Anda di halaman 1dari 7

Pertanyaan :

1. Apa pemahaman Saudara/i mengenai konsep hutang pemerintah?

2. Apa pendapat Saudara/i tentang pengelolaan hutang pemerintah yang dijalankan selama ini
oleh Pemerintah Republik Indonesia ?

Jelaskan dan berikan ilustrasi yang dapat memperkuat penjelasan jawaban yang Saudara/i
berikan !

Jawaban :

1. Konsep hutang pemerintah

Kebijakan fiskal yang populer di hampir seluruh negara di dunia pada saat ini adalah
defisit anggaran dibandingkan dengan surplus anggaran ataupun anggaran berimbang.
Kebijakan fiskal dalam perekonomian yaitu penerimaan dan belanja pemerintah. Fiskal
berfungsi dalam perkembangan perekonomian yaitu sebagai alokasi yang dapat
mendistribusikan dan dapat menyetabilkan suatu anggaran yang ada. Fiskal bertujuan untuk
menciptakan kondisi makro dalam perekonomian secara kondusif agar dapat mencapai
pertumbuhan ekonomi secara maksimal, dan dapat menciptakan lapangan pekerjaan yang
dapat mengurangi jumlah pengangguran yang ada saat ini. Berbanding terbalik dengan tujuan
fiskal, kebijakan fiskal surplus anggaran memiliki kekurangan yaitu membuat kodisi yang
cenderung tidak dapat mendorong pertumbuhan perekonomian suatu negara atau
membuatnya stagnan/tetap, sedangkan menurut Laurance Seidman dalam bukunya Public
Finance, kekurangan dari kebijakan fiskal anggaran berimbang lebih beresiko, anggaran
berimbang mempunyai aturan yang paling sederhana adalah larangan meminjam (atau
mencetak uang), sehingga pengeluaran pemerintah tidak akan pernah melebihi penerimaan
pajak. Tidak ada alasan yang diizinkan. Ini mungkin disebut aturan anggaran seimbang
“selalu” atau aturan anggaran seimbang “tanpa alasan”. Misalkan perekonomian normal
(tidak dalam resesi atau booming) dan pengeluaran pemerintah sama dengan penerimaan
pajak, maka anggarannya seimbang. Kemudian ekonomi jatuh ke dalam resesi. Secara
otomatis pendapatan pajak turun karena resesi mengurangi output yang dihasilkan dan
pendapatan yang diperoleh dan, karenanya, pendapatan pajak dikumpulkan. Dengan
penerimaan pajak yang turun, pemerintah meminjam untuk menjaga agar pengeluaran tidak
turun, dan anggaran mengalami defisit. Apa yang akan terjadi jika pemerintah dipaksa untuk
mengikuti aturan anggaran yang selalu berimbang? Pemerintah harus segera memotong
pengeluaran atau menaikkan pajak. Pertimbangkan dampak dari setiap tindakan fiskal
terhadap perekonomian. Jika pemerintah memotong pembeliannya, perusahaan yang
memasok barang kepada pemerintah —pesawat untuk militer, komputer untuk sekolah
umum— akan memangkas produksi dan lapangan kerja, membuat resesi semakin parah. Jika
pemerintah memotong belanja transfer tunai —Jaminan Sosial atau tunjangan
kesejahteraan— penerima akan mengurangi konsumsi mereka, membuat resesi semakin
parah. Jika pemerintah menaikkan pajak, pembayar pajak akan mengurangi konsumsinya,
membuat resesi semakin parah. Tidak peduli bagaimana pemerintah menyeimbangkan
anggarannya, tindakannya akan memperburuk resesi. Para ekonom hampir sepakat dalam
menyetujui bahwa aturan yang membutuhkan penyeimbangan anggaran yang cepat di tengah
resesi adalah berbahaya, karena akan memperburuk resesi.

Sesuai dengan tujuan fiskal untuk menciptakan kondisi makro dalam perekonomian
secara kondusif agar dapat mencapai pertumbuhan ekonomi secara maksimal, kebijakan
fiskal defisit anggaran merupakan langkah yang tepat karena dapat mempercepat
pertumbuhan ekonomi melakukan pembangunan, investasi dan program-program lainnya
seperti pembangunan infrastruktur, program pertahanan dan keamanan negara, program
dibidang pendidikan dan kesehatan, dan lain-lain. Namun sebuah konsekuensi dari penetapan
kebijakan fiskal defisit anggaran adalah kewajiban menutupi pembiayaan pengeluaran yang
lebih besar dibandingkan pemasukannya. Beberapa cara mengatasi defisit anggaran yaitu
dapat dilakukan dari sisi penerimaan dan dari sisi pengeluaran. Dari sisi penerimaan,
pemerintah bisa melakukan beberapa hal seperti meminjam dana dari dalam negeri,
menerbitkan obligasi, meminjam dana dari luar negeri hingga meningkatkan penerimaan
pajak sebagai sumber utama penghasilan negara. Sedangkan dari sisi pengeluaran, defisit bisa
diatasi dengan cara mengurangi pengeluaran subsidi, penghematan setiap pengeluaran rutin,
mengevaluasi pengeluaran berdasarkan prioritas dan mengurangi biaya untuk program yang
tidak efektif. Sejalan dengan tujuan dari fiskal itu sendiri, maka sisi penerimaan lah yang
paling efektif dan efisien harus ditingkatkan. Permasalahan klasik di negara-negara
berkembang adalah perlunya dana yang sangat besar untuk melaksanakan program
pembangunan, sementara di lain pihak kemampuan mobilisasi dana dari masyarakat relatif
rendah. Karena hal tersebut, maka pemerintah paling tepat mengambil kebijakan untuk
melakukan pinjaman (berhutang). Hutang negara adalah pinjaman yang dilakukan oleh
pemerintah guna membiayai berbagai pengeluaran negara, terutama untuk mendukung proses
pembangunan.
Menurut Holley H. Ulbrich dalam bukunya Public Finance in Theory and Practice,
Hutang adalah hasil kumulatif dari surplus dan defisit masa lalu, stok IOU pemerintah yang
pada akhirnya harus dilunasi dan yang menghasilkan kewajiban pembayaran hutang dalam
anggaran tahun berjalan. Layanan hutang mengacu pada pembayaran bunga dan pembayaran
kembali pokok sebagai biaya operasi. Sedangkan defisit adalah selisih antara pengeluaran dan
pendapatan pada tahun tertentu (surplus jika pendapatan melebihi pengeluaran). Laurance
Seidman dalam bukunya Public Finance menuliskan Hutang adalah saham yang diukur pada
suatu titik waktu, dan defisit adalah aliran yang terjadi selama periode waktu —satu tahun.
Menurut asalnya hutang pemerintah dapat dibagi menjadi Hutang/ Pinjaman dalam negeri
merupakan pinjaman yang berasal dari sumber-sumber pembiayaan dalam negeri contohnya
pemerintah menerbitkan obligasi (surat hutang) yang akan dibeli oleh masyarakat dan
pinjaman luar negeri merupakan pinjaman yang diperoleh dari sumber-sumber luar negeri
contohnya negara meminjam/berhutang kepada IMF (International Monetary Fund). Dilihat
dari sumbernya pinjaman/ hutang negara teridiri dari individu yaitu, negara dapat meminjam
atau berhutang kepada masyarakat, melalui penerbitan obligasi, dari perusahaan dan lembaga
keuangan Non-bank, dari Lembaga perbankan dan dari Bank Sentral. Macam hutang negara
ada 2 yaitu Reproductive debt dan dead weight debt. Reproductive debt merupakan jenis
hutang yang jumlah keseluruhannya dijamin oleh kekayaan yang dimiliki oleh negara atas
dasar nilai yang sama, pembayaran cicilan hutang dan bunga reproductive debt diambil dari
kekayaan negara atau hasil usaha negara sesuai dengan jangka waktu dan kesepakatan yang
ada contohnya Negara yang menjaminkan tambang emas freeport dalam hutang negaranya,
maka pembayaran bunga atas hutang tersebut dapat diambil dari hasil tambang emas serta
apabila negara tidak dapat melakukan pembayaran hutang maka tambang emas sebagai
jaminan hutang akan menjadi milik pemberi hutang. Dead weight debt merupakan hutang
yang tidak disertai dengan jaminnan kekayaan yang dimiliki oleh negara. Sedangkan
pembayaran hutang dan bunga dead weight debt bersumber pada penerimaan lainnya,
misalnya pajak, serta masa pengembaliannya tidak ada ketentuan pengaitan kekayaan negara
untuk melunasinya. Pengelolaan hutang negara seyogyanya dilakukan dengan cara yang
cermat dan sebaik mungkin, menurut Holley H. Ulbrich dalam bukunya Public Finance in
Theory and Practice, menyebutkan bahwa utang itu “dimiliki” oleh generasi mendatang.
Selama biaya untuk membayar hutang — membayar bunga dan menebus beberapa obligasi
saat jatuh tempo — bukan merupakan bagian yang berlebihan dari anggaran federal, atau
tidak tumbuh lebih cepat daripada perekonomian secara keseluruhan, maka hutang tersebut
tidak menjadi beban generasi masa depan. Beberapa dari utang tersebut mungkin telah
dikeluarkan untuk mendanai modal publik yang akan bermanfaat bagi generasi mendatang.
Tetapi jika biaya pelunasan utang tumbuh lebih cepat daripada ekonomi, dan lebih cepat
daripada pendapatan pemerintah, generasi mendatang harus membayar pajak yang lebih
tinggi atau menikmati layanan publik yang lebih sedikit daripada generasi yang menanggung
utang ini. Pemerintah harus teliti mengenai pengelolaan hutang yang berimplikasi terhadap
beban hutang yang pinjaman/hutang pemerintah. Laurance Seidman dalam bukunnya Public
Finance mengugkapkan hal yang sama mengenai beban pinjaman/hutang pemerintah yaitu
pinjaman pemerintah mengalihkan beban pengeluaran pemerintah saat ini dari pembayar
pajak hari ini menjadi pembayar pajak masa depan. Jika pemerintah meminjam dengan
menjual obligasi, pemerintah harus membayar bunga kepada pemegang obligasi. Untuk
membayar bunga, wajib pajak di masa depan harus membayar pajak tambahan. Pembayar
pajak pada saat pemerintah meminjam lebih baik, tetapi pembayar pajak di masa depan lebih
buruk. Namun manakala belanja modal hari ini (mis., Jalan raya, sekolah) terutama
menguntungkan pembayar pajak di masa mendatang, sangatlah tepat untuk mengalihkan
sebagian beban kepada pembayar pajak di masa mendatang dengan meminjam. Selain itu
pengelolaan hutan/pinjaman negara harus ditujukan untuk membiayai kegiatan/program yang
dapat menghasilkan pendapatan bukan untuk membiayai anggaran operasional serta melalui
mekanisme pengawasan yang efektif karena pada dasarnya pembiayaan pembangunan yang
bertumpu pada hutang dalam jangka pendek pertumbuhan ekonomi tidak akan berpengaruh,
tetapi dalam jangkap anjang, negara dapat terjerumus pada debt trap.

2. Pengelolaan hutang pemerintah yang selama ini dijalankan Pemerintah Republik


Indonesia

Sebelum tahun 2000 Pemerintah Republik Indonesia menganut sistem anggaran


berimbang, namun kemudian setelahnya hingga sekarang digantikan dengan sistem defisit
anggaran dimana pemerintah ingin mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi tertentu sehingga
belanja pemerintah perlu diperbesar namun dari sisi penerimaan Negara belum mampu
mengimbangi. Konsekuensi umum yang paling relevan dengan diterapkannya kebijakan
fiskal defisit anggaran adalah melakukan pinjaman atau hutang daripada dengan mencetak
uang yang pada akhirnya akan menyebabkan inflasi. Pengertian Hutang negara berdasarkan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan, Hutang negara adalah
jumlah uang yang wajib dibayar Pemerintah Pusat dan/atau kewajiban Pemerintah Pusat yang
dapat dinilai dengan uang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
perjanjian, atau berdasarkan sebab lainnya yang sah. Mengutip media elektronik CNBC
Indonesia, Bank Indonesia (BI) hari ini tanggal 14 april 2020 merilis Statistik Utang Luar
Negeri Indonesia (SULNI). Posisi Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia pada Februari
mencapai US$ 405,7 miliar. Jika mengacu pada kurs referensi BI yakni JISDOR pada hari ini
(Rp 15.707/US$) maka total ULN Indonesia pada Februari lalu mencapai Rp 6.372,3 triliun.
Jumlah tersebut setara dengan 35,9% Produk Domestik Bruto (PDB) pemerintahan Republik
Indonesia. Utang tersebut mencakup ULN pemerintah, bank sentral dan swasta termasuk di
dalamnya juga utang miliki Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Utang tersebut digunakan
untuk berbagai kebutuhan guna membiayai kebutuhan perekonomian Tanah Air seperti
membiayai ekspansi ekonomi seperti pembangunan infrastruktur, membayar bunga dan
cicilan utang hingga menangani pandemi seperti sekarang ini. Jikalau merujuk kutipan
tersebut, maka hutang Indonesia belum melewati batas aturan yang ditetapkan dalam
Undang-undang yaitu Batasan defisit anggaran belanja di atur dalam penjelasan pasal 12 ayat
3 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Defisit anggaran
ditetapkan maksimal sebesar 3% dan utang maksimal 60% dari Produk Domestik Bruto
(PDB). Batasan defisit anggaran tersebut menggunakan pembanding PDB karena pemerintah
ingin mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang diukur dengan indicator PDB. Akan
tetapi permaslahan hutang luar negeri bagi negara-negara berkembang adalah sangat rumit,
sebab pertama yaitu hutang luar negeri pada negara berkembang yang nominalnya sangat
besar dan jangka jatuh tempo yang lama, Kedua, Pemanfaatan hutang luar negeri yang
kurang bijak. Menurut Laurance Seidman dalam bukunya Public Finance, Meminjam dalam
keadaan darurat yang sesungguhnya adalah tepat. Meminjam untuk membiayai hidup tahan
lama seperti rumah atau uang sekolah untuk pendidikan yang akan meningkatkan
produktivitas dan penghasilan dijamin, asalkan bunga ditambah pembayaran tidak relatif
besar untuk penghasilan masa depan. Jika pendapatan rendah hari ini tetapi pasti akan tinggi
esok hari, masuk akal untuk meminjam agar dikonsumsi —yaitu, tetap lebih banyak daripada
penghasilan antara hari ini dan besok. Pemerintah harus menjaga agar hutang tidak menjadi
relatif besar terhadap penghasilan, sehingga pembayaran bunga tidak menyerap persentase
yang terlalu besar dari penghasilan. Dengan kata lain, pemerintah dapat melakukan pinjaman/
hutang apabila telah memperhitungkan pendaptan masa depan untuk membayar
hutang/pinjaan yang jatuh tempo supaya tidak terjebak hutang. Yang kedua, Apakah
pinjaman membebani generasi mendatang? Apakah pemerintah membebani generasi
mendatang dengan meminjam? Apakah adil untuk mengalihkan beban belanja pemerintah
saat ini? Tergantung. Jika pengeluaran pemerintah saat ini menguntungkan hari ini tetapi
tidak bagi pembayar pajak masa depan, sebagian besar akan setuju bahwa perubahan itu tidak
adil. Tetapi jika pengeluaran pemerintah saat ini terutama menguntungkan pembayar pajak di
masa depan, sebagian besar akan setuju bahwa perubahan itu adil. Perhatikan dua contoh.
Misalkan pengeluaran pemerintah hari ini adalah transfer tunai satu kali untuk lansia hari ini
(satu kali tambahan untuk manfaat Jaminan Sosial hari ini). Meminjam untuk membiayai
transfer akan mengalihkan beban kepada pembayar pajak masa depan yang tidak menerima
manfaat langsung dari transfer tersebut. Sebaliknya, misalkan pengeluaran pemerintah hari
ini adalah untuk mengusir invasi oleh negara penyerang atau untuk membangun jalan raya
yang akan bertahan bertahun-tahun. Meminjam untuk membiayai pengeluaran ini akan
mengalihkan beban kepada pembayar pajak masa depan yang mendapatkan keuntungan dari
kedua pengeluaran tersebut; memungut pajak daripada meminjam akan secara tidak adil
menempatkan seluruh beban pada pembayar pajak saat ini. Jadi, meminjam tidak tepat jika
pengeluaran pemerintah tidak menguntungkan pembayar pajak di masa mendatang, tetapi
sesuai jika memang menguntungkan mereka. Hal ini kadang-kadang dinyatakan sebagai
perbedaan antara pengeluaran "saat ini" dan "pengeluaran modal". Pengeluaran saat ini (atau
operasi) harus dibiayai dengan pajak, tetapi pengeluaran modal harus dibiayai dengan
pinjaman. Bisa disimpulkan bahwa pengelolaan hutang pemerintahan indonesia sudah
seharusnya digunakan sebagai pengeluaran modal bukan pengeluaran saat ini atau
operasional. Sedangkan menurut Holley H. Ulbrich dalam bukunya Public Finance in Theory
and Practice, pinjaman/ hutang negara sebaiknya digunakan untuk membiayai untuk modal
sektor publik bergantung pada argumen kegagalan pasar, termasuk barang publik (persaingan
rendah, pengecualian rendah), barang jasa, atau eksternalitas positif; karakteristik monopoli
dari beberapa jenis layanan yang disediakan infrastruktur publik; atau kurangnya pendanaan
pribadi karena berbagai jenis risiko. Kemudian Holley menyarankan bahwa untuk pemerintah
terdapat anggran operasional dan anggaran modan, pengelolaan hutang/pinjaman sebaiknya
digunakan pada anggaran modal, sedangkan anggaran operasionnal menggunakan
penerimaan pajak. Adapun beberapa koreksi mengenai pengelolaan hutan/pinjaman negara
Republik Indonesia antara lain adalah Pertama, strategi pengembangan pasar surat berharga
negara domestik belum efektif mendukung pencapaian pasar SBN yang dalam, aktif, dan
likuid. Dampaknya, imbal hasil atau yield obligasi pemerintah menjadi lebih tinggi
dibandingkan dengan negara-negara peer. Kedua, pengelolaan utang pemerintah pusat belum
didukung oleh peraturan manajemen risiko keuangan negara dan penerapan analisis fiskal
yang berkelanjutan, termasuk utang yang berkelanjutan secara komprehensi. Dengan
demikian, utang pemerintah saat ini berpotensi menimbulkan gangguan atas keberlangsungan
fiskal di masa mendatang. Ketiga, pemanfaatan utang untuk kegiatan produktif tidak
memiliki parameter dan indikator pencapaian. Ini berpotensi mempengaruhi kemampuan
membayar kembali utang pemerintah pada masa mendatang. Keempat, salah satu risiko
ekonomi Indonesia adalah struktur utang pemerintahnya. Ekonomi pemerintah Republik
Indonesia bergantung pada investasi asing, sehingga sekitar 40% dari utang pemerintah
adalah dalam bentuk mata uang asing. Alasan lainnya adalah karena hampir 40% obligasi
mata uang lokal dipegang oleh investor asing. Ini membuat Indonesia rentan terhadap risiko
arus pembalikan modal dan pelemahan rupiah bila terjadi guncangan global.

Alternatif mengatasi masalah hutang luar negeri anatara lain adalah pertama
mengimplementasikan berbagai paket deregulasi ekonomi, contohnya dengan mendorong
daya saing industri nasional melalui deregulasi, debirokratisasi serta penegakan hukum dan
kepastian usaha. Kedua, Pelaksanaan clean & good governance, yaitu dengan penerapan
transparansi anggaran dan pencegahan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme yang akan mengawal
kebijakan pembangunan sesuai tujuan. Ketiga, meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia
merupakan aset yang berharga dimasa depan. Keempat, memacu ekspor, sehingga
meningkatkan pendapatan devisa negara yang dapat menjadi sumber dana segar bagi
pertumbuhan ekonomi.

Anda mungkin juga menyukai