Anda di halaman 1dari 9

LABORATORIUM FARMAKOLOGI

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS HASANUDDIN

LAPORAN PRAKTIKUM
“OBAT-OBAT SISTEM SARAF PUSAT”

NAMA : FITRIYANI

NIM : N011191047
KELOMPOK : 8
GOLONGAN : JUMAT SIANG
ASISTEN : FATMIANI ATMIN

MAKASSAR
2021
HASIL DAN PEMBAHASAN
I. Prinsip Dasar Praktikum
Praktikum obat-obat sistem saraf pusat dilakukan dengan memberikan obat-
obat antikonvulsan dengan mekanisme kerja berbeda-beda yakni diazepam,
fenobarbital, asam valproat, dan fenitoin serta kontrol negatif dengan memberikan
NaCMC kepada mencit yang telah dipuasakan. Selanjutnya untuk melihat efek dari
obat-obat tersebut, mencit yang telah diberi perlakuan ditempatkan di rolling roller
apparatus (RRA) dan diamati lama mencit tersebut dapat bertahan di RRA.

II. Tujuan Praktikum


Adapun tujuan praktikum sistem saraf pusat ini antara lain :
1) Mengetahui gangguan dalam sistem saraf pusat yakni epilepsi serta mekanisme
terjadinya epilepsi.
2) Mengetahui mekanisme kerja obat untuk mengurangi gejala kejang
(antikonvulsan) pada gangguan epilepsi.
3) Mengetahui dan mengamati efek obat entikonvulsan terhadap mencit.
4) Menghubungkan antara hasil praktikum yang diperoleh dengan mekanisme kerja
dan efek dari obat antikonvulsan.

III. Dasar Teori


Konvulsi (kejang) adalah kondisi abnormal pada motorik, sensorik, otonomik,
dan aktivitas psikis atau kombinasi semua aspek tersebut yang terjadi akibat adanya
muatan yang berlebihan tiba-tiba pada saraf otak. Konvulsi dapat terjadi secara tiba-
tiba dan sementara. Konvulsi merupakan gejala utama pada penyakit epilepsi (1).
Epilepsi merupakan gangguan pada sistem saraf yang paling umum ditemui
selain stroke, sekitar 1% populasi dunia mengalami gangguan ini. Epilepsi adalah
gangguan kronis yang ditandai adanya gejala kompleks berupa bangkitan/serangan
berulang. Bangkitan/serangan ini merupakan hasil dari aktivitas listrik abnormal yang
terjadi di saraf otak (2). Bangkitan epilepsi dapat terjadi ketika sejumlah besar neuron
mengalami potensial aksi berkelanjutan. Hal ini dapat terjadi umumnya karena
ketidakseimbangan neurotransmitter, aktivitas neurotransmitter inhibitorik yang terlalu
sedikit dibandingkan aktivitas eksitatorik, seperti pada gangguan fungsi
neurotransmitter inhibitor Gamma-Aminobutirat Acid (GABA) atau efek
berkepanjangan neurotransmitter eksitatorik glutamat (3).
Neurotransmitter glutamat merupakan neurotransmitter eksitatorik. Setelah
dilepaskan, neurotransmitter ini akan berikatan dengan reseptornya yakni AMPA (α-
amino-3-hydroxy-5-methylisoxazole-4-propionicacid), KA (kainicacid), dan NMDA (N-
methyl-D-aspartate) di pasca-sinaps. Reseptor AMPA merupakan kanal yang
permeabel terhadap ion Na+ dan K+, tetapi tidak untuk Ca2+. Begitu pula reseptor KA
permeabel terhadap ion Na+ dan K+, tetapi tidak untuk Ca2+, akan tetapi reseptor ini
tidak banyak tersebar tidak seperti AMPA dan NMDA. Sementara itu NMDA
merupakan reseptor yang permeabel untuk ion Na+, K+, dan Ca2+. Gangguan
neurotransmitter glutamate ini seperti kelebihan pengeluaran glutamat menyebabkan
ion-ion Na+ dan Ca2+ masuk ke dalam sel secara berlebihan, sehingga dalam sel akan
bermuatan positif, akibatnya akan terjadi potensial aksi (depolarisasi) secara terus-
menerus sehingga menyebabkan terjadinya bangkitan (2).
Sedangkan neurotransmitter GABA merupakan neurotransmitter inhibitorik.
Neurotransmitter ini akan berikatan dengan reseptornya yakni GABA A dan GABAB di
pasca-sinaps setelah dilepaskan. Reseptor GABAA dan GABAB ini selektif permeabel
terhadap ion Cl-, masuknya ion ini ke dalam sel akan mengakibatkan sel bermuatan
negatif sehingga akan membuat sel kembali ke fase potensial istirahat. Pengeluaran
GABA yang lebih sedikit dari seharusnya menyebabkan ion Cl- yang masuk ke dalam
sel juga menjadi sedikit akibatnya tidak terjadi potensial istirahat, sehingga akan
terjadi potensial aksi berkelanjutan dan menyebabkan terjadinya bangkitan (2).
Selain ketidakseimbangan kadar neurotransmitter eksitatorik dan inhibitorik,
bangkitan epilepsi juga dapat terjadi karena adanya perubahan saluran atau kanal ion
dalam membran sel saraf, terjadinya modifikasi biokimia pada reseptor, perubahan
konsentrasi ion ekstraseluler, dan peningkatan dan produksi metabolism
neurotransmitter (4).
Oleh karena itu pengobatan terhadap epilepsi pada umumnya mencakup efek
pada saluran ion Na+ dan Ca2+ dengan menunda pemulihan atau pengaktifan saluran
atau kanal ion tersebut, meningkatkan kadar GABA, serta mengurangi kadar glutamat
(4). Pengobatan terhadap epilepsi ini bertujuan untuk membantu penderita epilepsi
untuk bebas dari kejang saat fase bangkit. Obat-obat anti kejang ini disebut juga
antikonvulsan (5).

IV. Hasil
WAKTU BERTAHAN
KELOMPOK PERLAKUAN
(Detik)
NaCMC1 25.70 detik
1 NaCMC2 02.34 menit
NaCMC3 02.48 menit
Diazepam1 33 detik
2 Diazepam2 47.27 detik
Diazepam3 49.2 detik
Fenobarbital1 47.31 detik
3 Fenobarbital2 52.6 detik
Fenobarbital3 61.2 detik
Asam valproat1 7.77 detik
4 Asam valproat2 19.85 detik
Asam valproat3 25 detik
Fenitoin1 10.66 detik
5 Fenitoin2 60 detik
Fenitoin3 77.51 detik

V. Pembahasan
Praktikum sistem saraf pusat kali ini bertujuan untuk mengetahui mekanisme
kerja dan efek obat-obatan antikonvulsan. Praktikum dilakukan dengan memberikan
obat-obat antikonvulsan kepada mencit yang telah dipuasakan selama 8 jam. Obat
obat antikonvulsan tersebut yakni diazepam 0,2 mg/kg BB mencit, fenobarbital 6
mg/kg BB mencit, asam valproat 10 mg/kg BB mencit, dan fenitoin 8 mg/kg BB mencit,
serta dibandingkan dengan kontrol negatif yang diberikan NaCMC 1%. Selanjutnya
untuk melihat efek dari obat-obat tersebut, mencit yang telah diberi perlakuan
ditempatkan di rolling roller apparatus (RRA) dan diamati lama mencit tersebut dapat
bertahan di RRA. Pengujian ini bertujuan mengetahui efek obat terhadap koordinasi
motor tubuh. Mencit normal dapat mempertahankan posisinya di RRA dalam waktu
yang lama, sedangkan mencit yang koordinasi motorik tubuhnya terganggu akan jatuh
dalam waktu 30-60 detik (5).
Perlakuan pertama yakni kontrol negatif yakni mencit yang diberikan NaCMC
1%. NaCMC merupakan bahan yang sering digunakan sebagai eksipien (bahan
tambahan) dalam sediaan farmasi, karena memilki sifat netral dan tidak memengaruhi
zat aktif atau obat lain (6). Dari praktikum diperoleh waktu bertahan mencit yang
diberikan NaCMC adalah 25.70 detik, 2 menit 34 detik, dan 2 menit 48 detik dengan
rata- rata 129.23 detik dan durasi waktu bertahan ini merupakan yang paling lama di
antara semua perlakuan. Hal ini menunjukkan bahwa koordinasi motorik mencit yang
diberikan NaCMC tidak mengalami gangguan. Hal ini sesuai dengan pustaka rujukan
yakni NaCMC merupakan zat yang memiliki sifat netral dan tidak memiliki efek apapun
termasuk efek sebagai antikonvulsan dan tidak pula memiliki efek samping yang
dapat memengaruhi koordinasi motorik tubuh (6).
Perlakuan kelompok mencit kedua yakni pemberian diazepam 0,2 mg/kg BB
mencit. Dari praktikum diperoleh durasi waktu bertahan mencit yang diberi perlakuan
ini adalah 33 detik, 47.27 detik, dan 49.2 detik dengan rata-rata 43.15 detik. Mencit
tersebut jatuh dalam rentang waktu 30-60 detik. Hal ini menunjukkan adanya
gangguan terhadap koordinasi motorik tubuh mencit. Sedangkan berdasarkan
pustaka, diazepam mempunyai peranan yang besar dalam penanganan status
epileptikus. Dimana, mekanisme kerja dari diazepam yaitu sebagai derivat dari
benzodiazepine bekerja secara selektif pada reseptor asam gamaaminobutirat A
(GABAA) yang memerantarai penghambatan transmisi sinaptik yang cepat melalui
Susunan Saraf Pusat (SSP). Adapun diazepam secara spesifik terikat pada tempat
ikatan alosterik dan meningkatkan afinitas GABA pada reseptornya sehingga terjadi
peningkatan frekuensi pembukaan kanal klorida (7). Durasi bertahan mencit yang
diberikan diazepam hanya 43.15 detik yang menunjukkan adanya gangguan
koordinasi motorik, hal ini dapat terjadi karena efek samping yang ditimbulkan oleh
diazepam adalah ataksia dan letargi, selain itu diazepam juga memiliki efek sebagai
sedativa dan hipnotika yang memungkinkan mencit tidak dapat bertahan dalam
kesadaran yang lama setelah pemberian diazepam.
Perlakuan kelompok mencit ketiga adalah pemberian fenobarbital 6 mg/kg BB
mencit. Durasi bertahan mencit kelompok ini adalah 47.31 detik, 52.6 detik, dan 61.2
detik dengan rata-rata 53.7 detik. Sedangkan berdasarkan pustaka, fenobarbital
merupakan senyawa yang meniru kerja GABA. Fenobarnital merupakan senyawa
organik pertama yang digunakan dalam pengobatan antikonvulsi. Mekanisme
kerjanya dengan membatasi penjalaran aktivitas bangkitan dan menaikkan ambang
rangsang. Efek utama barbiturat ialah depresi sistem saraf pusat. Semua tingkat
depresi dapat dicapai mulai dari sedasi, hipnosis, berbagai tingkat anesthesia, koma
sampai dengan kematian. Efek hipnotik fenobarbital dapat dicapai dalam waktu 20-
60 menit dengan dosis hipnotik (2). Efek samping obat ini antara lain dapat
menimbulkan depresi, letargi, vertigo, ataksia, mengantuk, dan delirium
(kebingungan) (7). Pada kelompok mencit yang diberikan fenobarbital ini, waktu
bertahan hanya rata-rata 53.7 detik yang menunjukkan adanya gangguan pada
koordinasi motorik tubuh mencit tersebut. Hal ini dapat terjadi karena mencit
mengalami kelelahan dan gangguan motorik akibat dari efek samping fenobarbital,
sehingga mencit tidak dapat mempertahankan posisinya di RRA.
Perlakuan kelompok mencit keempat adalah pemberian asam valproat 10
mg/kg BB mencit. Diperoleh waktu bertahan mencit kelompok ini adalah selama 7.77
detik, 19.85 detik, dan 25 detik dengan rata-rata 17.54 detik. Asam valproat
merupakan obat antikonvulsan yang termasuk dalam peningkat GABA. Asam valproat
bekerja dengan memfasilitasi GAD (Glutamic Acid Decarboxylase) yang merupakan
enzim untuk sintesis GABA, asam valproat juga menghambat transporter GAT-1
untuk melakukan ambilan kembali GABA, sehingga meningkatkan kadar GABA.
Kadar GABA yang tinggi dapat membantu untuk terjadinya fase istirahat (2). Akan
tetapi asam valproat memiliki efek samping berupa agitasi (resah), kebingungan, sakit
kepala, insomnia, sedasi, depresi, dan edema peripheral (7). Mencit yang diberikan
asam valproat rata-rata dapat bertahan selama 17.54 detik, durasi bertahan ini sangat
sebentar, kurang dari 30 detik yang menunjukkan adanya gangguan motorik. Hal ini
dapat terjadi karena pemberian asam valproat memberikan efek samping sedasi
untuk mencit tersebut sehingga kesadaran mencit mulai mengalami pengurangan dan
mencit tidak dapat mempertahankan posisinya di RRA untuk waktu yang lama.
Kelompok perlakuan kelima adalah mencit yang diberikan fenitoin 8 mg/kg BB
mencit. Diperoleh waktu bertahan mencit kelompok ini adalah 10.66 detik, 60 detik,
dan 77.51 detik dengan rata-rata 49.39 detik. Fenitoin merupakan antikonvulsan
golongan bloker kanal natrium. Fenitoin berikatan dengan bagian inaktiv kanal
natrium, sehingga menyebabkan kanal ini tertutup, dan natrium terhambat untuk
masuk ke dalam sel, sehingga tidak terjadi potensial aksi (2). Efek samping obat ini
pada sistem saraf pusat adalah ataksia, agitasi, kebingungan, sakit kepala, insomnia,
dan lemas (7). Mencit yang diberi fenitoin dapat bertahan di RRA selama rata-rata
49.39 detik yang menunjukkan koordinasi motoriknya terganggu. Hal ini dapat terjadi
karena mencit mengalami ataksia (gangguan motorik) dan lemas akibat dari
pemberian fenitoin, sehingga mencit tidak mempertahankan posisinya di RRA.
PENUTUP
I. Kesimpulan
Kesimpulan dari praktikum ini adalah pemberian obat antikonvulsan dapat
mengurangi kejang, akan tetapi juga dapat menimbulkan efek samping pada sistem
saraf pusat dan organ lain, salah satu efek samping yang banyak ditemukan pada
obat antikonvulsan adalah ataksia (gangguan koordinasi gerak) dan letargi
(kelelahan). Efek samping ini terlihat pada pemberian obat antikonvulsan terhadap
mencit, mencit yang diberikan obat antikonvulsan tidak dapat mempertahankan
posisinya untuk durasi yang lama di alat rolling roller apparatus (RRA) berbeda
dengan mencit yang hanya diberi NaCMC. Durasi bertahan terlama terdapat pada
kelompok mencit yang diberikan NaCMC yakni selama 129.23 detik, kemudian
kelompok mencit yang diberikan fenobarbital selama 53.7 detik, lalu kelompok mencit
yang diberikan diazepam selama 43.15 detik, kelompok mencit yang diberikan fenitoin
selama 49.39 detik, dan yang paling sebentar durasi bertahannya adalah kelompok
mencit yang diberikan asam valproat yaitu hanya selama 17.54 detik.
II. Saran

Saran untuk praktikum yaitu sebaiknya praktikan lebih memahami teori dan metode
praktikum dengan lebih baik lagi, agar tujuan dari praktikum dapat tercapai dengan
maksimal.
DAFTAR PUSTAKA

(1) Muttaqin, A. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta : Salemba Medika. 2008.
(2) Ganiswara S. Obat Otonom. Dalam Farmakologi dan Terapi ed.5. Jakarta:
Departemen Farmakologi dan Terapi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2007.
(3) Sherwood, L. Introduction to Human Physiology 8th edition. Canada : Nelson
Education. 2013.
(4) Wells, B. G. et all. Pharmacotherapy Handbook 9th edition. New York : McGraw-Hill.
2015.
(5) Alfathan, P. dan Wathoni, N. Review Artikel : Metode Pengujian Aktivitas
Antikonvulsan sebagai Skrining Pengobatan Epilepsi. Jurnal Farmaka. 2019; 17(2)
: 143-149.
(6) Puspitasary, K., Novitasari, M., dan Widyaningrum, N. R. Pengaruh Perbandingan
Sodium Carboxy Methyl Cellulose (CMC Na) terhdap Uji Fisik Gel Ekstrak Daun The
Hijau (Camelisa sinensis L.). Avicenna Journal of Health Research. 2019; 2(2) : 111-
120.
(7) Katzung B.G., Masters, S.B. dan Trevor, A.J. Farmakologi Dasar & Klinik, Vol.2, Edisi
12. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2014.

Anda mungkin juga menyukai