NIM: 22030117130059
Judul: Hubungan Praktik Pemberian Makan oleh Ayah dan Perilaku Makan Anak dengan
Status Gizi Anak Usia Pra-sekolah (3-5 tahun)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kecukupan asupan gizi memegang peranan penting dalam optimalisasi tumbuh
kembang anak. Kecukupan asupan gizi pada anak dapat dinilai dengan keadaan status
gizi yang ditandai dengan anak kurus, normal, dan gemuk. Asupan gizi yang kurang
akan menyebabkan kondisi kesehatan anak menjadi kurang baik, gangguan
pertumbuhan dan perkembangan, serta dapat menyebabkan kematian. Anak yang
kekurangan gizi akan mudah terkena infeksi dan berpengaruh pada nafsu makan.
Sebaliknya, kelebihan berat badan pada anak atau disebut obesitas anak dapat
berisiko tinggi menjadi obesitas pada masa dewasa dan berpotensi mengalami
berbagai penyebab kesakitan dan kematian, antara lain penyakit kardiovaskular,
diabetes mellitus dan kelainan metabolik (atherogenesis, resistensi insulin, gangguan
trombogenesis dan karsinogenesis). Menurut Data Riskesdas tahun 2018, proporsi
balita gizi kurus (BB/TB) menurun sebesar 0,1% dari data tahun 2013. Proporsi
balita gemuk (BB/TB) menurun sebesar 3,9% dari tahun 2013 dan proporsi balita gizi
kurang (BB/U) menurun sebesar 0,1% dari data tahun 2013.
Salah satu prediktor yang kuat terhadap status gizi pada anak-anak adalah
perilaku makan. Perilaku makan merupakan kebiasaan makan yang bisa diubah dan
dibentuk pada akhir usia pra-sekolah. Kebiasaan makan anak dipengaruhi oleh orang
terdekat terutama kedua orangtua. Intervensi pada kedua orangtua yang memiliki
anak usia pra-sekolah penting dilakukan dengan tujuan membentuk perilaku makan
yang baik sehingga akan berdampak pada status gizi yang baik pada anak. Sesuai
dengan penelitian pada tahun 2004, perilaku makan dan status gizi anak menunjukkan
hubungan yang signifikan.
Anak usia 3-5 tahun masih bergantung pada orang tua dalam hal pemberian
makan. Asupan gizi yang tidak tepat akan menyebabkan anak mengalami kekurangan
gizi maupun obesitas. Keinginan orang tua untuk memenuhi kebutuhan gizi anaknya
sering kali melatarbelakangi praktik pemberian makan yang kurang tepat. Praktik
pemberian makan yang kurang tepat antara lain selalu memenuhi kemauan anak
untuk mengonsumsi makanan yang ia inginkan, bahkan melakukan pemaksaan pada
anak untuk mengonsumsi makanan tertentu.
Sebagian besar penelitian berfokus pada peran seorang ibu terhadap praktik
pemberian makan anak (feeding practice) dibandingkan dengan peran ayah. Ibu
memiliki tanggung jawab sebagai pengasuh utama, namun hal ini telah berubah
selama empat dekade terakhir sebagai akibat dari meningkatnya lapangan kerja ibu di
luar rumah. Penelitian di Amerika Serikat pada tahun 1980-an menunjukkan bahwa
ayah menghabiskan waktu setara dengan 30% sebanyak ibu berinteraksi dengan
anak-anak mereka. Tahun 2001, ayah menghabiskan 67% lebih banyak waktu
berinteraksi dengan anak-anak mereka di hari kerja dan 87% lebih banyak di akhir
pekan. Penelitian yang lebih baru menunjukkan keterlibatan ayah yang meningkat
dalam hal pemberian makan kepada anak mereka. Penelitian lain di Australia tahun
2013, menunjukkan bahwa sekitar 80% ayah yang memiliki anak usia 2-5 tahun ikut
serta dalam hal pemberian makan anak setiap harinya. Penelitian lain di Amerika
Serikat juga melaporkan bahwa 72% ayah yang memiliki anak di bawah umur 5
tahun terlibat dalam pemberian makan anak mereka setiap hari. Penelitian di Jawa
Timur menunjukkan terdapat hubungan kuat antara partisipasi ayah terhadap jenis
makan balita dan terdapat hubungan yang sedang antara partisipasi ayah dalam
pemberian jumlah dan jadwal makan balita. Berdasarkan penelitian-penelitian
tersebut, peningkatan waktu yang dihabiskan ayah dengan anak-anak mereka
mencerminkan peningkatan keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak, di mana kedua
orang tua memiliki tanggung jawab bersama untuk membesarkan anak mereka.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa praktik pemberian makan dari orangtua
berhubungan dengan IMT yang lebih tinggi pada anak. Tingginya IMT anak
berhubungan dengan tingginya pembatasan untuk mengonsumsi jumlah dan jenis
makanan tertentu baik dari ayah maupun ibu. Studi lain di beberapa negara juga
menemukan bahwa pembatasan untuk mengonsumsi jumlah dan jenis makanan
tertentu dikaitkan dengan berat badan anak yang lebih tinggi. Ketika orang tua
membatasi anak untuk mengonsumsi jenis makanan tertentu, hal ini menyebabkan
anak akan mengonsumsi jenis makanan tersebut dalam jumlah yang lebih lebih
banyak saat ada waktu untuk mengonsumsi jenis makanan tersebut. Praktik
pembatasan makanan secara berlebih dapat meningkatkan kelebihan berat badan pada
masa kanak-kanak dengan menghambat respon kenyang di daerah nukleus
ventromidial hipothalamus di otak.
Penelitian tahun 2017 di Amerika Serikat, menunjukkan bahwa praktik
pemberian makan seperti memberikan makanan sebagai hadiah dapat menimbulkan
kecenderungan anak untuk makan ketika kondisi tidak lapar dan menyebabkan
penurunan kemampuan untuk mengatur asupan makan mereka. Penurunan
kemampuan untuk mengatur asupan inilah yang dapat menyebabkan anak memiliki
perilaku makan emosional. Makan emosional pada anak dapat berkontribusi terhadap
penambahan berat badan, hal ini berhubungan dengan peningkatan hormon kortisol
sebagai respon dari stres yang akan berdampak pada peningkatan nafsu makan anak.
Penelitian lain menunjukkan bahwa praktik pemberian makan dari ayah seperti
menggunakan makanan sebagai hadiah berhubungan dengan asupan SSB (Sugar
Sweetened Beverage) di kelompok anak usia pra-sekolah Ras Hispanic. Keinginan
untuk mengonsumsi minuman manis dengan nilai gizi rendah dan kepadatan energi
yang tinggi menyebabkan penambahan berat badan pada anak.
Sebaliknya, praktik pemberian makan dari orangtua juga berhubungan dengan
status gizi kurang pada anak. Studi di Amerika Serikat menunjukkan bahwa
rendahnya IMT anak berhubungan dengan tingginya tekanan untuk mengonsumsi
makanan dari ayah ataupun ibu. Tekanan untuk mengonsumsi makanan berlebih
digunakan oleh orang tua dalam upaya meningkatkan kualitas atau jumlah makanan
yang dikonsumsi oleh anak. Tekanan untuk mengonsumsi makanan berlebih
menyebabkan anak merasa kenyang lebih cepat dan menghasilkan respon penolakan
anak terhadap makanan sehingga asupan makanan menjadi lebih sedikit, selain itu
konsumsi buah dan sayur menjadi lebih rendah dan anak akan cenderung menjadi
picky eaters.
Penelitian di Amerika Serikat pada tahun 2012, menemukan bahwa tekanan untuk
mengonsumsi jumlah dan jenis makanan tertentu dari seorang ayah menyebabkan
respon penolakan makanan seperti anak makan dengan lamban dan makan dalam
jumlah yang sedikit. Anak yang makan dengan lambat karena nafsu makan yang kecil
dapat diakibatkan karena anak mengonsumsi snack sebelum makan. Anak-anak yang
makan dengan lambat dapat menjadi indikator meningkatnya daya tanggap mereka
terhadap rasa kenyang atau anak merasa lebih cepat kenyang. Perasaan cepat kenyang
ini dikaitkan dengan BMI anak yang lebih rendah.
Berdasarkan Data Badan Pusat Statistik terkait Keadaan Ketenagakerjaan
Indonesia, tingkat partisipasi angkatan kerja wanita meningkat dari tahun 2017-2019.
Pada tahun 2018, tingkat partisipasi angkatan kerja wanita meningkat sebesar 0,40%
poin dari 55,04% menjadi 55,44% dibandingkan dengan kondisi setahun yang lalu,
sedangkan tingkat partisipasi angkatan kerja laki-laki menurun 0,04% poin. Pada
tahun 2019, tingkat partisipasi angkatan kerja laki-laki dan perempuan masing-
masing meningkat sebesar 0,17% poin dan 0,06% poin. Namun, pada tahun 2020,
tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan mengalami penurunan 94 poin menjadi
54,06% dibandingkan tahun sebelumnya. Selain itu, pada tahun 2014, tingkat
partisipasi angkatan kerja wanita di Kabupaten Pekalongan meningkat 0,34% dari
56,96 menjadi 57,30 dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Menurut sebuah
penelitian, jika seorang ibu bekerja maka hal ini akan meningkatkan tanggung jawab
seorang ayah untuk ikut serta dalam mengasuh anaknya.
Oleh karena fakta-fakta tersebut, maka peneliti tertarik untuk menganalisis
hubungan antara praktik pemberian makan oleh ayah dan perilaku makan anak
terhadap status gizi pada anak usia pra-sekolah (3-5) tahun.
B. Rumusan Masalah
Adakah hubungan praktik pemberian makan oleh ayah dan perilaku makan
terhadap status gizi pada anak usia pra-sekolah (3-5 tahun).
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mengetahui hubungan praktik pemberian makan oleh ayah dan perilaku
makan anak terhadap status gizi pada anak usia pra-sekolah (3-5) tahun.
2. Tujuan Khusus
a. Mendeskripsikan praktik pemberian makan oleh ayah terhadap anak usia pra-
sekolah (3-5 tahun).
b. Memberikan gambaran perilaku makan pada anak usia pra-sekolah (3-5
tahun).
c. Memberikan gambaran status gizi pada anak usia pra-sekolah (3-5 tahun).
d. Menganalisis hubungan praktik pemberian makan oleh ayah dengan perilaku
makan anak usia pra-sekolah (3-5 tahun).
e. Menganalisis hubungan perilaku makan anak dengan status gizi pada anak
usia pra-sekolah (3-5 tahun).
f. Menganalisis hubungan praktik pemberian makan oleh ayah dan perilaku
makan anak dengan status gizi anak usia pra-sekolah (3-5 tahun).
D. Manfaat
1. Bagi Masyarakat
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai sumber informasi bagi keluarga
terutama kedua orang tua terkait praktik pemberian makan yang dapat
menimbulkan dampak negatif bagi perilaku makan anak dan status gizi anak.
2. Bagi Institusi Pendidikan
Penelitian ini dapat dijadikan sebagai evidence base bagi institusi pendidikan
guna mengembangkan konsep terkait pentingnya pemberian makan yang tepat
dari orang tua kepada anak.
3. Bagi Peneliti Selanjutnya
Penelitian ini dapat dijadikan dasar dalam upaya mengembangkan intervensi
terkait praktik pemberian makan yang tepat dalam keluarga dalam rangka
memenuhi kebutuhan gizi anak dan membentuk perilaku makan anak yang baik.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Telaah Pustaka
1. Status Gizi Anak Usia Prasekolah
a. Pengertian Anak Usia Prasekolah
Anak usia prasekolah atau yang dikenal dengan masa kanak-kanak awal
(early childhood) berada dalam rentang usia 3-5 tahun. Masa ini merupakan
periode penting dalam proses tumbuh kembang manusia. Perkembangan dan
pertumbuhan di masa itu menjadi penentu keberhasilan pertumbuhan dan
perkembangan anak di periode selanjutnya. Masa tumbuh kembang di usia ini
merupakan masa yang berlangsung cepat dan tidak akan pernah terulang,
karena itu sering disebut golden age atau masa keemasan.
b. Karakteristik Anak Usia Prasekolah
Karakter anak usia prasekolah adalah sebagai berikut :
1) Memiliki rasa ingin tahu yang besar.
Anak usia prasekolah sangat ingin tahu tentang dunia sekitarnya.
Pada usia 3-5 tahun, anak sering membongkar pasang segala sesuatu
untuk memenuhi rasa ingin tahunya. Anak juga mulai gemar bertanya
meski dalam bahasa yang masih sangat sederhana.
2) Merupakan pribadi yang unik.
Meskipun banyak kesamaan dalam pola umum perkembangan anak
usia prasekolah, setiap anak memiliki kekhasan tersendiri dalam hal
bakat, minat, gaya belajar, dan sebagainya. Keunikan ini berasal dari
faktor genetik dan juga lingkungan.
3) Suka berfantasi dan berimajinasi.
Fantasi adalah kemampuan membentuk tanggapan baru dengan
pertolongan tanggapan yang sudah ada. Imajinasi adalah kemampuan
anak untuk menciptakan obyek atau kejadian tanpa didukung data yang
nyata. Anak usia prasekolah sangat suka membayangkan dan
berimajinasi mengembangkan berbagai hal jauh melampaui kondisi
nyata.
4) Masa paling potensial untuk belajar.
Masa itu sering juga disebut sebagai “golden age” atau usia emas.
Karena pada rentang usia itu anak mengalami pertumbuhan dan
perkembangan yang sangat pesat di berbagai aspek.
5) Menunjukkan sikap egosentris.
Pada usia ini anak memandang segala sesuatu dari sudut
pandangnya sendiri. Anak cenderung mengabaikan sudut pandang
orang lain. Hal itu terlhat dari perilaku anak yang masih suka berebut
mainan, menangis atau merengek sampai keinginannya terpenuhi.
6) Memiliki rentang daya konsentrasi yang pendek.
Anak usia prasekolah memiliki rentang perhatian yang sangat
pendek. Pehatian anak akan mudah teralih pada hal lain terutama yang
menarik perhatiannya.
7) Sebagai bagian dari makhluk sosial.
Anak usia prasekolah mulai suka bergaul dan bermain dengan
teman sebayanya. Ia mulai belajar berbagi, mau menunggu giliran, dan
mengalah terhadap temannya. Melalui interaksi sosial ini anak
c. Pengertian Status Gizi
Status gizi adalah keadaan gizi seseorang yang dapat dilihat untuk
mengetahui apakah seseorang tersebut itu normal atau bermasalah (gizi salah).
Gizi salah adalah gangguan kesehatan yang disebabkan oleh kekurangan atau
kelebihan dan atau keseimbangan zat-zat gizi yang diperlukan untuk
pertumbuhan, kecerdasan dan aktivitas atau produktivitas. Status gizi juga
dapat merupakan hasil akhir dari keseimbangan antara makanan yang
dimasukkan ke dalam tubuh (nutrient input) dengan kebutuhan tubuh
(nutrient output) akan zat gizi tersebut.
d. Penilaian Status Gizi
1) Penilaian Secara Langsung
Penilaian status gizi secara langsung dibagi menjadi empat yaitu
antropometri, klinis, biokimia dan biofisik.
a) Antropometri
Secara umum antropometri artinya ukuran tubuh manusia. Ditinjau
dari sudut pandang gizi antropometri gizi berhubungan dengan berbagai
macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai
tingkat umum dan tingkat gizi. Pengukuran melalui antropometri
mempunyai kelebihan dari beberapa segi kepraktisan lapangan.
Pengukuran antropometri yang biasa dilakukan adalah Berat Badan (BB),
Panjang Badan (PB), Tinggi Badan (TB), dan Lingkar Lengan Atas
(LLA). Kategori dan ambang batas status gizi anak berdasarkan indeks
dapat dilihat pada tabel 1.
Rendah Rendah Normal Keadaan gizi anak saat ini baik, tetapi
anak tersebut mengalami gizi kronis.
BB anak proporsional dengan TB nya.
Normal Rendah Lebih Anak mengalami masalah gizi kronis
dan pada saat ini menderita
kegemukan (overweight) karena BB
lebih dari proporsional terhadap TB
nya
Rendah Rendah Rendah Anak mengalami kurang gizi berat dan
kronis artinya pada saat ini keadaan
gizi anak tidak baik dan riwayat masa
lalunya juga tidak baik.
Normal Normal Normal Keadaan gizi anak “baik” pada saat ini
dan pada masa lalu
Rendah Normal Rendah Anak mengalami kurang gizi berat
(kurus).
Normal Normal Rendah Keadaan gizi anak secara umum
baiktetapi berat badannya kurang
proporsional terhadap TB nya karena
tubuh anak jangkung.
Sumber: (Supariasa, 2002)
b) Klinis
Pemeriksaan klinis adalah metode yang sangat penting untuk
menilai status gizi masyarakat. Metode ini berdasarkan atas perubahan-
perubahan yang terjadi yang dihubungkan dengan ketidakcukupan zat
gizi. Hal ini dapat dilihat pada jaringan epitel (supervicial epithelial
tissues) seperti kulit, mata, rambut dan mukosa oral/pada organ-organ
yang dekat dengan permukaan tubuh seperti kelenjar tiroid.
c) Biokimia
Penilaian status gizi dengan biokimia adalah pemeriksaan yang
diuji secara laboratorium yang dilakukan pada berbagai macam jaringan
tubuh. Jaringan tubuh yang digunakan antara lain : darah, urine, tinja dan
beberapa jaringan tubuh seperti hati dan otot.
d) Biofisik
Penilaian status gizi baik secara biofisik adalah metode penentuan
status gizi dengan menilai kemampuan fungsi (khususnya jaringan)
dan melihat perubahan struktur dari jaringan.
2) Penilaian Secara Tidak Langsung
Penilaian status gizi secara tidak langsung dibedakan menjadi tiga
yaitu survei konsumsi makanan, statistik vital dan faktor ekologi.
a) Survei Konsumsi Makanan
Survei konsumsi makanan adalah metode penentuan status gizi
secara tidak langsung dengan melihat jumlah dan jenis zat gizi yang
dikonsumsi. Berdasarkan jenis data yang diperoleh, pengukuran
konsumsi makanan menghasilkan dua jenis data konsumsi yang
bersifat kualitatif dan kuantitatif.
(1) Metode Kualitatif
Metode ini biasanya untuk menggambarkan frekuensi
makanan, frekuensi konsumsi menurut jenis bahan bahan
makanan dan menggali informasi tentang kebiasaan makan
(food habits) serta cara-cara memperoleh bahan makanan.
(a) Metode riwayat makanan (dietary history)
(b) Metode frekuensi makan (food frequency)
(c) Metode telepon
(d) Metode pendaftaran makanan (food list).
(2) Metode Kuantitatif
Metode ini digunakan untuk mengetahui jumlah makanan
yang dikonsumsi sehingga dihitung konsumsi zat gizi dengan
menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM).
Metode tersebut antara lain :
(a) Metode recall 24 jam
(b) Perkiraan makanan (estimation food records)
(c) Penimbangan makanan (food weighing)
(d) Metode food account
(e) Metode inventaris
(f) Pencatatan (household food records).
(3) Metode Kualitatif dan Kuantitatif
Beberapa metode dapat menghasilkan data yang bersifat
kualitatif maupun kuantitatif. Metode tersebut antara lain :
(a) Metode recall 24 jam
(b) Metode riwayat makanan (dietary history).
b) Statistik Vital
Penilaian status gizi dengan statistik vital adalah menganalisis data
beberapa statistik kesehatan seperti angka kematian berdasarkan umur,
angka kesakitan dan kematian akibat penyebab tertentu dan data
lainnya yang berhubungan dengan gizi.
c) Faktor Ekologi
Malnutrisi merupakan masalah ekologi sebagai hasil interaksi
beberapa faktor fisik, biologis dan lingkungan budaya. Jumlah
makanan yang tersedia sangat tergantung dari keadaan ekologi seperti
iklim, tanah, irigasi dan lain-lain.
e. Dampak Masalah Gizi pada Anak Usia Prasekolah
1) Dampak Gizi Kurang
Status gizi kurang merupakan kondisi tidak sehat yang ditimbulkan
karena tidak tercukupinya kebutuhan makanan yang diperlukan oleh
tubuh. Pada keadaan gizi kurang akan mengakibatkan terhambatnya
proses tumbuh kembang anak. Pada anak-anak, Kekurangan Energi
protein (KEP) dapat berdampak dalam menghambat pertumbuhan, rentan
terhadap penyakit infeksi dan mengakibatkan rendahnya tingkat
kecerdasan. Anak disebut KEP apabila berat badannya kurang dari 80%
indeks berat badan menurut umur (BB/U) baku WHO-NCHS. Faktor
penyebab langsung terjadinya kekurangan gizi adalah ketidakseimbangan
gizi dalam makanan yang dikonsumsi dan terjangkitnya penyakit infeksi.
Penyebab tidak langsung adalah ketahanan pangan di keluarga, pola
pengasuhan anak dan pelayanan kesehatan.
2) Dampak Gizi Lebih
Status gizi lebih merupakan keadaan tubuh seseorang yang
mengalami kelebihan berat badan, yang terjadi karena kelebihan jumlah
asupan energi yang disimpan dalam bentuk cadangan berupa lemak. Ada
yang menyebutkan bahwa masalah gizi lebih identik dengan kegemukan.
Kegemukan dapat menimbulkan dampak yang sangat berbahaya yaitu
dengan munculnya penyakit degeneratif, seperti diabetes mellitus (DM),
penyakit jantung koroner, hipertensi, penyakit hati, kanker, gangguan
metabolisme, dsb.
Beberapa faktor penyebab obesitas pada anak antara lain asupan
makanan berlebih yang berasal dari jenis makanan olahan serba instan,
minuman soft drink, dan makanan jajanan seperti makanan cepat saji.
Faktor penyebab obesitas lainnya adalah kurangnya aktivitas fisik baik
kegiatan harian maupun latihan fisik terstruktur. Obesitas pada usia anak
akan meningkatkan risiko obesitas pada saat dewasa. Penyebab obesitas
dinilai sebagai multikausal dan sangat multidimensional karena tidak
hanya terjadi pada golongan sosioekonomi tinggi, tetapi juga sering
terdapat pada sosio-ekonomi menengah hingga menengah ke bawah. Jika
obesitas terjadi pada anak sebelum usia 5-7 tahun, maka risiko obesitas
dapat terjadi pada saat tumbuh dewasa.
f. Faktor yang Mempengaruhi Status Gizi
Faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi ada dua yaitu faktor
langsung dan tidak langsung.
1) Faktor Langsung
Faktor langsung dipengaruhi oleh infeksi dan asupan makanan.
a) Faktor infeksi
Defisiensi gizi sering dihubungkan dengan infeksi. Infeksi bisa
dihubungkan dengan gangguan gizi melalui beberapa cara yaitu
mempengaruhi nafsu makan, dapat juga menyebabkan kehilangan
bahan makanan karena diare atau muntah mempengaruhi metabolisme
makanan dan banyak cara lain lagi. Secara umum, defisiensi gizi
merupakan awal dari gangguan sistem kekebalan. Gizi kurang dan
infeksi, kedua-duanya dapat bermula dari kemiskinan dan lingkungan
tidak sehat dengan sanitasi yang buruk. Selain itu juga diketahui
bahwa infeksi menghambat reaksi immunologis yang normal dengan
menghasilkan sumber-sumber energi tubuh. Gangguan gizi dan infeksi
sering bekerja sama dan jika bekerja sama akan memberikan prognosis
yang lebih buruk jika dibandingkan dengan jika kedua faktor tadi
bekerja sendiri-sendiri. Infeksi memperburuk taraf gizi dan sebaliknya,
gangguan gizi memperburuk kemampuan anak untuk mengatasi
penyakit infeksi. Kuman-kuman yang kurang berbahaya bagi anak-
anak dengan status gizi naik, bisa menyebabkan kematian pada anak-
anak dengan status gizi yang buruk.
b) Asupan Makan
Tujuan memberi makan pada anak adalah untuk memenuhi
kebutuhan zat gizi yang cukup dalam kelangsungan hidupnya,
pemulihan kesehatan sesudah sakit, untuk aktivitas pertumbuhan dan
perkembangan. Dengan memberikan makan, anak juga dapat
menerima, menyukai makanan yang baik serta menentukan jumlah
makanan yang cukup dan bermutu. Makanan sehari-hari yang dipilih
dengan baik akan memberikan semua zat gizi yang dibutuhkan untuk
fungsi normal tubuh. Sebaliknya, jika makanan tidak dipilih dengan
baik, tubuh akan mengalami kekurangan zat-zat gizi esensial tertentu.
Konsumsi aneka ragam makanan merupakan salah satu cara untuk
mencukupi zat-zat gizi yang kurang di dalam tubuh.
2) Faktor Tidak Langsung
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi gizi secara tidak langsung
antara lain: pola asuh, pendidikan, pengetahuan, ketersediaan pangan,
sikap, perilaku, sanitasi lingkungan dan pelayanan kesehatan.
a) Pola Asuh
Pola asuh adalah praktik di rumah tangga yang diwujudkan dengan
tersedianya pangan dan perawatan kesehatan serta sumber lainnya
untuk kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan anak.
Pola pengasuhan anak berupa sikap dan perilaku ibu atau pengasuh
lain dalam hal hakekatnya dengan anak, memberikan makan (feeding
practices), merawat, kebersihan, memberi kasih sayang dan
sebagainya.
1) Perawatan dan Perlindungan Bagi Anak
Setiap orangtua berkewajiban untuk memberikan
perawatan dan perlindungan yang aman dan nyaman bagi anak.
Masa lima tahun pertama merupakan masa yang akan
menentukan pembentukan fisik, psikis, maupun kecerdasan
otak sehingga masa ini anak mendapatkan perawatan dan
perlindungan yang intensif. Bentuk perawatan bagi anak
dimulai sejak bayi lahir sampai dewasa misalnya sejak bayi
lahir yaitu memotong tali pusat, pemberian makanan dan
sebagainya. Perlindungan bagi anak berupa pengawasan waktu
bermain dan pengaturan tidur.
2) Pemberian Makan
Pemberian makanan merupakan bentuk mendidik
ketrampilan makan, membina kebiasaan makan, membina
selera terhadap jenis makanan, membina kemampuan memilih
makanan untuk kesehatan dan mendidik perilaku makan yang
baik dan benar sesuai kebudayaan masing-masing. Kekurangan
dalam pemberian makan akan berakibat sebagai masalah
kesulitan makan atau kekurangan nafsu makan yang pada
gilirannya akan berdampak negatif pada kesehatan dan tumbuh
kembang nantinya.
3) Pengasuhan Psiko-Sosial
Pengasuhan psiko-sosial terwujud dalam pola interaksi
dengan anak dan orangtua. Interaksi timbal balik antara anak
dan orangtua akan menimbulkan keakraban dalam keluarga.
Anak akan terbuka kepada orangtuanya, sehingga komunikasi
bisa dua arah dan segala permasalahan dapat dipecahkan
bersama karena adanya keterdekatan dan kepercayaan antara
orangtua dan anak. Pengasuhan psiko-sosial ini antara lain
terdiri dari cinta dan kasih sayang serta interaksi antar orangtua
dan anak.
b) Kebersihan Diri dan Sanitasi Lingkungan
Perilaku kesehatan merupakan salah satu atau penyebab atau resiko
utama penyebab masalah gizi. Lingkungan merupakan faktor yang
sangat mempengaruhi proses tumbuh kembang anak. Lingkungan juga
berfungsi menyediakan kebutuhan dasar bagi tumbuh kembang anak.
peran orangtua dalam membantu proses pertumbuhan dan
perkembangan anak adalah dengan membentuk kebersihan diri dan
sanitasi lingkungan yang sehat. Lingkungan rumah bersanitasi buruk,
paparan sinar matahari yang minim, sirkulasi udara yang tidak lancar,
akan berdampak buruk bagi proses tumbuh kembang anak. Apalagi
jika lingkungan sangat kaya dengan kandungan zatzat berbahaya.
c) Praktik Menyusui dan Pemberian Makanan Pendamping ASI.
(a) Menyusui
Menyusui adalah proses pemberian ASI kepada ibu.
Pemberian ASI berarti menumbuhkan kasih sayang antar ibu dan
bayinya seperti berbicara, mendekap dan mengelus bayi.
pemberian ASI akan mempengaruhi tumbuh kembang dan
kecerdasan anak.
(b) Makanan pendamping ASI
Makanan pendamping ASI merupakan makanan tambahan
yang diberikan kepada bayi setelah bayi berusia 6 bulan sampai
bayi berusia 2 tahun. Selain ASI, ASI pun harus tetap diberikan
kepada bayi, makanan ini harus menjadi pelengkap dan dapat
memenuhi kebuhan bayi.
d) Praktik Kesehatan di Rumah dan Pola Pencarian Pelayanan Kesehatan
Balita perlu diperiksakan kesehatannya dibidan atau dokter bila
sakit sebab mereka masih mempunyai resiko yang tinggi untuk
terserang penyakit. Adapun praktik kesehatan yang dilakukan dalam
rangka pemeriksaan pemantaun kesehatannya adalah
(a) Imunisasi
Imunisasi adalah memberikan kekebalan pada anak untuk
melindunginya dari pada beberapa penyakit tertentu seperti
Hepatitis B, Tuberkolusis, Tetanus, Polio, Campak. Pemberian
harus sedini mungkin dan lengkap.
(b) Pemantauan
Pertumbuhan Anak Pemantauan pertumbuhan anak dapat
dilakukan dengan aktif melakukan pemeliharaan gizi misalkan
dengan datang keposyandu. Dengan aktif datang keposyandu maka
orang tua dapat mengetahui pertumbuhan anak.
e) Pengetahuan
Kurangnya pengetahuan tentang gizi atau kemampuan untuk
menetapkan informasi dalam kehidupan sehari-hari merupakan
penyebab terjadinya gangguan gizi. Orang tua yang mempunyai
pengetahuan gizi dan kesadaran gizi yang tinggi akan melatih
kebiasaan makan yang sehat sedini mungkin kepada anak-anaknya.
Selain itu tingkat pengetahuan orang tua terutama ibu akan
berpengaruh juga pada macam bahan makanan dalam konsumsi
keluarga sehari-hari. Orang tua yang cukup pengetahuan gizinya akan
memperhatikan kebutuhan gizi anaknya agar dapat tumbuh dan
berkembang secara optimal.
f) Sikap
Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari
seseorang terhadap stimulus atau objek. Manifestasi sikap tidak dapat
langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari
perilaku yang tertutup. Suatu sikap belum dapat otomatis terwujud
dalam suatu tindakan (over behaviour). Banyak faktor yang dapat
mempengaruhi penentuan sikap secara utuh seperti pengetahuan,
berfikir, berkeyakinan, dan emosi. Sedangkan untuk mewujudkan
sikap menjadi suatu perbuatan diperlukan faktor pendukung atau
kondisi yang memungkinkan antara lain adalah fasilitas.
g) Perilaku
Komponen perilaku atau komponen konatif dalam struktur sikap
menunjukkan bagaimana perilaku atau kecenderungan berperilaku
yang ada dalam diri seseorang berkaitan dengan objek sikap yang
dihadapinya. Kaitan ini didasari oleh asumsi bahwa kepercayaan dan
perasaan banyak mempengaruhi perilaku. Maksudnya, bagaimana
orang berperilaku dalam situasi tertentu dan terhadap stimulus
tertentu. Kecenderungan berperilaku secara konsisten, selaras dengan
kepercayaan dan perasaan ini membentuk sikap individual. Karena itu,
adalah logis untuk mengharapkan bahwa sikap seseorang akan
dicerminkannya dalam bentuk tendensi perilaku terhadap objek.
2. Praktik Pemberian Makan
a. Pengertian
Domain perilaku yaitu praktik (practice) yang artinya seseorang yang
telah mengetahui stimulus/objek kesehatan, kemudian mengadakan penilaian
atau pendapat terhadap apa yang diketahui, proses selanjutnya diharapkan ia
akan melaksanakan/mempraktikkan apa yang diketahui atau disikapinya.
Serta membutuhkan faktor dukungan (support). Perilaku adalah segala bentuk
tanggapan dari individu terhadap lingkungannya dan merupakan suatu
perwujudan dari adanya kebutuhan. Tingkatan praktik adalah mulai dari
persepsi, respon terpimpin, mekanisme dan adaptasi.
b. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Praktik Pemberian Makan
Faktor-faktor yang mempengaruhi praktik pemberian makan yaitu
meliputi:
1) Faktor Ekonomi
Variabel ekonomi yang cukup dominan dalam mempengaruhi
konsumsi pangan adalah pendapatan keluarga dan harga. Meningkatnya
pendapatan akan meningkatkan peluang untuk membeli pangan dengan
kualitas dan kuantitas yang lebih baik.
2) Faktor Sosial Budaya
Pantangan dalam mengkonsumsi jenis makanan tertentu dapat
dipengaruhi oleh faktor budaya/kepercayaan. Pantangan yang didasari
oleh kepercayaan pada umumnya mengandung perlambang atau nasihat
yang dianggap baik ataupun tidak baik yang lambat laun menjadi
kebiasaan/adat. Budaya mempengaruhi seseorang dalam menentukan apa
yang akan dimakan, bagaimana pengolahan, persiapan, dan penyajiannya
serta untuk siapa dan dalam kondisi bagaimana pangan tersebut
dikonsumsi.
3) Pendidikan
Pendidikan adalah suatu kegiatan atau proses pembelajaran untuk
mengembangkan atau meningkatkan kemampuan tertentu sehingga
sasaran pendidikan itu dapat berdiri sendiri. Tingkat pendidikan akan
menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap pengetahuan yang
mereka peroleh. Tingkat pendidikan dapat mempengaruhi pengetahuan
dan perilaku seseorang, hal ini dikarenakan tingkat pendidikan yang
terlalu rendah akan sulit memahami pesan atau informasi yang
disampaikan.
4) Lingkungan
Faktor lingkungan cukup besar pengaruhnya terhadap
pembentukan perilaku makan. Kebiasaan makan pada keluarga sangat
berpengaruh besar terhadap pola makan seseorang, kesukaan seseorang
terhadap makanan terbentuk dari kebiasaan makan yang terdapat dalam
keluarga.
5) Usia
Umur berpengaruh dalam proses belajar menyesuaikan diri, seiring
dengan bertambahnya umur seseorang maka semakin banyak pengalaman
yang akan didapat dari lingkungan dalam membentuk perilakunya.
Semakin bertambah umur, orang tua akan mempunyai pengalaman yang
lebih banyak dari lingkungannya dalam pola asuh anak khususnya dalam
perilaku pemberian makan bagi anaknya.
c. Pengasuhan Ayah
Ibu memiliki tanggung jawab sebagai pengasuh utama, namun hal ini
telah berubah selama empat dekade terakhir sebagai akibat dari meningkatnya
lapangan kerja ibu di luar rumah. Penelitian lain menunjukkan bahwa ayah
adalah orang yang bertanggungjawab dalam pengasuhan anak ketika ibu
bekerja di luar rumah. Keterlibatan ayah sangat diperlukan dan
mempengaruhi status gizi maupun perkembangan anak. Peran serta perilaku
pengasuhan ayah mempengaruhi perkembangan serta kesejahteraan anak pada
setiap tahap perkembangannya.
Penelitian-penelitian saat ini banyak berfokus pada bagaimana peran ibu
dalam pemberian makan balita dan masih terbatas penelitian yang mengkaji
partisipasi ayah dalam pola pemberian makan balita. Penelitian lain di
Indonesia menunjukkan bahwa tanggung jawab kebersamaan ayah dan ibu
dalam menjalankan pengasuhan cukup tinggi, karena sebagian besar responden
menyatakan bahwa pengasuhan anak adalah tugas bersama. Temuan mengenai
rata-rata waktu yang digunakan ayah dalam berinteraksi dengan anak adalah 6
jam. Penelitian di Amerika Serikat pada tahun 1980-an menunjukkan bahwa
ayah menghabiskan waktu setara dengan 30% sebanyak ibu berinteraksi
dengan anak-anak mereka. Tahun 2001, ayah menghabiskan 67% lebih
banyak waktu berinteraksi dengan anak-anak mereka di hari kerja dan 87%
lebih banyak di akhir pekan. Penelitian yang lebih baru menunjukkan
keterlibatan ayah yang meningkat dalam hal pemberian makan kepada anak
mereka. Penelitian lain di Australia tahun 2013, menunjukkan bahwa sekitar
80% ayah yang memiliki anak usia 2-5 tahun ikut serta dalam hal pemberian
makan anak setiap harinya. Penelitian lain di Amerika Serikat juga
melaporkan bahwa 72% ayah yang memiliki anak di bawah umur 5 tahun
terlibat dalam pemberian makan anak mereka setiap hari. Penelitian di Jawa
Timur juga menunjukkan terdapat hubungan kuat antara partisipasi ayah
terhadap jenis makan balita dan terdapat hubungan yang sedang antara
partisipasi ayah dalam pemberian jumlah dan jadwal makan balita.
Berdasarkan penelitian-penelitian tersebut, peningkatan waktu yang
dihabiskan ayah dengan anak-anak mereka mencerminkan peningkatan
keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak, di mana kedua orang tua memiliki
tanggung jawab bersama untuk membesarkan anak mereka.
Praktik pemberian makan ibu dan ayah sebenarnya hampir mirip, namun
ayah dilaporkan menggunakan tekanan yang lebih tinggi ketika memberi
makan kepada anak dibandingkan dengan ibu. Selain itu, ibu lebih sering
menggunakan keterlibatan positif dalam memberikan makanan kepada anak.
Tingginya IMT pada anak berhubungan dengan tingginya pembatasan makan
dari seorang ayah. Sedangkan tekanan untuk makan yang tinggi dari ayah
dihubungkan dengan rendahnya IMT pada anak. Kedua praktik pemberian
makan ini dapat menghambat kemampuan anak untuk mengembangkan
kesadaran akan rasa lapar dan kenyang dari dalam diri mereka.
d. Karakteristik
Karakteristik Praktik Orang tua dalam Pemberian Makan Musher-Eizman
dan Holub (2007) menjelaskan bahwa praktik pemberian makan pada anak
dapat dilihat dari beberapa aspek yaitu:
1) Tekanan untuk makan (Pressure To Eat)
Tekanan untuk makan sebagai tindakan mendorong anak untuk
makan. Orang tua sering sekali melakukan tindakan tekanan pada anak
dalam aktivitas makan untuk usaha meningkatkan berat badan anak.
Bentuk lain dari tekanan yang seringkali dilakukan orangtua adalah
dengan membentak, berkata kasar, memaksa anak untuk makan makanan
yang disediakan. Tekanan yang dilakukan orangtua agar anak mau makan
atau menghabiskan makanannya akan menggangu psikologis anak. Anak
akan merasa bahwa aktivitas makan merupakan aktivitas yang tidak
menyenangkan sehingga anak akan kehilangan nafsu makan yang akan
berdampak pada pertumbuhannya. Studi di Amerika Serikat menunjukkan
bahwa tekanan untuk mengonsumsi makanan berhubungan dengan
rendahnya IMT pada anak. Tekanan untuk mengonsumsi makanan
berlebih menyebabkan anak merasa kenyang lebih cepat dan
menghasilkan respon penolakan anak terhadap makanan sehingga asupan
makanan menjadi lebih sedikit, selain itu konsumsi buah dan sayur
menjadi lebih rendah dan anak akan cenderung menjadi picky eaters.
2) Pembatasan untuk berat badan (Restriction For Weight)
Pembatasan makanan merupakan kontrol terlalu tinggi terhadap
apa dan berapa banyak makanan yang anak makan. Orang tua sering kali
berusaha membatasi konsumsi makanan tertentu pada anaknya dengan
cara yang tidak tepat. Orang tua berusaha membatasi makanan cepat saji
bagi anak. Orang tua memiliki tujuan baik dengan melakukan tindakan
tersebut, namun tindakan pembatasan terhadap konsumsi makanan
tertentu akan semakin meningkatkan minat anak terhadap makanan
tersebut. Studi lain di beberapa negara menemukan bahwa pembatasan
untuk mengonsumsi jumlah dan jenis makanan tertentu dikaitkan dengan
berat badan anak yang lebih tinggi. Ketika orang tua membatasi anak
untuk mengonsumsi jenis makanan tertentu, hal ini menyebabkan anak
akan mengonsumsi jenis makanan tersebut dalam jumlah yang lebih lebih
banyak saat ada waktu untuk mengonsumsi jenis makanan tersebut.
Praktik pembatasan makanan secara berlebih dapat meningkatkan
kelebihan berat badan pada masa kanak-kanak dengan menghambat
respon kenyang di daerah nukleus ventromidial hipothalamus di otak.
3) Makanan sebagai hadiah
Reward merupakan hal yang disuka anak. Namun reward juga bisa
menimbulkan dampak buruk bagi perilaku makan pada anak. Bentuk
reward yang tepat yang dapat dilakukan pada anak dengan memberikan
pujian, pelukan, ciuman pada anak jika anak menunjukkan perilaku baik,
misalnya jika anak mengkonsumsi makanan sehat. Orang tua yang selalu
menunjukkan kasih sayangnya dengan memberikan pujian, ketika anak
mengkonsumsi makanan sehat akan membuat anak berada dalam kondisi
yang nyaman dan berimbas pada perkembangan perilaku makan yang baik
pada anak begitu pula sebaliknya. Penelitian tahun 2017 di Amerika
Serikat, menunjukkan bahwa praktik pemberian makan dari ayah seperti
memberikan makanan sebagai hadiah dapat menimbulkan kecenderungan
anak untuk makan ketika kondisi tidak lapar dan menyebabkan penurunan
kemampuan untuk mengatur asupan makan mereka, sehingga akan
berkontribusi pada penambahan berat badan berlebih pada anak.
Penurunan kemampuan untuk mengatur asupan inilah yang dapat
menyebabkan anak memiliki perilaku makan emosional. Makan
emosional pada anak dapat berkontribusi terhadap penambahan berat
badan, hal ini berhubungan dengan peningkatan hormon kortisol sebagai
respon dari stres yang akan berdampak pada peningkatan nafsu makan
anak. Penelitian lain menunjukkan bahwa praktik pemberian makan dari
ayah seperti menggunakan makanan sebagai hadiah berhubungan dengan
asupan SSB (Sugar Sweetened Beverage) di kelompok anak usia pra-
sekolah Ras Hispanic. Keinginan untuk mengonsumsi minuman manis
dengan nilai gizi rendah dan kepadatan energi yang tinggi menyebabkan
penambahan berat badan pada anak.
4) Regulasi Emosi
Regulasi emosi menekankan pada bagaimana dan mengapa emosi
itu sendiri mampu mengatur seperti memusatkan perhatian saat pemberian
makan dan memusatkan anak ketika sedang makan.
5) Kontrol anak (Child Control)
Kontrol makanan merupakan tindakan yang dilakukan orangtua
terhadap makanan yang dikonsumsi oleh anak. Adapun bentuk kontrol
yang dapat dilakukan meliputi tekanan pada anak untuk makan (pressure)
dan pembatasan untuk makan (retriction). Tekanan untuk makan
merupakan suatu tindakan mendorong anak untuk makan. Orang tua
sering sekali melakukan tindakan tekanan pada anak dalam aktivitas
makan untuk usaha meningkatkan berat badan anak. Bentuk tekanan yang
dilakukan orang tua dapat berupa pemberian hadiah/reward pada anak.
6) Edukasi Makanan (Teaching Nutrition)
Edukasi makanan sehat dapat dilakukan saat aktivitas pemberian
makan pada anak. Orangtua dapat menyampaikan manfaat makan sayur
ketika memberikan suapan sayur pada anak atau ketika anak menolak
untuk makan sayur. Ibu merupakan pendidik keluarga, pengajaran tentang
zat gizi dan makanan sehat pada anak diberikan oleh ibu karena ibu
memiliki pengetahuan yang lebih baik terkait kandungan gizi makanan
dibandingkan oleh ayah.
7) Mendorong keseimbangan (Encourage Balance)
Tekanan untuk makan sebagai tindakan mendorong anak untuk
makan. Orang tua sering sekali melakukan tindakan tekanan pada anak
dalam aktivitas makan untuk usaha meningkatkan berat badan anak.
8) Lingkungan sehat (Healthy Environment)
Faktor lingkungan cukup besar pengaruhnya terhadap
pembentukan perilaku makan. Kebiasaan makan pada keluarga sangat
berpengaruh besar terhadap pola makan seseorang, kesukaan seseorang
terhadap makanan terbentuk dari kebiasaan makan yang terdapat dalam
keluarga. Anak usia 3-6 tahun mempunyai ciri khas yaitu sedang dalam
proses tumbuh kembang, ia banyak melakukan kegiatan jasmani, dan
mulai aktif berinteraksi dengan lingkungan sosial maupun alam sekitarnya
sehingga lupa untuk makan.
9) Keterlibatan anak (Involvement)
Anak dapat dilibatkan dalam proses penyiapan dan pemilihan
makan. Penyiapan dan pemilihan makanan merupakan tanggung jawab
ibu, namun secara perlahan anak harus mampu memilih dan menentukan
makanan sehat bagi dirinya. Perkembangan kognitif dan motorik pada
usia balita yang belum matang mengakibatkan anak belum mampu
mempersiapkan dan memilih makanan secara mandiri. namun orang tua
perlu melibatkan anak dalam proses tersebut.
10) Pemantauan (Monitoring)
Pemantauan pola makan anak penting bagi pertumbuhan, anak
seringkali makan apa saja yang mereka sukai, oleh karena itu penting
orang tua untuk memantau nutrisi anak. Ketika pola makan anak teratur
maka gizi anak tercukupi dan terhindar dari masalah kesehatan.
11) Model Peran (Modeling)
Model peran (Modeling) merupakan suatu perilaku pemberian
contoh sehingga orang yang melihat akan mengikuti perilaku tersebut.
Modeling dapat memberikan efek protektif terhadap kesehatan anak.
Lingkungan keluarga merupakan tempat anak pertama kali belajar
mengenai segala sesuatu melalu model peran. Model peran ditunjukkan
orang tua dan orang lain yang memiliki kedekatan dengan anak akan
mempengaruhi kebiasaan makan pada anak.
3. Perilaku Makan Anak
a. Definisi
Perilaku merupakan suatu kegiatan atau aktivitas yang dilakukan oleh
organisme (makhluk hidup). Perilaku adalah respon atau reaksi seseorang
terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Perilaku manusia pada dasarnya
merupakan tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai
kegiatan yang sangat luas seperti berjalan, berbicara, menangis, tertawa,
bekerja, kuliah, membaca dan seterusnya. Makan dan perilaku terhadap
makanan berpusat pada keluarga selama masa kanak-kanak. Perilaku makan
anak pertama kali dipengaruhi oleh keluarga, karena anak terlahir tanpa
kemampuan untuk memilih makanan, mereka belajar makan melalui
pengalaman dan pendidikan dalam keluarga. Kebiasaan makan sangat
berkaitan dengan budaya dan pilihan serta pola individu dalam keluarga.
Orang tua dapat berperan sebagai pendidik gizi melalui interaksi keluarga
untuk mempengaruhi kebiasaan makan anak. Pemilihan makanan, jumlah,
waktu makan dapat dibentuk melalui kelompok sosial.
Beberapa literatur mendefinisikan perilaku makan (eating behaviour)
sebagai cara seseorang berfikir, berpandangan dan berpengetahuan tentang
makanan, apa yang terdapat dalam perasaan dan pandangan tersebut
dinyatakan dalam bentuk tindakan makan dan memilih makanan. Apabila
keadaan tersebut terus menerus berulang maka tindakan itu akan menjadi
kebiasaan makan. Perilaku makan anak adalah cara atau perilaku yang
ditempuh anak untuk memilih makanan berdasarkan ketertarikan terhadap
makanan, keinginan untuk makan, perasaan saat makan, keinginan untuk
minum, kecepatan saat makan, dan pemilihan jenis makanan baru. Perilaku
makan didefinisikan sebagai waktu, tempat dan jumlah makanan yang
dimakan seseorang secara psikologis dan sosial. Perilaku makan merupakan
cara seseorang atau sekelompok orang dalam memilih makanan dan
memakannya sebagai respon terhadap pengaruh fisiologis, psikologis, budaya
dan sosial. Secara umum perilaku makan adalah cara atau perilaku yang
ditempuh seseorang atau sekelompok orang dalam memilih, menggunakan
bahan makanan dalam konsumsi pangan setiap hari yang meliputi jenis
makanan, jumlah makanan, dan frekuensi makan yang didasarkan pada
faktor-faktor sosial dan budaya dimana mereka hidup.
b. Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Makan Anak
1) Pendapatan Keluarga
Keadaan ekonomi keluarga berpengaruh terhadap makanan yang
disediakan. Keluarga dari kalangan ekonomi tinggi lebih mampu
menyediakan makanan beraneka ragam, seperti daging, ikan, sayur, dan
buah-buahan dibandingkan dengan keluarga dari kalangan ekonomi
rendah.
2) Sosial Budaya
Kebiasaan makan sangat berkaitan dengan budaya dan pilihan serta
pola individu dalam keluarga.
c. Klasifikasi Perilaku Makan Balita
Klasifikasi perilaku makan anak dapat dibagi menjadi dua golongan besar,
yaitu:
1) Penyuka Makanan (Food Approach)
Penyuka makanan merupakan suatu kondisi dimana anak
menyukai makanan atas dasar ketertarikan pada makanan (enjoyment of
food), keinginan untuk selalu makan (food responsiveness), perasaan atau
emosi (takut, terganggu, marah atau senang) ketika sedang makan
(emotional overeating), dan keinginan untuk selalu minum (desire to
drink).
2) Penghindar Makanan (Food Avoidant)
Penghindar makanan adalah suatu kondisi dimana anak kurang
tertarik terhadap makanan atas dasar nafsu makan yang sedikit, mudah
merasa kenyang (satiety responsiveness), berkurangnya kecepatan saat
makan (slowness in eating) dimana makan membutuhkan waktu lebih dari
30 menit, asupan makanan yang berkurang berhubungan dengan
emosional saat marah, sedih dan lelah (emotional endereating), serta
hanya menyukai jenis makanan tertentu dan menolak jenis makanan baru
(food fussiness).
B. Kerangka Teori
Perilaku
Ekonomi Makan Status
Anak Gizi
Sosial budaya
Lingkungan
Faktor Langsung
Pendidikan
Orang Tua Asupan makan Infeksi
Usia Orang
Tua
Gambar 1. Kerangka Teori Penelitian
Praktik pemberian
makan oleh ayah
Variabel Independen
Praktik pemberian
makan oleh ibu
Variabel Perancu
D. Hipotesis
Berdasarkan rumusan masalah, maka didapatkan hipotesis pada penelitian ini
adalah sebagai berikut:
a. Terdapat hubungan praktik pemberian makan oleh ayah dengan status gizi anak
usia pra-sekolah
b. Terdapat hubungan perilaku makan anak dengan status gizi anak usia pra-sekolah
c. Terdapat hubungan praktik pemberian makan oleh ayah dan perilaku makan anak
dengan status gizi anak usia pra-sekolah
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Ruang Lingkup Penelitian
1. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Kedungwuni, Kabupaten
Pekalongan, Jawa Tengah
2. Waktu Penelitian
a. Penyusunan proposal: Agustus 2020—Januari 2021
b. Pengumpulan data: Februari-Maret 2021
c. Pengolahan data: Maret-April 2021
3. Disiplin Ilmu
Disiplin ilmu Disiplin ilmu pada penelitian ini yaitu Gizi Masyarakat
B. Rancangan Penelitian
Penelitian ini termasuk dalam penelitian observasional dengan rancangan
penelitian cross sectional.
C. Populasi dan Sampel/Subjek Penelitian
1. Populasi target
Populasi pada penelitian ini adalah seluruh anak usia prasekolah (3-5
tahun).
2. Populasi terjangkau
Anak usia 3-5 tahun yang terdapat di Kecamatan Kedungwuni, Kabupaten
Pekalongan
3. Sampel
a. Kriteria Inklusi
1) Anak pra-sekolah usia 3-5 tahun
2) Tinggal bersama dengan ibu dan ayah kandung
3) Frekuensi pemberian makan oleh ayah sama atau lebih dominan
dibandingkan dengan ibu/pengasuh lain
4) Kedua orangtua dapat membaca dan mengerti bahasa indonesia
5) Kedua orangtua bersedia menjadi subjek penelitian dan
menandatangani informed consent
6) Anak tidak memiliki riwayat penyakit berat/kronis (kanker, jantung)
atau penyakit akut (demam/flu, diare, tifus, demam berdarah)
b. Kriteria Eksklusi
1) Subjek (ayah dan ibu) tidak bersedia melanjutkan penelitian
2) Subjek (ayah, ibu dan anak usia pra-sekolah) meninggal dunia saat
proses perjalanan penelitian
4. Cara sampling
Pemilihan subjek penelitian dengan metode non probability sampling
(consecutive sampling), yaitu anak usia 3-5 tahun di Kecamatan Kedungwuni
yang memenuhi kriteria inklusi hingga besar sampel minimal terpenuhi.
5. Besar sampel
Jumlah sampel pada penelitian ini dihitung menggunakan rumus estimasi
besar sampel untuk hipotesis satu sampel pada populasi, oleh karena hanya
ada 1 populasi penelitian. Dengan Z∝ =1,96 (∝ =0,05) , P=
proporsi untuk terjadinya suatu kejadian, oleh karena belum diketahui, maka
ditetapkan P = 0,5, Q=1-P = 0,5, d= tingkat ketepatan relatif (presisi)
ditetapkan = 0,2. Maka besar sampel minimal adalah:
= 24
D. Variabel Penelitian
1. Variabel independen
Variabel independen dalam penelitian ini yaitu praktik pemberian makan
oleh ayah
2. Variabel dependen
Variabel dependen dalam penelitian ini yaitu status gizi anak
3. Variabel antara
Variabel antara dalam penelitian ini yaitu perilaku makan anak
4. Variabel perancu
Variabel perancu dalam penelitian ini yaitu praktik pemberian makan oleh
ibu dan frekuensi pemberian makan oleh ayah
E. Definisi Operasional
Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini memiliki definisi
operasional sebagai berikut:
F. Prosedur Penelitian
1. Penjelasan kepada orang tua (ayah dan ibu) calon subjek mengenai latar
belakang dan tujuan penelitian, kemudian ditanyakan kesediaan untuk
mengikuti penelitian dengan menandatangani lembar informed consent
apabila setuju.
2. Wawancara oleh peneliti kepada ayah dan ibu untuk pengisian kuesioner.
Pertanyaan pada kuesioner meliputi poin-poin pertanyaan yang tertera pada
CFPQ (Comprehensive Feeding Practices Questionnaire) dan CEBQ (Child
Eating Behaviour Questionnaire)
3. Pengukuran antropometri, meliputi:
a. Pengukuran tinggi badan
1) Memasang mikrotoa pada tempat penelitian
2) Melepaskan alas kaki.
3) Anak berdiri tegak, kaki lurus, tumit, pantat, punggung dan kepala
bagian belakang harus menempel pada dinding dan muka menghadap
lurus dengan pandangan ke depan.
4) Menurunkan pengukur sampai rapat pada kepala bagian atas, siku
harus lurus menempel pada dinding.
5) Membaca angka di mikrotoa dengan ketelitian 0,1 cm
b. Pengukuran berat badan
1) Anak berdiri tegak tepat ditengah timbangan dalam keadaan tanpa alas
kaki.
2) Membaca angka di timbangan dengan ketelitian 0,01 kg.
G. Alur Kerja