Anda di halaman 1dari 14

BAB III

PEMBAHASAN TEMUAN PRAKTEK LAPANGAN

A. Temuan Masalah Pemerintahan Kecamatan mengenai Kelembagaan


Kecamatan

I. Latar Belakang
Sejak dilaksanakannya otonomi daerah yakni dengan diberlakukannya
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dan direvisi dengan Undang Undang 32
Tahun 2004 yang memberikan kewenangan yang begitu besar kepada Bupati
sementara di sisi lain, secara kelembagaan Pemerintah Kecamatan dimana Camat
sebagai pimpinan dalam menjalankan Tugas dan Fungsinya disamping yang telah
diamanatkan didalam undang undang yakni kewenangan atributif, Camat juga
menerima pelimpahan kewenangan dari Bupati.Sesuai amanat peraturan
perundangan, Kecamatan menerima delegasi kewenangan dari Bupati/WaliKota.
Dari hasil kajian dari berbagai ahli dapat diketahui bahwa pada saat itu sudah ada
daerah-daerah yang telah melakukan pelimpahan kewenangan kepada Kecamatan,
walau hampir 90% belum menerima pelimpahan dari Bupati dan WaliKota selaku
perangkat daerah. Kini setelah beberapa tahun berselang, dengan adanya sederet
permasalahan pada awal perubahannya, maka penting untuk mengetahui
efektivitas kelembagaan Kecamatan.
Jika pada kajian sebelumnya berfokus pada perubahan-perubahan yang
terjadi pada Kecamatan pada masa transisi, maka dengan berbagai perubahan
tersebut seperti penataan dalam strukturnya, dan pelimpahan kewenangan dari
Bupati/Walikota, timbul pertanyaan apakah kelembagaan Kecamatan sekarang ini
efektif dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Hal ini penting karena
Kecamatan merupakan ujung tombak dalam pelayanan masyarakat mengingat ia
merupakan unit organisasi yang terdekat dengan masyarakat yang dilayani oleh
organisasi perangkat daerah.Perubahan kedudukan Kecamatan dari perangkat
dekonsentrasi menjadi perangkat desentralisasi masih mengandung dualisme.
Pendekatan kewilayahan sebagaimana dianut dalam UU No. 5 tahun 1974
sedikit banyak masih mewarnai sehingga tuntutan seorang Camat tahu segala apa

32 | L A P O R A N P R A K T E K L A P A N G A N 2
yang terjadi di wilayahnya masih begitu kuat. Namun demikian tuntutan yang
begitu kuat ini terbentur pada kedudukan Kecamatan/Camat sebagai perangkat
daerah yang tidak mempunyai kewenangan untuk mengontrol segala hal yang ada
di wilayahnya. Dualisme yang terjadi juga menjadi potensi timbulnya masalah
dan konflik antara Kecamatan dengan instansi pemerintah lain seperti instansi
vertikal dan organisasi perangkat daerah lainnya yang ada di tingkat
Kecamatan.Dengan berbagai gambaran tersebut diatas, dapat dikaji mengenai
bagaimanakah penataan kelembagaan Kecamatan saat ini dan apa permasalahan
yang berkembang dalam penataan tersebut, bagaimanakah efektivitas
kelembagaan kecamatan saat ini, dan bagaimana strategi meningkatkan efektivitas
kelembagaan kecamatan.
Dari rumusan tersebut, hasil yang diharapkan dari kajian ini adalah
tersusunnya suatu makalah yang berisi deskripsi penataan kelembagaan
kecamatan saat ini, deskripsi efektivitas kelembagaan kecamatan, dan
rekomendasi meningkatkan efektivitas kelembagaan Kecamatan.Kajian ini
disusun berdasarkan gambaran permasalahan yang terjadi di lingkup pemerintah
kecamatan yang menggambarkan keadaan obyek yang diteliti apa adanya
sehingga bisa menjadi bahan masukan dalam peningkatan efektivitas
kelembagaan kecamatan.

Kelembagaan lokal masyarakat adalah lembaga yang cukup kredibel untuk


menjadi agen pembangunan. Hanya saja sampai saat ini masih dihadapkan pada
persoalan umum dimana keberadaannya masih memerlukan pembenahan,
terutama menyangkut kapasitas sumber daya, pengorganisasian maupun
kemampuan manajerialnya. Paradigma baru yang diharapkan adalah bagaimana
agar kelembagaan masyarakat itu dapat berperan aktif dan optimal dalam
pengelolaan pembangunan desa dengan visi pemberdayaan.

Ditjen PMD telah mengeluarkan kebijakan tentang perlindungan dan


pelestarian hasil-hasil program, Diantara hasil-hasil program sebelumnya yang
perlu dilestarikan dan dikembangkan adalah; Sistem, Asset dan Kelembagaan
yang ada di desa maupun kecamatan. Keberadaan lembaga pengelola di
kecamatan/antar desa dikuatkan secara legal dalam bentuk Badan Kerjasama
Antar Desa (sesuai PP Nomor 72 Tahun 2005 dan Permendagri Nomor 38 Tahun

33 | L A P O R A N P R A K T E K L A P A N G A N 2
2007, dengan ketentuan ini maka BKAD menjadi jelas dan kuat aturan dasar
organisasinya (Statuta) , terutama dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga
pengelola pembangunan partisipatif di kecamatan. Kebijakan ini dituangkan
dalam panduan Penataan Kelembagaan yang disosialisasikan lewat workshop
pengintegrasian dan pembangunan reguler pada akhir tahun 2006 serta kebijakan
tambahan Petunjuk Teknis Operasional PNPM Mandiri Perdesaan.

II. Prinsip Pengembangan Kelembagaan

Dalam melakukan pengembangan kelembagaan kelompok hendaknya didasarkan


kepada tiga prinsip pendekatan sebagai berikut :
a.  Enabling
Membantu masyarakat desa agar mampu mengenal potensi dan
kemampuan yang mereka miliki, mampu merumuskan secara baik masalah-
masalah yang mereka hadapi, sekaligus mendorong mereka agar mampu
merumuskan agenda-agenda penting, dan melaksanakannya untuk
menngembangkan potensi untuk menannggulangi permasalahan yang ada.

b.  Empowering
Memperkuat daya yang dimiliki oleh masyarakat desa, dengan
berbagai masukan (input) maupun membuka akses menuju peluang.
Penguatan disini meliputi aspek penguatan modal mnusia, modal sumberdaya
alam, modal financial, modal fisik, mupun modal sosial yang telah mereka
miliki.

c.  Protecting
Mendorong terwujudnya tatanan struktural, yang mampu melindungi
dan mencegah terjadinya praktek dominasi kekuatan kelembagaan yang kuat
terhadap yang lemah, sehingga terbuka kesempatan untuk bersinergi dan
saling mengembangkan diri.

Kelembagaan lokal yang kuat diharapkan mampu mngelola kegiatan


secara lebih efisien, sehingga diharapkan dapat meningkatkan kualitas
pelaksanaan program-program terkait. Dalam rangka pelaksanaan PNPM

34 | L A P O R A N P R A K T E K L A P A N G A N 2
Mandiri Perdesaan, maka penataan kelembagaan lokal diharapkan mampu
membuktikan kesiapan diri berintegrasi dengan kelembagaan formal di desa,
seperti dengan Pemerintahan Desa, BPD, LPMD termasuk juga diharapkan
mampu mendorong funsi dan peran kelembagaan masyaraakat lainnya.

III. HASIL KEGIATAN KELEMBAGAAN


Agenda program kelembagaan yang diinisiasi untuk dikembangkan,
diarahkan agar mampu mendorong eksistensi kelembagaan lokal, agenda tersebut
adalah :

1.    Memperkuat Kelembagaan Antar Desa


2.   Mengembangkan model dan kultur belajar masyarakat
3.   Memberikan dukungan terhadap pelembagaan sistem pembangunan
partisipatif/integrasi
4.   Memberikan dukungan terhadap pelembagaan sistem pengelolaan dana
bergulir
5.   Mendorong model pengelolaan pelatihan oleh masyarakat
6.   Mendorong model pengawasan berbasis masyarakat
7.   Memperkuat kaderisasi dan pengorganisasian
8.   Memperkuat sistem pemeliharaan berbasis masyarakat

Agenda program tersebut diatas diakselerasi dengan mengoptimalakan kegiatan


utama yang meliputi :

1.    BKAD
2.   RBM
3.   Kelembagaan Pelatihan Masyarakat (TPM)
4.   Dukungan Kelembagaan UPK
5.   Pengawasan berbasis masyarakat dan dukungan advokasi hukum (CBM)
6.   Kerjasama dengan Pihak Ketiga
7.   Pelembagaan sistem Pembangunan Partisipatip
8.   Dukungan RPJMDes
9.   Dukungan Integrasi Vertikal
10.  Dukungan Regulasi Daerah

35 | L A P O R A N P R A K T E K L A P A N G A N 2
11.   Kaderisasi dan Pengorganisasian
12.  Pemeliharaan hasil kegiatan

Sejak diinisiasi pada tahun 2006, perkembangan kelembagaan BKAD sangat


significant dimana diseluruh kecamatan lokasi program sudah dibentuk BKAD,
berdasarkan data yang dilaporkan saat ini jumlah BKAD mencapai 4380. Namun
demikian secara umum BKAD masih belum menjalankan fungsinya secara
optimal sebagai organisasi kerja yang memiliki lingkup wilayah antar desa, belum
berperan secara maksimal dalam mengelola perencanaan pembangunan
partisipatif, menumbuh kembangkan kerjasama kegiatan antar desa dan
mendorong tumbuhnya usaha-usaha pengelolaan asset produktif. Realitas yang
terjadi BKAD masih menjadi sebatas kelembagaan adhoc yang hanya mengurusi
akses dana BLM dan Pengelolaan Perguliran.

Kenyataan tersebut sangat didukung oleh data kuantitatif, dimana ada 62


indikator yang dijadikan dasar untuk menilai kinerja BKAD, hasil analisis
menunjukan dari terget indikator kinerja Tahun 2012, sebesar 62% maka tingkat
pencapaian indikator kinerja BKAD secara nasional baru mencapai 49%. Adapun
indek pencapaian kinerja BKAD terhadap UPK dalam pengelolaan dana bergulir
baru mencapai 39%. Dengan demikian peran BKAD untuk mengontrol
kelembagaan UPK masih cukup rendah. Aspek fasilitasi BKAD terhadap
dokumen perencanaan partisipatif cukup baik dimana dari laporan yang
disampaikan mencapai 55.632 dan dari angka tersebut 88% sudah menetapkan
peraturan desa.

Dalam upaya menumbuhkan sistem belajar dikalangan masyarakat, agar


mampu mengadvokasi diri, mengembangkan jaringan dan secara inisiatif
melakukan kontrol terhadap pembangunan, sejak tahun 2010, dibentuk RBM
(Ruang Belajar Masyarakat). Sampai dengan saat ini index capaian kualitas RBM
mencapai 42, 52%.

IV. ISSUE PENTING

36 | L A P O R A N P R A K T E K L A P A N G A N 2
Terdapat persoalan penting yang harus dijadikan issu strategis pengembangan
kelembagaan kedepan diantaranya :

1.   Penataan hubungan kelembagaan


2.  Penataan aspek legal kelembagaan
3.  Struktur organisasi kelembagaan UPK dan Dana Bergulir
4.  Pengawasan dan Pengendalian
5.  Pelembagaan sistem pembangunan partisipatif pola PNPM Mandiri Perdesaan
kedalam sistem perencanaan daerah.
6.  Pengembangan Ekonomi Perdesaan berbasis kawasan melalui dukungan
kegiatan pengelolaan Dana Bergulir
7.  Peningkatan Kapasitas Pelaku Kelembagaan

V. Kondisi ideal dan Faktual Kelembagaan Pemerintah Kecamatan.      

a. Kondisi Ideal dan Faktual  Tentang Pelimpahan Kewenagan


Secara normative ideal, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 telah
memberikan peluang adanya pendelegasian kewenangan dari Bupati ke
kecamatan untuk urusan urusan tertentu sebagaimana yang tertuang dalam
pasal 126 ayat 2. Pelimpahan kewenangan tersebut selanjutnya akan
memberikan ruang gerak yang lebih leluasa bagi Camat dan Kecamatan untuk
mengoperasionalisasikan fungsi-fungsi yang harus diperankannya. Namun
dalam implementasinya, hingga saat ini belum dilaksanakan amanat undang-
undang tersebut.

Masalah lain juga akan muncul jikalau pelimpahan kewenangan ini telah
dilaksanakan, apakah disertai dengan dukungan anggaran, SDM dan sarana
prasarana yang mencukupi, sehingga secara ringkas beberapa situasi yang
dihadapi oleh Camat diwilayah kewenangan yakni, bahwa kewenangan tetap
berada di tangan Bupati dan didistribusikan secara proporsional kepada dinas-
dinas teknis sebagai Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) pendukung
organisasi pemerintahan kabupaten. Camat  atau pemerintah kecamatan tidak
dapat berbuat banyak untuk melakukan fungsinya, sekalipun diwilayahnya
ditemukan kekosongan intervensi dari dinas teknis, karena kewenangan
tersebut tidak dilimpahkan.

37 | L A P O R A N P R A K T E K L A P A N G A N 2
Situasi yang juga dihadapi Camat dalam kewenangan ini yaitu tidak
adanya political will dari Bupati untuk mengalihkan sebagian kewenangan
dinas yang tidak efektif kepada Camat karena beragam alasan mengapa
pelimpahan kewenangan ini tidak dilaksanakan yang merentang dari alasan
politis praktis hingga alasan teknis seperti kelegowoan dinas dalam
membagikan tugasnya ke Kecamatan. 

b. Kondisi Ideal dan Faktual tentang Penganggaran


Implementasi tentang sistim penganggaran dipemerintahan kecamatan
atau pendanaan bagi operasionalisasi fungsi-fungsi kecamatan. Selama ini
penganggaran pendanaan bagi SKPD berpedoman pada peraturan pemerintah
yang memperoleh penyusunan anggaran berbasis kinerja. Namun, khusus
bagi Kecamatan yang dipakai adalah plafonisasi atau anggaran dalam jumlah
yang tetap sepanjang tahun dan kalaupun ada penambahan, penambahannya
juga tidak terlalu segnifikan betapapun ada kebutuhan berkembang yang
seharusnya dipenuhi. Artinya, sekalipun diwilayahnya ditemukan ada
kebutuhan pembangunan yang mendesak untuk segera dipenuhi, namun
karena ketiadaan kewenangan, maka Kecamatan tidak berhak untuk
mengajukan pendanaan bagi pemenuhan kebutuhan tersebut sekalipun
permasalahan itu berada didepan mata.

Dari perfektif pendanaan pembangunan, Kecamatan dihadapkan pada


posisi yang serba sulit. Disatu sisi, segala persoalan secara kasat mata
dihadapi oleh Camat secara nyata, namun disisi lain, secara ilegal Kecamatan
tidak memiliki kuasa untuk mengakses dana. Artinya, Kecamatan tidak
mampu mengubah keadaan tesebut karena tidak ada alokasi anggaran yang
sah sehingga yang dilakukan adalah membiarkan persoalan berjalan tanpa
penanganan.

c. Kondisi Ideal dan Faktual tentang Insfrastruktur Penopang Keberfungsian


Kecamatan
Sebuah kelembagaan pemerintahan yang efektif dan efesien selayaknya
didukung oleh adanya Insfratruktur berupa peralatan atau teknologi yang
memadai. Dalam hal dukungan institusi kecamatan dalam hal dukungan

38 | L A P O R A N P R A K T E K L A P A N G A N 2
tekhnologi, institusi kecamatan berada dalam hal yang sangat
memperihatinkan. Hal ini disebabkan rentetan dari ketiadaan kewenangan
yang dimiliki oleh kecamatan. Namun, sebenarnya selain undang undang no.
32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah patut juga diperhatikan undang –
undang no. 26 tahun 2007 tentang tata ruang. Dan undang – undang no. 5
tahun 2004 tentang perencanaan pembangunan daerah, disana sangat jelas
tampak betapa peran penting kecamatan sebagai elemen perencaan wilayah.
Dijelaskan undang – undang no. 26 tahun 2007 bahwa kecamatan secara
idealnya memiliki kemampuan untuk menyusun rencana detail tentang tata
ruang. Roh pilosofi yang dibangun dalam tata ruang tersebut adalah
desentralisasi system perencanaan wilayah, dimana desa atau wilayah
pedesaan menjadi pusat bermulanya semua perencaaan wilayah. Dengan
tuntutan seperti ini, maka perencaan antara desa yang dikoordinasikan oleh
camat menjadi titik sangat menentukan bagi perencaan wilayah regional.
Dengan tuntutan peran kecamatan yang senantiasa berkembang dari hari ke
hari, maka penguatan kelengkapan fisik teknologi kecamatan menjadi
kebutuhan mendesak yang harus dipenuhi. Persoalannya lagi - lagi pada
ketiadaan akses pada pendanaan yang menyebabkan pemenuhan kebutuhan
akan perlengkapan kelembagaan tidak dapat dicapai.

d. Kondisi Ideal dan Faktual tentang Sumber Daya Manusia.


persoalan SDM yang dihadapi oleh kecamatan cukup rumit. Kerumitan
itu disebabkan persoalan SDM bukan hanya soal sekedar menyangkut tingkat
pendidikan yang kurang mencukupi kebutuhan yang berkembang serta skill
atau ability para aparatnya yang tidak memenuhi perkembangan. Namun
persoalan SDM lebih jauh dari semua itu seperti kekosongan kemampuan
kewirausahaan sosial yang selayaknya dimiliki oleh Camat sebagai pejabat
publik dengan fungsi kemasyarakatan yang melekat erat padanya.
Kemampuan ini selayaknya bisa ditunjukkan oleh Camat pada saat
Kecamatan menghadapi persoalan – persoalan kritis seperti konflik sosial
yang kronis atau persoalan kemiskinan maupun kerusakan sumber daya alam
dan lingkungan.

39 | L A P O R A N P R A K T E K L A P A N G A N 2
Camat dan kecamatan kedepan dituntut untuk mampu
menginflementasikan prinsip – prinsip pembangunan yang berkelanjutan,
partisipatif dan mengembangkan aksi komunikatif dari pada sekedar
memposisikan dirinya sebagai alat pengamanan kebijakan pemerintah.
Permasalahan SDM lainnya yakni standar moralitas yang minimal yang
dapat menjamin good governance prantice ditingkat kecamatan. Kebanyakan
keluhan masyarakat yang selama ini di layani oleh kecamatan sering kali
berputar – putar pada isu instransparansi dan akuntabilitas yang rendah atas
dana pungutan yang ditarik oleh kecamatan pada saat warga mengurus segala
macam urusan kekecamatan.

Dari hal ini pertanian yang harus dijawab dalam penguatan kecamatan
adalah bagaimana mengembangkan menganisme yang bisa menjamin standar
pelayanan kecamatan seraya tetap memenuhi kebutuhan warga akan
pelayanan public artinya SDM kecamatan kedepan sepantasnya responsive
dan memunuhi kualifikasi atas tuntutan tata pemerintahan yang baik.

Dari berbagai kondisi factual dan hal ideal yang telah digambarkan
diatas, secara kelembagaan kecamatan dalam pemerintahan daerah terlihat
kondisi yang sangat lebar dan rumit, dimana kondisi factual yang terjadi
dilapangan tidak seperti kondisi ideal yang diharapkan pemerintah
kecamatan dalam menjalankan fungsi kelembagaannya.

Berdasarkan beberapa hasil telaahan sebagaimana disajikan dalam tulisan


diatas, maka kami sampaikan rekomendasi sebagai berikut :

1.     Perlu penguatan mandat kesepakatan kerjasama desa melalui akta notaris


sehingga berkekuatan hukum.
2.    Perlu segera dirumuskan status kepemilikan dana bergulir di UPK,
apakah merupakan asset masyarakat se-kecamatan atau asset desa yang
dikerjasamakan dan dimandatkan kepada BKAD untuk dikelola UPK.
3.    Perlu segera dilakukan penataan hubungan BKAD dengan kelembagaan
pendukung
4.   Perlu dirumuskan positioniing UPK didalam kelembagaan BKAD

40 | L A P O R A N P R A K T E K L A P A N G A N 2
5.   Perlunya peningkatan kapasitas pelaku kelembagaan untk meningkatan
kualitas kinerja.

VI. Beberapa Permasalahan Menyangkut Kelembagaan

Dalam praktek operasioanalisasi kelembagaan terdapat beberapa aspek yang


masih dirasakan sebagai permasalahan diantaranya:

1. Praktek kegiatan kelembagaan-kelembagaan yang dibangun terbatas hanya


untuk memperkuat ikatan-ikatan horizontal, namun lemah dalam ikatan
vertikal.
2. Kelembagaan yang dibentuk masih terbatas untuk tujuan distribusi bantuan
dan memudahkan tugas kontrol bagi pelaksana program, bukan untuk
peningkatan sosial kapital masyarakat secara mendasar. Sehingga pasca
program sangat berpotensi stagnan.
3. Struktur keorganisasian yang dibangun relatif seragam, padahal di setiap
daerah memiliki nilai-nilai kearifan lokal dan karekteristik kemasyarakatan
yeng berbeda.
4. Meskipun kelembagaan sudah dibentuk, namun pembinaan yang dijalankan
cenderung individual terbatas kepada pengurus dan tokoh-tokoh dengan
prinsip ”trickle down effect”, bukan social learning approach.
5. Pengembangan kelembagaan selalu menggunakan jalur struktural, dan lemah
dari pengembangan aspek kulturalnya. Sruktur organisasi dibangun lebih
dahulu, namun tidak diikuti perkembangan aspek kulturalnya (visi, motivasi,
semangat, manajemen, dan lain-lain).
6. Introduksi kelembagaan lebih banyak melalui budaya material dibanding
nonmaterial, atau merupakan perubahan yang materialistik.
7. Pembentukan kelembagaan kurang memperkuat kelembagaan lokal yang ada
sebelumnya, sehingga mempengaruhi hubungan-hubungan horizontal yang
telah ada.
8. pada hakikatnya, pengembangan kelembagaan dirasakan masih lebih
merupakan jargon daripada kenyataan yang riil di lapangan.
9. Kelembagaan pendukung untuk pemberdayaan kurang dikembangkan dengan
baik, karena struktur pembangunan yang sektoral.

41 | L A P O R A N P R A K T E K L A P A N G A N 2
B. Temuan Permasalahan, hambatan dalam penyelenggaraan pengelolaan
keuangan mengenai pengdaan beras bulog di salah satu kelurahan di
Kecamatan Kotabaru

I. Latar Belakang
Berbicara tentang RASKIN diawali dengan adanya program Operasi Pasar
Khusus Beras pada pertengahan tahun 1998 dan akan selalu terkait dengan awal
munculnya krisis moneter dan ekonomi. Apabila ditengok ke belakang,
terjadinya krisis moneter yang dimulai pertengahan tahun 1997, disertai kemarau
kering serta bencana kebakaran hutan dan ledakan serangan hama belalang dan
wereng coklat pada waktu itu telah menyebabkan penurunan produksi pangan
secara nyata. Penurunan produksi ini juga dipicu oleh kenaikan harga pupuk dan
obat pemberantas hama yang cukup tinggi sehingga penggunaan sarana produksi
pertanian mengalami penurunan. Biaya hidup petanipun meningkat akibat
terjadinya kenaikan harga semua kebutuhan. Harga beras mulai merangkat naik
sejak bulam Mei 1997 dan mencapai puncaknya sekitar Mei - Juni 1998. Situasi
itu juga diperburuk dengan meletusnya kerusuhan pada tanggal 12-14 Mei 1998
yang secara langsung telah mempengaruhi kelancaran distribusi pangan. Dalam
situasi yang demikian, kondisi politik juga semakin menghangat yang mencapai
puncaknya dengan adanya pergantian kepemimpinan Nasional pada tanggal 21
Mei 1998.
Penurunan daya beli masyarakat akibat kenaikan semua kebutuhan biaya
hidup, hilangnya sebagian besar sumber pendapatan masyarakat karena PHK
melengkapi tekanan terhadap stabilisasi sistem pangan secara menyeluruh. Di
beberapa daerah juga dikhabarkan telah terjadi rawan pangan , dan kesemuanya
ini apabila tidak segera diambil tindakan untuk mengatasinya dikhawatirkan
akan menimbulkan eskalasi kerawanan sosial yang lebih besar.
Menghadapi situasi yang demikian, maka pemerintah dalam sidang
Kabinet tanggal 3 Juni 1998 telah memutuskan untuk membentuk Tim Pemantau
Ketahanan Pangan yang prinsipnya merupakan Food Crisis Center atau pusat
penaggulangan krisis pangan. Langkah ini ditindak lanjuti dalam Rakor Ekuin
tanggal 24 Juni 1998 yang membahas khusus mengenai mekanisme penyaluran
bantuan pangan kepada masyarakat yang mengalami rawan pangan, yang
akhirmya sampai pada keputusan untuk melaksanakan program bantuan pangan

42 | L A P O R A N P R A K T E K L A P A N G A N 2
melalui Operasi Pasar Khusus yang operasionalnya dilaksanakan oleh BULOG.
Penunjukan BULOG untuk melaksanakan program ini antara lain karena
beberapa asalan seperti kesiapan sarana pergudangan , SDM dan stok beras
BULOG yang tersebar di seluruh Indonesia, dan mekanisme pembiayaan yang
memungkinkan BULOG mendistribusikan terlebih dahulu berasnya , kemudian
baru ditagihkan kepada pemerintah. Oleh karena itu dengan penunjukan
BULOG akan memungkinkan program bantuan pangan ini dapat segera
dilaksanakan.
Program bantuan pangan yang dikemas dalam bentuk Operasi Pasar
Khusus (OPK) ini juga menjadi rintisan program bantuan sosial lainnya dalam
bentuk Jaring Pengaman Sosial (JPS). Ada beberapa pertimbangan mengapa
bantuan pangan ini diberikan dalam bentuk beras, antara lain karena beras
merupakan pangan pokok mayoritas penduduk, dan porsi pengeluaran untuk
pangan bagi penduduk miskin adalah cukup tinggi. Memang ada model bantuan
lainnya yaitu dalam bentuk uang tunai, namun pola ini cukup rawan terhadap
penyimpangan.
Pada saat munculnya program OPK, Indonesia memang belum memiliki
model bantuan pangan yang mantap seperti di negara-negara maju (seperti pola
food stamp di AS misalnya). Oleh karena itu maka pola OPK dianggap menjadi
alternatif yang paling rasional. Namun dalam perkembangannya dengan masih
akan adanya masalah kemiskinan, maka bantuan pangan OPK ini diharapkan
dapat menjadi dasar/landasan model bantuan pangan dimasa-masa mendatang.
Setiap tahunnya program OPK dievaluasi dan terus melakukan
penyempurnaan. Pada tahun 2002, nama program diubah dengan RASKIN
(Beras untuk Keluarga Miskin) dengan tujuan agar lebih dapat tepat sasaran.
Keluarga yang tidak miskin akan menjadi malu untuk ikut dalam antrian
mendapatkan jatah beras RASKIN. Program ini terus berjalan sampai dengan
saat ini dengan mengikuti kemampuan subsidi yang dapat diberikan pemerintah
kepada keluarga miskin dan perkembangan data keluarga miskin yang terus
dilakukan penyempurnaan.

II. Pegawai Kelurahan di Kecamatan jadi Ujung ‘Tombok’


Kecamatan Kotabaru yang terletak di Kota Jambi Provinsi Jambi memiliki
5 Kelurahan diantaranya Kelurahan Paal Lima, Kelurahan Sukakarya, Kelurahan

43 | L A P O R A N P R A K T E K L A P A N G A N 2
Kenali Asam Atas, Kelurahan Kenali Asam Bawah dan Kelurahan Simpang 3
Sipin.
Kelurahan Simpang 3 Sipin merupakan salah satu Kelurahan di
Kecamatan Kotabaru yang termasuk aktif dalam pelayanan masyarakat maupun
kinerja pegawainya. Di Kelurahan Simpang 3 Sipin sendiri memiliki pegawai
honorer dan pegawai negeri sipil.
Dalam pengadaan program pemerintah yang diberikan Kecamatan maupun
Walikota dapat terealisasi dengan baik contohnya dengan adanya program
Walikota yaitu Kampung Bantar dan Bangkit Berdaya.
Namun, yang saya angkat dalam permasalahan ini bukanlah kedua
program tersebut melainkan salah satu program pemerintah yaitu Pengadaan
Beras Bulog atau Beras Miskin (RASKIN) bagi masyarakat miskin dan
masyarakat tidak mampu.
Dalam pengadaan Beras Bulog atau Beras Miskin (RASKIN) di kelurahan,
pihak dari Bulog sendiri memberikan pasokan Beras kepada Kelurahan secara
langsung tanpa campur tangan kecamatan, yang sacara tidak langsung
memberikan tugas tambahan kepada kelurahan untuk mendistribusikan pasokan
beras tersebut kepada masyarakat yang kurang mampu. Beras Bulog atau Beras
Miskin (RASKIN) sendiri dijual kurang lebih Rp. 3.700/Kg.
Pihak dari Bulog memberikan pasokan beras dengan target ‘wajib habis’
dengan harapan semua masyarakat yang kurang mampu mendapatkan beras
bulog atau Beras Miskin (RASKIN) secara merata,
Namun, dalam pelaksanaan kegiatannya pihak Kelurahan sendiri sudah
berupaya mendistribusikan Beras Bulog sendiri dengan mendata masyarakat
yang kurang mampu dan memanggilnya ke Kelurahan untuk mengambil jatah
beras mereka. Disini lah kendala yang dikeluhkan pegawai kelurahan,
masyarakat kurang mampu yang harusnya menerima jatah Beras Bulog tersebut
tidak semuanya mengambil jatahnya dikelurahan yang akhirnya Beras Bulog
yang ‘wajib habis’ tersebut akhirnya masih terdapat sisa beras yang banyak.
Sedangkan pihak dari Bulog sendiri tidak tau bagaimana caranya mewajibkan
agar beras tersebut habis. Padahal kenyataannya masih terdapat sisa beras.
Akhirnya, Pihak kelurahan lah yang terpaksa membeli atau ‘menombok’
sisa jatah beras miskin tersebut. Tidak sedikit dari pegawai kelurahan tersebut
yang mengeluarkan dana untuk menutupi kelebihan jatah Beras Miskin

44 | L A P O R A N P R A K T E K L A P A N G A N 2
(RASKIN). Karena tidak mungkin mengambil dana anggaran kelurahan dari
kecamatan guna menutupi kelebihan jatah Beras Miskin (RASKIN). Pihak dari
Kelurahan sendiri juga tidak bisa memberi usulan untuk mengurangi jatah Beras
Bulog atau Beras Miskin (RASKIN).

45 | L A P O R A N P R A K T E K L A P A N G A N 2

Anda mungkin juga menyukai