NEONATUS PREMATUR
BAB I
KONSEP DASAR MEDIS
A. Pengertian
Kelahiran prematur adalah bentuk kelahiran abnormal yang ditandai dengan
umur kehamilan antara 20 minggu sampai dengan kurang dari 37 minggu atau
259 hari dari hari pertama haid terakhir. (Arsin, 2015)
Masalah utama dalam persalinan prematur adalah perawatan bayinya, semakin
muda usia kehamilannya semakin besar morbiditas dan mortalitasnya. (Ariana,
2011)
B. Anatomi Dan Fisiologi
1. Vital Statistik
a. Berat badan bayi baru lahir tergantung dari factor nutrisi, genetic dan
factor intrauterine selama kehamilan. Pengelompokan berat badan bayi
baru lahir membantu dalam mengidebtifikasi risiko terhadap neonatus
karena berat badanyang kecil kemungkinan memiliki masa gestasi yang
kecil. Bayi matur memiliki berat badan kira – kira 3,4 kg pada perempuan
dan 3,5kg pada laki – laki. Batas berat badan terendah bagi bayi matur
adalah 2,5 kg. bayi dengan berat badan lahir sekitar 4,7 kg harus dicurigai
terhadap adanya diabetes mellitus pada ibunya. Sekitsr 75 % - 95 % berat
badan bayi merupakan cairan tubuhnya. Bayi akan kehilangan cairan
sekitar 5 % - 10 % pada beberapa hari pertama setelah kelahiran. Setelah
mengalami kehilangan cairan yang inisial, maka bayi akan mengalami
berat badan yang stabildalam waktu 10 hari. Kemudian akan bertambah
sebanyak 6 – 8 ons/ minggu pada 6 bln pertama kelahiran.
b. Panjang badan bayi baru lahir kira – kira 53 cm pada perempuan dan pada
bayi laki – laki memiliki panjang badan 54 cm.
c. Lingkar kepala baru lahir adalah 34 – 35 cm. Bayi baru lahir dengan
lingkar kepala lebih dari 37 cm atau kurang dari 33 cm harus diidentifikasi
mengenai adanya kelainan neurology. Pengukuran lingkar kepala
menggunakan pita ukur yang dilakukan pada tengah – tengah dahi
sehingga kepala belakang dapat terukur.
d. Lingkar dad pada bayi baru lahir adalah 2 cm kurang dari lingkar
kepala. Pengukuran dilakukan tepat diatas nipple, yakni tonjolan
berpigmen pada permukaan anterior kelenjar mamae. Dikelilingi oleh
areola, tempat keluarnya air susu dari payudara. (Dongoes, 2001)
2. Tanda Vital
a. Temperature
Suhu tubuh bayi baru lahir adalah 37,2 ˚C, suhu tubuh ini dapat menurun
dengan cepat karena kehilangan panas. Kehilangan panas pada bayi baru
lahir melalui 4 cara, yaitu :
1) Konfeksi
Adalah kehilangan panas dari permukaan tubuh menuju udara sekitar
yang lebih dingin.
2) Konduksi
Adalah transfer panas pada obyek/ benda yang lebih dingin tanpa
kontak denagn tubuh bayi.
3) Radiasi
Adalah transfer panas pada obyek yang lebih dingin tanpa kontak
dengan tubuh bayi.
4) Evaporasi
Adalah kehilangan panas karena ada penguapan.
b. Nadi
Tekanan nadi fetus yang masih dalam kandungan adalah 120 – 160 bpm.
Segera setelah lahir, dimana bayi akan berjuang untuk bernafas, maka
denyut jantung menjadi cepat sekitar 180 bpm. Beberapa jam setelah lahir,
denyut jantung akan stabil sekitar 120 – 140 bpm. Denyut jantung pada
bayi baru lahir biasanya irregular karena kardiolegulator di medulla belum
matang. Murmur biasanya terjadi akibat penutupan inkomplit pada
sirkulasi. Pada saat menangis, denyut jantung menjadi 180 bpm dan pada
saat tidur 90 – 110 bpm.
c. Pernafasan
Pernafasan pada bayi baru lahir adalah 80X/ mnt, setelah beberapa menit
kehidupan. Setelah aktivitas pernafasan dipertahankan, maka menjadi
stabil sekitar 30 – 60X/ mnt dalam keadaan istirahat. Kedalaman ritme
masih irreguler dan terjadi apnea yang singkat tanpa sianosi yang disebut
pernafasan periodik dan merupakan keadaan normal. Reflek batuk dan
bersin pada bayi baru lahir dilakukan untuk membersihkan saluran nafas.
d. Tekanan darah
Tekanan darah bayi baru lahir adalah 80/ 46 mmHg. Setelah 10 hari akan
meningkat ketika bayi menangis. (Dongoes, 2001)
3. Fungsi Fisiologis
a. Sistem Kardiovaskuler
b. Sistem Pernafasan
Pernafasan pertama kali pada bayi baru lahir disebabkan oleh adanya
kombinasi dari reseptor dingin, tekanan PO2 rendah ( PO2 menurun dari
tekanan 80 mmHg menjadi 15 mmHg), dan peningkatan PCO2
( meningkat menjadi 70 mmHg). Adanya cairan pada paru-paru
mempermudah tegangan permukaan dinding alveolar dan memudahkan
pernafasan untuk pertama kalinya. Cairan tambahan tersebut akan
diabsorbsi dengan segera oleh pembuluh darah paru dan limfatik setelah
pernafasan pertama dalam waktu 10 menit bayi akan memiliki volume
residual yan baik dan dalam waktu 12 jam maka kapasitas vital terpenuhi.
Organ jantung pada bayi baru lahir memiliki ukuran yang lebih besar dari
pada orang dewasa sehingga ekspansi paru terbatas.(Dongoes, 2001)
c. Sistem Pencernaan
Saluran gastrointestinal pada bayi baru lahir biasanya steril, bakteri akan
dikultur dari intestinal dalam waktu 5 jam setelah kelahiran. Bakteri
masuk ke saluran pencernaan melalui mulut dan beberapa bakteri tersebut
menyebar melalui udara. Bakteri lain mungkin berasal dari secret vagina,
tempat tidur di rumah sakit dan kontak saat menyusui. Akumulasi bakteri
pada saluran pencernaan penting untuk digesti dan untuk sintesis vitamin
K karena ASI yang diberikan pada 1 tahun pertama memiliki kandungan
vitamin K yang rendah sehingga sintesis vitamin K sangat diperlukan
untuk koagulasi darah walaupun saluran pencernaan memiliki kapasitas
60-90 ml tapi bayi memiliki kemampuan terbatas utuk mencerna lemak
dan pati karena defisiensi enzim pankreas, limpase dan amylase pada
beberapa bulan pertama kehidupan. Bayi baru lahir akan mengeluarkan
mekonium melalui anus dalam waktu 24 jam yang berwarna hijau
kehitaman, lengket, berbau yang berasal dari mucus, vernikkaseosa,
lanugo, hormon dari ibu dan karbohidrat selama kehidupan intra uteri.
Setelah 2 atau 3 hari kehidupan, BAB bayi akan berubah warna menjadi
hijau yang disebut transisionalstool, setelah 4 hari maka akan menjadi
kuning muda dan berbau asam laktat karena mengkonsumsi ASI.
(Dongoes, 2001)
d. Sistem Urinaria
Pengosongan kandung kemih pada bayi baru lahir terjadi dalam waktu 24
jam. Adanya obstruksi saluran perkemihan dapat diobservasi melalui
pancaran urin, pada bayi perempuan memiliki pancaran yang kuat dan
pada bayi laki-laki memiliki pancaran yang kecil. Ginjal pada bayi baru
lahir tidak mampu memekatkan urin dengan baik sehingga warna urin
agak pucat dan sedikit berbau. Jumlah urin yang pertama pada bayi baru
lahir adalah 15 ml dengan berat jenis 1,008-1,010 dalam 1 minggu volume
total harian urin adalah 300 ml yang berwarna merah muda karena adanya
kristal asam yang dibentuk pada kandung kemih selama dalam kandungan.
(Dongoes, 2001)
e. Sistem Autoimun
Bayi baru lahir sangat sulit untuk membentuk anti bodi untuk melawan
antigen pada 2 bulan pertama kehidupan. Karena alasan
tersebut imunisasi untuk melawan penyakit anak, tidak diberikan pada
bayi yang lebih muda 2 bulan.(Dongoes, 2001)
C. Etiologi
Bayi dengan kelahiran prematur dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu
sebagai berikut:
a. Faktor ibu
Faktor ibu merupakan hal dominan dalam mempengaruhi kejadian prematur,
faktor-faktor tersebut di antaranya adalah:
1) Toksemia gravidarum (preeklampsia dan eklampsia).
2) Riwayat kelahiran prematur sebelumnya, perdarahan antepartum,
malnutrisi dan anemia sel sabit.
3) Kelainan bentuk uterus (misal: uterus bikurnis, inkompeten serviks).
4) Tumor (misal: mioma uteri, eistoma).
5) Ibu yang menderita penyakit seperti penyakit akut dengan gejala panas
tinggi (misal: thypus abdominalis, dan malaria) dan penyakit kronis
(misal: TBC, penyakit jantung, hipertensi, penyakit ginjal).
6) Trauma pada masa kehamilan, antara lain jatuh.
7) Kebiasaan ibu (ketergantungan obat narkotik, rokok dan alkohol).
8) Usia ibu pada waktu hamil kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun.
9) Bekerja yang terlalu berat.
10) Jarak hamil dan bersalin terlalu dekat. (Ariana, 2011)
b. Faktor Janin
Beberapa faktor janin yang mempengaruhi kejadian prematur antara lain :
kehamilan ganda, hidramnion, ketuban pecah dini, cacat bawaan, kelainan
kromosom, infeksi (misal: rubella, sifilis, toksoplasmosis), insufensi plasenta,
inkompatibilitas darah ibu dari janin (faktor rhesus, golongan darah A, B dan
O), infeksi dalam rahim. (Ariana, 2011)
c. Faktor Lain Selain faktor ibu dan janin ada faktor lain yaitu faktor plasenta,
seperti plasenta previa dan solusio plasenta, faktor lingkungan, radiasi atau
zat-zat beracun, keadaan sosial ekonomi yang rendah, kebiasaan, pekerjaan
yang melelahkan dan merokok. (Ariana, 2011)
D. Tanda dan gejala
a. Ada beberapa tanda dan gejala yang dapat muncul pada bayi prematur antara
lain adalah sebagai berikut:
b. Umur kehamilan sama dengan atau kurang dari 37 minggu.
c. Berat badan sama dengan atau kurang dari 2500 gram.
d. Panjang badan sama dengan atau kurang dari 46 cm.
e. Lingkar kepala sama dengan atau kurang dari 33 cm.
f. Lingkar dada sama dengan atau kurang dari 30 cm.
g. Rambut lanugo masih banyak.
h. Jaringan lemak subkutan tipis atau kurang.
i. Tulang rawan daun telinga belum sempuna pertumbuhannya.
j. Tumit mengkilap, telapak kaki halus.
k. Genetalia belum sempurna, labia minora belum tertutup oleh labia mayora dan
klitoris menonjol (pada bayi perempuan). Testis belum turun ke dalam
skrotum, pigmentasi dan rugue pada skrotum kurang (pada bayi laki-laki).
l. Tonus otot lemah sehingga bayi kurang aktif dan pergerakannya lemah.
m. Fungsi saraf yang belum atau tidak efektif dan tangisnya lemah.
n. Jaringan kelenjar mamae masih kurang akibat pertumbuhan otot dan jaringan
lemak masih kurang.
o. Vernix caseosa tidak ada atau sedikit bila ada. (Hidayati, 2016)
E. Patofisiologi
Secara umum, penyebab persalinan premature dapat dikelompokkan dalam
empat golongan yaitu:
1. Aktivasi premature dari pencetus terjadinya persalinan
Mekanisme pertama ditandai dengan stress dan ansietas yang biasa
terjadi pada primipara muda yang mempunyai predisposisi genetic. Adanya
stress fisik maupun psikologis menyebabkan aktivasi premature dari aksis
Hypotalamus Pituitary Adrenal (HPA) pada ibu dan menyebabkan terjadinya
persalinan prematur. Aksis HPA ini menyebabkan timbulnya insufisiensi
uteroplasenta dan mengaibatkan kondisi stress pada janin. Stress pada ibu
maupun janin akan mengakibatkan peningkatan pelepasan hormon
Corticotrophin Releasing Hormone (CRH), perubahan pada
Adrenocoricotropic Hormone (ACTH), prostaglandin, reseptor aksitoksin,
matrix metaloproeinase (MMP), interleukin-8, cycloooksigenase-2,
dedydroepiandosteron sulfate (DHEAS), esteroen plasenta dan pembesaran
kelenjar adrenal. (Suspimantari, 2010)
2. Inflamasi/infeksi
Mekanisme kedua adalah deciduas-chirioamnionitis, yaitu infeksi
bakteri yang menyebar ke uterus dan cairan amnion. Keadaan ini merupakan
penyebab potensial terjadinya persalinan premature. Infeksi intraamnion akan
terjadi pelepasan mediator inflamasi seperti pro-inflamatory sitokin. Sitokin
akan merangsang pelepasan CRH, yang akan merangsang aksis HPA janin
dan menghasilkan kortisol dan DHEAS. Hormon-hormon ini bertanggung
jawab untuk sintetis uterotonin (prostaglandin dan endotelin) yang akan
menimbulkan kontrasi. Sitokin juga berperan dalam meningkatkan pelepasan
protease (MMP) yang mengakibatan perubahan pada serviks dan pecahnya
kulit ketuban. (Suspimantari, 2010)
3. Perdarahan plasenta
Mekanisme ketiga yaitu mekanisme yang berhubungan dengan
perdarahan plasenta dengan ditemukannya peningkatan hemosistein yang
akan mengakibatkan kontraksi miometrium. Perdarahan pada
plasentamenyebaban aktivasi dari faktor pembekuan Xa (protombinase).
Protombinase ini akan mengubah protombin menjadi thrombin yang mampu
menstimulasi kontraksi miometrium.(Suspimantari, 2010)
4. Peregangan yang berlebih pada uterus
Mekanisme keempat adalah peregangan berlebihan dari uterus yang
bisa disebabkan oleh kehamilan kembar, polyhydramnion atau distensi
berlebih yang disebabkan oleh kelainan uterus atau proses operasi pada
serviks. Mekanisme ini dipengaruhi oleh IL-8, prostaglandin, dan COX-2.
(Suspimantari, 2010)
A. Pengkajian
Pengkajian pada bayi prematur dilakukan dari ujung rambut hingga ujung kaki,
meliputi semua sistem pada bayi. Pengkajian diawali dari anamnesis dan
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan harus dilakukan dengan teliti. (Wong, 2004)
Pengkajian pada bayi prematur meliputi:
a. Biodata
Terjadi pada bayi prematur yang dalam pertumbuhan di dalam kandungan
terganggu .
b. Keluhan utama
Menangis lemah, reflek menghisap lemah, bayi ke dinginan atau suhu tubuh
rendah
c. Riwayat penayakit sekarang
Lahir spontan, SC umur kehamilan antara 24 sampai 37 minnggu,berat badan
kurang atau sama dengan 2.500 gram, apgar pada 1 sampai 5 menit, 0 sampai
3 menunjukkan kegawatan yang parah,4 sampai 6 kegawatan sedang,dan 7-10
normal
d. Riwayat penyakit dahulu
Ibu memliki riwayat kelahiran prematur, kehamilan ganda, hidramnion.
e. Riwayat penyakit keluarga
Adanya penyakit tertentu yang menyertai kehamilan seperti DM, TB Paru,
Tumor kandungan, Kista, Hipertensi
f. Pengkajian umum pada bayi
1) Penimbangan berat badan.
2) Pengukuran panjang badan dan lingkar kepala.
3) Mendiskripsikan bentuk badan secara umum, postur saat istirahat,
kelancaran pernapasan, edema dan lokasinya.
4) Mendiskripsikan setiap kelainan yang tampak.
5) Mendiskripsikan tanda adanya penyulit seperti warna pucat, mulut yang
terbuka, menyeringai, dan lain-lain.
g. Masalah yang berkaitan dengan ibu Masalah-masalah tersebut antara lain
adalah hipertensi, toksemia, plasenta previa, abrupsio plasenta, inkompeten
servikal, kehamilan kembar, malnutrisi, diabetes mellitus, status sosial
ekonomi yang rendah, tiadanya perawatan sebelum kelahiran (prenatal care),
riwayat kelahiran prematur atau aborsi, penggunaan obat-obatan, alkohol,
rokok, kafein, umur ibu yang di bawah 16 tahun atau di atas 35 tahun, latar
pendidikan rendah, kehamilan kembar, kelahiran prematur sebelumnya dan
jarak kehamilan yang berdekatan, infeksi seperti TORCH atau penyakit
hubungan seksual lain, golongan darah dan faktor Rh.
h. Pengkajian bayi pada saat kelahiran Umur kehamilan biasanya antara 24
sampai 37 minggu, rendahnya berat badan saat kelahiran (kurang dari 2500
gram), lapisan lemak subkutan sedikit atau tidak ada, bayi terlihat kurus,
kepala relatif lebih 44 besar dari pada badan dan 3 cm lebih lebar dibanding
lebar dada, nilai Apgar pada 1 sampai 5.
i. Kardiovaskular Pada bayi prematur denyut jantung rata-rata 120-160/menit
pada bagian apikal dengan ritme yang teratur, pada saat kelahiran kebisingan
jantung terdengar pada seperempat bagian interkostal, yang menunjukkan
aliran darah dari kanan ke kiri karena hipertensi atau atelektasis paru.
Pengkajian sistem kardiovaskuler dapat dilakukan dengan cara sebagai
berikut:
1) Menentukan frekuensi dan irama denyut jantung.
2) Mendengarkan suara jantung.
3) Menentukan letak jantung tempat denyut dapat didengarkan, dengan
palpasi akan diketahui perubahan intensitas suara jantung.
4) Mendiskripsikan warna kulit bayi, apakah sianosis, pucat pletora, atau
ikterus.
5) Mengkaji warna kuku, mukosa, dan bibir.
6) Mengukur tekanan darah dan mendiskripsikan masa pengisian kapiler
perifer (2-3 detik) dan perfusi perifer.
j. Gastrointestinal Pada bayi prematur terdapat penonjolan abdomen,
pengeluaran mekonium biasanya terjadi dalam waktu 12 jam, reflek menelan
dan mengisap yang lemah, tidak ada anus dan ketidaknormalan kongenital
lain. Pengkajian sistem gastrointestinal pada bayi dapat dilakukan dengan cara
sebagai berikut:
1) Integumen Pada bayi prematur kulit berwarna merah muda atau merah,
kekuning-kuningan, sianosis, atau campuran bermacam warna, sedikit
Mendiskripsikan adanya distensi abdomen, pembesaran lingkaran
abdomen, kulit yang mengkilap, eritema pada dinding abdomen, terlihat
gerakan peristaltik dan kondisi umbilikus.
2) Mendiskripsikan tanda regurgitasi dan waktu yang berhubungan dengan
pemberian makan, karakter dan jumlah sisa cairan lambung.
3) Jika bayi menggunakan selang nasogastrik diskripsikan tipe selang
pengisap dan cairan yang keluar (jumlah, warna, dan pH).
4) Mendiskripsikan warna, kepekatan, dan jumlah muntahan.
5) Palpasi batas hati.
6) Mendiskripsikan warna dan kepekatan feses, dan periksa adanya darah
sesuai dengan permintaan dokter atau ada indikasi perubahan feses.
7) Mendiskripsikan suara peristaltik usus pada bayi yang sudah mendapatkan
makanan.
k. vernix caseosa dengan rambut lanugo di sekujur tubuh, kulit tampak
transparan, halus dan mengkilap, edema yang menyeluruh atau pada bagian
tertentu yang terjadi pada saat kelahiran, kuku pendek belum melewati ujung
jari, rambut jarang atau bahkan tidak ada sama sekali, terdapat petekie atau
ekimosis. Pengkajian sistem integumen pada bayi dapat dilakukan dengan
cara sebagai berikut:
1) Menentukan setiap penyimpangan warna kulit, area kemerahan, iritasi,
abrasi.
2) Menentukan tekstur dan turgor kulit apakah kering, halus, atau bernoda.
3) Mendiskripsikan setiap kelainan bawaan pada kulit, seperti tanda lahir,
ruam, dan lain-lain.
4) Mengukur suhu kulit dan aksila.
l. Muskuloskeletal Pada bayi prematur tulang kartilago telinga belum tumbuh
dengan sempurna yang masih lembut dan lunak, tulang tengkorak dan tulang
rusuk lunak, gerakan lemah dan tidak aktif atau letargik. Pengkajian
muskuloskeletal pada bayi dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1) Mendiskripsikan pergerakan bayi, apakah gemetar, spontan, menghentak,
tingkat aktivitas bayi dengan rangsangan berdasarkan usia kehamilan.
2) Mendiskripsikan posisi bayi apakah fleksi atau ekstensi.
3) Mendiskripsikan perubahan lingkaran kepala (kalau ada indikasi) ukuran
tegangan fontanel dan garis sutura.
m. Neurologis Pada bayi prematur reflek dan gerakan pada tes neurologis tampak
resisten dan gerak reflek hanya berkembang sebagian. Reflek menelan,
mengisap dan batuk masih lemah atau tidak efektif, tidak ada atau
menurunnya tanda neurologis, mata biasanya tertutup atau mengatup apabila
umur kehamilan belum mencapai 25-26 minggu, suhu tubuh tidak stabil atau
biasanya hipotermi, gemetar, kejang dan mata berputarputar yang bersifat
sementara tapi bisa mengindikasikan adanya kelainan neurologis. Pengkajian
neurologis pada bayi dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1) Mengamati atau memeriksa reflek moro, mengisap, rooting, babinski,
plantar, dan refleks lainnya.
2) Menentukan respon pupil bayi.
n. Pernapasan Pada bayi prematur jumlah pernapasan rata-rata antara 40-60
kali/menit dan diselingi dengan periode apnea, pernapasan tidak teratur,
flaring nasal melebar (nasal melebar), terdengar dengkuran, retraksi
(interkostal, suprasternal, substernal), terdengar suara gemerisik saat bernapas.
Pengkajian sistem pernapasan pada bayi dapat dilakukan dengan cara sebagai
berikut:
1) Mendiskripsikan bentuk dada simetris atau tidak, adanya luka dan
penyimpangan yang lain.
2) Mendiskripsikan apakah pada saat bayi bernapas menggunakan otot-otot
bantu pernapasan, pernapasan cuping hidung, atau subternal, retraksi
interkostal atau subklavikular.
3) Menghitung frekuensi pernapasan dan perhatikan teratur atau tidak.
4) Auskultasi suara napas, perhatikan adanya stridor, crackels, mengi, ronki
basah, pernapasan mendengkur dan keimbangan suara pernapasan.
5) Mendiskripsikan sura tangis bayi apakah keras atau merintih.
6) Mendiskripsikan pemakaian oksigen meliputi dosis, metode, tipe
ventilator, dan ukuran tabung yang digunakan.
7) Tentukan saturasi (kejenuhan) oksigen dengan menggunakan oksimetri
nadi dan sebagian tekanan oksigen dan karbondioksida melalui oksigen
transkutan (tcPO2) dan karbondioksida transkutan (tcPCO2).
o. Perkemihan Pengkajian sistem pekemihan pada bayi dapat dilakukan dengan
cara mengkaji jumlah, warna, pH, berat jenis urine dan hasil laboratorium
yang ditemukan. Pada bayi prematur, bayi berkemih 8 jam setelah kelahiran
dan belum mampu untuk melarutkan ekskresi ke dalam urine.
p. Reproduksi Pada bayi perempuan klitoris menonjol dengan labia mayora yang
belum berkembang atau belum menutupi labia minora. Pada bayi laki-laki
skrotum belum berkembang sempurna dengan ruga yang kecil dan testis
belum turun ke dalam skrotum.
q. Temuan sikap Tangis bayi yang lemah, bayi tidak aktif dan terdapat tremor.
B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan dibuat setelah dilakukan pengkajian. Beberapa
diagnosis dapat ditetapkan untuk semua bayi, tetapi diagnosis tertentu ditetapkan
sesuai dengan hasil pengkajian yang ditemukan (bervariasi sesuai kondisi bayi).
Masalah yang lazim muncul atau diagnosa keperawatan yang sering muncul pada
bayi prematur adalah sebagai berikut:
1. Resiko tinggi gawat pernafasan berhubungan dengan ketidak matangan paru
karena kurang produksi surfactant.
2. Resiko tinggi hipotermia atau hypertermi berhubungan dengan lemak
subkutan tipis, luas permukaan tubuh lebih luas disbanding dengan masa
tubuh, termoregulasi belum sempuna.
3. Nutisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan reflek menelan lemah
akibat prematuritas.
4. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan peningkatan kerentanan
bayi terhadap system imun yang belum matang. (Wong, 2004)
C. Intervensi
Rencana atau intervensi keperawatan pada bayi premature adalah sebagai berikut:
a. Diagnosa I
1) Tujuan :Menjaga dan memaksimalkan fungsi paru
2) Intervensi:
a) Kumpulkan data yang berkaitan dengan kegawatan nafas.
Rasional : Riwayat ibu atas penggunaan obat atau kondisi tidak normal
selama kehamilan dan proses persalinan.
b) Waspada episode apnea yang berlangsung lebih dari 20 detik.
Rasional :deteksi dini dalam menentukan tindakan selanjutnya.
c) Memberi bantuan pernafasan seperti oksigen.
Rasional :membantu mencukupi supplai oksigen.
d) Pantaukajian gas darah untuk mengetahui asidosis pernafasan metabolic.
e) Rasional : deteksi dini untuk mencegah hipoksia.
b. Diagnosa II
1) Tujuan :tidak terjadi hipotermia/hypertermia
2) Intervensi :
a) Jaga temperature ruang perawatan 25o C
Rasional :ruangan yang terlalu panas menyebabkan perpindahan panas
secara infeksi
b) Ukur suhu rectal terlebih dulu, kemudian suhu aksila setiap 2
jam/setiap kali diperlukan
c) Rasional :deteksi dini dalam menentukan tindakan selanjutnya.
d) Lakukan prosedur penghangatan setelah bayi lahir
e) Rasional :mencegah pengeluaran suhu lewat evaporasi
c. Diagnosa III
1) Tujuan :Meningkatkan dan menjaga asupan kalori dan statusnya gizi bayi
2) Intervensi :
a) Awasi reflek menghisap bayi dan kemampuan menelan
Rasional :kemampuan menghisap dan menelan yang lemah dapat
menyebabkan kebutuhan nutrisi tidak terpenuhi.
b) Awasi dan hitung kebutuhan kalori bayi
Rasional :mengetahui kebutuhan kalori yang dibutuhkan bayi.
c) Kebutuhan ASI 60/kg BB/24 jam dengan kenaikan 30 cc/hari,
dipertahankan pada hari ke-7 sampai 1 bulan
Rasional : ASI mengandung zat gizi yang diperlukan tubuh.
d) Timbang bayi setiap hari,bandingkan berat badan dengan asupan
kalori yang diberikan.
Rasional :mengetahui perkembangan dan kemungkinan terjadinya
penurunan BB yang pathologis
d. Diagnosa IV
1) Tujuan :tidak terjadi infeksi
2) Intervensi :
a) Kaji adanya fluktuasi suhu tubuh, letargi, apnea, malas minum, gelisah
dan ikterus.
Rasional :suhu tubuh meningkat dan nadi cepat merupakan awal
terjadinya infeksi.
b) Kaji riwayat ibu,kondisi bayi selama kehamilan,dan epidemic infeksi
diruang perawatan
Rasional :mengetahui adanya riwayat infeksi selama kehamilan.
c) Ambil sampel darah
Rasional :untuk sampel pemerisaan eritrosit, leukosit, diferensiasi,
Immunoglobulin.
d) Pantau ulang hasil peneletian eritrosit, luekosit, diferensiasi,
imunoglobulin
Rasional : mengetahui terjadinya infeksi.
e) Upayakan pencegahan infeksi dari lingkungan: cuci tangan sebelum
dan sesudah memegang bayi
Rasional :mencegah berpindahnya mikroorganisme dari jari tangan ke
tubuh bayi. (Wong, 2004)
D. Evaluasi secara teoritis
Evaluasi merupakan tahap akhir dari proses keperawatan dengan cara
melakukan identifikasi sejauh mana tujuan dari rencana keperawatan tercapai atau
tidak. Dalam melakukan evaluasi perawat harus memiliki pengetahuan dan
kemampuan dalam memahami respon terhadap intervensi keperawatan,
kemampuan menggambarkan kesimpulan tentang tujuan yang dicapai serta
kemampuan dalam menghubungkan tindakan keperawatan dengan kriteria hasil.
Pada tahap evaluasi ini terdiri dari dua kegiatan yaitu kegiatan yang dilakukan
dengan mengevaluasi selama proses perawatan berlangsung (evaluasi proses) dan
kegiatan melakukan evaluasi dengan target tujuan yang diharapkan (evaluasi
hasil). (Surasmi, Asrining, 2003)
a. Evaluasi proses (evalusi formatif)
Fokus pada evaluasi ini adalah aktivitas dari proses keperawatan dan hasil
kualitas pelayanan asuhan keperawatan. Evaluasi ini harus dilaksanakan
segera setelah perencanaan keperawatan diimplementasikan untuk membantu
menilai efektifitas intervensi tersebut. Metode pengumpulan data evaluasi ini
menggunakan analisis rencana asuhan keperawatan, open chart audit,
pertemuaan kelompok, wawancara, observasi, dan menggunakan form
evaluasi. Sistem penulisaanya dapat menggunakan sistem SOAP.(Surasmi,
Asrining, 2003)
b. Evaluasi hasil (evaluasi sumatif)
Fokus pada evaluasi hasil (evaluasi sumatif) adalah pada perubahan perilaku
atau status kesehatan klien pada akhir asuhan keperawatan. Evaluasi ini
dilaksanakan pada akhir asuhan keperawatan secara paripurna. Evaluasi hasil
bersifat objektif, fleksibel, dan efisien. Metode pelaksanaannya terdiri dari
close chart audit, wawancara pada pertemuan terakhir asuhan, dan pertanyaan
kepada klien dan keluarga. (Surasmi, Asrining, 2003)
DAFTAR PUSTAKA
Disusun Oleh :
SRI WAHYUNI
NURHUDAYA FAUZIAH
IKRANSYAH
KEPERAWATAN A
BAB II
KONSEP MEDIS
A. Definisi
Berat badan lahir rendah (BBLR) adalah bayi dengan berat lahirnya kurang
dari 2500 gram. Istilah prematuritas telah diganti dengan berat badan lahir rendah
(BBLR) kerana terdapat dua bentuk penyebab lelahiran ayi dengan berat badan
kurang dari 2500 gram, yaitu karena usia kehamilan kurang dari 37 minggu, berat
badan lebih rendah dari semestinya, sekalipun umru cukup, atau karena
kombinasi keduanya. (Nurhayati, 2009)
Penyimpangan KDM
C. Tanda dan gejala
Adapun tanda dan gejala yang terdapat pada bayi dengan berat badan lahir rendah
(BBLR) adalah :
a. Sistem pernapasan
F. Penatalaksanaan
1. Pemberian ASI
Bayi dengan berat badan rendah (BBLR) terutama yang kurang bulan
membutuhkan suatu thermoregulasi yaitu suatu pengontrolan suhu badan
secara :
1. Fisiologi mengatur pembentukan atau pendistribusian panas
2. Pengaturan terhadap suhu keliling dengan mengontrol kehilangan dan
pertambahan panas. (Nurhayati, 2009)
Terlebih dahulu akan dibahas mengenai hal-hal yang berkaitan dengan keilangan
panas pada bayi secara umum yang penting diketahui bagi bidan/perawat
yaitu :
1. Kehilangan panas. Kehilangan panas pada bayi dengan berat lahir rendah
dapat disampaikan melaui 4 cara yaitu :
a. Konduksi, yaitu panas tubuh akan hilang bila bayi ditidurkan di atas
permukaan dingin. Seperti menidurkan bayi di timbangan yang dingin.
b. Konveksi, yaitu panas tubuh akan hilang dengan adanya penguapan cairan
yang ada di permukaan tubuh bayi.
c. Radiasi, yaitu panas tubuh akan hilang bila dekat dengan benda-benda yang
dingin, sehingga panas tubuh akan memancar ke benda-benda dingin sifatnya.
2. Faktor predisposisi.Berikut ini merupakan faktor predisposisi kehilangan
panas pada bayi, yaitu :
a. luas permukan tubuh yang besar dibanding dengan berat badan.
b. lemak subkutan yang lebih tipis terutama pada bayi prematur/ BBLR.
c. postur bayi mempengaruhi kehilangan panas tubuh.
d. bayi terutama bayi yang prematur/BBLR tidak bisa memproduksi panas
dengan mekanisme menggigil seperti pada orang dewasa.
e. hipotalamus bayi premature/BBLR sudah berkembang baik tetapi bayi baru
lahir mempunyai “range/rentang” yang lebih sempit dibanding dengn manusia
biasa.
f. Bayi yang beresiko.Berikut ini adalah bayi yang beresiko kehilangan panas
(termasuk bayi dengan berat lahir rendah), yaitu :
1. bayi yang diedasi
2. bayi asfiksia
3. bayi IUGR(pertumbuhan janin terhambat)
4. bayi premature/BBLR
g. Stress dingin
Bayi BBLR yang lurang bulan yang tiba-tiba dihadapkan pada suhu dingin
akan mengalami hipotermi. Sebagai respon terhadap udara atau suhu dingin
akan terjadi vasokontriksi yang akan menyebabkan timbulnya metabolisme
anaerob dan asidosis metabolic. Oleh karena itu bayi berat lahir rendah yang
kurang bulan mempunyai resiko tinggi terhadap hipotermi dan gejla sisinya.
h. Efek klinis hipotermi
Bayi baru lahir dengan berat rendah yang telah mengalami hipotermi dapat
mempunyai efek klinis sebagai berikut : penurunan kadar Ph, penurunan
tekanan oksigen, terjadi hipoglisemia, peningkatan konsumsi
oksigen,peningktakan cadangan kalori, kenaikan berat badan lambat,
penurunan eberat badan, terdapat sklerema, peningkatan kematian bayi, dan
dapat terjadi gangguan faktor pembekuan darah.
i. Faktor penghambat non shiving thermogenesis
1. menerus Stress dingin yang terjadi pada BBLR secara terus
2. Bayi mengalami hipoksia
3. Bayi bisa mengalami apnea berulang
4. Bayi bisa mengalami gangguan fungsi serebral karena adanya perdarahan
intrakranial
5. Bayi mengalami hipoglikemia karena cadangan glikogen berkuang
6. Bayi bisa mengalami gagal jantung
7. Bayi bisa mengalami masalah pernapasan.
j. Pencegahan kehilangan napas
1. bayi lahir, bayi dikeringkan dan dibedong dengan popok hangat
2. Setelah Pemeriksaan di kamar bersalin dilakukan di bawahradiant warmer
(box bayi hangat)
3. Topi dipakaikan untuk mencegh kehilangan panas lelaui kuit kepal
4. Bila suhu bayi stabil. Bayi dapat di rawat di box terbuka dan diselimuti.
h. Pencegahan hipotemi
Untuk mencegah hipotermi pada bayi berat lahir rendah maka perlu
pengaturan suhu badan pada neonatus, yang biasanya dilakukan di ruang
perawatan bayi atau ruang ruang perawatan intensif bayi. Denga
melaksanakan pemberian lingkunagn di area thermal zona netral pada bayi
baru lahir. Area thermal zona netral ini bertujuan agar dapat memberikan
kondisi suhu bayi dalam posisi suhu keliling yang sempit, sehingga
kehilangan panasnya ukup untuk mempertahankan “core temperatur” pada
suhu 37 derajat celcius.
c. Metode kanguru
Metode kanguru adalah salah satu metode perawatan bayi berat lahir rendah
untuk mencehag hipotermi pada bayi baru lahir, yang diperkenalkan pertama
kali oleh Rey dan Martinez dari columbia pada tahun 1979. Megapa disebut
dengan metode kanguru ? karena cara ini meniru binatang kanguru yang
biasanya melahirkan bayi imatur dan menyimpan bayinya di kantung ibunya
untuk mencegah kedinginan. Prinsip dasar dari metode kanguru ini dalah
mengganti perawatan bayi berat lahir rendah (BBLR) dalam inkubator dengan
metode kanguru. (Nurhayati, 2009)
Tujuan metode kanguru adalah untuk menrunkan angka morbiditas dan
mortalitas BBLR serta menurunkan rujukan BBLR ke rumah sakit.
(Nurhayati, 2009)
Manfaat metode kanguru adalah sebagai berikut :
Bagi bayi : mengurangi pemakaian kalori bayi, memperlama waktu tidur
bayi, meningkatkan hubungan kedekatan bayi dn ibu, mengurangu
kejadian infeksi, menstabilkan suhu tubuh bayi, menstabilkan denyut
jantung dan pernafasan bayi, menurunkan sters pada bayi, meningkatkan
perilaku bayi lebih baik, dan menaikkan berat badan bayi.
1. Bagi ibu : mempermudah pemberian ASI dan pelksanaan IMD (Inisiasi
Menyusui Dini), meningkatkan produksi ASI, meningktakan rasa percaya
diri ibu, meningkatkan hubungan kedekatan dan kasih sayang ibu dan bayi
dengan memberikan pengaruh psikologis berupa ketenangan pada ibu dan
keluarga.
2. Bagi rumah sakit/klinik : memberikan efisiensi tenaga karena ibu dapat
merawat bayinya sendiri, mempersingkat lama perawatan bayi di rumah
sakit, dan efisiensi anggaran karena penggunaan fasilitas, misalnya
berkurang.
c. Pemijatan bayi
Ternyata, dari kebanyakan penelitian melaporkan bayi prematur yang
biasanya lahir dengan berat badan lahir rendah mengalami kenaikan berat
badan yang lebih besar dan berkembang lebih baik setelah dilakukan
pemijatan secara teratur. (Nurhayati, 2009)
Untuk itu, sebenarnya pijat/sentuhan ini juga merupakan penatalaksanan
yang baik bagi dengan berat rendah karena sangat efektif untuk menjalin
hubungan orang tua dan bayi dalam hal perkembangan fisik dan
emosional bayi maupun perkembangan indra yang lain. (Nurhayati, 2009).
BAB II
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
a. Biodata pasien
1. Biodata atau identitas pasien: meliputi nama tempat tanggal lahir jenis
kelamin .
2. Bidata penanggung jawab meliputi : nama (ayah dan ibu, umur, agama,
suku atau kebangsaan, pendidikan, penghasilan pekerjaan, dan alamat.
b. Riwayat kesehatan
Riwayat antenatal yang perlu dikaji atau diketahui dari riwayat antenatal
pada kasus BBLR yaitu:
1. Keadaan ibu selama hamil dengan anemia, hipertensi, gizi buruk, merokok
ketergantungan obat-obatan atau dengan penyakit seperti diabetes
mellitus, kardiovaskuler dan paru.
2. Kehamilan dengan resiko persalinan preterm misalnya kelahiran multiple,
kelainan kongenital, riwayat persalinan preterm.
3. Pemeriksaan kehamilan yang tidak kontinyuitas atau periksa tetapi tidak
teratur dan periksa kehamilan tidak pada petugas kesehatan.
4. Hari pertama hari terakhir tidak sesuai dengan usia kehamilan (kehamilan
postdate atau preterm).
5. Riwayat natalkomplikasi persalinan juga mempunyai kaitan yang sangat
erat dengan permasalahan pada bayi baru lahir. Yang perlu dikaji :
6. Kala I : perdarahan antepartum baik solusio plasenta maupun plasenta
previa.
7. Kala II : Persalinan dengan tindakan bedah caesar, karena pemakaian obat
penenang (narkose) yang dapat menekan sistem pusat pernafasan
c. Riwayat post natal
Yang perlu dikaji antara lain :
1. Agar score bayi baru lahir 1 menit pertama dan 5 menit kedua AS (0-
3) asfiksia berat, AS (4-6) asfiksia sedang, AS (7-10) asfiksia ringan.
2. Berat badan lahir : Preterm/BBLR < 2500 gram, untu aterm ³ 2500
gram lingkar kepala kurang atau lebih dari normal (34-36 cm).
3. Pola nutrisi
Yang perlu dikaji pada bayi dengan BBLR gangguan absorbsi
gastrointentinal, muntah aspirasi, kelemahan menghisap sehingga
perlu diberikan cairan parentral atau personde sesuai dengan kondisi
bayi untuk mencukupi kebutuhan elektrolit, cairan, kalori dan juga
untuk mengkoreksi dehidrasi, asidosis metabolik, hipoglikemi
disamping untuk pemberian obat intravena.
4. Pola eliminasi
Yang perlu dikaji pada neonatus adalah BAB : frekwensi, jumlah,
konsistensi. BAK : frekwensi, jumlah
5. Latar belakang sosial budaya
Kebudayaan yang berpengaruh terhadap BBLR kebiasaan ibu
merokok, ketergantungan obat-obatan tertentu terutama jenis
psikotropikaKebiasaan ibu mengkonsumsi minuman beralkohol,
kebiasaan ibu melakukan diet ketat atau pantang makanan tertentu.
6. Hubungan psikologis
Sebaiknya segera setelah bayi baru lahir dilakukan rawat gabung
dengan ibu jika kondisi bayi memungkinkan. Hal ini berguna sekali
dimana bayi akan mendapatkan kasih sayang dan perhatian serta dapat
mempererat hubungan psikologis antara ibu dan bayi. Lain halnya
dengan BBLR karena memerlukan perawatan yang intensif
7. Keadaan umum
Pada neonatus dengan BBLR, keadaannya lemah dan hanya merintih.
Keadaan akan membaik bila menunjukkan gerakan yang aktif dan
menangis keras. Kesadaran neonatus dapat dilihat dari responnya
terhadap rangsangan. Adanya BB yang stabil, panjang badan sesuai
dengan usianya tidak ada pembesaran lingkar kepala dapat
menunjukkan kondisi neonatus yang baik.
8. Tanda-tanda Vital
Neonatus post asfiksia berat kondisi akan baik apabila penanganan
asfiksia benar, tepat dan cepat. Untuk bayi preterm beresiko terjadinya
hipothermi bila suhu tubuh < 36 °C dan beresiko terjadi hipertermi
bila suhu tubuh < 37 °C. Sedangkan suhu normal tubuh antara 36,5°C
– 37,5°C, nadi normal antara 120-140 kali per menit respirasi normal
antara 40-60 kali permenit, sering pada bayi post asfiksia berat
pernafasan belum teratur .
9. Kulit
Warna kulit tubuh merah, sedangkan ekstrimitas berwarna biru, pada
bayi preterm terdapat lanugo dan verniks.
10. Kepala
Kemungkinan ditemukan caput succedaneum atau cephal haematom,
ubun-ubun besar cekung atau cembung kemungkinan adanya
peningkatan tekanan intrakranial.
11. Mata
Warna conjunctiva anemis atau tidak anemis, tidak ada bleeding
conjunctiva, warna sklera tidak kuning, pupil menunjukkan refleksi
terhadap cahaya.
12. Hidung
Terdapat pernafasan cuping hidung dan terdapat penumpukan lendir.
13. Mulut
Bibir berwarna pucat ataupun merah, ada lendir atau tidak.
14. Telinga
Perhatikan kebersihannya dan adanya kelainan
15. Leher
Perhatikan kebersihannya karena leher nenoatus pendek
16. Thorax
Bentuk simetris, terdapat tarikan intercostal, perhatikan suara
wheezing dan ronchi, frekwensi bunyi jantung lebih dari 100 kali per
menit.
17. Abdomen
Bentuk silindris, hepar bayi terletak 1 – 2 cm dibawah arcus costae
pada garis papila mamae, lien tidak teraba, perut buncit berarti adanya
asites atau tumor, perut cekung adanya hernia diafragma, bising usus
timbul 1 sampai 2 jam setelah masa kelahiran bayi, sering terdapat
retensi karena GI Tract belum sempurna.
18. Umbilikus
Tali pusat layu, perhatikan ada pendarahan atau tidak, adanya tanda –
tanda infeksi pada tali pusat.
19. Genitalia
Pada neonatus aterm testis harus turun, lihat adakah kelainan letak
muara uretra pada neonatus laki – laki, neonatus perempuan lihat labia
mayor dan labia minor, adanya sekresi mucus keputihan, kadang
perdarahan.
20. Anus
Perhatiakan adanya darah dalam tinja, frekuensi buang air besar serta
warna dari feses.
21. Ekstremitas
Warna biru, gerakan lemah, akral dingin, perhatikan adanya patah
tulang atau adanya kelumpuhan syaraf atau keadaan jari-jari tangan
serta jumlah
22. Refleks
Pada neonatus preterm post asfiksia berat reflek moro dan sucking
lemah. Reflek moro dapat memberi keterangan mengenai keadaan
susunan syaraf pusat atau adanya patah tulang(Doenges E
marlyn,2007)
B. Diagnosa keperawatan
a. Ketidakefektifan pola nafas b/d tidak adekuatnya ekspansi paru
b. Resiko tinggi hipotermi atau hipertermi b/d imaturitas fungsi
termoregulasi atau perubahan suhu lingkungan
c. Resiko tinggi gangguan integritas kulit b/d imaturitas struktur kulit
d. Nutrisi kurang dari kebutuhan b/d ketidakmampuan menerima nutrisi
e. Disfungsi motilitas gastrointestinal b/d ketidakadekuatan aktivitas
peristaltic di dalam system gastrointestinal
f. Resiko Infeksi berhubungan dengan pertahanan imunologis tidak adekuat
g. Ikterus neonatus berhubungan dengan bilirubin tidak konjugasi dalam
sirkulasi
C. Intervensi keperawatan
D. Evaluasi teoritis
Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan
yang menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan, rencana tindakan dan
pelaksanaannya sudah berhasil dicapai melalui evaluasi memungkinkan perawat
untuk memonitor keadaan yang terjadi selama tahap pengkajian, analisa,
perencanaan dan pelaksanaan tindakan.
Adapun evaluasi yang diharapkan pada bayi dengan berat badan lahir rendah
(BBLR) dalah osigenasi klien kembali adekuat, klien dapat mempertahankan suhu
tubuh yang stabil, klien tidak mengalami infeksi, kebutuhan nutrisi klien kembali
terpenuhi, kebutuhan cairan kembali seimbang, integritas kulit klien tetap utuh,
klien tidak mengalami cidera, klien mencapai pertumbuhan dan perkembangan
yang normal, keluarga menunjukkan kedekatan yang fositif. (Nursalam, 2001).
DAFTAR PUSTAKA
PUTRI YUNIAR
SINARWATI
KEPERAWATAN A
PROGRAM S1 KEPERAWATAN
BAB I
KONSEP TEORI
A. Pengertian
Respiratory Distress Syndrome (RDS) disebut juga Hyaline Membrane
Disease (HMD), merupakan sindrom gawat napas yang disebabkan defisiensi
surfaktan terutama pada bayi yang lahir dengan masa gestasi yang kurang
(Mansjoer, 2009).Sindrom gawat napas pada neonatus (SGNN), dalam bahasa
Inggris disebut neonatal respiratory distress syndrome (RDS) merupakan
kumpulan gejala yang terdiri dari dispnea atau hiperpnea dengan frekuensi
pernapasan lebih dari 60 kali per menit; sianosis; merintih waktu ekspirasi
(expiratory grunting); dan retraksi di daerah epigastrium, suprasternal, intekostal
pada saat inspirasi. Bila di dengar dengan stetoskop akan terdengar penurunan
masukan udara dalam paru. (Asrining Surasmi, dkk, 2010).
B. Anatomi & Fisiologi
1. Sistem Pernapasan Bagian Atas
b. Faring = Tekak
Faring adalah suatu bentuk saluran yang memanjang dari hidung ke laring
dimana terdiri dari 3 bagian :
1) Nasofaring
Adalah lokasi dibagian samping bawah palatum, inferior dasar dari tengkorak
dan sebelah anterior vertebra servikalis 1 dan 2 yang menerima udara dari
rongga hidung.
2) Orofaring
3) Laringofaring
Adalah kelanjutan orofaring pada bagian bawah yang merupakan bagian dari
faring yang terletak tepat dibelakang laring dan dengan ujung bawah esophagus.
Laring sering disebut kotak suara ( Voice Box ). Laring juga melindungi jalan
napas bawah dari obstruksi benda asing dan memudahkan batuk, bagian atas
berhubungan dengan faring dan bagian bawah berhubungan dengan trakea.
Terdiri dari atas :
1) Epiglotis (Daun katup kartilago yang menutupi ostium kearah lain selama
menelan)
3) Kartilago Tiroid (Kartilago terbesar pada trakea sebagian dari kartilagi ini
membentuk jakun ( Adam’s Apple )
6) Pita Suara
Ligamen yang dikontrol oleh gerakan otot yang menghasilkan bunyi suara ; pita
suara melekat lumen laring. Suara merupakan hasil dari kerja sama antara
rongga mulut, rongga hidung, laring, lidah dan bibir. Pergerakan ini dibantu
oleh otot-otot laring, udara yang dari paru-paru dihembuskan dan menggetarkan
pita suara, getaran itu diteruskan melalui udara yang keluar masuk.Perbedaan
suara seseorang tergantung pada tebal dan panjangnya pita suara.Pita suara pria
jauh lebih tebal fari pita suara wanita.
b. Paru
Paru terdiri dari paru dextra dan sinistra yang keduanya terletak
dirongga torax disamping jantung yang dihubungkan oleh otot untuk
mengatur pernapasan.Mucus disekresi oleh permukaan dan sel goblet, ±100
ml setiap hari.Setiap paru terdiri dari lobus atas dan lobus bawah yang
dipisahkan oleh fisura obliqus.Paru kanan dibagi oleh fisura horizontal yang
terletak dilobus kanan tengah.Paru kanan terdiri dari 3 lobus yaitu superior,
medial dan inferior.Paru kiri terdiri dari 2 lobus yaitu superior dan
inferior.Paru terbungkus oleh suatu membrane yaitu pleura. Pleura dibagi
menjadi pleura visceral ( membungkus paru dan fisura diantara lobus paru )
dan pleura parietal ( membungkus setiap sisi hemitorax, mediastinum dan
bagian atas diafragma dimana disana ada hilus. Dalam rongga pleura terdapat
cairan yang berfungsi sebagai pelican agar keduanya dapat bergeser bebas
selama ventilasi. Jika terjadi peningkatan jumlah / terakumulasinya cairan,
udara, darah atau nanah didalam rongga torax maka akan menekan paru
menyebabkan sulit bernapas.
c. Alveoli
Parenkim paru yang terdiri dari beribu unit alveoli berada disepanjang
jaringan paru. Jumlah alveoli ketika lahir ± 24 juta alveoli, umur 8 tahun
300 juta alveoli dan berukuran 360-860 mm2. Suplay darah ke alveoli
berasal dari ventrilel kiri jantung. Terdapat 3 jenis sel-sel alveolar :
Sel-sel alveolar tipe I : Adalah sel epitel yang membentuk dinding alveolar
C. Etiologi
RDS sering ditemukan pada bayi prematur. Insidens berbanding terbalik
dengan usia kehamilan dan berat badan. Artinya semakin muda usia kehamilan
ibu. Semakin tinggi kejadian RDS pada bayi tersebut. Sebaliknya semakin tua
usia kehamilan, semakin rendah kejadian RDS (Asrining Surasmi, dkk, 2010).
PMH ini 60-80% terjadi pada bayi yang umur kehamilannya kurang dari
28 minggu, 15-30% pada bayi antara 32 dan 36 minggu, sekitar 5% pada bayi
yang lebih dari 37 minggu dan jarang pada bayi cukup bulan. Kenaikan
frekuensi dihubungkan dengan bayi dari ibu diabetes, persalinan sebelum umur
kehamilan 37 minggu, kehamilan multi janin, persalinan seksio sesaria,
persalinan cepat, asfiksia, stress dingin dan adanya riwayat bahwa bayi
sebelumnya terkena, insidens tertinggi pada bayi preterm laki-laki atau kulit
putih (Nelson, 1999).
1) Faktor ibu
Faktor ibu meliputi hipoksia pada ibu, gravida empat atau lebih, sosial
ekonomi rendah maupun penyakit pembuluh darah ibu yang mengganggu
pertukaran gas janin seperti hipertensi, penyakit diabetes mellitus, dan lain-
lain(Asrining Surasmi, dkk, 2010).
2) Faktor plasenta
Faktor plasenta meliputi sulosio plasenta, pendarahan plasenta, plasenta kecil,
plasenta tipis, plasenta tidak menempel pada tempatnya
3) Faktor janin
Faktor janin atau neonatus meliputi tali pusat menumbung, tali pusat melilit
leher, kompresi tali pusat antara janin dan jalan lahir, kelainan kongenital pada
neonaatus dan lain-lain.Kegawatan neonatal seperti kehilangan darah dalam
periode perinatal, aspirasi mekonium, pneumotoraks akibat tindakan resusitasi,
dan hipertensi pulmonal dengan pirau kanan ke kiri yang membawa darah keluar
dari paru.(Asrining Surasmi, dkk, 2010).
4) Faktor persalinan
Faktor persalinan meliputi partus lama, partus dengan tindakan dan lain-lain.
Bayi yang lahir dengan operasi sesar, berapa pun usia gestasinya dapat
mengakibatkan terlambatnya absorpsi cairan paru (Asrining Surasmi, dkk, 2010).
D. Tanda dan Gejala
Penyakit membran hialin ini biasanya terjadi pada bayi prematur dengan berat
badan 100-2000 gram atau masa gestasi 30-36 minggu.Jarang ditemukan pada
bayi dengan berat badan lebih dari 2500 gram.Sering disertai dengan riwayat
asfiksia pada waktu lahir atau tanda gawat bayi pada akhir kehamilan.Tanda
gangguan pernapasan mulai tampak dalam 6-8 jam pertama.Setelah lahir dan
gejala yang karakteristik mulai terlihat pada umur 24-72 jam. Bila keadaan
membaik, gejala akan menghilang pada akhir minggu pertama.(Asrining Surasmi,
dkk, 2010).
Gangguan pernapasan pada bayi terutama disebabkan oleh atelektasis dan
perfusi paru yang menurun. Keadaan ini akan memperlihatkan gambaran klinis
seperti dispnea atau hiperpneu, sianosis karena saturasi O 2 yang menurun dan
karena pirau vena-arteri dalam paru atau jantung, retraksi suprasternal,
epigastrium, interkostal dan respiratory grunting. Selain tanda gangguan
pernapasan, ditemukan gejala lain misalnya bradikardia (sering ditemukan pada
penderita penyakit membran hialin berat), hipotensi, kardiomegali, pitting oedema
terutama di daerah dorsal tangan/kaki, hipotermia, tonus otot yang menurun,
gejala sentral dapat terlihat bila terjadi komplikasi .(Asrining Surasmi, dkk,
2010).
E. Patofisiologi
Bayi prematur lahir dengan kondisi paru yang belum siap sepenuhnya
untuk berfungsi sebagai organ pertukaran gas yang efektif.Hal ini merupakan
faktor kritis dalam terjadinya RDS.Ketidaksiapan paru menjalankan fungsinya
tersebut terutama disebabkan oleh kekurangan atau tidak adanya
surfaktan.Surfaktan adalah substansi yang merendahkan tegangan permukaan
alveolus sehingga tidak terjadi kola Surfaktan juga menyebabkan ekspansi yang
merata dan jarang ekspansi paru pada tekanan intraalveolar yang
rendah.Kekurangan atau ketidakmatangan fungsi sufaktan menimbulkan
ketidakseimbangan inflasi saat inspirasi dan kolaps alveoli saat ekspirasi tanpa
surfaktan, janin tidak dapat menjaga parunya tetap mengembang.Oleh karena itu,
perlu usaha yang keras untuk mengembangkan parunya pada setiap hembusan
napas (ekspirasi), sehingga untuk bernapas berikutnya dibutuhkan tekanan negatif
intratoraks yang lebih besar dengan disertai usaha inspirasi yang lebih
kuat.Akibatnya, setiap kali perapasan menjadi sukar seperti saat pertama kali
pernapasan (saat kelahiran). Sebagai akibatnya, janin lebih banyak menghabiskan
oksigen untuk menghasilkan energi ini daripada ia terima dan ini menyebabkan
bayi kelelahan. Dengan meningkatnya kekelahan, bayi akan semakin sedikit
membuka alveolinya, ketidakmampuan mempertahankan pengembangan paru ini
dapat menyebabkan atelektasis.(Herdman, T. 2017).
Tidak adanya stabilitas dan atelektasis akan meningkatkan pulmonary
vaskular resistem (PVR) yang nilainya menurun pada ekspansi paru normal.
Akibatnya, terjadi hipoperfusi jaringan paru dan selanjutnya menurunkan aliran
darah pulmonal.Di samping itu, peningkatan PVR juga menyebabkan pembalikan
parsial sirkulasi, darah janin dengan arah aliran dari kanan ke kiri melalui duktus
arteriosus dan foramen ovale. (Herdman, T. 2017).
Kolaps paru (atelektasis) akan menyebabkan gangguan vektilisasi
pulmonal yang menimbulkan hipoksia. Akibat dari hipoksia adalah kontraksi
vaskularisasi pulmonal yang menimbulkan penurunan oksigenasi jaringan dan
selanjutnya menyebabkan metabolisme anaerobik.Metabolisme anaerobik
menghasilkan timbunan asam laktat sehingga terjadi asidosis metabolik pada bayi
dan penurunan curah jantung yang menurunkan perfusi ke organ vital. Akibat lain
adalah kerusakan endotel kapiler dan epitel duktus alveolus yang menyebabkan
terjadinya transudasi ke dalam alveoli dan terbentuknya fibrin. Fibrin bersama-
sama dengan jaringan epitel yang nekrotik membentuk suatu lapisan yang disebut
membran hialin.Membran hialin ini melapisi alveoli dan menghambat pertukaran
gas.Atelektasis menyebabkan paru tidak mampu mengeluarkan karbon dioksida
dari sisa pernapasan sehingga terjadi asidosis respiratorik.Penurunan pH
menyebabkan vasokonstriksi yang semakin berat. Dengan penurunan sirkulasi
paru dan perfusi alveolar, PaO2akan menurun tajam, pH juga akan menurun
tajam, serta materi yang diperlukan untuk produksi surfaktan tidak mengalir ke
dalam alveoli. (Herdman, T. 2017).
Sintesis surfaktan dipengaruhi sebagian oleh pH, suhu dan perfusi normal,
asfiksia, hipoksemia dan iskemia paru terutama dalam hubungannya dengan
hipovolemia, hipotensi dan stress dingin dapat menekan sintesis surfaktan.
Lapisan epitel paru dapat juga terkena trauma akibat kadar oksigen yang tinggi
dan pengaruh penatalaksanaan pernapasan yang mengakibatkan penurunan
surfaktan lebih lanjut .(Herdman, T. 2017).
F. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan Penunjang pada Neonatus yang mengalami Distress Pernafasan
Pemeriksaan Kegunaan
Kultur darah
Menunjukkan keadaan bakteriemia
1. Gambaran radiologis
Diagnosis yang tepat hanya dapat dibuat dengan pemeriksaan foto rontgen toraks.
Pemeriksaan ini juga sangat penting untuk menyingkirkan kemungkinan penyakit
lain yang diobati dan mempunyai gejala yang mirip penyakit membran hialin,
misalnya pneumotoraks, hernia diafragmatika dan lain-lain. Gambaran klasik
yang ditemukan pada foto rontgen paru ialah adanya bercak difus berupa infiltrate
retikulogranuler ini, makin buruk prognosis bayi. Beberapa sarjana berpendapat
bahwa pemeriksaan radiologis ini dapat dipakai untuk mendiagnosis dini penyakit
membran hialin, walaupun manifestasi klinis belum jelas.(Herdman, T. 2017).
2. Gambaran laboratorium
Kelainan yang ditemukan pada pemeriksaan laboratorium diantaranya adalah:
a. Pemeriksaan darah
Kadar asam laktat dalam darah meninggi dan bila kadarnya lebih dari 45 mg%,
prognosis lebih buruk, kadar bilirubin lebih tinggi bila dibandingkan dengan bayi
normal dengan berat badan yang sama. Kadar PaO 2 menurun disebabkan
kurangnya oksigenasi di dalam paru dan karena adanya pirau arteri-vena.Kadar
PaO2 meninggi, karena gangguan ventilasi dan pengeluaran CO2 sebagai akibat
atelektasis paru.pH darah menurun dan defisit biasa meningkat akibat adanya
asidosis respiratorik dan metabolik dalam tubuh. (Herdman, T. 2017).
b. Pemeriksaan fungsi paru
Pemeriksaan ini membutuhkan alat yang lengkap dan pelik, frekuensi pernapasan
yang meninggi pada penyakit ini akan memperhatikan pula perubahan pada
fungsi paru lainnya seperti ‘tidal volume’ menurun, ‘lung compliance’ berkurang,
functional residual capacity’ merendah disertai ‘vital capacity’ yang terbatas.
Demikian pula fungsi ventilasi dan perfusi paru akan terganggu. (Herdman, T.
2017).
c. Pemeriksaan fungsi kardiovaskuler
Penyelidikan dengan kateterisasi jantung memperhatikan beberapa perubahan
dalam fungsi kardiovaskuler berupa duktus arteriosus paten, pirau dari kiri ke
kanan atau pirau kanan ke kiri (bergantung pada lanjutnya penyakit), menurunnya
tekanan arteri paru dan sistemik.(Herdman, T. 2017).
3. Gambaran patologi/histopatologi
Pada otopsi, gambaran dalam paru menunjukkan adanya atelektasis dan membran
hialin di dalam alveolus dan duktus alveolaris.Di samping itu terdapat pula bagian
paru yang mengalami enfisema.Membran hialin yang ditemukan yang terdiri dari
fibrin dan sel eosinofilik yang mungkin berasal dari darah atau sel epitel ductus
yang nekrotik.(Herdman, T. 2017).
G. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan medik :
a. Memberikan lingkungan yang optimal, suhu tubuh bayi harus selalu diusahakan
agar tetap dalam batas normal (36,5o-37oC) dengan cara meletakkan bayi dalam
inkubator. Kelembaban ruangan juga harus adekuat (70-80%).(Doenges dan
Moorhouse. 2009).
b. Pemberian oksigen. Pemberian oksigen harus dilakukan dengan hati-hati karena
berpengaruh kompleks terhadap bayi prematur. Pemberian O2 yang terlalu
bhhhhhhhanyak dapat menimbulkan komplikasi seperti : fibrosis paru, kerusakan
retina (fibroplasias retrolental), dll.(Doenges dan Moorhouse. 2009).
c. Pemberian cairan dan elektrolit sangat perlut untuk mempertahankan homeostasis
dan menghindarkan dehidrasi. Pada permulaan diberikan glukosa 5-10% dengan
jumlah yang disesuaikan dengan umur dan berat badan ialah 60-125 ml/kg
BB/hari. asidosis metabolik yang selalu dijumpai harus segera dikoreksi dengan
memberikan NaHCO3 secara intravena. (Doenges dan Moorhouse. 2009).
d. Pemberian antibiotik. Bayi dengan PMH perlu mendapatkan antibiotik untuk
mencegah infeksi sekunder. Dapat diberikan penisilin dengan dosis 50.000-
100.000 u/kg BB/hari atau ampisilin 100 mg/kg BB/hari, dengan atau tanpa
gentamisin 3-5 mg/kg BB/hari. (Doenges dan Moorhouse. 2009).
e. Kemajuan terakhir dalam pengobatan pasien PMH adalah pemberian surfaktan
eksogen (surfaktan dari luar), obat ini sangat efektif, namun harganya amat
mahal. (Doenges dan Moorhouse. 2009).
2. Penatalaksanaan keperawatan :
Bayi dengan PMH adalah bayi prematur kecil, pada umumnya dengan berat
badan lahir 1000-2000 gram dan masa kehamilan kurang dari 36 minggu.Oleh
karena itu, bayi ini tergolong bayi berisiko tinggi.Apabila menerima bayi baru
lahir yang demikian harus selalu waspada bahaya yang dapat timbul.Masalah
yang perlu diperhatikan ialah bahaya kedinginan (dapat terjadi cold injury), risiko
terjadi gangguan pernapasna, kesukaran dalam pemberian makanan, risiko terjadi
infeksi, kebutuhan rasa aman dan nyaman (kebutuhan psikologik) (Doenges dan
Moorhouse. 2009).
BAB II
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Identitas klien
Meliputi nama, jenis kelamin, suku bangsa, tanggal lahir, alamat, agama, tanggal
pengkajian. (Surasmi, A, dkk. 2011).
2. Riwayat kesehatan
a. Riwayat maternal
Menderita penyakit seperti diabetes mellitus, kondisi seperti perdarahan plasenta,
tipe dan lamanya persalinan, stress fetal atau intrapartus. (Surasmi, A, dkk.
2011).
b. Status infant saat lahir
Prematur, umur kehamilan, apgar score (apakah terjadi asfiksia), bayi lahir
melalui operasi caesar. (Surasmi, A, dkk. 2011).
3. Data dasar pengkajian
a. Cardiovaskuler
Bradikardia (< 100 x/i) dengan hipoksemia berat
Murmur sistolik
Denyut jantung DBN
b. Integumen
Pallor yang disebabkan oleh vasokontriksi peripheral
Pitting edema pada tangan dan kaki
Mottling
c. Neurologis
Immobilitas, kelemahan
Penurunan suhu tubuh (Surasmi, A, dkk. 2011).
d. Pulmonary
Takipnea (> 60 x/i, mungkin 30-100 x/i)
Nafas grunting
Pernapasan cuping hidung
Pernapasan dangkal
Retraksi suprasternal dan substernal
Sianosis
Penurunan suara napas, crakles, episode apnea
e. Status behavioral
Letargi (Surasmi, A, dkk. 2011).
4. Pemeriksaan Doagnostik
a. Sert rontgen dada : untuk melihat densitas atelektasi dan elevasi diafragma
dengan over distensi duktus alveolar
b. Bronchogram udara : untuk menentukan ventilasi jalan napas
c. Data laboratorium :
Profil paru, untuk menentukan maturitas paru, dengan bahan cairan amnion
(untuk janin yang mempunyai predisposisi RDS) (Suriadi & Yuliani. 2010).
Lesitin/spingomielin (L/S) ratio 2 : 1 atau lebih mengindikasikan maturitas
paru
Phospatidyglicerol : meningkat saat usia gestasi 35 minggu
Tingkat phospatydylinositol (Suriadi & Yuliani. 2010).
AGD : PaO2< 50 mmHg, PaCO2> 50 mmHg, saturasi oksigen 92%-94%, pH
7,3-7,45.
Level potassium : meningkat sebagai hasil dari release potassium dari sel
alveolar yang rusak (Suriadi & Yuliani. 2010).
B. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan pertukaran gas
2. Kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
3. Resiko Aspirasi
C. Intervensi
DiagnosaKeperawatan Tujuan/KriteriaHasil Intervensi
No.
(NANDA) (NOC) (NIC)
Gangguanpertukaran gas Setelahdilakukantinda ManajemenJalanNapas
1 Definisi: Kelebihanatau deficit kankeperawatanselam1. Bukajalannapasdenganteknik chin lift
oksigenasidan/ataueliminasikarb … X 24 jam atau jaw thrust, sebagaimanamestinya
ondioksidapadamembran diharapkan 2. Posisikanpasienuntukmemaksimalk
alveolar-kapiler. anventilasi
Berhubungandenganperubahanm Status Pernapasan : 3. Identifikasikebutuhan
embrankapiler-alveolar Pertukaran Gas actual/potensialpasienuntukmemasu
ditandaidengan: kkanalatmembukajalannapas
Batasankarakteristik: 4. Masukkanalat nasopharyngeal
Diaphoresis Tidakadanya (NPA) atauoropharingeal airway
Dispnea Diaphoresis (OPA), sebagaimanamestinya
Gangguanpenglihatan TidakadanyaDi 5. Lakukanfisioterapi dada,
Gas daraharteri abnormal spnea sebagaimanamestinya
Gelisah TidakadanyaG 6. Buang secret denganmenyedot
Hiperkapnia angguanpengli lender
Hipoksemia hatan 7. Auskultasisuaranapas, catat area
Hipoksia Gas yang
Iritabilitas daraharterinor ventilasinyamenurunatautidakadada
Konfusi mal nadanyasuaratambahan
Napascupinghidung TidakGelisah 8. Lakukanpenyedotanmelaluiendotra
Penurunankabondioksida TidakadanyaHi keaataunasotrakea,
pH arteri abnormal perkapnia sebagaimanamestinya
Polapernapasan abnormal TidakadanyaHi 9. Kelolapemberianbronkodilator,
(mis., kecepatan, irama, poksemia sebagaimanamestinya
kedalaman) TidakadanyaHi 10. Kelolapengobatan aerosol,
Sakitkepalasaatbangun poksia sebagaimanamestinya
Somnolen TidakadanyaIri 11. Kelola nebulizer ultrasonic,
Takikardia tabilitas sebagaimanamestinya
Warnakulit abnormal TidakadanyaK 12. Kelolaudaraatauoksigen yang
(mis., pucat, kehitaman) onfusi dilembabkan, sebagaimanamestinya
TidakadanyaN 13. Ambilbendaasingdenganforcep
apascupinghid McGill, sebagaimanamestinya
ung 14. Regulasiasupancairanuntukmengopt
TidakadanyaPe imalkankeseimbangancairan
nurunankabon 15. Posisikanuntukmeringankansesakna
dioksida pas
pH arteri 16. Monitor status
normal pernapasandanokseigenasi,
Polapernapasa sebagaimanamestinya
n normal (mis.,
kecepatan, TerapiOksigen
irama, 1. Bersihkanmulut, hidung,
kedalaman) dansekresitrakeadengantepat
TidakadanyaSa 2. Pertahankankepatenanjalannapas
kitkepalasaatba 3. Siapkanperalatanoksigendanberikan
ngun melalui system humidifier
TidakadanyaS 4. Berikanoksigentambahanseperti
omnolen yang diperintahkan
TidakadanyaT 5. Monitor aliranoksigen
akikardia 6. Monitor posisiperangkat (alat)
Warnakulit pemberianoksigen
normal 7. Periksaperangkat (alat)
pemberianoksigensecaraberkalauntu
kmemastikanbahwakonsentrasi
(yang telah)
ditentukansedangdiberikan
8. Monitor efektifitasterapioksigen
(misalnya, tekananoksimetri,
ABGs) dengantepat
9. Pastikanpenggantian masker
oksigen/kanul nasal setiap kali
perangkatdiganti
10. Rubahperangkatpemberianoksigend
ari masker kekanulsaatmakan
11. Amati tanda-
tandahipoventilasiinduksioksigen
12. Pantauadanyatanda-
tandakeracunanoksigendankejadian
atelektasis
13. Monitor
peralatanoksigenuntukmemastikanb
ahwaalattersebuttidakmenggangguu
payapasienuntukbernapas
14. Monitor kecemasanpasien yang
berkaitandengankebutuhanmendapa
tkanterapi
15. Monitor
kerusakankulitterhadapadanyagesek
anperangkatoksigen
16. Sediakanoksigenketikapasiendibaw
a/dipindahkan
17. Konsultasidengantenagakesehatan
lain
mengenaipenggunaanoksigentamba
hanselamakegiatandanatautidur
18. Anjurkanpasiendankeluargamengen
aipenggunaanoksigen di rumah
19. Rubahkepadapilihanperalatanpembe
rianoksignlainnyauntukmeningkatk
ankenyamanandengantepat
Monitor Pernapasan
1. Monitor kecepatan, irama,
kedalamandankesulitanbernapas
2. Catatpergerakan dada,
catatketidaksimetrisan,
penggunaanotot-otot bantu
napasdanretraksipadasupraclavicul
asdaninterkosta
3. Monitor
suaratambahansepertingorokataume
ngi
4. Monitor polanapas (misalnya,
bradipneu, takipneu, hiperventilasi,
pernapasankusmaul, pernapasan
1:1, apneustik, respirasibiot, pola
ataxic
5. Monitor
saturasioksigenpadapasientersedasi
(sepertiSaO₂, SvO₂, SpO₂)
sesuaidengan protocol yang ada
6. Pasang sensor pemantauanoksigen
non-invasif (misalnya,
pasangalatpadajari, hidung,
dandahi) denganmengatur alarm
padapasienberisikotinggisesuaideng
anprosedurtetapo yang ada
7. Palpasikesimetrisanekspansiparu
8. Perkusitorak anterior dan posterior,
dariapekske basis paru,
kanandankiri
9. Catatlokasitrakea
10. Monitor kelelahanotot-
ototdiapragmadenganpergerakanpar
asoksikal
11. Auskultasisuaranapas, catat area
dimanaterjadipenurunanatautidakad
anyaventilasidankeberadaansuarana
pastambahan
12. Kajiperlunyapenyedotanjalannapasd
enganauskultasisuaranafasronki di
paru
13. Auskultasisuaranapassetelahtindaka
n, untukdicatat
Setelahdilakukantinda Pemenuhan nutrisi:
2 kankeperawatanselam 1. Kaji kebutuhan nutrisi bayi
Perubahan Nutrisi Kurang dari
… X 24 jam 2. Observasi inteke dan output
Kebutuhan Tubuh
diharapkan 3. Observasi refleks hisab dan
menelan
Status Nutrisi 4. Beri minum sesuai program
: Terpenuhi 5. Monitor tanda-tanda intoleransi
terhadap nutrisi parenteral
6. Kaji kesiapan ibu untuk
menyusui
7. Timban BB setiap hari
3. Resiko Aspirasi Setelahdilakukantinda Aspiration precaution
kankeperawatanselam 1. Monitor tingkat kesadaran,
… X 24 jam refleks batuk dan
diharapkan kemampuan menelan
2. Monitor status paru,
pelihara jalan napas
3. Lakukan saction jika
diperlukan
4. Cek nasogastrik sebelum
makan
D. Evaluasi
Suriadi & Yuliani. 2010. Buku Pegangan Praktik Klinik. Asuhan keperawatan
pada Anak Edisi 2.Jakarta : Sagung Seto.
ASUHAN KEPERAWATAN
Oleh:
RAHMAWATI
HERDIANTY RAHAYU
EVI ASHARI
KEPERAWATAN A
2018
BAB I
KONSEP DASAR MEDIS
A. Defenisi
Infeksi saluran pernapasan adalah suatu keadaan dimana saluran
pernapasan (hidung, faring dan laring) mengalami inflamasi yang
menyebabkan terjadinya obstruksi jalan napas dan akan menyebabkan retraksi
dinding dada pada saat melakukan penapasan.(Pincus Catzel & Ian
Roberts,1990)
ISPA adalah penyakit infeksi yang sangat umum dijumpai pada anak-anak
dengan gejala batuk, pilek, panas atau ketiga gejala tersebut muncul secara
bersamaan (Meadow, Sir Roy. 2002:153).
ISPA adalah infeksi saluran pernapasan yang berlangsung sampai 14 hari
yang dapat ditularkan melalui air ludah, darah, bersin maupun udara
pernapasan yang mengandung kuman yang terhirup dari orang sehat. (Depkes
RI 2012)
Infeksi pernapasan akut adalah proses inflamasi yang disebabkan oleh
virus, bakteri, atipikal (mikroplasma) atau aspirasi substansi asing, yang
melibatkan suatu atau semua bagian saluran pernapasan (Wong, D.L 2003)
B. Anatomi Fisiologi
1. Anatomi
2) Farings
Farings dapat dibagi menjadi nasofarings, terletak di bawah dasar
tenggorokan, belakang dan atas palatum molle; orofarings, di belakang
rongga mulut dan permukaan belakang lidah dan laringofarings, di
belakang larings. Tuba Eustaschii bermuara pada nasofarings. Tuba ini
berfungsi menyeimbangkan tekanan udara pada kedua sisi membran
timpani. Bila tidak sama, telinga terasa sakit. Misalnya naik pesawat
terbang. Untuk membuka tuba ini, orang harus menelan.
3) Larings
Laring (kotak suara) bukan hanya jalan udara dari farings ke
saluran napas lainnya, namun juga menghasilkan besar suara yang
dipakai berbicara dan bernyanyi. Larings dutunjang oleh tulang-tulang
rawan, diantaranya yang terpenting adalah tulang rawan tiroid, yang
khas pada pria, namun kurang jelas pada wanita. Di bawahnya terdapat
tulang rawan krikoid, yang berhubungan dengan trakea.
Trakea dilapis epitel bertingkat dengan silia dan sel goblet. Sel
goblet menghasilkan mukus dan silia berfungsi menyapu partikel yang
berhasil lolos dari saringan di hidung, ke arah faring untuk kemudian
ditelan atau diludahkan atau dibatukkan. Potongan melintang trakea
khas berbentuk huruf D.
2) Cabang Tenggorokan
Merupakan lanjutan dari trakea ada 2 buah yang terdapat pada
ketinggian vertebra torakalis ke IV dan ke V. Mempunyai struktur
yang sama dengan trakea dan dilapisi oleh jenis sel yang sama.
Bronkus-bronkus itu berjalan kebawah dan ke samping ke arah
tampuk paru – paru. Bronkus kanan lebih pendek dan lebih besar dari
bronkus kiri, terdiri dari 6-8 cincin mempunyai 3 cabang. Bronkus kiri
lebih panjang dan lebih ramping dari pada bronkus kanan, terdiri dari
9-12 cincin mempunyai 2 cabang. Bronkus bercabang-cabang, cabang
yang lebih kecil disebut bronkiolus (bronkhioli). Pada bronkhioli tidak
terdapat cincin lagi dan pada ujung bronkhioli terdapat gelembung
paru, gelambung hawa atau alveoli.
3) Paru – paru
Paru – paru merupakan sebuah alat tubuh yang sebagian besar
terdiri dari gelembung – gelembung (gelembung hawa+alveoli),
gelembung hawa alveoli ini terdiri dari sel – sel epitel dan endotel, jika
dibentangkan luar permukaannya (Gibson 1995).
2. Fisiologi
Pernafasan/respirasi adalah peristiwa menghirup udara dari luar yang
mengandung oksigen ke dalam tubuh serta menghembuskann udara yang
banyak mengandung karbondioksida sebagai sisa dari oksidasi keluar dari
tubuh. Penghisapan udara disebut inspirasi dan menghembuskan disebut
ekspirasi.
Oksigen diambil melalui mulut dan hidung pada waktu bernafas
dimana oksigen masuk melalui trakea sampai ke alveoli berhubungan
dengan darah dalam kapiler pulmonar, alveoli memisahkan oksigen dari
darah, oksigen menembus membran, di ambil oleh sel darah merah di
bawa ke jantung dan dari jantung di pompakan ke seluruh tubuh. Di paru-
paru karbondioksida merupakan hasil buangan menembus membran
alveoli dan kapiler darah di keluarkan melalui pipa bronkus berakhir
sampai pada mulut dan hidung. (Rendy, 2013)
C. Etiologi
Etiologi ISPA terdiri dari 300 jenis bakteri, virus dan richetsia. Bakteri
penyebab ISPA antara lain adalah dari genus Streptococcus, Pneumococcus,
Haemophylus, Bordetella dan Corinebacterium. Virus penyebab ISPA antara
lain adalah golongan Miksovirus, Adenovirus, Coronavirus, Picornavirus,
Micoplasma, Herpes virus dan lain-lain (Depkes RI 2000).
Etiologi pneumonia pada balita sukar untuk ditetapkan karena dahak
biasanya sukar diperoleh. Penetapan etiologi pneumonia di Indonesia masih
didasarkan pada hasil penelitian di luar Indonesia menurut publikasi WHO,
penelitian di berbagai negara menunjukkan bahwa di negara berkembang
Streptococcus Pneumonia dan Haemophylus Influenza merupakan bakteri
yang selalu ditemukan pada 2/3 hasil isolasi yakni 73,9 % aspirat paru dan
69,1 % hasil isolasi dari spesimen darah sedangkan di negara maju dewasa ini
pneumonia pada umumnya disebabkan oleh virus.
1. Faktor Pencetus ISPA
a. Usia
Anak yang usianya lebih mudah, kemungkinan anak menderita
penyakit ISPA lebih besar bila dibandingkan dengan anak yang
usianya lebih tua karena daya tahan tubuhnya lebih rendah.
b. Status imunisasi
Anak dengan status imunisasi yang lengkap, daya tahan tubuhnya lebih
baik dibandingkan dengan anak yang status imunisasinya tidak
lengkap.
c. Lingkungan
Lingkungan yang di udaranya tidak baik seperti polusi udara di kota-
kota besar dan asap rokok dapat menyebabkan timbulnya penyakit
ISPA pada anak (Armada dkk 2014).
2. Faktor Pendukung Terjadinya ISPA
1) Kondisi ekonomi
Keadaan ekonomi yang belum pulih dari krisis ekonomi yang
berkepanjangan berdampak peningkatan penduduk miskin disertai
dengan kemampuannya menyediakan lingkungan pemukiman yang
sehat mendorong peningkatan jumlah balita yang rentang terhadap
serangan berbagai penyakit menular termasuk ISPA. Pada akhirnya
akan mendorong meningkatnya penyakit ISPA dan pneumonia pada
balita.
2) Kependudukan
Jumlah penduduk yang besar mendorong peningkatan jumlah populasi
balita yang besar pula. Ditambah lagi status masyarakat yang masih
rendah, akan menambah berat beban kegiatan pemberantasan penyakit
ISPA
3) Biografi
Sebagai daerah tropis, Indonesia memiliki potensi daerah endemis
beberapa penyakit infeksi yang setiap sehat dapat menjadi ancaman
bagi kesehatan masyarakat. Pengaruh geografis dapat mendorong
terjadinya peningkatan kasus maupun kematian penderita akibat ISPA.
Dengan demikian pendekatan dan pemberantasan ISPA perlu
dilakukan dengan mengatasi semua faktor resiko dan faktor-faktor
lainnya yang mempengaruhinya (Armada dkk 2014).
D. Manifestasi klinis
Gambaran klinis infeksi saluran pernapasan akut bergantung pada
tempat infeksi serta mikroorganisme penyebab infeksi. Semua manifestasi
klinis terjadi akibat proses peradangan dan adanya kerusakan langsung akibat
mikroorganisme. Manifestasi klinis antara lain :
1. Batuk
2. Bersin dan Congestinasal
3. Pengeluaran dan mucus dan rabas dari hidung
4. Sakit kepala
5. Demam
6. Malaise (Corwin 2008)
Menurut Suyudi, 2002 gejala ISPA adalah sebagai berikut :
a. Gejala ISPA ringan
Seorang anak dikatakan menderita ISPA ringan jika ditemukan gejala
sebagai berikut :
1) Batuk
2) Serak, yaitu anak bersuara parau pada waktu mengeluarkan suara
(misalnya pada waktu berbicara atau menangis)
3) Pilek, yaitu mengeluarkan lendir atau ingus dari hidung
4) Panas atau demam, suhu badan lebih dari 37 derajat celcius atau jika
dahi anak diraba dengan punggung tangan terasa panas
Jika anak menderita ISPA ringan, maka perawatan cukup dilakukan
di rumah tidak perlu dibawa ke dokter atau puskesmas. Di rumah dapat
diberi obat penurun panas yang dijual bebas di toko-toko atau apotik tetapi
jika 2 hari gejala belum hilang anak harus segera di bawa ke dokter atau
puskesmas terdekat.
b. Gejala ISPA sedang
Seorang anka dinyatakan menderita ISPA sedang jika dijumpai
gejala ISPA ringan disertai gejala sebagai berikut
1) Pernapasan lebih dari 50 kali per menit pada anak kurang dari umur 1
tahun atau lebih dari 40 kali per menit pada anak 1 tahun atau lebih
2) Suhu lebih dari 39 derajat celcius
3) Tenggorokan berwarna merah
4) Timbul bercak-bercak pada kulit menyerupai bercak campak
5) Telinga sakit atau mengeluarkan nanah dari lubang telinga
6) Pernapasan berbunyi seperti mendengkur
7) Pernapasan berbunyi seperti mencuit-cuit
Dari gejala ISPA sedang ini, orangtua perlu berhati-hati karena jika
anak menderita ISPA ringan, sedangkan anak badan panas lebih dari 39
derajat Celsius, gizinya kurang, umurnya 4 bulan atau kurang maka anak
tersebut menderita ISPA sedang dan harus mendapat pertolongan petugas
kesehatan
c. Gejala ISPA berat
Seorang anak dinyatakan menderita ISPA berat jika ada gejala ISPA
ringan atau sedang disertai satu atau lebih gejala sebagai berikut :
A. Pengkajian
Hal-hal yang perlu dikaji pada pasien dengan ISPA :
“PNEUMONIA”
Oleh:
MULYANA ANWAR
ALMASARI KANITA
AKMAL HIDAYAT
KEPERAWATAN A
Sumber :https://goo.gl/images/BHdbvu
a. Hidung
Bagian anterior dari hidung dari bagian dalam paruhan kiri dan
kanan oleh septum nasi. Setiap paruhan di bagi secara tidak lengkap
menjadi empat daerah yang mengandung saluran nasal yang berjalan
ke belakang mengarah pada nasofaring. Area tepat dalam lubang
hidung di lapasi oleh kulit yang mengandung rambut yang kasar. Sisa
dari interior di lapisi oleh mebran mukosa. Fungsi dari hidung adalah
membawa udara/ menghirup udara dari dan ke paru-paru dan
menghantarkan udara saat inspirasi. Bulu di dalam lubang hidung dan
silia yang melapisi membran mukosa beritindak untuk mengangkat
debu dan benda asing lain dari udara. Jika terjadi infeksi, efek lokal
utama adalah iritasi dari sel mulkus yang menyebabkan produksi
mukus yang berlebihan, pembengkakan dari membran mukosa akibat
edema lokal dan kongesti dari pembuluh darah. Saluran hidung
cenderung menjadi terblokir oleh pembengkakan mukosa dan sekresi
virus, sekret jernih, tetapi jika terdapat invasi sekunder bakteri, sekret
menjadi kekuning-kuningan atau kehijauan akibat adanya pus
(neutrofil mati dan granulosa). (Hidayat, 2006)
b. Sinus
Sinus paranasal melengkapi suatu sistem ruang udara yang terletak
dalam berbagai tulang pada muka. Sinus dilapisi dengan mukosa
sekretoris dan memperoleh suplai darah dan saraf dari hidung. Infeksi
dari hidung mengarah pada penuhnya penuhnya pembuluh darah,
peningkatan sekresi mukus dan edema. (Hidayat, 2006)
c. Laring
Laring terletak di depan faring dan diatas permulaan trakea. Terdiri
dari tulang rawan tiroid dan tricoid dan tujuh tulang rawan lain yang
dihubungkan secara bersama oleh membran. Suatu struktur tulang
rawan tergantung diatas tempat masuk ke laring ini merupakan
epiglotis yang mengawal glotis selama menelan, mencegah makanan
masuk ke laring dan trakea. Inflamasi dari epiglotis dapat
menimbulkan obstruksi terhadap saluran pernafasan. (Hidayat, 2006)
Bagian interior laring mengandung dua lipatan membran mukosa
yang terlentang melintasi rongga dari laring dari bagian tengah tulang
rawan tiroid ke tulang rawan arytenoid. ini merupakan pita atau lipatan
suara. Selama pernafasan biasa pita suara terletak dalam jarak tertentu
dari garos tengah dan udara respirasi melintas secara bebas diantaranya
tanpa menimbulkan keadaan vibrasi. Selama inspirasi dalam yang
dipakasaan mereka berada dalam keadaan lebih abduksi, sementara
selama berbicara atau menyanyi mereka dalam keadaan adduksi.
Perubahan ini dipengaruhi oleh otot-otot kecil. Pada anak-anak pita
suara lebih pendek di bandingkan orang dewasa. (Hidayat, 2006)
Laring berfungsi sebagai alat respirasi dan forasi tetapi pada saat
yang sama ambil bagian dalam deglutisi, selama waktu mana laring
akan menutup dalam usaha mencegah makanan memasuki traktur
respiratorius makanan bagian bawah. Laring juga tertutup selama
regurgitasi makanan sehingga mencegah terjadinya aspirasi makanan.
Refleks penutupan ini tergantung pada koordinasi neurimuskuler yang
kemungkinan tidak bekerja secara penuh pada bayi sehingga mengarah
pada spasme. (Hidayat, 2006)
2. Traktus respiratorius bagian bawah
Struktur yang membentuk bagian dari traktus respiratorius ini adalah
trakea, bronki dan bronkiolus serta paru-paru. Tiga yang pertama adalah
trakea, bronki, dan kronkiolus, merupakan tuba yang mengalirkan udara ke
dalam dan keluar dari paru-paru. Trakea di mulai pada batas bagian bawah
dari laring dan melintas di belakang sternum kedalam toraks. Trakea
merupakan tuba membranosa fleksibel, kaku karena adanya cicin tidak
lengkap yang berspasi secara teratur. Tuba dilatasi oleh membran mukosa,
epitelium permukaan adalah kolumner bersilia. Setelah memasuki toraks
trakea membagi diri menjadi beberapa cabang yang masuk kedalam suatu
substansi paru-paru. (Hidayat, 2006)
Didalam substansi dari paru-paru bronki membagi diri menjadi
cabang yang tidak terhitung dengan ukuran yang secara progresif
berkurang hingga cabang yang mempunyai penampang yang sangat
sempit, di mana mereka di sebut sebagai bronkiolus. Tuba ini dilapisi oleh
membran mukosa ditutupi oleh epitelium kolumner bersilia, berlanjut
dengan lapisan dari trakea. Otot polos ditemukan secara longitudinal
dalam bronki yang lebih besar dan trakea. Dalam bronki yang lebih kecil
dan bronkiolus hal ini di batasi oleh dinding posterior. Saluran panjang
dari percabangan bronkial di suplai dengan serat elastis yang kaya,
bersama dengan semua jaringan lain yang disebutkan, dapat di ubah oleh
karena penyakit sehingga mempengaruhi fungsi normal. (Hidayat, 2006)
Sumber: https://goo.gl/images/6xUnMF
Sumber: https://goo.gl/images/nnq4Gk
3. Paru-paru
Berdasarkan anatomi, unit dasar dari struktur paru-paru
dipertimbangkan adalah lobulus sekunder. Beratus-ratus dari lobulus ini
membentuk msing-masing paru. Setiap lobulus merupakan minatur dari
paru-paru dengan percabangan bronkial dan suatu sirkulasi sendiri. Setiap
bronkiolus respiratorius berterminasi ke dalam suatu alveolus. Alveolus
terdiri dari sel epitel tipis datar dan disinilah terjadi pertukaran gas antara
udara dan darah. (Hidayat, 2006)
Apeks dari paru-paru mencapai daerah tepat diatas clavicula dan
dasarnya bertumpu pada diagfragma. Kedua paru-paru di bagi ke dalam
lobus, yang kanan di bagi tiga, yang kiri dibagi dua. Nutrisi dibawa pada
jaringan paru-paru oleh darah melalui arteri bronkial; darah kembali dari
jaringan paru-paru melalui vena bronkial. (Hidayat, 2006)
Paru-patu juga mempunyai suatu sirkulasi paru-paru yang berkaitan
dengan mengangkut darah deoksigenasi dan oksigenasi. Paru-paru disuplai
dengan darah deoksigenasi oleh arteri pulmonalis yang datang dari
ventrikel kanan. Arteri membagi diri dan membagi diri kembali dalam
cabang yang progresif menjadi lebih kecil, berpenetrasi pada setiap bagian
dari paru-paru hingga akhirnya mereka membentuk anyaman kapiler yang
mengelilingi dan terletak pada dinding dari alveoli. Dinding dari alveoli
maupun kapiler sangat tipis dan disinilah terjadi pertukaran gas
pernafasan. Darah yang dioksigenasi kembali ke dalam atrium dengan
empat vena pulmonalis. (Hidayat, 2006)
Fisiologi pernafasan menurut hidayat (2006) meliputi tiga tahap yaitu:
Sumber: https://goo.gl/images/2A6eXi
1. Ventilasi
Proses ini merupakan proses keluar dan masuknya oksigen
dari atmosfer ke dalam alveoli atau dari alveoli ke atmosfer. Dalam
proses ventilisasi ini terdapat beberapa hal yang mempengaruhi,
diantaranya adalah perbedaan tekanan antara atmosfer dengan paru.
Semakin tinggi tempat maka tekanan udara semakin rendah.
Demikian sebaliknya semakin rendah tempat maka tekanan udara
semakin tinggi. Hal ini yang mempengaruhi proses ventilasi
kemampuan thoraks dan paru pada laveoli dalam melaksanakan
ekspansi atau kembang kempisnya, adanya jalan nafas yang dimulai
dari hidung hingga alveoli yang terdiri atas berbagai otot polos
yang kerjanya sangat dipengaruhi oleh sistem saraf otonom, terjadi
rangsangan simpatis dapat menyebabkan relaksasi sehingga dapat
vasodilatasi, kemudian kerja saraf parasimpatis dapat menyebabkan
konstruksi sehingga dapat menyebabkan vasokontriksi atau proses
penyempitan, dan adanya refleks batuk dan muntah juga dapat
mempengaruhi adanya proses ventilisasi, adanya peran mukus
siliaris yang sebagai penangkal benda asing yang mengandung
interveron dapat mengingat virus. (Hidayat, 2006)
Pengaruh proses ventilisasi selanjutnya adalah kompians
(complience) dan recoil yaitu kemampuan paru untuk berkembang
yang dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya surfaktan
yang terdapat pada lapisan alveoli yang berfungsi untuk
menurunkan tegangan permukaan dan masih ada sisa udara
sehingga tidak terjadi kolaps dan gangguan thoraks atau keadaan
paru sendiri. Surfaktan disekresi saat klien menarik nafas;
sedangkan recoil adalah kemampuan untuk mengeluarkan CO2 atau
konstraksi atau penyempitan paru. Apabila complience baik akan
tetapi recoil terganggu maka CO2 tidak dapat keluar secara
maksimal. (Hidayat, 2006)
2. Difusi gas
Pertukaran antara oksigen alveoli dengan kapiler paru dan
CO2 kapiler dengan alveoli. Dalam proses pertukaran ini terdapat
beberapa faktor yang dapat mempengaruhinya. Diantaranya,
pertama luasnya permukaan paru, kedua tebal membran respirasi/
permeabilitas yang terdiri atas epitel alveoli dan intertisiel
keduanya. Ini dapat mempengaruhi proses difusi apabila terjadi
proses penebalan. Ketiga, perbedaan tekanan dan konsentrasi O2.
Hal ini dapat terjadi seperti O2 dari alveoli masuk kedalam darah
oleh karena tekanan O2 dalam rongga alveoli lebih tinggi dari
tekanan O2 dalam darah vena pulmonalis (masuk dalam darah
secara berdifusi) dan PCO2 dalam arteri pulmonalis juga akan
berdifusi kedalam alveoli. Keempat, afinitas gas yaitu kemampuan
untuk menembus dan saling mengikat Hb. (Hidayat, 2006)
3. Transportasi gas
Transportasi antara O2 kepiler ke jaringan tubuh dan CO2
jaringan tubuh ke kapiler. Pada proses transportasi, O2 akan
berikatan dengan Hb membentuk oksihemoglobin (97%) dan larut
dalam plasma (3%). Kemudian pada transportasi CO2 akan
berkaitan dengan Hb membentuk karbominohemoglobin (30%), dan
larut dalam plasma (5%), dan kemudian sebagian menjadi HCO3
berada pada darah (65%).(Hidayat, 2006)
Pada transportasi gas terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi, diantaranya curah jantung ( cardiac output) yang
dapat dinilai melaui isi sekuncup dan frekuensi denyut jantung. Isi
sekuncup ditentukan oleh kemampuan untuk berkontraksi dan
volume cairan. Frekuensi denyut jantung dapat ditentukan oleh
keadaan seperti over load atau beban yang dimiliki pada akhir
diastol. Pre laod atau jumlah cairan pada akhir diastol, natrium yang
paling berperan dalam menentukan besarnya potensial aksi, kalsium
berperan dalam kekuatan konsentraksi dan relaksasi. Faktor lain
dalam menentukan proses transportasi adalah kondisi pembuluh
darah, latihan/olahraga, hematokrit (perbandingan antara sel darah
dengan darah secara keseluruhan atau HCT/PCV), eritrosit dan Hb.
(Hidayat, 2006)
C. Etiologi
Organisme penyebab pneumonia seringkali sulit diidentifikasi, akan tetapi
sebaiknya dilakukan biakan sputum atau sekret nsofarings serta biakan darah,
demikian juga pemeriksaan imunofluoresensi untuk respiratory syncytial
virus. Pemberian atibiotik berdasarkan patogen yang mungkin dan usia anak.
(Jhonston, 2008)
Berdasarkan etiologinya pneumonia dapat disebabkan oleh :
1. Bakteri
2. Virus
3. Jamur
4. Aspirasi makanan
5. Pneumonia hipostatik
6. Sindrom Loefler. (Bradley et.al., 2011)
Berbagai mikroorganisme dapat menyebabkan pneumonia, antara
lain virus dan bakteri seperti Pneumokokus, Staphilococcus Pneumoniae,
dan H. influenzae. Beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko
penyakit ini diantaranya adalah defek anatomi bawaan, defisit imunologi,
polusi, GER, aspirasi dan lain-lain. (Bradley et.al., 2011)
Pneumonia di sebabkan oleh:
a. Pneumonia karena infeksi virus.
Infeksi virus primer dapat menyebar melalui saluran pernafasan hingga
ke paru-paru dan hendaknya hal ini selalu di pikirkan pada setiap anak,
khususnya pada tahun pertama kehidupan. Pada usia ini, setiap
penyakit pernafasan sangat mempengaruhi konstitusi tubuh dan/atau
mengakibatkan kegagalan sirkulasi. Penyebab tersering adalah
influenza, para influenza, adenovirus, RSV. Periksaan berupa
gambaran bercak-bercak pada rontgen toraks. Meskipun infeksi ini
mungkin disebabkan oleh suatu virus, hendaknya diberikan antibiotik
spektrum luas. (Jhonston, 2008)
b. Pneumonia karena infeksi streptokokus.
Streptokokus adalah penyebab pneumonia bakteri yang sering,
terutama pada anak keci. Penyakit ini ditandai dengan gejala akut
berupa demam, nyeri dada dan pernapasan cepat yang sering disertai
suara mendekngkur. Anak tersebut mungkin mengeluhkan rasa nyeri
di perut atau bahu, tergantung letak infeksi. (Jhonston, 2008)
c. Pneumonia karena infeksi haemophilus influenza tipe B.
Di seluruh dunia dilaporkan bahwa infeksi ini penyebab kedua
tersering pada pneumonia bakteri. Rontgen toraks biasanya
memperlihatkan pola bronkopneumonia yang menyebar dan tidak
memperlihatkan bayangan pada lobus. Umumnya berespon terhadap
pengobatan amoksisilin oral. (Jhonston, 2008)
d. Mikoplasma.
Infeksi mikoplasma cenderung timbul agak tersembunyi dan memiliki
perjalanan penyakit yang sub akut. (Jhonston, 2008)
e. Pneumonia karena infeksi stafilokokus.
Pneumonia bentuk ini sudah jarang di temukan, tetapi sebaiknya
penyakit ini dipertimbangkan pada anak kecil yang tampak sakit berat.
(Jhonston, 2008)
E. Patofisiologi
Adanya gangguan pada terminal jalan nafas dan alveoli oleh
mikroorganisme patogen yaitu virus dan stapilococcus aurens, H. Influenza
dan streptococcus pneumoniae bakteri.
Terdapat infiltrat yang biasanya mengenai pada multipel lobus. Terjadinya
destruksi sel dengan menanggalkan debris celluler ke dalam lumen yang
mengakibatkan gangguan fungsi alveolar dan jalan nafas.
Pada anak kondisi ini dapat akut maupun kronik misal pad AIDS, Cystic
Fibrosis, aspirasi benda asing dan congenital yang dapat meningkatkan risiko
pneumonia. (Suriadi,dkk 2010)
Secara patologis, terdapat 4 stadium pneumonia, yaitu (Bradley et.al.,2011):
1. Stadium I (4-12 jam pertama atau stadium kongesti)
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang
berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan
peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi.
Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari
sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-
mediator tersebut mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel
mast juga mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama
dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler
paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal ini mengakibatkan
perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstisium sehingga terjadi
pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan
di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus ditempuh
oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah
paling berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen
hemoglobin.
2. Stadium II (48 jam berikutnya)
Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah
merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu ( host ) sebagai
bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh
karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna
paru menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini
udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan bertambah
sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48jam.
3. Stadium III (3-8 hari berikutnya)
Disebut hepatisasi kelabu, yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih
mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin
terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-
sisa sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih
tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat
kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.
4. Stadium IV (7-11 hari berikutnya)
Disebut juga stadium resolusi, yang terjadi sewaktu respon imun dan
peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh
makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula. (Bradley
et.al.,2011)
F. Diagnosa Medik
1. Foto polos : digunakan untuk melihat adanya infeksi di paru dan status
pulmoner
2. Nilai analisa gas darah: untuk mengetahui status kardiopulmoner yang
berhubungan dengan oksigenasi
3. Hitung darah lengkap dan hitung jenis: digunakan untuk menetapkan
adanya anemia, infeksi dan proses inflamasi
4. Pewarnaan gram: untuk seleksi awal anti mikroba
5. Tes kulit untuk tuberkulin: untuk mengesampingkan kemungkinan terjadi
tuberkulosis jika anak tidak berespon terhadap pengobatan
6. jumlah lekosit: terjadi lekositosis pada pneumonia bakterial
7. Tes fungsi paru: digunakan untuk mengevaluasi fungsi paru, menetapkan
luas dan beratnya penyakit dan membantu memperbaiki keadaan.
8. Spirometri statik digunakan untuk mengkaji jumlah udara yang diinspirasi
9. Kultur darah spesimen darah untuk menetapkan agen penyebab seperti
Virus.
(Bennete, 2013)
G. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan non medis
2. Penatalksanaan medis
B. Diagnosa Medis
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan obstruksi saluran
pernafasan akibat peningkatan mukus yang berlebihan
2. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan pengembangan paru menurun
3. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran
alvolar kapiler oleh adanya edema alveoli
4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidak seimbangan antara
supaly dan kebutuhan oksigen dan kelehan umum
5. Hipertermia berhungan dengan proses peradangan
6. Ansietas pada orang tua berhubungan dengan kurangnya pengetahuan
tentang kondisi anak
7. Resiko tinggi kekurangan cairan berhubungan dengan kehilangan cairan
berlebihan terhadapa avoporasi yang berlebih
C. Intervensi
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan obstruksi saluran
pernafasan akibat peningkatan mukus yang berlebihan
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan bersihan jalan nafas
efektif
Kriteria hasil:
a. Tidak ada dipsnue
b. Perkusi paru sonor
c. Tidak ada penggunaan otot bantu nafas
d. Tidak ada batuk produktif
Intervensi:
a. Auskultasi area paru, catat area penurunan tidak ada aliran udara/bunyi
nafas.
Rasional: penurunan aliran udara terjadi pada area konsilodasi dengan
cairan. Bunyi nafas bronkhial dapat juga terjadi pada area konsolidasi.
Krekels terdengar pada ispirasi
b. Kaji frekuensi kedalaman pernafasan dengan kedalaman dada
Rasional : tachipneu, pernafasan dangkal dan gerakan dada tak simetris
sering terjadi karena ketidaknyamanan gerakan dinding dada atau cairan
paru
c. Atur posisi setengah fowler pada anak besar dan ekstensikan kepala pada
bayi
Rasional : posisi duduk memungkinkan upaya nafas lebih dalam dan lebih
kuat
d. Berikan obat sesuai indikasi: mukoitik, ekspektoran, bronkodilator dan
analgetik
Rasional : untuk menurunkan spesme spesme bronkus dengan mobilisasi
sekret
e. Berikan cairan tambahan IV atau oksigen
Rasional : cairan diperlukan untuk menggatikan kehilangan dan mobilisasi
sekret.
(Hidayat, 2006 & Doengos 2001)
2. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan pengembangan paru menurun
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan pola nafas kembali
efektif
Kriteria hasil:
a. RR: 30-40 x/m
b. Tidak ada dipsneu
c. Pengembangan paru maksimal
Intervensi :
Yuliani Rita, Skp, M.Psi & Suriadi, Skp,MSN. 2010. ‘’Asuhan Keperawatan
Pada Anak’’. Jakarta: CV.SAGUNG SETO
Johnston Derek & Hull David. 2008 ‘’ Dasar-Dasar Pediatri Edisi: 3’’. Jakarta:
EGC
Bradley J.S., Byington C.L., Shah S.S, Alverson B., et al. 2011. The Management
of
Community-Acquired Pneumonia in Infants and Children Older than 3
Months of Age: Clinical Practice Guidelines by the Pediatric Infectious
Diseases Society and the Infectious Diseases Society of America. Clin
Infect Dis 53 (7): 617-630
Bennete M.J. 2013. Pediatric Pneumonia. http://emedicine.medscape.com/article/
967822-overview
Doenges Moorhouse Geissle. 2001. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3.
Jakarta: EGC
Hidayat, A. A. A. (2006). ‘’Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia: Aplikasi
Konsep dan Proses Keperawatan’’. Jakarta. Salemba Medika
LAPORAN ASUHAN KEPERAWATAN
“ASTHMA”
Oleh:
KELOMPOK 2
NURUL AWALIAH
NADYA WIDYASARI
ALDI RENALDI
KEPERAWATAN A
JURUSAN KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
2018
BAB I
KONSEP MEDIS
A. Definisi Asthma
Asthma disebut juga sebagai reactive air way disease (RAD), adalah suatu
penyakit obstruksi pada jalan nafas secara riversibel yang ditandai dengan
bronchospasme, inflamasi dan peningkatan sekresi jalan napas terhadap
berbagai stimulan.(Suriyadi,2010)
Asma adalah suatu penyakit dengan ciri meningkatnya respon trakea dan
bronkus terhadap berbagai rangsangan dengan manifestasi adanya penyempitan
jalan napas yang luas dan derajatnya dapat berubah-ubah, baik secara spontan
maupun sebagai hasil pengobatan (Muttaqin,2008).
Ada dua bagian yang mungkin dapat digambarkan dalam pernafasan yaitu :
b. Faring
Faring adalah pipa berotot yang berjalan dari dasar tengkorak sampai
persambungannya dengan oesofagus pada ketinggian tulang rawan krikoid.
Bila terjadi radang disebut pharyngitis. Saluran faring rnemiliki panjang 12-
14 cm dan memanjang dari dasar tengkorak hingga vertebra servikalis ke-6.
Faring berada di belakang hidung, mulut, dan laring serta lebih lebar di
bagian atasnya. Dari sini partikel halus akan ditelan atau di batukkan keluar.
Udara yang telah sampai ke faring telah diatur kelembapannya sehingga
hampir bebas debu, bersuhu mendekati suhu tubuh.
1) Saluran nafas dan makanan, faring adalah organ yang terlibat dalam
sistem pencernaan dan pernapasan: udara masuk melalui bagian nasal dan
oral, sedangkan makanan melalui bagian oral dan laring.
2) Penghangat dan pelembab, dengan cara yang sama seperti hidung, udara
dihangatkan dan dilembapkan saat masuk ke faring.
3) Fungsi bahasa, fungsi faring dalam bahasa adalah dengan bekerja sebagai
bilik resonansi untuk suara yang naik dari laring, faring (bersama sinus)
membantu memberikan suara yang khas pada tiap individu.
c. Laring
Fungsi Laring
d. Trakea
Fungsi trakea :
c. Refleks batuk, Ujung saraf di laring, trakea, dan bronkus peka terhadap
iritasi sehingga membangkitkan impuls saraf yang dihantarkan oleh
saraf vagus ke pusat pernapasan di batang otak. Respons refleks
motorik terjadi saat inspirasi dalam yang diikuti oleh penutupan glotis,
yakni penutupan pita suara. Otot napas abdomen kemudian
berkontraksi dan dengan tiba-tiba udara dilepaskan di bawah tekanan,
serta mengeluarkan mukus dan/atau benda asing dari mulut
e. Percabangan Bronkus
f. Paru-Paru
a. Paru kanan, memiliki tiga lobus yaitu superior, medius dan inferior.
b. Paru kiri berukuran lebih kecil dari paru kanan yang terdiri dari dua
lobus yaitu lobus superior dan inferior
C. Etiologi
Suatu hal yang yang menonjol pada penderita Asma adalah fenomena
hiperaktivitas bronkus. Bronkus penderita asma sangat peka terhadap
rangsangan imunologi maupun non imunologi. Adapun rangsangan atau faktor
pencetus yang sering menimbulkan Asma adalah:
1. Faktor ekstrinsik (alergik) : reaksi alergik yang disebabkan olehalergen
atau alergen yang dikenal seperti debu, serbuk-serbuk, bulu-bulu binatang.
2. Faktor intrinsik(non-alergik) : tidak berhubungan dengan alergen,seperti
common cold, infeksi traktus respiratorius, latihan, emosi, danpolutan
lingkungan dapat mencetuskan serangan.Infeksi: para influenza
virus,pneumonia,mycoplasmal. Kemudian dari fisik; cuaca dingin,
perubahan temperatur. Iritan; kimia. Polusi udara (CO, asap rokok
,parfum). Emosional; takut, cemas, dan tegang. Aktivitas yang berlebihan
juga dapat menjadi faktor pencetus.(Suriadi, 2010).
Ada beberapa hal yang merupakan faktor predisposisi dan presipitasi
timbulnya serangan Asma yaitu :
1. Faktor predisposisi
a. Genetik
Faktor yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum
diketahui bagaimana cara penurunannya yang jelas. Penderita dengan
penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga dekat juga menderita
penyakit alergi. Karena adanya bakat alergi ini,penderita sangat mudah
terkena penyakit Asma jika terpapar dengan faktor pencetus. Selain itu
hipersensitivitas saluran pernapasannya juga bisa diturunkan.
(IDAI,2015).
2. Faktor Presipitasi
b. Alergen
Dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu :
1) Inhalan : yang masuk melalui saluran pernapasan.
Contoh : debu, bulu binatang, serbuk bunga, spora jamur,bakteri
dan polusi.
2) Ingestan : yang masuk melalui mulut
Contoh : makanan dan obat-obatan
3) Kontaktan : yang masuk melalui kontak dengan kulit
Contoh : perhiasan, logam dan jam tangan
4) Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering
mempengaruhi Asma. Atmosfir yang mendadak dingin merupakan
faktor pemicu terjadinya serangan Asma. Kadang-kadang serangan
berhubungan dengan musim, seperti musim hujan, musim
kemarau.
5) Stres
Stres atau gangguan emosi dapat menjadi pencetusserangan
asma, selain itu juga bisa memperberat serangan asma yang sudah
ada. Disamping gejala asma yang timbulharus segera diobati
penderita asma yang mengalami stres ataugangguan emosi perlu
diberi nasehat untuk menyelesaikanmasalah pribadinya. Karena
jika stresnya belum diatasi makagejala belum bisa diobati.
6) Olahraga atau aktifitas jasmani
Kegiatan jasmani berat, misalnya berlari atau naik sepeda
dapat memicu serangan asma. Bahkan tertawa dan menangis yang
berlebihan dapat merupakan pencetus. Pasien dengan faal paru di
bawah optimal amat rentan terhadap kegiatan jasmani.
(IDAI,2015).
E. Klasifikasi
Pembagian asma pada anak :
1. Asma episodic yang jarang
Biasanya terdapat pada anak umur 3-8 tahun. Serangan umumnya
dicetuskan oleh infeksi virus saluran nafas bagian atas. Banyaknya serangan
3-4 kali dalam satu tahun. Lamanya serangan paling lama beberapa hari
saja dan jarang merupakan serangan yang berat. Gejala yang timbul lebih
menonjol pada malam hari. Mengi dapat berlangsung 3-4 hari. Sedangkan
batuk dapat berlangsung 10-14 hari. Manifestasi alergi lainnya misalnya
eksim jarang didapatkan pada golongan ini. (Somantri,2008).
2. Asma episodic sering
Biasanya serangan pertama terjadi pada usia sebelum 3 tahun, berhubungan
dengan infeksi saluran nafas akut. Pada umur 5-6 tahun dapat terjadi
serangan tanpa infeksi yang jelas. Nbanyaknya serangan 3-4 kali dalam satu
tahun dan tiap kali serangan beberapa hari sampai beberap minggu.
Frekuensi serangan paling sering pada umur 8-13 tahun. (Somantri,2008).
3. Asma kronik atau persisten
Lima puluh persen anak terdapat mengi yang lama pada 2 tahun
pertama dan 50 % sisanya serangan episodic. Pada umur 5-6 tahun akan
lebih jelas terjadinya obstruksi saluran nafas yang persisten. Pada malam
hari sering terganggu oleh batuk dan mengi. Obstruksi jalan nafas
mencapai puncaknya pada umur 8-14 tahun. (Somantri,2008).
Di samping tiga golongan besar di atas terdapat bentuk asma lain:
H. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan Non Medis
Upaya pencegahan asma dapat dibedakan menjadi 3 yaitu :
a. Pencegahan primer
Pencegahan primer ditujukan untuk mencegah sensitisasi pada bayi
dengan risiko asma (orangtua asma), dengan cara :
1) Penghindaran asap rokok dan polutan lain selama kehamilan dan masa
perkembangan bayi/anak
2) Diet hipoalergenik ibu hamil, asalkan / dengan syarat diet tersebut
tidak mengganggu asupan janin
3) Pemberian ASI eksklusif sampai usia 6 bulan
4) Diet hipoalergenik ibu menyusui. (Rudolph.dkk, 2014).
b. Pencegahan sekunder
Pencegahan sekunder ditujukan untuk mencegah inflamasi pada
anak yang telah tersentisisasi dengan cara menghindari pajanan asap
rokok, serta allergen dalam ruangan terutama tungau debu rumah.
(Rudolph.dkk, 2014).
c. Pencegahan tersier
Pencegahan tersier ditujukan untuk mencegah manifestasi asma
pada anak yang telah menunjukkan manifestasi penyakit alergi. Sebuah
penelitian multi senter yang dikenal dengan nama ETAC Study (early
treatment of atopic children) mendapatkan bahwa pemberian Setirizin
selama 18 bulan pada anak atopi dengan dermatitis atopi dan IgE
spesifik terhadap serbuk rumput (Pollen) dan tungau debu rumah
menurunkan kejadian asma sebanyak 50%. Perlu ditekankan bahwa
pemberian setirizin pada penelitian ini bukan sebagai pengendali asma
(controller). (Rudolph.dkk, 2014).
2. Penatalaksanaan Medis
a. Oksigen nasal atau masker dan terapi cairan parenteral.
b. Adrenalin 0,1- 0,2 ml larutan : 1 : 1000, subkutan. Bila perlu
dapatdiulang setiap 20 menit sampai 3 kali.
c. Dilanjutkan atau disertai salah satu obat tersebut di bawah ini( per oral ) :
1) Golongan Beta 2- agonist untuk mengurangi bronkospasme :
a) Efedrin : 0,5 – 1 mg/kg/dosis, 3 kali/ 24 jam
b) Salbutamol : 0,1-0,15 mg/kg/dosis, 3-4 kali/24 jam
c) Terbutalin : 0,075 mg/kg/dosis, 3-4 kali/ 24 jam
2) Golongan Bronkodilator, untuk dilatasi bronkus, mengurangi
bronkospasme dan meningkatkan bersihan jalan nafas.
a) Aminofilin : 4 mg/kg/dosis, 3-4 kali/24 jam
b) Teofilin : 3 mg/kg/dosis, 3-4 kali/24 jam
3) Golongan steroid, untuk mengurangi pembengkakan mukosa bronkus.
Prednison : 0,5 – 2 mg/kg/hari, untuk 3 hari (pada serangan hebat).
d. Bronkodilator : obat yang melebarkan saluran nafas.
Terbagi dalam 2 golongan:
1) Simpatomimetik/andrenergik (adrenalin dan efedrin) Nama obat :
Orsiprenalin (Alupent), fenoterol (berotec), terbutalin (bricasma).
2) Santin (teofilin)Nama obat: Aminofilin (Amicam supp), Aminofilin
(Euphilin Retard), Teofilin (Amilex)Penderita dengan penyakit
lambung sebaiknya berhati-hati bila minum obat ini.
e. Kromalin bukan bronkodilator tetapi merupakan tetapi merupakan obat
pencegahserangan asma. Kromalin biasanya diberikan bersama-sama
obat anti asma yang lain dan efeknya baru terlihat setelah pemakaian 1
bulan.
f.Ketolifen, mempunyai efek pencegahan terhadap asma seperti kromalin.
Biasanya diberikandosis 2 kali 1 mg/hari. Keuntungan obat ini adalah
dapat diberikan secara oral.(Rudolph.dkk, 2014).
I. Komplikasi
c.
BAB II
KONSEP KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
1. Identitas
Pada asma episodik yang jarang, biasanya terdapat pada anak
umur 3-8 tahun.Biasanya oleh infeksi virus saluran pernapasan bagian
atas. Pada asma episodikyang sering terjadi, biasanya pada umur sebelum
3 tahun, dan berhubungan dengan infeksi saluran napas akut. Pada umur
5-6 tahun dapat terjadi serangan tanpa infeksi yang jelas.Biasanya orang
tua menghubungkan dengan perubahan cuaca, adanya alergen, aktivitas
fisik dan stres.Pada asma tipe ini frekwensi serangan paling sering pada
umur 8-13 tahun. Asma kronik atau persisten terjadi 75% pada umur
sebeluim 3 tahun.Pada umur 5-6 tahun akan lebih jelas terjadi obstruksi
saluran pernapasan yang persisten dan hampir terdapat mengi setiap hari.
Untuk jenis kelamin tidak ada perbedaan yang jelas antara anak
perempuan dan laki-laki.
2. Keluhan utama : Batuk-batuk dan sesak napas.
3. Riwayat penyakit sekarang : Batuk, bersin, pilek, suara mengi dan sesak
napas.
4. Riwayat penyakit terdahulu : Anak pernah menderita penyakit yang sama
pada usia sebelumnya.
5. Riwayat penyakit keluarga: Penyakit ini ada hubungan dengan faktor
genetik dari ayah atau ibu, disamping faktor yang lain.
6. Riwayat kesehatan lingkungan : Bayi dan anak kecil sering berhubungan
dengan isi dari debu rumah, misalnya tungau, serpih atau buluh binatang,
spora jamur yang terdapat di rumah, bahan iritan: minyak wangi, obat
semprot nyamuk dan asap rokok dari orang dewasa.Perubahan suhu udara,
angin dan kelembaban udara dapat dihubungkan dengan percepatan
terjadinya serangan asma.
7. Pemeriksaan Fisik / Pengkajian Persistem
a. Sistem Pernapasan / Respirasi
Sesak, batuk kering (tidak produktif), tachypnea, orthopnea, barrel
chest, penggunaan otot aksesori pernapasan, Peningkatan PCO2 dan
penurunan O2,sianosis, perkusi hipersonor, pada auskultasi terdengar
wheezing, ronchi basah sedang, ronchi kering musikal.
b. Sistem Cardiovaskuler
Diaporesis, tachicardia, dan kelelahan.
c. Sistem Persyarafan / neurologi
Pada serangan yang berat dapat terjadi gangguan kesadaran : gelisah,
rewel, cengeng → apatis → sopor → coma.
d. Sistem perkemihan
Produksi urin dapat menurun jika intake minum yang kurang akibat
sesak nafas.
e. Sistem Pencernaan / Gastrointestinal
Terdapat nyeri tekan pada abdomen, tidak toleransi terhadap makan
dan minum, mukosa mulut kering.
f. Sistem integumen
Berkeringat akibat usaha pernapasan klien terhadap sesak nafas.
(Muttaqin, 2008).
Hal-hal yang perlu dikaji pada pasien asma adalah sebagai berikut:
Riwayat kesehatan yang lalu:
1. RiwayatKesehatan
a. Kaji riwayat pribadi atau keluarga tentang penyakit paru
sebelumnya.
b. Kaji riwayat reaksi alergi atau sensitifitas terhadap zat/ faktor
lingkungan.
c. Kaji riwayat pekerjaan pasien.
2. Aktivitas
a. Ketidakmampuan melakukan aktivitas karena sulit bernapas.
b. Adanya penurunan kemampuan/peningkatan kebutuhan bantuan
melakukan
c. aktivitas sehari-hari.
d. Tidur dalam posisi duduk tinggi.
3. Pernapasan
a. Dipsnea pada saat istirahat atau respon terhadap aktivitas atau
latihan.
b. Napas memburuk ketika pasien berbaring terlentang ditempat tidur.
c. Menggunakan obat bantu pernapasan, misalnya: meninggikan bahu,
melebarkan hidung.
d. Adanya bunyi napas mengi.
e. Adanya batuk berulang.
4. Sirkulasi
a. Adanya peningkatan tekanan darah.
b. Adanya peningkatan frekuensi jantung.
c. Warna kulit atau membran mukosa normal/ abu-abu/ sianosis.
d. Kemerahan atau berkeringat.
5. Integritas ego
a. Ansietas
b. Ketakutan
c. Peka rangsangan
d. Gelisah
6. Asupan nutrisi
a. Ketidakmampuan untuk makan karena distress pernapasan.
b. Penurunan berat badan karena anoreksia.
7. Hubungan sosal
a. Keterbatasan mobilitas fisik.
b. Susah bicara atau bicara terbata-bata.
c. Adanya ketergantungan pada orang lain.(Muttaqin, 2008).
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
C. INTERVENSI
1. DX 1 : Tidak efektifnya bersihan jalan nafas b.d bronkospasme :
peningkatan produksi sekret, sekresi tertahan, tebal, sekresi kental :
penurunan energi/kelemahan
a. Tujuan : Hasil yang diharapkan: mempertahankan jalan nafas paten
dengan bunyi bersih dan jelas
b. Kriteria Hasil :
1) Klien dapat mendemonstrasikan batuk efektif
2) Tidak ada suara nafas tambahan dan wheezing
c. Intervensi
1) Posisikan pasien untuk mengoptimalkan pernafasan (posisi semi
fowler)
2) Kaji warna, kekentalan dan jumlah sputum
3) Ajarkan cara batuk efektif dan terkontrol
4) Bantu klien latihan nafas dalam
5) Pertahankan intake cairan sedikitnya 2500 ml/hari kecuali tidak
diindikasikan
6) Lakukan fisioterapi dada dengan tehnik postural dranase, perkusi,
fibrasi dada.
7) Kolaborasi pemberian obat bronkodilator
8) Kolaborasi dengan dokter pemberian obat agen mukolitik dan
ekspektoran
9) Kolaborasi dengan dokter pemberianobat kortikostiroid
d. Rasional
1) Posisi semi flower dapat memberikan kesempatan pada proses
ekspirasi paru.
2) Karakteristik sputum dapat menunjukkan berat ringannya obstuksi
3) Batuk yang terkontrol dan efektif dapat memudahkan pengeluaran
secret yang melekat di jalan nafas.
4) Vertilasi maksimal membuka lumen jalan nafas dan meningkatkan
gerakan secret ke dalam jalan nafas besar untuk dikeluarkan.
5) Hidrasi yang adekuat membantu mengencerkan secret dan
mengefektifkan pembersihan jalan nafas.
6) Fisioterapi dada merupakan stategi untuk mengeluarkan secret
7) Pemberian bronkodilator via inhalasi akan langsung menuju area
broncus yang mengalami spasme sehingga lebih cepat berdilatasi.
8) Kortikostiroid berguna pada keterlibatan luas dengan hipoksemia
dan menurunkan reaksi inflamasi akibat edema mukosa dan dinding
bronkus.
D. EVALUASI
Tahap evaluasi dalam proses keperawatan menyangkut pengumpulan data
subjektif dan data objektif yang akan menunjukkan apakah tujuan pelayanan
keperawatan sudah dicapai atau belum. Bila perlu langkah evaluasi ini
merupakan langkah awal dari langkah identifikasi dan analisa masalah
selanjutnya. Evaluasi untuk diagnosa “bersihan jalan napas tidak efektif
berhubungan dengan tachipnea, peningkatan produksi mukus, kekentalan
sekresi dan bronchopasme” yaitu pola napas efektif. Untuk data subjektif
pasien mengatakan kadang-kadang masih sesak sehinggga masalah
keperawatan teratasi sebagian dan saya memodifikasi planning yaitu dengan
memberikan ruangan dan suasana yang tenang dan nyaman dengan cara
membatasi pengunjung, tidak membiarkan semua keluarga untuk menjaga
pasien. (Suriadi.dkk. 2010).
DAFTAR PUSTAKA
OLEH :
KEPERAWATAN A
ANDRYANA AGREVITA
RISKA
NUR ATMASARI
A. PENGERTIAN
Tuberkolosis paru (TBC) merupakan penyakit infeksi menular pada sistem
pernafasan yang disebabkan oleh mikobakterium tuberkulosa yang dapat
mengenai bagian paru. Proses penularan melalui udara atau langsung seperti
saat batuk.(hidayat, 2008)
Tuberkulosis pada anak masih merupakan penyakit dengan tingkat
morbiditas dan mortalitas yang tinggi (Bakhtiar,2016)
Tuberkolosis (TBC) adalah penyakit infeksi kronis dengan karakteristik
terbentuknya tuberkel granuloma pada paru disebabkan oleh kuman
mycobacterium tuberkulosis. ( Wijayaningsih, 2013)
Tuberkulosisa dalahpenyakit yang menjangkit lebih dari sepertiga penduduk
dunia.(Widagdo, 2011)
B. ETIOLOGI
a. Mycobacterium tuberculosa
b. Mycobacterium bovis
c. Faktor-faktor yang menyebabkan seseorang terinfeksi oleh mycobakterium
tuberculosa
d. Herediter: resitensi seseorang terhadap infeksi kemungkinan diturunkan
secara genetik
e. Jenis kelamin: pada akhirnya masa kanak-kanak dan remaja, angka
kematian dan kesakitan lebih banyak terjadi pada anak perempuan
f. Usia: pada masa bayi kemungkinan terinfeksi sangat tinggi
g. Pada masa puber dan remaja dimana terjadi masa pertumbuhan sangat
cepat, kemungkinan terinfeksi cukup tinggi karena diet yang tidak adekuat
h. Keadaan stress: situasi yang penuh stress (injuri atau penyakit, kurang
nutrisi, stress emosional, kelelehan yang kronik)
i. Meningkatnya sekresi steroid adrenal yang menekan reaksi inflamasi lebih
mudah
j. Nutrisi: status nutrisi yang kurang
k. Tidak mematuhi aturan berobat (Suriadi & Yuliani, 2010)
C. MANIFESTASI KLINIS
tanda dan gejala tuberkulosis adalah: Demam, malaise, anoreksia,
penurunan berat badan, batuk ada atau tidak(berkembang secara perlahan
selama berminggu-minggu sampai berbulanbulan), peningkatan frekuensi
napas, ekspansi paruburuk pada tempat yang sakit, bunyi napas hilang dan
ronki kasar, pekak pada saat perkusi, demam persisten, pucat, anemia,
kelemahan, dan penurunan berat badan.(Wong, D.L, 2009)
D. ANATOMI
Saluran penghantar udara hingga mencapai paru-paru adalah hidung,
faring, laring, trakhea, bronkus, dan bronkiolus. Hidung; Nares anterior adalah
saluran-saluran didalam rongga hidung. Saluran-saluran itu bermuara kedalam
bagian yang dikenal sebagai vestibulum (rongga hidung). Rongga hidung
dilapisi sebagai selaput lendir yang sangat kaya akan pembuluh darah, dan
bersambung dengan lapisan faring dan dengan selaput lendir sinus yang
mempunyai lubang masuk kedalam rongga hidung. Faring (tekak) adalah pipa
berotot yang berjalan dari dasar tengkorak sampai persambungannya dengan
esophagus pada ketinggian tulang rawan krikoid. Maka letaknya di belakang
laring (laring-faringeal). Laring (tenggorok) terletak di depan bagian terendah
faring yang memisahkan dari columna vertebrata, berjalan dari faring sampai
ketinggian vertebrata servikalis dan masuk ke dalam trakhea di bawahnya.
Laring terdiri atas kepingan tulang rawan yang diikat bersama oleh
ligamen dan membran. Trakhea atau batang tenggorok kira-kira 9 cm
panjangnya trachea berjalan dari laring sampai kira-kira ketinggian vertebrata
torakalis kelima dan di tempat ini bercabang menjadi dua bronkus (bronchi).
Trakhea tersusun atas 16 – 20 lingkaran tak tetap yang berupa cincin tulang
rawan yang diikat bersama oleh jaringan fibrosa dan yang melengkapi
lingkaran di sebelah belakang trakhea, selain itu juga membuat beberapa
jaringan otot.
Bronchus yang terbentuk dari belahan dua trakea pada ketinggian
kirakira vertebra torakalis kelima, mempunyai struktur serupa dengan trachea
dan dilapisi oleh jenis sel yang sama. Bronkus-bronkus itu berjalan ke bawah
dan ke samping ke arah tampuk paru. Bronkus kanan lebih pendek dan lebih
lebar daripada yang kiri, sedikit lebih tinggi dari arteri pulmonalis dan
mengeluarkan sebuah cabang utama lewat di bawah arteri, disebut bronkus
lobus bawah. Bronkus kiri lebih panjang dan lebih langsing dari yang kanan,
dan berjalan di bawah arteri pulmonalis sebelum dibelah menjadi beberapa
cabang yang berjalan ke lobus atas dan bawah.
Cabang utama bronkus kanan dan kiri bercabang lagi menjadi bronkus
lobaris dan kemudian menjadi lobus segmentalis. Percabangan ini berjalan
terus menjadi bronchus. Yang ukurannya semakin kecil, sampai akhirnya
menjadi bronchiolus terminalis, yaitu saluran udara terkecil yang tidak
mengandung alveoli (kantong udara). Bronkiolus terminalis memiliki garis
tengah kurang lebih 1 mm. bronkiolus tidak diperkuat oleh cincin tulang
rawan. Tetapi dikelilingi oleh otot polos sehingga ukurannya dapat berubah.
Saluran-saluran udara ke bawah sampai tingkat bronkiolus terminalis disebut
saluran penghantar udara karena fungsi utamanya adalah sebagai penghantar
udara ke tempat pertukaran gas paru-paru.
Alveolus yaitu tempat pertukaran gas assinus terdiri dari bronkiolus
dan respiratorius yang terkadang memiliki kantong udara kecil atau alveoli
pada dindingnya. Ductus alveolaris seluruhnya dibatasi oleh alveolis dan
sakus alveolaris terminalis merupakan akhir paru-paru, assinus atau kadang
disebut lobulus primer memiliki tangan kira-kira 0,5-1,0 cm. terdapat sekitar
20 kali percabangan mulai dari trachea sampai sakus alveolaris. Alveolus
dipisahkan oleh dinding yang dinamakan pori-pori kohn.
Paru-paru terdapat dalam rongga toraks pada bagian kiri dan kanan. Dilapisi
oleh pleura yaitu parietal pleura dan visceral pleura. Di dalam rongga pleura
terdapat cairan surfaktan yang berfungsi untuk lubrikai. Paru kanan dibagi atas
tiga lobus yaitu lobus superior, medius dan inferior sedangkan paru kiri dibagi
dua lobus yaitu lobus superior dan inferior.
Tiap lobus dibungkus oleh jaringan elastik yang mengandung
pembuluh limfe, arteriola, venula, bronchial venula, ductus alveolar, sakkus
alveolar dan alveoli. Diperkirakan bahwa setiap paru-paru mengandung 150
juta alveoli, sehingga mempunyai permukaan yang cukup luas untuk tempat
permukaan/pertukaran gas. (Suriadi & Yuliani, 2010)
E. FISIOLOGI
Pernafasan paru merupakan pertukaran oksigen dan karbondioksida
yang terjadi pada paru-paru. Pernafasan melalui paru-paru atau pernafasan
ekternal, oksigen diambil melalui mulut dan hidung pada waktu bernafas, dan
oksigen masuk melalui trakea sampai ke alveoli berhubungan dalam darah
dalam kapiler pulmonal. Alveoli memisahkan oksigen dari darah, oksigen
menembus membran, diambil oleh sel darah merah di bawa ke jantung dan
dari jantung dipompakan ke seluruh tubuh.
Proses pertukaran oksigen dan karbon dioksida terjadi ketika
konsentrasi dalam darah mempengaruhi dan merangsang pusat pernafasan
terdapat dalam otak untuk memperbesar kecepatan dalam pernafasan sehingga
terjadi pengambilan O2 dan pengeluaran CO2 lebih banyak. Darah merah
(hemoglobin) yang banyak mengandun oksigen dari seluruh tubuh masuk
kedalam jaringan mengambil karbon dioksida dibawa ke paru-paru dan di
paru-paru terjadi pernafasan eksterna. Besarnya daya muat udara dalam paru-
paru 4500-5000 ml (4,5-5 liter).
Udara yang diproses dalam paru-paru (inspirasi dan ekspirasi) hanya
10 %, kurang lebih 500ml, disebut juga udara pasang surut (tidal air) yaitu
yang dihirup dan yang dihembuskan pada pernafasan biasa. Kecepatan
pernafasan pada wanita lebih tinggi dari pada pria. Pernafasan secara normal,
ekspirasi akan menyusul inspirasi dan kemudian istirahat. Pada bayi ada
kalanya terbalik inspirasi-istirahat-ekspirasi, disebut juga penafasan terbalik.
(Suriadi & Yuliani, 2010)
F. PATOFISIOLOGI.
a. Masuknya kuman tuberkulosis ke dalam tubuh tidak selalu menimbulkan
penyakit. Infeksi dipengaruhi oleh virulensi dan banyaknya hasil
tuberkulosis serta daya tahan tubuh manusia
b. Segera setelah menghirup basil tuberkulosis hidup kedalam paru-paru,
maka terjadi eksudasi dan konsulodasi yang terbatas disebut fokus primer.
Basis tuberkulosis akan menyebar, histosit mulai mengangkut organisme
tersebut kekelenjar limpe regional melalui saluran getah bening menuju ke
kelenjar regional sehingga terbentuk komplek primer dan mengadakan
reaksi eksudasi terjadi sekitar 2-10 minggu (6-8 minggu) pasca infeksi.
c. Bersamaan dengan terbentuknya kompleks primer terjadi pula
hypersensitivitas terhadap tuberkuloprotein yang dapat diketahui melalui
uji tuberkulin. Masa terjadinya infeksi sampai terbentuknya kompleks
primer disebut masa inkubasi
d. Pada anak yang mengalami lesi, dalam paru dapat terjadi dimanapun
terutama di plifer dekat pleura, tetapi lebih banyak terjadi dilapangan
bawah paru dibanding dengan lapangan atas. Juga terdapat pembesaran
kelenjar regional serta penyembuhannya mengarah keklasifikasi dan
penyebarannya lebih banyak terjadi melalui hematogan
e. Pada reaksi radang dimana lekosit polimorfonuklear tanpak pada alveoli
dan memfagosit bakteri namun tidak membunuhnya. Kemudian basil
menyebar kelimfe dan sirkulasi. Dalam beberapa minggu limfosit T
manjadi sensitive terhadap organisme TBC dan membebaskan limfokin
yang merubah magrofag atau mengaktifkan magrofag. Alveoli yang
terserang akan mengalami konsolidasi dan timbul gejala pneumonia akut.
Pneumonia seluler ini dapat sembuh dengan sendirinya, sehingga tidak ada
sisa nnekrosis yang tertinggal, dan proses dapat berjalan terus dan bakteri
terus difagosit atau berkembang biak dalam sel. Makrofag yang
mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang dan sebagian bersatu
sehingga membentuk sel tuberkel epiteloid yang dikelilingi oleh limfosit.
Nekrosis pada bagian sentral meberikan gambaran yang relatif padat pada
keju, yang disebut nekrosis kaseosa
f. Terdapat 3 macam penyebaran secara patogen pada tuberculosis anak.
Penyebaran hematogen tersembunyi yang kemudian mungkin menimbul
gejala atau tanpa gejala klinis, penyebaran milier, biasanya terjadi
sekaligus dan menimbulkan gejala akut, kadang-kadang kronis,
penyebaran hematogen berulang.
g. Individu rentan yang menghirup basil tuberculosis dan terinfeksi. Bakteri
dipindahkan melalui jalan nafas ke alveoli untuk memperbanyak diri, basil
juga dipindahkan melalui system limfe dan pembuluh darah ke area paru
lain dan bagian tubuh lainnya.
Sistem imun tubuh berespon dengan melakukan reaksi inflamasi. Fagosit
menelan banyak bakteri, limfosit specific tuberculosis melisis basil dan
jaringan normal, sehingga mengakibatkan penumpukkan eksudat dalam
alveoli dan menyebabkan bronkopnemonia. Massa jaringan
paru/granuloma (gumpalan basil yang masih hidup dan yang sudah mati)
dikelilingi makrofag membentuk dinding protektif
Granuloma diubah menjadi massa jaringan fibrosa, yang bagian sentralnya
disebut komplek Ghon. Bahan (bakteri dan makrofag) menjadi nekrotik,
membentuk massa seperti keju. Massa ini dapat mengalami klasifikasi,
membentuk skar kolagenosa. Bakteri menjadi dorman, tanpa
perkembangan penyakit aktif.
Individu dapat mengalami penyakit aktif karena gangguan atau respon
inadekuat sistem imun, maupun karena infeksi ulang dan aktivasi bakteri
dorman. Dalam kasus ini tuberkel ghon memecah, melepaskan bahan
seperti keju ke bronki. Bakteri kemudian menyebar di udara,
mengakibatkan penyebaran lebih lanjut. Paru yang terinfeksi menjadi lebih
membengkak mengakibatkan bronkopnemonia lebih lanjut. (Suriadi &
Yuliani, 2010)
G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK.
a. Pemeriksaan fisik
b. Riwayat penyakit: riwayat kontak dengan individu yang terinfeksi
penyakit
c. Reaksi terhadap tes tuberkulin : reaksi tes positif (diameter =5 mm)
menunjukkan adanya infeksi primer
d. Radiologi: terdapat kompleks primer dengan atau tanpa perkapuran
pembesaran kelenjar paratrakeal, penyebaran milier, penyebaran
bronkogen, atelektasis, pleuritis dengan efusi, cairan asites.
e. Kultur sputum: kultur bilasan lambung atau sputum, cairan pleura, urine,
cairan serebrospinal cairan nodus limfe ditemukan hasil tuberculosis
f. Patologi anatomi dilakukan pada kelenjar getah bening, hepar, pleura,
peritoneum, kulit ditemukan tuberkel dan basil tahan asam.
g. Uji BCG: hanya diperlihatkan oleh skin tes tuberkulin positif
h. Penyakit TB: gambaran radiologi positif, kultur sputum positif dan adanya
gejala-gejala penyakit. (Suriadi & Yuliani, 2010)
H. PENATALAKSANAAN.
a. Nutrisi adekuat
b. Kemoterapi: pemberian terapi pada tuberculosis didasarkan pada 3
karakteristik basil, yaitu basil yang berkembang biak cepat ditempat yang
kaya akan oksigen, basil yang hidup dalam lingkungan yang kurang
oksigen berkembang lambat dan dorman hingga beberapa tahun, basil
yang mengalami mutasi sehingga resisten terhadap obat.
c. Pembedahan: dilakukan jika kemotrapi tidak berhasil. Dilakukan dengan
mengangkat jaringan paru yang rusak, tindakan ortopedi untuk
memperbaiki kelainan tulang.
d. OAT (Wijayaningsih, 2013)
BAB II
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN.
A. PENGKAJIAN.
1. Identitas klien meliputi nama, umur, pendidikan, pekerjaan, agama, status
perkawinan dll.
2. Riwayat kesehatan
a. Riwayat penyakit sekarang
Hal yang perlu di kaji:
1) Keluhan yang di rasakan
2) Usaha yang dilakukan untuk mengatasi keluhan
b. Riwayat penyakit dahulu
Hal yang perlu di kaji
1) Riwayat terjadi aspirasi
2) Sistem imun anak mengalami penurunan
3) Sebutkan sakit yang pernah di alami
c. Riwayat penyakit keluarga
1) Ada anggota keluarga yang sakit ispa
2) Ada anggota keluarga yang sakit pneumonia
3. pengkajian
a. aktivitas dan latihan
1) Kelemahanumumdankelelahan.
2) nafaspendek.
3) mimpiburuk.
4) takikardi, takipnea/dispnea.
5) kelemahanotot, nyeridankaku.
b. integritas ego :
1) perasaantakberdaya/putusasa
2) factor stress baruatau lama
3) denial
4) cemas
c. makanan/cairan
1) kehilangan nafsu makan.
2) Ketidaksanggupanmencerna
3) kehilangan BB
d. turgor kulit buruk, kering, kelemahan otot, lemak subkutan tipis.
Nyaman/nyeri :
1) nyeri dada saatbatuk
2) memegang area yang sakit
e. pernafasan :
1) batuk
2) nafaspendek
3) peningkatanjumlahpernafasan
f. perkusi : penurunan fremitus pleura terisicairan.
1) Suaranafasronkhi
2) sputum :hujaupurulen, kekuningan.
g. keamanandankeselamatan
1) adanyakondisisimunosupresi.
2) demampadakondisiakut.
h. interaksi social.
perasaanterisolasiatau di tolak(Wijayaningsih, 2013)
4. Pemeriksaan fisik
a.Keadaan umum: tampak lelah, sesak nafas.
b. Kesadaran: tergantung tingkat keparahan penyakit bisa somnolent
c.TTV;
1) TD : Hipertensi
2) Nadi : Takikardi
3) RR: Takipneu, dipsnue, nafas dangkal
4) Suhu: hipertermia
d. Kepela : tidak ada kelainan
e. Mata : konjugtiva bisa anemis
f. Hidung : jika sesak akan terdengar nafas cuping hidung
g. Paru:
1) Inspeksi : pengembangan paru berat, tidak simetris jika hanya satu
sisi paru, ada penggunaan otot bantu nafas.
2) Palpasi : adanya nyeri tekan, peningkatan vocal fremitus
pada daerah yang terkena
3) Perkusi : pekak terjadi bila terisi cairan, normalnya timpani
4) Auskultasi : bisa terdengar rongki.
h. Jantung : jika tidak ada kelainan jantung, jantung tidak ada kelemahan
i. Ektremitas : sianosis, turgor berkurang jika dehidrasi
j. Pemeriksaan Diagnostik Dan Pengobatan
1) Ujituberkulin = ujituberkulin
(+).® hipersensitifitastipelambat ®imunitasseluler ®Infeksi TB
2) FotorontgentRutin :fotopadaronggaparu. Atasindikasi: tulang,
sendi, abdomen. Rontgentparutidakselalukhas.
3) Pemeriksaanmikrobiologis (BakteriologisMemastikan TB. Hasil
normal: tidakmenyingkirkandiagnosa TB. Hasil (+) : 10-62%
dengancara lama. Cara :cara lama radio metrik (Bactec); PCK.
4) Pemeriksaandarahtepi (Tidakkhas. LED dapatmeninggi)
5) Pemeriksaanpatologikanatomik. Kelenjar, hepar, pleura;
atasindikasi.SumberinfeksiAdanyakontakdenganpenderita TB
menambahkriteriadiagnosa.(Wong, D.L, 2009)
B. DIAGNOSA MEDIS
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan sekresi yang kental
/darah
2. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan kerusakan membrane
alveokar-kapiler.
3. Perubahannutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
peningkatan produksi sputum/batuk, dyspnea anoreksia.
4. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya
pertahanan primer, penurunan gerakansilia, statis dans ekresi.
5. Kurang pengetahuan tentang kondisi,terapi dan pencegahan berhubungan
dengani nformasi kurang/tidaka kurat(Wijayaningsih, 2013)
C. INTERVENSI
1. Bersihkan jalan nafastakefektifberhubungandengansekresi yang
kental/darah.
Tujuan :kebersihanjalannafasefektif.
Kriteriahasil :
a. Mencariposisi yang nyaman yang
memudahkanpeningkatanpertkaranudara.
b. Mendemontrasikanbatuefektif.
c. Menyatakanstrategiuntukmenurunkankekentalnsekresi.
Rencanatindakan :
1) Jelaskankliententangkegunaanbatuk yang
efektifdanmengapaterdapatpenumukan secret di
saluranpernafasan.
R/ pengetahuan yang
diharapkanakanmembantumengembangkankepatuhanklienterha
daprencanaterapeutik.
2) Ajarkankliententangmetode yang tepatpengontrolanbatuk.
R/ batuktidakterkontroladalahmelelahkandantidakefektif,
menyebabkanfrustasi.
3) Nafasdalamdanperlahansaatduduksetegakmungkin
R/ memungkinkanekspaniparulebihluas.
4) Lakukanpernafasandiagfragma
R/
pernafaandiafragmamenuunkanfrekuensinafasdanmeningkatka
nventilasi alveolar.
5) Auskultasiparu-parusebelumdansesudahklienbatuk.
R/ pengkajianinimembantumengevaluasikeefektifanbatukklien.
6) Dorongatauberikanperawatanmulut yang biksetelahbatuk
R/ hygiene mulut yang baikmeningkatkan rasa
kesejahteraandanmenvegahbaumulut.
7) Kolaborasikandengantimkesehatanlain,
dengandokterradiologidanfisiterapi, pemberianekspektoran,
pemberian antibiotic, dankonsulfoto thorax.
8) R/
ekspekstoranuntukmemudahkanmengeluarkanlendirdanmengev
aluasiperbaikankondisiklien.(Suriadi & Yuliani, 2010)
2. Kerusakanpertukaran gas berhubungandengan membrane alveolar kevilar.
Tujuan :pertukarangasefektif.
Kriteriahasil :
1)memperlihatkanfrekuensipernapasan yang efektif
2)Mengalamiperbaikanpertukaran gas-gas padapadaparu
3)Adaptive mengatasi factor-faktorpenyebab
Rencanatindakan:
Rencanatindakan:
1. Diskusiakanpenyebabanoreksia, dipsneadanmual
R/
denganmembantuklienmengalamikondisisdapatmenurunkanansietasda
ndapatmembantumemperbaikikepatuhanterapeutik
2. Ajarkandan bantu klienuntukistirahatsebelummakan
R/ keletihanberlanjutmenurunkankeinginanuntukmakan
3. Tewarkanmasansedikittapisering (enam kali sehari plus tambahan)
R/ peningkatantekanan intra abdomen dapatmenurunkan /
meneknsaluran GI danmenurunkankapasitas
4. Pembatasancairanpadamakanandanmenghindarimakanan 1 jam
sebelumdansesudahmakan.
R/ cairandapatlebihpadalambung, menurunkannasfumakandanmasukan
5. Aturmakanandengan protein/ kaloritinggi yang
disajikanpadawaktuklienmerasa paling sukauntukmemakannya
R/ inimeningkatkankemungkinanklienmengkonsumsijumlah protein
dankaloriadekuat
6. Jelaskankebutuhanpeningkatanmasukanmakanantinggielemenberikut
a. Vitamin B12 (telur, dagingayam, kerang)
b. Asamfolat (sayurberdaunhijau, kacang-kacangan, daging)
c. Thiamine (kacang-kacang, buncis, oranges)
d. Zatbesi (jeroan, buah yang dikeringkan, sayuranhijau,
kacangsegar)
R/ masukan vitamin
harusditingkatkanuntukmengkonpensasipenurunanmetabolismedanpen
yimpanan vitamin karenakerusakanjaringanhepar
D. EVALUASI
1. Pantausetiapperubahanpadaanakbaikpenyakitmaupunperilakun
ya.
2. Berikan reward (penghargaanpadasetiapintervensi yang
berhasildilakukanolehanak).
3. Berikanbeberapapertanyaanmengenaipenyakitanakdanseberapa
jauhpengetahuananaktentangpenyakitnya.(Bakhtiar,2016)
REFERENCE
Suriadi & Yuliani Rita. (2010). Asuhan Keperawatan Pada Anak. Jakarta: CV.
SAGUNG SETO.
Widagdo. (2011). Masalah dan Tatalaksana Penyakit Infeksi pada Anak. Jakarta:
CV. SAGUNG SETO.
Wong, D.L, et all. (2009). Buku Ajar Keperawatan Pediatric. Mosby: Missouri.
DISUSUN OLEH :
SUPIANI YAMLEAN
MEGAWATI YUNUS
Keperawatan A
TAHUN 2018/2019
BAB I
KONSEP MEDIS
A. Definisi
Meningitis adalah peradangan pada selaput meningen, cairan serebrospinal
dan spinal column yang menyebabkan proses infeksi pada sistem saraf pusat.
(Suriadi, 2010)
Meningitis adalah infeksi yang menular, sama seperti flu, pengantar virus
meningitis berasal dari cairan yang berasal dari tenggorokan atau hidung.
Virus tersebut dapat berpindah melalui udara dan menularkan kepada orang
lain yang menghirup udara tersebut. (Israr, 2008)
Meningitis adalah infeksi cairan otak disertai radang yang mengenai
piameter (lapisan dalam selaput otak) dan arakhnoid serta dalam derajat yang
lebih ringan mengenai jaringan otak dan medula spinalis yang superfisial.
Meningitis tergolong penyakit serius dan bisa mengakibatkan kematian.
Penderita meningitis yang bertahan hidup akan menderita kerusakan otak
sehingga lumpuh, tuli, epilepsi, retardasi mental. (Riyanti, 2017)
Penyakit meningitis telah membunuh jutaan balita di seluruh dunia. Data
WHO menunjukkan bahwa dari sekitar 1,8 juta kematian anak balita di
seluruh dunia setiap tahun, lebih dari 700.000 kematian anak terjadi di negara
kawasan Asia Tenggara dan Pasifik Barat. (Riyanti, 2017)
Penularan kuman dapat terjadi secara kontak langsung dengan penderita
dan droplet infection yaitu terkena percikan ludah, dahak, ingus, cairan bersin
dan cairan tenggorok penderita. Saluran nafas merupakan port d’entree
utama pada penularan penyakit ini. Bakteri-bakteri ini disebarkan pada orang
lain melalui pertukaran udara dari pernafasan dan sekresi-sekresi tenggorokan
yang masuk secara hematogen (melalui aliran darah) ke dalam cairan
serebrospinal dan memperbanyak diri didalamnya sehingga menimbulkan
peradangan pada selaput otak dan otak. (Riyanti, 2017)
B. Etiologi
1. Penyebab meningitis adalah bakteri bakteri Meningococcus,
staphylococcus atau basal influenza, basal tubercolosa dan adanya iritasi
meningen
2. Faktor predisposisi : jenis kelamin : laki-laki lebih sering dibandingkan
dengan wanita.
3. Faktor maternal : ruptur membran fetal, infeksi, defisiensi imunoglobin,
anak yang mendapat obat-obat imunosupresi
4. Anak dengan kelainan sistem saraf pusat, pembedahan atau injury yang
berhubungan dengan sistem pernafasan. (Suriadi, 2010)
C. Manifestasi Klinis
Neonatus : menolak untuk makan, refleks mengisap kurang, muntah atau
diare, tonus otot kurang, kurang gerak dan menangis lemah(Suriadi, 2010)
Anak-anak dan remaja : demam tinggi, sakit kepala, muntah yang diikuti
dengan perubahan sensori, kejang,mudah terstimulasi dan teriagitasi,
fotofobia, delirium, halusinasi, perilaku agresif atau maniak, stupor, koma,
kaku kuduk opistotonus. Tanda kernig dan brudzinski positif, refleks fisiologis
hiperaktif, ptechiae atau prurutus (menunjukkan adanya infeksi
meningococcal).(Suriadi, 2010)
Bayi dan anak-anak (usia 3 bulan hingga 2 tahun) : demam, malaise,
muntah, mudah terstimulasi, menangis dengan merintih, ubun-ubun menonjol,
kaku kuduk dan tanda kernig dan Brudzinsky positif. Selain itu, ketidak
mampuan untuk memberi makan, mengantuk dan kejang. (Wasti, 2013)
D. ANATOMI FISIOLOGI
E. Patofisiologi
Meningitis disebabkan karena adanya Bakteri Meningococcus,
staphylococcus atau basal influenza, basal tubercolosa dan adanya iritasi
meningen seperti abses otak, Masuknya cairan serebra spinal menyebar secara
hematogen sampai ke selaput otak, dapat pula secara perkontinuitatum melalui
perifer/langsung masuk ke cairan serebra spinal sehingga dapat menginfeksi
permukaan sub arachnoid terjadilah peradangan selaput otak (meningitis).
Invasi kuman-kuman ke dalam ruang subaraknoid yang dapat meninfeksi CSS
dan menyebabkan reaksi radang pada pia dan araknoid, CSS (Cairan
Serebrospinal) dan sistem ventrikulus)
Lapisan epitel terjadi penempelan yang mengaktivasi makrofag dengan
mediator inflamasi akan terjadi cedera endotel yang menyebabkan terjadinya
peningkatan permeabilitas sel dan Merangsang prostaglandin yang
menyebabkan peregangan maka terjadi udem yang bersamaan dengan eksudat,
lalu terjadi fasokontraksi pembuluh darah. Tekanan Intrakarnial : Nyeri
Kepala, gelisah, menangi dan merintih gejala kelainan serebral, demam.
F. Pemeriksaan Diagnostik
1. Punksi Lumbal : tekanan cairan meningkat, jumlah sel darah putih
meningkat, glukosa menurun, protein meningkat
2. Kultur darah : mengindikasikan adanya mikroorganisme
3. Kultur swab hidung dan tenggorokan : dapat mengindikasikan daerah
pusat infeksi atau mengindikasikan tipe penyebab infeksi
4. MRI atau CT-Scan dengan atau tanpa kontras : untuk mengetahui adanya
kelainan (Suriadi, 2010)
5. Tes Laboratorium : tes ini melakukan darah atau cairan sumsum tulang
belakang. Cairan sumsum tulang belakang diambil dengan proses yang di
sebut pungsi lumbal (lumbar puncture atau spinal tap). Sebuah jarum
ditusukkan pada pertengahan tulang belakang, pas diatas pinggul. Jarum
menyedap contoh cairan sumsum tulang belakang. Tekanan cairan
sumsum tulang belakang dapat diukur. Bila tekanan terlalu tinggi,
sebagian cairantersebut dapat disedot. Tes ini aman dan biasanya tidak
terlalu menyakitkan. Namun setelah pungsi lumbal beberapa orang
mengalami sakit kepala, yang dapat berlangsung beberapa hari. (Israr,
2008)
G. Penatalaksanaan Non-medis
1. Isolasi
2. Terapi antimikroba : antibiotik yang diberikan didasarkan pada. Hasil kultur,
diberikan dengan dosis tinggi melalui intravena
3. Mempertahankan hidrasi optimum : mengatasi kekurangan cairan dan
mencegah kelebihan. Cairan yang dapat menyebabkan edema
4. Mencegah dan mengobati komplikasi : aspirasi efusi subdural (pada bayi),
terapi herapin pada anak yang mengalami DIC
5. Mengontrol kejang : pemberian terapi antipilepsi
6. Mempertahankan ventilasi
7. Mengurangi meningkatnya tekanan intra cranial
8. Mengotrol perubahan suhu lingkungan. Yang ekstrim
9. Memperbaiki anemia (Suriadi, 2010)
BAB II
A. Pengkajian
Identitas : identitas klien, identitas penanggung jawab
Riwayat Keperawatan : riwayat kelahiran, penyakit kronis, neoplasma riwayat
pembedahan otak, cedera kepala
Pada Neonatus : Kaji adanya perilaku menolak untuk makan, reflek mengisap
kurang, muntah atau diare, tonus otot kurang, kurang gerak dan menangis
lemah
Pada anak-anak dan remaja : kaji adanya demam tinggi, sakit kepala, muntah
yang diikuti dengan perubahan sensori, kejang mudah terstimulasi dan
teragitasi, fotofobia, delirium, halusinasi, perilaku agresif atau maniak,
penurunan kesadaran, kaku kuduk, opistotonus, tanda kernig dan Brudzinsky
positif, refleks fisiologis hiperaktif, ptechiae atau pruritus.
Bayi dan anak-anak (usia 3 bulan hingga 2 tahun) : kaji adanya demam, malas
makan, muntah, mudah terstimulasi, kejang, menangis dengan merintih, ubun-
ubun menonjol, kaku kuduk, dan tanda kerniq dan brudzinksy positif.(Suriadi,
2010)
B. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri kepala yang berhubungan dengan peningkatan tekanan intrakranial
2. resiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral
C. Intervensi
1. Nyeri kepala yang berhubungan dengan peningkatan tekanan
intrakranial
Tujuan: dalam waktu 3x24 jam keluhan nyeri berkurang
Kriteria hasil:
1. klien dapat tidur dengan tenang
2. wajah rileks
3. klien memverbalisasikan penurunan rasa sakit.
Intervensi
4. Lakukan latihan gerak aktif atau pasif sesuai kondisi dengan lembut dan
hati
Dapat membantu relaksasi otot-otot yang tegang dan dapat menurunkan nyeri
atau rasa tidak nyaman
Daftar Pustaka
https://www.scribd.com/document/364225840/Laporan-Pendahuluan-Meningitis-
Pada-Anak
Suriadi, dkk. (2010). Asuhan Keperawatan pada Anak. Jakarta : CV. Sagung
Seto.
DISUSUN OLEH :
FITRI RAMADHAN
KEPERAWATAN A
Epilepsi berasal dari kata kerja yunani yang berarti “ menangkap” atau
“menguasai”. Nama gangguan kanvulsif, gangguan kejang, dan kejang
selebrum dengan kata tersebut. Semua kata ini memacu pada episode
disfungsi sistem saraf pusat yang paroksimal rekuren dan bermanifestasi
sebagai perubahan perilaku yang stereotipikal. Epilepsi bukanlah salah satu
entitas, atau bahkan satu sindrom, tetapi lebih merupakan kompleks gejala
yang timbul akibat gangguan fungsi otak yang agangguan fungsinya sendiri
dapat disebabkan oleh berbagai proses patologik.(Rudolph, 2014)
Klasifikasi kejang eptik dan sindrom eptik. Kejang eptik ditimbulksn oleh
bsnysk penyebab dan dapat memperlihatkan manifestasi yang sangat beragam.
Suatu kejang eptik ( kejang tungggal/tersendiri) harus dibedakan dengan
epilepsi (keadaan kejang epileptik yang berulang). Kejang adalah kejadian
epileptik dan merupakan ciri epilepsi yang ada,tetapi tidak semua kejang
merupakan manifestasi epilepsi. Suatu kejang adalah kejadian yang tersendiri,
suatu gejala disfungsi otak. Terdapat berbagai jenis kejang, yang masing-
masing memiliki profil EEG dan perilaku yang khas. Sebagian anak
mengalami kejang swasirna, bagian dari suatu penyakit medis, neurologis,atau
bedah saraf. Sebagian lain mengalami satu kali kejang spontan (unprovoked
seizure) tetapi tidak pernah lagi mengalaminya. Kejang semacam ini bukanlah
epilepsi. Epilepsi adalah suatu gangguan kronik, dengan tanda utama adalah
kejang spontan yang berulang. Banyak anak yang mengidap epilepsi dan
mungkin juga memperlihatkan gejala lain. Kadang-kadang data EEG, klinis,
keluarga, patoetiologis, dan prognostik lain cukup serupa di antara
sekelompok pasien epilepsi sehingga dapat dibuat suatu sindrom epileptik
yang lebih spesifik. (Rudolph, 2014)
Klasifikasi kejang dan epilepsi sangat penting dari segi praktis; klaririkasi ini
bukan untuk kepentingan akademik atau teoritis semata. Perkembangan obat
antiepilepsi yang relatif spesifik,peningkatan penerapan tindakan beda pada
pasien dengan kejang yang tidak terkontol, diketahuinya bahwa berbagai
kejang dan bentuk epilepsi memiliki riwayat alamiah yang berbeda disertai
perbedaan kebutuhan tentang kapan dan berapa lama pengobatannya, dan
kesadaran bahwa protokol riset hanya bermanfaat apabila pasien studi epilepsi
dapat dikategorisasikan secara akurat adala contoh alasan perlunya skema
klasifikasi epilepsi. (Rudolph, 2014)
Kejang di kalsifikasikan berdasarkan sistomatologi klinis yang ditambah
data EEG. Pada awalnya, kejang hanya dijabarkan sebagai “besar” (grand
mal) atau “kecil” (petit mal). Istilah ketiga “psikomotor”, kemudian diajukan
untuk menerangkan serangan serangan aktivitas motorik nonkonvulsif quasi-
purposeful” (yang tujuannya tidak benar/tepat), fenomena psikoilusi yang
jelas, dan gangguan kesadaran. Walaupun saat ini masih digunakan, tetapi
istilah-istilah tersebut seyogianya ditinggalkan. (Rudolph, 2014)
Suatu sistem uniform mengklasifikasikan kejang epileptik di kembangkan
pada tahun 1964 oleh suatu komisi khusus pada the internasional leangue
againt Epilepsy. Suatu klasifikasi revisi (Epilepsia 22:489,1981)
megategorisasikan kejang berdasarkan pola klinis dan gambaran EEG iktus
dan antariktus. (Rudolph, 2014)
B. Anatomi Fisologi
1. Anatomi
a. Otak
Otak adalah suatu alat tubuh yang sangat penting karena
merupakan pusat komputer dari semua alat tubuh, bagian dari syaraf
sentral yang terletak di dalam rongga tengkorak (Kranium) yang
dibungkus oleh selaput otak yang kuat. Bagian-bagian otak :
1) Hipotalamus merupakan bagian ujung depan diesenfalon yang terletak
di bawah sulkus hipotalamik dan di depan nucleus interpundenkuler
hipotalamus terbagi dalam berbagai inti dan daerah inti. Terletak pada
anterior dan inferior talamus berfungsi mengontrol dan mengatur
sistem syaraf autonom juga bekerja dengan hipofisis untuk
mempertahankan keeimbangan cairan, mempertahankan pengaturan
suhu tubuh melalui peningkatan vasokontriksi atau vasodilatasi dan
mempengaruhi sekresi hormonal dengan kelenjar hipofisis, juga
sebagai pusat lapar dan mengontrol berat badan, sebagai pengatur
tidur, tekanan darah, perilaku agresif dan seksual dan pusat respon
emosional.
2) Talamus berada pada salah satu sisi pada sepertiga ventrikel dan
aktivitas primernya sebagai pusat penyambung sensasi bau yang
diterima semua impuls memori, sensasi dan nyeri melalui bagian ini.
3) Traktus Spinotalamus (serabut-serabut segera menyilang kesisi yang
berlawanan dan masuk ke medulla spinulis dan naik). Bagian ini
bertugas mengirim impuls nyeri dan temperatur ke talamus dan kortek
serebri.
4) Kelenjar Hipofisis dianggap sebagai masker kelenjar karena sejumlah
hormon hormon dan fungsinya diatur oleh kelenjar ini. Hipofisis
merupakan bagian otak yang tiga kali lebih sering timbul tumor pada
orang dewasa.
5) Hipotesis Termostatik : mengajukan bahwa suhu tubuh diatas titik
tersebut akan menghambat nafsu makan.
6) Mekanisme Aferen : empat hipotesis utama tentang mekanisme aferen
yang terlibat dalam pengaturan masukan makanan telah diajukan, dan
keempat hipotesis itu tidak ada hubunganya satu dengan yang lain.
2. Fisiologi
Hipotalamus mempunyai fungsi sebagai pengaturan suhu tubuh dan untuk
mempertahankan keseimbangan cairan dalam tubuh.
a. Pirogen Endogen
Demam yang ditimbulkan oleh Sitokin mungkin disebabkan oleh
pelepasan prostaglandin lokal di hipotalamus. Penyuntikan
prostaglandin kedalam hipotalamus menyebabkan demam. Selain itu
efek antipiretik aspirin bekerja langsung pada hipotalamus, dan aspirin
menghambat sintesis prostaglandin.
b. Pengaturan Suhu
Dalam tubuh, panas dihasilkan oleh gerakan otot, asimilasi
makanan, dan oleh semua proses vital yang berperan dalam
metabolisme basal. Panas dikeluarkan dari tubuh melalui radiasi,
konduksi (hantaran) dan penguapan air disaluran nafas dan kulit.
Keseimbangan pembentukan pengeluaran panas menentukan suhu
tubuh, karena kecepatan reaksi-reaksi kimia bervariasi sesuai dengan
suhu dank arena sistem enzim dalam tubuh memiliki rentang suhu
normal yang sempit agar berfungsi optimal, fungsi tubuh normal
bergantung pada suhu yang relatif konstan (Price Sylvia A : 1995)
C. Etiologi
Sebesar 10% -20% tidak dapat ditemukan etiologinya dan sebaliknya
tidak jarang ditemukan lebih dari satu penyebab kejang pada neonatus
1. Gangguan vaskuler
Perdarahan berupa petekia akibatanaksia dan asfiksia yang dapat terjadi
antravertikel, sedangkan perdarahan akibat trauma langsung yaitu
pendarahan di subaraknoidal atau subdural, terjadi trombosis, adanya
penyakit perdarahan seperti devenisi vitamin K, sindrom hiperveskositas
di sebabkan oleh meningginya jumlah eritrosit dan dapat diketahui dari
peninggalan kadar hemotokrit. Gejala klinisnya antara lain pletora,
sianosis, latergi dan kejang. (Creator, Software, & Humano, 2006)
2. Gangguan metabolisme
gangguan metabolisme meliputi hipokalsemia, hipomagnesia,
hipoglikemia, defisiensi dan ketergangguan akan piridoksin,
aminoasiduria, hiponatremia, hiperbilirubenia. (Creator, Software, &
Humano, 2006)
3. infeksi
Infeksi meliputi: meningitis sapsis, ensefalitis, toksoplasmagagenital,
penyakit-penyakit cytomeganic inclusion. (Creator, Software, & Humano,
2006)
4. Kelainan kogenital
Meliputi : porensetali, hidransefali, agnesis (sebagian dari otak).(Creator,
Software, & Humano, 2006)
Menurut Rabdel jhon (1999) kejang demam dapat disebabkan oleh:
a. Demam tinggi. Demam dapat disebabkan oleh karena tonsilitis,
faringitis,otitis media, gastroentritis, bronkhitis, dll
b. Efek produk toksik dari mikroorganisme (kuman dan otak) terhadap
otak.
c. Perubahan cairan elektrosit
d. Perubahan cairan dan eletrolit
e. Faktor predisposisi kejang demam antara lai:
Riwayat keluarga dengan demam biasanya positif, mencapai 60%kasus
diturunkan secara dominan, tetapi gejala yng muncul tidak lengkap.
Adanya latar belakang kelainan masa pre-natal dan perinatal tinggi.
(Creator, Software, & Humano, 2006)
Penyrban kejang mencakup faktor-faktor perinatal, malinformasi otak
kongenial, faktor genetik, penyakit infeksi (seperti meningitis),
prnyakit demam, gangguan metabolisme, trauma, neuplasma toksin,
sirkulasi, dan penyakit degeneratif susunan syaraf. (Creator, Software,
& Humano, 2006)
D. Patofisiologi
Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel atau organ otak
diperlukan suatu energi yang didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk
metabolisme otak yang terpenting adalah glaukosa. Sifat proses itu adalah
oksidasi dimana oksigen disediakan dengan peraataraan fungsi paru dan
diteruskan ke otak melalui system kardiovaskuler. Jadi sumber energi otak
adalah glukosa yang melalui proses oksidasi dipecah menjadi CO2 dan air. Sel
dikelilingi oleh suatu membrane yang terdiri dari permukaan dalam adalah
lipoid dan permukaan luar adalah ionic. Dalam keadaan normal membrane sel
neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion kalium (K+) dan sangat sulit
dilalui oleh ion natrium (NA+) dan elektrolit lainnya, kecuali ion klorida (Cl-).
Akibatnya konsentrasi K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi Na+
rendah, sedangkan diluar sel neuron terdapat keadaan sebaliknya. Karena
perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di luar sel, maka terdapat
perbedaan yang disebut potensial membrane dari sel neuron. Untuk menjaga
keseimbangan potensial membrane ini diperlukan energi dan bantuan enzim
Na-K-ATPase yang terdapat pada permukaan sel.
Keseimbangan potensial membrane ini dapat dirubah oleh adanya :
1. perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler.
2. rangsangan yang datangnya mendadak misalnya mekanis, kimiawi atau
aliran listrik dari sekitarnya.
3. perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau
keturunan.
Pada keadaan demam kenaikan suhu 10C akan mengakibatkan kenaikan
metabolisme basal10%-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%.
Pada seorang anak berumur 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh
tubu, dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15%. Jadi pada
kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari
membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion
kalium maupun ion Natrium melalui membran tadi, dengan akibat terjadinya
lepas muatan listrik.
Lepas muatan ini demikian besarnya sehingga dapat meluas keseluruh
sel maupun ke membran sel tetangganya dengan bantuan bahan yang disebut
neurotransmiter dan terjadilah kejang. Tiap anak mempunyai ambang kejang
yang berbeda dan tergantung dari tinggi rendahnya ambang kejang seseorang
anak menderita kejang pada kenaikan suhu tertentu. Pada anak dengan
ambang kejang yang rendah, kejang terjadi pada suhu 380C sedangkan pada
anak dengan ambang kejang yang tinggi, kejang baru terjadi pada suhu 400C
atau lebih. Dari kenyataan ini dapatlah disimpulkan bahwa terulangnya kejang
demam lebih sering terjadi pada ambang kejang yang rendah sehingga dalam
penanggulangannya perlu diperhatikan pada tingkat suhu berapa penderita
kejang. Kejang demam yang berlangsung singkat pada umumnya tidak
berbahaya dan tidak menimbulkan gejala sisa. Tetapi pada kejang yang
berlangsung lama ( lebih dari 15 menit) biasanya disertai terjadinya apnea,
meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang
akhirnya terjadi hipoksemia, hiperkapnia, asidosis laktat disebabkan oleh
metabolisme anaerob, hipotensi arterial disertai denyut jantung yang tidak
teratur dan suhu tubuh makin meningkat disebabkan meningkatnya aktivitas
otot dan selanjutnya menyebabkan metabolisme otak meningkat
Rangkaian kejadian diatas adalah faktor penyebab hingga terjadinya
kerusakan neuron otak selama berlangsungnya kejang lama. Faktor terpenting
adalah gangguan peredaran darah yang mengakibatkan hipoksia sehingga
meninggikan permeabilitas kapiler dan timbul edema otak yang
mengakibatkan kerusakan sel neuron otak. Kerusakan pada daerah mesial
lobus temporalis setelah mendapat serangan kejang yang berlangsung lama
dapat menjadi “matang” di kemudian hari, sehingga terjadi serangan epilepsi
yang spontan. Jadi kejang demam yang berlangsung lama dapat menyebabkan
kelainan anatomis di otak hingga terjadi epilepsi.(FKUI, 2007).
E. Tanda Dan Gejala ( Manifestasi Klinis)
1. Kejang parsial ( fokal, lokal )
a. Kejang parsial sederhana :
Kesadaran tidak terganggu, dapat mencakup satu atau lebih hal
berikut ini :
1) Tanda – tanda motoris, kedutan pada wajah, atau salah satu sisi
Tanda atau gejala
otonomik: muntah, berkeringat, muka merah, dilatasi pupil.
2) Gejala somatosensoris atau sensoris khusus : mendengar musik,
merasa seakan jatuh dari udara, parestesia.
3) Gejala psikis : dejavu, rasa takut, visi panoramik.
4) Kejang tubuh; umumnya gerakan setipa kejang sama.
b. Parsial kompleks
1) Terdapat gangguan kesadaran, walaupun pada awalnya sebagai
kejang parsial simpleks
2) Dapat mencakup otomatisme atau gerakan otomatik : mengecap –
ngecapkan bibir,mengunyah, gerakan menongkel yang berulang –
ulang pada tangan dan gerakan tangan lainnya.
3) Dapat tanpa otomatisme : tatapan terpaku
2. Kejang umum ( konvulsi atau non konvulsi )
a. Kejang absens
1) Gangguan kewaspadaan dan responsivitas
2) Ditandai dengan tatapan terpaku yang umumnya berlangsung
kurang dari 15 detik
3) Awitan dan akhiran cepat, setelah itu kempali waspada dan
konsentrasi penuh
b. Kejang mioklonik
1) Kedutan – kedutan involunter pada otot atau sekelompok otot yang
terjadi secara mendadak.
2) Sering terlihat pada orang sehat selaam tidur tetapi bila patologik
berupa kedutan keduatn sinkron dari bahu, leher, lengan atas dan
kaki.
3) Umumnya berlangsung kurang dari 5 detik dan terjadi dalam
kelompok
4) Kehilangan kesadaran hanya sesaat.
c. Kejang tonik klonik
1) Diawali dengan kehilangan kesadaran dan saat tonik, kaku umum
pada otot ekstremitas, batang tubuh dan wajah yang berlangsung
kurang dari 1 menit
2) Dapat disertai hilangnya kontrol usus dan kandung kemih
3) Saat tonik diikuti klonik pada ekstrenitas atas dan bawah.
4) Letargi, konvulsi, dan tidur dalam fase postictal
d. Kejang atonik
1) Hilngnya tonus secara mendadak sehingga dapat menyebabkan
kelopak mata turun, kepala menunduk,atau jatuh ke tanah.
2) Singkat dan terjadi tanpa peringatan.(Nurul, 2015)
F. Pemeriksaan Penunjang
1) Elektroensefalogram ( EEG ) : dipakai unutk membantu menetapkan jenis dan
fokus dari kejang.
2) Pemindaian CT : menggunakan kajian sinar X yang lebih sensitif dri biasanya
untuk mendeteksi perbedaan kerapatan jaringan.
3) Magneti resonance imaging ( MRI ) : menghasilkan bayangan dengan
menggunakan lapanganmagnetik dan gelombang radio, berguna untuk
memperlihatkan daerah – daerah otak yang Tidak jelas terliht bila
menggunakan pemindaian CT.
4) Pemindaian positron emission tomography ( PET ) : untuk mengevaluasi
kejang yang membandel dan membantu menetapkan lokasi lesi, perubahan
metabolik atau alirann darah dalam otak.
5) Uji laboratorium
a. Pungsi lumbal : menganalisis cairan serebrovaskuler
b. Hitung darah lengkap : mengevaluasi trombosit dan hematokrit
c. Panel elektrolit
d. Skrining toksik dari serum dan urin
e. GDA
f. Kadar kalsium darah
g. Kadar natrium darah
h. Kadar magnesium darah(Alrvin, 2000)
G. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan Non Medis
a) Pakaian anak diusahakan tidak tebal
b) Memberikan minuman yang banyak karena kebutuhan air meningkat
c) Anak harus di baringkan di tempat yang datar dengan posisi
menyamping, bukan terlentang, untuk menghindari bahaya tersedak.
d) Jangan memegangi anak untuk melawan kejang.(Kania, 2007a)
2. Penatalaksanaan Medis
Jika anak di bawa kefasilitas kesehatan , penanganan yang akan di
lakukan selain point-point di atas adalah sebagai berikut :
a) Memastikan jalan nafas anak tidak tersumbat
b) Pemberian oksigen melalui face mask
c) Pemberian diazepam 0.5 mg / kg berat badan per rectal (melalui) atau
jika terpasang selang infuse 0.2 mg / kg per infuse
d) Pengawasan tanda-tanda depresi pernafasan
Berikut ini table dosis diazepam yang di berikan :
USIA Dosis IV Dosis per rectal
(infuse) (0,2 ( 0.5 mg / kg )
mg/kg)
< 1 tahun 1-2 mg 2.5 – 5 mg
1 – 5 tahun 3 mg 7.5 Mg
5-10 tahun 5 mg 10 mg
>10 tahun 5-10 mg 10 – 15 mg
A. Pengkajian
1. Identitas
Identitas pasien meliputi : nama, jenis kelamin, umur, pekerjaan,
pendidikan, status perkawinan, agama, kebangsaan, suku, alamat, tanggal
dan jam MRS, no. register ruangan, serta identitas yang bertanggung
jawab.
2. Keluhan Utama
Pada umumnya klien panas yang meninggi disertai kejang (Hipertermi).
3. Riwayat Kesehatan
4. Riwayat Penyakit Sekarang
Menanyakan tentang keluhan yang dialami sekarang mulai dari panas,
kejang, kapan terjadi, berapa kali, dan keadaan sebelum, selama dan
setalah kejang.
5. Riwayat Penyakit Dahulu
Penyakit yang diderita saat kecil seperti batuk, pilek, panas. Pernah di
rawat dinama, tindakan apa yang dilakukan, penderita pernah mengalami
kejang sebelumnya, umur berapa saat kejang. (Yuliani, 2010)
6. Riwayat Penyakit Keluarga
Tanyakan pada keluarga kx tentang di dalam keluarga ada yang menderita
penyakit yang diderita oleh klien seperti kejang atau epilepsi.
7. Aktifitas dan istirahat
Gejala : keletihan,kelemahan umum,keterbatasan dalam beraktivitas atau
bekerja yang di timbulkan oleh diri sendiri atau orang terdekat atau
pemberi asuhan kesehatan atau orang lain.
Tanda : perubahan tonus atau kekuatan otot, gerakan involunter atau
kontraksi otot ataupun sekelompok otot. (Yuliani, 2010)
8. Sirkulasi
Gejala : Ikfal,hiperfensi,peningkatan nadi,sianosis
Postiktal : tanda-tanda fital normal atau depresi dengan penurunan nadi
dan pernafasan. (Yuliani, 2010)
9. Eliminasi
Gejala : inkontinensia episodic
Tanda : a. Iktal adalah peningkatan tekanan kandung kemih tonus spingfer
b. postikal adalah otot relaksasi yang mengakibatkan inkontinensia ( baik
urin atau Fekal ). (Yuliani, 2010)
10. Nyeri atau kenyamanan
Gejala : sakit kepala, nyeri otot, atau punggung, nyeri abdominal
Tanda : tingkah laku yang berhati-hati, perubahan pada tonus otot, tingkah
laku distraksi atau gelisah. (Yuliani, 2010)
11. Makanan dan Cairan
Gejala : sensivitas terhadap makanan , mual atau muntah yang
berhubungan efektifitas kejang.
Tanda : kerusakan jaringan atau gigi ( cidera selama kejang) (Yuliani,
2010)
12. Pernafasan
Gejala : iktal : gigi mengatup, sianosis, pernafasan menurun atau cepat
peningkatan sekresi mucus. (Yuliani, 2010)
13. keamanan
Gejala : riwayat terjatuh atau trauma, fraktur
Tanda : trauma pada jaringan lunak atau ekimosis penurunan kekuatan
atau tonus otot secara menyeluruh. (Yuliani, 2010)
B. Diagnosa fokus
1. Resiko terjadinya hipoksia b/d kejang
2. Resiko tinggi injuri berhubungan dengan kejang
C. Intervensi
1. Resiko terjadinya hipoksia berhubungan dengan kejang
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan hipoksia tidak
terjadi
Criteria hasil: 1. Hipoksia tidak terjadi dan tidak terjadi penurunan
kesadaran.
INTERVENSI RASIONAL
1. baringkan pasien di tempat 1. Mencegah aspirasi isi
yang rata, kepala lambung serta menghindari
dimiringkan dan pasang dari cedera bibir dan gigi
sudip lidah yang telah patag
dibungkus kain kasa 2. Memudahkan pasien untuk
2. Tinggikan pagar tempat bernafas dan menghindari
tidur dan longkarkan cedera
pakaian pasien 3. Membersihkan secret dan
3. Isap lender sampai bersih memudahkan pernafasan
dan berikan o2 sesuai
dengan program yang ada
2. Evaluasi
Merupakan fase akhir dari proses keperawatan adalah evaluasi terhadap
asuhan keperawatan yang diberikan (Gaffar, 1997). Evaluasi asuhan
keperawatan adalah tahap akhir proses keperawatan yang bertujuan untuk
menilai hasil akhir dari keseluruhan tindakan keperawatan yang dilakukan.
Hasil akhir yang diinginkan dari perawatan pasien Kejang Demam
meliputi pola pernafasan kembali efektif, suhu tubuh kembali normal, anak
menunjukkan rasa nymannya secara verbal maupun non verbal, kebutuhan
cairan terpenuhi seimbang, tidak terjadi injury selama dan sesudah kejang dan
pengatahuan orang tua bertambah.
Evaluasi ini bersifat formatif, yaitu evaluasi yang dilakukan secara terus
menerus untuk menilai hasil tindakan yang dilakukan disebut juga evaluasi
tujuan jangka pendek. Dapat pula bersifat sumatif yaitu evaluasi yang
dilakukan sekaligus pada akhir dari semua tindakan yang pencapaian tujuan
jangka panjang.
Komponen tahapan evaluasi :
a. Pencapaian kriteria hasil
Pencapaian dengan target tunggal merupakan meteran untuk
pengukuran. Bila kriteria hasil telah dicapai, kata “ Sudah Teratasi “ dan
datanya ditulis di rencana asuhan keperawatan. Jika kriteria hasil belum
tercapai, perawat mengkaji kembali klien dan merevisi rencana asuhan
keperawatan.
b. Keefektifan tahap – tahap proses keperawatan
Faktor – faktor yang mempengaruhi pencapaian kriteria hasil dapat
terjadi di seluruh proses keperawatan.
1) Kesenjangan informasi yang terjadi dalam pengkajian tahap satu.
2) Diagnosa keperawatan yang salah diidentifikasi pada tahap dua
3) Instruksi perawatan tidak selaras dengan kriteria hasil pada tahap
tiga
4) Kegagalan mengimplementasikan rencana asuhan keperawatan
tahap empat.
5) Kegagalan mengevaluasi kemajuan klien pada tahap ke lima.
DAFTAR PUSTAKA
Alrvin, B. K. (2000). ilmu kesehatan anak. jakarta: EGC.
Creator, F. P. D. F., Software, F., & Humano, D. (2006). Generated by Foxit PDF
Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only .
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software. Dementia, 1–16.
https://doi.org/10.1038/nnano.2012.95
Kania, N. (2007a). Kejang pada anak, 1–6.
Kania, N. (2007b). Penatalaksanaan Demam Pada Anak. Ui, 1–7.
Nurul, H. (2015). Pengetahuan Ibu Mengenai Penanganan Pertama Kejang
Demam Pada Anak.
Rudolph, A. m. dkk. (2014). buku ajar pediatri RUDOLPH. jakarta: EGC.
Yuliani, S. &. (2010). Asuhan Keperawatan Pada Anak. jakarta: sagung seto.