SKRIPSI
FAJAR BANJARNAHOR
140401016
FAKULTAS TEKNIK
MEDAN
2019
ABSTRAK
Kata kunci: Las TIG, Baja AISI 1045, Sifat Mekanik, Kekuatan Sambungan Las
One of the metal joining technology with welding method is TIG (Tungsten
Inert Gas) or GTAW (Gas Tungsten Arch Welding). With TIG welding we can
connect metals such as: Aluminum, Copper, Carbon Steel, and Stainless Steel. This
study was conducted to determine the effect of TIG welding on mechanical
properties, microstructure, and strength of welded joints on AISI 1045 Steel.
Welding is done using AWS EWTh2 tungsten and with ER70S-G filler, 8 bar L / m
flow rate, 100 A current strength, with V joint connection. The test methods carried
out were hardness test with Brinell Hardness Tester method, tensile test with
Tensile Tester, microstructure test with Metallurgycal Microscope, and simulation
of welded joints with Solidworks software. The average results from the hardness
test were obtained 193 BHN for welded specimens, 178 BHN for testing in the HAZ
region, and 207 BHN for testing at the weld point. The results of the tensile test
without welding, the average stress is 725.849257 N/mm2, strain 20%, modulus of
elasticity 3828.4847 N/mm2. And for weld specimens, the average stress is
709.925687 N/mm2, Strain 11.33%, and the modulus of elasticity is 6309.7133
N/mm2. The results of microstructure testing showed that welded specimens had a
ferrite and pearlite microstructure, a weld point with cementite microstructure, and
a HAZ area with a larger size ferrite and pearlite microstructure. The strength of
weld joint with simulation in Solidworks, we get the joint strength is 698 MPa with
a tensile load of 36000 N.
Keywords: TIG Welding, AISI 1045 Steel, Mechanical Property, Weld Strength
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa atas hikmat
dan karunia yang telah diberikan kepada penulis, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi dengan judul “Studi Pengelasan TIG (Tungsten Inert Gas)
Terhadap Kekuatan Sambungan dan Sifat Mekanik pada Baja AISI 1045 ”.
Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan
pendidikan sarjana (S1) pada Dapertemen Teknik Mesin, Fakultas Teknik,
Universitas Sumatera Utara.
1. Bapak Dr. Ir. M. Sabri, M.T selaku Ketua Departemen Teknik Mesin,
Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara.
2. Ir. Alfian Hamsi, MSc. Selaku dosen pembimbing utama sekaligus dosen
pembimbing akademik yang memberikan arahan dan saran-saran dalam
penyelesaian skripsi ini.
3. Seluruh staf pengajar dan staf tata usaha Departemen Teknik Mesin yang
telah membimbing dan membantu keperluan penulis.
4. Rekan satu tim Joshua Hutagaol yang mau bekerja sama dan memberi
dukungan dalam pengerjaan skripsi ini.
5. Teman teman Teknik Mesin 2014, terkhusus teman-teman “Menerjang
Badai” yang memberikan semangat dan nasihat kepada penulis.
Penulis juga menerima segala saran dan kritik yang membangun dari semua
pihak guna kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat.
Fajar Banjarnahor
NIM. 140401016
DAFTAR ISI
ABSTRAK……………………………………………...………………………….i
KATA PENGANTAR ......................................................................................... ii
DAFTAR ISI ......................................................................................................iii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... v
DAFTAR TABEL ............................................................................................ viii
DAFTAR SIMBOL ............................................................................................ ix
5.1. Kesimpulan…....………………...…………..…………………………….83
5.2. Saran…...………..……………………….………………………………..84
DAFTAR GAMBAR
Gambar 4.10 : Foto Struktur Mikro Titik Las (Filler) 200 x Perbesaran ............... 79
Gambar 4.11 : Foto Struktur Mikro Daerah HAZ 100 x Perbesaran ..................... 79
Gambar 4.12 : Foto Struktur Mikro Daerah HAZ200 x Perbesaran ...................... 80
Gambar 4.13 : Analisa Von Mises Stress ................................................................. 81
Gambar 4.14 : Nilai Tegangan (Stress) dalam Mpa atau N/mm2 ......................... 81
Gambar 4.15 : Analisa Equivalen Strain ................................................................. 82
Gambar 4.16 : Nilai Regangan (Strain) ................................................................... 82
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 : Penggunaan Mesin Las TIG untuk Beberapa Logam ........................ 12
Tabel 2.2 : Variabel Pengelasan TIG Untuk Baja Karbon ................................... 16
Tabel 2.3 : Logam dan Jenis Arus Untuk Pengelasan TIG .................................. 19
Tabel 2.4 : Spesifikasi Elektroda TIG................................................................. 20
Tabel 2.5 : Komposisi Kimia Baja AISI 1045 .................................................... 31
Tabel 2.6 : Sifat Mekanis Baja AISI 1045 .......................................................... 32
Tabel 3.1 : Spesifikasi Mesin Las TIG Rilon 200A AC/DC ................................ 60
Tabel 3.2 : Komposisi Kimia Baja AISI 1045 .................................................... 64
Tabel 3.3 : Komposisi Kimia ER70S-G.............................................................. 64
Tabel 4.1 : Hasil Pengujian Kekerasan Metode Brinell ....................................... 69
Tabel 4.2 : Nilai Kekerasan Tiap Daerah Uji Dalam BHN .................................. 70
Tabel 4.3 : Hasil Uji Tarik ................................................................................. 72
Tabel 4.4 : Nilai Tegangan Tiap Spesimen ......................................................... 73
Tabel 4.5 : Nilai Regangan Tiap Spesimen ......................................................... 73
Tabel 4.6 : Nilai Moduls Elastisitas Tiap Spesimen ............................................ 76
DAFTAR SIMBOL
ε Regangan. (%)
BAB I
PENDAHULUAN
Tungsten Inert Gas ( TIG) welding adalah proses pengelasan busur yang
menggunakan elektroda tungsten yang digunakan tidak untuk menghasilkan lasan .
Pengelasan TIG adalah proses penyambungan material ferrous atau non ferrous
dengan memanaskan sampai suhu pengelasan, dengan atau tanpa menggunakan
logam pengisi ( filler metal).
Pengelasan baja menggunakan las TIG dengan pelindung gas mulia (Argon)
diharapkan dapat memberikan hasil sambungan las yang bagus, baik secara fisis
maupun mekanis. Sifat mekanis tersebut salah satunya adalah kekuatan tarikan
yang akan mempengaruhi kekuatan sambungan. Faktor yang memungkinkan
mempengaruhi penurunan sifat mekanis sambungan las TIG antara lain adalah
ketidak sesuaian dalam pemilihan kawat las (filler metal ) dan kesalahan dalam
penentuan parameter las TIG (Sulardjaka, 2005). Las TIG dapat digunakan dalam
pengelasan Aluminium, Stainless stell, Baja paduan, dan logam lainnya.
Salah satu material yang banyak dipakai dalam pengelasan adalah baja, ada
beberapa jenis baja yang dipakai, salah satunya adalah Baja AISI 1045. Baja AISI
1045 adalah baja karbon dengan paduan karbon 0,45% tanpa tambahan sulfur dan
1.2.Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui sifat mekanik Baja AISI 1045 sebelum dan setelah
pengelasan Tungsten Inert Gas (TIG) dengan uji kekerasan dan uji tarik.
2. Mengetahui bentuk struktur mikro baja AISI 1045 sebelum dilas, pada
daerah las, dan daerah HAZ (Heat Affected Zone) dan pengaruhnya terhadap
sifat mekanik.
3. Untuk mengetahui kekuatan sambungan hasil pengelasan TIG dengan filler
ER70S-G pada Baja AISI 1045 dengan simulasi di SOLIDWORKS.
Agar penyusunan skripsi ini dapat tersusun secara sistematis, skripsi ini
dibagi dalam beberapa bagian yaitu:
BAB I : PENDAHULUAN
Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dari judul skripsi yang telah
ditetapkan, tujuan, manfaat, batasan masalah, sistematika penulisan skripsi.
Pada bab ini akan dibahas mengenai teori-teori yang berhubungan dengan penulisan
skripsi. Dasar teori didapatkan dari berbagai sumber, diantaranya berasal dari: buku
- buku pedoman, jurnal, paper, tugas akhir, e-mail, e-book, dan enews.
Pada bab ini akan dibahas mengenai metode yang akan digunakan untuk
menyelesaikan penulisan skripsi. Pada bab ini juga akan dibahas mengenai langkah-
langkah penelitian, pengolahan dan analisa data yang akan digunakan untuk
menyelesaikan permasalahan dari topik yang diangkat.
Pada bab ini akan dianalisa dan dibahas mengenai data-data yang telah diperoleh
dari hasil penelitian yang telah dilakukan.
Pada bab ini berisi kesimpulan dari penulisan tugas akhir dan saran-saran.
DAFTAR PUSTAKA
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Alat-alat las busur listrik dalam penggunaan yang pertama Benardes (1885)
menggunakan elektroda yang dibuat dari batang karbon atau grafit. Dengan
mendekatkan elektroda ke logam induk sejarak kira-kira 2 mm, maka terjadi busur
listrik yang merupakan sumber panas dalam proses pengelasan. Pada tahun 1889
Zerner mengembangkan cara pengelasan busur yang baru dengan menggunakan
busur listrik yang dihasilkan oleh dua batang karbon. Slavionoff (1892) adalah
orang yang pertama menggunakan kawat logam elektroda yang turut mencair
karena panas yang ditimbulkan oleh busur listrik yang terjadi. Disamping itu, pada
tahun 1886 Thomson menciptakan proses pengelasan resistansi listrik, Goldscmitt
menemukan las termit tahun 1895. Tahun 1901 – 1903 Fouche dan Picard
mengembangkan tangkai las yang dapat digunakan dengan acetilene (gas karbit),
sehingga sejak itu dimulailah zaman pengelasan dan pemotongan oxy-acetilene (gas
karbit-oksigen). Setelah energi listrik dapat digunakan dengan mudah, teknologi
pengelasan maju dengan pesat sehingga menjadi suatu teknik penyambungan yang
mutakhir. Pada tahun 1926 Lungumir menemukan las hidrogen atom, las busur
logam dengan pelindung gas mulia oleh Hobart dan Dener dan las busur rendam
oleh Kennedy dalam tahun 1935, proses pengelasan busur nyala terbenam
(submerged) yang busur nyalanya tertutup di bawah bubuk fluks.
Salah satu jenis proses las busur listrik elektoda terumpan, yang
menggunakan busur listrik yang terjadi antara elektroda dan benda kerja setempat,
kemudian membentuk paduan serta membeku menjadi alasan. Elektroda
terbungkus yang berfungsi sebagai fluks akan terbakar pada waktu proses
pengelasan dan gas yang terjadi akan melindungi proses pengelasan terhadap
pengaruh udara luar, cairan yang terbungkus akan terapung membeku pada
permukaan las yang disebut slag. Proses pengelasan elektroda terbungkus terlihat
pada gambar 2.3.
(Harsono 2000)
Ini adalah salah satu pengelasan dimana logam cair ditutup dengan fluks
yang diatur melalui suatu penampang fluks dan elektroda yang merupakan kawat
pejal diumpankan secara terus menerus, dalam pengelasan ini busur listrik nya
terendam dalam fluks dapat dilihat pada gambar 2.4. Prinsip las busur terendam ini
material yang dilas adalah baja karbon rendah, dengan kadar karbon tidak lebih dari
0, 05%. Baja karbon menengah dan baja konstruksi paduan rendah dapat juga dilas
dengan proses SAW, namun harus dengan perlakuan panas khusus dan elektroda
khusus.
Jenis pengelasan ini menggunakan busur api listrik sebagai sumber panas
untuk peleburan logam, perlindungan terhadap logam cair menggunakan gas mulia
(inert gas) atau CO2 merupakan elektroda terumpan yang diperlihatkan pada
gambar 2.5. Proses GMAW dimodifikasikan juga dengan proses menggunakan
fluks yaitu dengan penambahan fluks yang magnetig (magnetizen - fluks) atau fluks
yang diberikan sebagai inti (fluks cored wire).
Pada las Oxyacetilene, panas dihasilkan dari reaksi pembakaran antar gas
acetylene dan oksigen. Nyala yang dihasilkan terdiri dari dua daerah/zona, yaitu :
daerah pembakaran primer (primary combustion) dan daerah pembakaran sekunder.
Pada daerah pembakaran primer, menghasilkan panas sekitar 1/3 dari total panas
pembakaran sempurna. Sedangkan pada daerah pembakaran sekunder, terjadi
setelah pembakaran primer berlangsung.
2.2. Las Tungsten Inert Gas (TIG) atau Gas Tungsten Arc Welding (GTAW)
yang dicairkan oleh busur nyala tersebut dan mengisi kampuh bahan induk. Gas
pelindung yang digunakan dalam pengelasan biasanya berupa gas Argon 99%.
Pada jenis ini logam pengisi dimasukan kedalam daerah arus busur sehingga
mencair dan terbawa ke logam induk. Las TIG dapat dilaksanakan secara manual
atau secara otomatis dengan mengotomatisasikan cara pengumpanan logam
pengisi. Penggunaan las TIG mempunyai dua keuntungan, pertama kecepatan
pengumpanan logam pengisi dapat diatur terlepas dari besarnya arus listrik
sehingga penetrasi kedalam logam induk dapat diatur semaunya. Cara pengaturan
ini memungkinkan las TIG dapat digunakan dengan memuaskan baik untuk pelat
baja tipis maupun pelat yang tebal.
1. Sebuah torch TIG yaitu alat tukang las yang digunakan untuk mengontrol
busur.
2. Sebuah sumber daya yang mampu memberikan daya saat pengelasan
dilakukan.
3. Sebuah unit TIG dengan sistem kontrol dimasukkan yang memungkinkan
untuk menyesuaikan arus pengelasan, inisiasi busur, dll.
4. Sebuah tabung gas shielding dengan tekanan mengurangi katup dan
flowmeter.
Banyak mesin las TIG yang dibangun sedemikian rupa bahwa sumber daya
dan unit TIG adalah satu unit.
Welding Torch adalah alat yang digunakan sebagai pegangan saat proses
pengelasan, dalam torch terdapat beberapa komponen seperti ceramic cup yang
berfungsi sebagai tempat keluarnya gas pelindung. Kemudian tempat tungsten,
penghantar arus listrik, dan selang gas pelindung. Tujuan utama dari TIG torch
adalah untuk membawa arus pengelasan dan shielding gas untuk las. Torch
dilengkapi dengan saklar untuk mengontrol gas dan busur pengelasan.
Tungsten berfungsi sebagai pencipta busur nyala saja yang digunakan untuk
mencairkan kawat las yang ditambahkan dari luar dan benda yang akan disambung
menjadi satu kesatuan sambungan. Dalam pemilihan tungsten elektroda GTAW
juga bermacam-macam, pemilihan tersebut disesuaikan dengan jenis material yang
digunakan. Oleh karena itu tidak boleh sembarangan dalam memilih tungsten agar
hasil lasan yang dihasilkan dapat maksimal dan sesuai dengan standar pengelasan.
Pada pengelasan TIG ini digunakan gas pelindung Argon, Helium atau Argon
campuran dengan Helium. Saat proses pengelasan tabung gas dibuka beserta
regulatornya kemudian gas akan disalurkan melalui selang ke welding torch.
Adapun kekurangan dari las TIG adalah sebagai berikut : (Sriwidharto, 2006)
Parameter utama pada pengelasan TIG adalah tegangan busur (arc length),
arus pengelasan, kecepatan gerak pengelasan (travel speed) dan gas lindung.
Jumlah energi yang dihasilkan oleh busur sebanding dengan arus dan tegangan,
sedangkan jumlah bahan las yang dideposisikan per satuan panjang berbanding
terbalik dengan kecepatan gerak pengelasan. Busur yang dihasilkan dengan gas
pelindung helium lebih dalam dibandingkan dengan gas argon.
Cara pengumpanan kawat las ke dalam kolam las, menentukan jumlah lajur
yang terproduksi dan tampak luarnya. Pada mesin las TIG/GTAW yang otomatis,
kecepatan pengumpanan kawat las menentukan bahan tambahan las yang
terdeposisi per satuan panjang sambungan las. Mengurangi kecepatan
pengumpanan akan memperdalam penetrasi dan meratakan bentuk permukaan lajur
las. Pengumpanan kawat las yang terlalu lambat, cenderung akan menghasilkan
luluh pada sisi kampuh (undercut), retak sumbu lajur dan kekurangan pengisian
(lack of joint fill). Pengumpanan yang cepat akan menghasilkan penetrasi yang
dangkal dan menyebabkan bentuk lajur cembung (convex) (Sriwidharto, 2006).
Tabel 2.2. Variabel Pengelasan TIG Untuk Baja Karbon (Heri Sunaryo, 2008)
mungkin merupakan variabel yang tidak bebas yang dipilih dengan variabel lain
untuk mendapatkan mutu dan keseragaman las yang diperlukan. Pada jenis
mekanisasi las, kecepatan pengelasan biasanya tetap untuk segala jenis obyek
pengelasan, sedangkan variabel lainnya seperti arus dan tegangan dapat diatur
sesuai dengan kebutuhan.
3. Tegangan Busur
4. Arus Busur
Arus AC dan DCEP ini digunakan untuk mengelupas lapisan oksid yang
akan terjadi akibat adanya aliran elektron dari benda kerja menuju elektroda pada
arus DCEP maupun pada setengah siklus AC. Penggunaan jenis arus juga
mempengaruhi kedalaman penetrasi yang akan dibentuk.
Pada arus AC distribusi panasnya terjadi 1/2 untuk benda kerja dan 1/2
untuk elektroda. Pada arus DCEP 2/3 panas terjadi pada elektroda dan 1/3 sisanya
terjadi pada benda kerja, sedangkan pada arus DCEN terjadi sebaliknya yaitu 1/3
panas untuk elektroda dan 2/3 panas sisanya terjadi pada benda kerja. Konsekuensi
distribusi panas yang berbeda ini akan berpengaruh pada kedalaman penetrasi yang
berbeda.
Tabel 2.3. Logam dan Jenis Arus Untuk Pengelasan TIG (Althouse, 1984)
Elektroda yang digunakan pada GTAW adaalah terbuat dari Tungsten murni
atau paduan, karena tungsten ini memiliki temperature leleh paling tinggi dari
logam murni lainnya, yaitu sekitar 3.422 oC atau 6.192oF. Sehingga, elektroda ini
tahan pada temperatur tinggi dan tidak cepat habis selama pengelasasn berlangsung,
meskipun sebenarnya terjadi erosi (burn-off) yang menyebabkan elektroda semakin
lama semakin pendek. Disamping elektroda tungsten murni, ada elektroda tungsten
paduan, elektroda ini memiliki masa pakai lebih lama karena titik lelehnya yang
semakin tinggi dan sifat pengapian lebih baik dari elektroda tungsten murni.
Diameter elektroda dapat bervariasi antara 0,5 dan 6,4 mm (0,02 dan 0,25 inc), dan
panjangnya dapat berkisar antara 75 hingga 610 milimeter (3,0 hingga 24 inc).
Oksida logam yang paling sering digunakan digunakan untuk paduan tungsten
adalah: Thorium oxide ThO2, Zirconium oxide ZrO2, Lanthanum oxide LaO2, dan
Cerium oxide CeO2.
Elektroda tungsten murni dan yang paduan berbeda terlihat sama, sehingga
susah untuk membedakannya. Oleh karena itu warna indikasi standar pada
elektroda telah disepakati oleh International Organization for Standardization (ISO
6848) dan American Welding Society (AWS A5.12). Elektroda ditandai dengan
warna tertentu pada 10 mm terakhir.
Kondisi yang penting untuk memperoleh hasil yang baik dari las TIG adalah
bahwa titik elektroda tungsten harus terduduk dengan benar. Ketika pengelasan
dilakukan dengan polaritas saat ini dan negatif langsung, ujung elektroda harus
mengerucut untuk mendapatkan busur terkonsentrasi yang akan memberikan profil
penetrasi sempit dan mendalam. Thumb mengikuti aturan menunjukkan hubungan
antara diameter elektroda tungsten dan panjang titik Ground nya. Sebuah sudut
runcing kecil memberikan daerah las sempit.
Ketika grinding elektroda titik harus menunjuk ke arah rotasi dari disk
grinding sehingga jejak grinding akan tidak memanjang elektroda.
Jenis sambungan tergantung dariber bagai faktor seperti ukuran dan bentuk
batang yang akan membentuk sambungan, tipe pembebanan, besarnya luas
sambungan yang akan dilas dan biaya relatif untuk berbagai macam sambungan las.
Ada lima jenis sambungan dasar dalam pengelasan, meskipun dalam prakteknya
dapat ditemukan banyak variasi dan kombinasi diantaranya adalah:
Dalam sambungan ini dapat terjadi penyusutan dalam arah tebal plat yang
dapat menyebabkan terjadinya retak lamel. Hal ini dapat dihindari dengan membuat
alur pada plat tegak. Bila pengelasan tidak dapat dilakukan karena sempitnya ruang,
maka pelaksanaannya dapat dilakukan dengan pengelasan tembus atau pengelasan
dengan plat pembantu. Sambungan sudut digunakan untuk membentuk penampang
box segi empat terangkai seperti untuk balok baja yang membutuhkan ketahanan
terhadap torsi yang tinggi. Sambungan sudut dijelaskan pada gambar berikut :
Sambungan sisi dibagi dalam sambungan las dengan alur dan sambungan
lasujung. Untuk jenis yang pertama pada platnya harus dibuat alur, sedangkan pada
dua jenis pengelasan dilakukan pada ujung plat tanpa ada alur. Sambungan ini
digunakan untuk menjaga dua atau lebih plat agar tetap pada satu bidang tertentu
ataupun untuk mempertahankan kedudukan seperti semula.
1. Logam las adalah bagian dari logam yang pada waktu pengelasan mencair
kemudian membeku.
2. Fusion Line, garis penggabungan atau garis batas cair antara logam las dan
logam Induk
3. Daerah pengaruh panas disebut HAZ (Heat Affected Zone), adalah logam
dasar yang bersebelahan dengan logam las selama pengelasan mengalami
pemanasan dan pendinginan yang cepat Pembagian daerah lasan dapat
dilihat pada gambar 2.8.
2.7. Baja
Baja adalah bahan dasar vital untuk industri. Semua segmen kehidupan,
mulai dari peralatan dapur, trasportasi, generator, sampai kerangka gedung
dan jembatan menggunakan baja. Eksplotasi besi baja menduduki peringkat
pertama di antara barang tambang dan logam dan produknya melingkupi hampir 95
% dari produk barang berbahan logam yang dimamfaatkan dalam kehidupan
manusia.
Baja adalah paduan logam yang tersusun dari (Fe) besi sebagai unsur
utama dan karbon (C) sebagai unsur penguat. Unsur karbon banyak berperan
sebagai peningkatan kekerasan. Perlakuan panas dapat mengubah sifat fisis
baja dari lunak seperti kawat menjadi keras seperti pisau. Penyebapnya
perlakuan panas mengubah struktur mikro baja dan struktur kristal dari bcc
ke fcc yang bersifat paduan dan bila didinginkan tiba-tiba terjadi perubahan
struktur kristal dari fcc ke hcp.
Baja adalah logam paduan, logam besi sebagai unsur dasar dengan
beberapa elemen lainnya, termasuk karbon. Kandungan unsur karbon dalam baja
berkisar antara 0.2% hingga 2.1% berat sesuai grade-nya. Elemen berikut ini
selalu ada dalam baja: karbon, mangan, fosfor, sulfur, silikon, dan sebagian kecil
oksigen, nitrogen dan aluminium. Selain itu, ada elemen lain yang
ditambahkan untuk membedakan karakteristik antara beberapa jenis baja
diantaranya: mangan, nikel, krom, molybdenum, boron, titanium,vanadium dan
niobium. Dengan memvariasikan kandungan karbon dan unsur paduan lainnya,
berbagai jenis kualitas baja bisa didapatkan. Fungsi karbon dalam baja adalah
sebagai unsur pengeras dengan mencegah dislokasi bergeser pada kisi kristal
(crystal lattice) atom besi. Baja karbon ini dikenal sebagai baja hitam karena
berwarna hitam, banyak digunakan untuk peralatan pertanian misalnya sabit dan
cangkul.
1. Kekuatan
2. Kekerasan
Baja itu sangat keras, sehingga sebagai bahan konstruksi baja mungkin
saja untuk digunakan dalam berbagai tujuan. Apabila untuk produk-produk baja
tertentu ada suatu keharusan ,maka bisa saja baja itu ditambahi kekerasannya
dengan perlakuan panas (heat treatment).
Baja secara umum dapat dikelompokkan atas 2 jenis yaitu : Baja karbon (Carbon
steel) dan Baja paduan (Alloy steel).
Baja karbon dapat terdiri atas : Baja karbon rendah (low carbon steel, 0,05
% -0,30% C ) Sifatnya mudah ditempa dan mudah di mesin. Baja karbon
menengah (medium carbon steel, 0,30 – 0,60% C ) Kekuatan lebih tinggi daripada
baja karbon rendah, sifatnya sulit untuk dibengkokkan, dilas, dipotong. Baja karbon
tinggi (high carbon steel) Sifatnya sulit dibengkokkan, dilas dan dipotong.
Kandungan 0,60 % – 1,50 % C.
tahan terhadap reaksi kimia (oksidasi dan reduksi). Untuk membuat sifat-sifat
spesial. Baja paduan yang diklasifikasikan menurut kadar karbonnya dibagi
menjadi: Low alloy steel, jika elemen paduannya ≤ 2,5 %, medium alloy steel, jika
elemen paduannya 2,5 – 10 %, high alloy steel, jika elemen paduannya > 10 %.
Baja paduan juga dibagi menjadi dua golongan yaitu baja campuran khusus (special
alloy steel) & highspeed steel (HSS).
Baja AISI 1045 adalah baja karbon yang mempunyai kandungan karbon
sekitar 0,43 - 0,50 dan termasuk golongan baja karbon menengah (Glyn.et.al, 2001).
Baja tersebut memiliki kekuatan tarik sebesar 570 - 700MPa dan nilai kekerasan
brinell berkisar 170-210BHN. Baja AISI 1045 memiliki karakteristik mampu
dilas, mampu ketermesinan, kekuatan yang tangguh serta ketahanan impak. Baja
spesifikasi ini banyak digunakan sebagai komponen automotif misalnya untuk
komponen roda gigi pada kendaraan bermotor. Komposisi kimia dari baja AISI
1045 dapat dilihat pada Tabel II.1.
1. AISI 1045 diberi nama menurut standar American Iron and Steel Institude
(AISI) dimana angka 1xxx menyatakan baja karbon, angka 10xx
menyatakan karbon steel sedangkan angka 45 menyatakan kadar karbon
persentase (0,45 %).
2. Penulisan atau penggolongan baja AISI 1045 ini menurut standar yang lain
adalah sama dengan DIN C 45, JIS S 45 C, dan UNS G 10450.
3. Menurut penggunaannya termasuk baja kontruksi mesin.
4. Menurut struktur mikronya termasuk baja hypoeutectoid (kandungan
karbon < 0,8 % C).
5. Dengan meningkatnya kandungan karbon maka kekuatan tarik dan
kekerasan semakin menjadi naik sedangkan kemampuan regang, keuletan,
ketangguhan dan kemampuan lasnya menurun. Kekuatannya akan banyak
berkurang bila bekerja pada temperatur yang agak tinggi. Pada temperatur
yang rendah ketangguhannya menurun secara dratis.
pengelasan dan laju pendinginan daerah lasan. Daerah logam yang mengalami
perubahan struktur mikro akibat mengalami pemanasan karena pengelasan disebut
Daerah Pengaruh Panas (DPP), atau Heat Affected Zone (HAZ). Daerah hasil
pengelasan yang akan kita temui bila kita melakukan pengelasan, yaitu :
Keterangan :
Adalah daerah dimana terjadi pencairan logam dan dengan cepat kemudian
membeku.
2. Fusion Line
Merupakan daerah yang dipengaruhi panas dan juga logam dasar yang
bersebelahan dengan logam las yang selama proses pengelasan mengalami siklus
termal pemanasan dan pendinginan cepat, sehingga terjadi perubahan struktur
akibat pemanasan tersebut disebabkan daerah yang mengalami pemanasan yang
cukup tinggi.
Daerah HAZ merupakan daerah paling kritis dari sambungan las, karena selain
berubah strukturnya juga terjadi perubahan sifat pada daerah ini. Secara umum
struktur dan sifat daerah panas efektif dipengaruhi dari lamanya pendinginan dan
komposisi dari logam induk itu sendiri. Siklus termal las adalah proses pemanasan
dan pendinginan yang terjadi pada daerah lasan. Proses las terjadi proses
pemanasan dan juga pendinginan maka dapat dikatakan proses las juga proses heat
treatment hanya saja terjadinya lokal, tidak seperti proses heat treatment pada
umumnya. Untuk melihat fenomena proses tersebut dapat dilihat pada grafik siklus
termal las.
Di dalam proses pengelasan pasti akan kita jumpai sesuatu yang bernama
HAZ,hal inilah yang sangat berpengaruh terhadap umur logam
pengelasan,Mungkin diantara sahabat ada yang mengerti apa itu HAZ pada proses
pengelasan dan ada pula yang belum mengerti,disini saya akan menjelaskan sedikit
tentang apa itu HAZ dan proses terjadinya HAZ (Heat Affected Zone).
Heat Affected Zone adalah logam dasar yang bersebelahan dengan logam
las yang selama proses pengelasan mengalami siklus thermal pemanasan dan
pendinginan cepat.sedangkan proses terjadinya HAZ / Filosofi HAZ sendiri terjadi
di logam dasar yang bersebelahan dengan logam las yang selama proses pengelasan
mengalami siklus termal pemanasan dan pendinginan cepat sehingga daerah ini
yang paling kritis dari sambungan las.
Tegangan terbesar yang masih dapat ditahan oleh bahan tanpa terjadi
regangan sisa permanen yang terukur pada saat beban telah ditiadakan. Dengan
bertambahnya ketelitian pengukuran regangan, nilai batas elastiknya menurun
hingga suatu batas yang sama dengan batas elastik sejati yang diperoleh dengan
cara pengukuran regangan mikro.
Merupakan besar tegangan dimana bahan yang diuji putus atau patah.
𝐹𝑢
𝜎𝑢 = ……………………………………………………….(2.1)
𝐴𝑜
∆𝐿 𝐿−𝐿𝑜
𝜀= × 100% = × 100% …..………………………..(2.2)
𝐿𝑜 𝐿𝑜
∆𝐴 𝐴𝑜−𝐴
𝑞= × 100% = × 100% ……………………….…..(2.3)
𝐴𝑜 𝐴𝑜
Pengujian kekerasan logam ini secara garis besar ada 3 jenis yaitu cara
goresan, penekanan, cara dinamik. Proses pengujian yang mudah dan cepat dalam
memperoleh angka kekerasan yaitu penekanan. Penentuan kekerasan penekanan
ada 3 cara yaitu Brinell, Vickers, dan Rockwell. Pada penelitian ini digunakan cara
kekerasan Brinell
Kekerasan Brinell
Uji kekerasan lekukan yang pertama kali banyak digunakan serta disusun
pembakuannya adalah metode yang diajukan oleh J.A Brinell pada tahun 1900. Uji
kekerasan Brinell berupa pembentukan lekukan pada permukaan logam dengan
memakai bola baja berdiameter 10 mm dan diberi beban 3000 kg. Untuk logam
lunak, beban dikurangi hingga tinggal 500 kg, untuk menghindarkan jejak yang
dalam, dan untuk bahan yang sangat keras, digunakan paduan karbida tungsten,
untuk memperkecil terjadinya distorsi indentor. Beban diterapkan selama waktu
tertentu, biasanya 30 detik, dan diameter lekukan diukur dengan mikroskop daya
rendah, setelah beban tersebut dihilangkan. Kemudian dicari harga rata-rata dari 2
buah pengukuran diameter pada jejak yang berarah tegak lurus. Permukaan di mana
lekukan akan dibuat harus relatif halus, bebas dari debu atau kerak. Angka
kekerasan Brinell (BHN) dinyatakan sebagai beban P dibagi luas permukaan
lekukan. Rumus untuk angka kekerasan tersebut adalah,
𝑃
𝐵𝐻𝑁 =
𝐿𝑢𝑎𝑠 𝐽𝑒𝑗𝑎𝑘
𝑃
= …………………..…(2.4)
𝜋. 𝐷 2 2
2 (𝐷 − √𝐷 − 𝑑 )
Satuan dari BHN adalah kilogram per milimeter kuadrat. Akan tetapi, BHN
tidak memenuhi konsep fisika, karena persamaan di atas tidak melibatkan tekanan
rata-rata pada permukaan lekukan.
Untuk mendapatkan BHN yang sama dengan beban atau diameter bola yang
tidak standart, diperlukan keserupaan lekukan secara geometris. Keserupaan
geometris akan diperoleh, sejauh besar sudut 2⌀ tidak berubah. Persamaan (2.5)
menunjukkan, bahwa agar ⌀ dan BHN tetap konstan, beban dan diameter bola harus
divariasikan memenuhi perbandingan.
𝑃1 𝑃2 𝑃3
= 𝐷2 = 𝐷2 ……………………………………………….….(2.5)
𝐷12 2 3
Struktur bahan dalam orde kecil sering disebut struktur mikro. Struktur ini
tidak dapat dilihat dengan mata telanjang, tetapi harus menggunakan alat pengamat
struktur mikro. Penelitian ini menggunakan mikroskop cahaya. Sifat-sifat fisis dan
mekanik dari material tergantung dari struktur mikro material tersebut. Struktur
mikro dalam logam (paduan) di tunjukkan dengan besar, bentuk dan orientasi
butirannya, jumlah fasa, proporsi dan kelakuan dimana mereka tersusun atau
terdistribusi. Struktur mikro dari paduan tergantung dari beberapa faktor seperti,
elemen paduan, konsentrasi dan perlakuan panas yang diberikan. Pengujian struktur
mikro atau mikrografi dilakukan dengan bantuan mikroskop dengan koefisien
pembesaran dan metode kerja yang bervariasi.
1. Pemotongan (Sectioning)
2. Pengamplasan (Grinding)
3. Pemolesan (Polishing)
4. Etsa (Etching)
5. Pemotretan
Struktur mikro dari spesimen yang telah dilas, yang terbentuk di daerah
pengaruh panas, atau HAZ ditentukan oleh komposisi kimia logam induk, atau base
metal dan pola atau kecepatan pendinginan dari daerah las. Kombinasi kom posisi
dan laju pendiningan dapat membentuk fasa-fasa yang sensitif terhada timbulnya
retak.
Menurut Abson dan Pargeter (1986), struktur mikro pada logam las
biasanya terdiri dari dua atau lebih fasa berikut ini:
Ferrite adalah fasa larutan padat yang memiliki struktur BCC (body
centered cubic). Ferrite ini akan terbentuk pada proses pendinginan lambat dari
austenite baja hipoeutectoid (baja dengan kandungan karbon < 0,8%) yang bersifat
lunak, ulet, keras dan konduktifitas thermalnya tinggi.
Fase Austenite memiliki struktur atom FCC (Face Centered Cubic). Dalam
keadaan setimbang fasa austenite ditemukan pada temperature tinggi. Fasa ini
bersifat non magnetik dan ulet (ductile) pada temperature tinggi. Kelarutan atom
karbon di dalam larutan padat austenite lebih besar jika dibandingkan dengan
kelarutan atom karbon pada fase ferrite. Secara geometri, dapat dihitung
perbandingan besarnya ruang intertisi di dalam fasa austenite (kristal FCC) dan fasa
Ferrite (kristal BCC).
Adalah senyawa besi dengan karbon yang pada umumnya dikenal sebagai
karbida besi dengan rumus kimia Fe3C dengan bentuk sel satuan ortorombik dan
bersifat keras (65-68) HRC.
Perlit adalah campuran ferite dan cementit berlapis dalam suatu struktur
butir, dengan nilai kekerasan (10-30) HRC. Pendinginan yang lambat akan
menghasilkan struktur perlit yang kasar, sedangkan struktur mikro perlit halus
terbentuk dari hasil pendinginan cepat. Baja yang memiliki struktur mikro perlit
kasar kekuatannya lebih rendah bila dibadingkan dengan baja yang memiliki
struktur mikro perlit halus.
e) Martensit
Terbentuk dari pendinginan cepat fasa austenit sehingga mengaibatkan sel satuan
FCC bertransformasi secara cepat menjadi BCC. Unsur karbon yang larut dalam
BCC terperangakap dan tetap berada dalam sel satuan itu, hal tersebut
menyebabkan terjadinya distorsi sel satuan sehingga sel satuan BCC berubah
menjadi BCT. Struktur mikro martensit berbentuk seperti jarum-jarum halus,
namun bersifat kasar (20-67) HRC dan getas.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Dalam perencanaan pengelasan TIG ada satu faktor yang perlu diperhatikan
yaitu suhu pengelasan yang kemungkinan mempengaruhi sifat fisik dan mekanik
daripada material yang akan dilas. Metalurgi Las dalam pengelasan, dalam arti yang
sempit dapat dibatasi hanya pada logam las dan daerah yang dipengaruhi panas atau
HAZ (Heat Affected Zone). Pada umumnya struktur mikro dari baja baik pada
logam las dan daerah HAZ tergantung dari kecepatan pendinginnya dari suhu
daerah austenite (900 – 1500 oC) sampai ke suhu kamar (27oC). Karena perubahan
struktur ini maka dengan sendirinya sifat-sifat mekanik yang dimiliki baja juga
berubah.
𝜎𝑦 = 𝜎𝑓 + 𝐾. 𝐷−1/2………………………………………..….(3.1)
σf : Tegangan friksi
K : Konstanta
D : Ukuran butir
Selanjutnya untuk menilai ketahanan daerah las terhadap patah getas perlu
adanya pengujian yang mempertimbangkan factor-faktor dinamis yang dapat
mempengaruhi patah getas, seperti beban maksimal, kecepatan regang, takik,
bentuk dan dimensi spesimen, konsentrasi tegangan dan regangan, dan sebagainya.
Untuk menampung hal-hal dinamik ini perlu pengujian dengan skala besar, baik
dalam jumlah maupun dalam dimensi, karena itu dibuat pengujian skala kecil yang
distandarkan yaitu dengan pengujian tarik (tensile test) dan uji kekerasan.
Dengan pengujian tarik akan didapat nilai tegangan, regangan, dan modulus
elastisitas. Dalam uji tarik ini akan dibuat dua variasi spesimen yaitu spesimen
tanpa las dan spesimen dengan pengelasn TIG, kemudian akan dibandingkan hasil
dari pengujian keduanya. Sedangkan pada pengujian kekerasan adalah untuk
mengetahui perbandingan nilai kekerasan pada tiap daerah pengujian sebelum dan
setelah pengelasan TIG, hubungannya dengan struktur mikro, dan juga untuk
mengetahui apa penyebab perbedaan nilai kekerasannya bila benar ada perbedaan.
Maka akan diuji kekerasannya pada titik las, daerah HAZ, dan logam induk.
Pada pengujian tarik parameter yang diamati adalah nilai tegangan (stress),
regangan (strain), dan modulus elastisitas Baja AISI 1045.
Tegangan(σ) pada uji tarik merupakan berat beban (P) dibagi dengan
luas penampang (A) pada sepesimen. Maka hasil perhitungan tegangan pada
untuk setiap spesimennya sama.
𝑃
𝜎 = 𝐴 …………………………………………………………..(3.2)
∆𝐿
𝑒 = 𝐿𝑜 × 100% ………………………………………………..(3.3)
ΔL = Perpanjangan (mm2)
Modulus elastisitas(E) pada uji tarik merupakan tegangan (σ) dibagi dengan
regangan (ε) pada sepesimen. Maka hasil perhitungan tegangan pada untuk setiap
spesimennya sama. Dapat dihitung dengan persamaan berikut:
𝜎
𝐸 = 𝑒 …………………………………………………………..(3.4)
σ = Tegangan (N/mm2)
𝑃
𝐵𝐻𝑁 = 𝜋𝐷 ……………………………………….…(3.5)
(𝐷−√𝐷 2 −𝑑2 )
2
d : Diameter indentasi
1. Studi Literatur
Tahap pertama pada penelitian ini yaitu mengenai studi literature, berupa
studi kepustakaan dengan mempelajari jurnal-jurnal, buku-buku, maupun karya-
karya ilmiah yang berkaitan, baik yang bersumber dari media cetak, elektronik,
maupun dari internet. Yaitu tentang pengelasan TIG, Baja AISI 1045, struktur
mikro, pengujian kekerasan, dan uji tarik.
2. Diskusi Interaktif
(a) (b)
Gambar 3.1. Dimensi Spesimen Uji Kekerasan Sesuai Standar ASTM E-8
(a), kampuh V spesimen uji kekerasan sebelum dilas (b).
Untuk spesimen uji tarik, setelah spesimen dipotong dengan panjang sesuai
standar, setelah itu tiap spesimen akan dibubut berbentuk yomini dengan dimensi
standar ASTM E-8. Dimensinya dapat dilihat pada gambar 3.2. Setelah bentuk
spesimen sudah sesuai standar ASTM E-8, lalu pada tengah spesimen dibuat
kampuh V 360o untuk dilas nantinya.
Gambar 3.2. Dimensi Spesimen Uji Tarik Sesuai Standar ASTM E-8.
Untuk uji struktur mikro spesimen yang digunakan adalah spesimen yang
sama dengan uji kekerasan. Ada tiga daerah yang akan dilihat struktur mikronya,
yaitu: sebelum dilas, daerah pada titik las, dan pada daerah HAZ. Setelah spesimen
selesai di uji kekerasannya, kemudian spesimen langsung dihaluskan
permukaannya dengan kertas pasir nomor 500, 1000, dan 1200 dengan
menggunakan mesin polishing, kemudian dipolish sampai mengkilat dengan metal
polish.
4. Proses Pengelasan
Setelas spesimen dibentuk sesuai standar, lalu spesimen akan dilas. Dalam
penelitian ini jenis las yang digunakan adalah Gas Tungsten Arc Welding (GTAW)
atau Tungsten inert gas (TIG). Pengelasan dilakukan di Ruang Bengkel Team
Horas, Universitas Sumatera Utara. Sebelum proses pengelasan dimulai, logam
induk yang sudah dibuat kampuh las tersebut harus dibersihkan dari kotoran seperti
debu, minyak, oli atau gemuk, karat, air dan lain sebagainya untuk menghindari
terjadinya cacat las. Selanjutnya Baja AISI 1045 dilas dengan las Tungsten Inert
Gas (TIG) dengan prosedur dan cara pengelasan yang sesuai serta berdasarkan
parameter-parameter yang sudah ditentukan yaitu:
5. Proses Pengujian
Salah satu tujuan dari penelitian ini adalah untuk membandingkan sifat
mekanik Baja AISI 1045 dengan pengelasan TIG dan tanpa pengelasan. Jadi
spesimen akan dibuat dua jenis pada tiap pengujian, yaitu untuk dilas dan tanpa
dilas, dengan jumlah spesimen bergantung pada standarisasi tiap pengujian.
a. Pengujian Hardness
Sebelun diuji salah satu permukaan spesimen diratakan dengan kikir untuk
menghilangkan kotoran dan korosi, kemudian dihaluskan kertas pasir.
3. Bola baja pada penetrator diset pada titik yang akan diuji dengan kondisi
bersinggungan saja.
4. Kemudian diberikan beban dengan menggunakan handle hingga 1500 kg
dan tahan selama 15 detik.
5. Setelah 15 detik, katup pembuang dibuka dengan pelan.
6. Diameter indentasi diukur dengan menggunakan teropong untuk tiap titik.
7. Diameter yang diperoleh dikonversikan dengan nilai diameter beban.
6. Benda uji yang sudah putus lalu diukur berapa besar penampang dan
panjang benda uji setelah putus.
7. Gaya atau beban yang maksimum ditandai dengan putusnya benda uji
terdapat pada layar digital dan dicatat sebagai data.
8. Hasil diagram terdapat pada kertas milimeter block yang ada pada meja
plotter.
9. Hal terakhir yaitu menghitung kekuatan tarik, kekuatan luluh,
perpanjangan, reduksi penampang dari data yang telah didapat dengan
menggunakan persamaan yang ada.
Langkah-langkah simulasi:
50 mm
50 mm
30 mm 60 mm
12 mm
50 mm
ɸ8 mm
2. Setelah modeling selesai, lalu tekan tombol simulation pada toolbar. Lalu
pilih tombol new study.
3. Pada jendela new study kita diminta untuk membuat nama pengujian dan
memilih tipe pengujian yang akan kita lakukan. Lalu pilihlah type Static lalu
klick OK.
4. Pada menu static kita akan memasukkan jenis material yang akan diuji
(AISI 1045 Steel),
5. Klik kanan pada menu connection dan pilih Edge Weld dan tentukan titik
spesimen yang akan dimasukkan fitur las (welding). Lalu tentukan
parameter-parameternya seperti: weld type, weld sizing, electrode, dan weld
standard. Lalu pilih OK. Pada simulasi ini menggunakan tipe las Fillet
single sided, ukuran las 4 mm, elektroda E70, dan American Standard.
6. Setelah fitur welding dimasukkan, pada menu fixtures klik kanan dan pilih
fixed geometry, lalu tentukan side geometri yang akan dibuat pada posisi
diam/statis, dan klik OK.
7. Klik kanan pada menu external loads dan pilih Force, tentukan face
geometry yang akan diberi gaya tarik, besar beban dan juga arahnya. Pada
simulasi ini besar beban yang akan diberikan adalah 36.000 N.
8. Lalu klik kanan pada menu Mesh dan pilih create mesh, pilih fine mesh
density untuk hasil yang lebih bagus.
9. Setelah proses meshing selesai, lalu pada toolbar tekan run this study dan
tunggu sampai proses solving selesai. Lalu hasil simulasi akan keluar.
3.3.1. Tempat
3.3.2. Waktu
3.4.1. Alat
a. Mesin gergaji
b. Mesin las
Mesin las yang digunakan adalah mesin las GTAW (Gas Tungsten Arc
Welding) atau biasa disebut dengan TIG (Tungsten Inert Gas) yang digunakan
untuk menyambung atau mengelas spesimen uji.
Trafo las TIG AC/DC yang bisa digunakan untuk mengelas material
ferrous metal dan nonferrous metal.
d. Mesin gerinda
e. Mesin bubut
Digunakan untuk membuat bentuk spesimen uji sesuai standar untuk uji
tarik. Juga digunakan untuk membuat kampuh las alur V pada spesimen.
g. Kertas pasir
b. Tensile Tester
h. Microscope
Digunakan untuk melihat struktur mikro spesimen dengan 100X dan 200X
perbesaran.
d. Teropong
Digunakan untuk membantu melihat dan mengukur dimensi jejak hasil uji
kekerasan.
3.4.2. Bahan
1. Material yang digunakan dalam penelitian ini adalah Baja AISI 1045.
Komposisi kimia Baja AISI 1045 dapat dilihat pada tabel 3.1. Baja AISI
1045 memiliki kekuatan tarik 560 – 700 MPa dan nilai kekerasasn Brinell
antara 170 – 210 BHN.
4. Filler yang digunakan pada penelitian ini adalah ER70S-G, kawat las ini
digunakan untuk pengelasan 500 ~ 750MPa, aplikasinya bisa untuk baja
marine, pipa, wadah, petrokimia, boiler, pressure vessel, jembatan, crane,
pembangkit listrik, kendaraan, dan bangunan. Dengan komposisi kimia pada
tabel 3.2.
Tabel 3.3. Komposisi Kimia ER70S-G
C Mn Si S P Ti Cu
0,09% 1,45% 0,78% 0,012% 0,015% 0,17% 0,14%
Sumber: id.dengfengweld-ar.net
a. Uji Kekerasan
Titik Uji
No Daerah Test Rata - rata
i ii iii iv
1 Tanpa dilas
2 Titik las
3 Daerah HAZ
b. Uji Tarik
Pada pengujian tarik parameter yang diamati adalah nilai tegangan (stress),
regangan (strain), dan modulus elastisitas Baja AISI 1045. Dan untuk mendapatkan
nilai – nilai tersebut diperlukan beberapa data dari proses pengujian, seperti beban
maksimal, panjang mula-mula, panjang akhir, dan luas penampang uji. Data-data
tersebut kemudian dimasukkan pada format tabel dibawah.
NO Do Lo Ao Fs Ff Fmax D1 A1 L1
(mm) (mm) (mm2) (N) (N) (N) (mm) (mm2 ) (mm)
I
II
III
IV
V
VI
Gambar 3.28. Format Tabel Hasil Uji Tarik
d. Simulasi Solidworks.
Mulai
Studi Literatur
Pengujian spesimen
• Uji kekerasan
• Uji tarik
• Uji microstruktur
• Simulasi SOLIDWORK
•
Selesai
BAB IV
ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN
Titik Uji
No Daerah Test Rata - rata
i ii iii iv
1 Tanpa dilas 2.9 3.1 3.2 3.2 3.1
2 Titik las 3.1 3.1 3.0 2.8 3.225
3 Daerah HAZ 3.2 3.3 3.2 3.1 3.0
1500 𝑘𝑔
𝐵𝐻𝑁 =
3,14(10)
(10 − √102 − 2,92 )
2
= 222,3270726 BHN
= 170.5515724 BHN
=193.9397546 BHN
Berdasarkan hasil pengujian tarik Baja AISI 1045 yang telah mengalami
proses pengelasan TIG dengan kuat arus pengelasan 100 A. Pada saat pengujian
spesimen mengalami patahan didaerah HAZ. Untuk angka kekuatan tarik Baja
AISI 1045 yang dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
NO Do Lo Ao Fs Ff (N) Fmax D1 A1 L1
(mm) (mm) (mm2) (N) (N) (mm) (mm2 ) (mm)
I 8 50 50.24 20000 29500 36300 5 19.625 62
II 8 50 50.24 21000 29000 36000 5 19.625 57
III 8 50 50.24 21000 30000 37100 5 19.625 61
IV 8 50 50.24 20000 29000 35500 5 19.625 56
V 8 50 50.24 20000 30000 35600 6 28.26 55
VI 8 50 50.24 19000 29800 35900 5 19.625 56
Ket : I, II, dan III : spesimen yang tanpa dilas. Dan IV,V, dan VI : spesimen yang
dilas.
Nilai beban maksimal paling rendah adalah pada spesimen las, dan rata-rata
posisi patahan adalah pada daerah HAZ. Hal ini disebabkan oleh daerah HAZ itu
sendiri memiliki nilai kekerasan paling rendah pada pengujian kekerasan dengan
metode brinell. Sama halnya dengan pengujian kekerasan, posisi patah ini
disebabkan oleh pengaruh panas las yang mempengaruhi ukuran struktur mikro,dan
juga dipengaruhi oleh media pendingin.
𝑃 36300𝑁
𝜎= = 2
= 𝟕𝟐𝟐, 𝟓𝟑𝟏𝟖𝟒𝟕 𝑵/𝒎𝒎𝟐
𝐴 50,24 𝑚𝑚
2. Spesimen dilas
Spesimen IV
𝑃 35500𝑁
𝜎= = = 𝟕𝟎𝟔, 𝟔𝟎𝟖𝟐𝟖𝑵/𝒎𝒎𝟐
𝐴 50,24𝑚𝑚2
Nilai tegangan paling tinggi adalah pada spesimen tanpa las yaitu sebesar
738,45541 N/mm2 dan sebaliknya paling rendah adalah pada spesimen las sebesar
706,60828 N/mm2. Hal ini disebabkan oleh karena spesimen tanpa las (base metal)
mampu menahan beban lebih tinggi daripada spesimen yang dilas.
Spesimen I
∆𝐿 (62 − 50)
𝑒= × 100% = × 100% = 𝟐𝟒 %
𝐿𝑜 50
2. Spesimen dilas
Spesimen IV
∆𝐿 (56 − 50)
𝑒= × 100% = × 100% = 𝟏𝟐%
𝐿𝑜 50
Nomor
Jenis Spesimen Regangan Regangan Rata-rata
Spesimen
I 24%
Tanpa Lasan II 14% 20%
III 22%
IV 12%
Dilas V 10% 11,33%
VI 12%
Nilai regangan pada Baja AISI 1045 tanpa las (base metal) spesimen 1 dan
spesimen 2 memiliki perbedaan yang cukup jauh, yakni 24% ke 14%. Nilai
regangan pada pengujian dipengaruhi oleh nilai pertambahan panjang (∆L),
semakin besar pertambahan panjang maka nilai regangan akan semakin besar juga.
Pada kasus ini spesimen 2 memiliki nilai pertambahan panjang yang kecil daripada
spesimen 1 dan 3, dan hal ini bias dipengaruhi oleh karena kualitas material itu
sendiri pada saat proses produksinya.
Nilai regangan pada Baja AISI 1045 tanpa las (base metal) spesimen 1 dan
spesimen 2 memiliki perbedaan yang cukup jauh, yakni 24% ke 14%. Nilai
regangan pada pengujian dipengaruhi oleh nilai pertambahan panjang (∆L),
semakin besar pertambahan panjang maka nilai regangan akan semakin besar juga.
Pada kasus ini spesimen 2 memiliki nilai pertambahan panjang yang kecil daripada
spesimen 1 dan 3, dan hal ini bias dipengaruhi oleh karena kualitas material itu
sendiri pada saat proses produksinya.
2. Spesimen Dilas
Spesimen IV
𝜎 706,60828𝑁/𝑚𝑚2
𝐸= = = 5888,40233 𝑁/𝑚𝑚2
𝑒 12%
Gambar 4.5 menunjukkan struktur mikro Baja AISI 1045 sebelum dilas.
Pada gambar 4.7 terlihat bahwa baja ini memiliki struktur mikro Ferrite (warna
gelap) dan Pearlite (warna terang).
Gambar 4.10. Foto Struktur Mikro Titik Las (Filler) 200 x Perbesaran
Pada gambar 4.7 dapat diketahui bahwa daerah las dengan logam pengisi
ER70S-G memiliki struktur mikro yang lebih kecil dan rapat dibandingkan dengan
gambar struktur mikro logam induk dan daerah HAZ.
Struktur mikro pada daaerah HAZ memiliki struktur mikro yang sama
dengan spesimen yang belum dilas. Namun pada derah HAZ terjadi pergeseran
struktur mikro yang menyebabkan berkurangnya kekerasan material. Struktur
mikro baja AISI 1045 yang dilas sampai suhu 912 – 1493 oC media pendingin
udara. Dari gambar terlihat daerah HAZ memiliki fasa ferit dan perlit. Fasa ferit
adalah fasa yang terlihat berwarna terang, sedangkan fasa perlit yang terlihat
berwarna gelap. Temperatur pemanasan austenisasi yang semakin tinggi (super
heating) diatas garis A3 akan menghasilkan pertumbuhan butir austenit yang
semakin besar, sehingga pada saat pendinginan yang lambat akan menghasilkan
butir ferit dan perlit yang semakin kasar.
Dari hasil pengujian struktur mikro ini juga terjawab penyebab rendahnya
nilai kekerasan pada daerah HAZ dibanding base metal dan titik las. Karena secara
teori semakin kecil ukuran butir (struktur mikro) semakin rapat, maka semakin liat
dan semakin besar nilai kekerasan material itu sendiri. Dan daerah HAZ pada Baja
AISI 1045 dengan pengelasan TIG memiliki struktur butir yang lebih kasar
dibanding daerah base metal dan weld metal. Dan sebaliknya weld metal (titik las)
memiliki nilai kekerasan paling tinggi karena memiliki struktur butir yang lebih
kecil dan lebih rapat.
4.4. Hasil Simulasi Uji Kekuatan Sambungan Las dengan Solid Work
BAB V
5.1. Kesimpulan
1. Sifat mekanik baja AISI 1045 sebelum dan setelah pengelasan TIG adalah:
nilai kekerasan sebelum pengelasan sebesar 193 BHN, pada daerah HAZ
sebesar 178 BHN, pada titik las sebesar 207 BHN. Dan untuk kekuatan tarik
tegangan rata-rata spesimen tanpa lasan sebesar 725,849257 N/mm2,
regangan rata-rata sebesar 20%, dan nilai Modulus Elastisitasnya sebesar
3828,4847 N/mm2, sedangkan pada spesimen yang dilas memiliki nilai
tegangan rata-rata 709,925687 N/mm2, dengan regangan rata-rata sebesar
11,33%, dan nilai Modulus Elastisitasnya sebesar 6309,71333 N/mm2. Dan
pada saat uji tarik posisi patahan terjadi pada daerah HAZ (Heat Affective
Zone).
2. Bentuk struktur mikro pada baja AISI 1045 sebelum pengelasan TIG adalah
struktur mikro Feritte dan pearlite , pada titik las (filler) adalah cementite,
dan pada daerah HAZ (Heat Affective Zone) memiliki struktur mikro yang
sama dengan sebelum dilas yakni ferrite dan pearlite, namun dengan bentuk
yang lebih besar dan kasar. Temperatur pemanasan austenisasi yang
semakin tinggi (super heating) akan menghasilkan pertumbuhan butir
austenit yang semakin besar, sehingga pada saat pendinginan yang lambat
akan menghasilkan butir ferit dan perlit yang semakin kasar. Inilah yang
menyebabkan perubahan sifat mekanik material baja setelah pengelasan.
3. Dengan simulasi menggunakan Software Solid Work, dengan pemodelan
dan set up yang diaplikasikan, nilai tegangan maksimum terjadi pada
sambungan las yang menyebabkan spesinen menjadi putus adalah 698 MPa
untuk beban tarik 36000 N.
Dari ketiga point diatas kita mengetahui bahwa pengelasan TIG terhadap
Baja AISI 1045 dengan kuat arus 100 A dan dengan media pendingin udara,
memiliki pengaruh terhadap struktur mikro material terdebut, dan perubahan
struktur mikro ini berpengaruh pada sifat mekanik Baja AISI 1045 terutama
terhadap kekerasan dan kekuatan tariknya, dimana material mengalami penurunana
nilai kekerasan dan kekuatan tarik. Perubahan struktur yang terjadi adalah pada
daerah HAZ dimana struktur butirnya lebih besar dan kasar daripada struktur butir
logam las maupun daripada logam induk. Itulah alasan daerah HAZ memiliki nilai
kekerasan yang lebih rendah dari daerah uji lainnya. Dan perubahan nilai kekerasan
tersebut berpengaruh juga terhadap nilai kekuatan tarik Baja AISI 1045, dimana
letak patahan pada pengujian ini terjadi pada daerah HAZ. Kita juga mengetahui
bahwa semakin kecil struktur butir suatu material maka strukturnya akan semakin
rapat dan semakin besar nilai kekerasannya.
5.2. Saran
1. Untuk uji tarik sebaiknya menggunakan mesin Tensile Tester yang sudah
berbasis komputerisasi untuk mendapatkan hasil yang lebih teliti.
2. Untuk penelitian selanjutnya sebaiknya menggunakan parameter kuat arus,
kecepatan las, bentuk/sudut kampuh dan pengujian yang lebih bervariasi
dengan tujuan mendapatkan kuat arus, kecepatan las, dan bentuk/sudut
kampuh yang terbaik.
3. Untuk penelitian selanjutnya sebaiknya hasil lasan TIG diuji dengan variasi
media pendingin, untuk mengetahui apakah ada pengaruhnya terhadap
struktur mikro dan sifat mekanik material uji.
DAFTAR PUSTAKA
Hendi Saputra, 2014. Analisis pengaruh media pendingin terhadap kekuatan tarik
baja st37 pasca pengelasan menggunakan las listrik. Jurnal Ilmiah, Universitas
Lambung Mangkurat. Kalimantan Selatan.
https://www.azom.com/article.aspx?ArticleID=6130
https://id.wikipedia.org/wiki/Baja_karbon
https://www.academia.edu/10304254/karekteristik_mekanik_proses_baja_AISI_1
045