Anda di halaman 1dari 5

Penilaian Perusahaan

A. Penilaian Perusahaan

Dalam dunia investasi, penilaian dilakukan oleh investor terhadap sebuah aset atau
liability sebelum ia memutuskan untuk menjual dan membelinya. Penilaian diperlukan
untuk penganggaran modal, penentuan pajak, penentuan agunan keredit, lelang properti,
merger, akuisisi, dan sebagainya. Dalam teori keuangan, tugas seorang manajer adalah
memaksimumkan nilai perusahaan melalui berbagai kebijakan dan keputusan yang
dibuattnya. Dalam kedudukannya sebagai agen, ia mendapat amanah dari pemegang
saham (pemilik perusahaan) untuk membuat keijakan agar nilai perusahaan meningkat
dan akan meningkatkan kesejahteraan para pemegang saham. Dengan demikian kinerja
seorang manajer selalu dikaitkan dengan keberhasilannya dalam meningkatkan nilai
perusahaan.

B. Konsep Penilaian Konvensional


a) Brigham dan Ehrhardt (2010)
mengatakan bahwa nilai perusahaan ditentukan oleh jumlah nilai sekarang dari arus
kas bebas (free cash flow) dimasa mendatang dengan menggunakan biaya modal rata-
rata (weighted average cost of capital atau WACC) sebagai tingkat pendiskonto. Arus
kas bebas ini akan menggambarkan kinerja finansial perusahaan yang merupakan arus
kas operasi setelah dikurangi pengeluaran kapital (capital expenditure). Dengan
demikian arus kas bebas menggambarkan kemampuan perusahaan untuk
menghasilkan sejumlah kas setelah dikurangi sejumlah tertentu yang diperlukan untuk
mempertahankan atau meningkatkan aset perusahaan (arus kas bebas menentukan
nilai perusahaan)

Rumus kas bebas:

FCF = EBIT (1-Pajak) + Penyusutan dan Amortisasi – Perubahan Modal Kerja


Bersih – Pengeluaran Kapital

Keterangan:

FCF = Arus kas bebas

EBIT = Pendapatan sebelum dikurangi bunga dan pajak

Rumus perhitungan nilai perusahaan menurut Brigham dan Ehrhardt:

FC F 1 F C2 F Cn
V= + + ... +
( 1+WACC )1 ( 1+WACC )2 ( 1+WACC )n

Keterangan:
V = Nilai perusahaan

FCF = Arus kas bebas

WACC = Biaya modal rata-rata (tertimbang)

Berdasarkan kedua rumus diataas, nilai perusahaan dapat dihitung dengan melihat
kemampuan perusahaan dalam 2 hal yaitu:

1. Kemampuan untuk menghasilkan arus kas bebas di masa mendatang.


2. Kemampuan perusahaan untuk menghimpun modal dengan komposisi tertentu
sehingga mengandung biaya rata-rata serendah mungkin.

Peningkatan arus kas bebas dan (atau) penurunan biaya modal rata-rata akan
meningkatkan nilai perusahaan. Sehingga, kemampuan manajer yaitu untuk membuat
kebijakan yang mampu meningkatkan penerimaan penjualan, menekan biaya operaional,
serta menekan biaya modal merupakan komponen utama penentu nilai perusahaan.

b) Model pertumbuhan konstan (constan growth model)


Mengkaitkan nilai perusahan dengan kemampuan perusahaan untuk berkembang
dimas mendatang. Ceteris paribus, semakin besar kemungkinan perusahaan untuk
berkembang, maka semakin tinggi nilainya di mata investor.

Rumus nilai aset:


C1
V=
(r −g)
Keterangan:
V = Nilai aset
C1 = Arus kas tahun pertama (yang mampu dihasilkan oleh aset tersebut)
r = Tingkat pendiskonto
g = Tingkat pertumbuhan arus kas

Rumus diatas mengasumsikan arus kas konstan dan tingkat pertumbuhan normal
(tidak lebih besar daripada tingkat pendiskonto yang dipakai).

c) Konsep Gordon Model


Konsep ini menjelaskan tentang perhitungan harga saham. Menurut konsep Gordon,
harga saham suatu perusahaan ditentukan oleh kemampuan perusahaan untuk
menghasilkan dividen bagi para pemilik dan pertumbuhan dividen dari waktu ke
waktu.

Rumus harga saham:


D1
P0 =
(r −g)

Keterangan:
P0 = Harga saham
D1 = Dividen tahun pertama
r = Biaya ekuitas
g = Tingkat pertumbuhan dividen

Pada konsep kesempatan pertumbuhan, nilai ekuitas (harga saham) ditentukan oleh 2
elemen (Shefrin, 2007) yaitu:
1. Nilai perusahaan apabila semua laba dibagikan sebagai dividen
2. Net Present Value proyek yang dibiayai oleh sebagian laba yang akan datang.
Bagian ini menggambarkan nilai sekarang kesempatan bertumbuh. Semakin tinggi
NPV proyek yang dibiayai oleh retained earnings, maka semakin tinggi
kesempatan perusahaan tumbuh. Kesempatan tumbuh merupakan faktor penentu
price-earnings ratio (P/E) atau rasio harga per lembah saham terhadap pendapatan
per lembar saham. Semakin tinggi kesempatan tumbuh suatu perusahaan, maka
semakin tinggi rasio P/E nya.

C. Pengaruh Overconfidence Terhadap Penilaian

Salah satu perilaku yang sering ditunjukkan ketika memprediksi masa depan adalah
keyakinan yang berlebihan (overconfident) atau disebut sebagai perilaku optimisme
berlbebihan (excessive optimism). Perilaku tersebut berpotensi menciptakan bias dalam
prediksi.

Perilaku Overconfident dapat terjadi ketia seseorang memperkirakan:

1. Kemampuan perusahaan menghasilkan penjualan


2. Kemampuan dalam menekan biaya-biaya operasi
3. Kemampuan mengkombinasikan hutang dan ekuitas dalam struktur modalnya,
sehingga didapatkan biaya modal rata-rata yang serendah-rendahnya
4. Kemampuan memilih investasi yang terbaik dari berbagai peluang investasi yang
tersedia
5. Kemampuan untuk mencapai tingkat pertumbuhan yang tinggi dimasa mendatang

Perilaku Overconfident pada konsep penilaian konvensional:

1. Model penilaian oleh Brigham dan Ehrhardt (penilaian ditentukan oleh prediksi
arus kas bebas dimasa mendatang): keyakinan berlebihan akan kemampuan
perusahaan akan menghasilkan arus kas bebas akan terjadi over-valuation
terhadap aset.
2. Model pertumbuhan konstan (estimasi tingkat pertumbuhan): keyakinan
berlebihan terhadap tingkat pertumbuhan akan mengakibatkan terlalu besarnya
nilai perusahaan. Ketika pertumbuhan diindikasikan oleh NPV, keyakinan yang
berlebihan akan mengakibatkan bias penilaian kelayakan proyek dan akan
mengakibatkan bias dalam memprediksi pertumbuhan. Pada akhirnya akan terjadi
penilaian berlebihan terhadap harga saham untuk tingkat pendapatan per lembar
saham (rasio P/E).
Keyakinan berlebihan dan penilaian terlalu tinggi akan mengakibatkan munculnya
permasalahan dimasa mendatang. Keputusan investasi didasarkan pada perilaku
overconfidence akan menyebabkan kesalahan investasi.

Dalam lingkup makro, keyakinan yang berlebihan akan membuka peluang bisnis
suatu sektor bisa mengakibatkan gelembung harga. Umumnya kasus investasi
berlebihan (overinvestment) akan mengakibatkan tingginya elemen biaya tetap,
adanya kapasitas menganggur berlebihan, dan pada akhirnya berpotensi
mengakibatkan tingginya biaya ekonomi. Artinya daya saing makro akan berkurang.

Jegggadeesh and Kim (2006) melakukan penelitian atas rekomendasi yang


diberikan oleh para analis di tujuh negara (Amerika Serikat, Kanada, Inggris,
Perancis, Jerman, Italia, dan Jepang) kepada para investor antara tahun 1993 sampai
2002. Rekomendasi yang diberikan oleh analis kepada investor sebagai berikut:

1. Strong buy (sangat direkomendasikan untuk membeli)


2. Buy (direkomendasikan untuk membeli)
3. Hold (direkomendasikan untuk menahan)
4. Sell (direkomendasikan menjual)
5. Strong sell (sangat direkomendasikan menjual)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi rekomendasi beli (buy maupun


strong buy) jauh melebihi rekomendasi jual (sell maupun strong sell). Di ketujuh
negara, rata-rata rekomendasi untuk membeli atau menahan (hold) lebih besar
frekuensinya dibandingkan rekomendasi untuk menjual. Amerika Serikat
menunjukkan gejala overconfidence tertinggi, dimana rekomendasi jual strong buy
mencapai 28,6%, rekomendasi buy 33,6%, rekomendasi hold 34,5%, dan rekomendasi
sell hany 3,3%. Ditemukan bahwa reaksi terhadap revisi rekomendasi dari jual ke beli
jauh lebih besar daripada reaksi terhadap revisi rekomendasi dari beli ke jual. Angka
tersebut menunjukkan gejala overconfidence.

D. Bias Kognitif dalam Penilaian

Penilaian atas perrusahaan mungkin harus dilakukan melalui proses yang bisa saja
tidak sederhana. Nilai hakiki perusahaan seharusnya dihitung dengan metoda-metoda
yang benar dan langkah-langkah yang tepat, agar tidak ada pihak yang dirugikan oleh
kesalahan penilaian. Pihak-pihak yang berpotensi untuk dirugikan antara lain yaitu
investor, pemilik, kreditur, bahkan pemerintah.

Tidak sepenuhnya praktisi selalu mengikuti langkah-langkah dan menerapkan


sepenuhnya metoda-metoda yang diajarkan di dalam buku manajemen keuangan. Banyak
situasi yang menyebabkan seseorang merasa tidak perlu membuang waktunya untuk
melakukan langkah-langkah konseptual seperti yang diajarkan dalam buku manajemen
keuangan. Dalam praktik seringkali para pembuat keputusan tidak melakukan prediksi
dan perhitungan secara rinci.
Tidak jarang menggunakan pendekatan heuristic dalam proses penilaian. Salah satu
bentuk heuristic yang sering digunakan adalah availability. Kerepotan mempelajari
laporan keuangan mnimbulkan keenganan melakukan analisis fundamental. Demikian
pula, kerepotan melakukan pengamatan dan penganalisaan atas data historis
mengakibatkan para investor tidak melakukan analisis teknikal. Oleh karena itu investor
merasa cukup melihat informasi yang tersedia untuk dijadikan dasar pengambilan
keputusan.

Biaya modal minimal misalnya, seharusnya dicari terlebih dahulu dengan menentukan
komposisi hutang dan ekuitas yang optimal. Optimal bagi sebuah perusahaan belum tentu
optimal bagi perusahaan lain. Optimal dalam situasi tertentu belum tentu optimal bagi
situasi lain. Dengan demikian, perhitungan tetap harus dilakukan. Seringkali manajemen
pengalaman keberhasilan di masa lalu dalam menerapkan komposisi tersebut dijadikan
pedoman dan dianggap sebagai dasar untuk keputusan selanjutnya. Tidak jarang
perusahaan telah menetapkan angka sebagai hudle rate untuk dijadikan pegangan
penentuan kelayakan investasi, karena menurut pengalaman yang telah dilalui.

Hindsight bias sering ditemukan dalam proses penilaian. Sebelum sesuatu aktivitas
dilaksankan, sehingga tidak ragu akan melakukan langkah-langkah. Perilaku ini banyak
dilakukan seseorang yang telah melakukan hal yang sama berkali-kali. Dalam konteks
makro, perilaku hindsight pernah ditunjukkan oleh sebagian orang (analis maupun
investor) di Amerika Serikat saat terjadi krisis di tahun 2008 (terjadi karena
ketidaklancaran pengambilan kredit perumahan yang sebelumnya mudah didapat) melihat
kondisi di sektor kredit perumahan tahun-tahun sebelumnya ketika kredit perumahan
melonjak (2003-2007 dengan gejala bubble) mereka meyakini akan terjadi krisis dalam
waktu dekat. Jumlah analis maupun investor yang terlalu dikit, sehingga ketika krisis
muncul, kepanikan pasar terjadi.

Perilaku representativeness juga ditemukan dalam proses penilaian, karena sebuah


perusahaan bergerak dalam bidang usaha (sektor)tertentu. Maka perusahaan itu akan
mengalami tingkat pertumbuhan, akibatnya nilai perusahaan dengan cepat dapat dihitung
atau karena sebuah perusahaan bergerak di sektor tertentu, pendapatan dapat diperkirakan
dengan mudah. Dengan mengacu pada P/E di sektor tersebut, maka nilai perusahaan
dapat diperkirakan dengan cepat.

Pada kasus gelembung dotcom, patut diduga bahwa perilaku representativeness ikut
memperbesar gelembung harga ketika para pelaku pasar mempunyai ekspektasi yang
berlebihan terhadap pertumbuhan perusahaan-perusahaan yang bergerak dalam bidang
jasa internaet. Dapat dikatakan bahwa orang-orang tidak memilih, asalkan saham
diterbitkan oleh perusahaan jasa internet, akan mereka beli. Pada hal ini bertentangan
dengan prinsip penilaian yang diajarkan pada buku Manajemen Keuangan.

Anda mungkin juga menyukai