakan proses yang dilakukan


oleh trainer kepada peserta pelatihan. Proses ini dapat berupa pre-test, wawancara,
dan lain-lain.
 Pengelompokan kemampuan dalam kawasan program pelatihan, tujuannya adalah
agar pemberian materi dapat berjalan efektif apabila diberikan untuk suatu kelompok
yang memiliki kemampuan relatif sama.
 Membandingkan kemampuan peserta dengan materi pelatihan, tujuannya adalah
untuk mengetahui kebutuhan yang harus dipenuhi peserta atau kemampuan standard
yang harus dimiliki peserta pelatihan.
 Menetapkan kesenjangan, kemampuan, keterampilan untuk menentukan bahan ajar.
 Mengembangkan materi pelatihan atau bahan ajar.
 Melaksanakan pelatihan
 Evaluasi pelatihan
2) Model deduktif

Model ini digunakan untuk mengidentifikasi kebutuhan yang dilakukan secara umum dan
meluas dengan memperhatikan latar belakang pendidikan, usia, jabatan, dan lain-lain. Model
pendekatan ini bersifat expected needs, dimana peserta pelatihan (kelompok) diasumsikan
membutuhkan jenis kebutuhan yang sama.
Trainer mengasumsikan bahwa karakteristik atau kemampuan yang dimiliki peserta
relatif sama sehingga materi pelatihan yang dibuat bersifat massal dan menyeluruh. Dalam
prosesnya, yang menyampaikan kebutuhan belajar biasanya adalah pihak lain yang dianggap
memahami kondisi peserta pelatihan (misalnya: bagian pengembangan SDM dalam sebuah
perusahaan, orang tua, dan lain-lain).
Keuntungan dari model pendekatan ini adalah dengan menggunakan sistem menyeluruh
proses pelatihan akan lebih cepat sebab tidak ada klasifikasi atau pengelompokan khusus, materi
pelatihan juga dapat digunakan berulang kali dan dijadikan sebagai materi pelatihan secara
umum.
Namun di sisi lain, model pendekatan ini juga memiliki kerugian yakni belum tentu
efektif dapat meningkatkan kemampuan peserta pelatihan, sebab peserta pelatihan bersifat
heterogen, memiliki kemampuan, kebutuhan, serta minat yang berbeda-beda. Selain itu muncul
kemungkinan peserta pelatihan akan cepat bosan, tidak fokus, mengantuk, dan malas karena
materi yang diberikan tidak sesuai dengan kebutuhan.
Adapun langkah-langkah dalam pendekatan ini dilakukan secara massal kepada tiga
pihak yaitu:

 Keluarga atau pihak lain yang berkepentingan (dalam konteks pendidikan)


 Pelaksana dan pengelola pelatihan (penyelenggara, trainer, dan pihak lain yang
berpengalaman mengadakan pelatihan)
 Peserta pelatihan

3) Model klasik

Model ini merupakan model pendekatan dengan penyesuaian antara materi pelatihan
yang sudah ada sebelumnya dengan kebutuhan peserta. Model ini memiliki kurikulum tersendiri
sebagai panduan pembuatan materi pelatihan yang tersedia dalam berbagai bentuk, misalnya
kurikulum pelatihan kepemimpinan, modul, handout, dan lain-lain. Identifikasi kebutuhan peserta
pelatihan dilakukan secara terbuka dan langsung di dalam kelas. Berbeda dengan dua
pendekatan sebelumnya, pendekatan ini lebih bertujuan untuk mendekatkan kemampuan yang
sudah dimiliki dengan kemampuan yang akan dipelajari, sehingga kemampuan awal tersebut
dapat menjadi modal untuk memahami materi pelatihan.
Keuntungan dari model pendekatan ini adalah memudahkan peserta memahami materi
pelatihan sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Sedangkan kelemahan dari model
pendekatan ini adalah apabila ditemukan peserta pelatihan yang memiliki kemampuan dibawah
perkiraan, maka membutuhkan waktu yang lebih untuk memberikan pemahaman terhadap peserta
tersebut agar kemampuannya berada di tataran yang sama dengan peserta pelatihan yang lain.
Adapun langkah-langkah pendekatan ini adalah sebagai berikut:

 Mengidentifikasi kemampuan pada tujuan pelatihan


 Mengidentifikasi kemampuan peserta pelatihan, dilakukan oleh trainer dengan pre-test,
wawancara, dan lain-lain untuk menentukan kemampuan yang sudah dimiliki peserta
 Menetapkan kesenjangan kebutuhan pelatihan, proses penyesuaian dengan kurikulum,
modul, handout, dan lain sebagainya.
 Mengembangkan program pelatihan, menyesuaikan dengan kemampuan peserta yang
telah diidentifikasi sebelumnya. Apakah kemampuan yang dimiliki sudah cukup untuk
langsung mendapatkan materi pelatihan atau belum cukup sehingga harus diberikan
supplement atau materi lain untuk meningkatkan kemampuan peserta sampai batas yang
ditentukan oleh trainer sesuai dengan kurikulum yang sudah ada
 Melaksanakan kegiatan pelatihan
 Penilaian

B. Pelatihan berdasarkan proses dan materi (Subject Matter Analysis)

Sebenarnya model pelatiha dengan jenis SMA ini sudah lama dikembangkan dan
digunakan oleh masyarakat, namun saat ini penggunaannya disesuaikan dengan perkembangan
kemampuan peserta pelatihan, masalah yang terjadi, kebutuhan yang harus dipenuhi serta metode
pelatihan yang akan digunakan. Adapun beberapa pelatihan yang menggunakan sistem ini
adalah:
1) Model latihan keterampilan kerja (Skill Training For The Job) yang dikembangkan oleh
Louis Genci (1966) yang menjelaskan empat langkah dalam menyelenggarakan
pelatihan yakni sebagai berikut:
 Mengkaji alasan dilaksanakannya pelatihan dan menetapkan program pelatihan
yang sesuai dengan kebutuhan, penentuan tujuan latihan, analisis isi latihan,
pengorganiasian latihan.
 Merancang tahap pelaksanaan pelatihan dan pemahaman terhadap masalah pada
peserta pelatihan.
 Memilih sajian yang efektif, meliputi materi, teknik penyampaian, sarana,
pengkondisian lingkungan, media belajar, dan lain-lain.
 Pelaksanaan dan penilaian, termasuk di dalamnya proses evaluasi.
2) Model pengembangan strategi latihan yang dikemukakan oleh Otto dan Glaser (1970)
dalam bukunya yang berjudul “The Management of Training: A Handbook fpr Training
and Development Personnel”. Dimana model ini terdiri dari lima langkah yakni sebagai
berikut:
 Analisis masalah latihan
 Perumusan dan pengembangan tujuan pelatihan
 Pemilihan bahan latihan, media belajar, metode, dan teknik latihan
 Penyusunan kurikulum dan topik latihan
 Penilaian

3) Model rancang bangunan latihan dan evaluasi (Training Design and Evaluation Model)
atau model tujuh langkah (The Seven-steps Model) yang dikemukakan oleh Parker
(1976) dengan tujuh langkah pelatihan yakni:
 Identifikasi dan analisis kebutuhan latihan
 Merumuskan dan mengembangkan tujuan latihan
 Merancang kurikulum latihan
 Memilih dan mengembangkan metode pelatihan
 Menentukan pendekatan evaluasi latihan
 Melaksanakan pelatihan
 Pengukuran hasil latihan dan evaluasi

VIII. EFEKTIVITAS PROGRAM PELATIHAN


Untuk mendapatkan tenaga kerja yang bersumberdaya manusia yang baik dan tepat sangat
perlu adanya pelatihan. Tujuan dari program pelatihan ini adalah untuk meningkatkan kualitas
kerja, ketrampilan, produktivitas kerja dan pengetahuan dari setiap karyawan sesuai dengan
keinginan perusahaan (Triyono, 2012). Meski demikian tetap ada saja yang mengalami persoalan
keefektifitasan sebuah pelatihan, ada beberapa hal yang harus dilakukan, misalnya menganalisis
kebutuhan karyawan, menerapkan materi yang sesuai, adanya fasilitas yang memadai,
mempunyai tujuan pelatihan yang jelas, memiliki instruktur yang mampu menjelaskan dengan
baik, mengevaluasi program pelatihan tersebut, dan meningkatkan program pelatihan (Triyono,
2012).
Menurut Triyono (2012) pelatihan bertujuan untuk memperbaiki penguasaan berbagai
keterampilan dan teknik pelaksanaan kerja tertentu untuk kebutuhan sekarang. Fathoni (2006)
mengatakan tujuan diadakan pelatihan terhadap sumber daya manusia agar dapat meningkatkan
kepribadian dan semangat pengabdian kepada organisasi dan masyarakat, meningkatkan mutu
dan kemampuan, serta ketrampilan baik dalam melaksanakan tugasnya maupun
kepemimpinannya, melatih dan meningkatkan mekanisme kerja dan kepekaan dalam
melaksanakan tugas, melatih dan meningkatkan kerja dalam merencanakan, dan meningkatkan
ilmu pengetahuan dan keterampilan kerja.
Dessler (2004) menyatakan bahwa setelah karyawan yang dilatih itu telah menyelesaikan
pelatihannya, perusahaan mengevaluasi program tersebut untuk melihat pencapaian sasaran dari
program itu. Ada empat kategori dasar dari hasil pelatihan yaitu: 1. Reaksi: Evaluasilah reaksi
orang yang dilatih terhadap program itu. 2. Pembelajaran: Ujilah orang-orang itu untuk
menentukan apakah mereka telah mempelajari prinsip, keterampilan, dan fakta yang seharusnya
mereka pelajar. 3. Perilaku: Tanyakanlah apakah perilaku dalam bekerja, orang-orang yang
dilatih itu mengaklami perubahan karena program pelatihan tersebut. 4. Hasil: Hasil akhir yang
dicapai dalam sasaran pelatihan.
Kirkpatrick (1998) menyatakan evaluasi pelatihan sangat penting untuk memastikan
efektivitas program pelatihan (dalam Mohamed, 2012). Menurut Rama dan Vaishnavi (2012)
mengukur efektivitas program pelatihan mengkonsumsi waktu yang berharga dan sumber daya.
Pelatihan yang efektif harus memiliki beberapa jenis hasil positif dalam hal pertama adalah
bahwa karyawan harus mengerti peran dan tanggung jawab pekerjaan mereka, memenuhi
kebutuhan karyawan, memberikan umpan balik yang positif, kepuasan karyawan, motivasi dan
keterampilan, pengetahuan, biaya dan waktu. Pelatihan yang dilakukan mengeluarkan banyak
biaya tetapi komplain terus meningkat itu menandakan bahwa pelatihan itu tidak efektif.
Preplanning untuk program pelatihan harus dilakukan oleh karyawan untuk peningkatan tingkat
partisipasi yang akan mencerahkan program pelatihan yang efektif dalam organisasi.
Menurut Gomes (2000, p.209), untuk mengukur efektivitas suatu program pelatihan dapat
dievaluasi berdasarkan informasi yang diperoleh pada tingkatan organizational result, yaitu
untuk menguji dampak pelatihan terhadap kelompok kerja atau organisasi secara keseluruhan.
Data bisa dikumpulkan berdasarkan kriteria produktivitas, pergantian, motivasi, kepuasan,
kecelakaan-kecelakaan, keluhan-keluhan, perbaikan kemampuan dan keterampilan, kepuasan
klien dan sejenis lainnya. Kemudian, cost effectivity, dimaksudkan untuk mengetahui besarnya
biaya dan waktu yang dihabiskan bagi program pelatihan, dan apakah besarnya biaya dan waktu
untuk pelatihan tersebut terhitung kecil atau besar dibandingkan biaya yang timbul dari
permasalahan yang dialami oleh organisasi.
Sedangkan Noe (2002) menyatakan suatu progam pelatihan dapat dikatakan efektif jika
hasil dari pelatihan itu dapat memberikn manfaat bagi perusahaan dan peserta pelatihan.
Manfaat bagi peserta berupa umpan balik yang positif seperti memenuhi kebutuhan karyawan,
peningkatan pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan, pemahaman terhadap tugas dan
tanggung jawabnya. Sedangkan manfaat bagi perusahaan dapat mencakup peningkatan
penjualan dan peningkatan konsumen.
Menurut Gomes (2003) terdapat lima ukuran atau indikator dari efektivitas pelatihan, yaitu
sebagai berikut :
a. Reaksi (reactions), merupakan ukuran efektivitas pelatihan yang dilihat dari reaksi para
peserta pelatihan, terutama reaksi yang bersifat langsung.
b. Proses belajar (learning), merupakan ukuran efektivitas pelatihan yang dilihat dari
seberapa besar peserta pelatihan mampu menyerap ilmu pengetahuan yang diberikan
dalam pelatihan.
c. Perubahan perilaku (behaviour), berupa dampak dari perilaku adanya perubahan sikap
dari sebelum pelatihan dan sesudah pelatihan.
d. Hasil (organizational results), merupakan ukuran efektivitas pelatihan yang dilihat dari
pencapaian tujuan organisasi karyawan, kualitas kerja, efisiensi waktu, jumlah output
dan penurunan pemborosan.
Efektivitas Biaya (cost effectivity), untuk mengetahui besarnya biaya yang dihabiskan bagi
program pelatihan, dan apakah besarnya biaya untuk pelatihan tersebut terhitung kecil atau
besar dibandingkan biaya yang timbul dari permasalahan yang dialami organisasi.

DAFTAR PUSTAKA
[1] Angkasa, Nathalia, dan Roy Setiawan. (2007). Studi Deskriptif Efektivitas dan Pelatihan Kerja Pada PT.
Nenggapratama Internusantara di Manado. Jurnal Agora, Vol. 2 No.1. Diunduh dari
https://media.neliti.com/media/publications/35990-ID-studi-deskriptif-efektivitas-dan-pelatihan-kerja-pada-pt-
nenggapratama-internusa.pdf
[2] Brinkerhoff, R.O., Brethower,., & D.M., Hluchyj, T. 1983. Program evaluation : A practitioner’s guide for trainers
and educators. Boston : Kluwer Nijhoft.
[3] Candra, Muhammad A.A., dan Susi Sulandari. (2017). Efektivitas Program Pelatihan Dalam UPTD Balai Latihan
Kerja Dinas Tenaga Kerja Transmigrasi dan Sosial Kabupaten Blora. Jurnal Kebijakan Publik dan Tinjauan
Manajemen, Vol. 6 No.3. Diunduh dari https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/jppmr/article/view/16684/16039
[4] Hasibuan, M. 2010. Manajemen sumber daya manusia. Jakarta: PT Bumi Aksara.
[5] Johan, L. (2018). Model-Model Pelatihan dan Metode-Metode Pelatihan (online). Diunduh dari http://slideplayer.info
[6] Kamil, M. (2013). Model-Model Pelatihan. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.

[7] Mangkunegara, A.A. 2006. Perencanaan dan pengembangan manajemen sumber daya manusia. Bandung: PT Refika
Aditama.
[8] Manullang, M. 2004. Manajemen Personalia. Jakarta: Ghalia Indonesia.
[9] Panggabean, S., Mutiara (2004). Manajemen Sumber Daya Manusia. Bogor: Ghalia Indonesia.
[10] Purwanto. & Suparman, A. (1999). Evaluasi program diklat. Jakarta: Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi, Lembaga
Administrasi Negara.
[11] Sitorus, H. M. Tania, P. (2012). Evaluasi pelaksanaan pelatihan berdasarkan konsep Kirkpatrick & Kirkpatrick: Studi
kasus di PT Bandung. Simposium Nasional RAPI XI FT UMS. :92-97
[12] Sudjana, N. & Ibrahim. (2004). Penelitian dan penilaian pendidikan. Bandung: Sinar Bru Algesindo.
[13] Weiss, C. H. (1972). Evaluation research. New Jersey: Prentice Hall
[14] Widoyoko, S. E. P. (2017). Evaluasi program pelatihan. Yogyakarta: Pustaka Belajar

Anda mungkin juga menyukai