Anda di halaman 1dari 21

HIPERTENSI PULMONAL PADA ANEMIA HEMOLITIK KRONIS:

PATOFISIOLOGI DAN TATALAKSANA

ABSTRAK
Hipertensi pulmonal merupakan penyebab utama dari morbiditas dan mortalitas pada
pasien- pasien dengan hemoglobinopati dan anemia hemolitik kronis. Penyakit
hematologi ini mencakup (tetapi tidak terbatas pada): penyakit sel sabit, thalassemia,
hematuria nokturnal paroksismal, dan sferositosis herediter. Hubungan antara anemia
hemolitik kronis dan hipertensi pulmonal telah jelas, meskipun sebagian besar
penelitian telah didasarkan pada penggunaan echokardiografi sebagai alat skrining
untuk hipertensi pulmonal yang bertentangan dengan standar baku emas kateterisasi
jantung kanan sebagai suatu diagnosis definitif. Beberapa penelitian telah menunjukkan
bahwa pasien- pasien dengan penyakit sel sabit dan pasien dengan kecepatan regurgitasi
trikuspid ≥ 2,5 m/detik memiliki peningkatan risiko akan hipertensi pulmonal dan
peningkatan risiko mortalitas. Penanda risiko tambahan akan hipertensi pulmonal dan
peningkatan mortalitas meliputi: pro-BNP > 160 pg/mL yang disertai dengan jarak
berjalan 6-menit < 333 m. Terdapat kurangnya data konkret untuk mendukung
penggunaan terapi oral untuk hipertensi arteri pulmonalis yang ditargetkan pada anemia
hemolitik kronis. Akibatnya, tatalaksana umumnya ditargetkan untuk optimasi medis
dari anemia yang mendasarinya. Tinjauan pustaka ini bertujuan untuk membahas
patofisiologi, diagnostik dan alat prognostik, penelitian terbaru, serta protokol saat ini
yang sangat penting dalam membimbing tatalaksana hipertensi pulmonal pada kasus
anemia hemolitik kronis.
Kata kunci: Hipertensi pulmonal; Anemia hemolitik kronis; Penyakit sel sabit

1. Pendahuluan

Hipertensi pulmonal didefinisikan sebagai suatu kondisi di mana tekanan arteri


pulmonalis yang tetap berada di atas 25 mmHg saat istirahat [1]. Terdapat lima buah
kategori dari hipertensi pulmonal dalam klasifikasi saat ini, seperti yang ditunjukkan
pada Tabel 1 [2]. Pada Simposium Dunia Kelima tentang Hipertensi Pulmonal pada
tahun 2013, hipertensi pulmonal yang berhubungan dengan anemia hemolitik kronis

Hal. 1
sebelumnya telah diklasifikasikan ke dalam kategori Kelompok 1 (hipertensi arteri
pulmonal), tetapi kemudian dikategorikan kembali ke dalam Kelompok 5, yaitu sebagai
suatu kondisi yang tidak jelas atau memiliki penyebab yang multifaktorial [2].
Tergantung pada kondisi hemodinamiknya, hipertensi pulmonal juga dapat ditandai
sebagai suatu pola pra-kapiler atau post-kapiler yang diukur melalui pemeriksaan
kateterisasi jantung kanan. Hipertensi pulmonal pra-kapiler didefinisikan sebagai suatu
kondisi di mana tekanan baji kapiler paru ≤ 15 mmHg, sedangkan hipertensi pulmonal
post-kapiler adalah ketika PAWP (atau LVEDP) > 15 mmHg [3]. Perbedaan antara
hipertensi pra-kapiler dan post-kapiler sering menjadi kunci untuk membimbing
tatalaksana.

2. Patofisiologi

Terdapat beberapa mekanisme yang diperkirakan mendasari patogenesis


hipertensi pulmonal pada penyakit hematologi, sebagaimana ditunjukkan dalam
klasifikasi pada Kelompok 5. Hipertensi pulmonal yang disebabkan oleh penyakit
hematologi dapat dikaitkan dengan etiologi pra-kapiler, etiologi post-kapiler, atau
kombinasi. Mekanisme ini mungkin terkait dengan hemolisis dan konsekuensinya,
seperti anemia kronis yang menyebabkan peninggian curah jantung, atau dengan
keadaan hiperkoagulasi. Nitrat oksida biasanya memainkan peran kunci sebagai
vasodilator dan modulator ampuh untuk proliferasi endotel, serta memiliki sifat anti-
inflamasi [4]. Deplesi nitrat oksida dan prekursornya (Arginine) telah terbukti
berkorelasi dengan insidensi hipertensi pulmonal yang lebih tinggi. Hemolisis
intravaskuler melepaskan hemoglobin bebas dan arginase-1, di mana keduanya lalu
menyebabkan penurunan pensinyalan nitrit oksida melalui jalur yang berbeda.
Hemoglobin yang bebas secara langsung mengaktifkan nitrat oksida, sementara
arginase-1 menghabiskan substrat NO sintase (L-arginine). Kedua jalur menyebabkan
penurunan nitrat oksida dan merusak fungsi endotel vaskuler, yang dapat menyebabkan
hipertensi pulmonal pra-kapiler [4,5]. Hemolisis juga meningkatkan spesies oksigen
reaktif dan oksidasi hemoglobin tampaknya mampu mengaktifkan Toll-Like Receptor 4,
serta mempromosikan vaso-oklusi dan cedera paru akut, khususnya pada penyakit sel
sabit. Aktivasi molekul-molekul steril-inflamasi melalui jalur heme-TLR4 telah disebut

Hal. 2
sebagai damage-associated molecular pattern molecules (DAMP) [6]. Selain hemolisis,
anemia kronis juga dapat meningkatkan curah jantung yang mengarah pada penyakit
jantung sisi kiri, disfungsi ventrikel kiri, dan hipertensi pulmonal post-kapiler.
Hemolisis juga menyebabkan kerusakan oksidatif pada jaringan, mengaktifkan
thrombosit dan kaskade koagulasi, serta menghasilkan vaskulopati dan
hiperkoagulabilitas [7]. Akibatnya adalah pasien- pasien mengalami peningkatan risiko
dan selanjutnya akan mengalami thrombosis vena dalam dan emboli paru, yang dapat
menyebabkan salah satu kategori utama dari hipertensi pulmonal (Grup 4). Perlu
diperhatikan bahwa pasien- pasien dengan hipertensi arteri pulmonal Kelompok 1 juga
telah terbukti mengalami peningkatan hiperkoagulabilitas karena arteriopati thrombotik,
abnormalitas faktor koagulasi serum, faktor anti-thrombotik, dan sistem fibrinolitik
yang pada akhirya menyebabkan keadaan pro-thrombotik. Selanjutnya, pasien- pasien
dengan penyakit sel sabit rentan untuk mengalami thrombosis in situ pada tingkat
pembuluh darah paru kecil akibat krisis vaso-oklusif berulang, yang juga bisa
mengakibatkan hipertensi pulmonal [8].
Secara histopatologi pada hipertensi arteri pulmonal, ketiga lapisan dinding
arteri pulmonal (intima, adventitia, media, dan adventia) dipengaruhi oleh hipertrofi
medial, migrasi sel otot polos dari media ke sel endotel, dan proliferasi intima [9].
Adventitia itu sendiri mengalami penebalan oleh karena ekspansi sel di media oleh
karena akumulasi sel-sel kekebalan tubuh, seperti fibroblas dan makrofag [10]. Semua
kelompok hipertensi pulmonal dapat menunjukkan temuan histopatologi ini, di mana
penyakit Kelompok 2 juga dengan jelas menunjukkan vena dan kapiler pulmonal yang
membesar serta penyakit Kelompok 4 menunjukkan susunan trombi yang menggantikan
intima dari arteri paru elastis proksimal atau distal dan melekat pada lapisan medial
[11]. Hipertensi pulmonal pada penyakit hemolitik kronis dapat menunjukkan salah satu
ciri histopatologis yang dijelaskan di atas oleh karena kelainan tersebut terjadi secara
sekunder akibat hemolisis, hipoksia, hiperkoagulabilitas atau kombinasi dari faktor-
faktor ini.
Perawatan beberapa gangguan hematologi sendiri juga dapat mempengaruhi
pasien untuk mengalami hipertensi pulmonal. Pasien- pasien dengan hemoglobinopati
seperti penyakit sel sabit dan β-thalassemia kadang-kadang berhasil dengan transfusi
darah. Hal ini dapat menyebabkan kelebihan zat besi, terutama pada pasien- pasien yang

Hal. 3
bergantung pada transfusi, yang kemudian dapat menginduksi deposisi besi myocardial
dan / atau fibrosis paru interstisial sehingga mempengaruhi fungsi sistolik atau diastolik
ventrikel kiri dan resistensi vaskuler pulmonal [12]. Splenektomi, baik yang dilakukan
melalui operasi ataupun auto-infark, juga merupakan faktor risiko untuk hipertensi
pulmonal, terutama hipertensi pulmonal thromboemboli kronis. Hal ini didalilkan
karena peningkatan kerentanan terhadap thrombosis akibat jumlah thrombosit tinggi dan
agregasi platelet atau peningkatan jumlah sel darah merah yang rusak dan adhesi ke
endotel seringkali terjadi setelah splenektomi. Limpa juga bertanggung jawab untuk
membersihkan mikropartikel yang bersirkulasi, yang terlibat dengan modulasi
inflamasi, sekresi sitokin, dan ekspresi molekul adhesi [13]. Splenektomi menyebabkan
penurunan klirens mikropartikel, sehingga mengakibatkan peradangan dan remodelling
vaskuler yang telah dihipotesiskan akan menyebabkan hipertensi pulmonal [14].
Mikropartikel yang berasal dari thrombosit dan eritrosit yang bersirkulasi telah terbukti
merusak vaso-relaksasi endotel dengan cara menurunkan produksi nitrat oksida selama
masa stres oksidatif, sehingga mengubah tonus pembuluh darah pulmonal dan
menyebabkan predisposisi untuk mengalami hipertensi pulmonal [13]. Efek
splenektomi ini jika disertai dengan komplikasi intrinsik gangguan hemolitik seperti
dijelaskan di atas, lebih lanjut akan menyebabkan pasien- pasien mengalami hipertensi
pulmonal [12,15].

3. Diagnosis, Skrining & Prognosis

Presentasi klinis hipertensi pulmonal sering tidak spesifik, terutama


bermanifestasi sebagai dyspnea (terutama pada aktivitas), gejala, dan pada penyakit
yang lebih lanjut akan menunjukkan tanda dan gejala gagal jantung [16]. Akibatnya,
kecurigaan klinis yang tinggi diperlukan untuk penegakan diagnosis, terutama pada
populasi pasien- pasien yang berisiko. Kateterisasi jantung kanan tetap menjadi alat
diagnostik standar baku emas untuk hipertensi pulmonal, dengan tekanan arteri
pulmonalis ≥ 25 mmHg yang memenuhi kriteria definisi. Hipertensi arteri pulmonal
yang merupakan subkelas dari hipertensi pulmonal, memiliki kriteria tambahan dari
tekanan baji kapiler paru ≤ 15 mmHg [17]. Resistensi pembuluh darah pulmonal yang
meningkat > 3 unit Wood adalah kriteria lain untuk hipertensi arteri pulmonal [18].

Hal. 4
Pasien- pasien dengan anemia kronis mengalami penurunan viskositas darah, yang
apabila disertai dengan peningkatan curah jantung maka akan menghasilkan resistensi
vaskuler paru yang lebih rendah jika dibandingkan dengan pasien- pasien non-anemia.
Ini karena pengukuran resistensi vaskuler paru berbanding terbalik dengan curah
jantung. Akibatnya, pasien- pasien dengan peningkatan curah jantung akan memiliki
resistensi vaskuler paru yang lebih rendah pada awal. Karena fisiologi ini, pasien-
pasien dengan curah jantung tinggi yang terjadi sekunder akibat anemia harus memiliki
definisi alternatif akan hipertensi pulmonal. Untuk pasien- pasien dengan penyakit sel
sabit, Komite Ad Hoc Perhimpunan Thoraks Amerika tentang Hipertensi Pulmonal
akibat Penyakit Sel Sabit telah menyarankan > 2 unit Wood untuk menjadi diagnostik
dari resistensi vaskuler paru yang mengalami peningkatan [19]. Namun, beberapa
pedoman tersedia untuk tipe-tipe lain dari anemia hemolitik dan apakah definisi yang
direvisi ini dapat digeneralisasikan untuk memasukkan hemoglobinopati lain merupakan
hal yang masih dipertanyakan.
Echokardiografi adalah alat skrining utama untuk hipertensi pulmonal dengan
mengukur kecepatan regurgitasi trikuspid , di mana kecepatan regurgitasi trikuspid ≥
3,0 m/detik mulai menunjukkan peningkatan tekanan arteri pulmonalis pada populasi
umum. Ambang batas kecepatan regurgitasi trikuspid untuk populasi penyakit sel sabit
untuk menyarankan peningkatan tekanan arteri pulmonal, di sisi lain, lebih rendah pada
kecepatan regurgitasi trikuspid ≥ 2,5 m/detik karena pasien- pasien dengan penyakit sel
sabit telah terbukti mengalami peningkatan mortalitas pada ambang batas ini [19].
Namun, temuan echokardiografi tidak bersifat diagnostik untuk hipertensi pulmonal
karena efek hemodinamik dapat menyebabkan perbedaan dalam interpretasi hasil.
Misalnya, pasien- pasien dengan hemoglobinopati rentan untuk mengalami
hiperdinamik sirkulasi karena peningkatan curah jantung sekunder untuk anemia kronis.
Oleh karena itu, terdapat insiden yang lebih tinggi dari pembacaan positif palsu pada
echokardiografi [20]. Kecepatan regurgitasi trikuspid 3,0 m/detik adalah 3 standar
deviasi di atas rata-rata populasi dan mengidentifikasikan sekitar ¾ pasien- pasien
dengan mPAP ≥ 25 mmHg sementara kecepatan regurgitasi trikuspid ≥ 2,5 m/detik
mengidentifikasi kelompok dengan hipertensi pulmonalis perbatasan mPAP 20-25
mmHg. Terdapat korelasi positif antara kecepatan regurgitasi trikuspid dan prediksi
hipertensi pulmonal pada kasus anemia hemolitik, dengan kecepatan regurgitasi

Hal. 5
trikuspid ≥ 2,5 m/detik terbukti memiliki peningkatan risiko mortalitas [19,21].
Penelitian telah menunjukkan bahwa prevalensi hipertensi pulmonal telah dilebih-
lebihkan berdasarkan kriteria echokardiografik ini dan bahwa dengan menggunakan
kecepatan regurgitasi trikuspid > 2,9 m/detik atau kecepatan regurgitasi trikuspid
antara 2,5 dan 2,8 m/detik bila dikombinasikan dengan pro-BNP > 164,5 pg/mL atau
jarak berjalan 6-menit < 333 m merupakan penanda yang lebih baik untuk rujukan
untuk kateterisasi jantung kanan dan meningkatkan kemungkinan hipertensi pulmonal
[11,22,23]. Dengan demikian, sementara pro-BNP 165 pg/mL hingga 300 pg/mL masih
disebut sebagai kisaran normal, pro-BNP> 164,5 pg/mL telah dikaitkan dengan
peningkatan risiko hipertensi pulmonal ketika dikombinasikan dengan kecepatan
regurgitasi trikuspid , seperti yang dijelaskan di atas. [22]. Sementara kecepatan
regurgitasi trikuspid yang lebih tinggi dikombinasikan dengan pro-BNP atau 6MWD
yang lebih besar mampu mengidentifikasi pasien- pasien dengan mPAP ≥ 25 mmHg,
peningkatan risiko mortalitas pasien- pasien dengan kecepatan regurgitasi trikuspid ≥
2,5 m/detik terbukti dan harus dipantau secara ketat. Masih belum ada pedoman
skrining rutin yang pasti pada pasien- pasien asimptomatik dengan penyakit hemolitik,
meskipun itu merupakan alat skrining yang baik [19]. Namun, menggunakan
ekokardiografi untuk skrining untuk hipertensi pulmonal berguna pada pasien- pasien
berisiko tinggi dan juga bagi mereka dengan dispnea dan kelelahan yang tidak dapat
dijelaskan [24].
Selain kateterisasi jantung dan ekokardiografi, beberapa penanda serologis dan
tes jalan kaki 6 menit telah diusulkan untuk berisiko stratifikasi dan berpotensi
memantau perkembangan hipertensi pulmonal dari beberapa jenis anemia hemolitik.
Laktat dehidrogenase (LDH) adalah penanda yang sudah terbukti untuk hemolisis
intravaskuler. Sebuah penelitian dari 213 pasien sel sabit oleh Kato dan kawan- kawan
menunjukkan hubungan LDH dan beberapa penanda keparahan hemolitik serta
penipisan nitrat oksida [25]. Dengan mengukur nilai kecepatan regurgitasi trikuspid ,
penelitian menunjukkan bahwa nilai LDH steady-state mungkin terkait dengan tingkat
keparahan hipertensi pulmonal [25]. Bukti korelasi LDH dengan hipertensi pulmonal
juga diilustrasikan dalam sebuah penelitian oleh Hill dan kawan- kawan dari 29 orang
pasien dengan hemoglobinuria nokturnal paroksismal, suatu kelainan hemolisitik yang
diperoleh dengan tingkat tertinggi hemolisis intravaskuler yang teramati [26,27].

Hal. 6
Penelitian ini menyarankan LDH > 2,0 kali batas atas normal untuk menempatkan
pasien pada peningkatan risiko akan hipertensi pulmonal. Hill dan kawan- kawan juga
menunjukkan penurunan kadar LDH dengan tatalaksana hemoglobinuria nokturnal
paroksismal dengan eculizumab [26]. Penanda biokimia lain yang diusulkan untuk
risiko hipertensi pulmonal adalah NT-proBNP, karena telah terbukti sebagai tanda
disfungsi ventrikel dan jantung kiri dan kanan [28]. Konsentrasi serum > 160 pg/mL
adalah saran dari peningkatan risiko akan hipertensi pulmonal, sebagaimana
didefinisikan dalam Pedoman Klinis Perhimpunan Thoraks Amerika 2014 tentang
Tatalaksana Hipertensi Pulmonal pada penyakit sel sabit [19,29]. Khususnya, nilai
prediksi positif dari korelasi antara kecepatan regurgitasi trikuspid ≥ 2,5 m/detik dan
hipertensi pulmonal hanya 25%. Namun, menggabungkan pengukuran tingkat NT-
proBNP 160 pg/mL dengan jarak berjalan 6-menit < 333 m dan kecepatan regurgitasi
trikuspid ≥ 2,5 m/detik meningkatkan nilai prediktif positif untuk hipertensi pulmonal
menjadi 62% [22]. Tabel 2 meringkas diagnosis umum, skrining, dan alat prognosis
yang digunakan pada pasien- pasien dengan anemia hemolitik kronis yang berisiko
mengalami hipertensi pulmonal.

4. Penyakit Sel Sabit

4.1. Patofisiologi & Epidemiologi


Penyakit sel sabit disebabkan oleh mutasi nukleotida tunggal pada asam amino 6
dari rantai β-globin, mengubah kodon asam glutamat (GAG) menjadi valine codon
(GTG) [30]. Hal ini menyebabkan hemoglobin yang abnormal secara struktural yang
berpolimerisasi, menghasilkan hemolisis, vaso-oklusi, peradangan kronis, dan
peningkatan regulasi respons hipoksia [9]. penyakit sel sabit bermanifestasi dengan
berbagai tingkat keparahan tergantung pada faktor genetik dan non-genetik, seperti co-
warisan alfa-talasemia, janin hemoglobin, iklim, dan kualitas udara [31]. Sub-Sahara
Afrika memiliki prevalensi penyakit sel sabit tertinggi dengan sekitar 230.000 kelahiran
yang terinfeksi per tahun, menyumbang sekitar 70-80% dari total global sekitar 300.000
dengan proyeksi untuk 400.000 kelahiran yang terefektif pada tahun 2050 dengan
anemia sel sabit HbS homozigot [30, 32,33]. Sebagai daerah endemik malaria, ada
frekuensi tinggi penyakit sel sabit di Sub-Sahara yang didalilkan karena keuntungan

Hal. 7
mutasi heterozigot yang merupakan keuntungan terhadap malaria fatal [34]. Relatif,
telah diperkirakan oleh Pusat Penyakit dan Pencegahan bahwa penyakit sel sabit
mempengaruhi sekitar 100.000 orang Amerika [32]. Hipertensi pulmonal merupakan
faktor risiko utama untuk mortalitas pada pasien- pasien dengan penyakit sel sabit,
dengan mortalitas setinggi 50% dalam dua tahun sejak diagnosisnya [35]. Sebuah
penelitian oleh Fonseca dan kawan- kawan menunjukkan bahwa 8 dari 26 (31%) pasien
yang menjalani RHC setelah TTE menunjukkan kecepatan regurgitasi trikuspid ≥ 2,5 m
/ sec memiliki mPAP ≥ 25 mmHg [23]. Berdasarkan tiga penelitian skrining lainnya,
prevalensi hipertensi pulmonal pada penyakit sel sabit didokumentasikan melalui
pemeriksaan kateterisasi jantung kanan adalah 6,4-10% [9,22]. 30% dari HbSS dan 10-
25% dari HbSC memiliki peningkatan tekanan sistolik paru berdasarkan perkiraan
echokardiografi menggunakan kecepatan regurgitasi trikuspid ≥ 2,5 m/detik [9]. Sekitar
separuh dari kasus hipertensi pulmonal adalah pra-kapiler dan separuh post-kapiler [9].

4.2. Pemeriksaan
Skrining untuk hipertensi pulmonal direkomendasikan oleh Perhimpunan
Thoraks Amerika pada tahun 2014 untuk setiap 1-3 tahun atau ketika pasien berada
pada risiko yang meningkat (didefinisikan sebagai kecepatan regurgitasi trikuspid
terdokumentasikan awal ≥ 2,5 m/detik) atau mengalami gejala hipertensi pulmonal,
penurunan 6MWD, atau peningkatan NT-proBNP. Hal ini didasarkan pada penelitian
longitudinal oleh Ataga dan kawan- kawan, yang mencatat kejadian 13% hipertensi
pulmonal dalam waktu 3 tahun pada pasien- pasien yang awalnya tidak memiliki
diagnosis pulmonary hipertensi [36]. Namun, National Heart, Lung and Blood Institute
pada tahun 2014 menyimpulkan “ada tidak ada bukti yang cukup untuk membuat
rekomendasi yang mendukung skrining rutin dengan ekokardiografi Doppler.” [37]
Rekomendasi yang bertentangan ini menunjukkan bahwa perlu ada registri yang lebih
besar di memesan untuk memastikan pedoman definitif untuk peran penyaringan.
Penting untuk dicatat bahwa bahkan peningkatan tekanan sistolik arteri pulmonal ringan
(30-40mmHg) memiliki morbiditas dan mortalitas yang tinggi pada penyakit sel sabit
dengan hipertensi pulmonal pra-kapiler [35,38]. Ini telah disarankan oleh sebuah
penelitian oleh Mehari dan kawan- kawan, menganalisis 84 pasien- pasien dengan

Hal. 8
hipertensi pulmonal didiagnosis dengan kateterisasi jantung kanan dan pengukuran
fungsional berikutnya dari tes berjalan 6-menit dan kelas fungsional WHO [38].
Pengukuran disfungsi ventrikel kanan dengan peningkatan tekanan atrium
kanan, peningkatan tekanan arteri pulmonal, dan penurunan indeks jantung telah
disarankan oleh NIH sebagai penanda prognostik untuk hipertensi arteri pulmonal,
namun, penanda lain yang diikutsertakan untuk hipertensi pulmonal pada penyakit sel
sabit [39] . Mehari dan kawan- kawan menunjukkan bahwa penanda hemodinamik
standar tingkat keparahan hipertensi pulmonal pra-kapiler, resistensi vaskuler paru dan
gradien transpulmoner, berhubungan dengan peningkatan mortalitas pada populasi
pasien ini. Mereka lebih lanjut menekankan bahwa meskipun tingkat mortalitas yang
tinggi pada hipertensi post-kapiler, PAWP bukanlah prediktor mortalitas yang
bermakna. Temuan gabungan ini menunjukkan bahwa tingkat keparahan hipertensi pra-
kapiler memiliki hubungan yang tinggi dengan mortalitas pada populasi penyakit sel
sabit. Penelitian ini menunjukkan tingkat resistensi hidup 5 tahun yang berkurang
sebesar 63% dari diagnosis dibandingkan dengan 80% pasien tanpa hipertensi pulmonal
[38].

4.3. Tatalaksana
Pedoman komite ad hoc Perhimpunan Thoraks Amerika mengenai tatalaksana
hipertensi pulmonal pada penyakit sel sabit pada tahun 2014 dirangkum pada Gambar
1. Tatalaksana meliputi pemberian hidroksiurea untuk mengurangi sickling hemoglobin
dan hemolisis. Transfusi kronis dianjurkan di mana pasien tidak responsif terhadap
hidroksiurea atau berada pada peningkatan risiko mortalitas, yang ditandai dengan
peningkatan pro-BNP > 160 pg/mL dan kecepatan regurgitasi trikuspid ≥ 2,5 m/detik.
Sebuah penelitian pada tahun 2015 dari 26 pasien oleh Detterich dan kawan- kawan
menunjukkan bahwa terapi transfusi kronis membaik tetapi tidak dapat menormalkan
vaskulopati sistemik dan pulmonal pada penyakit sel sabit [40]. Penelitian ini
menggunakan pengukuran ultrasonografi dari dilatasi arteri brachialis yang dimediasi
oleh aliran dan kecepatan regurgitasi trikuspid sebagai penanda pengganti vaskulopati
sistemik dan pulmonal. Detterich dan kawan- kawan menunjukkan bahwa kecepatan
regurgitasi trikuspid berkorelasi terbalik dengan dilatasi arteri brachialis yang dimediasi
oleh aliran dan bahwa transfusi darah tunggal dalam transfus kronis pasien ed

Hal. 9
meningkatkan dilatasi arteri brachialis yang dimediasi oleh aliran. Mereka lebih lanjut
berspekulasi bahwa waktu penyimpanan darah transfusi mungkin mempengaruhi fungsi
endotel [40].

4.4. Hiperkoagulabilitas pada Penyakit Sel Sabit


Anemia sel sabit merupakan predisposisi pasien terhadap keadaan
hiperkoagulabilitas yang dapat menyebabkan thromboemboli vena atau thrombosis in
situ melalui berbagai mekanisme yang dijelaskan di atas. Selain itu, emboli arteri
pulmonal sering ditemukan pada pasien- pasien dengan sindrom dada akut, dengan satu
penelitian dari 144 pasien menunjukkan bahwa 17% pasien memiliki trombus paru pada
CT scan [41]. Penelitian yang sama meneliti lebih lanjut pasien-pasien- pasien dengan
ultrasonografi Doppler pada ekstremitas bawah, yang mengungkapkan tidak ada
thrombosis vena dalam. Temuan ini menunjukkan bahwa thrombosis pulmonal pada
pasien- pasien dengan sindrom dada akut bisa menjadi fenomena in situ, daripada
embolik. Insiden thromboemboli vena itu sendiri di penyakit sel sabit adalah sekitar 3,5
kali dari populasi sel non-sabit Afrika [42]. Insiden hipertensi pulmonal thromboemboli
kronis (hipertensi pulmonal thromboemboli kronis) pada populasi penyakit sel sabit
tidak diketahui dan perkiraan hanya didasarkan pada penelitian kecil, dengan satu
penelitian dari 27 pasien menunjukkan 22% (6/27) dengan defek pemindaian ventilasi
perfusi dan 11% (3 / 27) dengan pola konsisten dengan hipertensi pulmonal
thromboemboli kronis [8].
Tatalaksana hipertensi paru sekunder untuk thrombolisme vena di penyakit sel
sabit adalah dengan terapi antikoagulasi inde nen [19]. Indikasi antikoagulan yang pasti
pada pasien- pasien tersebut dikaitkan dengan penurunan 13,8% pada VTE berulang dan
dengan kemungkinan penurunan mortalitas, berbeda dengan 2,4% peningkatan risiko
perdarahan [43]. Peran endarterektomi paru pada penyakit sel sabit dan
hemoglobinopati lainnya lebih menantang karena peningkatan risiko sickling selama
bypass cardiopulmonary, yang menyebabkan lingkungan hipoksik dan hipotermik,
berpotensi menyebabkan risiko yang lebih tinggi dari penangkapan sirkulasi [9].
Meskipun kesulitan ini, endarterektomi paru telah berhasil dilakukan, terutama ketika
HbS dikurangi menjadi 10% sebelum prosedur [9,44].

Hal. 10
Aangioplasti pulmonal dengan menggunakan balon adalah prosedur terapi
intervensional yang muncul yang telah diadvokasi untuk mengobati pasien yang tidak
dapat menjalani endarterektomi paru (PEA), terutama pada kasus yang tidak dapat
dioperasi atau dengan thrombi yang terletak di perifer. Secara umum, kurang dari 60%
pasien- pasien dengan hipertensi pulmonal thromboemboli kronis dapat mengalami
PEA pulmonal dan 17-31% pasien mengalami hipertensi pulmonal persisten atau
berulang [45]. angioplasti pulmonal dengan menggunakan balon awalnya dijelaskan
pada tahun 2001 oleh Feinstein dan kawan- kawan, dan meskipun memberikan
perbaikan yang signifikan dalam hemodinamik dan toleransi latihan, itu masih kalah
dengan endarterektomi paru [46]. Namun, tim yang dipimpin oleh Mizoguchi dan
kawan- kawan mempelajari 68 pasien- pasien dengan hipertensi pulmonal
thromboemboli kronis yang tidak dapat dioperasi mengalami teknik angioplasti
pulmonal dengan menggunakan balon yang dapat menurunkan tekanan arteri pulmonal
secara signifikan ke mPAP < 25 mmHg dengan komplikasi sebanding dengan PEA
[47]. Saat ini, European Society of Cardiology / European Respiratory Society
menyatakan bahwa angioplasti pulmonal dengan menggunakan balon dapat
dipertimbangkan pada pasien- pasien yang tidak dapat dioperasi atau membawa risiko /
rasio keuntungan yang tidak menguntungkan dengan angioplasti pulmonal dengan
menggunakan balon, pasien- pasien dengan hipertensi pulmonal persalinan atau
berulang pasca PEA, atau mereka yang membutuhkan pertolongan. terapi setelah
kegagalan awal PEA [11]. Sehubungan dengan aplikasinya terhadap populasi sel sabit,
sejauh ini, hanya 1 laporan kasus angioplasti pulmonal dengan menggunakan balon
yang telah didokumentasikan pada pasien- pasien sel sabit sebagai pendekatan paliatif,
yang tidak rumit dan mengarah pada pelepasan pasien yang berhasil pada hari pasca op
# 5 [48]. Terlepas dari kenyataan bahwa penelitian lebih lanjut diperlukan untuk
mengkonfirmasi penggunaan angioplasti pulmonal dengan menggunakan balon sebagai
pilihan terapi alternatif untuk PEA, tetap menjadi pilihan yang layak untuk
dipertimbangkan dalam penyakit sel sabit dengan hipertensi pulmonal thromboemboli
kronis, terutama karena prevalensi trombus in situ muncul lebih besar daripada penyakit
VTE dan secara signifikan. peningkatan angka mortalitas pada pasien- pasien dengan
hipertensi pulmonal thromboemboli kronis (lebih dari 1/3 mortalitas perioperatif dan

Hal. 11
sekitar ½ mortalitas jangka panjang dikaitkan dengan hipertensi pulmonal persisten)
[49].

4.5. Terapi Hipertensi Pulmonal yang Ditargetkan


Penelitian berskala besar yang terbatas telah diselesaikan pada terapi hipertensi
arteri pulsasi yang ditargetkan (yaitu agonis prostasiklin, antagonis reseptor purinelin,
stimulator siklase guanylate terlarut, dan inhibitor phosphodiesterase-5) pada populasi
penyakit sel sabit, dan saat ini, tidak ada manfaat yang jelas. telah dibuktikan.
Percobaan Walk-Phasst yang ditujukan untuk penggunaan silden fi l dengan 74
subjek dihentikan secara prematur karena peningkatan kejadian efek samping serius
yang nyata pada kelompok perlakuan [50]. Kejadian-kejadian serius ini dikaitkan
dengan peningkatan insiden krisis sel sabit [51]. Namun, penting untuk dicatat bahwa
mialgia, nyeri punggung, dan nyeri tungkai, telah tercatat mengalami peningkatan
insidensi pada pasien- pasien yang diobati dengan sildena fi l untuk kedua hipertensi
arteri pulmonal pada awalnya dan dalam penelitian lanjutan jangka panjang [52].
Gejala-gejala ini juga ditunjukkan pada pasien- pasien yang diobati dengan tadala fi l
untuk disfungsi ereksi [53]. Apakah gejala-gejala mialgia, nyeri punggung, dan nyeri
tungkai dapat menjadi a efek kelas dari phosphodiesterase-5 inhibitor yang bertentangan
dengan krisis sel sabit sejati perlu dibedakan dalam penelitian masa depan. Dalam
kaitannya dengan agonis reseptor endotelin, uji coba ASSET adalah uji coba secara
acak yang membandingkan keunggulan Bosentan dengan plasebo pada penyakit sel
sabit dengan hipertensi pulmonal pra-kapiler (ASSET-1 dengan 14 subjek) dan
hipertensi pulmonal post-kapiler (ASSET-2 dengan 12 subjek) . Meskipun ada
penelitian skala kecil dan tidak memiliki masalah toksisitas yang jelas, uji coba ini,
sayangnya, dihentikan secara prematur karena sponsor dengan penarikan [54].
Penggunaan prostasiklin intravena pada penyakit sel sabit dengan hipertensi pulmonal
pra-doktor yang didiagnosis pada RHC telah dipelajari oleh Castro dan kawan- kawan
pada 20 pasien. Dalam penelitian ini, 8 pasien dimulai pada prostasiklin intravena
melalui pemeriksaan kateterisasi jantung untuk menguji reversibilitas hipertensi
pulmonal mereka, yang menunjukkan penurunan akut dalam resistensi pembuluh darah
paru [51]. Sejauh ini, kelompok terakhir dari terapi hipertensi arteri pulmonal yang

Hal. 12
ditargetkan, stimulator siklase guanylate yang larut belum dipelajari pada populasi
penyakit sel sabit.
Meskipun penelitian kecil menunjukkan potensi kemanjuran terapi hipertensi
arteri pulmonal yang ditargetkan dalam penyakit sel sabit, penelitian lebih lanjut
diperlukan untuk potensi mereka dan tidak ada terapi hipertensi arteri pulmonal yang
ditargetkan, sejauh ini, telah disetujui oleh Administrasi Obat dan Makanan Amerika
untuk digunakan dalam penyakit sel sabit. Dengan demikian, penggunaan terapi
hipertensi arteri pulmonal yang ditargetkan pada pasien- pasien penyakit sel sabit
dengan hanya faktor risiko terisolasi dari tingkat kecepatan regurgitasi trikuspid atau
pro-BNP yang tinggi tidak direkomendasikan [19]. Percobaan terapi hipertensi arteri
pulmonal yang ditargetkan hanya disarankan pada pasien- pasien tertentu dengan
hipertensi pulmonal pra-kapiler seperti yang didokumentasikan melalui pemeriksaan
kateterisasi jantung kanan [19]. Dalam kasus seperti itu, uji coba antagonis reseptor
endotelin oral mungkin lebih disukai daripada inhibitor phosphodiesterase-5 karena
toleransi yang lebih baik dari efek samping [55].

5. Thalassemia

5.1. Alpha-thalassemia
Thalassemia adalah kelainan bawaan dari alpha-globulin yang rusak atau beta-
globulin dari subunit hemoglobin A. Gen alpha-thalassemia terletak pada kromosom 16
dan empat alel mengontrol sintesis α-globulin (α1 - / - dan α2 - / -) dan jumlah
penghapusan alel dikaitkan dengan tingkat keparahan penyakit [56]. Jika hanya satu alel
yang dihapus, maka operator akan menghasilkan. Dua penghapusan alel menghasilkan
α-trait, yang menyebabkan anemia ringan, sementara tiga alel penghapusan mengarah
ke HbH atau penyakit Bart yang menyebabkan anemia hemolitik berat. Over-produksi
α-globulin menyebabkan peningkatan penghancuran sel darah merah di sumsum tulang
dan darah perifer [57].
Di seluruh dunia, sekitar 20% populasi merupakan pembawa alfa-talasemia.
Setiap tahun, ada sekitar 56.000 kelahiran dengan thalassemia mayor [56]. Data tentang
insidens dan prevalensi hipertensi pulmonal yang didokumentasikan dengan kateterisasi
jantung kanan terbatas pada thalassemia, dan data epidemiologi hanya dapat

Hal. 13
diekstrapolasikan dari hasil ekokardiografi. Satu penelitian terhadap 80 pasien- pasien
dengan HgH atau penyakit Bart menemukan bahwa 4% pasien memiliki kecepatan
regurgitasi trikuspid > 2,95 m/detik. Penelitian lain dari 198 pasien- pasien dengan
HgH atau penyakit Bart menunjukkan bahwa 7% pasien memiliki kecepatan regurgitasi
trikuspid > 2,5 m/detik dan 2% kecepatan regurgitasi trikuspid > 3,0m/detik [58,59].

5.2. Beta-thalassemia
Gen globulin beta terletak di kromosom 11 dan memiliki satu alel pada setiap
kromosom. Peningkatan produksi beta-globulin karena penurunan alpha-globulin
menghasilkan heterodimerisasi molekul hemoglobin dan gangguan pengiriman oksigen
[57]. Di seluruh dunia, sekitar 5,2% dari populasi thalassemia membawa variasi genetik
yang signifikan [56]. Terdapat dua bentuk β-Thalassemia, Thalassemia Intermedia (TI)
dengan 1 gen yang terkena dan Thalassemia Major (TM) dengan 2 gen yang
terpengaruh, yang bergantung pada transfusi. Baik TI dan TM berhubungan dengan
hipertensi pulmonal. Penelitian menggunakan ekokardiografi untuk menyarankan bukti
hipertensi pulmonal dengan gradien regurgitasi trikumpid sistolik puncak yang lebih
besar dari 30 mmHg (kecepatan regurgitasi trikuspid > 2,75 m/detik) menunjukkan
prevalensi 40-50% pada TI dan berbagai macam 10-75% pada TM. [57]. Khususnya,
hipertensi pulmonal telah terbukti tidak ada dalam penelitian dari 202 pasien- pasien
dengan TM yang telah menjalani transfusi intens pada dan terapi khelasi sejak bayi awal
[60].

5.3. Patofisiologi
Mekanisme patofisiologis utama yang mendasari hipertensi pulmonal pada
talasemia adalah hemolisis, kelebihan zat besi, dan spleektomi [12]. Mekanisme ini, di
samping usia lanjut dan anemia yang signifikan, terbukti menjadi faktor risiko yang
signifikan oleh sebuah penelitian oleh Teawtrakul dan kawan- kawan dengan 219 orang
pasien dengan terutama tergantung talasemia non-transfusi [58]. Para penulis
menyarankan bahwa genotipe thalassemia mungkin merupakan faktor risiko independen
untuk hipertensi pulmonal, dengan risiko yang lebih tinggi pada pasien- pasien dengan
β-thalassemia dibandingkan dengan pasien- pasien dengan thalassemia dan gabungan α
dan β-talasemia [58]. Penelitian ini juga menemukan bukti risiko hipertensi pulmonal

Hal. 14
berdasarkan pengukuran echokardiografi kecepatan regurgitasi trikuspid > 2,9 m/detik
(berasal dari penelitian mereka dari 219 pasien s, di mana sebagian besar pasien- pasien
dengan kecepatan regurgitasi trikuspid > 2,9 m/detik memiliki PH yang dikonfirmasi
oleh kationeter jantung kanan, dengan insidensi 10,96% dan penapisan ekokardiografi
yang direkomendasikan pada semua pasien ≥10 tahun [58].

5.4. Pemeriksaan & Tatalaksana


Diagnosis dan penilaian hipertensi pulmonal pada talasemia mirip dengan yang
disarankan dalam penyakit sel sabit. Ini harus terdiri dari tes jalan kaki 6 menit dan
tingkat pro-BNP (penanda prognostik), ekokardiografi, dan kateterisasi jantung kanan.
Tatalaksana diarahkan pada tatalaksana yang ditargetkan hemoglobinopati dan terapi
suportif umum. Seperti penyakit sel sabit, terapi spesifik hipertensi pulmonal hanya
dicoba dalam laporan berseri atau laporan kecil. Namun, terapi transfusi kronis dan
terapi chelation bersamaan telah terbukti dapat mencegah hipertensi pulmonal pada
kedua bentuk thalassemia [12]. Penelitian OPTIMAL CARE, yang mengamati
komplikasi tatalaksana pada 584 pasien talasemia talasemia, juga menunjukkan bahwa
terapi transfusi dan chelation bersama dengan hidroksiurea adalah pelindung untuk
hipertensi pulmonal, sedangkan splenektomi dikaitkan dengan risiko yang lebih tinggi
dari emboli paru dan hipertensi pulmonal [61].
Karena terapi hipertensi pulmonal yang ditargetkan dengan inhibitor
phosphodiesase-5, antagonis reseptor endotelin-1, analog prostasiklin, dan stimulator
siklase guanylate terlarut tidak memiliki manfaat terbukti definitif, penggunaannya
harus dibatasi pada pasien- pasien dengan karakterisasi hemodinamik yang jelas dari
hipertensi pulmonal pra-kapiler. - sion [12]. Meskipun ada data yang tidak mencukupi
untuk membuat rekomendasi umum, beberapa penelitian skala kecil telah menunjukkan
potensi manfaat dari terapi PH yang ditargetkan pada pasien- pasien β-thalassemia.
Silden fi l telah terbukti memperbaiki kelas fungsional NYA dan bukti ekokardiografi
hipertensi pulmonal (penurunan 13,3% dari kecepatan regurgitasi trikuspid ) setelah 12
minggu dalam penelitian oleh Morris dan kawan- kawan dengan 10 pasien (5 dengan
TM dan 5 dengan TI) dengan PH didefmisikan sebagai memiliki kecepatan regurgitasi
trikuspid > 2.5m/detik [62]. Sebuah penelitian tambahan juga menggunakan program
12 minggu Sildena pada 4 pasien- pasien dengan thalassemia intermedia dan 2 pasien-

Hal. 15
pasien dengan talasemia mayor dengan gradien tricuspid dasar 45 mmHg juga
menunjukkan perbaikan di kelas fungsional NYHA dan tes berjalan 6 menit [63].

6. Hemoglobinuria Nokturnal Paroksismal

6.1. Patofisiologi & Epidemiologi


Hemoglobinuria nokturnal paroksismal adalah gangguan langka dengan
prevalensi 15 tahun diperkirakan 1,59 per 100.000 [64]. hemoglobinuria nokturnal
paroksismal adalah defisiensi yang diperoleh dari molekul permukaan terkait GPI,
CD55 dan CD59, yang menyebabkan kurangnya protein permukaan penghambat
pelengkap pada sel darah merah dan thrombosit [65]. Selanjutnya, ada yang tidak
dilawan sebagai terminal komplemen kompleks, mengakibatkan hemolisis intravaskuler
melalui jalur komplemen alternatif [66]. hemoglobinuria nokturnal paroksismal
dikarakterisasi oleh triad hemolisis intravaskuler, hiperkoagulabilitas, dan berbagai
tingkat kegagalan sumsum tulang. Tingkat kejadian hipertensi pulmonal yang
diindikasikan oleh ekokardiografi pada hemoglobinuria nokturnal paroksismal adalah
50%, dengan patofisiologinya didorong oleh deplesi nitrat oksida dari hemolisis
invaskuler serta emboli pulmonal, yang telah terbukti terjadi pada 40% pasien pada saat
diagnosis. [65,67,68].
Anemia hemolitik pada hemoglobinuria nokturnal paroksismal berasal dari
hemolisis intravaskuler (di mana sel-sel darah merah dilisiskan dalam sirkulasi darah),
sedangkan anemia hemolitik pada penyakit sel sabit terutama melalui jalur
ekstravaskuler (di mana sel-sel darah merah fagositosis dan dipecah oleh makrofag di
hati dan limpa). Karena perbedaan ini, hemoglobinuria nokturnal paroksismal memiliki
tingkat hemolisis 10 kali lipat lebih besar yang direfleksikan oleh elevasi relatif dalam
plasma hemoglobin [69]. Salah satu ciri khas yang mendasari patogenesis manifestasi
klinis di hemoglobinuria nokturnal paroksismal adalah deplesi nitrat oksida [66]. Tidak
ada penipisan dalam hemoglobinuria nokturnal paroksismal mengarah ke kelancaran
disfungsi otot, secara klinis bermanifestasi sebagai nyeri perut (dari kekejangan
pembuluh kecil), kejang esofagus, dan disfungsi ereksi. Lebih jauh lagi, NO deplesi
mengganggu fungsi endotel dan platelet, menyebabkan hipertensi, keadaan
hiperkoagulasi, dan hipertensi pulmonal [67]. Mengingat hemolisis terjadi lebih

Hal. 16
dramatis pada hemoglobinuria nokturnal paroksismal dibandingkan penyakit sel sabit,
hemoglobinuria nokturnal paroksismal secara teoritis harus dikaitkan dengan
komplikasi yang lebih menonjol dan tatalaksana harus menunjukkan perbaikan. Hal ini
telah ditunjukkan oleh berbagai penelitian, menunjukkan pembalikan komplikasi klinis
pemulungan nitrat oksida - termasuk kejang esofagus, disfungsi ereksi, dan hipertensi
pulmonal - dengan Eculizumab [67,68,70]. Saat ini, tidak ada terapi yang disetujui
Administrasi Obat dan Makanan Amerika untuk tatalaksana populasi ini, dan penelitian
lebih lanjut akan diperlukan untuk menganalisis besarnya efek, manfaat dan risiko terapi
vasodilator paru untuk tatalaksana hipertensi pulmonal pada populasi pasien spesifik ini.

6.2. Tatalaksana
Saat ini, tidak ada penelitian tentang agen hipertensi pulmonal yang ditargetkan
digunakan pada PH sekunder untuk hemoglobinuria nokturnal paroksismal. Namun,
tatalaksana hemoglobinuria nokturnal paroksismal telah dipastikan dengan penggunaan
Eculizumab, antibodi yang menargetkan CD5 dan menghambat hemolisis yang
diperantarai komplementer [71]. Percobaan TRIUMPH menyelidiki penggunaan
Eculizumab pada 87 pasien- pasien dengan hemoglobinuria nokturnal paroksismal,
dengan mengukur respon penanda biokimia (LDH, pro-BNP, dan L-arginase) dan gejala
klinis dyspnea [26,72]. Percobaan acak terkontrol plasebo tahap 3 secara internasional
ini, menunjukkan bahwa Eculizumab secara dramatis mengurangi hemolisis
intravaskuler, kebutuhan untuk transfusi, dan gejala. Selanjutnya, ia memiliki hubungan
antara hemolisis dan penipisan NO telah ditunjukkan oleh pengukuran hemoglobin
bebas dan pengurangan ketersediaan arginase-1 pada pasien- pasien dengan
hemoglobinuria nokturnal paroksismal [26]. Pembalikan penanda biokimia untuk
hemolisis dan hipertensi pulmonal, ditambah dengan hubungan yang digambarkan
antara hemolisis intravaskuler dan penipisan NO semakin memantapkan patogenesis
pulmonal hipertensi pada hemoglobinuria nokturnal paroksismal [26,72] (Lihat Tabel
3).

7. Gangguan Hemolitik Pasca Splenektomi & Gangguan Hemolitik Lainnya

7.1. Epidemiologi

Hal. 17
Sekitar 22.000 splenektomi dilakukan di Amerika Serikat setiap tahun [73].
Selain trauma dan insidental splenektomi, gangguan hematologi adalah indikasi medis
yang paling umum untuk splenektomi [73]. Gangguan seperti itu termasuk talasemia,
spherositosis herediter, stomatositosis herediter, ani emia autoimun, penyakit sel sabit,
dan lain-lain. Splenektomi dilakukan pada pasien- pasien dengan anemia molekuler
untuk memperbaiki tingkat hemolisis. Kombinasi gangguan hematologi dan
splenektomi telah terbukti meningkatkan risiko mengalami hipertensi pulmonal
thromboemboli kronis, dibandingkan dengan pasien- pasien dengan splenektomi saja
[74]. Dalam sebuah penelitian terhadap 61 pasien oleh Hoeper dan kawan- kawan,
prevalensi hipertensi pulmonal pada pasien- pasien dengan splenektomi berkisar antara
8,6% hingga 11,5% dibandingkan dengan kelompok kontrol yang terdiri dari penyakit
paru lainnya mulai dari 0% hingga 0,6% [75]. Dalam penelitian retrospektif dari 257
pasien- pasien dengan hipertensi pulmonal thromboemboli kronis, 8,6% memiliki
riwayat splenektomi dibandingkan dengan 2,5% dan 0,56% pada pasien- pasien dengan
hipertensi pulmonal idiopatik atau penyakit paru-paru kronis yang membutuhkan
transplantasi paru, masing-masing [76]. Interval waktu antara splenektomi dan
perkembangan hipertensi pulmonal telah dilaporkan secara luas, mulai dari 2 hingga 35
tahun [77].

7.2. Sferositosis & Stomatositosis Herediter


Sferositosis herediter adalah inherit gangguan hemolitik yang terjadi paling
sering pada populasi Eropa utara, mempengaruhi sekitar 1 dari 3000 orang [78]. Karena
cacat dalam penahan protein membran sel darah merah dan mengakibatkan penurunan
luas permukaan membran, pasien- pasien dengan sferositosis herediter mengalami
anemia molekuler karena penyerapan sel darah merah di limpa. Stomatositosis herediter
adalah kondisi dominan autosomal di mana ada ketidakmampuan untuk mengatur
volume sel-sel darah merah, yang mengakibatkan cacat limpa RBC dan akhirnya dan
penyerapan hemolitik [78]. Sementara ada bukti bahwa splenektomi merupakan faktor
risiko untuk mengalami hipertensi pulmonal dan dilakukan dalam kondisi ini dengan
frekuensi 20 kali lebih besar dari populasi umum, ada data terbatas pada perkembangan
hipertensi pulmonal pada pasien- pasien dengan sferositosis herediter dan stomatocy-
tosis pasca-splenektomi, khususnya [76].

Hal. 18
7.3. Pemeriksaan
Mengingat kurangnya data pada pasien- pasien hipertensi pulmonal dan pasien
post splenektomi dengan kelainan hemolitik yang mendasarinya, tidak ada pedoman
pemantauan dan / atau pedoman tatalaksana yang telah dikembangkan. Namun, karena
peningkatan risiko mengalami pulmonary hipertensi pada pasien- pasien dengan
gangguan hemolitik konkomitan dan spektektomi, hipertensi pulmonal harus dalam
diagnosis yang berbeda untuk pasien yang mengalami dyspnea atau intoleransi latihan,
dan harus diskrining dengan echokardiografi. Sebagaimana disebutkan sebelumnya,
ekokardiografi mungkin melebih-lebihkan tekanan arteri pulmonal pada kelainan
hemolitik kronis, sehingga kateterisasi jantung kanan adalah diagnosis standar baku
emas. Usia skrining akan didasarkan pada penilaian klinis, karena ada kisaran luas
dalam hal jumlah tahun pasca-splenektomi sampai perkembangan hipertensi pulmonal.

7.4. Tatalaksana
Dengan risiko terkait yang kuat dari splenektomi dan hipertensi pulmonal pada
gangguan hemolitik, tatalaksana harus difokuskan pada pencegahan kebutuhan untuk
splenektomi [79]. Secara khusus, 32% pasien talasemia terbukti mengalami hipertensi
pulmonal pasca-splenektomi (didefinisikan sebagai perkiraan echokardiografi dari
PAP> 35 mmHg) dalam penelitian terhadap 68 pasien. Hal ini kontras dengan pasien-
pasien dengan talasemia yang diobati dengan transfusi kronis, di mana 22% pasien
memiliki perkiraan PAP> 29 mmHg, sedangkan sisanya memperkirakan PAP <25
mmHg [80]. Manfaat terapi transfusi kronis pada talasemia diperlihatkan lebih lanjut
dalam penelitian oleh Singer dan kawan- kawan, yang menunjukkan bahwa kecepatan
regurgitasi trikuspid tetap dalam kisaran normal pada pasien- pasien yang menjalani
terapi transfusi kronis, terlepas dari apakah mereka memiliki atau tidak memiliki
splenektomi [ 15]. Karena transfusi kronis dikaitkan dengan kelebihan zat besi, terapi
bersamaan dengan agen chelating juga dianjurkan. Selain itu, karena hiperaktivitas
thrombosit merupakan mekanisme utama hiperkoagulabilitas pada pasien- pasien
splenektomi, penggunaan aspirin dan hidroksiurea untuk mempertahankan tingkat
thrombosit di bawah 400 000μ / L juga telah disarankan [81].

Hal. 19
Pasien- pasien dengan gangguan hemolitik dan splenektomi akan jatuh ke dalam
Kelompok 5 klasifikasi WHO dari hipertensi pulmonal, meskipun mereka dapat
mengalami fitur-fitur Kelompok 1 dan Kelompok 4 (lihat Tabel 1). Dengan tidak
adanya penyakit thromboemboli yang jelas, mereka dapat memiliki bukti hipertensi
pulmonal Kelompok 1, di mana banyak yang diobati dengan vasodilator [79].
Sementara antikoagulasi ditunjukkan pada Grup 1 dan 4 hipertensi pulmonal, tidak ada
bukti saat ini mendukung penggunaan rutin pada pasien- pasien pasca-splenektomi
[79,82]. Dokumen Konsensus Ahli Ahli ACCF / AHA 2009 tentang Hipertensi
Pulmonal merekomendasikan antikoagulan perang-farin untuk INR target 1,5-2.5 pada
pasien- pasien dengan hipertensi pulmonal kelompok 1 idiopatik, sedangkan Pedoman
ESC / ERS 2015 merekomendasikan sasaran INR sebesar 2,0-3,0 [11 , 18].

8. Ringkasan

Hipertensi pulmonal yang berhubungan dengan anemia hemolitik kronis


berkembang melalui mekanisme multifaktorial, sehingga kompleksitasnya. Sementara
patofisiologi mereka telah dipelajari dengan baik dan dijelaskan, penting untuk dicatat
bahwa sebagian besar data pada tatalaksana gangguan hemolitik ini dengan hipertensi
pulmonal terbatas. Tidak hanya penelitian ini terbatas dalam ukuran dan jumlah, tetapi
juga oleh fakta bahwa sebagian besar didasarkan pada estimasi ekokardiografi
hipertensi pulmonal dan bukan oleh kateterisasi jantung kanan standar baku emas.
Tatalaksana hipertensi pulmonal pada gangguan hemolitik terdiri dari langkah-
langkah dukungan umum untuk mengobati gangguan hemoiditik yang mendasari dan
terapi spesifik hipertensi arteri pulmonal. Uji coba terkontrol secara acak yang tersedia
dan penelitian skala kecil telah menunjukkan potensi manfaat dan manfaat dari strategi
tatalaksana tertentu dan terapi yang ditargetkan hipertensi arteri pulmonal. Namun,
sampai saat ini, tidak ada dari terapi ini yang telah dipelajari sepenuhnya, juga tidak ada
satupun dari mereka yang disetujui Administrasi Obat dan Makanan Amerika untuk
populasi pasien tertentu dan penerapannya untuk gangguan hemolitik lainnya tetap
dipertanyakan. Untuk Misalnya, penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menjelaskan
manfaat potensial dari terapi transfusi darah kronis pada pasien- pasien penyakit sel
sabit, terutama ketika hal ini telah terbukti efektif pada populasi talasemia dengan

Hal. 20
hipertensi pulmonal. Selain itu, peran angioplasti paru balon dapat muncul sebagai
pilihan tatalaksana yang berharga untuk pasien pasca-splenektomi atau penyakit sel
sabit dengan hipertensi pulmonal thromboemboli kronis, terutama ketika sebagian besar
penyakit adalah karena trombus yang terletak di perifer. Sebagai hipertensi pulmonal
menyebabkan signifikan morbiditas dan mortalitas pada gangguan hemolitik, penelitian
lebih lanjut akan membantu untuk memastikan manfaat dan FFI keampuhan strategi
tatalaksana tersebut serta potensi terapi hipertensi arteri pulmonal yang ditargetkan, dan
membantu untuk menetapkan pedoman yang lebih jelas.

Hal. 21

Anda mungkin juga menyukai