Anda di halaman 1dari 23

Bleaching Gigi Nonvital: Sebuah Tinjauan

Soner Şişmanoğlu

Abstrak: Gigi sering mengalami diskolorasi seiring waktu karena residu perawatan
endodontik pada ruang pulpa atau produk hemolitik yang terakumulasi di tubulus dentin
setelah trauma. Kondisi ini dapat menimbulkan masalah psikososial bagi pasien. Bleaching
nonvital semakin populer karena sifatnya yang konservatif dan biaya rendah untuk mengatasi
kondisi yang tidak menyenangkan ini. Artikel ini akan memberikan gambaran umum
mengenai teknik bleaching nonvital, bahan dan regimen yang digunakan, prosedur bleaching
dan efek sampingnya.

Kata kunci: Diskolorasi, trauma, bleaching, whitening, bleaching nonvital

1. Pendahuluan

Saat ini, orang-orang sering merujuk ke dokter gigi untuk memiliki gigi yang tertata rapi,

berwarna terang, dan tampak alami. Bahkan mungkin untuk mengatakan bahwa ekspektasi

estetika hampir melampaui kebutuhan fungsional. Namun, profesi kedokteran gigi harus

mempertahankan standar etika yang tinggi dan tidak merekomendasikan penyesuaian

kosmetik untuk memenuhi permintaan pasien.

Insisivus sentralis dan lateral merpakan gigi-geligi yang paling terdampak sebagai akibat

trauma, masing-masing 69% dan 20% (Abbott, 1997). Setelah trauma dental, gigi dapat

berubah warna seiring waktu karena residu perawatan endodontik pada kamar pulpa atau

produk-produk hemolitik yang terakumulasi dalam tubulus dentinalis (Abbott dan Heah,

2009). Diskolorasi pada regio anterior merupakan masalah kosmetik yang perlu dirawat

karena diskolorasi pada giig nonvital mudah untuk dibedakan. Diskolorasi pada gigi nonvital

biasanya asimetris dan terbatas pada satu gigi; namun, jarang melibatkan beberapa gigi
karena trauma. Bahan endodontik di ruang pulpa (khususnya pasta yang mengandung silver)

serta produk sampingan nekrotik merupakan penyebab utama diskolorasi. Irigasi yang tidak

memadai setelah ekstirpasi pulpa adalah penyebab iatrogenik yang paling sering terjadi.

Meskipun mekanisme pasti diskolorasi yang disebabkan oleh degenerasi pulpa tidak terlalu

jelas, ini dianggap disebabkan oleh produk-produk hemolitik yang berpenetrasi ke dentin.

Produk-produk ini adalah hemosiderin, hemin, dan hematopophyrin yang melepaskan besi

sebagai zat warna. Substansi-substansi yang meluas ke tubulus dentinalis dapat bergabung

dengan produk sampingan bakteri dan menyebabkan diskolorasi berwarna kuning kecoklatan

(Eisenberg, 1975).

Meskipun diskolorasi gigi dapat ditangani dengan perawatan endodontik, ini juga dapat

berhasil ditangani dengan bleaching. Bleaching merupakan pilihan yang lebih konservatif

dibandingkan dengan pilihan restoratif lain dan dapat dengan mudah serta aman diaplikasikan

(Kihn, 2007). Selain itu, bleaching lebih murah dibandingkan dengan perawatan restoratif

yang rumit. Meskipun mekanisme bleaching belum sepenuhnya dipahami (Sulieman, 2004),

sudah diterima secara luas bahwa zat bleaching menembus jaringan keras untuk

mengoksidasi chromophores dan mengurangi diskolorasi (Joiner, 2004). Keberhasilan

bleaching gigi nonvital terutama bergantung pada etiologi diskolorasi, diagnosis masalah

yang tepat, dan pemilihan teknik bleaching yang sesuai.

Bleaching gigi terdiskolorasi, tidak memiliki pulpa (nonvital) pertama kali dikemukakan oleh

Truman pada 1864 (Truman, 1864). Berbagai agen, seperti klorida, natrium hipoklorit,

sodium perborat, dan hidrogen peroksida telah diaplikasikan sendiri-sendiri atau dalam

kombinasi (Howell, 1980). Panas juga sering digunakan untuk aktivasi agen bleaching (Dahl

dan Pallesen, 2003). Pada 1961, teknik walking bleach diperkenalkan berdasarkan

penyimpanan campuran sodium perborate dan air di dalam ruang pulpa antara kunjungan

pasien (Spasser, 1961). Teknik ini dimodifikai dengan mencapurkan sodium perborate dan
30-35% hidrogen peroksida cair bukannya air untuk meningkatkan efektivitas bleaching

(Nutting dan Poe, 1963). Pada tahun 1960-an, karbamid peroksida 10%, yang efek

pemutihnya diamati secara tidak sengaja, mendapatkan popularitas pada teknik bleaching

vital nightguard pada 1989 dan mulai digunakan pada teknik bleaching nonvital (Haywood

dan Heymann, 1989).

Sistem bleaching saat ini terutama berdasarkan penggunaan hidrogen peroksida, sodium

perborate, atau karbamid peroksida dengan aktivasi seperti panas atau cahaya. Mereka dapat

diaplikasikan secara eksternal atau internal pada gigi nonvital yang terdiskolorasi untuk

mengoksidasi chromophores pada dentin (Sulieman, 2008).

2. Diskolorasi

Tampilan gigi berbeda berdasarkan sifat pemantulan dan penyerapan cahaya dari jaringan

gigi yang terdiri dari enamel, dentin, dan pulpa. Meskipun warna giig alami serupa dengan

dentin, transparensi dan ketebalan enamel juga efektif pada tampakan gigi (Greenwall, 2001).

Diskolorasi gigi diklasifikasikan sebagai ekstrinsik, intrinsic, dan stain internalisasi.

Diskolorasi ekstrinsik terjadi secara lokal karena chromogen yang berada di dalam dentin

atau secara sistemik. Dinyatakan bahwa diskolorasi internal bermula secara eksternal dan

mereka menyebar secara internal melalui defek yang ditemukan pada enamel (Sulieman,

2008). Diskolorasi gigi nonvital sering melibatkan dentin dan asalnya intrinsik.

3. Etiologi Diskolorasi Intrinsik

Penyebab diskolorasi internal merupakan kelainan genetic, pemberian obat-obatan

(khususnya tetrasiklin), fluorosis, penyakit pada masa kanak-kanak yang berhubungan


dengan demam tinggi, trauma gigi, iatrogenesis dan medikamen saluran akar yang digunakan

untuk perawatan endodontik (Plotino et al., 2009) (Tabel 1). Setelah perawatan saluran akar,

gigi dapat berubah warna karena bahan endoodntik, sisa-sisa pulpa, perdarahan selama

perawatan saluran akar (Watts dan Addy, 2001). Perawatan diskolorasi intrinsic lebih

kompleks dibandingkan dengan diskolorasi ekstrinsik. Meskipun gigi yang berubah warna

mendapatkan kembali warna alami melalui bleaching intrakoronal, prognosis bleaching

bervariasi bergantung pada jenis sealer endodontik dan durasi setelah perawatan endodontik

(van der Burgt dan Plasschaert, 1986). Contohnya, stain yang dihasilkan oleh ion logam sulit

untuk diputihkan. Oleh karena itu, semua residu di dalam ruang pulpa harus dibersihkan

dengan bur, scaler ultrasonik, atau air-abrasion sebelum memulai prosedur bleaching

intrakoronal. Alasan untuk diskolorasi intrinsik dengan indikasi bleaching nonvital adalah

sebagai berikut:

3.1 Nekrosis pulpa

Diskolorasi intrinsic karena nekrosis pulpa disebabkan oleh akumulasi produk-produk

hemoragik pada tubulus dentinalis (Grossman et al., 1995; Ho and Goerig, 1989). Peradangan

pulpa karena iritasi bakteri, mekanis, atau kimiawi dapat menyebabkan nekrosis. Produk-

produk nekrotik yang berpenetrasi dari kompleks pulpa ke dalam tubulus dentinalis sebagai

akibat proses nekrotik menyebabkan diskolorasi pada dentin (Attin et al., 2003). Sifat

diskolorasi bergantung pada lamanya waktu setelah nekrosis pulpa; yaitu, semakin lama

komponen chromogenic tetap berada pada ruang pulpa, semakin besar intensitas diskolorasi.

Diskolorasi seperti itu secara umum dilakukan bleaching intrakoronal (Rostein, 2002).

3.2 Perdarahan Intrapulpa

Ekstirpasi pulpa atau trauma gigi yang parah dapat menginduksi perdarahan karena

kerusakan pembuluh darah pada jaringan pulpa. Komponen chromogenic dalam darah juga
mempenetrasi tubulus dentinalis dan menyebabkan diskolorasi (Arens, 1989; Goldstein dan

Garber, 1995). Diskolorasi yang awalnya diamati berwarna pink menjadi lebih gelap dan

memengaruhi seluruh gigi karena hemolysis sel-sel darah (Guldener dan Langeland, 993;

Watts dan Addy, 2001). Jika nekrosis pulpa tidak terjadi setelah trauma, dilaporkan bahwa

diskolorasi pink ini dapat menghilang dalam beberapa bulan karena revaskularisasi

(Andreasen, 1986; Watts dan Addy, 2001).

Tabel 1. Etiologi diskolorasi intrinsik (Plotino et al., 2008)

Faktor sebelum erupsi Faktor setelah erupsi


 Trauma gigi  Penuaan
 Genetik (hyperbilirubinemia,  Bahan endodontik, obat-obatan, sealer
amelogenesis inperfecta, cystic fibrosis  Perdarahan intrapulpa
pada pankreas)  Nekrosis pulpa
 Obat-obatan (tetrasiklin)  Sisa-sisa jaringan pulpa setelah
 Metabolisme (fluorosis) perawatan endodontik
 Bahan restoratif
 Resorpsi akar

3.3 Sisa-Sisa Jaringan Pulpa

Diskolorasi yang terjadi setelah perawatan endodontik dapat terlihat sebagai akibat

perdarahan yang berlebihan selama ekstirpasi pulpa atau pengangkatan jaringan pulpa yang

tidak sempurna. Sisa-sisa jaringan pulpa dapat tertinggal di dalam ruang pulpa ketika akses

kavitas endodontik tidak dipreparasi secara memadai (Brown, 1965; Faunce, 1983).

Mekanisme diskolorasi sisa-sisa jaringan pulpa ini serupa dengan perdarahan pulpa. Dengan

bleaching intrakoronal, gigi dapat berhasil direstorasi ke warna aslinya, tetapi akan lebih

akurat untuk melakukan perawatan endodontik yang lebih hati-hati pada awalnya dan tidak

meninggalkan sisa pulpa.

3.4 Bahan Endodontik


Diskolorasi gigi yang disebabkan bahan endodontik merupakan masalah umum bagi klinisi

dan pasien serta dapat mengganggu tampilan estetik gigi yang telah dirawat endodontik (van

der Burgt et al., 1986a; van der Burgt et al. 1986b). Bahan pengisi endodontik, sealer atau

sisa-sisa medikamen yang tertinggal dalam ruang pulpa menyebabkan (van der Burgt dan

Plasschaert, 1985; van der Burgt and Plasschaert, 1986; Kim et al., 2000). Diskolorasi yang

disebabkan oleh sisa bahan-bahan ini bergantung pada waktu kontak bahan dengan dentin.

Oleh karena itu, meskipun tampaknya tidak ada masalah pada awalnya, warna gigi menjadi

gelap dari waktu ke waktu (Vogel, 1975). Untuk menghindari masalah ini, pengisian saluran

akar harus dibatasi pada ketinggian tulang proksimal.

Bahan-bahan endodontik mengandung barium, iodin, perak, gutta-percha, dan sealer saluran

akar juga dapat menyebabkan diskolorasi intrinsic (Bizhang et al., 2003; Grossman et al.,

1995). Diskolorasi yang disebabkan oleh medikamen endodontik atau pasta saluran akar

dapat terlihat berwarna jingga-kemerahan, merah gelap, abu-abu atau hitam (Bizhang et al.,

2003). Larutan yang mengandung fenol, cresatin, penisilin, streptomycin atau

chloramphenicol menyebabkan sedikit diskolorasi pada dentin. Diskolorasi paling parah

disebabkan oleh pasta N2 dan pasta poliantibiotik yang mengandung Terramycin® dan

tetrasiklin (khususnya Declomycin®) (Gutierrez dan Guzman, 1968).

Mineral trioxide aggregate (MTA) yang pertama dikembangkan berwarna abu-abu. Diketahui

bahwa gray MTA menyebabkan diskolorasi gigi. Diskolorasi terlihat pada 60% perawatan

pulpotomi menggunakan gray MTA (Hedge dan Naik, 2005; Maroto et al., 2006). Oleh

karena itu, white MTA dikembangkan dan white MTA tidak menunjukkan perbedaan

signifikan pada respon pulpa dibandingkan dengan gray MTA (Holland et al, 2001).

Perbedaan utama pada komposisi kimiawi antara white MTA dan gray MTA adalah

konsentrasi oksida logam seperti aluminium oksida, magnesium oksida, dan besi oksida, yang

dianggap penyebab utama diskolorasi. Namun, diskolorasi telah dilaporkan setelah


penggunaan white MTA untuk perawatan pulpa vital (Belobrov dan Parashos, 2011;

Boutsioukis et al., 2008). Namun, diskolorasi ini terjadi di dalam bahan itu sendiri, bukan

pada dentin. Oleh karena itu, perbaikan signifikan tercapai pada warna dentin setelah

dikeluarkannya MTA (Belobrov dan Parashos, 2011).

4. Agen Bleaching

Dalam kedokteran gigi, hidrogen peroksida dan turunannya dipilih sebagai agen bleaching

(Goldstein dan Garber, 1995). Hidrogen peroksida dapat digunakan secara langsung untuk

bleaching intrakoronal, serta bahan-bahan seperti carbamide peroksida, sodium perborate,

yang terurai menjadi hidrogen peroksida pada berbagai rasio sebagai akibat degradasi kimia.

Agen bleaching ini dapat digunakan secara terpisah atau dengan kombinasi (Attin et al.,

2003). Sebagai contoh, sodium perborate dapat digunakan dengan dicampur dengan akuades

atau dengan mencapurkan sodium perborate dengan hidrogen peroksida untuk meningkatkan

hasil bleaching.

4.1 Hidrogen Peroksida

Kebanyakan agen bleaching mengandung hidrogen peroksida sebagai bahan aktif. Hidrogen

peroksida memainkan peran sebagai agen pengoksidasi kuat melalui pembentukan radikal

bebas, molekul oksigen reaktif, dan anion hidrogen peroksida. Molekul-molekul reaktif ini

bereaksi dengan chromophores gelap berantai panjang untuk memisahkan mereka menjadi

molekul yang lebih kecil dan kurang berwarna (Dahl dan Pallesen, 2003). Hidrogen

peroksida dapat diberikan secara langsung atau dihasilkan melalui reaksi kimia dari sodium

perborate atau karbamid peroksida.

4.2 Sodium Perborate


Agen bleaching lain yang umumnya digunakan adalah sodium perborate. Sodium perborate

stabil dalam kondisi kering. Namun, pada kondisi adanya asam, udara panas, atau

kelembapan, sodium perborate terurai menjadi hidrogen peroksida dan oksigen bebas

(Rotstein dan Friedman, 1991). Sodium perborate dihasilkan oleh reaksi disodium tetraborate

pentahydrate, hidrogen peroksida, dan natrium hidroksida. Sodium perborate dalam bentuk

monohydrate, trihydrate, dan tetrahydrate, serta jumlah oksigen yang dilepaskan bergantung

pada bentuknya (Ari dan Ungor, 2002). Bentuk monohydrate terurai lebih baik dibandingkan

tetrahydrate dan memiliki stabilitas suhu yang lebih tinggi (Schubert dan Brotherton, 2011).

4.3 Karbamid Peroksida

Karbamid peroksida menghasilkan hidrogen peroksida dan urea yang terurai menjadi karbon

dioksida dan ammonia (Dahl dan Pallesen, 2003). Aktivitas karbamid peroksida pada gigi

vital dan nonvital bervariasi berdasarkan konsentrasinya (Lim, 2004). Gel karbamid

peroksida pada konsentrasi 10% sering digunakan pada home bleaching selama 4 sampai 8

jam sehari selama 2 minggu atau lebih (Sulieman, 2008).

5. Mekanisme Bleaching

Mekanisme bleaching gigi tidak dipahami sepenuhnya (Sulieman, 2004). Telah diterima

secara luas bahwa peroksida menembus jaringan keras dan radikal bebas mengoksidasi

chromophores organik dan mengurangi perubahan warna (Joiner, 2004).

Bleaching juga iketahui sebagai reaksi oksidasi-reduksi. Berdasarkan teori kimia yang

menjelaskan reaksi bleaching hidrogen peroksida, peroksida diubah menjadi radikal bebas

yang tidak stabil. Radikal bebas yang terbentuk sebagai hasil dekomposisi hidrogen peroksida

(Fasanaro, 1992; Plotino et al., 2008) berdifusi ke dalam regio interprismatik pada enamel

dan membawa molekul-molekul kecil yang mereka urai dari molekul organik besar
(chromophores) keluar ke permukaan pada enamel dan menghasilkan molekul sederhana

yang memantulkan cahaya yang lebih sedikit (Chng et al., 2005; Joiner 2004; McEvoy,

1989). Seraya proses bleaching berlanjut, hanya struktur hidrofilik tidak berwarna yang

tersisa, yang disebut titik saturasi. Bleaching menjadi lambat pada titik ini. Jika bleaching

berlanjut, bahan yang mengudng karbon dan ikatan karbon pada protein menjadi rusak.

Kelompok hidroksil mulai terurai dan subsrat terurai menjadi potongan yang jauh lebih kecil.

Subsrat yang tersisa secara cepat berubah menjadi karbon dioksida dan air, mempercepat

kehilangan enamel (Vilhena et al, 2019).

Benetti et al., (2004) melaporkan bahwa konsentrasi peroksida meningkat selama waktu

bleahing. Faktor-faktor seperti cahaya dan panas membatu reaksi ini dan mempercepat

bleaching (Dostalova et al., 2004; Ziemba et al, 2005).

Karbamid peroksida dapat digunakan pada berbagai konsentrasi. Mekanisme bleaching gigi

dengan karbamid peroksida berbeda dari hidrogen peroksida (Bulut et al., 2006). Pertama,

karbamid peroksida terurai menjadi hidrogen peroksida dan urea. Karbamid peroksida 10%

terurai menjadi 6,6% urea dan 3,4% hidrogen peroksida. Kemudian urea terurai menjadi

karbon dioksida dan ammonia (Christensen, 2003).

6. Teknik Bleaching Gigi Nonvital

Radiografi dental pada gigi harus dibuat untuk menilai kualitas obturasi saluran akar dan

jaringan apikal sebelum prosedur bleaching. Jika terdapat kegagalan atau masalah pada

perawatan saluran akar, retreatment harus dilakukan sebelum bleaching. Teknik bleaching

nonvital meliputi walking belach, modified walking bleach, nonvital power bleaching

(dikenal pula sebagai heat atau light-activated bleaching), dan inside/outside bleaching.
6.1 Walking Bleach

Teknik ini pertama kali dijelaskan oleh Spasser dan Herbert (1961) dan dijelaskan sebagai

penempatan campuran sodium perborate dan air di dalam ruang pulpa. Pada kunjungan

selanjutnya, prosedur akan diulangi hingga warna yang diinginkan tercapai. Protokol aplikasi

teknik ini diberikan pada Tabel 2 dan sebuah kasus yang mewakilkan teknik walking bleach

disajikan pada Gambar 1.

Tabel 2. Aplikasi teknik walking bleach

1. Setelah penentuan warna dan foto awal diambil, gigi yang terdiskolorasi diisolasi
dengan rubber dam atau gingival barrier.
2. Restorasi yang ada dikeluarkan dan kavitas akses endodontik dimodifikasi untuk
memastikan bahwa tidak ada tanduk pulpa, sisa-sisa pulpa, atau residu bahan
endodontik yang tersedia. Karena, sisa-sisa ini akan menyebabkan rekurensi
diskolorasi.
3. Harus dipastikan bahwa semua bahan restorasi dihilangkan sampai permukaan dentin
tercapai. Selain itu, jika terdapat stain superfisial, stain juga harus dihilangkan
menggunakan metode non-agresif seperti abrasi udara.
4. Untuk mencegah resorpsi akar servikal, pengisian saluran akar harus dikeluarkan
hingga setinggi tulang proksimal menggunakan Gates-Glidden bur. Tinggi ini adalah
sekitar 2-3 mm apikal terhadap cemento-enamel junction (CEJ) dan dapat ditentukan
dengan bantuan probe periodontal. Kemudian, pengisian saluran akar harus ditutup
pada koronal dengan lapisan kalsium hidroksida dan glass ionomer cement.
5. Setelah sistem saluran akar ditutup, agen bleaching diaplikasikan pada ruang pulpa.
Untuk teknik walking bleach klasik, sodium perborate dicampur dengan akuades
untuk menghasilkan pasta semi-kental, kental sebagai bahan pemutih. Pada teknik
kombinasi (disebut juga sebagai modified walking bleach), hidrogen peroksida 30%
digunakan bukannya akuades. Setelah pasta dimasukkan ke ruang pulpa, kelebihan air
dihilangkan dengan cotton pellet. Saat ini, gel karbamid peroksida 10% yang dipilih
secara agen bleaching secara umum. Ruang pulpa ditutup dengan restorasi sementara
seperti glass ionomer cement.
6. Pasien dipanggil kembali bergantung pada bahan bleaching yang digunakan dan
perawatan diulangi jika warna yang diinginkan belum tercapai.

Gambar 1. Sebuah kasus menggambarkan teknik walking bleach. (A) Foto awal diskolorasi dan fraktur yang
disebabkan trauma. (B) Foto follow-up 6 bulan pada kasus setelah bleaching menggunakan karbamid peroksida
10%.

Teknik walking bleach dimodifikasi dengan menempatkan campuran hidrogen peroksida

30% dan sodium perborate dalam ruang pulpa. Teknik ini disebut teknik modified atau

combination walking bleach (Nutting dan Poe, 1963). Hidrogen peroksida yang dicampur

dengan sodium perborate meningkatkan efek bleaching dan memberikan hasil yang lebih

baik. Proses ini lebih cepat dan oleh karena itu hasil dapat diperoleh setelah 1 minggu

(Rotstein, 2001). Pada teknik walking bleach saat ini, karbamid peroksida 10% dimasukkan

ke dalam ruang pulpa dengan syringe menggantikan campuran sodium perborate dan pasien

diperiksa setiap 3 hingga 5 hari (Sulieman, 2008).

6.2 Nonvital Power Bleaching

Teknik ini merupakan teknik yang paling tidak disukai karena penggunaan suhu tinggi

menyebabkan peningkatan risiko resorpsi akar servikal. Gel hidrogen peroksida diaplikasikan

pada ruang pulpa pada konsentrasi 30-35% dan diaktivasi dengan cahaya atau panas. Suhu
biasanya sekitar 50-60°C dan aktivasi panas sebaiknya dihentukan setelah 5 menit selama 5

menit untuk pendinginan (Rotstein, 2001). Gigi dievaluasi kembali setelah 2 minggu untuk

menentukan apakah perawatan tambahan diperlukan, dan jika diperlukan, teknik walking

bleach diaplikasikan (Sulieman, 2008) (Tabel 3). Sebuah kasus yang mewakili nonvital

power bleach ditampilkan pada Gambar 2.

Tabel 3. Aplikasi teknik nonvital power bleaching

1. Gigi dipersiapkan seperti pada teknik walking bleach.


2. Gel hidrogen peroksida (30-35%) ditempatkan dalam ruang pulpa seperti agen
bleaching dan diaktivasi dengan panas atau cahaya. Gigi dipaparkan ke gel
bleaching yang diaktivasi selama 5 menit dengan suhu yang biasanya antara 50-
60°C. Kemudian, gigi dibiarkan mendingin selama 5 menit dana gen bleaching
dibilas selama 1 menit. Gigi dikeringkan dan teknik walking bleach diaplikasikan.
3. Versi lain teknik ini adalah pengaplikasian hidrogen peroksida 35% tanpa aktivasi
panas. Pada teknik ini, agen pemutih diaplikasikan pada ruang pulpa dan pada
permukaan fasial gigi. Seperti pada perawatan bleaching gigi vital, aktivasi
dilakukan dengan sumber cahaya. Setelah perngaplikasian 3 sesi selama 5 menit, gigi
dibilas dengan air dan ruang pulpa ditutup dengan restorasi sementara. Pasien
dipanggil kembali setelah 2 minggu untuk menilai apakah perawatan lebih lanjut
diperlukan atau siap untuk restorasi definitif.
Gambar 2. Sebuah kasus praprostetik mewakili nonvital prower bleaching menggunakan hidrogen peroksida
38% dengan aktivasi cahaya (modified nonvital power bleaching). (A) Foto awal pada gigi yang telah dirawat
endodontik. (C) Foto pasca bleaching setelah 2 minggu.

6.3 Inside/Outside Bleaching

Settembrini et al., (1997) mengajukan sebuah teknik bleaching yang disebut teknik

inside/outside bleaching menggunakan kombinasi teknik bleaching intrakoronal dan

ekstrakoronal menggunakan karbamid peroksida. Pada teknik ini, pasien bertanggung jawab

untuk penggunaan sehari-hari bahan bleaching di rumah dan oleh karena itu efek bleaching

secara langsung bergantung pada kecocokannya. Teknik inside/outside bleaching

menggunakan karbamid peroksida pada berbagai konsentrasi yaitu 5%, 16%, 22% atau 35%.

Protokol aplikasi teknik ini diberikan pada Tabel 2 dan sebuah kasus yang mewakili teknik

inside/outside bleach disajikan pada Gambar 3.

Tabel 4. Aplikasi teknik inside/outside bleaching

1. Custom fitting tray dipersiapkan untuk pasien dan ruang pulpa ditutupi hanya dengan
cotton pellet. Pasien mengeluarkan cotton pellet dengan tusuk gigi dan memasukkan
bahan gel ke dalam kavitas untuk memulai sesi bleaching. Pasien juga
mengaplikasikan gel bleaching ke bagian bleaching tray yang sesuai dengan posisi
gigi dan memasukkan bleaching tray ke dalam mulut. Setelah insersi, pasien
mengeluarkan kelebihan gel dengan cotton bud atau sikat gigi.
2. Setelah sesi bleaching selama 2 jam, pasien membersihkan kavitas dengan syringe
yang tersedia dan memasukkan cotton pellet bersih. Juga, setiap setelah makan, cotton
pellet diganti dengan cara yang sama.
3. Pasien harus melindungi kavitas dari impaksi makanan dengan memasang cotton
pellet ke kavitas, dan tidak boleh makan apapun selama selama sesi bleaching.
4. Secara umum, dilaporkan bahwa hasil didapatkan setelah 5-8 kali aplikasi bergantung
pada frekuensi aplikasi. Oleh karena itu, pasien diapnggil kembali untuk pemeriksaan
setelah 3-7 hari.
5. Ketika warna yang diinginkan tercapai, ruang pulpa ditutup dengan restorasi
sementara, dan restorasi definitif dibuat setelah penundaan 2 minggu.

Gambar 3. Kasus inside/outside bleaching dengan karbamid peroksida 10%. (A) Foto awal pasien dengan
diskolorasi yang disebabkan trauma. (B) Foto follow-up kasus pada 7 bulan.

Teknik ini merupakan kombinasi sederhana teknik at-home bleaching dan teknik bleaching

intrakoronal. Keuntungan teknik ini pada bleaching gigi nonvital adalah bahan agen

bleaching diaplikasikan secara intrakoronal dan ekstrakoronal. Selain itu, bleaching gigi vital

(at-home bleaching) dan bleaching nonvital dapat digabungkan secara bersamaan dengan

teknik inside/outside bleaching (Carrillo et al., 1998). Konsentrasi agen yang rendah,

biasanya menggunakan karbamid peroksida 10% untuk mengurangi risiko resorpsi akar

servikal. Kerugian utama teknik ini adalah bahwa kepatuhan pasien diperlukan dan

keterampilan tangan diperlukan untuk memasukkan agen bleaching ke dalam ruang pulpa

(Sulieman, 2008).

7. Netralisasi
Bleaching pada gigi yang telah dirawat endodontik menggunakan karbamid peroksida,

sodium perborate atau hidrogen peroksida merupakan metode yang umum digunakan untuk

mendapatkan kembali warna alami gigi. Namun, telah dilaporkan bahwa prosedur ini diikuti

dengan resorpsi akar servikal (Friedman et al., 1988; Harrington dan Natkin, 1979). Beberapa

peneliti mengklaim bahwa bahan bleaching mempenetrasi periodonsium dan menginisiasi

proses peradangan setelah resorpsi akar servikal (Fuss et al., 1989). Oleh karena itu, efek

netralisasi agen-agen berikut diteliti.

7.1 Kalsium hidroksida

Saat ini, bleaching intrakoronal rutin dilakukan sebagai metode perawatan berisiko rendah

untuk mengoreksi estetik gigi nonvital. Efek samping utama bleaching nonvital adalah

resorpsi akar servikal, yang dapat terjadi karena peradangan pada periodonsium. Risiko

resorpsi akar servikal dapat dikurangi dengan penutupan servikal yang adekuat dan

menghindari dosis tinggi agen bleaching (Zimmerli et al., 2010). Harringtin dan Natkin

(1979) melaporkan bahwa kebocoran bahan bleaching melalui tubulus dentinalis dapat secara

langsung merusak jaringan periodontal dan menginisiasi respon peradangan pada regio

servikal. Serupa, Lado et al., (1983) melaporkan bahwa agen bleaching dapat mempenetrasi

tubulus dentinalis dan mendenaturasi dentin pada regio servikal.

Kalsium hidroksida telah digunakan pada perawatan resorpsi akar servikal (Fuss et al., 1989).

Mekanisme yang membuat kalsium hidroksida efektif belum diketauhi. Telah diakemukakan

bahwa difuasi ion-ion dari saluran akar mengingkatkan pH jaringan gigi, sehingga

menghambat aktivitas osteoklastik dan mengaktifkan alkaline phosphatase (Tonstad et al.,

1981). Di sisi lain, penelitian oleh Lambrianidis et al., (2002) menunjukkan bahwa

penggunaan kalsium hidroksida sebagai barrier selama bleaching intrakoronal tidak memiliki
efek signifikan untuk mencgeah pH asam pada permukaan akar ekstermal. Namun, penelitian

lebih lanjut diperlukan untuk memastikan mekanisme yang pasti.

7.2 Sodium askorbat

Banyak metode telah dikemukakan untuk memperbaiki kekuatan ikatan bahan restoratif ke

jaringan gigi setelah perawatan bleaching. Metode pertama yang terpikirkan adalah “delayed

bonding”. Meskipun bervariasi berdasarkan agen bleaching yang digunakan dan

konsentrasinya, secara umum direkomendasikan bahwa menunda bonding selama 1 smapai 2

minggu untuk mengembalikan kekuatan ikatan (Lago and Garone-Netto, 2013; Miranda et

al., 2013). Benni et al., (2014) menyatakan bahwa penggunaan agen bonding berbasis etanol

atau aseton juga dapat meningkatkan kekuatan ikatan ke enamel yang telah dilakukan

bleaching.

Metode lain yang sering digunakan adalah aplikasi agen antioksidan ke permukaan enamel

setelah bleaching. Sodium askorbat, α--tocopherol (vitamin E), ekstrak biji anggur

(proanthocyanidins), lycopene, epigallocatechin gallate (green tea) termasuk di antara

antioksidan yang dikenal (Abraham et al., 2013; Guler et al., 2013; Khamverdi et al.,2013).

Pada penelitian terbaru, sodium askorbat telah digunakan sebagai antioksidan untuk

menghilangkan senyawa oksidatif, khususnya radikal bebas (Gutteridge, 1994; Rose and

Bode, 1993; Soeno et al., 2008). Soeno et al., (2008) melaporkan bahwa asam askorbat

berperan sebagai agen antioksidan, dan asam askorbat serta ferric chlorite meningkatkan

kekuatan ikatan ke dentin. Turkun et al., (2009) melaporkan bahwa perlekatan ke dentin

bertambah sebesar 35% setelah mengaplikasikan sodium askorbat sebagai antioksidan pada

dentin yang telah dilakukan bleaching.

8. Rekurensi dan Efisiensi


Peningkatan rekurensi telah dilaporkan berkisar dari 10% sampai 49% dalam literatur dengan

waktu yang telah berlalu setelah bleaching (Friedman, 1997; Friedman et al., 1988; Glockner

et al., 1999; Holmstrup et al., 1988). Lise et al., membandingkan dua teknik bleaching

intrakorona (walking bleach dan inside/outside bleaching) serta melaporkan bahwa kedua

teknik efektif setelah follow up klinis 1 tahun tanpa rekurensi (Lise et al., 2018). Deliperi

mendeteksi rekurensi pada 15 dari 25 gigi dengan bleaching intrakoronal sebagai hasil

foloow up klinis 5 tahun, namun, dia menambahkan bahwa rekurensi memiliki maksimal 6

shade pada skala warna VITA (Deliperi, 2008) (Tabel 5). Pada penelitian lain yang dilakukan

oleh Deliperi dan Bardwell (2005), peneliti melaporkan tingkat rekurensi yang serupa sekitar

setengah dari 26 gigi yang dilakukan bleaching dengan perubahan hingga 4 shade. Glockner

et al., melaporkan 79% keberhasian klinis sebagai hasil follow-up klinis 5 tahun. Selain itu,

mereka melaporkan bahwa jika hanya kavitas akses endodontik yang dipreparasi dan jaringan

gigi yang tersisa utuh, tingkat keberhasilan meningkatkan hingga 91% (Glockner et al.,

1999). Berdasarkan Amato et al., (2006), tingkat keberhasilan bleaching intrakoronal setelah

16 tahun adalah 62,9%. Pada penelitian yang sama, tidak ada resorpsi servikal akar yang

diamati pada pemeriksaan radiologi (Amato et al., 2006). Rekurensi relatif umum pada

bleaching intrakoronal. Untuk alasan ini, beberapa peneliti merekomendasikan overbleaching

pada gigi untuk mengompensasi rekurensi (Bersezio et al, 2017) (Gambar 4).

Tabel 5. Urutan Vita Shade Guide berbdasarkan value (terang ke gelap berdasarkan pabrikan
shade guide)
Tab B1 A1 B2 D2 A2 C1 C2 D4 A3 D3 B3 A3.5 B4 C3 A4 C4
Uruta 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
n
Gambar 4. Diskolorasi yang berhubungan dengan perawatan endodontik. (A) dan (B) pengeluaran bahan
endodontik hingga setinggi tulang proksimal. (C) Gigi yang dilakukan overbleaching. (D) Foto follow-up 11
bulan.

Bersezio et al., mengevaluasi efektivitas walking bleach dengan berbagai agen bleaching

(hidrogen peroksida 35% dan karbamid peroksida 37%). Mereka juga meneliti efek

bleaching intrakoronal terjadap persepsi pasien mengenai psikososial dan estetik. Sebagai

hasil penelitian mereka, dilaporkan bahwa hasil efektif dan memuaskan didapatkan untuk

pasien setelah

bleaching intrakoronal (Bersezio et al., 2017). Gupta et al., melaporkan 95% kepuasan pasien

sebagai hasil bleaching intrakoronal yang dilakukan pada 41 pasien dengan diskolorasi

karena trauma (Gupta dan Saxena, 2014).


Parameter warna L*, a*, b* ditemtukan oleh Commission Internationale de L’Eclariage (CIE)

pada 1978 (CIELAB). SIstem ini meliputi variabel kecerahan (L*) dan koordinat kromatik

(merah/hijau,, a* dan kuning/biru, b*) dengan mengikuti persepsi warna manusia. Dengan

sistem ini, perbedaan antara dua pengukuran warna dapat ditentukan secara kuantitatif (∆E).

Penelitian-penelitian melaporkan bahwa perubahan 5 unit ∆E (berdasarkan CIELAB color

space) diperlukan untuk keberhasilan hasil perawatan bleaching (Bersezio et al., 2017). Oleh

karena, dapat diinterpretasikan bahwa perawatan bleaching intrakoronal memberikan

bleaching yang efektif (Bersezio et al., 2017; Deliperi, 2008; Poyser et al., 2004). Di sisi lain,

dilaporkan pada sebuah penelitian bahwa dokter gigi lebih kritis dalam mengevaluasi hasil

bleaching dibandingkan dengan pasien. Sebagai hasil dari follow-up klinis selama 5 tahun

dari gigi yang dilakukan leaching intrakoronal, tingkat keberhasilan dinilai masing-masing

75% dan 98% menurut dokter gigi dan pasien (Glockner et al., 1999).

9. Resorpsi Akar Servikal

Meskipun resorpsi akar servikal merupakan efek samping paling serius pada bleaching

intrakoronal Feiglin, 1987; MacIsaac and Hoen, 1994), mekanisme yang mendasari belum

sepenuhnya dipahami. Kasus pertama resorpsi akar servikal dilaporkan oleh Harrington dan

Natkin (1979). Menurut Heithersay (1999a), resorpsi akar servikal hanya terlihat 3,9% dari

kasus bleaching intrakoronal. Dia juga melaporkan bahwa resorpsi akar servikal disebabkan

oleh perawatan ortodontik (24,1%), trauma gigi (15,1%), dan prosedur bedah seperti

periodontal atau transplantasi (5,1%). Namun, dalam kombinasi bleaching intrakoronal dan

trauma gigi, laju resorpsi akar servikal meningkat lebih tinggi (Heithersay, 1999b). Beberapa
penelitian lanjutan jangka panjang telah melaporkan bahwa resorpsi akar servikal dapat

terlihat bahkan bertahun-tahun setelah bleaching intrakoronal (Abou-Rass, 1998; Aldecoa

dan Mayordomo, 1992; Anitua et al., 1990; Harrington dan Natkin, 1979; Holmstrup et. al.,

1988; Lado et al., 1983).

Diperkirakan bahwa resorpsi akar servikal akibat bleaching intrakoronal disebabkan oleh

penetrasiagen bleaching ke periodonsium. Adanya beberapa faktor predisposisi yang

meningkatkan penetrasi agen bleaching disebutkan (Baratieri et al., 1995; Friedman et al.,

1988; Niederman et al., 1998). Dietschi (2006) merekomendasikan penggunaan agen

bleaching konsentrasi rendah atau sodium perborate yang dicampur dengan akuades dengan

dinding dentin tipis. Dengan cara ini, kemungkinan penetrasi agen bleaching ke dalam

periodonsium akan berkurang. Selain itu, peningkatan insiden resorpsi akar servikal telah

dilaporkan pada pasien yang menjalani bleaching intrakoronal pada usia muda (AbouRass,

1998; Aldecoa dan Mayordomo, 1992; Anitua et al., 1990; Friedman et al., 1988; Harrington

dan Natkin. 1979; Holmstrup et al., 1988; Lado et al., 1983), karena memiliki tubulus dentin

yang relatif lebih besar.

Aktivasi panas diketahui dapat meningkatkan efektivitas agen bleaching. Dilaporkan bahwa

hidrogen peroksida yang diaplikasikan pada ruang pulpa dengan teknik termokatalitik dapat

menembus permukaan luar gigi (Al-Nazhan, 1991; Dahlstrom et al., 1997; Farmer et al.,

2006; Friedman et al., 1988; Friedman, 1989; Gimlin dan Schindler, 1990; Goon et al., 1986;

Lado et al., 1983; Latcham, 1986; Latcham, 1991; Madison dan Walton, 1990; Montgomery,

1984; Szajkis et al., 1986). Oleh karena itu, teknik termokatalitik tidak dipilih saat ini karena

risiko tinggi resorpsi akar servikal (Attin et al., 2003; Friedman, 1997; Madison dan Walton,

1990). Sebaliknya, resorpsi akar servikal tidak diamati pada sodium perborate - larutan

hidrogen peroksida dengan teknik waking bleach (Madison dan Walton, 1990). Saat ini,

karbamid peroksida sering dipilih sebagai agen bleaching intrakoronal (Bersezio et al., 2017;
Ganesh et al., 2013; Shaheen et al., 2017; Valera et al., 2009). Menurut Lee et al. (2004),

karbamid peroksida 35% menunjukkan difusi ekstraradikuler paling sedikit, diikuti oleh

sodium perborate dan hidrogen peroksida 35%. Selain itu, karbamid peroksida ditemukan

biokompatibel dibandingkan

hidrogen peroksida (Llena et al.,

2019).

Faktor predisposisi penting lainnya

dari resorpsi akar servikal yang

diamati setelah bleaching

intrakoronal adalah penutupan servikal

(Plotino et al., 2008). Namun, laju

resorpsi akar servikal dapat dikurangi menjadi 1,9% pada follow-up 16-19 tahun (Amato et

al., 2006; Heithersay et al., 1994), dengan penutupan servikal yang tepat (Heller et al., 1992).

Dietschi (2006) melaporkan bahwa resorpsi akar servikal tidak diamati setelah 20 tahun

bleaching intrakoronal dengan hidrogen peroksida 30% karena penutupan servikal yang

benar. Untuk memastikan penutupan servikal yang tepat, pengisian saluran akar perlu

dikurangi hingga 3 mm apikal dari cemento-enamel junction (CEJ) dan kemudian lapisan

kalsium hidroksida ditutup dengan bahan semen seperti zinc fosfat atau glass ionomer yang

diaplikasikan sebelum bleaching intracoronal (Rotstein et al., 1992). Idealnya, penutupan

servikal harus ditentukan sesuai dengan panjang mahkota gigi yang terlihat pada gigi yang

mengalami diskolorasi. Untuk ini, akan tepat untuk mengeluarkan pengisian saluran akar

yang ada hingga ketinggian tulang proksimal untuk menutup tubulus dentin interproksimal

(Carrillo et al., 1998; Steiner dan West, 1994) (Gambar 5 dan 6).
Gambar 5. Tampakan proksimal gigi anterior nonvital

Gambar 6. Penentuan ketinggian


penutupan servikal. (A) Mengkur panjang
mahkota klinis dengna probe periodontal.
(B) mengecek bahan enddontik telah
dikeluarkan hingga ketinggian tertentu,

Resorpsi akar servikal secara

umum asimptomatik secara klinis (Plotino et al., 2008). Oleh karena itu, gigi yang dilakukan

bleaching harus diperiksa secara radiografi dalam lima tahun pertama setelah bleaching

intracoronal. Diagnosis dini resorpsi akar servikal dapat dirawat, sedangkan ekstraksi adalah

satu-satunya pilihan pada resorpsi akar yang parah (Goon et al., 1986; Latcham, 1986).
Kesimpulan

Diskolorasi pada gigi nonvital, terutama pada daerah anterior menyebabkan masalah estetika

bagi pasien dan dapat memengaruhi kehidupan sehari-hari. Meskipun keberhasilan 100%

tidak tercapai pada semua bleaching intrakoronal dan tingkat rekurensi tertentu ditemui, ini

adalah perawatan konservatif yang dapat dipilih setidaknya untuk menunda perawatan

restoratif invasif.

Resorpsi akar servikal diamati pada gigi nonvital yang mengalami bleaching, terutama

dengan adanya riwayat trauma gigi. Oleh karena itu, harus dipastikan bahwa penutupan

servikal yang memadai dilakukan terlebih dahulu. Di sisi lain, teknik termokatalitik dan

aplikasi hidrogen peroksida dosis tinggi harus dihindari. Rekurensi tampaknya tak

terhindarkan setelah bleaching intracoronal, oleh karena itu diperlukan lebih banyak uji klinis

mengenai stabilitas warna untuk pemahaman yang lebih baik.

Anda mungkin juga menyukai