Membicarakan ibu dan hubungannya dengan peradaban adalah hal yang tak akan habis
dibahas. Sebagai guru pertama dan utamanya anak-anak, seorang ibu jelas memiliki peran
penting dalam membangun peradaban. Maka tak heran jika ada quote "mendidik
satu ibu sama dengan mendidik satu generasi."
Cukup dengan satu ibu yang mau dan mampu bersungguh-sungguh atas perannya, satu
generasi akan aman berada di tangannya. Apakah kita bisa termasuk dalam golongan ibu
yang seperti ini? Ibu yang tidak hanya mampu mendidik anak-anak kandungnya sendiri,
namun juga mampu memberdayakan ibu-ibu lainnya untuk bisa berkolaborasi dalam
membangun peradaban?
bagaimana menjadi ibu peletak pondasi peradaban, kita bisa memulainya dari tiga hal ini.
Ketika sebuah cincin dilingkarkan ke jari manis kita oleh sang pujaan hati, apa yang terpikir
saat itu? Bahagia? Berbunga-bunga? Membayangkan betapa indahnya membangun rumah
tangga bersama dirinya? Namun pernahkah terbersit dalam diri kita saat itu, bagaimana
mendidik anak-anak? Seperti apa anak-anak akan dibesarkan? Ilmu-ilmu apa saja yang harus
kita miliki?
Sepertinya hampir sebagian besar dari kita tak memikirkan hal tersebut. Kita seringkali
membangun rumah tangga tanpa ilmu. Maka aku salut sekali pada teman-teman yang
mempersiapkan rumah tangganya dengan sebaik-baiknya sejak awal. Karena sejatinya
mendidik anak-anak memang dimulai dari saat kita memilih pasangan.
Kefakiran ilmu pada saat membangun rumah tangga biasanya akan berdampak pada proses
pengasuhan anak. Biasanya kita akan asal comot gaya pengasuhan yang diterapkan orangtua
kepada anak-anak, padahal belum tentu gaya tersebut sesuai dengan zaman dan karakter
anak-anak kita. Kita juga jadi rentan stress dan tak bahagia.
Namun hal paling berbahaya adalah ketika mulai membangun rumah tangga
sebenarnya kita belum selesai dengan diri sendiri. Apa maksudnya? Bahwa kita
2
masih memiliki luka-luka batin yang belum selesai, entah itu karena luka
pengasuhan di masa kecil, trauma terhadap hal-hal tertentu, ataupun ambisi-
ambisi pribadi yang belum tercapai.
Hal-hal yang belum selesai ini mungkin awalnya terlihat tak mengganggu, namun perlahan
bisa menjadi sandungan dalam proses membina rumah tangga dan pengasuhan anak-anak.
Maka penting sekali untuk memastikan bahwa saat ini kita telah selesai dengan diri sendiri.
Sehingga dalam proses mengasuh anak nantinya, kita tak lagi gampang marah hanya karena
hal-hal kecil secara berulang, mengulang kesalahan sama yang pernah orangtua lakukan dan
sebenarnya ingin kita hindari, atau malah menitipkan cita-cita yang belum tercapai kepada
anak-anak.
Nah, coba dicek ke dalam diri masing-masing, adakah yang belum selesai dari diri sendiri?
Kalau masih ada, segera tuntaskan dan let’s move on! Aku sendiri sampai detik ini masih
terus berjibaku dengan inner child. Setidaknya dengan mengenal inner child yang ada di
dalam diri, aku bisa lebih bersahabat dengannya, serta bisa lebih aware terhadap pemicu
emosi-emosi negatif yang sering hadir tak pada tempatnya.
Ada alasannya kenapa aku menempatkan selesai dengan diri sendiri pada urutan pertama.
Karena sesungguhnya ketika masih bermasalah di tahap pertama, menuju ke tahap kedua ini
prosesnya sangat menantang.
Nggak perlu jauh-jauh contohnya, aku sendiri saja lah. Di awal-awal pernikahan, boro-boro
deh taat, yang ada setiap hari berantem terus sama suami. Konfliknya pun selalu sama setiap
saat; tak percaya pada suami dan menyebabkanku posesif. Ternyata setelah proses penggalian
yang cukup dalam, semua itu terjadi karena aku punya background broken home yang
membuat pikiran alam bawah sadarku terdoktrin bahwasanya semua lelaki tak ada yang
setia.
Bahaya sekali jika tak segera diatasi. Suami pun juga jengah dong dituduh nggak setia setiap
saat, sedang doi sudah berusaha semaksimal mungkin menjadi laki-laki terbaik.
That’s why penting banget untuk selesai dengan segala luka, kesedihan, kemarahan,
kekecewaan, dan ambisi-ambisi di masa lalu. Segera tutup buku semua hal itu ketika kita
telah menerima pinangan sang pujaan hati. Dengan menyelesaikan benang-benang kusut
tersebut, insya Allah kita jadi lebih mudah untuk memaknai wajibnya ketaatan istri terhadap
suami.
Ridha Allah kepada perempuan yang sudah menikah terletak pada ridha
suaminya. Maka jangan sekali-kali biarkan suami tertidur tanpa ridha atas sikap
dan pelayanan kita di hari itu.
Begitu wejangan para ustazah yang selalu terngiang di telinga, meski pada prakteknya….
susah banget bo! Dalam sebuah sesi Parenting Nabawiyah beberapa bulan lalu, Ustazah
Poppy Yudhitia menyampaikan bahwasanya peran perempuan sebagai istri adalah yang
paling banyak disebut di dalam Al Quran, yaitu sebanyak 55 %. Sedangkan peran perempuan
sebagai pribadi hanya 16 % dan peran perempuan sebagai ibu 29 %
Artinya apa?
Bahwa Al Quran telah memberikan petunjuk, jika ingin berhasil menjadi seorang ibu, maka
kita harus bener dulu jadi seorang istri. Make sense! Kenapa? Seorang istri yang sudah
berhasil taat kepada suami, artinya dia telah mampu menurunkan ego serendah-rendahnya
demi memperoleh ridho Allah SWT. Karena sejatinya dia telah sadar bahwasanya
ketaatannya pada suami adalah salah satu bentuk ketaatannya pada Allah. Maka biasanya
akan tumbuh sisi keibuannya dengan lebih sempurna.
Insya Allah ketika peran istri telah dijalankan dengan sungguh-sungguh, Allah akan
memudahkan urusan kita dalam mengasuh anak-anak. Apalagi kalau komunikasi dan
kolaborasi dengan suami sudah terjalin dengan baik, visi misi keluarga pun bisa dibentuk
sehingga proses pengasuhan anak bisa berjalan dengan lebih lancar. Ayah sebagai kepala
sekolahnya yang menentukan gambaran besar ke manakah pendidikan anak-anak akan
4
dibawa, dan ibu sebagai sang guru utama yang akan menjadi pelaksana dari rencana sang
kepala sekolah.
Memang benar adanya bahwa untuk menjadi istri taat, dibutuhkan suami yang bisa berperan
maksimal sebagai qowwam. Namun urusan suami sudah berusaha jadi qowwam atau tidak
adalah urusannya dengan Allah, tugas kita sebagai istri ketika suami belum berperan sebagai
sebenar-benarnya qowwam adalah melecut agar qowwammah-nya muncul. Salah satunya
adalah dengan percayakan urusan nafkah keluarga kepadanya.
Sudah menjadi hal biasa jika sekarang ibu-ibu yang lebih banyak belajar dari para ayah.
Maka nggak heran ketika di rumah para ibu pengennya berbagi ilmu yang sudah
didapatkannya agar suaminya pun juga ikut berubah. Sayangnya, seringkali kita para
perempuan ini menggunakan cara yang kurang tepat, sehingga suami justru merasa tak
nyaman karena merasa diceramahi.
Related: LEXO LAB Indonesia: Aplikasi Belajar Bahasa Inggris Anak Free Wajib Coba!
Ustazah Poppy menyampaikan tiga cara yang sebaiknya dilakukan istri jika ingin merubah
perilaku suaminya;
Dua, ubah diri kita menjadi istri yang Allah ridhai. Intinya adalah fokus saja memberikan
pelayanan yang terbaik pada suami. Kalau kata Pak Dodik Mariyanto, “Janganlah
berbagi beban, berbagilah kebahagiaan.” Saat istri sudah tak terlalu
banyak mengeluh dan mampu mengelola emosinya dengan baik, mampu menampilkan
perilaku-perilaku yang lebih baik setiap harinya, insya Allah perlahan suami akan mengikuti,
Tiga, doakan pada Allah. Sesungguhnya Allah Sang Pemilik Hati, maka jika segala ikhtiar
telah dicoba, namun suami belum juga ada perubahan, bermunajatlah padaNya karena hanya
Allah yang mampu membolak-balikkan hati hambaNya. Minta kepadaNya agar suami kita
bisa berperan menjadi qowwam sebenar-benarnya.
Ketika PR nomor 1 dan 2 telah selesai dilaksanakan atau setidaknya sedang berproses
memperjuangkannya, barulah kita masuk ke tahap ketiga. Di tahap ini kita menyempurnakan
peran perempuan dengan porsi 29 % disebutkan dalam Al Quran, yaitu sebagai seorang ibu.
Sebaik-baiknya manusia adalah yang paling banyak memberikan manfaat kepada sekitarnya.
Sebagai ibu, keluarga adalah yang paling berhak mendapatkan manfaat dari diri kita. Untuk
bisa menebar manfaat sebagai seorang ibu, maka menurutku inilah yang harus disiapkan:
Sebelum belajar ilmu-ilmu lainnya, ilmu agama adalah hal terpenting yang harus dimiliki
oleh seorang ibu. Apalagi di zaman sekarang ini, di mana tauhid mulai tergerus, keimanan
mulai mudah goyah karena perkembangan teknologi, ibu harus menyiapkan tameng pertama
untuk anak-anaknya. Tameng terbaik adalah Al Quran dan Sunnah.
Tentunya sebelum anak-anak kita paksa mengenal tuhan, nabi dan kitab sucinya, kita sebagai
ibunya harus tahu dan dekat dulu. Mana mungkin mengenalkan tauhid pada anak, ketika kita
sendiri masih gagap mempercayai Allah 100 %, sholat masih suka menunda-nunda, Al Quran
pun sering lupa dibaca. Bagaimana mungkin kita mengajarkan anak tentang Allah
6
mencukupkan rezeki setiap hambaNya ketika masih ada rasa khawatir di dalam diri besok
makan apa saat menengok di dompet tak tersisa selembar rupiah pun.
Dengan mendalami agama, kita juga bisa belajar kisah-kisah perempuan hebat pada
zamannya, ibunda-ibunda para ulama yang membesarkan putra-putranya dengan penuh
keimanan yang teguh dan kuat. Sehingga tak ada waktu lagi untuk baper bab pengasuhan.
Tantangan kita tak ada apa-apanya di banding perempuan-perempuan hebat tersebut.
Belajar agama juga menjadi pengaman bagi diri untuk tidak keluar dari rel. Al Quran dan
hadits telah mengatur semua bab kehidupan dengan sebaik-baiknya, termasuk soal
pengasuhan anak. Dengan mempelajari Al Quran secara mendalam, kita jadi nggak mudah
terjerat dalam tsunami informasi, karena bisa memilih dan memilah mana yang sesuai dengan
agama dan tidak.
Karena pasti akan selalu ada bedanya orang yang mau belajar dengan yang tak
mau belajar.
C. Menemukan Passion
Ibu yang mampu menemukan passion-nya berarti telah mengenal dirinya sendiri dengan
lebih baik, sehingga diharapkan ia pun akan mampu memandu anak-anaknya dengan lebih
baik dan well prepared. Selain itu anak-anak akan merasa kagum kepada ibunya, hingga
menjadikan ibunya sebagai seorang panutan. Betapa ibuku adalah perempuan cerdas yang
selalu bisa menjawab segala kebingunganku. Betapa ibuku adalah perempuan kreatif yang
selalu punya ide-ide masakan unik. Betapa ibuku adalah perempuan hebat yang mampu
menggerakkan orang lain lewat cerita-cerita yang ditulisnya.
Sebuah perjalanan yang panjang untuk bisa menjadi ibu pembangun peradaban. Terlihat
rumit, tapi bukan berarti tak mungkin. Mari segera mulai tiga hal di atas tanpa nanti.
Usahakan yang terbaik sebisa dan semampu kita. Masalah hasil biarkan Allah yang
menentukannya. Maka jangan pernah lupa untuk selalu mengiringi setiap ikhtiar kita dengan
munajat-munajat panjang kepadaNya. Karena sejatinya doa adalah seni dari segala
ketidakmungkinan. Selamat membangun peradaban, para ibu di seluruh dunia!