penggunaan obat modern, herbal, dan obat tradisional yang digunakan masyarakat untuk
menyembuhkan berbagai penyakit dan 80% di berbagai Negara mengobati sendiri (WHO,
2020). Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No.919/MENKES/PER/X/1993
mendefinisikan swamedikasi sebagai upaya pengobatan yang dilakukan secara mandiri
untuk mengobati gejala sakit atau penyakit tanpa berkonsultasi dengan dokter terlebih
dahulu. Berikut merupakan contoh-contoh sediaan obat-obat kulit yaitu:
1. Krim. Terdapat dua jenis krim, yaitu krim o/w, yang terdiri dari emulsi minyak dalam
air dan krim w/o dari air dalam lemak.
2. Emulsi adalah campuran dari minyak nabati dan air yang dibuat dengan bantuan
suatu zat "pengikat" (emulgator). Bergantung pada banyaknya minyak, bentuk emulsi
mulai dari cairan encer sampai cairan kental. Emulsi cocok untuk digunakan pada
kulit kering, tetapi kurang cocok untuk kulit yang berambut dan pada lipatan-lipatan
kulit.
3. Salep terdiri seluruhnya dari lemak dan sebagai dasar biasanya digunakan vaselin,
lemak wol (adeps) atau campurannya. Efek obat dalam salep bertahan lebih lama
daripada krim.
4. Gel sama sekali tidak mengandung lemak , karena khusus terdiri dari zat - zat yang
mengembang dalam air menjadi bentuk kental. Gel dapat digunakan dengan baik
pada kulit berambut dan dengan mudah dapat dicuci seluruhnya dengan air.
5. Losion adalah larutan atau suspensi dari obat dalam air dan biasanya dengan
tambahan alkohol. Losion bekerja dengan menyejukkan kulit karena menguapnya
air.
6. Aerosol adalah bentuk semprotan dari obat yang terlarut dalam alkohol atau pelarut
lain. Sediaan ini sangat praktis untuk mengobati misalnya luka lecet karena tidak
perlu ditutup lagi dengan kasa.
7. Serbuk tabur adalah campuran dari obat dengan talk, pati (amilum), atau tepung
beras. Penggunaannya dapat disamakan dengan losion, yakni untuk pengobatan
permukaan tubuh yang luas dan lipatan-lipatan kulit, misalnya serbuk dengan mentol
pada gatal-gatal seluruh badan akibat cacar air. Serbuk tidak boleh ditaburkan pada
luka terbuka.
8. Kompres adalah cara penggunaan dengan kasa atau sehelai kain, yang dibasuh
dengan suatu larutan. Sediaan ini sangat berguna pada gatal-gatal dan ruam yang
berair.
Swamedikasi penyakit kulit yang disebabkan oleh kelainan kelenjar dan akneiform:
1. Akne vulgaris
● Derajat ringan: retinoid topikal, benzoil peroksida, dan antibiotik topikal.
● Derajat sedang: retinoid topikal, benzoil peroksida, dan antibiotik oral.
● Derajat berat: isotretinoin oral, dan antibiotik oral.
2. Rosacea
● Topikal: tetrasiklin, klindamisin, atau eritromisin salep 0,5-2%, metronidazol 0,75%-
2%, krim imidazol ± sulfur 2-5%, isotretinoin krim 0,2%, antiparasit (lindane,
krotamiton, bensil benzoate), dan steroid potensi rendah untuk stadium berat.
● Sistemik: tetrasiklin 2x500 mg, doksisiklin 2x100 mg, minosiklin 1x50 mg, atau
eritromisin 2x500 mg, isotretinoin 0,5-1mg/kgBB/hari, dan metronidazole 2x500 mg
3. Miliaria
● Bedak kocok dengan kandungan kalamin dan mentol.
● Kortikosteroid topikal
● Antibiotik topikal jika ada infeksi sekunder
● Lanolin anhidrous, Isotretinoin untuk miliaria profunda
Swamedikasi Alergi
Swamedikasi yang dapat dilakukan untuk kondisi alergi adalah menghindari penyebab
alergi. Menghindari alergen atau hal-hal yang memicu alergi merupakan pengobatan terbaik.
(dapusnya di https://books.google.co.id/books?
id=dawEEAAAQBAJ&pg=PA15&dq=swamedikasi+untuk+alergi+mata&hl=en&newbks
=1&newbks_redir=0&source=gb_mobile_search&ovdme=1&sa=X&ved=2ahUKEwj2ldu
GsZCBAxU7wzgGHf_CCvUQ6AF6BAgJEAM).
1. Alergi mata
Swamedikasi terhadap mata dilakukan dengan : kompres air hangat pada kelopak mata
selama 5–10 menit , 2–3 kali sehari untuk merangsang pengeluaran air mata . Juga lebih
banyak berkedip ketika bekerja misalnya di depan komputer. Pengobatan sering kali efektif
dengan air mata buatan yang dapat dibeli bebas di apotek dan terdiri dari larutan garam dan
suatu zat yang membentuk lapisan film, seperti polivinilalkohol (Optifresh) atau zat
pembasah hypromellose (Genteal) (dapus buku hijau).
2. Urtikaria
Swamedikasi untuk urtikaria biasanya dilakukan dengan:
● Cool down rapidly, jika gejala urtikaria terjadi, redakan segera dengan membuat
tubuh dingin dengan beberapa cara seperti mandi dengan air dingin, basahi
menggunakan botol semprot yang berisi air dingin, menggunakan kompres es,
melepas lapisan pakaian atau semacamnya.
● Mengatur pola makan, hindari memakan makanan asam, makanan pedas, atau
makan yang dapat mengganggu sistem pencernaan.
● Berolahraga, terapi keringat dapat menginduksi kekambuhan dari urtikaria sehingga
dapat membatasi tingkat keparahannya. Hal ini akan memaksa reaksi urtikaria dalam
durasi 24-48 jam.
● Perawatan kulit yang baik, penting untuk memastikan kulit aman untuk mencegah
kambuhnya urtikaria. Hal ini dapat dilakukan dengan penggunaan sabun yang
bersifat hipoalergenik, begitupun dengan sampo, detergen, dan lotion hipoalergenik.
● Meminum vitamin dan suplemen, konsumsi vitamin dan suplemen juga dapat
membantu mengurangi frekuensi kambuhnya gejala ini. Vitamin yang dapat
dikonsumsi seperti vitamin D3, vitamin C, vitamin B complex, vitamin B6 atau B12,
sedangkan untuk suplemen dapat berupa pil minyak ikan (omega 3) atau probiotik.
● Meminum antihistamin, agen antihistamin dapat menghambat atau mencegah
pelepasan histamin dalam tubuh. Antihistamin yang biasa digunakan seperti
loratadine, cetirizine, atau fexofenadine.
● Meminum anabolik steroid, pemanfaatan anabolik steroid dapat mengurangi gejala
dari urtikaria kolinergik. Obat yang biasa digunakan yaitu Danzol dengan zat aktif
berupa danazol.
DAPUS : B. Page. 2014. Cholinergic Urticaria: A Guide to Chronic Heat Hives. B. Page
Publisher.https://www.google.co.id/books/edition/Cholinergic_Urticaria_A_Guide_to_
Chronic/vn4eAwAAQBAJ?hl=en&gbpv=1&kptab=overview
3. Asma
Terapi yang dapat dilakukan untuk asma menggunakan inhaler digunakan untuk
mengurangi gejala, tetapi untuk kasus yang parah inhaler memerlukan efek yang lebih lama.
Sedangkan kategori asma persisten menggunakan metode inhalasi kortikosteroid yang
membutuhkan waktu minum obat setiap hari disebut juga long term controller. Salah satu
golongan obat asma yang masih sering digunakan di Indonesia yaitu teofilin, dan yang
paling umum digunakan dalam penanganan eksaserbasi asma adalah aminofilin yang
merupakan turunan teofilin. Aminofilin merupakan prodrug dari teofilin dan mempunyai
bioavailabilitas di dalam darah yang sama dengan sediaan teofilin.
(dapus jurnal defi salsabila putri 2023,
https://ojs.stfmuhammadiyahcirebon.ac.id/index.php/mh/article/download/555/417)
4. Rhinitis alergi
Menghindari pemicu, terutama pada gejala musiman, dianjurkan, meskipun hal ini tidak
selalu praktis. Tindakan pencegahan dapat dilakukan untuk menghindari tungau debu, bulu
binatang, dan kain pelapis, meskipun hal ini memerlukan perubahan gaya hidup yang
signifikan yang mungkin tidak dapat diterima oleh pasien. Jika mengeluarkan hewan
peliharaan dari rumah tidak memungkinkan, mengisolasi hewan peliharaan di satu ruangan
di dalam rumah dapat menjadi pilihan untuk meminimalkan paparan bulu. Mungkin
diperlukan waktu hingga 20 minggu untuk menghilangkan bulu kucing dari rumah, bahkan
setelah hewan tersebut dikeluarkan. Penutup tempat tidur yang kedap alergen, mencuci
seprai dengan air panas, dan penggunaan penyedot debu dengan filter udara partikulat
efisiensi tinggi (HEPA) juga dapat mengurangi gejala.
Terapi kortikosteroid intranasal dapat berupa monoterapi atau kombinasi dengan
antihistamin oral pada pasien dengan gejala ringan, sedang, atau berat. Penelitian
menunjukkan kortikosteroid intranasal lebih unggul dibandingkan antihistamin dalam
mengurangi peradangan hidung dan memperbaiki patologi mukosa secara efektif. Oleh
karena itu, steroid intranasal topikal harus menjadi pengobatan lini pertama untuk AR.[12]
Obat semprot hidung yang umum tersedia antara lain beclomethasone dan mometasone
furoate. Steroid oral dan suntik telah terbukti meringankan gejala AR tetapi tidak
direkomendasikan untuk penggunaan rutin karena profil efek samping sistemiknya yang
signifikan [10].
Antihistamin generasi pertama meliputi diphenhydramine, chlorpheniramine, dan
hydroxyzine, sedangkan fexofenadine, loratadine, desloratadine, dan cetirizine adalah
contoh antihistamin generasi kedua. Antihistamin generasi pertama dan kedua efektif dalam
mengendalikan gejala AR. Namun, antihistamin generasi pertama bisa sangat
menenangkan karena kemampuannya melewati sawar darah otak. Antihistamin generasi
kedua telah meningkatkan selektivitas H1, kurang menenangkan, dan memiliki waktu paruh
lebih lama (12 hingga 24 jam) dibandingkan antihistamin generasi pertama. Fexofenadine
tidak memiliki efek sedatif, namun loratadine dan desloratadine mungkin memiliki efek
sedatif pada dosis yang lebih tinggi. Cetirizine mempunyai potensi paling besar untuk sedasi
dibandingkan semua antihistamin generasi kedua. Tidak ada satu obat yang
direkomendasikan dibandingkan obat lain, karena semuanya menunjukkan profil
kemanjuran dan keamanan yang serupa dalam hal meredakan gejala [5].
Antagonis reseptor leukotrien (LTRA) seperti montelukast dan zafirlukast dapat
bermanfaat pada pasien AR, namun tidak seefektif kortikosteroid intranasal [13].
Dekongestan oral seperti pseudoefedrin berguna dalam meredakan gejala tetapi tidak
direkomendasikan untuk penggunaan jangka panjang setiap hari karena profil efek
sampingnya. Dekongestan intranasal seperti xylometazoline adalah agonis alfa yang dikirim
langsung ke jaringan hidung untuk menghasilkan vasokonstriksi. Penggunaan dekongestan
intranasal dalam jangka panjang berisiko menyebabkan hidung tersumbat kembali (rinitis
medikamentosa) dan oleh karena itu, sebaiknya tidak digunakan lebih dari seminggu [10].
PUSTAKA:
5. Tran NP, Vickery J, Blaiss MS. Management of rhinitis: allergic and non-allergic.
Allergy Asthma Immunol Res. 2011 Jul;3(3):148-56. [PMC free article] [PubMed]
10. Wise SK, Lin SY, Toskala E, Orlandi RR, Akdis CA, Alt JA, Azar A, Baroody FM,
Bachert C, Canonica GW, Chacko T, Cingi C, Ciprandi G, Corey J, Cox LS, Creticos
PS, Custovic A, Damask C, DeConde A, DelGaudio JM, Ebert CS, Eloy JA, Flanagan
CE, Fokkens WJ, Franzese C, Gosepath J, Halderman A, Hamilton RG, Hoffman HJ,
Hohlfeld JM, Houser SM, Hwang PH, Incorvaia C, Jarvis D, Khalid AN, Kilpeläinen M,
Kingdom TT, Krouse H, Larenas-Linnemann D, Laury AM, Lee SE, Levy JM, Luong AU,
Marple BF, McCoul ED, McMains KC, Melén E, Mims JW, Moscato G, Mullol J, Nelson
HS, Patadia M, Pawankar R, Pfaar O, Platt MP, Reisacher W, Rondón C, Rudmik L,
Ryan M, Sastre J, Schlosser RJ, Settipane RA, Sharma HP, Sheikh A, Smith TL,
Tantilipikorn P, Tversky JR, Veling MC, Wang Y, Westman M, Wickman M, Zacharek M.
International Consensus Statement on Allergy and Rhinology: Allergic Rhinitis. Int
Forum Allergy Rhinol. 2018 Feb;8(2):108-352. [PubMed]
12. Yáñez A, Rodrigo GJ. Intranasal corticosteroids versus topical H1 receptor
antagonists for the treatment of allergic rhinitis: a systematic review with meta-
analysis. Ann Allergy Asthma Immunol. 2002 Nov;89(5):479-84. [PubMed]
13. Ratner PH, Howland WC, Arastu R, Philpot EE, Klein KC, Baidoo CA, Faris MA,
Rickard KA. Fluticasone propionate aqueous nasal spray provided significantly
greater improvement in daytime and nighttime nasal symptoms of seasonal allergic
rhinitis compared with montelukast. Ann Allergy Asthma Immunol. 2003
May;90(5):536-42. [PubMed]