Anda di halaman 1dari 26

ANALISIS ZAT GIZI MAKANAN

MINERAL

Oleh
Kelompok 7 :

I Gusti Ayu Putri Kusuma Sari ( P07131120002 )


Ni Kadek Cahyana Ardiningsih ( P07131120025 )
Nafilah Bachmid ( P07131120031)

DEPARTEMEN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR
JURUSAN GIZI
2021
Kata Pengantar

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,yang telah melimpahkan
Rahmat-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah yang berjudul “ Analisis Zat Gizi
Makanan ( Mineral ) dengan baik dan lancar. Makalah ini disusun sebagai pemenuhan tugas
mata kuliah Analisis Zat Gizi Makanan yang diampu oleh Ibu

Penyusun berharap makalah ini dapat menambah wawasan pembaca. Penyusun


menyadari bahwa Makalah ini jauh dari kata sempurna, oleh karena itu, kritik dan saran
sangat membantu agar menjadikan makalah ini menjadi lebih baik.

Tak lupa penyusun sampaikan Terimakasih dan mohon maaf yang sebesar besarnya
bila ada kesalahan dalam penulisan makalah ini, dan semoga makalah ini bermanfaat bagi
pembaca.

Denpasar, 26 Januari 2021

Penyusun
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................................... 1


1.1 Latar Belakang ..................................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................................................ 2
1.3 Tujuan .................................................................................................................................. 2
1.4 Manfaat ................................................................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................................... 3
2.1 Pengertian Mineral ............................................................................................................... 3
2.2 Struktur Kimia Mineral ........................................................................................................ 3
2.3 Metode Pengabuan ............................................................................................................... 3
2.3.1 Prinsip ............................................................................................................................ 5
2.3.2 Peralatan ........................................................................................................................ 5
2.3.3 Prosedur Kerja ............................................................................................................... 6
2.3.4 Perhitungan .................................................................................................................... 7
2.3.5 Perbedaan pengabuan cara kering dan cara basah ...................................................... 12
2.4 Metode Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS) .................................................... 12
2.4.1 Prinsip ......................................................................................................................... 13
2.4.2 Alat dan Bahan ............................................................................................................ 13
2.4.3 Prosedur kerja .............................................................................................................. 15
2.5 Metode Volumetri .............................................................................................................. 15
2.5.1 Prinsip .......................................................................................................................... 16
2.5.2 Alat dan Bahan ............................................................................................................ 17
2.5.3 Prosedur kerja .............................................................................................................. 19
2.6 Kesalahan Analisis ............................................................................................................. 20
BAB III PENUTUP ................................................................................................................. 22
5.1 KESIMPULAN .................................................................................................................. 22
5.2 SARAN .............................................................................................................................. 22
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 23
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Mineral mempunyai mempunyai peranan yang sangat penting bagi tubuh
manusia yakni memelihara fungsi tubuh secara keseluruhan, baik sel, jaringan,
maupun organ. Keseimbangan mineral dalam tubuh diperlukan untuk mengatur kerja
enszim, pemelihara keseimbangan asam basa, pemelihara kepekaan otot dan syaraf
terhadap rangsangan (Almatsier, 2002).
Berdasarkan peranannya didalam tubuh, mineral dibagi menjadi 2 kelompok
utama yaitu mineral makro dan mineral mikro. Mineral makro terdiri dari kalsium (
Ca ), fosfor ( P ), Magnesium (Mg), Sulfur (S), Kalium ( K ), Klorida ( Cl ), dan
Natrium ( Na ). Mineral makro menyusun hampir 1 % dari total berat badan manusia
dan dibutuhkan sebesar 1000 mg / hari. Mineral mikro merupakan mineral yang
berjumlah kurang dari 100 mg / hari, mineral mikro terdiri dari kromium ( Cr ),
tembaga ( Cu ), fluoride ( F ), yodium ( I ), besi ( Fe ), mangan ( Mn ), silisium ( Si )
dan seng (Zn).
Mineral dapat ditemukan dalam bahan – bahan pangan yang sering dijumpai
seperti kalsium dapat ditemukan pada telur, susu, dan produk olahannnya seperti keju,
yoghurt, tahu, ikan, kerang, kacang kacangan dan sayuran. Klorida dapat dijumpai
pada ikan, udang, kerang, daging, telur, kacang hijau dan susu.. magnesium dapat
ditemukan pada sayuran hijau, jagung, apel, kacang – kacangan,beras, dan telur.
Namun meski mudah dijumpai dalam kehidpan sehari – hari, masih banyak
orang yang kekurangan mineral dan mengalami beberapa gangguan kesehatan.
Kekurangan mineral seperti kalsium ( hipokalsium ) saat masa pertumbuhan dapat
menimbulkan gangguan pertumbuhan seperti tulang rapuh, kurang kuat, dan mudah
bengkok. Selain kekurangan, kelebihan kalsium ( hiperkalsemia ) dalam tubuh juga
tidak baik bagi kesehatan, seperi dapat menyebabkan gangguan ginjal, konstipasi atau
susah buang air besar, dan sering menyebabkan gejala kelainan fungsi otak seperti
gangguan emosi, kebingungan, halusinasi, dan delirium ( Almatseir, 2004 ).
Untuk mengatasi kekurangan mineral maka diperlukan penelitian tentang
pengembangan metode analisis penetapan kadar mineral dalam tubuh.

1
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang dijelaskan diatas, maka diperoleh rumusan masalah sebagai
berikut,
1.2.1 Apa yang dimaksud dengan mineral ?
1.2.2 Bagaimana struktur kimia mineral ?
1.2.3 Apa yang dimaksud dengan metode kadar abu ?
1.2.4 Apa yang dimaksud dengan metode Atomic Absorption Spectrophotometer
(AAS)
1.2.5 Apa yang dimaksud dengan metode volumetri?
1.3 Tujuan
1.3.1 Mengetahui dan dapat memahami mineral, kegunaan, kebutuhan tubuh,
struktur kimia,metode kadar abu, metode Atomic Absorption
Spectrophotometer (AAS),dan metode volumetri
1.4 Manfaat
Sebagai tambahan informasi bagi para pembaca dalam materi mineral.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN MINERAL


Mineral adalah senyawa alami yang terbentuk melalui proses geologis.
istilah mineral termaksuk tidak hanya bahan komposisi kimia tetapi juga struktur
mineral. Menurut The Internationala Minerological Association tahun 1995 telah
mengajukan definisi baru tantang definisi material “Mineral adalah suatu senyawa
yang dalam keadaan normalnya memiliki unsur kristal dan terbentuk dari hasil
prosese geologi”. Menurut Sunita almatsier, mineral adalah suatu senyawa kimia
yang ada dalam normalnya memiliki unsur kristal dan terbentuk dari hasil proses
geologi yang dibutuhkan tubuh untuk menjaga kesehatan. Meskipun mineral hanya
dibutuhkan dalam jumlah kecil atau sekitar 5% saja, namun jumlah yang kecil ini
sangat berpengaruh untuk menjalankan fungsi tubuh yang optimal.
Fungsi umum mineral dalam tubuh antara lain menjadi unsur penting dari
struktur kerangka seperti tulang dan gigi. Memainkan peran penting dalam
pemeliharaan tekanan osmotik, dan dengan demikian mengatur pertukaran air dan
zat terlarut dalam tubuh hewan. Mineral berfungsi sebagai konstituen struktural
jaringan lunak. Sangat penting untuk transmisi impuls saraf dan kontraksi otot.
Mineral memainkan peran penting dalam keseimbangan asam-basa tubuh, dan
dengan demikian mengatur pH darah dan cairan tubuh lainnya. Berfungsi sebagai
komponen penting dari banyak enzim, vitamin, hormon dan pigmen pernapasan atau
sebagai kofaktor dalam metabolisme, katalis dan aktivator enzim.
Mineral merupakan elemen anorganik, jumlahnya dalam tubuh kurang lebih
4%. Elemen anorhanik tersebut merupakan sisi pembakaran senyawa organik yang
disebut abu. Mineral dikelompokkan Mineral menjadi :
1. Mineral esensial termaksud dalam kelompok mineral esensial untuk makro
elemem adalah kalsium (Cu), magnesium (Mg), natrium (Na), kalium (K),
fosfor (P), khlorin(Ci) dan sulfur (S), zat besi (Fe), tembaga (Cu), iodium (I),
seng (Zn), flourin (F), vanadium (Va), kobalt (Co), molibdenum(Mo), selenin
(Se), kromium (Cr), timah putih (Sn), nikel (Ni), dan silikat (Si). molibdenum
(Mo), selenium (Se).

3
2. Mineral kemungkinan esensial termasuk dalam kelompok ini adalah arsen,
barium, kadmium, dan strontium.
3. Mineral non esensial termasuk dalam kelompok ini adalah alumunium,
antimon, bismut, boron, germanium,aurum, timah hitam, air raksa, rubidium,,
perak, dan titanium.
4. Mineral yang berpotensitoksik tembaga, molibdenum, selenium, arsen,
cadmium, timah hitam, dan air raksa (Hg).
Mineral disebut esensial, yaitu apabila : Defesiensi dari mineral tersebut
mengakibatkan ketidak normalan fungsi fisiologis, Mineral terdapat dalam jaringan
yang sehat pada mahkluk hidup, Kadar mineral relatif constant.Kekurangan mineral
tersebut mengakibatkan gangguan fisiologis maupun ketidak normalan struktur.

2.2 STRUKTUR KIMIA MINERAL.


Struktur Khas Pada Mineral. Mineral adalah suatu benda padat homogen
yang dimana terbentuk dialam secara organik yang mempunyai komposisi kimia
pada batas batas tertentu dan mempunyai atom atom yang tersusun secara teratur.
Dalam pendeskripsiannya secara optik antara lain warna absorbs,
pleokroisme, belahan, pecahan, ukuran butir, indeks bias dan relief pada
pengamatan ortoskop nikol sejajar. Lalu pada pengamatan ortoskop nikol silang
yang diamati adalah warna interferensi, bias rangkap, orientasi optic,sudut
pemadaman dan kembaran, dalam paper ini yang di singgung adalah mengenai
tentang sifat khas struktur pada mineral, yaitu diantara lain:
1. Biotite
Struktur : Mata Burung. Biotit dibedakan dari phlogopite dengan warna gelap
dan absorpsi kuat. Dari hornblend coklat umum dibedakan dengan sudut
pemadaman yang kecildan perbedaan belahan.
2. Tourmaline
Struktur : zoning. Scrholite berkembang maksimum dalam granit pegmatite,
juga terdapat dalam tourmalinegranite, greisen, dan vein bertemperatur tinggi,
berasosiasi dengan cassiterite. Mineral ini menunjukkan absorpsi yang paling
kuat.
3. Struktur spinifex
Kenampakan dimana bentukan nya menyerupai jarum.
4. Struktur mesh

4
Kenampakan adanya perubahan mineral dari olivine melalui bidang pecahannya
dengan bentuk yang tidak beraturan.
5. Struktur subofitik
Mineral plagioklas dikelilingi oleh mineral feromagnesian yang juga
menunjukkan tekstur poikilitik
6. Halo’s Structure
7. Sieve Structure
8. Embayment Structure.
Struktur pada kuarsa dimana terjadi oksisdasi bagian tepi seperti teluk.

2.3 METODE PENGABUAN ATAU KADAR ABU


Pengabuan adalah proses pembakaran bahan organik untuk menghasilkan zat
abu. Abu merupakan residu anorganik dari proses pembakaran atau oksidasi
komponen organik bahan pangan. Kadar abu dari suatu bahan pangan menunjukkan
kandungan mineral yang terdapat dalam bahan tersebut, kemurnian, serta kebersihan
suatu bahan yang dihasilkan. Pengabuan dapat dilakukan dengan menggunakan dua
metode, yaitu metode pengabuan kering (cara langsung) dan pengabuan basah (cara
tidak langsung).
2.3.1 Prinsip
Prinsip penentuan kadar abu ialah dengan menimbang berat sisa
mineral hasil pembakaran bahan organik pada suhu 550°C. Dapat dilakukan
secara langsung dengan membakar bahan selama 2-8 jam dan kemudian
menimbang sisa pembakaran yang tertinggal sebagai abu.

2.3.2 Peralatan
No Nama Alat Gambar

1. Cawan pengabuan
terbuat dari platina,
nikel, atau silika,
lengkap dengan
tutupnya

5
2. Tanur pengabuan

3. Penjepit cawan.

4. Desikator

2.3.3 Prosedur Kerja


1. Siapkan cawan pengabuan, kemudian keringkan dalam tanur selama 15
menit, dinginkan dalam desikator, dan timbang (=Wo gram)
2. Timbang sebanyak 3 – 5 gram sampel dalam cawan tersebut (= W1 gram),
untuk sampel cairan diuapkan terlebih dahulu diatas penangas air sampai
kering.
3. Dibakar dalam pembakar gas hingga asapnya hilang
4. Kemudian letakkan dalam tanur pengabuan, bakar sampai didapat abu
berwarna abu-abu atau sampai beratnya tetap.
5. Pengabuan dilakukan dalam dua tahap :
a. Pertama pada suhu sekitar 400○C
b. Kedua pada suhu 550○C.
6. Dinginkan dalam desikator, kemudian timbang (= W2 gram).

6
2.3.4 Perhitungan
𝑊2 – 𝑊0
Kadar abu ( % ) = × 100
𝑊1 – 𝑊0

Keterangan :
W0 : berat cawan kosong
W1 : berat cawan + sampel sebelum pengabuan
W2 : berat cawan + sampel setelah pengabuan

Persiapan Sampel untuk Penetapan Mineral


Untuk menentukan kandungan mineral bahan makanan, bahan tersebut
harus dihancurkan / didestruksi terlebih dulu. Cara yang biasa dilakukan yaitu
pengabuan kering (dry ashing) dan pengabuan basah (wet digestion).
Pemilihan cara tersebut tergantung pada sifat zat organik dalam bahan,
mineral yang akan dianalisa serta sensitivitas cara yang digunakan.
Pengabuan kering dapat diterapkan pada hampir semua analisa mineral
kecuali merkuri dan arsen. Cara ini membutuhkan sedikit ketelitian dan
mampu menganalisa bahan lebih banyak daripada pengabuan basah.
Pengabuan kering dapat dilakukan untuk menganalisa kandungan Ca, P, dan
Fe, akan tetapi kehilangan K dapat terjadi apabila suhu yang digunakan terlalu
tinggi. Oleh karena itu untuk menganalisa K harus dihindari pemakaian suhu
lebih tinggi dari 480○C. Suhu 450○C tidak dapat digunakan jika akan
menganalisa kandungan Zn, penggunaan suhu yang terlalu tinggi juga akan
menyebabkan beberapa mineral menjadi tidak larut (misal timah putih).
Pengabuan basah memberikan beberapa keuntungan. Suhu yang
digunakan tidak dapat melebihi titik didih larutan dan pada umumnya karbon
lebih cepat hancur daripada menggunakan cara pengabuan kering. Cara
pengabuan basah pada prinsipnya adalah menggunakan asam nitrat untuk
mendestruksi zat organik pada suhu rendah dengan maksud menghindari
kehilangan mineral akibat penguapan. Pada tahap selanjutnya, proses
seringkali berlangsung sangat cepat pengaruh asam perklorat atau hydrogen
peroksida. Pengabuan basah pada umumnya digunakan untuk menganalisa
arsen, tembaga, timah hitam, timah putih, dan seng.

7
Persiapan sampel untuk penetapan mineral dengan pengabuan kering (dry ash)
1) Timbang dengan tepat sampel sebanyak yang dikehendaki di dalam
cawan silika yang telah diketahui beratnya.
2) Panaskan sampel di atas Hot plate atau pembakar Burner dengan api
sedang untuk menguapkan sebanyak mungkin zat organik yang ada
(sampai sampel tidak berasap lagi)
3) Pindahkan cawan ke dalam tanur dan panaskan pada suhu 300○C
sampai semua karbon berwarna keabuan, kemudian naikan suhu
sampai 420○C. Pada umumnya pengabuan dilakukan pada 450○C,
waktu yang dibutuhkan tergantung pada sifat bahan, biasanya 5–7 jam
(apabila dikehendaki penggunaan suhu rendah misalnya 420○C dengan
waktu semalam).
4) Jika diperkirakan belum semua karbon teroksidasi ambil cawan dari
dalam tanur dan dinginkan. Tambahkan 1 – 2 ml HNO3 pekat, uapkan
sampai kering dan masukkan lagi ke dalam tanur sampai pengabuan
dianggap selesai.
5) Ambil cawan dari tanur, dinginkan, catat berat abu yang dihasilkan.
6) Tutup cawan dengan gelas arloji , perlahan-lahan tambahkan 40 – 50
ml HCl encer (1+1) dengan menggunakan pipet. Gelas arloji berfungsi
untuk mencegah muncratnya campuran.
7) Panaskan cawan diatas waterbath selama 30 menit, angkat tutupnya
dan bilas. Lanjutkan pemanasan selama 30 menit untuk mendehidrasi
silica.
8) Tambahkan 10 ml HCl (1 + 1) dan air untuk melarutkan garam-garam.
9) Saring menggunakan kertas saring Whatman No. 44, masukan filtrat
ke dalam labu takar 100 ml.
10) Bilas residu yang tertinggal dalam cawan 1 s.d 2 kali menggunakan
HCl (1+1) , kemudian cuci residu yang tertinggal dalam kertas saring
menggunakan HCl (1+1) juga.
11) Encerkan sampai tanda tera dengan menggunakan aquades.
12) Kembalikan kertas saring ke dalam cawan , baker dan abukan dalam
tanur pada suhu 450○C selama 1 jam, kemudian dinginkan dan

8
timbang. Perlakuan ini memberi perkiraan kandungan silika di dalam
sampel.

Persiapan sampel untuk penetapan mineral dengan pengabuan basah (wet


digestion)
a. Peralatan
Gunakan labu kjeldahl berleher panjang kapasitas 300 ml
dengan groud glass joint no. 1324. Hubungkan dengan extension untuk
mengkondensasi uap ke dalam fume kondenser dan ditambah dengan
side tap funnel untuk memasukkan pereaksi.
Untuk digestion gunakan mild steel rack bagian atasnya
menggunakan asbestos dan berlubang untuk tempat labu. Leher labu
disangga dengan penyangga disamping digestion stand. Extension
harus masuk ke dalam fume kondenser.

b. Pereaksi
1) HNO3 pekat
2) H2SO4 pekat
3) Asam perklorat
4) Hidrogen peroksida

c. Prosedur kerja
Ada tiga macam cara pengabuan basah yang dapat dilakukan, yaitu:
1) Pengabuan basah menggunakan HNO3 dan H2SO4
2) Pengabuan basah menggunakan HNO3, H2SO4, dan HClO4
3) Pengabuan basah menggunakan HNO3, H2SO4, dan H2O2
Banyaknya sampel yang digunakan tergantung pada beberapa
faktor. Apabila dikehendaki analisa satu macam mineral saja
dianjurkan untuk menggunakan sample lebih sedikit dibandingkan
dengan analisa lebih dari satu macam mineral. Kandungan mineral
dalam bahan serta sensitivitas prosedur yang akan digunakan juga
harus dipertimbangkan.

9
d. Pengabuan basah menggunakan HNO3 dan H2SO4
1) Timbang sejumlah sampel yang mengandung 5 - 10 gram padatan
dan masukkan ke dalam labu kjedhal.
2) Tambahkan 10 ml H2SO4 dan 10 ml HNO3 dan beberapa buah
batu didih
3) Panaskan perlahan-lahan sampai larutan berwarna gelap, hindari
pembentukan buih yang berlebihan.
4) Tambahkan 1 – 2 ml HNO3 dan lanjutkan pemanasan sampai
larutan lebih gelap lagi.
5) Lanjutkan penambahan HNO3 dan pemanasan selama 5 – 10 menit
sampai larutan tidak gelap lagi (semua zat organik telah
teroksidasi), kemudian dinginkan.
6) Tambahkan 10 ml aquades (larutan akan menjadi tidak berwarna
atau menadi kuning muda jika mengandung Fe) dan panaskan
sampai berasap.
7) Dinginkan dan encerkan sampai volume tertentu.
Catatan :
1) Hindari pemanasan yang berlebihan yang mengakibatkan
kegosongan untuk mencegah penguapan arsenat yang mungkin
terdapat pada sampel
2) Jika menggunakan sampel basah (banyak mengandung air),
panaskan lebih dulu dengan HNO3 sebelum ditambah H2SO4,
perlakuan selanjutnya sama dengan jika menggunakan sampel
padat.

e. Pengabuan basah menggunakan H2SO4 + HNO3 + HClO4


1) Timbang sejumlah sampel, masukan ke dalam labu kjeldhal
2) Tambahkan 4 ml asam perklorat (HClO4), beberapa batu didih dan
HNO3 secukupnya untuk menyempurnakan oksidasi zat organik
(kurang lebih 7 ml tiap gram sampel yang digunakan). Kemudian
tambahkan pula 5 ml H2SO4 sampai diaduk perlahan.
3) Panaskan perlahan-lahan dengan panas rendah selama 5 – 10 menit,
sampai timbul asap tebal.

10
4) Pindahkan/matikan pemanas/pembakar gas, dinginkan larutan
5) Panaskan lagi dengan panas rendah selama 5 – 10 menit sampai
timbul asap H2SO4 putih tebal.
6) Besarkan panas/api dan lanjutkan pemanasan selama 1 – 2 menit.
Larutan pada tahap ini tidak berwarna atau kuning muda jika
mengandung Fe.
7) Jika diperkirakan masih ada karbonnya, tambah 1 – 2 ml HNO3
dan panaskan
8) Dinginkan dan encerkan sampai volume tertentu dengan
menggunakan aquades.
Catatan :
1) Pengabuan asam perklorat pada proses “digestion” dapat
menyebabkan ledakan dan apabila digunakan dan apabila
digunakan bersama-sama asam nitrat dan asam sulfat dapat
menyebabkan ledakan yang lebih besar lagi, oleh karena itu cara
ini sangat berbahaya dan harus dilakukan sangat hati-hati.
2) Kerjakan di dalam ruang asap yang terisolasi dengan baik
3) Gunakan masker pada waktu melakukan “digestion” di kamar asap.
4) Jangan naikan suhu pemanasan sampai oksidasi zat organik oleh
HNO3 dan H2SO4 selesai. Naikkan suhu pemanasan hanya untuk
memberi kesempatan agar asam perklorat bereaksi.
5) Pada waktu pemanasan , jangan sampai kering, paling tidak 2–3 ml
H2SO4 selalu terdapat dalam labu (untuk menghindari kekurangan
asam dan titik didih yang tinggi setelah HNO3 habis). Jika tidak
ada H2SO4, pemanasan dapat menyebabkan terurainya Amonium
perklorat yang disertai dengan ledakan.

f. Pengabuan basah dengan menggunakan H2SO4, HNO3 dan H2O2


1) Lakukan perlakuan pengabuan menggunakan H2SO4 dan HNO3
point 1 s.d 6.
2) Tambahkan 2 – 3 ml H2O2 30% dan beberapa tetes HNO3
3) Panaskan sampai residu tidak berwarna atau pengurangan warna
kuning muda tidak terjadi lagi.

11
4) Dinginkan dan encerkan dengan 10 ml aquades, kemudian uapkan
sampai berasap.
5) Encerkan lagi dengan 5 ml aquades dan uapkan lagi sampai
berasap.
6) Encerkan dengan aquades sampai volume tertentu.

2.3.7 Perbedaan pengabuan cara kering dan cara basah yaitu :


a. Cara kering digunakan untuk penentuan abu total dalam suatu bahan
pangan, sedangkan cara basah digunakan untuk penentuan trace element
b. Penentuan abu yang larut dan tidak larut dalam air serta abu yang tidak
larut dalam asam membutuhkan waktu rekalif lama apabila pengabuan
dilakukan dengan cara pengabuan kering, sedangkan pengabuan basah
relatif lebih cepat.
c. Cara kering membutuhkan suhu relative tinggi, sedangkan pengabuan
basah membutuhkan suhu relatif rendah
d. Cara kering dapar digunakan untuk sampel yang relatif banyak,
sedangkan cara basah sebaiknya sampel yang diuji sedikit dan
membutuhkan regensia yang merupakan bahan kimia cukup berbahaya.

2.4 METODE Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS)


Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS) adalah suatu metode analisis
untuk menentukan konsentrasi suatu unsur dalam suatu cuplikan yang didasarkan
pada proses penyerapan radiasi sumber oleh atom-atom yang berada pada tingkat
energi dasar (ground state). Proses penyerapan energi terjadi pada panjang gelombang
yang spesifik dan karakteristik untuk tiap unsur. Proses penyerapan tersebut
menyebabkan atom penyerap tereksitasi, dimana elektron dari kulit atom meloncat ke
tingkat energi yang lebih tinggi. Banyaknya intensitas radiasi yang diserap sebanding
dengan jumlah atom yang berada pada tingkat energi dasar yang menyerap energi
radiasi tersebut, dengan mengukur tingkat penyerapan radiasi (absorbansi) atau
mengukur radiasi yang diteruskan (transmitansi), maka konsentrasi unsur di dalam
cuplikan dapat ditentukan.

12
2.4.1 Prinsip
Metode spektrofotometer serapan atom (AAS) berprinsip pada absorpsi
cahaya oleh atom-atom. Atom-atom menyerap cahaya tersebut pada panjang
gelombang tertentu, tergantung pada sifat unsurnya. Bila cahaya
monokromatik maupun campuran jatuh atau masuk pada suatu medium yang
homogen, sebagian dari sinar akan dipantulkan, sebagian diserap dalam
medium itu dan sisanya akan diteruskan.

2.4.2 Alat dan Bahan

1. Alat

No Nama Alat Gambar


1. Spektrofotometer
Serapan Atom
(SSA)

2. Neraca Analitik

3. Hot Plate

4. Pipet Skala 10 ml

5. Labu Takar 100 ml

13
6. Gelas Beaker/Gelas
Kimia 100 ml

7. Corong Kaca

8. Blub

9. Pipet Tetes 3 ml

10. Botol Semprot

11. Spatula

12. Batang Pengaduk

14
2. Bahan
1) Aquades (H2O)
2) Aqubides (H2O)
3) Aluminium foil
4) Asam nitrat (HNO3) 65%
5) Asam perklorat (HClO4) pekat
6) Kertas saring whatman no 42
7) Larutan induk Fe 1000 ppm
8) Sampel sayur bayam Waterone (H2O)

2.4.3 Prosedur kerja


1. Preparasi Sampel Bayam
1) Menimbang sampel bayam merah sebanyak 5 gram ke dalam gelas kimia
100 ml dan menimbang sampel bayam hjau sebanyak 5 gram ke dalam
gelas kimia 100 ml
2) Menambahkan 20 ml aquabides (H2O). Selanjutnya menambahkan 5 ml
asam nitrat (HNO3) 65%
3) Melakukan pemanasan hingga larutan mendidih dan volumenya berkurang
4) Mendinginkan larutan dan menambahkan 1 ml asam perklorat (HClO4)
pekat. Melanjutkan pemasan kembali
5) Mendinginkan kembali larutan lalu melakukan penyaringan
6) Mengencerkan dengan aquades (H2O) dan menghomogenkannya.

2. Pembuatan larutan baku besi (Fe) 100 ppm


1) Memipet 10 ml larutan induk besi (Fe) 1000 ppm ke dalam labu takar 100
ml
2) Mengencerkan dengan aquabides (H2O).

3. Pembuatan larutan standar besi (Fe)


1) Memipet 1 ml, 2 ml, 3 ml, 4 ml, dan 5 ml larutan baku 100 ppm ke dalam
5 buah labu takar 100 ml
2) Mengencerkan masing masing larutan dengan aquades (H2O) dan
menghomogenkannya.

15
4. Pengujian kadar besi (Fe) dengan AAS
1) Menyalakan rangkaian sektrofotometer serapan atom. Mengeset hollow
cathode lamp
2) Memastikan alat sektrofotometer serapan atom telah tersambung dengan
komputer
3) Menghubungkan alat sektrofotometer serapan atom dengan larutan standar
dan sampel
4) Melakukan analisis larutan standar dan sampel Mencatat nilai absorbansi
dari masing-masing larutan
5) Membuat kurva absorbansi besi (Fe)
6) Mencatat konsentrasi besi (Fe) dalam sampel dengan menggunakan
ekstraporasi.

2.5 METODE VOLUMETRI


Analisa volumetri adalah analisa kuantitatif dimana kadar dan komposisi dari
sampel ditetapkan berdasarkan volume pereaksi (volume diketahui) yang
ditambahkan ke dalam larutan zat uji, hingga komponen yang ditetapkan bereaksi
secara kuantitatif dengan pereaksi tersebut. Proses tersebut dikenal dengan titrasi.
Oleh karena itu, analisa volumetri disebut juga analisa titrimetri. Suatu reaksi dapat
digunakan sebagai dasar analisa titrimetri apabila memenuhi persyaratan berikut:
• Reaksi harus berlangsung cepat, sehingga titrasi dapat dilakukan dalam
waktu yang tidak terlalu lama
• Reaksi harus sederhana dan diketahui dengan pasti, sehingga didapat
kesetaraan yang pasti dari reaktan
• Reaksi harus berlangsung sempurna
Pereaksi yang digunakan dinamakan titran dan larutannya disebut larutan
baku. Konsentrasi larutan ini dapat dihitung berdasarkan berat zat baku yang
ditimbang secara seksama atau dengan penetapan yang dikenal dengan pembakuan.
2.5.1 Prinsip
Mengukur volume larutan adalah jauh lebih cepat dibandingkan dengan
menimbang berat suatu zat secara gravimetri. Dengan akurasi yang sama, analisis
volumetri memungkinkan suatu zat yang dianalisis (analit) bereaksi dengan zat lain
yang konsentrasinya telah diketahui (titran) dan dialirkan melalui buret dalam bentuk

16
larutan. Konsentrasi larutan analit kemudian ditentukan secara kuantitatif. Proses
diatas dikenal dengan proses titrasi. Oleh karena itu, analisa volumetri disebut juga
analisa titrimetri.
Secara umum, reaksi dasar antara komponen analit dengan titran dinyatakan
melalui persamaan :
aA + tT → Produk
‘a’ merupakan jumlah mol analit (A) yang bereaksi secara stoikiometri
dengan ‘t’ mol titran (T). Keadaan dimana volume titran yang ditambahkan tepat
sama dengan volume yang diperlukan oleh analit untuk bereaksi sempurna disebut
sebagai titik ekivalen. Pencapaian titik ekivalen umumnya ditandai oleh perubahan
warna zat tertentu yang sengaja dimasukkan ke dalam larutan analit, yang dikenal
sebagai indikator. Perubahan warna indikator terjadi bila telah tercapai titik akhir
titrasi, yaitu keadaan dimana semua analit telah bereaksi dengan titran. Secara
sederhana, konsep analisa titrimetri didefenisikan sebagai suatu teknik analisa
kuantitatif yang didasarkan pada prinsip stoikiometri reaksi kimia.

2.5.2 Alat dan Bahan


Gambar Alat Nama & Fungsi

Buret Dan Statis

Buret dipakai sebagai


tempat titran, biasanya
yang dipakai adalah buret
dengan volume 50 mL.
Skala 0 ada dibagian atas
dan 50 ada di bawah.
Statis dipakai untuk
menahan buret
(meletakkan buret) pada
waktu titrasi.

17
Erlenmeyer

Erlenmeyer dipakai
untuk meletakkan analit.
Biasa yang dipergunakan
untuk titrasi adalah
ukuran 250 mL agar
mudah dipegang dang
lebih mudah melihat
analit.

Pipet Ukur

Untuk mengambil analit


dengan volume tertentu
misal 10, atau 25 mL
maka gunakan pipet
ukur, jangan
menggunakan gelas ukur
karena pipet ukur lebih
presisi. Pipet ukur
tersedia dalam banyak
ukuran.

Labu Ukur

Alat ini dipakai untuk


membuat larutan standar
dengan volume tertentu
misalnya 10, 25, 50 mL.
Jangan gunakan beaker
glass untuk membuat
larutan standar sebab
labu ukur lebih presisi.

18
Pipet Tetes

Pipet tetes biasanya


dipakai untuk mengambil
indikator yang akan
digunakan pada waktu
titrasi.

Gelas Arloji

Untuk alas pada waktu


menimbang zat kimia
(zat untuk larutan
standar) maka jangan
mengunakan kertas akan
tetapi Anda harus
meggunakan gelas arloji.

Karet Penghisap

Gunakan karet penghisap


untuk mengambil analit
pada waktu Anda
menggunakan pipet ukur.
Jika analitnya tergolong
zat yang tak berbahaya
Anda bisa menghisapnya
dengan mulut.

2.5.3 Prosedur kerja


Teknik pelaksaaan analisis volumetri, mula-mula disiapkan larutan baku dalam
buret dan larutan sampel dalam labu titrasi. Larutan baku diteteskan kedalam larutan
sampel sampai titik ekivalen. Inilah yang biasa dikenal dengan istilah Titrasi (Metode
Titimeri). Pada titik ekivalen, V1 N1 = V2 N2.

19
Apabila salah satu larutan berwarna, titik ekivalen dapat diamati. Misalnya:
titrasi asam oksalat yang tidak berwarna dengan larutan KMnO4(ungu), akan
didapatkan perubahan laurtan dari tidak berwarna menjadi ungu muda.
Jika kedua larutan tidak berwarna, maka titik ekivalen tidak dapat teramati.
Sehingga perlu penambahan indikator sebagai zat pembantu dalam pengamatan titik
ekivalen. Titik ekivalen (TE) tidak dapat diamati dengan mata secara langsung, akan
tetapi yang bisa diamati hanya perubahan warna dimana titrasi harus dihentikan.
Tepat saat titik akhir titrasi (TAT). Pada umumnya, titik akhir titrasi terjadi sesudah
titik ekivalen.
Misalnya, Titrasi CH3COOH dengan larutan NaOH menggunakan indikator
fenolftalein (pp). Larutan ini kemudian dititrasi dengan NaOH sampai titik ekivalen
(belum ada perubahan warna). Ketika ada kelebihan 1 tetes larutan NaOH, dengan
adanya pp, akan membentuk larutan berwarna merah muda (TAT).Perbedaaan antara
titik akhir titrasi dan titik ekivalen tidak boleh terlalu besar karena dapat
menyebabkan kesalahan titrasi. Semakin besar perbedaan antara TA dan TE, maka
semakin besar pula kesalahan titrasinya. Usahakan agar TA jatuh sedekat mungkin
dengan TE. Oleh karena itu, sangat penting memilih indikator yang tepat untuk
memperkecil kesalahan titrasi.

2.6 KESALAHAN DALAM ANALISIS.


Tahap analisis adalah tahap yang paling penting baik dalam kegiatan penelitian
maupun pengawasan mutu, kesalahan pada tahap ini dapat mengakibatkan kesalahan
interpretasi sehingga akan sangat merugikan bagi perkembangan ilmu maupun
dalam penilaian suatu bahan pangan. Dalam suatu penelitian sering didapatkan hasil
yang tidak memuaskan seperti :
1. Data hasil penelitian yang jauh menyimpang dari data hasil penelitian yang
telah dilakukan orang lain sebelumnya atau tidak rasional
2. Perbedaan hasil yang sangat jauh antara ulangan atau antara duplo dan trio
3. Perbedaan perlakuan yang diterapkan tidak dapat dipolakan.

Kesalahan yang sering dilakukan dalam analisis dapat bermacam-macam


diantaranya:
1. Kesalahan dalam pengambilan contoh
2. Kesalahan dalam pembuatan dan pereaksi-pereaksi yang digunakan

20
3. Kesalahan dalam penerapan metode analisis
4. Kesalahan dalam pengerjaan.
Hal penting yang perlu ditekankan untuk mengurangi kesalahan yang mungkin
terjadi adalah:
1. Cara-cara pengambilan contoh dan persiapan sampel yang benar
2. Ketepatan analisis
3. Pemilihan metode yang tepat.

Untuk itu perlu pengetahuan dari buku buku lainnya, latihan dan pengalaman
dalam menganalisis, perbandingan beberapa metode analisis untuk menentukan
metode analisis yang akurat, sederhana dan dapat disesuaikan dengan kondisi
laboratorium yang tersedia.

21
BAB III
PENUTUP

5.1 KESIMPULAN
Mineral mempunyai mempunyai peranan yang sangat penting bagi tubuh manusia
yakni memelihara fungsi tubuh secara keseluruhan, baik sel, jaringan, maupun organ.
Keseimbangan mineral dalam tubuh diperlukan untuk mengatur kerja enszim,
pemelihara keseimbangan asam basa, pemelihara kepekaan otot dan syaraf terhadap
rangsangan.
Pengabuan adalah proses pembakaran bahan organik untuk menghasilkan zat
abu. Abu merupakan residu anorganik dari proses pembakaran atau oksidasi
komponen organik bahan pangan. Kadar abu dari suatu bahan pangan menunjukkan
kandungan mineral yang terdapat dalam bahan tersebut, kemurnian, serta kebersihan
suatu bahan yang dihasilkan.

5.2 SARAN
Saran yang bisa penulis berikan antara lain bahwa
praktikum ini adalah sebaiknya dalam melaksanakan praktikum praktikan mengikuti
prosedur secara teliti supaya hasil diperoleh tidak jauh berbeda dari literatur yang
didapatkan.

22
DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Z. (2008). “Beberapa unsur mineral esensial mikro dalam sistem biologi dan
metode analisisnya”. Jurnal Litbang Pertanian, 27(3), 99-105.

Sirajuddin, Saifuddin. 2011. “Pedoman Praktikum Analisis Bahan Makanan.”


Universitas Hasanuddin: Makassar.

Sudarmadji. 2003. ”Analisis Bahan Makanan dan Pertanian”. Yogyakarta (ID): Liberti.

Winarno, Florentinus Gregorius. "Kimia pangan dan gizi." (2019).

W. Harjadi. “Ilmu Kimia Analitik Dasar”. PT. Gramedia. 1990. Jakarta

Yenrina, Rina. 2015. “Metode Analisis Bahan Pangan dan Komponen Bioaktif.” Padang:
Andalas University Press.

23

Anda mungkin juga menyukai