Anda di halaman 1dari 32

REALITA NIKAH MUT’AH (KAWIN KONTRAK)

Oleh:
MUTOHAROH
3215080174
PENDIDIKAN FISIKA REGULER

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM


UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
2010/2011

1
Kata Pengantar

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya,

sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis dengan judul “Realita Nikah Mut’ah

(Kawin Kontrak)” yang di susun berdasarkan data-data yang di peroleh dari berbagai sumber

informasi.

Karya Tulis ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas dari mata kuliah Pendidikan

Agama Islam II. Penulis sangat berterima kasih kepada Ibu Zakiya selaku dosen pembimbing

mata kuliah Pendidikan Agama Islam II yang telah membiimbing penulis dalam

menyelesaikan makalah ini. Selain itu, penulis juga mengucapkan terima kasih banyak

terhadap teman-teman sekalian yang telah membantu banyak dalam penusunan tugas ini.

Walaupun makalah ini telah selesai, namun penulis menyadari bahwa penulis

bukanlah manusia sempurna sehingga penulis sangat menyadari bahwa makalah ini masih

sangat banyak memiliki kesalahan dan kekurangan-kekurangan sehingga makalah ini

sangatlah jauh dari kata sempurna. Maka dari itu, penulis sangatlah berharap mendapat

masukan-masukan mengenai makalah ini agar kedepannya penulis dapat memperbaiki

kesalahan-kesalahan dan kekurangan-kekurangan yang ada pada makalah ini di makalah

selanjutnya.

Penulis berharap semoga karya tulis ini dapat bermanfaat bagi diri sendiri dan para

pembaca pada umumnya. Dan penulis berharap bahwa makalah ini juga bisa menjadi salah

satu sumber informasi bagi para pembaca yang sedang mengkaji masalah yang sama dengan

makalah ini

Jakarta, Oktober 2010

Penulis.

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................. i


DAFTAR ISI ............................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang................................................................................................... 1
B. Perumusan Masalah........................................................................................... 2
C. Kegunaan Penulisan Karya Tulis ..................................................................... 2
D. D.Tujuan Penulisan Karya Tulis....................................................................... 2
E. Metodologi........................................................................................................ 3

BAB II PEMBAHASAN
A. TINJAUAN TENTANG PERKAWINAN
1. Makna Perkawinan Bagi Manusia..................................................................... 4
2. Tujuan Perkawinan............................................................................................ 8
3. Syarat-syarat Sahnya Perkawinan..................................................................... 8

B. TINJAUAN TENTANG NIKAH MUT’AH


1. Definisi nikah mut’ah........................................................................................ 9
2. Tarikh nikah mut’ah........................................................................................ 10
3. Menurut UU No.1 Tahun 1974....................................................................... 11
4. Menurut Hukum Agama Islam........................................................................ 14
5. Menurut Pandangan Kaum Sunni dan Syiah................................................... 17
6. Tinjauan Historis dan Sosiologogis ................................................................ 21
7. Menurut Sosial & Budaya .............................................................................. 23
8. Menurut Ekonomi ........................................................................................... 24
9. Fakta Nikah Mut’ah di Indonesia ................................................................... 25

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN


A. Kesimpulan ..................................................................................................... 27
B. Saran ............................................................................................................... 27
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 29

3
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG

Sudah menjadi kodrat alam, sejak dilahirkan manusia selalu hidup bersama dengan
manusia lainnya di dalam suatu pergaulan hidup. Hidup bersama manusia adalah untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya, baik yang bersifat jasmani maupun rohani.

Pada umumnya, pada suatu masa tertentu bagi seorang pria maupun seorang wanita
timbul kebutuhan untuk hidup bersama dengan manusia lain, yang berlainan jenis
kelaminnya. Hidup bersama antara seorang pria dan wanita tersebut tidak selalu ditujukan
untuk memenuhi kebutuhan biologis kedua manusia tersebut saja, tetapi pada umumnya
dapat dikatakan, menyalurkan kebutuhan biologis merupakan faktor pendorong yang
penting untuk hidup bersama tadi, baik dengan keinginan mendapat anak keturunannya
sendiri, maupun hanya untuk memenuhi hawa nafsu belaka.

Hidup bersama antara seorang pria dan wanita tersebut mempunyai akibat yang
sangat penting dalam masyarakat, baik terhadap kedua belah pihak maupun terhadap
keturunannya serta anggota masyarakat lainnya. Oleh karena itu dibutuhkan suatu peraturan
yang mengatur tentang hidup bersama tersebut.Dengan demikian sejak dulu kala hubungan
pria dan wanita dalam perkawinan telah dikenal, walaupun dalam sistem yang beraneka
ragam, mulai dari yang bersifat sederhana sampai kepada masyarakat yang berbudaya
tinggi, baik yang pengaturannya melalui lembaga-lembaga masyarakat adat maupun
denganperaturan perundangan yang dibentuk melalui lembaga kenegaraan serta ketentuan-
ketentuan yang digariskan agama.

Manusia adalah mahluk yang lebih dimuliakan dan diutamakan oleh Allah
dibandingkan dengan mahluk-mahluk lainnya. Allah menetapkan adanya aturan tentang
perkawinan bagi manusia dengan aturan-aturan yang tidak boleh dilanggar, manusia tidak
boleh berbuat semaunya seperti binatang, kawin dengan lawan jenis semaunya atau seperti
tumbuh-tumbuhan yang kawin dengan perantara angin. Allah telah memberikan batas
dengan peraturan-peraturannya,yaitu dengan syare’at yang terdapat dalam Kitab-Nya dan
Hadist Rasul-Nya dengan hukum-hukum perkawinan. Namun kenyataannya dalam
perkembangan masyarakat sekarang ini ada yang menyalahgunakan perkawinan dengan
melakukan nikah mut’ah seperti yang terjadi kota tertentu seperti bogor . Istilah nikah
mut’ah menggambarkan suatu perkawinan yang dilakukan berdasarkan kontrak yang berisi

4
perjanjian untuk hidup bersama sebagai suami istri dalam jangka waktu tertentu dengan
adanya imbalan. Pelaksanaan nikah mut’ah sangat bertentangan dengan UU No.1 Tahun

1974 tentang perkawinan, walaupun nikah mut’ah tidak diatur secara khusus karena nikah
mut’ah merupakan fenomena baru dalam masyarakat. Tujuan dari nikah mut’ah adalah untuk
menyalurkan nafsu birahi tanpa adanya keinginan untuk hidup bersama dan membentuk
rumah tangga yang kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa bahkan terkadang juga
tidak mengharapkan adanya keturunan, hal ini tentu saja bertentangan dengan tujuan
perkawinan.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Apa yang melatar belakangi dan menjadi tujuan wanita bersedia melakukan nikah mut’ah?
2. Dimanakah biasanya nikah mut’ah banyak/sering dilakukan?

3. Bagaimana nikah mut’ah dilihat dari perspektif islam dan dari perspektif budaya norma
Indonesia?

4. Wanita yang seperti apakah yang biasanya melakukan nikah mut’ah?

5. Mengapa nikah mut’ah diharamkan?

C. KEGUNAAN

a. Bagi penulis pembahasan ini merupakan wahana latihan pengembangan ilmu


pengetahuan dan ketrampilan.
b. Dengan pembahasan ini dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan hukum perdata
pada umumnya dan hukum perkawinan pada khususnya.

D. TUJUAN
Tujuan dari diadakannya penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui latar belakang dan tujuan wanita melakukan kawin kontrak atau nikah
mut’ah.
2. Untuk mengetahui proses pelaksanaan kawin kontrak (nikah mut’ah)

5
E. METODOLOGI

Kegiatan penulisan karya tulis ini dilakukan dengan menggunakan metode tinjauan pustaka.
Penulisan ini dilakukan dengan mengumpulkan data-data atau informasi-informasi terkait
melalui buku, jurnal, dan tulisan-tulisan di website.

6
BAB II

PEMBAHASAN

A. TINJAUAN TENTANG PERKAWINAN

1. Makna Perkawinan Bagi Manusia

Aristoteles, seorang filsuf Yunani, yang terkemuka, pernah berkata bahwa manusia
adalah zoon politicon, yaitu selalu mencari manusia lainnya untuk hidup bersama dan
kemudian berorganisasi. Hidup bersama merupakan suatu gejala yang biasa bagi seorang
manusia, dan hanya manusia-manusia yang memiliki kelainan-kelainan sajalah yang mampu
hidup mengasingkan diri dari orang-orang lainnya dalam bentuknya yang terkecil, hidup
bersama itu dimulai dengan adanya keluarga. Keluarga-keluarga tersebut akan terbentuk
dengan adanya perkawinan, antara menusia yang berlainan jenis.
Perkawinan memiliki peranan yang sangat penting dalam masyarakat. Perkawinan
merupakan suatu kegiatan yang pokok dan utama untuk mengatur kehidupan rumah tangga.
Selanjutnya diharapkan adanya keturunan yang merupakan susunan masyarakat kecil dan
nantinya akan menjadi anggota masyarakat yang luas. Dengan adanya keturunan yang
diperoleh melalui perkawinan, manusia dapat memlihara kelestarian jenisnya sehingga
manusia keberadaannya tidak akan punah dari dunia ini. Perkawinan diharapkan juga akan
memberikan kebahagiaan baik lahir maupun batin bagi manusia.
a. Makna Perkawinan Menurut UU No.1 Tahun 1974
Menurut ketentuan pasal 1 UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974, perkawinan adalah ikatan
lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri. Ikatan lahir adalah
hubungan formal yang dapat dilihat karena dibentuk menurut undang-undang. Hubungan
mana mengikat kedua pihak dan pihak lain dalam masyarakat. Ikatan batin adalah hubungan
tidak formal yang dibentuk dengan kemaunan bersama yang sungguhsungguh yang mengikat
kedua pihak saja. Suami istri ialah fungsi masing-masing pihak sebagai akibat dari adanya
ikatan lahir batin. Tidak ada ikatan lahir batin berarti tidak ada fungsi sebagai suami istri.
Dalam rumusan UU No.1 Tahun 1974, mengandung harapan bahwa dengan melangsungkan
perkawinan akan diperoleh kebahagiaan, baik materiil maupun spirituil. Kebahagiaan yang
ingin dicapai bukanlah kebahagiaan yang sifatnya sementara saja, tetapi kebahagiaan yang
kekal, karenanya perkawinan yang diharapkan juga adalah perkawinan yang kekal yang dapat
berakhir dengan kematian.

7
Makna perkawinan dalam UU No.1 Tahun 1974, adalah perkawinan dapat memenuhi
kebutuhan lahiriah sebagai manusia, sekaligus terdapat adanya suatu pertautan batin antara
suami dan istri yang ditujukan untuk membina suatu keluarga atau rumah tangga yang kekal
dan bahagia bagi keduanya, yang sesuai dengan kehendak Tuhan Yang Maha Esa. Dari
perkawinan tersebut, diharapkan akan lahir keturunan, sehingga manusia dapat melestarikan
jenisnya.
b. Makna Perkawinan Menurut Hukum Agama Islam
Pengertian perkawinan menurut hukum islam ialah, suatu akad atau perikatan guna
mengesahkan (menghalalkan) hubungan seksual (kelamin) antara laki-laki dan perempuan
dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup keluarga, yang diliputi rasa ketentraman serta
kasih sayang dengan jalan yang diridhoi Allah SWT.
Menurut hukum islam, nikah adalah akad yang mengandung kebolehan untuk
bersetubuh dengan lafadz atau terjemahan dari katakata tersebut. Jadi maksud pengertian
tersebut adalah apabila seorang laki-laki dan seorang perempuan sepakat untuk membentuk
suatu rumah tangga, maka hendaknya keduanya melakukan akad nikah lebih dahulu.
Kata kawin menurut istilah hukum islam sama dengan kata nikah atau zawaj. Yang
dinamakan menikah menurut syara’ ialah akad (ijab qabul) antara wali calon istri dan
mempelai laki-laki dengan ucapan-ucapan tertentu dan memenuhi rukun dan syarat-
syaratnya.
Perkawinan dalam bahasa arab ialah nikah. Menurut Syara’, hakikat nikah itu ialah aqad
antara calon istri dan calon suami untuk membolehkan keduanya bergaul sebagai suami istri.
nikah adalah perjanjian dan ikatan lahir batin antara laki-laki dengan seorang perempuan
yang dimaksudkan, untuk bersama serumah tangga dan untuk berketurunan, serta harus
dilangsungkan memenuhi rukun dan syarat-syaratnya menurut Islam dan negara.
Dari pengertian perkawinan tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa perkawinan
menurut hukum islam adalah suatu akad (perjanjian) yang suci untuk hidup sebagai suami
istri yang sah, membentuk keluarga bahagia dan kekal, yang unsur-unsurnya sebagai berikut:
1). Ikatan yang suci antara seorang pria dan seorang wanita.
2). Membentuk keluarga bahagia dan sejahtera (makruf, sakinah, mawaddah dan rahmah).
3). Kebahagiaan yang kekal dan abadi penuh kesempurnaan baik moral maupun spiritual.
Perkawinan adalah sunatullah, Allah SWT sangat menganjurkan perkawinan, karena
perkawinan memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Dengan
melaksanakan perkawinan manusia diharapkan dapat memenuhi kebutuhan baik lahiriah

8
maupun batiniah, dan memperoleh kebahagiaan dari perkawinan tersebut. Makna penting
perkawinan bagi manusia diantaranya adalah:
1). Memelihara kelestarian jenis manusia Termasuk kebenaran yang tidak dapat dibantah
adalah bahwasanya perkawinan merupakan jalan untuk memperbanyak keturunan manusia
dan perbuatan yang pokok dalam usaha pelestarian dan kekelannya. Karena Allah SWT telah
mewariskan bumi dan segala isinya kepada manusia Sebagai salah satu mahluk hidup di
dunia ini, manusia harus bereproduksi untuk melestarikan jenisnya. Namun cara-cara
bereproduksi manusia sangat berbeda dengan mahluk-mahluk lainnya. Manusia adalah
mahluk yang paling dimuliakan Allah SWT, karena memiliki akal, sehingga membedakannya
dengan mahluk lain.
Manusia bereproduksi melalui lembaga yang disebut perkawinan. Dari perkawinan ini
diharapkan akan lahir keturunan-keturunan, sehingga jenis manusia tidak akan punah dan
dapat terus mengelola bumi dan seluruh isinya yang telah diwariskan Allah SWT.
2). Menjaga jalur keluarga (nasab) Dengan perkawinan yang disyari’atkan oleh Allah
SWT, seorang anak akan jelas garis keturunannya/nasab. Karena nasab adalah kehormatan
mereka yang sejati, kemuliaan kemanusiaan. Jika tidak ada perkawinan maka masyarakat
akan dipenuhi oleh manusia-manusia tanpa kemuliaan dan garis keturunan yang jelas.
Keadaan ini merupakan penyebab kerusakan akhlak, dan menyebarkan kerusakan, dekadensi
dan kehidupan serba boleh.
3). Menyelamatkan masyarakat dari dekadensi moral Dengan melaksanakan perkawinan
seseorang telah menyelamatkan masyarakat dari dekadensi (kerusakan) moral serta
mengamankan pribadi dari kerusakan masyarakat. Karena hasrat untuk menyukai lawan jenis
telah terpuaskan dengan perkawinan yang sesuai syari’at dan jalan yang halal. Hasrat untuk
menyukai lawan jenis pada manusia haruslah disalurkan dengan jalan yang halal yaitu
melalui perkawinan. Perkawinan akan menyelamatkan masyarakat dari penyakit menular dan
membahayakan yang tersebar akibat perilaku seks bebas, zina dan perbuatan-perbuatan keji
lainnya, seperti AIDS, penggunaan miras dan NAPZA (Narkotika, Psikotropika dan Zat
Adiftif).
Pernikahan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum perkawinan masing-masing
agama dan kepercayaan serta tercatat oleh lembaga yang berwenang menurut perundang-
undangan yang berlaku.

Perkawinan adalah salah satu bentuk ibadah yang kesuciannya perlu dijaga oleh kedua
belah pihak baik suami maupun istri. Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga
yang bahagia sejahtera dan kekal selamanya. Perkawinan memerlukan kematangan dan

9
persiapan fisik dan mental karena menikah / kawin adalah sesuatu yang sakral dan dapat
menentukan jalan hidup seseorang

Dasar dan Tujuan Pernikahan Menurut Agama Islam :

Dasar Hukum Agama Pernikahan / Perkawinan (Q.S. 24-An Nuur : 32)

 ‫واس; ٌع عَلي ٌم‬


ِ ُ‫ض;لِ ِه َو هللا‬ َّ ‫َو أَ ْن ِك ُحوا اأْل َيامى ِم ْن ُك ْم َو‬
ْ َ‫الص;الِحينَ ِمنْ ِعب;;ا ِد ُك ْم َو إِم;;ائِ ُك ْم إِنْ يَ ُكونُ;;وا فُقَ;;را َء يُ ْغنِ ِه ُم هللاُ ِمنْ ف‬
(32) Dan kawinlah laki-laki dan perempuan yang janda di antara kamu, dan budak-
budak laki-laki dan perempuan yang patut buat berkawin. Walaupun mereka miskin,
namun Allah akan memampukan dengan kurniaNya karena Tuhan Allah itu adalah Maha
Luas pemberianNya, lagi Maha Mengetahui (akan nasib dan kehendak hambaNya).

Tujuan Pernikahan / Perkawinan (Q.S. 30-An Ruum : 21)

‫ات لَِق ْوٍم َيَت َف َّك ُرو َن‬


ٍ ‫ك آلي‬ِ ِ ِ ِ ‫و ِمن آياتِِه أَ ْن خلَق لَ ُكم ِمن أَْن ُف ِس ُكم أ َْزو‬
َ َ ‫اجا لتَ ْس ُكنُوا إلَْي َها َو َج َع َل َبْينَ ُك ْم َم َو َّدةً َو َرمْح َةً إ َّن يِف َذل‬
ً َ ْ ْ ْ َ َ َ ْ َ

Artinya : “Dan di antara ayat-ayat-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari
jenismu sendiri, supaya kamu merasa nyaman kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu
mawadah dan rahmah. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
.tanda-tanda bagi kaum yang berpikir” [Ar-Rum 21]

Perkawinan adalah sunatullah, hukum alam di dunia. Perkawinan tidak hanya dilakukan
oleh manusia, tetapi hewan bahkan juga tumbuhan. Seperti
firman Allah dalam Al Qur’an yaitu:

Surat Yasin ayat 36


َ‫ق الَّ ِذي ُسب َْحان‬ ُ ِ‫يَ ْعلَ ُمونَ ال َو ِم َّما أَ ْنفُ ِس ِه ْم َو ِم ْن األرْ ضُ تُ ْنب‬
ْ ‫ت ِم َّما هَاكُاَّل‬
َ َ‫ألز َوا َج َخل‬

“Maha suci Allah yang telah menjadikan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang
ditumbuhkan di bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.”

Surat Adz Dzariyat ayat 49


ِ ‫ُون لَ َعلَّ ُك ْم َز ْو َجي‬
ْ‫ْن َخلَ ْق َنا َشيْ ٍء ُك ِّل َومِن‬ َ ‫َت َذ َّكر‬
“Dan dari segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan
kebesaran Allah.”

10
2. Tujuan Perkawinan

Tujuan perkawinan ialah : perintah Allah untuk memperoleh keturunan yang sah dalam
masyarakat, dengan mendirikan rumah tangga yang damai dan teratur.
Maksud dan tujuan perkawinan dalam Islam adalah sebagai berikut:
1. Mentaati perintah Allah SWT, dan mengikuti jejak para nabi dan rasul, terutama
meneladani sunah Rasulullah Muhammad SAW, karena hidup beristri, berumah tangga
dan berkeluarga adalah termasuk sunah beliau.
2. Memelihara pandangan mata, menentramkan jiwa, memelihara nafsu seksual,
menenangkan pikiran, membina kasih sayang serta menjaga kehormatan dan memelihara
kepribadian.
3. Melaksanakan pembangunan materiil dan spiritual dalam kehidupan keluargadan rumah
tangga sebagai sarana terwujudnya keluarga sejahtera dalam rangka membangun
masyarakat dan bangsa.
4. Memelihara dan membina kualitas dan kuantitas keturunan untuk mewujudkan
kelestarian kehidupan keluarga disepanjang masa dalam rangka pembinaan mental
spiritual dan fisik matriil dan yang diridhoi Allah SWT.
5. Mempererat dan memperkokoh tali keluarga dan antara keluarga suami dan keluarga
istri sebagai sarana terwujudnya kehidupan masyarakat yang aman dan sejahtera lahir
dan batin dibawah naungan rahmat Allah SWT.

3. Syarat-syarat Sah nya Perkawinan


Perkawinan yang sah menurut hukum Islam adalah perkawinan yang memenuhi rukun-
rukun dan syarat-syarat sebagai berikut:
1. Syarat umum yaitu tidak ada larangan perkawinan
2. Syarat khusus yaitu adanya calon pengantin laki-laki dan calon pengantin wanita. Kedua
calon mempelai ini haruslah Islam, akil baligh (dewasa dan berakal), sehat baik rohani
maupun jasmani.
3. Harus ada persetujuan bebas antara kedua calon mempelai
4. Harus ada wali nikah
5. Harus ada dua (2) orang saksi
6. Bayarlah mahar (mas kawin)
7. Sebagai proses terakhir dan lanjutan dari akad nikah ialah pernyataanpernyataan ijab dan
qabul.

11
B. TINJAUAN TENTANG NIKAH MUT’AH
1. Definisi Nikah Muth'ah

Nikah secara bahasa artinya berkumpul atau bercampur, sedangkan menurut syari’at
secara hakekat adalah akad (nikah) dan secara majaz adalah al-wath’u (hubungan seksual)
menurut pendapat yang shahih, karena tidak diketahui sesuatupun tentang penyebutan kata
nikah dalam kitab Allah -Subhanahu wa ta’ala- kecuali untuk makna at-tazwiij
(perkawinan).Kata mut’ah dan derivasinya disebutkan sebanyak 71 kali dalam Al-Qur’an,
dalam surat yang berbeda-beda, walaupun maknanya bermacam-macam tetapi kembali
kepada satu pokok seputar pengambilan manfaat atau keuntungan.

Nikah muth'ah adalah ikatan seeorang laki-laki dengan seseorang perempuan dalam
batas waktu tertentu dengan upah tertentu pula. Menurut imam-imam madzhab di dalam kitab
mereka, nikah muth'ah adalah pernikahan dengan batasan waktu baik waktunya sudah
diketahui atau tidak, kurang lebih lamanya waktu adalah sampai empat puluh lima hari,
kemudian nikah itu naik dengan mengganti batas waktu tersebut dengan batasan satu kali
haidh atau dua kali haidh pada wanita yang haidh. Dan selama 4 bulan 10 hari pada wanita
yang ditinggal mati suaminya, dan hukum nikah tersebut bahwasanya tidak ditetapkan mahar
tanpa syarat baginya, dan tidak ditetapkan nafkah baginya, dan tidak ada waris-mewaris,
tidak ada I'ddah kecuali meminta lepas menurut yang ia ingat, dan tidak ditetapkan nasab.
Dari definisi tersebut bahwasanya perkawinan yang seperti ini terjadi kontradiksi terhadap
arti nikah sesungguhnya. Bahwa nikah itu adalah suatu ikatan yang kuat dan perjanjian yang
teguh yang ditegakkan di atas landasan niat untuk bergaul antara suami istri dengan abadi
supaya memetik buah kejiwaan yang telah digariskan Allah dalam al-qur'an yaitu
ketentraman, kecintaan, dan kasih sayang. Sedangkan tujuan yang bersifat duniawi adalah
demi berkembangnya keturunan dan kelangsungan hidup manusia. Seperti Firman Allah :
) : ‫وهللا جعل لكم من انفسكم ازواجا وجعل لكم من ازواجكم بنين وحفدة (النحل‬
Artinya :
Allah telah menjadikan jodoh bagimu dari jenismu sendiri (laki-laki dan perempuan), dan
dari perjodohanmu itu anak-anakmu. (An-nahl : 76)
) 1: ‫يايهاالناس اتقوا ربكم الذى خلقكم من نفس واحدة وخلق منها زوجها وبث منهارجاال كثيرا ونساء (ألنساء‬
Artinya :
Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari
diri yang satu dan dari padanya Allah menciptakan istrinya dan dari keduanya Allah
memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. (An-nisa' : 1)

12
2. Tharikh nikah Muth'ah
Nikah muth'ah pernah diperbolehkan oleh Rasulullah sebelum stabilitasnya syari'at islam,
yaitu diperbolehkannya pada waktu berpergian dan peperangan. Akan tetapi kemudian
diharamkan. Rahasia diperbolehkan nikah muth'ah waktu itu adalah karena masyarakat islam
pada waktu itu masih dalam transisi (masa peralihan dari jahiliyah kepada islam). Sedang
perzinaan pada masa jahiliyah suatu hal yang biasa. Maka setelah islam datang dan menyeru
pada pengikutnya untuk pergi berperang. Karena jauhnya mereka dari istri mereka adalah
suatu penderitaan yang berat. Sebagian mereka ada yang kuat imannya dan adapula yang
sebagian tidak kuat imannya. Bagi yang lemah imannya akan mudah untuk berbuat zina yang
merupakan sebagai berbuatan yang keji dan terlarang. Dan bagi yang kuat imannya
berkeinginan untuk mengkebiri dan mengipoternkan kemaluannya. Seperti apa yang
dikatakatan oleh Ibn Mas'ud :
.‫ أال نستخصى؟ فنهانا رس••ول هللا ص••ام عن ذال••ك‬: ‫ كنا نغزوا مع رسول هللا صام وليس معنا نساء فقلنا‬: ‫عن بن مسعود قال‬
.‫ورخص لنا ان ننكح المرأة الثوب إلى أجل‬
Artinya :
Dari mas'ud berkata : waktu itu kami sedang perang bersama Rasulullah SAW dan tidak
bersama kami wanita, maka kami berkata : bolehkah kami mengkebiri (kemaluan kami).
Maka Raulullah SAW melarang kami melakukan itu. Dan Rasulullah memberikan
keringanan kepada kami untuk menikahi perempuan dengan mahar baju sampai satu waktu.
Tetapi rukhshah yang diberikan nabi kepada para shabat hanya selama tiga hari
setelah itu Beliau melarangnya, seperti sabdanya :
‫ ثم نهى عنه••ا (رواه‬,‫ ثالثة أي••ام‬,‫ رخص رسول هللا صلى هللا عليه وسلم عام أوطاس فى المطعة‬: ‫وعن سلمة بن األكوع قال‬
) ‫مسلم‬
Artinya :
Dari Salamah bin Akwa' berkata : Rasulullah SAW memberikan keringanan nikah muth'ah
pada tahun authas (penaklukan kota Makah) selama 3 hari kemudian beliau melarangnya
(HR Muslim)
Dari hadis Salamah ini memberikan keterangan bahwasanya Rasulullah pernah
memperbolehkan nikah muth'ah kemudian melarangnya dan menasah rukhshah tersebut.
Menurut Nawawi dalam perkataannya bahwasanya pelarangannya dan kebolehannya terjadi
dua kali, kebolehannya itu sebelum perang khaibar kemudian diharamkannya dalam perang
khaibar kemudian dibolehkan lagi pada tahun penaklukan Makah (tahun Authas), setelah itu

13
nikah muth'ah diharamkan selama-lamanya, sehingga terhapuslah rukhshah itu selama-
lamnya. Seperti dalam hadis Rasulullah SAW :
)‫ نهى رسول هللا صام عن المتعة عام خيبر (متفق عليه‬: ‫وعن علي رضي هللا تعالى عنه قال‬
Artinya :
Dari Ali ra. berkata : Rasulullah melarang nikah muth'ah pada tahun Khaibar.
‫ وإن هللا قد‬,‫ إنى كنت أذنت لكم اإلستمناع من النساء‬: ‫ أن رسول هللا صام قال‬,‫ عن أبيه رضي هللا عنه‬,‫وعن ربيع بن سبورة‬
)‫حرم ذلك إلى يوم القيامة (أخرجه مسلم وأبو داود والنساء وأحمد وابن حبان‬
Artinya :
Dari Rabi' bin Saburah, dari ayahnya ra. Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda :
sesungguhnya aku telah memberikan izin kepadamu untuk memintak muth'ah dari wanita,
dan sesungguhnya Allah SAW telah mengharamkan itu sampai hari kiamat (HR Muslim, Abu
Daud, Nasai', Ahmad, dan Ibn Majah)

3. Nikah Mut’ah Di Tinjau dari UU No.1 TAHUN 1974


Perkawinan menurut UU No.1 tahun 1974 adalah ikatan lahir batin diantara seorang pria
dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk rumah tangga yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sehingga perkawinan merupakan salah satu
tujuan hidup manusia untuk mencapai kebahagiaan lahir dan batin, khususnya dalam rangka
melanjutkan atau meneruskan keturunan dan diharapkan pula dengan adanya perkawinan
mampu mewujudkan masyarakat yang sejahtera baik lahir maupun batin. Dalam
perkembangan masyarakat sekarang ini, munculah istilah nikah mut’ah atau dalam bahasa
indonesianya kawin kontrak. Nikah mut’ah atau kawin kontrak tidak diatur dalam UU No.1
tahun 1974, karena nikah mut’ah merupakan sebuah fenomena baru dalam masyarakat.
Nikah mut’ah menggambarkan sebuah perkawinan yang didasarkan pada kontrak atau
kesepakatan-kesepakatan tertentu, yang mengatur mengenai jangka waktu perkawinan,
imbalan bagi salah satu pihak, hak dan kewajiban masing-masing pihak, dan lain-lain. Tujuan
dari nikah mut’ah adalah untuk menyalurkan nafsu birahi, tanpa disertai adanya keinginan
untuk membentuk rumah tangga yang kekal, serta terkadang juga tidak mengharapkan adanya
keturunan. Nikah mut’ah merupakan perkawinan yang bersifat sementara, dan sangat
menonjolkan nilai ekonomi, menyebabkan perkawinan ini berbeda dengan perkawinan.
Pada umumnya, sehingga nikah mut’ah dianggap menyimpang dari tujuan
perkawinan yang mulia. Kawin kontrak(Nikah mut’ah) merupakan perkawinan berdasarkan
kontrak yang dalam pelaksanaannya bersifat sementara, dan lebih menonjolkan nilai
ekonomi, sehingga sangat bertentangan dengan perkawinan yang dikonsepkan dalam UU

14
No.1 tahun 1974. Pelaksanaan kawin kontrak sangat bertentangan dengan asas-asas
perkawinan dalam UU No.1 tahun 1974. Beberapa asas tersebut diantaranya adalah:
a. Tujuan perkawinan
Menurut UU No.1 tahun 1974, setiap perkawinan harus mempunyai tujuan
membentuk keluarga/rumah tangga bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa. Perkawinan yang tidak mempunyai tujuan ini, bukan perkawinan dalam arti yang
dimaksud dalam UU No.1 tahun 1974 Pelaksanaan kawin kontrak sangat bertentangan
dengan tujuan perkawinan dalam UU No.1 tahun 1974.
Kawin kontrak hanya bertujuan untuk menyalurkan kebutuhan biologis tanpa disertai
keinginan untuk membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal, serta sangat
mengharapkan keuntungan secara ekonomi dari dilaksanakannya perkawinan, selain itu
memiliki keturunan bukan merupakan tujuan utama dalam kawin kontrak.
b. Perkawinan kekal
Menurut UU No.1 tahun 1974, sekali perkawinan dilaksanakan, maka berlangsunglah
perkawinan tersebut seumur hidup, tidak boleh diputuskan begitu saja. Perkawinan kekal
tidak mengenal batas waktu. Perkawinan yang bersifat sementara sangat bertentangan dengan
asas tersebut. Jika dilakukan juga maka perkawinan tersebut batal. Kawin kontrak sangat
bertentangan dengan asas ini. Kawin kontrak merupakan perkawinan yang bersifat sementara,
karena jangka waktunya dibatasi. Kawin kontrak tidak bersifat kekal, apabila jangka
waktunya telah habis maka perkawinan dapat diputuskan.
c. Perjanjian Perkawinan
Mempelai laki-laki dan mempelai perempuan yang akan melangsungkan perkawinan
dapat membuat perjanjian perkawinan. Hal ini diatur dalam pasal 29 UU No.1 tahun 1974
yang bunyinya:
Pasal 1, “Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas perjanjian
tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan. Setelah mana isinya berlaku juga
terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.”
Pasal 2, “Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum,
agama dan kesusilaan.”
Pasal 3, “Perjanjian tersebut berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.”
Pasal 4, “Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila
dari kedua belah pihak ada perjanjian untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak
ketiga.” Menurut isi ketentuan pasal 29 tersebut, perjanjian
perkawinan harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

15
1). Dibuat pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan,
2). Dalam bentuk tertulis disahkan oleh pegawai pencatat,
3). Isi perjanjian tidak melanggar batas-batas hukum, agama, dan
kesusilaan,
4). Mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan,
5). Selama perkawinan berlangsung perjanjian tidak dapat diubah,
6). Perjanjian dimuat dalam akta perkawinan.
Dalam perjanjian perkawinan tidak termasuk taklik talak. Taklik talak adalah
perjanjian yang diucapkan calon mempelai pria setelah akad nikah berupa janji talak yang
digantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi pada masa yang akan
datang. Isi perjanjian perkawinan dapat mengenai segala hal, asal saja tidak melanggar batas-
batas hukum, agama, dan kesusilaan. Akibat hukum adanya perjanjian perkawinan antara
suami
dan istri adalah sebagai berikut:
1). Perjanjian mengikat pihak suami dan istri,
2). Perjanjian mengikat pihak ketiga yang berkepentingan,
3). Perjanjian hanya dapat diubah dengan persetujuan kedua pihak suami dan istri, serta
disahkan oleh pegawai pencatat
perkawinan. Dalam kawin kontrak juga terdapat perjanjian perkawinan. Namun
perjanjian perkawinan dalam kawin kontrak sangat bertentangan dengan perjanjian
perkawinan dalam UU No.1 tahun 1974. Menurut UU No.1 tahun 1974, perjanjian
perkawinan diperbolehkan selama tidak melanggar batas-batas hukum, agama, dan
kesusilaan. Perjanjian perkawinan dalam kawin kontrak sangat bertentangan dengan batas-
batas hukum, agama dan kesusilaan.
Karena isi perjanjian perkawinan dalam kawin kontrak mengatur tentang jangka
waktu/lamanya perkawinan, imbalan yang akan diperoleh salah satu pihak, hak dan
kewajiban masing-masing pihak, dan lain-lain. Dari isi perjanjian perkawinan tersebut
menyebabkan kawin kontrak menjadi perkawinan yang bersifat sementara karena waktunya
dibatasi, dan sangat menonjolkan nilai ekonomi, sehingga sangat bertentangan dengan
hukum, agama, dan norma-norma kesusilaan yang berlaku dalam masyarakat. Perkawinan
yang sesuai dengan hukum, agama, dan kesusilaan yang berlaku dalam masyarakat adalah
perkawinan yang bersifat kekal, selama-lamanya, tidak hanya untuk kebahagiaan dunia tetapi
juga untuk akhirat. Isi perjanjian perkawinan yang bertentangan dengan batas-batas agama,
hukum dan kesusilaan tidak diperbolehkan, jadi dianggap tidak pernah ada perjanjian

16
perkawinan. Apabila perjanjian perkawinan tetap ada maka perkawinan tersebut batal karena
melanggar ketentuan UU No.1 tahun 1974.
Menurut Efa Laela Fakhriah, secara hukum bila pernikahan berdasarkan kontrak
dengan maksud mengadakan perjanjian untuk waktu tertentu dan juga ada imbalan, jelas
menyalahi UU No.1 tahun 1974 tentang perkawinan. Jadi tidak ada perkawinan secara
hukum. Apabila kawin kontrak didasarkan pada hukum perjanjian, juga tidak bisa. Syarat
sahnya perjanjian ada 4, yaitu sepakat kedua belah pihak, cakap dalam perikatan, yang
diperjanjikan adalah suatu hal tertentu, dan perjanjian dilakukan atas kausa yang halal.
Perkawinan sendiri bukanlah perjanjian biasa, apalagi melihat tujuannya untuk
membangun sebuah keluarga. Artinya, kehidupan baru yang dibangun bukanlah untuk
kenikmatan sesaat atau dibangun berdasarkan kesepakatan untuk waktu tertentu. Jadi kawin
kontrak sendiri bukan bentuk yang disyaratkan UU No.1 tahun 1974.

4. Menurut Hukum Agama Islam


Dikalangan umat islam, sudah sejak lama dikenal kawin kontrak yaitu dengan istilah
nikah mut’ah. Diawal era islam nikah mut’ah telah ada, adanya nikah mut’ah karena banyak
orang-orang tidak berada dinegerinya atau ditempat tinggalnya karena sedang dalam
peperangan ditempat yang jauh dan dalam perjalanan yang panjang. Pada saat itu masih
banyak orang-orang yang meninggalkan masa jahiliyah dan kekafiran, sehingga untuk
menghentikan mereka dari perbuatan keji dilakukan dengan cara bertahap. Kata nikah mut’ah
berasal dari kata At-tamatu yang menurut bahasa arab mempunyai arti bersenang-senang.
Menurut istilah fikih, nikah mut’ah atau kawin kontrak adalah seorang laki-laki
menikahi seorang perempuan, dengan memberikan sejumlah harta tertentu, dalam waktu
tertentu, pernikahan ini akan berakhir sesuai dengan batas waktu yang telah ditetapkan, tanpa
talak, tanpa kewajiban memberi nafkah maupun tempat tinggal dan tanpa adanya saling
mewarisi antara keduanya, jika salah satu dari keduanya mati sebelum berakhirnya nikah
mut’ah itu. Kawin ini di katakan mut’ah atau bersenang-senang, karena akadnya semata-mata
untuk senang-senang saja antara laki-laki perempuan dan untuk memuaskan nafsu, bukan
untuk bergaul untuk sebagai suami istri, bukan untuk mendapatkan keturunan atau hidup
sebagai suami istrui dengan membina rumah tangga sejahtera.
Nikah mut’ah atau kawin mut’ah juga dinamakan kawin muaqqat artinya kawin untuk
waktu tertentu atau kawin munqathi artinya kawin terputus yaitu seorang laki-laki mengikat
perkawinan dengan perempuan untuk beberapa hari, seminggu atau sebulan. Menurut
pendapat seorang ahli tafsir Ibnu’Athiyah Al Andalusi, bahwa nikah mut’ah atau kawin

17
kontrak adalah seorang lelaki menikahi seorang wanita dengan dua orang saksi dan izin wali
dalam waktu tertentu, tanpa adanya saling mewarisi antara keduanya. Silelaki memberinya
uang menurut kesepakatan keduanya. Apabila masanya telah berakhir, maka silelaki tak
mempunyai hak lagi atas siwanita, dan siwanita harus membersihkan rahimnya. Apabila tidak
hamil maka ia dihalalkan menikah lagi dengan lelaki lainnya. Pada pelaksanaan nikah mut’ah
adanya saksi dalam akad nikah, hukumnya mustahab/tidak mewajibkannya.
Demikian pula izin wali tidaklah merupakan suatu keharusan hanya saja hal itu
merupakan suatu kehati-hatian jika siwanita masih gadis. Dalam kawin mut’ah tidak aturan
tentang talak karena perkawinan itu akan berakhir dengan habisnya waktu yang telah
ditentukan. Setelah masa nikah berakhir, masa iddah bagi istri adalah 2 kali haid. Jika tidak
datang bulan, maka masa iddahnya 45 hari, tapi jika suami meninggal dunia masa iddahnya 4
bulan 10 hari, dan tidak ada hak waris-mewarisi suami istri tersebut. Nikah mut’ah dilarang
dalam islam, berdasarkan firman Allah dalam Al Quran surat Al Mukminun ayat 7 yang
artinya “Barang siapa yang mencari di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang
melampai batas”. Sedang Hadist Rasulullah yang mengharamkan nikah mut’ah seperti
diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim dan Ibnu Hibban adalah “Wahai sekalian manusia,
sungguh saya pernah mengizinkan kalian untuk kawin mut’ah, ingatlah bahwa sekarang
Allah telah mengharamkannya sampai hari kaimat”.
Nikah mut’ah termasuk menyimpang dari ketentuan yang digariskan Allah, karena
wanita yang di akad/ diikat kontrak tersebut tidak termasuk budak wanita yang dimilikinya
dan tidak pula termasuk istrinya. Adapun akad perkawinan selalu diikuti oleh sahnya talak,
saling mewarisi, iddah dan kewajiban memberi nafkah, yang mana semua itu tidak ada
praktisi hukumnya dalam nikah mut’ah. Di dalam nikah mut’ah tidak terdapat persyaratan
sebagaimana yang ada pada nikah biasa kecuali akad dalam bentuk perjanjian biasa. Selain
itu tujuan luhur yang terkandung dalam perkawinan tidak ada dalam nikah mut’ah. Seseorang
yang melakukan nikah mut’ah tidak bertujuan mempunyai anak, bahkan nikah mut’ah bisa
berakibat tidak menentunya garis keturunan. Dan sya’riat menganjurkan supaya akad nikah
didasarkan atas dasar kasih sayang, cinta dan rasa kebersamaan dalam hidup.
Rasa saling menyayangi dan kebersamaan tidak akan timbul dari ikatan atau akad
yang hanya bertujuan untuk melampiaskan nafsu syahwat dalam jangka waktu terbatas,
bukankah pernikahan seperti itu sama dengan praktik zina. Dan bukankah zina itu bukan
terjadi atas dasar suka sama suka antara keduanya sekedar untuk mengumbar nafsu dan itulah
yang menjadi dasar terjadinya nikah mut’ah. Maka apabilanikah mut’ah dibolehkan, maka

18
hal ini akan dijadikan kesempatan bagi orang-orang yang suka berbuat iseng untuk
menghindari ikatan perkawinan yang sah.

Untuk mencegah terjadinya nikah mut’ah, Majelis Ulama Indonesia sebenarnya telah
mengeluarkan fatwa No. Kep-B-679/MUI/XI/1997. Fatwa itu memutuskan bahwa nikah
mut’ah haram hukumnya dan pelaku nikah mut’ah harus dihadapkan ke pengadilan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pendapat Para Ulama' Tentang hukum Nikah Muth'ah


1. Jumhur Ulama'
Kebanyakan dari para shahabat dan semua Ulama'-Ulama' fiqih mengharamkan nikah
muth'ah berdasarkan hadist Rasulullah yang mutawatir tentang pengharaman nikah tersebut.
Yang menjadi ikhtilaf dikalangan mereka adalah waktu pengharaman nikah muth'ah. Dari
sebagian riwayat yang mengharamkannya pada perang khaibar, ada yang sebagian pada
penaklukan Makah, ada yang sebagian pada waktu perang Tabuk, ada yang sebagian pada
haji wada', ada yang sebagian pada umrah qadha' dan ada sebagian pada waktu tahun Authas.
2. Ibn Abbas
Yang telah terkenal bahwasanya Beliau menghalalkan nikah muth'ah. Ibn Abbas ini
mengikuti pendapat dari ahli Makah dan Ahli Yaman, mereka meriwayatkan bahwasanya Ibn
Abbas dalam Firman Allah :
َ ‫فَ َماا ْستَ ْمتَ ْعتُ ْم بِ ِه ِم ْنه َُّن فَأُتُوْ ه َُّن أُجُوْ َره َُّن فَ ِري‬
َ ‫ْضةً َوالَ ُجن‬
) : ‫َاح َعلَ ْي ُك ْم (النساء‬
Artinya :
Maka istri-istri yang telah kamu ni'mati (campuri) diantara mereka, berikanlah kepada
mereka maharnya (dengan sempurna), sebagaian sebagai kewajiban dan tiada dosa bagi
kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar.
(An-nisa' : 24)
Dan pada suatu huruf darinya (ibn Abbas) sampai batas waktu yang ditentukan,
diriwayatkan darinya sesungguhnya dia berkata : "muth'ah (bersenang-senang terhadap istri)
tidak lain adalah rahmat dari Allah Azza Wa Jalla, Dia telah memberikan rahmat kepada
umat Muhammad SAW berupa muth'ah, dan Umar tidak melarangnya karena dalam keadaan
terpaksa takut untuk zina kecuali bagi yang impoten. Dan ini diriwayatkan dari Ibn Abbas
rawi darinya Jarih, Umar, dan Ibn Dinar. Dari Atha' ia berkata : saya mendengar jabir bin
Abdillah berkata : kami melakukan nikah muth'ah sejak masa Rasulullah kemudian

19
kepemimpinan Abu Bakar, dan setengah dari kepemimpinan Umar kemudian setelah itu
Umar melarang muth'ah kepada semua manusia (umat muslim).

Gambaran Nikah Mut’ah di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

Di dalam beberapa riwayat yang sah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, jelas sekali
gambaran nikah mut’ah yang dulu pernah dilakukan para sahabat radhiyallahu ‘anhum.
Gambaran tersebut dapat dirinci sebagai berikut:

 Dilakukan pada saat mengadakan safar (perjalanan) yang berat seperti perang, bukan
ketika seseorang menetap pada suatu tempat. (HR. Muslim hadits no. 1404)
 Tidak ada istri atau budak wanita yang ikut dalam perjalanan tersebut. (HR. Bukhari
no. 5116 dan Muslim no. 1404)

 Jangka waktu nikah mut’ah hanya 3 hari saja. (HR. Bukhari no. 5119 dan Muslim no.
1405)

 Keadaan para pasukan sangat darurat untuk melakukan nikah tersebut sebagaimana
mendesaknya seorang muslim memakan bangkai, darah dan daging babi untuk
mempertahankan hidupnya. (HR. Muslim no. 1406)

5. Menurut Pandangan Kaum Sunni dan Syiah

a) Pandangan Kaum Syi’ah (Itsna ‘Asyariyah)

Dasar legitimasi kaum Syi’ah terhadap nikah mut’ah adalah QS an-Nisa’, 4: 24,

َ ‫صنِينَ َغي‬
‫ْ••ر‬ ِ ْ‫َاب هَّللا ِ َعلَ ْي ُك ْم َوأُ ِح َّل لَ ُك ْم َما َو َرا َء َذلِ ُك ْم أَ ْن تَ ْبتَ ُغوا بِأ َ ْم َوالِ ُك ْم ُمح‬
َ ‫ت أَ ْي َمانُ ُك ْم ِكت‬
ْ ‫َات ِمنَ النِّ َسا ِء إِاَّل َما َملَ َك‬
ُ ‫صن‬ َ ْ‫َو ْال ُمح‬
َ ‫اض• ْيتُ ْم بِ• ِه ِم ْن بَ ْع• ِ•د ْالفَ ِر‬
َ ‫يض• ِة إِ َّن هَّللا‬ َ ‫يضةً َواَل ُجنَ••ا َح َعلَ ْي ُك ْم فِي َم••ا تَ َر‬ َ ‫ُم َسافِ ِحينَ فَ َما ا ْستَ ْمتَ ْعتُ ْم بِ ِه ِم ْنه َُّن فَآتُوه َُّن أُجُو َره َُّن فَ ِر‬
‫َكانَ َعلِي ًما َح ِكي ًما‬

Dalam Tarikh al-Fiqh al-Ja’fari dijelaskan, bahwa ketika Abu Nashrah bertanya
kepada Ibn Abbas tentang nikah mut’ah, Ibn Abbas menerangkan, nikah itu
diperbolehkan dengan bersarkan َQS an-Nisa’, 4: 24 seperti telah ditulis di atas. Akan
tetapi menurut Ibn Abbas, lengkapnya ayat itu adalah (terdapat kalimat tambahan ‫الى اجل‬
‫) مسم‬:

َ ‫فَ َما ا ْستَ ْمتَ ْعتُ ْم بِ ِه ِم ْنه َُّن (الى اجل مسم) فَآتُوه َُّن أُجُو َره َُّن فَ ِر‬
ً‫يضة‬

20
Sahabat lain yang sependapat dengan Ibn Abbas (termasuk membenarkan bacaan Ibn
Abbas terhadap Q.S. an-Nisa’: 24) adalah Ibn Mas’ud, Ubay Ibn Ka’ab, dan Said Ibn
Zubair.

Kaum Syi’ah berpendirian bahwa praktik nikah mut’ah terdapat pada masa Nabi dan
Khalifah Pertama. Baru pada periode Khalifah Kedua, yakni Khalifah Umar Ibn Khattab,
nikah mut’ah dilarang. Ucapan Umar saat itu adalah:

“Saya telah melarang dua jenis mut’ah yang ada di masa Nabi dan Abu Bakar, dan
saya akan berikan hukuman kepada mereka yang tidak mematuhi perintah-perintah saya.
Kedua mut’ah itu adalah mut’ah mengenahi haji dan mut’ah mengenai wanita.”

Kalau melihat ucapan Khalifah umar di atas, maka dapat dipahami bahwa nikah
mut’ah dipraktikkan oleh para sahabat pada baik pada masa Nabi maupun Khalifah Abu
Bakar. Dalam Sunnah Baihaqy 7: 206, terdapat pula keterangan yang menunjukkan
larangan Umar terhadap nikah mut’ah, walaupun banyak para shahabat yang
melakukannya di era Nabi dan Khalifah Kedua. Sehingga unggapan yang sering
dilontarkan kalangan Syi’ah dalam masalah ini adalah: ”Manakah yang harus kita
pegang: taqrir Nabi yang membiarkan shahabatnya melakukan mut’ah atau hadis
larangan Umar?”

Kaum Syi’ah yang mengikuti ajaran-ajaran para Imam dari Ahlu al-Bait masih
menganggap nikah mut’ah tetap berlaku menurut syari’att sebagaimana halnya masa
hidup Nabi itu sendiri. Thabathaba’I dalam masalah ini mengutip beberapa ayat tentang
suami-isteri:

Q.S. al-Mu’minun, 23: 5-7

َ‫)فَ َم ِن ا ْبتَغَى َو َرا َء َذلِ••ك‬6( َ‫ت أَ ْي َم••انُهُ ْم فَ•إِنَّهُ ْم َغ ْي• ُر َملُ••و ِمين‬
ْ ‫)إِاَّل َعلَى أَ ْز َوا ِج ِه ْم أوْ َم••ا َملَ َك‬5( َ‫َوالَّ ِذينَ هُ ْم لِفُ•رُو ِج ِه ْم َح• افِظُون‬
)7( َ‫ك هُ ُم ْال َعا ُدون‬ َ ِ‫فَأُولَئ‬

Q.S. al-Ma’arij, 70: 29-31

َ‫)فَ َم ِن ا ْبتَغَى َو َرا َء َذلِ••ك‬30( َ‫ت أَ ْي َمانُهُ ْم فَإِنَّهُ ْم َغ ْي• ُر َملُ••و ِمين‬
ْ ‫)إِاَّل َعلَى أَ ْز َوا ِج ِه ْم أَوْ َما َملَ َك‬29( َ‫َوالَّ ِذينَ هُ ْم لِفُرُو ِج ِه ْم َحافِظُون‬
)31( َ‫ك هُ ُم ْال َعا ُدون‬ َ ِ‫فَأُولَئ‬

21
Menurut ath-Thabathaba’i, ayat-ayat ini diturunkan di Mekah, dan semenjak
diturunkan hingga hijrah, nikah mut’ah dipraktikkan oleh kaum Muslimin. Apabila nikah
mut’ah itu bukan merupakan pernikahan yang sebenarnya (halal/sah), dan para
perempuan yang telah menikah berdasarkan itu bukan isteri-isteri yang sah menurut
syari’ah, maka, lanjut Thabathaba’i, ayat-ayat al-Quran tersebut tentulah akan
menganggap para perempuan itu sebagai pelanggar hukum dan sudah pasti mereka
dilarang untuk mempraktikkan mut’ah. Sehingga Thabathaba’i menegaskan kembali
bahwa nikah mut’ah merupakan pernikahan yang sah menurut syari’ah dan bukan bentuk
perzinaan.

Sampai hari ini, kaum Syi’ah, khususnya di Iran, masih tetap memelihara legitimasi
pernikahan mut’ah. Akan tetapi selama rezim Pahlevi (1925-1979), walaupun bukan
ilegal, pernikahan mut’ah dipandang secara negatif. Kebanyakan kaum terpelajar Iran
dan kelas menengah lainnya menganggap pernikahan seperti ini sebagai bentuk
pelecehan terhadap perempuan dan nilai moral universal, sehingga mereka tidak tertarik
untuk melakukannya. Sebaliknya, pernikahan mut’ah di Iran banyak dilakukan oleh
kaum perkotaan pinggiran, dan populer terutama di sekitar pusat-pusat ziarah.

b) Pandangan Kaum Sunni

Seperti telah dinyatakan di muka, pandangan kaum Sunni terhadap nikah mut’ah
sangat jelas, yakni haram. Alasan keharamannya adalah karena pernikahan model seperti
ini tidak sesuai dengan tujuan pernikahan yang dinyatakan dalam al-Quran. Disamping
itu, pernikahan mut’ah juga bertentangan dengan ketentuan dalam pernikahan yang telah
dinyatakan dalanm al-Quran dan al-Hadis, yaitu dalam masalah thalaq, iddah dan
warisan.

Diantara ayat-ayat al-Quran yang menjadi dasar tujuan pernikahan diantaranya adalah:

Q.S. Adz-Dzariyat, 51: 49

َ‫َو ِم ْن ُك ِّل َش ْي ٍء خَ لَ ْقنَا َزوْ َجي ِْن لَ َعلَّ ُك ْم تَ َذ َّكرُون‬

Q.S. An-Nisa’, 4: 1

َّ َ‫ق ِم ْنهَا زَ وْ َجهَا َوب‬


‫ث ِم ْنهُ َما ِر َجااًل َكثِيرًا َونِ َسا ًء‬ ٍ ‫يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا َربَّ ُك ُم الَّ ِذي خَ لَقَ ُك ْم ِم ْن نَ ْف‬
َ َ‫س َوا ِح َد ٍة َو َخل‬

22
‫‪Q.S. Ar-Rum, 30: 21‬‬

‫ت لِقَوْ ٍم يَتَفَ َّكرُونَ‬ ‫ق لَ ُك ْم ِم ْن أَ ْنفُ ِس ُك ْم أَ ْز َواجًا لِتَ ْس ُكنُوا إِلَ ْيهَا َو َج َع َل بَ ْينَ ُك ْم َم َو َّدةً َو َرحْ َمةً إِ َّن فِي َذلِ َ‬
‫ك آَل يَا ٍ‬ ‫َو ِم ْن َءايَاتِ ِه أَ ْن َخلَ َ‬

‫‪Hadis-hadis yang diperguakan oleh kaum Sunni untuk mengharamkan nikah mut’ah‬‬
‫‪diantaranya adalah sebagai berikut:‬‬

‫•ز بْنُ ُع َم• َر َح• َّدثَنِي ال َّربِي• ُع بْنُ َس•ب َْرةَ ْال ُجهَنِ ُّي أَ َّن أَبَ••اهُ ‪1-  ‬‬
‫َح َّدثَنَا ُم َح َّم ُد بْنُ َع ْب ِد هَّللا ِ ب ِْن نُ َمي ٍْر َح َّدثَنَا أَبِي َح َّدثَنَا َع ْب ُد ْال َع ِزي• ِ‬
‫َاع ِمنَ النِّ َ‬
‫س ;ا ِء‬ ‫ستِ ْمت ِ‬ ‫اس إِنِّي قَ ْد ُك ْنتُ أَ ِذ ْنتُ لَ ُك ْم فِي ااِل ْ‬
‫صلَّى اللَّهم َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم فَقَا َل يَا أَيُّ َها النَّ ُ‬
‫َح َّدثَهُ أَنَّهُ َكانَ َم َع َرسُو ِل هَّللا ِ َ‬
‫َوإِنَّ هَّللا َ قَ ْد َح َّر َم َذلِكَ إِلَى يَ ْو ِم ا ْلقِيَا َم ِة فَ َم ْن َكانَ ِع ْن َدهُ ِم ْنه َُّن َش ْي ٌء فَ ْليُ َخ ِّل َسبِيلَهُ َواَل تَأْ ُخ• ُذوا ِم َّما آتَ ْيتُ ُم•وه َُّن َش• ْيئًا و َح• َّدثَنَاه‬
‫ص•لَّى اللَّهم‬ ‫ول هَّللا ِ َ‬
‫ْت َر ُس• َ‬ ‫ي•ز ْب ِن ُع َم• َر بِهَ• َذا اإْل ِ ْس•نَا ِد قَ•ا َل َرأَي ُ‬‫أَبُو بَ ْك ِر بْنُ أَبِي َش ْيبَةَ َح َّدثَنَا َع ْب َدةُ بْنُ ُسلَ ْي َمانَ ع َْن َع ْب ِد ْال َع ِز ِ‬
‫[‪]6‬‬
‫ب َوه َُو يَقُو ُل بِ ِم ْث ِل َح ِدي ِ‬
‫ث اب ِْن نُ َمي ٍْر‬ ‫َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم قَائِ ًما بَ ْينَ الرُّ ْك ِن َو ْالبَا ِ‬

‫•ال ‪2-‬‬ ‫•ع ْب ِن َس•ب َْرةَ ع َْن أَبِي• ِه قَ• َ‬‫•ز ْب ِن ُع َم• َر َع ِن ال َّربِي• ِ‬ ‫َح َّدثَنَا أَبُو بَ ْك ِر بْنُ أَبِي َش ْيبَةَ َح َّدثَنَا َع ْب• َدةُ بْنُ ُس•لَ ْي َمانَ ع َْن َع ْب• ِد ْال َع ِزي• ِ‬
‫َاع فَقَ••الُوا يَ••ا َر ُس•و َل هَّللا ِ إِ َّن ْالع ُْزبَ•ةَ قَ• ِد ْ‬
‫اش•تَ َّد ْ‬
‫ت َعلَ ْينَ••ا قَ••ا َل‬ ‫ص•لَّى اللَّهم َعلَ ْي• ِه َو َس•لَّ َم فِي َح َّج ِة ْال• َود ِ‬ ‫خَ َرجْ نَا َم َع َرسُو ِل هَّللا ِ َ‬
‫ص•لَّى اللَّهم َعلَ ْي• ِه‬ ‫فَا ْستَ ْمتِعُوا ِم ْن هَ ِذ ِه النِّ َسا ِء فَأَتَ ْينَاه َُّن فَأَبَ ْينَ أَ ْن يَ ْن ِكحْ نَنَا إِاَّل أَ ْن نَجْ َع َل بَ ْينَنَا َوبَ ْينَه َُّن أَ َجاًل فَ َذ َكرُوا َذلِ• َ‬
‫ك لِلنَّبِ ِّي َ‬
‫ت أَنَا َوابْنُ َع ٍّم ِلي َم َعهُ بُرْ ٌد َو َم ِعي بُرْ ٌد َوبُرْ ُدهُ أَجْ َو ُد ِم ْن بُرْ ِدي َوأَنَا أَ َشبُّ ِم ْنهُ‬ ‫َو َسلَّ َم فَقَا َل اجْ َعلُوا بَ ْينَ ُك ْم َوبَ ْينَه َُّن أَ َجاًل فَ َخ َرجْ ُ‬
‫صلَّى اللَّهم َعلَ ْي• ِه َو َس•لَّ َم قَ••ائِ ٌم‬ ‫ت َو َرسُو ُل هَّللا ِ َ‬ ‫ت ِع ْن َدهَا تِ ْلكَ اللَّ ْيلَةَ ثُ َّم َغدَوْ ُ‬ ‫ت بُرْ ٌد َكبُرْ ٍد فَتَ َز َّوجْ تُهَا فَ َم َك ْث ُ‬ ‫فَأَتَ ْينَا َعلَى ا ْم َرأَ ٍة فَقَالَ ْ‬
‫َاع أَاَل َوإِنَّ هَّللا َ قَ; ْد َح َّر َم َه;;ا إِلَى يَ; ْ‬
‫;و ِم ا ْلقِيَا َم; ِة‬ ‫ستِ ْمت ِ‬‫اس إِنِّي قَ ْد ُك ْنتُ أَ ِذ ْنتُ لَ ُك ْم فِي ااِل ْ‬
‫ب َوه َُو يَقُو ُل أَيُّ َها النَّ ُ‬
‫بَ ْينَ الرُّ ْك ِن َو ْالبَا ِ‬
‫ً [‪]7‬‬
‫فَ َم ْن َكانَ ِع ْن َدهُ ِم ْنه َُّن َش ْي ٌء فَ ْلي ُْخ ِل َسبِيلَهَا َواَل تَأْ ُخ ُذوا ِم َّما آتَ ْيتُ ُموه َُّن َش ْيئا‬

‫ص•لَّى اللَّهم ‪3-‬‬ ‫يز قَا َل أَ ْخبَ َرنِي ال َّربِي ُع بْنُ َسب َْرةَ ْال ُجهَنِ ُّي ع َْن أَبِي ِه قَا َل خَ َرجْ نَا َم• َع َر ُس• ِ‬
‫ول هَّللا ِ َ‬ ‫َح َّدثَنَا َو ِكي ٌع َح َّدثَنَا َع ْب ُد ْال َع ِز ِ‬
‫صلَّى اللَّهم َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ا ْستَ ْمتِعُوا ِم ْن هَ ِذ ِه النِّ َسا ِء قَا َل َوااِل ْس•تِ ْمتَا ُ‬
‫ع ِع ْن• َدنَا‬ ‫ض ْينَا ُع ْم َرتَنَا قَا َل لَنَا َرسُو ُل هَّللا ِ َ‬ ‫َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم فَلَ َّما قَ َ‬
‫ص•لَّى اللَّهم‬ ‫ك لِلنَّبِ ِّي َ‬ ‫ب بَ ْينَنَ•ا َوبَ ْينَه َُّن أَ َجاًل قَ•ا َل فَ• َذكَرْ نَا َذلِ• َ‬ ‫ك َعلَى النِّ َسا ِء فَ•أَبَ ْينَ إِاَّل أَ ْن ي ْ‬
‫ُض• َر َ‬ ‫يج قَا َل فَ َع َرضْ نَا َذلِ َ‬‫يَوْ ُم التَّ ْز ِو ِ‬
‫ت أَنَا َوابْنُ َع ٍّم لِي َو َم َعهُ بُرْ َدةٌ َو َم ِعي بُرْ َدةٌ َوبُرْ َدتُهُ أَجْ َو ُد ِم ْن بُ••رْ َدتِي َوأَنَ••ا أَ َش•بُّ ِم ْن•هُ فَأَتَ ْينَ••ا‬ ‫َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم فَقَا َل ا ْف َعلُوا فَا ْنطَلَ ْق ُ‬
‫•ال فَتَزَ َّوجْ تُهَ••ا فَ َك•انَ اأْل َ َج• ُل بَ ْينِي‬
‫ت بُ••رْ ٌد َكبُ••رْ ٍد قَ َ‬ ‫ك َعلَ ْيهَا فَأ َ ْع َجبَهَا َشبَابِي َوأَ ْع َجبَهَ•ا بُ••رْ ُد ا ْب ِن َع ِّمي فَقَ•الَ ْ‬‫ا ْم َرأَةً فَ َع َرضْ نَا َذلِ َ‬
‫صلَّى اللَّهم َعلَ ْي• ِه َو َس•لَّ َم بَ ْينَ ْالبَ••ا ِ‬
‫ب‬ ‫ت غَا ِديًا إِلَى ْال َم ْس ِج ِد فَإ ِ َذا َرسُو ُل هَّللا ِ َ‬
‫ت ِع ْن َدهَا تِ ْلكَ اللَّ ْيلَةَ ثُ َّم أَصْ بَحْ ُ‬‫َوبَ ْينَهَا َع ْشرًا قَا َل فَبِ ُّ‬
‫سا ِء أَاَل َوإِنَّ هَّللا َ تَبَ;;ا َر َك َوتَ َع;;الَى‬
‫َاع ِمنْ َه ِذ ِه النِّ َ‬
‫ستِ ْمت ِ‬‫اس قَ ْد ُك ْنتُ أَ ِذ ْنتُ لَ ُك ْم فِي ااِل ْ‬
‫اس يَقُو ُل أَاَل أَيُّ َها النَّ ُ‬ ‫َو ْال َح َج ِر يَ ْخطُبُ النَّ َ‬
‫[‪]8‬‬
‫* قَ ْد َح َّر َم َذلِ َك إِلَى يَ ْو ِم ا ْلقِيَا َم ِة فَ َم ْن َكانَ ِع ْن َدهُ ِم ْنه َُّن َش ْي ٌء فَ ْليُ َخ ِّل َسبِيلَهَا َواَل تَأْ ُخ ُذوا ِم َّما آتَ ْيتُ ُموه َُّن َش ْيئًا‬

‫س ;و َل هَّللا ِ ‪4-‬‬‫يع ْب ِن َس • ْب َرةَ ع َْن أَبِي • ِه أَنَّ َر ُ‬ ‫و َح َّدثَنَا أَبُو بَ ْك ِر بْنُ أَبِي َش ْيبَةَ َح َّدثَنَا ابْنُ ُعلَيَّةَ ع َْن َم ْع َم ٍر َع ِن ُّ‬
‫الز ْه ِر ِّ‬
‫ي َع ِن ال َّربِ ِ‬
‫سلَّ َم نَ َهى يَ ْو َم ا ْلفَ ْت ِ‬
‫ح عَنْ ُم ْت َع ِة النِّ َ‬ ‫صلَّى اللَّهم َعلَ ْي ِه َو َ‬
‫[‪]9‬‬
‫سا ِء‬ ‫* َ‬

‫ب ع َْن َع ْب ِد هَّللا ِ َو ْال َح َس ِن ا ْبن َْي ُم َح َّم ِد ب ِْن َعلِ ٍّي ع َْن أَبِي ِه َما ع َْن ‪5-‬‬ ‫َح َّدثَنَا يَحْ يَى بْنُ يَحْ يَى قَا َل قَ َر ْأ ُ‬
‫ت َعلَى َمالِ ٍ‬
‫ك َع ِن ا ْب ِن ِشهَا ٍ‬
‫•وم ْال ُح ُم• ِ‬
‫•ر‬ ‫;ر َوع َْن أَ ْك ِل لُ ُح• ِ‬
‫;و َم َخ ْيبَ; َ‬ ‫س;لَّ َم نَ َهى عَنْ ُم ْت َع; ِة النِّ َ‬
‫س;ا ِء يَ; ْ‬ ‫ص;لَّى اللَّهم َعلَ ْي; ِه َو َ‬ ‫سو َل هَّللا ِ َ‬ ‫ب أَنَّ َر ُ‬ ‫َعلِ ِّي ب ِْن أَبِي طَالِ ٍ‬
‫ي ْبنَ أَبِي‬ ‫ك بِهَ• َذا اإْل ِ ْس•نَا ِد َوقَ َ‬
‫•ال َس• ِم َع َعلِ َّ‬ ‫اإْل ِ ْن ِسيَّ ِة و َح َّدثَنَاه َع ْب ُد هَّللا ِ بْنُ ُم َح َّم ِد ْب ِن أَ ْس َما َء الضُّ بَ ِع ُّي َح• َّدثَنَا ج َُوي ِْريَ•ةُ ع َْن َمالِ• ٍ‬
‫[‪]10‬‬
‫صلَّى اللَّهم َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم بِ ِم ْث ِل َح ِدي ِ‬
‫ث يَحْ يَى ْب ِن يَحْ يَى ع َْن َمالِ ٍ‬
‫ك‬ ‫ب يَقُو ُل لِفُاَل ٍن إِنَّكَ َر ُج ٌل تَائِهٌ نَهَانَا َرسُو ُل هَّللا ِ َ‬
‫طَالِ ٍ‬
‫‪23‬‬
Hadis-hadis di atas tidak diragukan lagi nilai keshahihannya. Apalagi yang
meriwayatkan diantanya adalah Bukhari dan Muslim. Walaupun sebenarnya tinjauan
sanad saja tidak cukup untuk menjadikan hadis bisa dinilai otentik sebagai sumber ajaran
Islam. Akan tetapi, dengan dukungan nilai-nilai al-Quran tentang pernikahan yang
maknanya sesuai dengan semangat larangan nikah mut’ah dalam hadis-hadis tersebut,
maka kedudukannya menjadi sangat kokoh dan otentik sebagai sumber ajaran Islam.

Dilihat dari perspektif hadis (sebagaimana yang telah dikemukakan di atas), dapat
disimpulkan bahwa nikah mut’ah memang telah diharamkan oleh Rasulullah. Sebab-
sebab pengharamannya telah banyak diulas oleh ulama-ulama Sunni, diantaranya adalah
karena nikah mut’ah semata-mata sebagai tempat untuk melampiaskan nafsu syahwat,
sehingga tidak jauh berbeda dengan zina (komunisme seksual).

Disamping itu, nikah mut’ah menurut kalangan Sunni, telah menempatkan perempuan
pada titik bahaya, karena ibarat sebuah benda yang bisa pindah dari satu tangan ke
tangan yang lain. Pernikahan jenis ini juga dinilai merugikan anak-anak, karena mereka
tidak mendapatkan kasih sayang sempurna sebuah keluarga dan jaminan kesejahteraan
serta pendidikan yang baik.

Pernikahan, seperti yang telah menjadi cita-cita Islam, haruslah bertumpu pada
pondasi yang stabil, suatu pasangan, ketika mula-mula dipersatukan oleh sebuah ikatan
pernikahan, harus memandang diri meraka terpaut satu sama lain untuk selamanya, dan
gagasan perceraian tidak boleh memasuki pikiran mereka. Oleh karena itu, sebagaimana
pendapat kalangan Sunni, pernikahan mut’ah tidak dapat menjadi tumpuan kebersamaan
hidup suami isteri yang damai dan sejahtera.

6. Tinjauan Historis-Sosiologis

Sebagaimana terdapat dalam sumber-sumber Syi’ah, nikah mut’ah merupakan suatu


fakta sejarah yang tidak dapat dipungkiri, bahwa pernikahan jenis ini dipraktikkan oleh para
shahabat sejak era permulaan Islam, yaitu sejak wahyu pertama dan hijrah Nabi ke Madinah.
Seperti dalam peristiwa Zubair Ash-Shahabi yang menikahi Asma’, putri Abu Bakar dalam
suatu pernikahan sementara (mut’ah).

Masih menurut sumber Syi’ah, nikah mut’ah juga dipraktikkan semenjak hijrah
hingga wafatnya Nabi. Bahkan setelah peristiwa itu, selama pemerintahan Khalifah Pertama

24
dan sebagian dari masa pemerintahan Khalifah Kedua, kaum muslimin meneruskan praktik
itu sampai saat dilarang oleh Umar Ibn Khattab sebagai Khalifah Kedua.

Tentu saja historisitas seperti ini ditolak oleh kalangan Sunni yang menganggap Nabi
sudah melarang nikah mut’ah sejak Perang Khaibar dan peristiwa Fathul Makkah, seperti
tertuang dalam hadis yang telah dikemukakan di muka. Mengapa kaum Syi’ah mengabaikan
hadis-hadis seperti ini? Jawabannya adalah, karena kaum Syi’ah mempunyi argumen
tersendiri mengenai jalur-jalur sanad dalam sebuah periwayatan Hadis. Kaum Syi’ah hanya
bisa menerima jalur sanad yang melalui Ahlu al-Bait, dan jika terdapat hadis yang
bertentangan dengan riwayat Ahlu al-Bait, maka hadis tersebut ditolak.

Mengenai larangan Umar terhadap praktik nikah mut’ah, menarik untuk dicermati
bahwa larangan ini juga diakui ada dalam beberapa kitab fiqih kaum Sunni. Analisis yang
bisa dikemukakan di sini adalah, apakah laranga itu terkait dengan kewenangan Umar
sebagai pemimpin agama atau ini hanya sekedar strategi dakwah Islam (kebijakan politik).
Jika dipahami ini sebagai kebijakan politik yang terkait dengan dakwah Islam, maka akan
ditemukan relevansinya dengan persoalan umat saat itu. Pada era Umar, umat Islam (para
shahabat) banyak yang bertebaran di wilayah-wilayah taklukan dan mereka bercampur baur
dengan masyarakat yang baru saja memeluk Islam. Jika para shahabat itu diberi kebebasan
untuk melakukan nikah mut’ah, maka yang dikhawatirkan adalah akan muncul generasi-
generasi baru Islam hasil pernikahan mut’ah yang tidak jelas warna keislamannya. Dengan
alasan inilah, maka Umar melarang nikah mut’ah. Sehingga dapat dipahami, larangan ini
bukan larangan mermanen, tetapi hanya sementara waktu karena terkait dengan persoalan
keummatan saat itu.

Sepintas, nikah mut’ah adalah implementasi paling kasat mata bagaimana kedudukan
perempuan tidak begitu dihargai. Berbeda dengan nikah permanen yang diasumsikan telah
menempatkan perempuan sejajar dengan laki-laki. Menurut Ustadz Ahmad Baraghah, nikah
mut’ah justeru meningkatkan derajat kaum perempuan. Alasannya, dalam mut’ah perempuan
dimungkinkan membuat persyaratan tertentu yang harus disetujui oleh pihak laki-laki.
Dengan kewenangan ini, masih menurut Baraghah, perempuan dapat meningkatkan
bergainning position-nya bila akan melaksanakan nikah mut’ah. Secara sosiologis, nikah
mut’ah menjadi bukan persoalan serius ketika dipraktikkan dalam kondisi masyarakat
Muslim yang sudah mempunyai tingkat kesejahteraan yang memadai dan pendidikan yang

25
maju. Anggota masyarakat Muslim ini mempunyi otonomi pribadi atau kewenangan
individual yang penuh dalam menentukan nasibnya.

Dalam tradisi Persia atau Iran sekarang, nikah mut’ah bukanlah sumber penyakit
sosial seperti yang disumsikan oleh kalangan Sunni. Para perempuan Iran khususnya,
mempunyai nilai tawar yang tinggi sebelum melakukan nikah mut’ah, sehingga dalam
praktiknya mereka jarang yang melakukan pernikahan model ini. Tetapi, kondisinya adalah
jauh berbeda jika nikah mut’ah dilegalisasi di dalam komunitas masyarakat Muslim yang
tingkat kesejahteraan dan pendikannya masih rendah, seperti di Indonesia misalnya. Nikah
mut’ah dalam komunitas masyarakat Muslim yang rata-rata miskin dan bodoh, hanya
menjadi komoditas pemuas nafsu laki-laki berkuasa yang pada akhirnya akan mengakibatkan
kesengsaraan berlipat bagi perempuan dan anak-anak. Dan tentu saja nikah seperti itu akan
jauh dari tujuan pernikahan itu sendiri.

7. Ditinjau dari Sudut Pandang Sosial dan Budaya

Dari sudut sosial-budaya, praktik kawin kontrak merusak sistem sosial-budaya luhur
yang dianut oleh Bangsa Indonesia. Apalagi jika hal itu dilakukan dengan embel-embel
pemahaman keagamaan. Hal demikian, tentu mencoreng citra agama secara umum yang
seharusnya menjaga nilai-nilai moral. Sedangkan dikaitkan dengan person, martabat
kemanusiaan seolah tergadaikan demi nafsu syahwat dan uang berlimpah. Lebih parah lagi,
perempuan sebagai manusia yang juga memiliki kehormatan diri dikorbankan, bahkan korban
yang paling dikorbankan. Belum lagi nasib anak-anak hasil kawin kontrak ini akan
dikemanakan? Siapa yang akan mengurus mereka dalam meraih masa depannya? Bagaimana
biaya pendidikan dan kesehatan anak-anak ini? Padahal sebagai anak, mereka tidak punya
saham sedikitpun dalam praktik kawin kontrak, juga tidak mendapatkan "bagi hasil" apapun
darinya. Justru "saham" yang ditanam "bapak biologis"-nya itu yang kemudian tumbuh
menjadi "anak".

Jelaslah, berbagai kerugian, baik moril dan materiil yang diderita sangatlah besar dan
menimpa banyak pihak. Sekali lagi, martabat perempuan sebagai manusia, bahkan seluruh
perempuan, dan anak-anak dilecehkan dan dijadikan kelinci percobaan. Nilai kemanusiaan
telah direndahkan, digadaikan, dan dieksploitasi oleh kepentingan "bisnis syahwat" dalam
bentuk kawin kontrak atau nikah mut’ah. Karenanya, kawin kontrak atau nikah mut’ah layak
juga disebut perbudakan model baru

26
8. Ditinjau dari Sudut Pandang Ekonomi

Perkawinan secara kontrak, apapun alasannya itu akan sangat merugikan. Kerugian
yang dimaksud di sini adalah kerugian secara fisik dari kedua belah pihak (apabila satu atau
keduanya masih dalam status “asli” (perawan/jejaka)). Dalam hal kerugian yang diterima
adalah bahwa setelah berakhirnya kontrak, secara fisik akan terdapat sesuatu yang hilang
berupa hilangnya keperjakaan ataupun kegadisan melalui cara yang tidak sah. Selain itu juga
akan timbul akibat mental bagi pihak yang setelah berakhirnya kontrak, pihak yang lain pergi
tanpa memberikan hak-hak yang seharusnya didapatkan oleh seorang suami/istri dalam
perkawinan yang sah.

Jika berkenaan dengan masalah keturunan, meskipun seorang perempuan dikawini


dalam ikatan kontrak namun jika Tuhan menghendaki terjadinya kehamilan pada perempuan
tersebut, maka segala kewajiban terhadap anak yang dikandungnya harus dipikulnya sendiri.
Dan bagi si anak jika lahir dalam keadaan hidup dia tidak akan mmperoleh hak-hak dan
status hukum yang layak karena berdasarkan pasal 42 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan bahwa “anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dari perkawinan
yang sah.“

Kawin kontrak adalah perkawinan yang secara agama dan hukum tidak sah, sehingga
secara otomatis status kelahirannya juga tidak sah.Adapun menyangkut masalah pewarisan,
secara perdata berdasarkan pasal 43 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dia hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Selain
itu sanksi sosial juga mengancam para pelaku. Pada umumnya apabila masyarakat
mengetahui terjadinya perkawinan kontrak, maka si pelaku dengan sendirinya akan
mendapatkan sanksi social berupa pengucilan, cemoohan, dan lain-lain yang tentunya hal
tersebut akan dapat menghambat proses interaksi antara pelaku (tidak menutup kemungkinan
juga terhadap anak yang lahir) dengan masyarakat sekitarnya. Sedangkan akibat yang lainnya
yaitu apabila yang melakukan kawin kontrak salah satunya adalah warga Negara asing, maka
ia akan dijerat dengan peraturan keimigrasian yang kemungkinn besar sanksinya adalah
pendeportasian.

27
9. Fakta kawin kontrak di Indonesia

Majalah Gatra, No. 39, 10 Agustus 2006 mengangkat laporan tentang petualangan
para pelaku kawin kontrak di kawasan Bogor dan sekitarnya. Penggalan cerita di bawah ini
diharapkan dapat menggambarkan realitas kawin kontrak di beberapa lokasi di Indonesia.
Berikut beberapa petikannya.

Sebut saja L (23 tahun), bukan nama sebenarnya, asal Sukabumi, Jawa Barat yang
menikah dengan I (55 tahun) asal negeri kaya minyak dengan mahar Rp 2 juta dalam waktu 2
hari. Bertempat di sebuah villa di kawasan Puncak, Bogor, ritual pernikahan yang terjadi
setahun lalu itu hanya berlangsung tak lebih dari 15 menit. Namun, itu dianggap sudah cukup
untuk meng-"halal"-kan hubungan L dan I sebagai suami-istri.

Selesai ijab kabul, I langsung memboyong L ke penginapannya di sebuah villa di


Jalan Puncak Raya, Cisarua, Bogor. L, sesuai kontrak sebelum pernikahan, hanya menjadi
"istri" I selama dua hari saja. Setelah itu, status L "bebas" lagi. Ia bisa kembali mencari
"suami" baru yang ingin menikahinya dalam waktu dan maskawin tertentu.

L menekuni profesi sebagai "pekerja nikah mut'ah" sejak empat tahun lalu. Pada
2003, sete-lah berpisah dari suami pertamanya asal Sukabumi, L memutuskan menjadi tenaga
kerja wanita (TKW) di Riyadh, Arab Saudi. Di sana ia menikah dengan orang Arab Saudi
bernama F (40 tahun).

Merasa kurang cocok dengan F, L akhirnya pulang ke Indonesia pada 2004. Setelah
itu, ia berkali-kali menikah mut'ah dengan orang-orang asal Timur Tengah di Indonesia. Dari
U (38 tahun), A (35 tahun), H (40 tahun), hingga I (55 tahun) yang sudah disebut. Kini, entah
mengapa, L kembali lagi ke pangkuan F sebagai pembantu rumah tangga sekaligus istrinya
secara kontrak. "Rasa cemburu antara saya dan istri F jelas ada. Walau demikian, saya
menikmatinya kok," tutur L. "Ya, namanya juga cari duit. Beginilah nasib saya," ucapnya,
pasrah.

Pengalaman hampir sama dirasakan M. Perempuan 30 tahun asal Cilacap, Jawa


Tengah ini pertama kali menikah dengan A (45 tahun) pada 2004. Dari A, M menerima
mahar sebesar Rp 3 juta dan nafkah bulanan juga Rp 3 juta. Sebenarnya M ingin hidup
selamanya dengan A. Namun, karena A memintanya pindah ke negeri asal, M menolak.
Perjalanan rumah tangga A dan M pun berakhir setelah tujuh bulan.

28
Karena susah mencari pekerjaan, apalagi dengan tiga anak dari dua suami pribumi
sebelum A, M terjun ke dunia kawin kontrak lagi. Dua tahun terakhir, M sudah menikah
mut'ah lebih dari tujuh kali. Persisnya, ia bahkan mengaku lupa. Yang aneh dari M, meski
sudah nikah mut'ah dengan A, ia juga menikah mut'ah dengan pria lainnya. Caranya, ketika A
pulang ke negerinya, ia mencari sampingan dengan menikah mut'ah lagi dengan orang lain
yang negerinya sama.

Proses menuju pernikahan kontrak di Cisarua tidaklah rumit. Bisa menempuh tiga
jalur: langsung berhubungan dengan mempelai perempuan, mucikari, atau melalui calo yang
diteruskan ke mucikari. Kesepakatan biasanya terjadi setelah kedua calon pengantin bertemu
membicarakan soal nominal maskawin dan batasan waktu hidup bersama.

Oleh karena itu, selama permasalahan ekonomi di negeri tercinta ini belum
terselesaikan dan masalah orang miskin belum mempunyai jalan keluar yang layak maka
permasalahan mengenai nikah mut’ah atau kawin kontrak ini un tidak akan pernah
terselesaikan. Karena, sebagian besar alasan dari melakukan nikah mut’ah ini adalah
permasalahan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidup jadi peningkatan taraf hiduplah
satu-satunya solusi untuk mengurangi terjadinya nikah mut’ah di negeri ini.

29
BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN


A. KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan di atas yang telah saya uraikan di atas, maka saya menarik
kesimpulan sebagai berikut:
Latar belakang yang mendorong wanita melakukan kawin kontrak adalah:
a. Ekonomi
b. Agama
c. Sosial
d. Budaya
Sedangkan tujuan wanita melakukan kawin kontrak adalah:
a. Ekonomi
b. Biologis

Proses pelaksanaan kawin kontrak diproses dengan hukum agama Islam karena lebih
mudah dan cepat. Secara formal proses perkawinan dilakukan sesuai dengan hukum Islam
namun dalam membangun rumah tangga tidak menjiwai perkawinan sebagaimana diatur
dalam Islam tetapi lebih disesuaikan dengan perjanjian yang sudah dibuat. Dampak dari
pelaksanaan kawin kontrak adalah munculnya potensi konflik yang sangat besar antara suami
istri kaitannya dengan keturunan, maupun harta kekayaan masing-masing pihak, sehingga
tujuan perkawinan menurut UU No. 1 tahun 1974 dan hukum Islam yaitu membentuk rumah
tangga yang kekal, bahagia, dan sejahtera lahir maupun batin tidak akan tercapai.

B. SARAN
Menilai dari hasil kesimpulan diatas penulis memberikan saran:
1. Bagi para Kyai agar membuat kesepakatan bersama dan berani menolak
melangsungkan perkawinan sirri karena perkawinan yang demikian tidak tercatat dan dapat
dijadikan ajang kawin kontrak, serta menyarankan agar calon pengantin melaksanakan
perkawinan sesuai dengan ketentuan UU No.1 tahun 1974, namun apabila terpaksa
melakukan kawin sirri hendaknya menanyakan apakah ada perjanjian perkawinan yang
bertentangan dengan hukum Islam.
2. Agar diadakan penyuluhan tentang masalah perkawinan dengan meminta bantuan
para tokoh agama atau tokoh masyarakat melalui kelompok pengajian atau perkumpulan.

30
3. Peran orang tua sangat penting bagi kehidupan anak-anaknya dalam pendidikan dan
menanamkan pendidikan agama dengan baik sejak kecil, serta melakukan pengawasan
terhadap perilaku anak sehari-hari.
4. Untuk para wanita yang belum menikah perlu lebih memahami tentang perkawinan,
dan kelak bila melangsungkan perkawinan agar dilaksanakan sesuai dengan UU No.1 tahun
1974 tentang Perkawinan.

31
DAFTAR PUSTAKA

Asmin. 1986. Status Perkawinan Antar Agama Ditinjau dari UU Perkawinan No.1 Tahun
1974. Jakarta: PT. Dian Rakyat.

Abdul Aziz Dahlan. 2003. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: PT Ichtiar Van Hoeve.

Ramulyo, Mohd. Idris. 2002. Hukum Perkawinan Islam. Jakarta:Bumi Aksara.

Fakhriah, Efa Laela. Kawin Kontrak Tidak Sesuai Aturan Agama Maupun Negara.
Http://WWW.GOOGLE.COM. (13 Oktober 2010).

32

Anda mungkin juga menyukai