Rasa syukur saya kepada Allah dan rasa terima kasih saya pada ibu
menumpuk karena beliau telah 'mau' melahirkan saya ke dunia. Jasa
yang sangat besar di kala jaman kini banyak mereka yang tak
menginginkan kelahiran anaknya dengan menggugurkan janin yang
dikandungnya. Ditambah lagi jasa ibu membesarkan saya hingga saya
dewasa di tengah-tengah ekonomi yang sulit, tanpa pembantu, tanpa
alat-alat rumah tangga elektronik. Di saat ada juga orang yang
membuang bayinya karena alasan ketidaksiapan dan kemiskinan. Rasa
terima kasih yang telah mengalahkan kekesalan dan ketidakikhlasan
terpendam atas ketidaksempurnaan seorang manusia pada diri ibu.
Sekaligus mengingatkan saya untuk lebih berbakti pada sosok yang
sekarang semakin tua itu. Ini hal yang paling mendalam yang saya
dapatkan dari anak saya.
Menjadi orang dewasa yang sebenarnya saya pikir dirasakan juga oleh
mereka yang telah menjadi orang tua atau baru akan menjadi orang tua.
Sudah banyak contoh para suami yang sebelumnya tak toleransi pada
pekerjaan berat rumah tangga istrinya menjadi lebih peka dan mau
membantu pekerjaan rumah tangga (yang tak pernah punya kompromi
cuti) saat sang istri hamil. Berapa banyak calon ayah atau ayah yang
tergugah tanggungjawabnya sebagai tiang utama dalam nafkah keluarga
dan pelindung keluarganya ketika mengetahui istrinya mengandung atau
saat menatap wajah si kecil tertidur.
Anak juga mengajarkan point penting lain dalam kehidupan saya. Lewat
begadang di tengah malam karena terbangun oleh tangisan si kecil yang
minta susu, atau popoknya basah oleh pipis atau 'e'e, anak saya
mengajarkan kebahagiaan kecil lewat memberi dengan tulus dan rasa
cinta. Jangan pikir saya tak menggerutu dan agak malas untuk bangun
karena saya masih mengantuk. Sering kali saya (dan banyak ibu lainnya)
baru tidur kurang dari satu jam, dan tentu saja saya bukan malaikat yang
terus menerus bisa berlapang dada. Namun, semua rasa ini terbang
entah kemana ketika saya menatap wajah si kecil yang tertidur dengan
ekspresi puas karena kenyang minum ASI dan (atau) bersih popoknya.
Rasa yang dulu tidak saya dapatkan ketika harus begadang untuk
eksperimen karena harus mengejar data, meski sebagus apapun data
yang telah saya peroleh. Rasa yang membuat saya tak jera untuk
dibangunkan di tengah malam. Saya benar berharap, rasa bahagia dalam
memberi dengan ketulusan dan kecintaan bisa saya tularkan juga kepada
hal-hal lainnya dan orang lain dalam hidup saya.
Saya juga teringat, dulu saya sering tersenyum geli ketika bercakap-
cakap dengan anak-anak kawan-kawan dekat saya. Karena saya sering
menemui lagak dan gaya bicara mereka yang sama persis dengan ibunya.
Ya, karena anak-anak ternyata tumbuh dan besar dengan menjadikan
kita, ibunya, sebagai contoh. Contoh yang baik sekaligus yang buruk.
Karena itu anak adalah cermin bagi saya. Lewatnya saya dapat berkaca
sosok yang bagaimanakah yang sudah saya tampilkan padanya dan
ditirunya. Kadang, anak juga mengingatkan kepada kita dalam bentuk
bertanya. Karena anak adalah polos dan murni. Mereka akan
mempertanyakan ketika kita alpa melakukan apa yang telah kita
nasihatkan kepada mereka. Kehadiran anak telah mendorong saya untuk
mau berusaha menjadi sosok yang lebih baik, sehingga saya tidak akan
malu untuk bercermin pada mereka.
Sungguh, sebagai seorang ibu rasanya saya harus berterima kasih pada
anak, bukan sebaliknya. Lewat kehadirannya saya disadarkan dan
diingatkan oleh banyak hal yang kerap terlupakan. Mudah-mudahan ini
dirasakan pula oleh para ibu lainnya. Semoga, ketika anak kita
bertambah, semakin dewasa dan bijaklah kita, karena “guru” kita
bertambah banyak. Semoga ketika anak kita bertambah besar kita juga
telah belajar banyak hal yang mungkin tidak sebanding dengan yang
telah kita, sebagai ibunya, telah berikan.(Ya Allah terima kasih krn
Engkau menitipkan 2 jundi kecil pd hamba-Mu yg lemah ini bantulah aku
merawat dan mendidik mereka serta jadikanlah mereka anak2 yg shaleh)