Anda di halaman 1dari 3

Totalitas Seorang Full Time Mother*

*Ditulis oleh Joko Setiawan, Seorang Pembelajar Sepanjang Zaman

Bismillahirrohmaanirohiim…

Sewaktu kita kecil ketika ditanya mengenai apa cita-cita di masa depan, tak ada satupun anak
perempuan yang akan menjawab bahwa ia menginginkan dan mencita-citakan menjadi seorang ibu
rumah tangga penuh waktu. Mereka akan menjawab mau menjadi dokter, guru, atau bahkan artis.
Ya karena memang itulah yang dapat mereka pahami dari dunia di sekitarnya. Yang baik itu bekerja,
bukan menjadi ibu rumah tangga, begitulah kira-kira pandangan umum kita semua.

Pandangan tersebut tidaklah salah sepanuhnya, karena kenyataannya memang demikian yang
jamak ditemui. Menjadi seorang ibu rumah tangga sepenuhnya, adalah sebuah kenyataan yang
diterima, karena tidak memiliki pendidikan yang tinggi, tidak memiliki skill (kemampuan) khusus
untuk bekerja, dan lain sebagainya. Maka, di sini dipahami bahwa menjadi seorang ibu rumah tangga
itu khusus bagi orang-orang yang kalah dan tidak punya masa depan juga kemampuan diri. Oleh
karenanya, jadilah ia sebagai ibu penuh waktu di rumah.

Namun ada sebagian kalangan yang mampu melihat profesi Ibu Rumah Tangga bukanlah
sebuah hal yang memalukan. Karena mereka menyadari, bahwa kehadiran seorang ibu di rumah
bagi anak-anaknya, bukanlah sekedar mampu memberikan makanan, pakaian dan kasih sayang
kepada anak semata, namun di situ ada visi peradaban atas pendidikan terbaik bagi anak. Kita tahu
bersama bahwa anak memiliki kemampuan daya serap yang begitu luar biasa dari orang
terdekatnya, dalam hal ini dari orang tuanya, dan yang lebih spesifik lagi adalah dari ibunya yang
setiap hari dan setiap waktu ada di sisinya. Bisa saja untuk hal-hal yang sifatnya menguras tenaga
fisik terkait urusan di rumah, itu bisa didelegasikan kepada orang, seperti beres-beres rumah, cuci
setrika pakaian, dan mengurus kebun pekarangan rumah, tapi fungsi sebagai seorang ibu penuh
waktu, tidak bisa didelegasikan, bukan karena keterpaksaan, namun karena kesadaran diri untuk
memberikan yang terbaik kepada anak dan juga suaminya.

Kita berusaha untuk mengadopsi pikiran di tengah-tengah saja. Menganggap profesi ibu
rumah tangga dengan ala kadarnya itu sangat disayangkan, tapi menganggap wanita bekerja tidak
peduli kepada anaknya, itu juga terlampau berlebihan. Yang terbaik dan seharusnya mampu
menuntun alam pikiran kita adalah bahwa menjadi seorang ibu itu harus LUAR BIASA. Bekal
pendidikan yang telah diraih pada S1, S2 atau bahkan S3, itu tidak menjadi alasan bahwa tidak bisa
menjadi ibu penuh waktu. Bahkan, ilmu dari pendidikan tinggi dan berbagai pengalaman lainnya itu
dapat menjadi dasar dalam memberikan pendidikan dan pengasuhan terbaik bagi anak. Bukankah
separuh hidup kita ini kita persembahkan untuk kebaikan masa depan mereka? Setelah memiliki
anak, kita tak lagi memikirkan egoisme kenyamanan diri sendiri, namun kenyamanan keluarga
bersama (suami, isteri dan anak).

Sebagai seorang suami yang masih mau terus belajar menjadi pemimpin keluarga yang baik
ini, saya sangat mengapresiasi dan respek terhadap apa yang menjadi pikiran isteri saya tercinta.
Atas keputusan pribadinya sejak awal, yang itu bukan karena tuntutan dari saya atau misalnya
pemaksaan dari orang tuanya dan lain sebagainya. Sedari awal menikah, dalam perbincangan-
perbincangan sederhana, berulang kali ia menyampaikan bahwa nanti akan mau mengurus anak
seutuhnya. Menjadi ibu penuh waktu, agar dapat memberikan Pendidikan terbaik untuk anak. Itu
yang menjadi tekadnya.

Tapi, apakah semuanya berjalan mulus begitu saja. Tentu saja tidak! Menjadi seorang ibu
penuh waktu, bukanlah hal yang mudah. Menjadi seorang ibu adalah sebuah pengalaman yang tidak
bisa dipelajari di sekolah atau bangku kuliah. Ia hanya baru bisa dirasakan, ketika berhadapan
langsung dengan anak kandungnya. Tentu, kita bisa belajar atas cerita-cerita dari orang lain, namun
emosi dan pikiran itu sama sekali tak bisa dilatih, kecuali menghadapi anak secara langsung. Jadi,
perasaan sedih, marah, kesal, bosan, bahkan perasaan tidak mampu mendidik anak sendiri, itu
sudah dirasakan semuanya oleh sang isteri. Tapi, apakah ia menyerah? Tidak! Terkadang, ia hanya
perlu sedikit rehat sejenak, untuk bisa kembali kepada kewarasan normal and back to the goals
yakni menjadikan anak generasi unggul di masa depan.

Untuk meraih itu semua, tidak semudah apa yang dituliskan oleh suaminya ini, yang 8 jam
waktunya atau bahkan lebih dari 10 jam berada di luar bekerja dan tidak membersamai pengasuhan
sang anak. Menjadi seorang full time mother, itu artinya tidak kolot dengan pandangan dan
pendapat pribadi, namun harus mau belajar dan terus belajar serta terbuka pikirannya atas
pengalaman-pengalaman praktik pengasuhan yang baik terhadap anak.

Oleh karenanya, sejak masa Ayumi 1 tahun, bahkan lebih kecil dari itu, sang isteri sudah
mengikuti banyak komunitas parenting terkait membersamai tumbuh kembang anak. Yang
dipilihnya pun tidak sekedar parenting secara umum, namun parenting yang berbasis fitrah Islam,
sehingga penanaman sejak dini akan ke-tauhid-an kepada anak. Sebenarnya, itu bukan tugas
seorang isteri semata, selayaknya sang suami (saya) juga ikut serta dalam kegiatan parenting
tersebut. Meski isteri banyak kecewa kepada saya, namun ia terus gigih belajar dan terus belajar
untuk memberikan pendidikan terbaik kepada anak kami tersebut, Ayumi Qonita Azzahra.

Semenjak tinggal di Kalimantan Timur ini, sang isteri berhasil tergabung di dalam Komunitas
IIP (Institut Ibu Profesional), di sana banyak sekali materi terstruktur untuk memberikan Pendidikan
kepada anak. Jadi, tidak asal materi saja, namun materi diberikan dengan langsung dipraktikkan,
sehingga bagi yang tidak praktik, dianggap gugur dan mengundurkan diri dari komunitas. Maka,
kalau masih ingin terus belajar, maka mau tidak mau juga harus melaksanakan semua tugas yang
dipraktikkan bersama dengan anak.

Selain totalitas dalam hal totalitas untuk kepentingan anak, sang isteri juga tidak lupa totalitas
dalam hal berusaha memberikan hidangan terbaik di rumah. Dengan kondisi dapur ala kadarnya,
tidak menyurutkan semangatnya untuk belajar di Cookpad, sebuah komunitas bagi emak-emak yang
gemar memasak. Eh, tapi jangan salah ya. Kegiatan memasak di Cookpad dikemas dengan sangat
profesional dan menjadi semacam media sosial khusus dunia permasakan. Jadi, sangat jauh lah dari
kesan membosankan dan jadul.

Ini adalah sebuah tulisan kecil, berisi penghargaan terhadap sang isteri tercinta. Karena dalam
dunia nyata, saya adalah orang yang tak pandai mengatur kata-kata. Karenanya, lebih senang
memilih menjelaskan sesuatu atau mengungkapkan sesuatu via tulisan, karena kalau apa yang ditulis
dirasa kurang tepat, bisa dihapus dulu untuk diperbaiki he he he.

Ditulis dengan penuh cinta untuk IIS SYARIFAH LATIF di Bandung dari sang suami di Pulau Kalimantan
Balikpapan, Ahad 7 Februari 2021

Anda mungkin juga menyukai