Anda di halaman 1dari 10

 

Latar belakang perubahan KTSP 2006 ke K-2013 adalah sebuah perubahan proses
pembelajaran, karena pada kurikulum KTSP dinilai banyak permasalahan yang ada dalam
sebuah pendidikan yang ada. Berbagai permasalahan yang di hadapi baik berupa (I) padatnya
konten materi sebuah kurikulum yang ada, yaitu banyaknya mata pelajaran dan materi
pelajaran yang dinilai sulit untuk tingkat kemampuan anak, (II) belum sepenuhnya berbasis
kompetensi sesuai dengan tuntutan pendidikan nasiaonal, (III) kompetensi belum
menggambarkan secara holistik baik dari segi sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang
lebih dominan, (IV) tidak peka terhadap perubahan sosial baik pada tingkat lokal, nasional,
maupun global, (V) pembelajaran hanya berpusat pada guru, (VI) standar penilaian hanya
berpusat pada proses dan hasil, (VII) KTSP memerlukan dokumen kurikulum yang lebih rinci
agar tidak multitafsir.

Permasalahan
Secara umum kurikulum pendidikan dasar dan menengah menghadapi dua permasalahan
pokok: “Pertama” yang berkaitan dengan materi/perangkat pengaturan yang ditetapkan oleh
pusat (kurikulum tertulis), dan “Kedua” pelaksanaan dari kurikulum yang ditetapkan.
Secara garis besar permasalahan kurikulum dapat diuraikan sebagai berikut:
Permasalahan yang Berkaitan dengan Kurikulum Tertulis
Yang dimaksud dengan kurikulum (tertulis) adalah dokumen KTSP yang disusun dan
dikembangkan oleh sekolah yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan
belajar mengajar di sekolah.
Masalah yang dihadapi adalah:

1. Sekolah mengalami kesulitan dalam menyusun isi dokumen KTSP, mulai dari
pembuatan misi dan visi sekolah, pemilihan materi pelajaran, hingga penyusunan
silabus. Hal ini dikarenakan sumber daya manusianya kurang memadai.
2. Kekurangpahaman pihak sekolah terhadap penyusunan KTSP mengakibatkan banyak
sekolah membuat KTSP asal jadi saja, mengadopsi mentah-mentah KTSP yang
disusun oleh sekolah lain tanpa menyesuaikan dengan kondisi sekolah yang
bersangkutan.
3. Kesulitan dalam menyusun kurikulum yang sesuai dengan tuntutan pembangunan
nasional (kebutuhan tenaga bidang industri dan bidang lainnya yang belum sinkron
dengan perencanaan pendidikan sebagai penghasil lulusan / tenaga kerja).
4. Tidak mudah memilih materi dan komposisi kurikulum yang tepat untuk mendukung
berbagai tujuan yang telah ditetapkan sesuai kemampuan dan perkembangan jiwa
anak.
5. Pengembangan kurikulum tidak melibatkan tim kerja yang kompak dan transparan,
baik dari komponen guru maupun masyarakat.
6. Sebagai guru borongan, guru-guru SD mengalami kesulitan dalam menganalisis setiap
mata pelajaran dalam kurikulum dan menentukan bahan ajar yang sesuai dengan
karakteristik lingkungan serta peserta didik.

Permasalahan yang berkaitan dengan Pelaksanaan Kurikulum


Dalam melaksanakan kurikulum nasional ditemukan berbagai permasalahan, antara lain:

1. Besarnya sasaran pembinaan pendidikan dasar dan menengah tidak mudah mencukupi
keperluan sarana/alat pendukung untuk melaksanakan kurikulum (antara lain: buku
kurikulum, buku pelajaran, alat peraga, alat praktek).
2. Besarnya jumlah guru pendidikan dasar dan menengah yang tersebar diseluruh tanah
air, sulit mendapatkan pembinaan yang intensif dan merata untuk dapat melaksanakan
kurikulum pendidikan nasional dengan sebaik-baiknya.
3. Kurangnya jumlah dan mutu tenaga supervisi serta fasilitas pendukungnya,
mengakibatkan pelaksanaan supervisi tidak dapat dilakukan dengan baik.
4. Sistem penataran guru dalam rangka meningkatkan kemampuan untuk melaksanakan
kurikulum pendidikan nasional belum mantap. Tak jarang guru yang dikirimkan
untuk mengikuti penataran adalah orang yang itu-itu saja dan hasilnya tidak
disampaikan secara maksimal kepada guru lainnya.
5. Belum terciptanya kondisi yang kondusif yang memberikan kemungkinan para
pelaksana pendidikan (Pembina, Kepala Sekolah, dan Guru) untuk melaksanakan
tugasnya secara kreatif, inovatif, dan bertanggung jawab.
6. Peran KKG dan MGMP yang tidak maksimal menyebabkan terhambatnya sosialisasi
KTSP.
7. Kurangnya sosialisasi KTSP, keterlambatan pengesahan pedoman standar penilaian
oleh BSNP, keterlambatan pencetakan buku rapor siswa berdampak pada kinerja guru
di sekolah.

Pada bagian ini mari kita mengenali kelebihan dan kekurangan KTSP:
Kelebihan KTSP
[1] Mendorong terwujudnya otonomi luas kepada sekolah dan satuan pendidikan
Tidak dapat dipungkiri bahwa salah satu bentuk kegagalan pelaksanaan kurikulum di masa
lalu adalah adanya penyeragaman kurikulum di seluruh Indonesia, tidak melihat kepada
situasi riil di lapangan, dan kurang menghargai potensi keunggulan lokal. Dengan adanya
penyeragaman ini, sekolah di kota sama dengan sekolah di daerah pinggiran maupun di
daerah pedesaan.
Penyeragaman kurikulum ini juga berimplikasi pada beberapa kenyataan bahwa sekolah di
daerah pertanian sama dengan sekolah yang daerah pesisir pantai, sekolah di daerah industri
sama dengan di wilayah pariwisata. Oleh karenanya, kurikulum tersebut menjadi kurang
operasional, sehingga tidak memberikan kompetensi yang cukup bagi peserta didik untuk
mengembangkan diri dan keunggulan khas yang ada di daerahnya.
Sebagai implikasi dari penyeragaman ini akibatnya para lulusan tidak memiliki daya
kompetitif di dunia kerja dan berimplikasi pula terhadap meningkatnya angka pengangguran.
Untuk itulah kehadiran KTSP diharapkan dapat memberikan jawaban yang konkrit terhadap
mutu dunia pendidikan di Indonesia.
Dengan semangat otonomi itu, sekolah bersama dengan komite sekolah dapat secara
bersama-sama merumuskan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan, situasi, dan kondisi
lingkungan sekolah. Sebagai sesuatu yang baru, sekolah mungkin mengalami kesulitan dalam
penyusunan KTSP.
Oleh karena itu, jika diperlukan, sekolah dapat berkonsultasi baik secara vertikal maupun
secara horizontal. Secara vertikal, sekolah dapat berkonsultasi dengan Dinas Pendidikan
Daerah Kabupaten atau Kota, Dinas Pendidikan Provinsi, Lembaga Penjamin Mutu
Pendidikan (LPMP) Provinsi, dan Departemen Pendidikan Nasional.
Sedangkan secara horizontal, sekolah dapat bermitra dengan stakeholder pendidikan dalam
merumuskan KTSP. Misalnya, dunia industri, kerajinan, pariwisata, petani, nelayan,
organisasi profesi, dan sebagainya agar kurikulum yang dibuat oleh sekolah benar-benar
mampu menjawab kebutuhan di daerah di mana sekolah tersebut berada.
[2] Mendorong para guru, kepala sekolah, dan pihak manajemen sekolah untuk
semakin meningkatkan kreativitasnya dalam penyelenggaraan program-program
pendidikan
Dengan berpijak pada panduan kurikulum tingkat satuan pendidikan dasar dan menengah
yang dibuat oleh BNSP, sekolah diberi keleluasaan untuk merancang, mengembangkan, dan
mengimplementasikan kurikulum sekolah sesuai dengan situasi, kondisi, dan potensi
keunggulan lokal yang bisa dimunculkan oleh sekolah. Sekolah bisa mengembangkan standar
yang lebih tinggi dari standar isi dan standar kompetensi lulusan.
Dengan demikian dapat terjadi persaingan yang cukup sehat diantara sekolah-sekolah dalam
meningkatkan mutu pendidikan. Keberadaan suatu sekolah pun, pencitraan sekolah, kualitas
lulusan yang dihasilkan pada akhirnya menjadi tolak ukur masyarakat dalam penilaian kinerja
sekolah. Hal ini dapat menyebabkan seleksi alam, bahwa hanya sekolah bermutulah yang
akan bertahan dan diminati masyarakat, sedangkan sekolah dengan kinerja yang kurang baik
akan ter-eleminasi. Mau tak mau sekolah harus meningkatkan kualitasnya untuk
mempertahankan eksistensinya.
[3] Memberikan kesempatan bagi masyarakat dan orangtua untuk berpartisipasi
dalam menentukan arah kebijakan pendidikan di sekolah
Sebagaimana diketahui, prinsip pengembangan KTSP adalah:

 (1) Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik
dan lingkungannya;
 (2) Beragam dan terpadu;
 (3) Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;
 (4) Relevan dengan kebutuhan kehidupan;
 (5) Menyeluruh dan berkesinambungan;
 (6) Belajar sepanjang hayat;
 (7) Dan seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah.

Berdasarkan prinsip-prinsip ini, KTSP sangat relevan dengan konsep desentralisasi


pendidikan sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah dan konsep manajemen berbasis
sekolah (MBS) yang mencakup otonomi sekolah di dalamnya. Pemerintah daerah dapat lebih
leluasa berimprovisasi dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Di samping itu, sekolah
bersama komite sekolah diberi otonomi menyusun kurikulum sendiri sesuai dengan
kebutuhan di lapangan.
[4] KTSP sangat memungkinkan bagi setiap sekolah untuk menitikberatkan dan
mengembangkan mata pelajaran tertentu yang akseptabel bagi kebutuhan siswa
Sesuai dengan kebijakan Departemen Pendidikan Nasional yang tertuang dalam Peraturan
Mendiknas No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi (SI) dan Peraturan Mendiknas No. 23
tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan (SKL), sekolah diwajibkan menyusun
kurikulumnya sendiri. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) itu memungkinkan
sekolah menitikberatkan pada mata pelajaran tertentu yang dianggap paling dibutuhkan
siswanya.
Sebagai contoh misalnya, sekolah yang berada dalam kawasan pariwisata dapat lebih
memfokuskan pada mata pelajaran bahasa Inggris atau mata pelajaran di bidang
kepariwisataan lainnya. Sekolah-sekolah tersebut tidak hanya menjadikan materi bahasa
Inggris dan kepariwisataan sebagai mata pelajaran saja, tetapi lebih dari itu menjadikan mata
pelajaran tersebut sebagai sebuah keterampilan.
Sehingga kelak jika peserta didik di lingkungan ini telah menyelesaikan studinya bila mereka
tidak berkeinginan untuk melanjutkan studinya ke jenjang perguruan tinggi mereka dapat
langsung bekerja menerapkan ilmu dan ketrampilan yang telah diperoleh di bangku sekolah.
KTSP ini sesungguhnya lebih mudah, karena guru diberi kebebasan untuk mengembangkan
kompetensi siswanya sesuai dengan lingkungan dan kultur daerahnya. KTSP juga tidak
mengatur secara rinci kegiatan belajar mengajar (KBM) di kelas, tetapi guru dan sekolah
diberi keleluasaan untuk mengembangkannya sendiri sesuai dengan kondisi murid dan
daerahnya. Di samping itu yang harus digarisbawahi adalah bahwa yang akan dikeluarkan
oleh BNSP tersebut bukanlah kurikulum tetapi tepatnya Pedoman Penyusunan Kurikulum
2006.
[5] KTSP akan mengurangi beban belajar siswa yang sangat padat dan memberatkan
kurang lebih 20%.
KTSP dapat mengurangi beban belajar sebanyak 20% karena materi dalam KTSP disusun
lebih sederhana. Di samping jam pelajaran akan dikurangi antara 100-200 jam per tahun,
bahan ajar yang dianggap memberatkan siswa pun akan dikurangi. Meskipun terdapat
pengurangan jam pelajaran dan bahan ajar, KTSP tetap memberikan tekanan pada
pengembangan kompetensi siswa.
Pengurangan jam belajar siswa tersebut merupakan rekomendasi dari BNSP. Rekomendasi
ini dapat dikatakan cukup unik, karena selama bertahun-tahun beban belajar siswa tidak
mengalami perubahan, dan biasanya yang berubah adalah metode pengajaran dan buku
pelajaran semata. Jam pelajaran yang biasa diterapkan kepada siswa sebelunya berkisar
antara 1.000-1.200 jam pelajaran dalam setahun.
Jika biasanya satu jam pelajaran untuk siswa SD, SMP dan SMA adalah 45 menit, maka
rekomendasi BNSP ini mengusulkan pengurangan untuk SD menjadi 35 menit setiap jam
pelajaran, untuk SMP menjadi 40 menit, dan untuk SMA tidak berubah, yakni tetap 45 menit
setiap jam pelajaran. Total 1.000 jam pelajaran dalam satu tahun ini dengan asumsi setahun
terdapat 36-40 minggu efektif kegiatan belajar mengajar.dan dalam seminggu tersebut
meliputi 36-38 jam pelajaran.
Alasan diadakannya pengurangan jam pelajaran ini karena menurut pakar-pakar pendidikan
anak bahwa jam pelajaran di sekolah-sekolah selama ini terlalu banyak. Apalagi kegiatan
belajar mengajar masih banyak yang terpaku pada kegiatan tatap muka di kelas. Sehingga
suasana yang tercipta pun menjadi terkesan sangat formal. Dampak yang mungkin tidak
terlalu disadari adalah siswa terlalu terbebani dengan jam pelajaran tersebut. Akibat lebih
jauh lagi adalah mempengaruhi perkembangan jiwa anak.
Persoalan ini lebih dirasakan untuk siswa SD dan SMP. Dalam usia yang masih anak-anak,
mereka membutuhkan waktu bermain yang cukup untuk mengembangkan kepribadiannya.
Suasana formal yang diciptakan sekolah, ditambah lagi standar jam pelajaran yang relatif
lama, tentu akan memberikan dampak tersendiri pada psikologis anak. Banyak pakar yang
menilai sekolah selama ini telah merampas hak anak untuk mengembangkan kepribadian
secara alami.
Inilah yang menjadi dasar pemikiran bahwa jam pelajaran untuk siswa perlu dikurangi. Meski
demikian, perngurangan itu tidak dilakukan secara ekstrim dengan memangkas sekian jam
frekwensi siswa berhubungan dengan mata pelajaran di kelas. Melainkan memotong sedikit,
atau menghilangkan titik kejenuhan siswa terhadap mata pelajaran dalam sehari akibat terlalu
lama berkutat dengan pelajaran itu.
[6] KTSP memberikan peluang yang lebih luas kepada sekolah-sekolah plus untuk
mengembangkan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan.
Pola kurikulum baru (KTSP) akan memberi angin segar pada sekolah-sekolah yang menyebut
dirinya nasional plus. Sekolah-sekolah swasta yang kini marak bermunculan itu sejak
beberapa tahun terakhir telah mengembangkan variasi atas kurikulum yang ditetapkan
pemerintah. Sehingga ketika pemerintah kemudian justru mewajibkan adanya pengayaan dari
masing-masing sekolah, sekolah-sekolah plus itu jelas akan menyambut gembira.
Kehadiran KTSP ini bisa jadi merupakan kabar baik bagi sekolah-sekolah plus. Sebagian
sekolah-sekolah plus tersebut ada yang khawatir ditegur karena memakai bilingual atau
memakai istilah kurikulum yang bermacam-macam seperti yang ada sekarang. Sekarang
semua bentuk improvisasi dibebaskan asal tidak keluar panduan yang telah ditetapkan dalam
KTSP. Sebagai contoh, Sekolah High Scope Indonesia, sebelumnya sejak awal berdiri pada
1990 telah menggunakan kombinasi kurikulum Indonesia dengan Amerika Serikat (AS).
Kendati mendapat lisensi dari AS, namun pihaknya tetap mematuhi kurikulum pemerintah.
Caranya dengan mematuhi batas minimal, namun secara optimal memberikan penekanan
pada aspek-aspek tertentu yang tidak diatur oleh kurikulum. Misalnya tetap memberikan
materi Bahasa Indonesia, namun menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar
utama.
Kelemahan KTSP
Setiap kurikulum yang diberlakukan di Indonesia di samping memiliki kelebihan-kelebihan
juga memiliki kelemahan-kelamahannya. Sebagai konsekuansi logis dari penerapan KTSP ini
setidak-tidaknya terdapat beberapa kelemahan-kelamahan dalam KTSP maupun
penerapannya, di antaranya adalah sebagai berikut:
[1] Kurangnya SDM yang diharapkan mampu menjabarkan KTSP pada kebanyakan
satuan pendidikan yang ada.
Pola penerapan KTSP terbentur pada masih minimnya kualitas guru dan sekolah. Sebagian
besar guru belum bisa diharapkan memberikan kontribusi pemikiran dan ide-ide kreatif untuk
menjabarkan panduan kurikulum itu (KTSP), baik di atas kertas maupun di depan kelas.
Selain disebabkan oleh rendahnya kualifikasi, juga disebabkan pola kurikulum lama yang
terlanjur mengekang kreativitas guru.
Berdasarkan evaluasi yang dilakukan Badan Penelitian dan Pengembangan Depdiknas pada
tahun 2004, bahwa dari 2,7 juta guru menunjukkan bahwa ketidaksesuaian ijasah yang
mengajar di jenjang pendidikan dasar dan menengah menunjukkan kecenderungan yang
kurang mengembirakan, jika mengacu pada persyaratan yang ada. Guru SD tercatat 66,11%
yang tidak memiliki ijasah sesuai ketentuan, guru SMP 39,99% , dan guru SMA sebanyak
34,08%.
Selain itu tercatat secara umum terdapat 15,21% guru pada berbagai jenjang pendidikan dasar
dan menengah yang mengajar tidak sesuai dengan kompetensinya. Hasil survey Human
Development Indeks (HDI) sebanyak 60% guru SD, 40% guru SMP, 43% guru SMA, dan
34% guru SMK belum memenuhi standarisasi mutu pendidikan nasional. Lebih
mengkhawatirkan lagi bila 17,2% guru di Indonesia mengajar bukan pada bidang keahliannya
(Toharudin, Oktober 2005 dalam Muhyi,Dindin MZ, 2007)
Dari data di atas, dapat diperoleh gambaran kondisi guru di lapangan, dengan keadaan yang
demikian, mampukah guru memaknai kurikulum dengan benar? Nampaknya hal ini sulit
untuk dilakukan meskipun tidak mustahil, mengingat untuk memahami kurikulum yang
begitu luas cakupannya, membutuhkan suatu keterampilan khusus yang harus dimiliki oleh
seorang guru yang sesuai dengan jenjang dan bidang keahliannya.
[2] Kurangnya ketersediaan sarana dan prasarana pendukung sebagai kelengkapan
dari pelaksanaan KTSP.
Ketersediaan sarana dan prasarana yang lengkap dan representatif merupakan salah satu
syarat yang paling urgen bagi pelaksanaan KTSP. Sementara kondisi di lapangan
menunjukkan masih banyak satuan pendidikan yang minim alat peraga, laboratorium serta
fasilitas penunjang yang menjadi syarat utama pemberlakuan KTSP. Banyaknya fasilitas
sekolah yang rusak sampai bangunan yang roboh, menambah panjang daftar kelemahan
implementasi KTSP di lapangan.
[3] Masih banyak guru yang belum memahami KTSP secara komprehensif baik
konsepnya, penyusunannya maupun prakteknya di lapangan. 
Masih rendahnya kuantitas guru yang diharapkan mampu memahami dan menguasai KTSP
dapat disebabkan karena pelaksanaan sosialisasi masih belum terlaksana secara menyeluruh.
Jika tahapan sosialisasi tidak dapat tercapai secara menyeluruh, maka pemberlakuan KTSP
secara nasional yang targetnya hendak dicapai paling lambat tahun 2009 tidak
memungkinkan untuk dapat dicapai.

[4] Penerapan KTSP yang merekomendasikan pengurangan jam pelajaran akan


berdampak berkurang pendapatan para guru. 
Penerapan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) akan menambah persoalan di dunia
pendidikan. Selain menghadapi ketidaksiapan sekolah berganti kurikulum, KTSP juga
mengancam pendapatan para guru. Sebagaimana diketahui rekomendasi BSNP terkait
pemberlakuan KTSP tersebut berimplikasi pada pengurangan jumlah jam mengajar. Hal ini
berdampak pada berkurangnya jumlah jam mengajar para guru. Akibatnya, guru terancam
tidak memperoleh tunjangan profesi dan fungsional.
Untuk memperoleh tunjangan profesi dan fungsional semua guru harus mengajar 24 jam, jika
jamnya dikurangi maka tidak akan bisa memperoleh tunjangan. Sebagai contoh, pelajaran
Sosiologi untuk kelas 1 SMA atau kelas 10 mendapat dua jam pelajaran di KTSP maupun
kurikulum sebelumnya. Sedangkan di kelas 2 SMA atau kelas 11 IPS, Sosiologi diajarkan
selama lima jam pelajaran di kurikulum lama. Namun di KTSP Sosiologi hanya mendapat
jatah tiga jam pelajaran. Hal yang sama terjadi di kelas 3 IPS.
Pada kurikulum lama, pelajaran Sosiologi diajarkan untuk empat jam pelajaran tapi pada
KTSP menjadi tiga jam pelajaran. Sementara itu masih banyak guru yang belum mengetahui
tentang ketentuan baru kurikulum ini. Jika KTSP telah benar-benar diberlakukan, para guru
sulit memenuhi ketentuan 24 jam mengajar agar bisa memperoleh tunjangan.
[5] Kepemimpinan Kepala Sekolah yang kurang demokratis dan kurang profesional
berdampak pada kurangnya peran serta masyarakat yang diwakilkan oleh
Dewan/Komite sekolah dalam merumuskan KTSP
Masih rendahnya keikutsertaan masyarakat dalam hal ini dewan/komite sekolah dalam
penyusunan KTSP menyebabkan pengembangan kurikulum di sekolah tidak sesuai dengan
apa yang diharapkan hingga akhirnya sekolah meng-copy paste saja dokumen KTSP yang
sudah jadi. Al hasil, penerapan KTSP pun tidak maksimal.

[6] Kurangnya pembinaan dan sosialisasi KTSP di tingkat kecamatan


Sebagaimana telah disinggung sebelumnya bahwa sosialisasi KTSP yang kurang serta
pembinaan yang kurang serius di tingkat cabang dinas pendidikan kecamatan, menyebabkan
terhambatnya pemahaman guru dalam implementasi KTSP di sekolah. Bahkan masih banyak
sekolah yang hingga hari ini dokumen KTSP-nya belum disahkan oleh pejabat yang
berwenang di dinas pendidikan kota.
[7] Keterlambatan sosialisasi standar penilaian serta keterlambatan pencetakan buku
rapor siswa berdampak pada kesalahan dalam penulisan laporan pendidikan siswa
(rapor)
Ketika pemerintah menurunkan kebijakan untuk melaksanakan KTSP, timbul keresahan di
sana-sini, khususnya para guru. Hal ini disebabkan karena pedoman penyususnan dan
pengembangan KTSP belum seluruhnya rampung disiapkan oleh pemerintah, salah satunya
adalah standar penilaian. Keterlambatan sosialisasi penilaian ini menyebabkan beberapa
sekolah salah menuliskan nilai pada buku rapor.
Sebagian sekolah masih menggunakan rentang nilai 1-10, padahal di dalam KTSP telah
menggunakan rentang nilai 1-100. keterlambatan pencetakan rapor terutama di kota Bandung
menyebabkan guru terutama guru kelas 1 harus ekstra menulis ulang nilai rapor, rapor
sementara dulu baru rapor asli.
Di suatu sekolah terjadi kasus, bahwa rapor asli baru diterima pihak sekolah pada semester 2
dibarengi dengan pemberian foto copy buku pedoman penilaian. Dengan demikian terjadi
perubahan nilai rapor dari rentang 1-10 menjadi rentang nilai 1-100 dengan pembulatan yang
berakibat pada kebingungan orangtua murid. Hal ini berdampak pula pada kepercayaan
orangtua murid terhadap sekolah yang pada akhirnya kinerja sekolah dinilai kurang baik.
Beberapa faktor kelemahan di atas harus menjadi perhatian bagi pemerintah agar
pemberlakuan KTSP tidak hanya akan menambah daftar persoalan-persoalan yang dihadapi
dalam dunia pendidikan kita. Jika tidak, maka pemberlakuan KTSP hanya akan menambah
daftar makin carut marutnya pendidikan di Indonesia.
Peluang
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa KTSP merupakan kurikulum operasional
yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan, maka peluang untuk
meningkatkan mutu pendidikan dan bangkit dari keterpurukan, dapat direalisasikan.
Memang hal ini tidaklah mudah, tidak semudah membalikkan telapak tangan, melainkan
membutuhkan waktu dan proses. Keterlibatan guru, kepala sekolah, masyarakat yang
tergabung dalam komite sekolah dan dewan pendidikan dalam pengambilan keputusan akan
membangkitkan rasa kepemilikan yang lebih tinggi terhadap sekolah, dan terhadap
pengembangan kurikulum. Dengan demikian dapat mendorong mereka untuk
mendayagunakan sumber daya yang ada seefisien mungkin untuk mencapai hasil yang
optimal.
Konsep ini sesuai dengan konsep Self Determination Theory yang menyatakan bahwa jika
seseorang memiliki kekuasaan dalam pengambilan suatu keputusan, maka akan memiliki
tanggung jawab yang besar untuk melaksanakan keputusan tersebut.
KTSP memberikan peluang kepada sekolah untuk mengoptimalkan kondisi lingkungannya
dengan memperhatikan karakteristik sekolah, peserta didik serta sosial budaya
masyarakatnya. Dengan diberikannya otonomi luas kepada sekolah, maka sekolah dapat
menentukan arah pengembangan kurikulum dengan jelas sesuai dengan kebutuhan.
Hal ini memungkinkan terwujudnya sekolah-sekolah unggulan yang memiliki ciri khas dan
keunikan sendiri yang memperkaya perkembangan dunia pendidikan negeri ini, sesuai
dengan prinsip kebersamaan dalam keberagaman.
KTSP juga membuka peluang bagi sekolah untuk mandiri, maju dan berkembang
berdasarkan strategi kebijakan manajemen pendidikan yang ditetapkan pemerintah dengan
penuh tanggungjawab. Dengan demikian, sekolah dapat meningkatkan kualitasnya baik
sumber daya, dalam hal ini tenaga pendidik dan kependidikan, sarana prasarana, kualitas
pembelajaran serta peningkatan mutu lulusan yang dihasilkannya.
Tantangan
KTSP merupakan salah satu bentuk inovasi dalam pendidikan, dan dalam setiap inovasi
selalu saja terdapat tantangan di dalamnya. Tantangan yang dihadapi dalam penerapan KTSP
ini sangat kompleks namun secara umum tantangan yang dihadapi antara lain :

1. Pengembangan KTSP perlu didukung oleh iklim pembelajaran yang kondusif bagi
terciptanya suasana yang aman, nyaman dan tertib, sehingga proses pembelajaran
dapat berlangsung dengan tenang dan menyenangkan (enjoyable learning). Iklim yang
demikian akan mendorong pembelajaran yang menekankan pada learning to know,
learning to do, learning to be dan learning to live together. Suasana tersebut akan
memupuk tumbuhnya kemandirian dan berkurangnya ketergantungan di kalangan
warga sekolah tidak hanya bagi peserta didik, melainkan bagi guru dan pimpinannya.
2. KTSP yang memberikan otonomi luas kepada sekolah perlu disertai seperangkat
kewajiban, serta monitoring dan tuntutan pertanggungjawaban yang relative tinggi
untuk menjamin bahwa sekolah selain memiliki otonomi luas juga memiliki
kewajiban melaksanakan kebijakan pemerintah dan memenuhi harapan masyarakat.
Sekolah memiliki kewajiban untuk melaksanakan pelayanan prima yang berusaha
untuk memuaskan pengguna jasa ( customer satisfaction) dalam hal ini peserta didik
dan orangtua murid.
3. Pelaksanaan KTSP memerlukan sosok kepala sekolah yang professional, memiliki
kemampuan manajerial yang handal serta demokratis dalam setiap pengambilan
keputusan. Pada umumnya kepala sekolah di negeri ini belum dapat dikatakan
professional seperti yang diungkapkan oleh Bank Dunia (1999) bahwa salah satu
penyebab makin menurunnya kualitas pendidikan di Indonesia adalah kurang
profesionalnya kepala sekolah sebagai manager pendidikan di lapangan. Hal ini
mengindikasikan bahwa pemerintah sebaiknya melakukan perubahan dalam hal
pengangkatan kepala sekolah, dari yang berorientasi pada pengalaman kerja ketika
menjadi guru menjadi orientasi kemampuan dan keterampilan secara professional.
4. Dalam pengembangan KTSP, wujud partisipasi masyarakat dan orang tua murid tidak
hanya dalam bentuk financial. Ide, gagasan dan pemikiran masyarakat sangat
dibutuhkan untuk dapat menunjang keberhasilan sekolah. Sekolah harus berupaya
untuk menumbuhkan kesadaran pada masyarakat dan orangtua murid bahwa sekolah
adalah lembaga yang harus didukung oleh semua pihak. Keberhasilan sekolah adalah
kebanggaan bagi masyarakat, dan untuk mewujudkannya diperlukan kerjasama yang
harmonis.
5. KTSP menuntut kinerja sekolah terutama guru dalam implementasinya. Oleh sebab
itu guru harus senantiasa mengembangkan kemampuan dan keterampilan
profesionalismenya. Hal ini dapat juga dilakukan melalui KKG atau MGMP.
Pemberdayaan KKG dan MGMP dapat meningkatkan kualitas dan kompetensi guru
dalam menyususn, merumuskan, melaksanakan, dan melakukan penilaian dalam
pembelajaran. Kekompakan guru sebagai tim pengembang kurikulum perlu
ditingkatkan untuk memberdayakan KKG dan MGMP.

Rekomendasi
Untuk menangani permasalahan tersebut, perlu diambil langkah-langkah kebijaksanaan baik
mengenai kurikulum (tertulis) maupun kurikulum dalam pelaksanaannya. Langkah-langkah
kebijaksanaan yang ditempuh antara lain sebagai berikut:

1. Perlu diciptakan sistem informasi yang dapat mengkomunikasikan/memantau


perkembangan pelaksanaan kurikulum pada berbagai daerah diseluruh tanah air.
2. Meningkatkan kemampuan dan keterampilan profesionalisme (Pembina, pengawas/
penilik, kepal sekolah, guru) agar kurikulum dapat dilaksanakan dengan sebaik-
baiknya.
3. Mencukupi fasilitas pendukung pelaksanaan kurikulum baik oleh masyarakat maupun
pemerintah (buku, alat pendidikan, dan sarana pendidikan lainnya)
4. Meningkatkan kesejahteraan bagi para pelaksana pendidikan agar berfungsi sesuai
tugas dan tanggung jawabnya.
5. Menciptakan kondisi yang kondusif yang dapat memberikan kemungkinan para
pelaksana pendidikan menjalankan tugasnya secara kreatif, inovatif, dan bertanggung
jawab.
6. Menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk ikut serta berpartisipasi dalam
meningkatkan kualitas pembelajaran di sekolah dan memiliki rasa kepedulian yang
tinggi terhadap kondisi sekolah.
Sumber

Ahmad, Jumal. 2017. ” Tentang KTSP: Permasalahan, Kelebihan, Kekurangan


dan Tantangannya .
“https://ahmadbinhanbal.wordpress.com/2017/04/26/tentang-ktsp-
permasalahan-kelebihan-kekurangan-dan-tantangannya/” diakses tanggal 04
Agustus 2019.

Perubahan Terkini dalam Kurikulum 2013 Revisi


1. Tanggung Jawab Penilaian Kompetensi Spiritual dan Sosial
Apabila di dalam Kurikulum 2013 setiap guru mata pelajaran wajib melakukan tes dan menilai kompetensi
spiritual dan sosial murid dalam konteks mata pelajaran, maka dalam Kurtilas revisi tanggung jawab tes
dan penilaian hanya diampu oleh guru Agama (Kompetensi Spiritual) dan Budi Pekerti (Kompetensi
Sosial). Guru mata pelajaran cukup mencantumkan laporan pendekatan belajar kompetensi tersebut di
dalam mata pelajaran terkait.
2. Koherensi Kompetensi Inti
Efek berantai dari poin satu adalah Kompetensi Inti menjadi lebih koheren dengan Kompetensi Dasar mata
pelajaran. Dengan kompetensi inti yang lebih koheren, kembali guru mata pelajaran terkait dikurangi
bebannya sehingga dapat lebih fokus kepada penguasaan materi dan kompetensi yang memang sesuai dan
berbasis mata pelajaran, sembari tetap menyisipkan karakter-karakter mulia di dalam praktik pengajaran.
3. Membuka Ruang Kreatif bagi Guru
Rantai efek selanjutnya dari poin satu dan poin dua adalah, guru menjadi lebih fleksibel, lentur, dan leluasa
merancang ragam pendekatan dan materi ajar. Tumpang tindih antara KD Mata Pelajaran, KI Spiritual dan
Sosial, berikut pendekatan 5 M (mengingat, memahami, menerapkan, menganalisis, dan mencipta) kerap
memaksa guru kembali menghamba kepada buku paket Kurtilas. Diharapkan dengan revisi poin 1 dan poin
2 membuka keran kreativitas guru dalam merancang pendekatan ajar.
4. Keluasan Taksonomi Kemampuan Peserta Didik
Pada Kurtilas edisi awal taksonomi, yang mengadopsi Bloom dibatasi per jenjang, hanya sampai
memahami untuk SD, menerapkan dan menelaah untuk SMP, dan mencipta untuk SMA. Kini taksonomi
tersebut secara utuh diterapkan di seluruh jenjang. Jadi sangat dimungkinkan untuk seorang peserta SD
dengan potensi dan bimbingan yang tepat dapat saja mencapai tataran penciptaan di dalam praktik belajar.
https://www.quipper.com/id/blog/tips-trick/penerapan-kurikulum-2013-revisi 7 November 2018

Kurikulum 2006 (KTSP)

Kelebihan KTSP

1. Mendorong terwujudnya otonomi luas kepada sekolah dan satuan pendidikan

Anda mungkin juga menyukai