Anda di halaman 1dari 15

Hukum dan

Konflik Sosial
Galuh Praharafi Rizqia, S.H., M.H.
Unifikasi dan pluralisme hukum
• Unifikasi: penyatuan beberapa hukum menjadi satu
kesatuan hukum secara sistematis yang berlaku bagi
seluruh warga negara di suatu negara. Hanya berlaku 1
hukum untuk semua golongan dalam suatu negara.
Unifikasi berbeda dengan kodifikasi atau pengkitaban hukum
yg merupakan ciri khas negara dengan budaya hukum civil law.

• Masa penjajahan kolonial


Usaha utk mempercepat proses “eropanisasi” sistem hukum
kolonial terkendala dg besarnya anggaran yg harus ditanggung
serta kesulitan resepsi terkait dengan perbedaan konfigurasi
kultural antara Eropa dan pribumi.
Budaya lokal yg asli & belum berubah akan sulit menopang
kelangsungan hidup sistem asing yg ditransplantasikan
padanya.
 Pemerintah kolonial membuat suatu kebijakan yg lebih kompromis
(legal dualism), yaitu:
✓ Membiarkan berlakunya hukum pribumi selama tidak bertentangan
dengan asas-asas umum mengenai kepatutan dan adab yg baik.
✓ Diikuti dg kebijakan untuk memberikan kesempatan bagi pribumi untuk
menundukkan diri secara sukarela di bawah hukum Eropa, baik sebagian
(perbuatan atau perkara tertentu) maupun seluruhnya, jika ia
menghendaki.

 Dalam kenyatannya, sedikit org yg bersedia menyeberang ke yurisdiksi


hukum Eropa, lebih banyak memilih hukum dan kebiasaanya sendiri
yg berakar dari budaya suku dan berlaku dlm kehidupannya sendiri.

 2 sistem hukum yg eksis berlaku secara berdampingan (legal


dualism), yaitu hukum Eropa dan living law, adakalanya saling
melengkapi, namun adakalanya pula saling bertentangan shg
mempersulit upaya penyatuannya dlm satu sistem hukum kolonial.

 Seiring dg era globalisasi, legal dualism berkembang mjd legal


pluralism.
• Unifikasi pasca kemerdekaan (unifikasi hukum nasional)

➢ Cita-cita membangun negara nasional disusul dengan tuntutan untuk


membangun suatu sistem hukum nasional tunggal yg dipercaya akan
dapat diefektifkan guna merealisasikan integrasi kehidupan baru pada
ranah nasional.

➢ Unifikasi hukum melalui legislasi dan kodifikasi segera diprogramkan


dan dilaksanakan sbg upaya modernisasi utk mengejar ketertinggalan.

➢ Kebijakan dualisme (pemberlakuan hukum Eropa untuk golongan


Eropa dan berlakunya hukum kebiasaan, adat istiadat dan pranata
agama selama tidak bertentangan dengan “asas kepatutan dan adab
yg baik” bagi golongan pribumi) tidak lagi dianut oleh para penguasa
pemerintah nasional Republik Indonesia.

➢ Era pemerintahan Presiden Soekarno: antikolonialisme diserukan utk


mendekonstruksi sistem hukum kolonial yg berdasarkan aturan
peralihan secara formal masih dinyatakan berlaku. Semangat
antikolonialisem dimaknai pula sbg semangat antidualisme.
➢ Era pemerintahan Presiden Soeharto:

✓ Sistem hukum nasional secara sistematis dibangun untuk


didayagunakan sbg sarana merekayasa berbagai segi kehidupan
rakyat (a tool of social engineering) ke bentuk yg lebih baru dan
modern.

✓ Kebijakan pembangunan dengan modernisasi menjadikan


kebijakan pemerintah tidak berwajah ramah pada berlakunya
hukum rakyat tradisional yg dianggap menghalangi terwujudnya
signifikansi hukum Undang-Undang.

✓ Tradisi lokal dan hukum adat didesak ke pinggir dan dipaksa


bertahan utk berfungsi bagi kehidupan setempat saja.

✓ Hukum nasional sbg sarana rekayasa sosial seringkali sulit


dimengerti dan diterima oleh masy. Masy yg awam dipaksa utk
menyelesaikan urusannya dengan merujuk pada aturan hukum
nasional, tidak lagi bersuasana alam kehidupan kedaerahan yg
otonom.
➢ Tidak dipahaminya kebijakan dan isi kandungan hukum
UU oleh rakyat awam yg tersebar di berbagai satuan
etnik mencerminkan terjadinya cultural gaps atau legal
gaps bahkan cultural conflict dan legal conflict.

 Legal gaps: adanya silang selisih antara apa yg dihukumkan


secara resmi oleh kekuasaan nasional (formal legal order) dan
apa yg dijalani dlm kehidupan sehari-hari sebagai hukum oleh
masyarakat setempat (informal popular legal order).Substansi
hukum negara dan substansi moral hukum rakyat tidak
berselaras, berselisih serta menghasilkan berbagai perbedaan
besar. Ruang selisih ini tidak jarang menimbulkan situasi
berlawanan dan melahirkan konflik yg cukup serius (cultural
conflict atau legal conflict).

 Misal: konflik agraria antara masyarakat hukum adat dengan


pemerintah atau swasta.
• Langkah kebijakan yg dapat diambil dan dilaksanakan oleh
badan yg bertanggung jawab atas keberhasilan
pembangunan nasional, utk mengatasi legal gaps:

1. Kebijakan dg banyak menggunakan wibawa sanksi hukum


utk memaksa warga dari kesetiaannya pada popular order
kepada national legal order.

2. Kebijakan edukatif dengan penyuluhan dan


membangkitkan kesadaran baru utk maksud tsb.

3. Kebijakan legal reform, melakukan refisi atua


pembaharuan bagian-bagian tertentu dari hukum UU agar
hukum negara tsb dapat berfungsi secara lebih adaptif
dlm situasi riil yg terjadi dlm kehidupan masyarakat.
Pluralisme Hukum
• Pluralisme hukum (legal pluralism) diartikan
sebagai keragaman hukum, yaitu hadirnya
lebih dari satu aturan hukum dalam suatu
lingkungan sosial.
Regulasi dan deregulasi hukum
• Regulasi: mengendalikan perilaku manusia
dengan aturan atau pembatasan.
Contohnya: lahirnya berbagai peraturan perundang-
undangan yg mengatur berbagai bidang kehidupan
masyarakat.

• Deregulasi: kebijakan pemerintah untuk


mengurangi/ meniadakan aturan administrasi.
contohnya: penghapusan UU Tindak Pidana
Subversif pada era kepemimpinan Presiden
Habibie.
Stratifikasi, Kekuasaan dan Hukum*
• Stratifikasi sosial atau social stratification yaitu pembedaan masyarakat
ke dalam kelas-kelas secara bertingkat/ pelapisan dlm masyarakat.

• Penyebab tumbuhnya sistem pelapisan dlm masyarakat: adanya sesuatu


yg dihargai dlm masyarakat. Misal: benda yg bernilai ekonomis,
kekuasaan, ilmu pengetahuan, kesalehan dalam agama, dll.
Barangsiapa memiliki sesuatu yg berharga tersebut dlm jumlah
banyak, dia akan dianggap sbg pihak yg menduduki lapisan tertinggi.

• Unsur baku dlm sistem pelapisan dalam masyarakat:


a. Kedudukan (status)
b. Peranan (role)

* Soerjono Soekanto, 2002, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm. 77-84
• Apakah pelapisan dalam masyarakat suatu keharusan?

Mau tidak mau harus ada, utk memecahkan persoalan yg


dihadapi oleh masyarakat, yaitu menempatkan warganya pada
tempat yg tersedia dlm struktur sosial & mendorong mereka
agar melaksanakan kewajiban sesuai dg kedudukan serta
peranannya.

Pengisian tempat tsb adl pendorong agar masy bergerak sesuai


dg fungsinya.

Kedudukan dan peranan yg dianggap tertinggi adl kedudukan


dan peranan yg dianggap terpenting & memerlukan
kemampuan dan latihan maksimal shg tdk banyak yg dpt
memenuhi persyaratan demikian .

Shg warga lapisan atas (upper class) tdk terlalu banyak bila
dibandingkan dg lapisan menengah (middle class) dan lapisan
bawah (lower class).
• Kekuasaan: kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain menurut kehendak yg ada
pada pemegang kekuasaan.
 Kekuasaan memiliki peran yg sangat penting karena dapat menentukan nasib berjuta
manusia. Kekuasaan selalu ada dlm setiap masyarakat, baik masy sederhana maupun yg
komplek susunannya.

• Beda kekuasaan dan wewenang (authority):


 Kekuasaan: setiap kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain.
 Wewenang: kekuasaan yg ada pada seseorang/ sekelompok orang yg mendapat
pengakuan dari masyarakat. Wewenang hanya akan efektif jika didukung dengan
kekuasaan yg nyata.

• Efektivitas pelaksanaan hukum ditentukan oleh:


a. Sahnya hukum (hukum dibentuk dan dilaksanakan oleh orang2 atau badan2 yg
benar2 mempunyai wewenang).
Dalam hal ini hukum dapat mempunyai pengaruh untuk membatasi kekuasaan.
b. Kekuasaan yg dimiliki oleh hukum. Hukum tanpa kekuasaan adl hukum yg mati.

~ kekuasaan dan hukum memiliki hubungan timbal baik; di satu pihak hukum memberikan
batas-batas pada kekuasaan, di pihak lain kekuasaan merupakan jaminan bagi
berlakunya hukum. ~
• Hukum merupakan refleksi dari pembagian kekuasaan dan
memberikan pengaruh thdp sistem pelapisan sosial dlm
masyarakat.

• Sistem lapisan sosial yg sengaja dibentuk: nama jabatan dan


jenjang pangkat tenaga edukatif PT dlm lingkungan DIKTI.

• Sistem lapisan sosial yg tidak sengaja dibentuk: masyarakat


tani di daerah pedesaan di Jawa.
Lapisan tertinggi: wong baku (orang2 yg pertama2 datang dan
menetap di desa yg bersangkutan)
Lapisan kedua: kuli gandok atau lindung (laki-laki yg telah
berkeluarga)
Lapisan ketiga: joko atau sinoman (bujangan)
Masing2 mempunyai hak dan kewajiban yg dengan tegas
dibedakan serta dipertahankan mll sistem pengendalian
formal yg ada.
# semakin tinggi kedudukan seseorang dlm stratifikasi, semakin
sedikit aturan yg mengaturnya.
# semakin rendah kedudukan seseorang dalam stratifikasi,
semakin banyak aturan yg mengaturnya.

• Pandangan sosiolog
=> Hukum mrpkn lembaga kemasyarakatan fungsional yg
saling pengaruh mempengaruhi dg lembaga kemasyarakatan
lainnya. Hukum dlm keadaan tertentu menyesuaikan diri dg
struktur sosial, dlm keadaan yg lain hal sebaliknya yg terjadi.

• Pandangan ahli hukum


=> Hubungan antara struktur sosial dengan hukum
memberikan pengertian yg lebih mendalam ttg lingkungan
sosial budaya dimana hukum berlaku. Disamping hukum,
terdapat alat pengendalian sosial lain yg dalam keadaan
tertentu lebih efektif daripada hukum.
Proses peradilan dan penyelesaian konflik
• Proses peradilan modern memiliki mekanisme standar yg
baku dan prosedural. Hanya orang-orang tertentu dengan
background pendidikan tertentu serta telah memenuhi
kelengkapan administratif tertentu yg dapat beracara
dengan prosedur hukum tersebut.

• Proses yg harus dijalankan dalam mekanisme di peradilan


sangat panjang dan berbelit-belit. Dalam beberapa perkara,
yg dicari bukan hanya kebenaran substansiil saja, namun
kebenaran formil. Bagi golongan masyarakat tertentu
dirasakan sangat membingungkan.

• Penyelesaian konflik tidak hanya ditempuh melalui lembaga


peradilan saja, namun sarana informal yg tersedia di dalam
masyarakat justru menjadi suatu pilihan yg lebih banyak
dimanfaatkan.

Anda mungkin juga menyukai