A. Penilaian Perusahaan
Dalam dunia investasi, penilaian dilakukan oleh investor terhadap sebuah aset atau
liability sebelum ia memutuskan untuk menjual dan membelinya. Penilaian diperlukan
untuk penganggaran modal, penentuan pajak, penentuan agunan keredit, lelang properti,
merger, akuisisi, dan sebagainya. Dalam teori keuangan, tugas seorang manajer adalah
memaksimumkan nilai perusahaan melalui berbagai kebijakan dan keputusan yang
dibuattnya. Dalam kedudukannya sebagai agen, ia mendapat amanah dari pemegang
saham (pemilik perusahaan) untuk membuat keijakan agar nilai perusahaan meningkat
dan akan meningkatkan kesejahteraan para pemegang saham. Dengan demikian kinerja
seorang manajer selalu dikaitkan dengan keberhasilannya dalam meningkatkan nilai
perusahaan.
Keterangan:
FC F 1 F C2 F Cn
V= + + ... +
( 1+WACC )1 ( 1+WACC )2 ( 1+WACC )n
Keterangan:
V = Nilai perusahaan
Berdasarkan kedua rumus diataas, nilai perusahaan dapat dihitung dengan melihat
kemampuan perusahaan dalam 2 hal yaitu:
Peningkatan arus kas bebas dan (atau) penurunan biaya modal rata-rata akan
meningkatkan nilai perusahaan. Sehingga, kemampuan manajer yaitu untuk membuat
kebijakan yang mampu meningkatkan penerimaan penjualan, menekan biaya operaional,
serta menekan biaya modal merupakan komponen utama penentu nilai perusahaan.
Rumus diatas mengasumsikan arus kas konstan dan tingkat pertumbuhan normal
(tidak lebih besar daripada tingkat pendiskonto yang dipakai).
Keterangan:
P0 = Harga saham
D1 = Dividen tahun pertama
r = Biaya ekuitas
g = Tingkat pertumbuhan dividen
Pada konsep kesempatan pertumbuhan, nilai ekuitas (harga saham) ditentukan oleh 2
elemen (Shefrin, 2007) yaitu:
1. Nilai perusahaan apabila semua laba dibagikan sebagai dividen
2. Net Present Value proyek yang dibiayai oleh sebagian laba yang akan datang.
Bagian ini menggambarkan nilai sekarang kesempatan bertumbuh. Semakin tinggi
NPV proyek yang dibiayai oleh retained earnings, maka semakin tinggi
kesempatan perusahaan tumbuh. Kesempatan tumbuh merupakan faktor penentu
price-earnings ratio (P/E) atau rasio harga per lembah saham terhadap pendapatan
per lembar saham. Semakin tinggi kesempatan tumbuh suatu perusahaan, maka
semakin tinggi rasio P/E nya.
Salah satu perilaku yang sering ditunjukkan ketika memprediksi masa depan adalah
keyakinan yang berlebihan (overconfident) atau disebut sebagai perilaku optimisme
berlbebihan (excessive optimism). Perilaku tersebut berpotensi menciptakan bias dalam
prediksi.
1. Model penilaian oleh Brigham dan Ehrhardt (penilaian ditentukan oleh prediksi
arus kas bebas dimasa mendatang): keyakinan berlebihan akan kemampuan
perusahaan akan menghasilkan arus kas bebas akan terjadi over-valuation
terhadap aset.
2. Model pertumbuhan konstan (estimasi tingkat pertumbuhan): keyakinan
berlebihan terhadap tingkat pertumbuhan akan mengakibatkan terlalu besarnya
nilai perusahaan. Ketika pertumbuhan diindikasikan oleh NPV, keyakinan yang
berlebihan akan mengakibatkan bias penilaian kelayakan proyek dan akan
mengakibatkan bias dalam memprediksi pertumbuhan. Pada akhirnya akan terjadi
penilaian berlebihan terhadap harga saham untuk tingkat pendapatan per lembar
saham (rasio P/E).
Keyakinan berlebihan dan penilaian terlalu tinggi akan mengakibatkan munculnya
permasalahan dimasa mendatang. Keputusan investasi didasarkan pada perilaku
overconfidence akan menyebabkan kesalahan investasi.
Dalam lingkup makro, keyakinan yang berlebihan akan membuka peluang bisnis
suatu sektor bisa mengakibatkan gelembung harga. Umumnya kasus investasi
berlebihan (overinvestment) akan mengakibatkan tingginya elemen biaya tetap,
adanya kapasitas menganggur berlebihan, dan pada akhirnya berpotensi
mengakibatkan tingginya biaya ekonomi. Artinya daya saing makro akan berkurang.
Penilaian atas perrusahaan mungkin harus dilakukan melalui proses yang bisa saja
tidak sederhana. Nilai hakiki perusahaan seharusnya dihitung dengan metoda-metoda
yang benar dan langkah-langkah yang tepat, agar tidak ada pihak yang dirugikan oleh
kesalahan penilaian. Pihak-pihak yang berpotensi untuk dirugikan antara lain yaitu
investor, pemilik, kreditur, bahkan pemerintah.
Biaya modal minimal misalnya, seharusnya dicari terlebih dahulu dengan menentukan
komposisi hutang dan ekuitas yang optimal. Optimal bagi sebuah perusahaan belum tentu
optimal bagi perusahaan lain. Optimal dalam situasi tertentu belum tentu optimal bagi
situasi lain. Dengan demikian, perhitungan tetap harus dilakukan. Seringkali manajemen
pengalaman keberhasilan di masa lalu dalam menerapkan komposisi tersebut dijadikan
pedoman dan dianggap sebagai dasar untuk keputusan selanjutnya. Tidak jarang
perusahaan telah menetapkan angka sebagai hudle rate untuk dijadikan pegangan
penentuan kelayakan investasi, karena menurut pengalaman yang telah dilalui.
Hindsight bias sering ditemukan dalam proses penilaian. Sebelum sesuatu aktivitas
dilaksankan, sehingga tidak ragu akan melakukan langkah-langkah. Perilaku ini banyak
dilakukan seseorang yang telah melakukan hal yang sama berkali-kali. Dalam konteks
makro, perilaku hindsight pernah ditunjukkan oleh sebagian orang (analis maupun
investor) di Amerika Serikat saat terjadi krisis di tahun 2008 (terjadi karena
ketidaklancaran pengambilan kredit perumahan yang sebelumnya mudah didapat) melihat
kondisi di sektor kredit perumahan tahun-tahun sebelumnya ketika kredit perumahan
melonjak (2003-2007 dengan gejala bubble) mereka meyakini akan terjadi krisis dalam
waktu dekat. Jumlah analis maupun investor yang terlalu dikit, sehingga ketika krisis
muncul, kepanikan pasar terjadi.
Pada kasus gelembung dotcom, patut diduga bahwa perilaku representativeness ikut
memperbesar gelembung harga ketika para pelaku pasar mempunyai ekspektasi yang
berlebihan terhadap pertumbuhan perusahaan-perusahaan yang bergerak dalam bidang
jasa internaet. Dapat dikatakan bahwa orang-orang tidak memilih, asalkan saham
diterbitkan oleh perusahaan jasa internet, akan mereka beli. Pada hal ini bertentangan
dengan prinsip penilaian yang diajarkan pada buku Manajemen Keuangan.