Anda di halaman 1dari 15

REKAYASA IDE

"Pengembangan pada Kurikulum KTSP"

Untuk memenuhi tugas mata kuliah Telaah Kurikulum dengan Dosen Pengampu
Bapak Prof. Ibrahim Gultom, M.Pd/ Dr. Edizal Hatmi., M.Pd

NAMA KELOMPOK : ANNISA HILMI HARAHAP (1181111043)


MEILANI SYAHFITRI (1182111008)
RAHIMA SYAHRANI (1181111060)
SITI MARDIAH (1181111062)
SITI FATIMAH (1181111071)

PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat rahmat dan karunianya, sehingga
kami dapat menyelesaikan Rekayasa Ide kami yang berjudul Analisis Kekurangan-Kekurangan
yang terdapat pada SK dan KD Kurikulum KTSP dengan tepat waktu. Laporan hasil miniriset ini
disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Telaah Kurikulum yang di ampuh oleh Bapak Prof.
Ibrahim Gultom, M.Pd/ Dr. Edizal Hatmi., M.Pd
Kami menyadari bahwa laporan miniriset ini masih jauh dari kata sempurna karena masih
banyak kekurangan. Oleh karena itu, kami memohon maaf apabila masih banyak kekurangan dan
kami mengharapkan kritik serta saran yang membangun guna perbaikan dan penyempurnaan dari
pembaca sekalian.
Akhir kata kami mengucapkan selamat membaca dan semoga materi yang ada dalam
laporan Rekayasa Ide yang berbentuk makalah ini dapat bermanfaat dan mampu memperluas
wawasan para pembaca sekalian

Medan, 05 juni 2020

Tim Penyusun

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam sejarah kurikulum di Indonesia, kita mengenal beberapa kurikulum. Pada Masa orde
lama, di kenal kurikulum 1947, 1952 dan 1964. Masa orde baru muncul kurikulum 1975 yang
disempurnakan menjadi Kurikulum CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif) dan disempurnakan lagi
menjadi kurikulum 1994. Era reformasi, muncul kurikulum 2004, yang diberi nama kurikulum
berbasis kompetensi (KBK). Selama masa berlakunya, KBK ini mengalami perubahan pada pola
standar isi dan standar kompetensi sehingga melahirkan kurikulum baru yang diberi nama
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
Setiap kurikulum yang pernah dipakai masing-masing memiliki kelebihan dan kelemahan.
Kelebihan KTSP dibandingkan dengan kurikulum pendahulunya adalah bahwa KTSP dapaty
mendorong terwujudnya otonomi penyelenggaraan pendidikan oleh Sekolah. Dengan otonomi
tersebut, sekolah bersama dengan komite sekolah dapat secara bersama-sama merumuskan
kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan, situasi, dan kondisi lingkungan sekolah tersebut.
Dalam merumuskan KTSP, sekolah tidak bisa berjalan sendiri tetapi harus bermitra dengan
stakeholder pendidikan, misalnya, dunia industri, kerajinan, pariwisata, petani, nelayan,
organisasi profesi, dan sebagainya agar kurikulum yang dibuat oleh sekolah benar-benar
mampu menjawab dan memenuhi kebutuhan di daerah di mana sekolah tersebut berada.

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu Kurikulum KTSP?
2. Bagaimana langkah-langkah mengembangkan kurikulum?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui Kurikulum KTSP.
1. Untuk mengetahui bagaimana langkah-langkah mengembangkan kurikulum.
D. Metode Penelitian
Metode pada penelitian ini berupa menggunakan kajian teoritis yang dimana kami
mendapatkan data melalui sumber literature.
BAB II
PEMBAHASAN

A. KURIKULUM KTSP
Dalam penerapannya, KTSP menemui banyak kendala seperti masih minimnya kualitas guru dan
sekolah. Sebagian besar guru belum bisa diharapkan memberikan kontribusi pemikiran dan ide-
ide kreatif untuk menjabarkan KTSP tersebut baik di atas kertas maupun di depan kelas. Selain
disebabkan oleh rendahnya kualifikasi, juga disebabkan pola kurikulum lama yang terlanjur
mengekang kreativitas guru. Tidak tersedianya sarana dan prasarana yang lengkap dan
representatif juga merupakan kendala yang banyak dijumpai di lapangan, banyak satuan
pendidikan yang minim alat peraga, laboratorium serta fasilitas penunjang yang menjadi syarat
utama pemberlakuan KTSP.
Terlepas dari kendala tersebut, pada masa awal pemberlakuan KTSP cukup membawa angin
segar pada sistem pendidikan di Indonesia. Secara prinsip, KTSP dikembangkan sesuai dengan
satuan pendidikan, potensi, kerakteristik daerah dan sosial budaya masyarakat setempat. KTSP
dianggap sebagai kurikulum otonom yang berbasis kerakyatan, karena dalam KTSP dijamin
adanya muatan kearifan lokal, guru juga diberikan kesempatan untuk memaksimalkan segala
potensi yang ada dimasing-masing daerah.
KTSP terbukti sangat ideal dalam tataran konsep tertulis, namun ternyata tidak demikian dalam
tataran praktek. KTSP yang dianggap sebagai kurikulum yang otonomi (desentralisasi), karena
disusun oleh setiap satuan pendidikan, namun pada kenyataannya tetap saja bersifat
sentralisme, yaitu melalui penyeragaman-penyeragaman, standar isi dan kompetensinya telah
ditentukan oleh pusat. Standarisasi kelulusan setiap peserta didik tetap diukur dengan
menggunakan UAN yang nota bene bersifat nasional. Ini jelas kontradiktif dengan semangat
KTSP yang mengakomodir kearifan lokal sebagai komponen penting pendidikan. Merupakan
tindakan tidak tepat apabila kualitas pendidikan di desa disamakan dengan kualitas pendidikan
di kota.
Pada prinsipnya, KTSP merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari SI, namun
pengembangannya diserahkan kepada sekolah agar sesuai dengan kebutuhan sekolah itu
sendiri. KTSP terdiri dari tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan, struktur dan muatan
kurikulum tingkat satuan pendidikan, kalender pendidikan, dan silabus. Pelaksanaan KTSP
mengacu pada Permendiknas Nomor 24 Tahun 20 tentang Pelaksanaan SI dan SKL.
Standar isi adalah ruang lingkup materi dan tingkat kompetensi yang dituangkan dalam
persyaratan kompetensi tamatan, kompetensi bahan kajian kompetensi mata pelajaran, dan
silabus pembelajaran yang harus dipenuhi peserta didik pada jenjang dan jenis pendidikan
tertentu. Standar isi merupakan pedoman untuk pengembangan kurikulum tingkat satuan
pendidikan yang memuat:
 Kerangka dasar dan struktur kurikulum,
 Beban belajar,
 Kurikulum tingkat satuan pendidikan yang dikembangkan di tingkat satuan pendidikan,
dan
 Kalender pendidikan.
SKL digunakan sebagai pedoman penilaian dalam penentuan kelulusan peserta didik dari satuan
pendidikan. SKL meliputi kompetensi untuk seluruh mata pelajaran atau kelompok mata
pelajaran. Kompetensi lulusan merupakan kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap,
pengetahuan, dan keterampilan sesuai dengan standar nasional yang telah disepakati.
Pemberlakuan KTSP, sebagaimana yang ditetapkan dalam peraturan Menteri Pendidikan
Nasional No. 24 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan SI dan SKL, ditetapkan oleh kepala sekolah
setelah memperhatikan pertimbangan dari komite sekolah. Dengan kata lain, pemberlakuan
KTSP sepenuhnya diserahkan kepada sekolah, dalam arti tidak ada intervensi dari Dinas
Pendidikan atau Departemen Pendidikan Nasional. Penyusunan KTSP selain melibatkan guru
dan karyawan juga melibatkan komite sekolah serta bila perlu para ahli dari perguruan tinggi
setempat. Dengan keterlibatan komite sekolah dalam penyusunan KTSP maka KTSP yang
disusun akan sesuai dengan aspirasi masyarakat, situasi dan kondisi lingkungan dan kebutuhan
masyarakat.
Prinsip-Prinsip Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
KTSP dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan
di bawah koordinasi dan supervisi dinas pendidikan atau kantor Departemen Agama
Kabupaten/Kota untuk pendidikan dasar dan provinsi untuk pendidikan menengah.
Pengembangan KTSP mengacu pada SI dan SKL dan berpedoman pada panduan penyusunan
kurikulum yang disusun oleh BSNP, serta memperhatikan pertimbangan komite
sekolah/madrasah. Penyusunan KTSP untuk pendidikan khusus dikoordinasi dan disupervisi
oleh dinas pendidikan provinsi, dan berpedoman pada SI dan SKL serta panduan penyusunan
kurikulum yang disusun oleh BSNP .
KTSP dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip sebagai berikut:
 Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan
lingkungannya.
 Beragam dan terpadu
 Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni
 Relevan dengan kebutuhan kehidupan
 Menyeluruh dan berkesinambungan
 Belajar sepanjang hayat
 Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah

B. LANGKAH - LANGKAH PENGEMBANGAN KURIKULUM

a. Sumber Pengembangan Kurikulum

Dari kajian sejarah kurikulum, kita mengetahui beberapa hat yang menjadi sumber atau
landasan inti penyusunan kurikulum. Pengembangan kurikulum pertama bertolak dari
kehidupan dan pekerjaan orang dewasa. Karena sekolah mempersiapkan anak bag! kehidupan
orang dewasa, kurikulum terutama isi kurikulum diambil dari kehidupan orang dewasa. Para
pengembang kurikulum mendasarkan kurikulumnya atas hasil analisis pekerjaan dan kehidupan
orang dewasa. Dalam pengembangan selanjutnya, sumber in! menjadi lugs meliputi semua
unsur kebudayaan. Manusia adalah makhluk yang berbudaya, hidup dalam lingkungan budaya,
dan turut menciptakan budaya. Untuk dapat hidup dalam lingkungan budaya, ia harus
mempelajari budaya, maka budaya menjadi sumber utama isi kurikulum. Budaya ini mencakup
semua disiplin ilmu yang telah ditemukan dan dikembangkan para pakar, nilai-nilai adat-
istiadat, perilaku, benda-benda, dan lain-lain.
Sumber lain penyusunan kurikulum adalah anak. Dalam pendidikan atau pengajaran, yang
belajar adalah anak. Pendidikan atau pengajaran bukan memberikan sesuatu pada anak,
melainkan menumbuhkan potensipotensi yang telah ada pada anak. Anak menjadi sumber
kegiatan pengajaran, ia menjadi sumber kurikulum. Ada tiga pendekatan terhadap anak sebagai
sumber kurikulum, yaitu kebutuhan siswa, perkembangan siswa, serta minat siswa. Jadi, ada
pengembangan kurikulum bertolak dari kebutuhan-kebutuhan siswa, tingkat-tingkat
perkembangan siswa, serta hal-hal yang diminati siswa. Beberapa pengembang kurikulum
mendasarkan penentuan kurikulum kepada pengalaman-pengalaman penyusunan kurikulum
yang lalu. Pengalaman pengembangan kurikulum yang lalu menjadi sumber penyusunan
kurikulum kemudian. Hal lain yang menjadi sumber penyusunan kurikulum adalah nilai-nilai.
Beauchamp menegaskan bahwa nilai dapat merupakan sumber penentuan keputusan yang
dinamis.

Pertanyaan pertama yang muncul dalam kurikulum yang berdasarkan nilai adalah: Apakah yang
harus diajarkan di sekolah? Ini merupakan pertanyaan tentang nilai. Nilai-nilai apakah yang
harus diberikan dalam pelaksanaan kurikulum? Nilai-nilai apa yang digunakan sebagai kriteria
penentuan kurikulum dan pelaksanaan kurikulum. Terakhir yang menjadi sumber penentuan
kurikulum adalah kekuasaan sosial-politik. Di Amerika Serikat pemegang kekuasaan sosial-
politik yang menentukan kebijaksanaan dalam kurikulum adalah board of education lokal yang
mewakill negara bagian. Di Indonesia, pemegang kekuasaan sosialpolitik dalam penentuan
kurikulum adalah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang dalam pelaksanaannya
dilimpahkan kepada Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah serta Dirjen Pendidikan Tinggi
bekerja sama dengan Balitbangdikbud. pada pendidikan dasar dan menengah, kekuasaan
penyusunan kurikulum sepenuhnya ada pada pusat, sedangkan pada perguruan tinggi rektor
diberi kekuasaan untuk menentukan kebijaksanaan-kebijaksanaan dalam penyusunan
kurikulum.

b. Langkah - Langkah Pengembangan Kurikulum

Pengembangan kurikulum meliputi empat langkah, yaitu merumuskan tujuan pembelajaran


(instructional objective), menyeleksi pengalaman-pengalaman belajar (selection of learning
experiences), mengorganisasi pengalaman-pegalaman belajar (organization of learning
experiences), dan mengevaluasi (evaluating).

1. Merumuskan Tujuan Pembelajaran (instructional objective)

Terdapat tiga tahap dalam merumuskan tujuan pembelajaran.

 Tahap yang pertama yang harus diperhatikan dalam merumuskan tujuan adalah
memahami tiga sumber, yaitu siswa (source of student), masyarakat (source of society),
dan konten (source of content).
 Tahap kedua adalah merumuskan tentative general objective atau standar kompetensi
(SK) dengan memperhatikan landasan sosiologi (sociology), kemudian di-screen melalui
dua landasan lain dalam pengembangan kurikulum yaitu landasan filsofi pendidikan
(philosophy of learning) dan psikologi belajar (psychology of learning).
 Tahap ketiga adalah merumuskan precise education atau kompetensi dasar (KD).

2. Merumuskan dan Menyeleksi Pengalaman-Pengalaman Belajar (selection of learning


experiences)

Dalam merumuskan dan menyeleksi pengalaman-pengalaman belajar dalam pengembangan


kurikulum harus memahami definisi pengalaman belajar dan landasan psikologi belajar
(psychology of learning). Pengalaman belajar merupakan bentuk interaksi yang dialami atau
dilakukan oleh siswa yang dirancang oleh guru untuk memperoleh pengetahuan dan
ketrampilan. Pengalaman belajar yang harus dialami siswa sebagai learning activity
menggambarkan interaksi siswa dengan objek belajar. Belajar berlangsung melalui perilaku
aktif siswa; apa yang ia kerjakan adalah apa yang ia pelajari, bukan apa yang dilakukan oleh
guru. Dalam merancang dan menyeleksi pengalaman-pengalaman belajar juga memperhatikan
psikologi belajar.

Ada lima prinsip umum dalam pemilihan pengalaman belajar. Kelima prinsip tersebut adalah :

1) Pengalaman belajar yang diberikan ditentukan oleh tujuan yang akan dicapai,
2) Pengalaman belajar harus cukup sehingga siswa memperoleh kepuasan dari pengadaan
berbagai macam perilaku yang diimplakasikan oleh sasaran hasil,
3) Reaksi yang diinginkan dalam pengalaman belajar memungkinkan bagi siswa untuk
mengalaminya (terlibat)
4) Pengalaman belajar yang berbeda dapat digunakan untuk mencapai tujuan
pembelajaran yang sama, dan
5) belajar yang sama akan memberikan berbagai macam keluaran (outcomes).

3. Pengalaman Pengalaman Belajar (organization of learning experiences)

Pengorganisasi atau disain kurikulum diperlukan untuk memudahkan anak didik untuk belajar.
Dalam pengorganisasian kurikulum tidak lepas dari beberapa hal penting yang mendukung,
yakni: tentang teori, konsep, pandangan tentang pendidikan, perkembangan anak didik, dan
kebutuhan masyarakat. Pengorganisasian kurikulum bertalian erat dengan tujuan pendidikan
yang ingin dicapai. Oleh karena itu kurikulum menentukan apa yang akan dipelajari, kapan
waktu yang tepat untuk mempelajari, keseimbangan bahan pelajaran, dan keseimbangan
antara aspek-aspek pendidikan yang akan disampaikan.

4. Mengevaluasi (evaluating) Kurikulum

Langkah terakhir dalam pengembangan kurikulum adalah evaluasi. Evaluasi adalah proses yang
berkelanjutan di mana data yang terkumpul dan dibuat pertimbangan untuk tujuan
memperbaiki sistem. Evaluasi yang seksama adalah sangat esensial dalam pengembangan
kurikulum. Evaluasi dirasa sebagai suatu proses membuat keputusan , sedangkan riset sebagai
proses pengumpulan data sebagai dasar pengambilan keputusan. Perencana kurikulum
menggunakan berbagai tipe evaluasi dan riset. Tipe-tipe evaluasi adalah konteks, input, proses,
dan produk. Sedagkan tipe-tipe riset adalah aksi, deskripsi, historikal, dan eksperimental. Di sisi
lain perencana kurikulum menggunakan evaluasi formatif (proses atau progres) dan evaluasi
sumatif (outcome atau produk).

Terdapat dua model evaluasi kurikulum yaitu model Saylor, Alexander, dan Lewis, dan model
CIPP yang didesain oleh Phi Delta Kappa National Study Committee on Evaluation yang diketuai
Daniel L. Stufflebeam. Menurut model Saylor, Alexander, dan Lewis terdapat lima komponen
kurikulum yang dievaluasi, yaitu tujuan (goals, subgoals, dan objectives), program pendidikan
secara keseluruhan (the program of education as a totality), segmen khusus dari program
pendidikan ( the specific segments of the education program, pembelajaran (instructional), dan
program evaluasi (evaluation program). Komponen pertama, ketiga, dan keempat mempunyai
konttribusi pada komponen kedua (program pendidikan secara keseluruhan). Pada komponen
kelima, program evaluasi, disarankan sangat perlu untuk mengevaluasi evaluasi program itu
sendiri, sebab hal ini suatu operasi idependen yang mempunyai implikasi pada proses evaluasi.

Pada model CIPP mengkombinasikan tiga langkah utama dalam proses evaluasi, yaitu:

- Penggambaran (delineating),

- Perolehan (obtainin),

- Penyediaan (providing);

Tiga kelas perubahan yaitu homeostastis, incrementalisme, dan neomobilisme; dan empat tipe
evaluasi (konteks, input, proses, dan produk); serta empat tipe keputusan ( planning,
structuring, implementing, dan recycling). Evaluator kurikulum yang dipekerjakan oleh sistem
sekolah dapat berasal dari dalam maupun dari luar. Banyak evaluasi kurikulum dibebankan
pada guru-guru di mana mereka bekerja. Dalam mengevaluasi harus memenuhi empat standar
evaluasi yaitu: utility, feasibility, propriety, dan accuracy. Evaluasi kurikulum merupakan titik
kulminasi perbaikan dan pengembangan kurikulum. Evaluasi ditempatkan pada langkah
terakhir, evaluasi mengkonotasikan akhir suatu siklus dan awal dari siklus berikutnya. Perbaikan
pada siklus berikutnya dibuat berdasarkan hasil evaluasi siklus sebelumnya.

Dalam kegiatan mengembangkan suatu kurikulum maka kita memerlukan prinsip-prinsip yang
harus diperhatikan yaitu prinsip: relevansi, efektifitas, efisiensi, kesinambungan dan fleksibilitas.
Salah satu fungsi pendidikan dan kurikulum bagi masyarakat adalah menyiapkan peserta didik
untuk hidup di kemudian hari. Dikatakan bahwa bentuk paling sederhana dari kurikulum adalah
merupakan himpunan pengalaman, sistem nilai, pengetahuan, keterampilan dan pola sikap
yang ingin dihantarkan kepada peserta didik dengan harapan bahwa keseluruhan yang
dihantarkan tersebut merupakan bekal para peserta didik dalam mengembangkan diri di dalam
masyarakat dikemudian hari.

Pengembangan kurikulum pada dasarnya berkisar pada hal-hal yang berkenaan dengan hal-hal
berikut :

1) Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang melaju terlalu cepat.


2) Pendidikan merupakan proses transisi.
3) Manusia dalam keadaan terbatas kemampuannya untuk menerima, menyampaikan dan
mengolah informasi.

Atas dasar inilah, maka diperlukan suatu proses pengembangan kurikulum yang merupakan
suatu masalah pemilihan kurikulum yang penyelesaiannya dapat ditinjau dari berbagai
pendekatan antara lain pendekatan atas dasar keperluan pribadi. Untuk merealisasikannya,
maka diperlukan suatu model pengembangan kurikulum dengan pendekatan yang sesuai.
Ulasan teoritis tentang suatu konsepsi dasar itu disebut model atau konstruksi. Pengembangan
kurikulum model tersebut merupakan ulasan teoritis tentang suatu proses kurikulum secara
menyeluruh atau dapat pula ulasan tentang salah satu komponen kurikulum. Ulasan teoritis
tersebut menetapkan titik berat ulasan yang berbeda-beda, ada yang menitikberatkan pada
organisasi kurikulum, ada pula yang menitikberatkan pada hubungan antar pribadi dalam
pengembangan kurikulum.

Banyak model dalam pengembangan kurikulum yang dapat diterapkan dalam pelaksanaannya.
Namun ada hal yang dapat digunakan sebagai pedoman dalam menetapkan model
pengembangan kurikulum yang mungkin dapat diterapkan. Hal tersebut adalah bahwa
penerapan model-model tersebut sebaiknya didasarkan pada faktor-faktor yang konstan,
sehingga ulasan tentang model-model yang dibahas dapat terungkapkan secara konsisten.

Model-model pengembangan kurikulum tersebut diantaranya adalah :

a) The Administrative Model


Model pengembangan kurikulum ini merupakan model paling lama dan paling banyak dikenal.
Diberi nama model administrative atau line staff karena inisiatif dan gagasan pengembangan
dating dari para administrator pendidikan dan menggunakan prosedur administrasi. Model ini
dikenal dengan adanya garis staf atau model dari atas ke bawah (top-down).

Cara kerja model ini adalah : pejabat pendidikan membentuk panitia pengarah yang biasanya
terdiri atas pengawas pendidikan, kepala sekolah dan staf pengajar inti. Panitia pengarah ini
bertugas merencanakan, member pengarahan tentang garis besar kebijakan, menyiapkan
rumusan falsafah dan tujuan umum pendidikan. Selesai pekerjaan tersebut, mereka menunjuk
kelompok-kelompok kerja sesuai dengan keperluan anggota-anggota. Kelompok kerja umunya
terdiri atas staf pengajar dan spesialis kegiatan belajar. Tugasnya adalah menyusun tujuan
khusus, isi dan kegiatan belajar. Hasil pekerjaan direvisi oleh panitia pengarah. Bila dipandang
perlu dan meskipun hal ini jarang terjadi, akan diadakan uji coba untuk meneliti kelayakan
pelaksanaannya. Hal ini dikerjakan oleh suatu komisi lainnya yang ditunjuk oleh panitia
pengarah dan anggotanya terdiri atas sebagian besar kepala-kepala sekolah. Setelah selesai,
maka pekerjaan itu diserahkan kembali kepada panitia pengarah untuk ditelaah sekali lagi
kemudian diimplementasikan.

b) The Grass – Roots Model

Model pengembangan ini merupakan lawan dari model pertama. Inisiatif dan upaya
pengembangan kurikulum, bukan dating dari atas tetapi dari bawah, yaitu guru-guru atau
sekolah. Model ini didasarkan pada pandangan bahwa implementasi kurikulum akan lebih
berhasil jika staf pengajar sebagai pelaksana sudah sejak semula diikutsertakan dalam
pengembangan kurikulum. Kegiatan pengembangan kurikulum cara ini sangat memperhatikan
kerja sama dengan orang tua, peserta didik dan masyarakat.

Kerja sama diantara sesame pengajar dengan sendirinya merupakan bagian yang penting dalam
model ini. Kedudukan administrator hanyalah cukup memberikan bimbingan dan dorongan saja
dan staf pengajar akan melaksanakan tugas pengembangan kurikulum secara demokratis.
Biasanya pada langkah-langkah tertentu diselenggarakan lokakarya untuk membahas langkah-
langkah selanjutnya. Lokakarya akan melibatkan staf pengajar, kepala sekolah, orang tua
peserta didik, orang awam lainnya, para konsultan dan narasumber lainnya.

c) The Demonstration Model

Model demonstrasi pada dasarnya bersifat grass-roots, dating dari bawah. Pembaharuan
kurikulum dilakukan oleh sejumlah staf pengajar dalam satu sekolah yang terorganisasi. Jika
hasil pembaharuan tersebut berhasil maka sekolah lainnya mengadopsinya. Selain secara
formal ini dapat pula dilaksanakan secara tidak formal. Hal ini berarti, staf pengajar bekerja
dalam bentuk organisasi terstruktur atau bekerja sendiri-sendiri. Dalam model ini pembaharuan
kurikulum dicontohkan dalam skala kecil oleh para pengajar lainnya.

d) Beauchamps Model

Model pengembangan kurikulum ini, dikembangkan oleh Beauchamp seorang ahli kurikulum.
Beauchamp mengemukakan lima langkah kritis dalam pengambilan keputusan mengenai
pengembangan kurikulum, yaitu : Pekerjaan yang harus dilakukan adalah menemukan “arena”
pengembangan kurikulum. Arena ini berupa kelas, sekolah, sistem persekolahan regional
maupun nasional, Memilih dan mengikutsertakan pengembangan kurikulum, yang terdiri atas
spesialis kurikulum, perwakilan kelompok yang professional, staf pengajar, penyuluh, orang
awam. Penentuan orang tersebut tergantung pada penentuan arena dan Pengorganisasian dan
penentuan prosedur perencanaan kurikulum meliputi penentuan tujuan, materi dan kegiatan
belajar.

e) Taba’s Inverted Model

Menurut cara yang bersifat tradisional dan lazim dilakukan, pengembangan kurikulum
ditempuh atau dilakukan secara deduktif. Dalam model Hilada Taba ini hal iatu ditempuh secara
induktif, sehingga model Hilda Taba ini dikenal dengan nama model terbalik Hilda Taba/ Taba’s
Inverted Model. Taba berpendapat model deduktif ini kurang cocok, sebab tidak merangsang
timbulnya inovasi-inovasi baru. Menurutnya pengembangan kurikulum yang lebih mendorong
inovasi dan kreativitas guru-guru adalah yang bersifat deduktif, yang merupakan inversi atau
arah terbalik dari model tradisional.

Langkah-langkah yang ditempuh pada model ini meliputi lima langkah, yaitu :

1. Sejumlah staf pengajar terlebih dahulu menghasilkan unit-unit kurikulum yang akan
dieksperimenkan dengan jalan :
- Mendiagnose kebutuhan
- Memformulasikan isi
- Memilih isi
- Mengorganisasikan isi
- Memilih pengalaman belajar
- Menilai
- Mengecek perimbangan kedalaman dan keluasan materi pelajaran
2. Mengujicoba unit-unit dalam rangka menemukan validitas dan kelayakan belajar-
mengajarnya.
3. Merevisi hasil yang diujicobakan serta mengkonsultasikannya.
4. Mengembangkan kerangka teoritis.
5. Langkah yang paling akhir adalah mengasembling dan mendiseminasikan hasil yang
telah diperoleh. Pada tahap ini perlu dipersiapkan staf pengajar dalam penataran,
program lokakarya dan lain sebagainya.
f) Model Hubungan Interpersonal dari Rogers (Roger’s Interpersonal Relations Model)

Rogers adalah seorang psikolog yang juga berminat dalam bidang pendidikan. Ia mendasarkan
pendangannya pada kurikulum yang diperlukan dalam rangka pengembangan individu yang
terbuka, luwes dan adaptif terhadap situasi perubahan. Menurut Roger’s manusia berada
dalam proses perubahan, sesungguhnya ia mempunyai kekuatan dan potensi untuk
berkembang sendiri, tetapi karena ada hambatan-hambatan tertentu ia membutuhkan orang
lain untuk membantu memperlancar atau mempercepat perubahan tersebut. Pendidikan juga
tidak lain merupakan upaya untuk membantu memperlancar dan mempercepat perubahan
tersebut. Guru serta peserta didik lainnya bukan pemberi informasi apalagi penentu
perkembangan anak, mereka hanyalah pendorong dan pelancar perkembangan anak.

Atas dasar itulah, maka kurikulum yang seduai akan terwujud jika disusun dan diterapkan oleh
pendidik yang luwes, terbuka dan berorientasi pada proses. Untuk itu diperlukan pengalaman
kelompok dalam latihan sensitif. Kelompok latihan sensitif ini seharusnya terdiri atas 10-15
orang dengan seorang pengajar sebagai fasilitator. Kelompok ini tidak berstruktur dan
diharapkan dapat merupakan lingkungan yang memungkinkan orang secara individual
berekspresi secara bebas dan dapat berkomunikasi secara interpersonal secara bebas.

g) Model Systematic Action-Recearch Model

Model kurikulum ini didasarkan pada asumsi bahwa perkembangan kurikulum merupakan
perubahan sosial. Hal itu mencakup suatu proses yang melibatkan kepribadian orang tua, siswa,
guru, struktur sistem sekolah, pola hubungan pribadi dan kelompok dari sekolah dan
masyarakat. Oleh karena itu ada 3 faktor yang dijadikan bahan pertimbangan dalam model ini,
yaitu : Adanya hubungan antara manusia, Organisasi sekolah dan masyarakat dan Otoritas ilmu

Kurikulum dikembangkan dalam konteks harapan warga masyarakat, para orang tua, tokoh
masyarakat, pengusaha, siswa, guru dan lain-lain, mempunyai pandangan tentang bagaimana
pendidikan, bagaimana anak belajar dan bagaimana peranan kurikulum dalam pendidikan dan
pengajaran. Penyusunan kurikulum harus memasukan pendangan dan harapan-harapan
masyarakat dan salah satu cara untuk mencapai hal itu adalah dengan prosedur action
research.

Langkah pertama, mengadakan kajian secara seksama tentang masalah-masalah kurikulum,


berupa pengumpulan data yang bersifat menyeluruh dan mengidentifikasi faktor-faktor
kekuatan dan kondisi yang mempengaruhi masalah tersebut. Dari hasil kajian tersebut, dapat
disusun rencana yang menyeluruh tentang cara-cara mengatasi masalah tersebut serta
tindakan pertama yang harus diambil. Kedua, menyelenggarakan atau mengimplementasikan
rencana yang telah disusun. Usaha ini diikuti dengan usaha pencarian fakta secara meluas
sehubungan dengan persoalan tersebut agar dapat diadakan penilaian tentang kelebihan dan
kekurangannya.

h) Model Teknologis (Emerging Technical Models)

Perkembangan bidang teknologi dan ilmu pengetahuan serta nilai-nilai efisiensi efektifitas
dalam bisnis, juga mempengaruhi perkembangan model-model kurikulum. Tumbuh
kecenderungan-kecenderungan baru yang didasarkan atas hal itu, diantaranya :

1. The Behavioral Analysis Model, memulai kegiatannya dengan jalan melatih kemampuan
peserta didik dari yang sederhana sampai yang kompleks secara bertahap.
2. The System Analysis Model, memulai kegiatannya dengan menjabarkan tujuan khusus
kemudian menyusun alat-alat pengukur untuk menilai keberhasilannya dan dalam pada
itu mengidentifikasi sejumlah faktor-faktor yang mempengaruhi dalam
penyelenggaraannya.
3. The Computer-Based Model, memulai kegiatannya dengan jalan mengidentifikasi
sejumlah unit-unit kurikulum lengkap dengan tujuan-tujuan intruksional khusus.
Kemudian pengajar dan siswa diwawancarai tentang pencapaian tujuan-tujuan tersebut
dan data itu disimpan dalam komputer. Data komputer tersebut dimanfaatkan dalam
menyusun isi materi pelajaran untuk peserta didik.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Kurikulum adalah suatu rencana yang disusun untuk melancarkan proses berlajar mengajar di
bawah bimbingan dan tanggunga jawab sekolah atau lembaga pendidikan beserta staf
pengajarnya. Kurikulum merupakan peristiwa-peristiwa yang terjadi di bawah pengawasan
sekolah, jadi selain kegiatan kulikuler yang formal juga kegiatan yang tak formal. (Nasution,
2008:5). Fungsi kurikulum dalam proses apendidikan, yakni merupakan alat untuk mencapai
tujuan pendidikan, maka hal ini berarti, sebagai alat pendidikan kurikulum mempunyai
komponen-komponen penunjang yang saling mendukung satu sama lainnya. KTSP adalah salah
satu kurikulum operasional yang dikembangkan dan dilaksanakan oleh setiap satuan
pendidikan. KTSP memberikan peluang dan kesempatan kepada pihak sekolah untuk
berpartisipasi aktif dalam pengambilan kebijakan mengenai pengembangan dan
penyelenggaraan pendidikan sehingga diharapkan memberdayakan semua potensi yang
dimiliki. KTSP mempunyai visi-misi yang berlandaskan tujuan pendidikan nasional demi
terwujudnya cita-cita,dengan memperhatikan kebbutuhan siswa. Pengembangan KTSP
melibatkan seluruh komponen sekolah mulai dari kepala sekolah samapai tokoh masyarakat.

B. Saran

Perlunya peningkatan pemahaman dan motivasi mahasiswa yang notabesnya calon guru dalam
hal mempelajari Pengembangan Kutikulum. Perlunya pemahan Guru dalam mempelajari
“Pengembangan Kurikulum Satuan Pendidikan (KTSP) “ agar pembelajaran yang diperoleh siswa
sesuai dengan situasi dan kondisi dan sesuai yang diharapkan. Dan perlunya mewujudkan
tujuan proses pendidikan dan pembelajaran yang menyeluruh dalam segi aspek
afektif,psikomotorik dan kognitif siswa agar proses pembelajaran kurikulum KTSP dapat
mencapai tujuan yang diharapkan dan diprogramkan.

DAFTAR PUSTAKA

Abbatt. 1998. Pengajaran yang Efektif. Jakarta: IKAPI.

Ali, Mohammad. 2003. Pendidikan untuk Pembangunan Nasional. Bandumg: Grasindo.

Hasan, Said Hamid. 2005. Ilmu dan Aplikasi Pendidikan. Bandung: Imperial Bhakti Utama.

Prayitno. 2002. Dasar Teori dan Praksis Pendidikan. Bandung: Grasindo.

Sukmadinata, Nana Saodih. 2007. Pengembangan Kurikulum, Teori dan Praktik. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.

Tyler, Ralph. 1991. Prinsip Asas Kurikulum dan Pengajaran. Johor: Pesta Sdn.Wayan, I. 2007. Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) . Jakarta: BP. Cipta Jaya.

Anda mungkin juga menyukai