Anda di halaman 1dari 2

Essai: penghapusan UN

"pendidikan adalah senjata paling ampuh untuk mengubah dunia" sebuah kutipan kata bijak dari
nelson mandela. kita semua tahu bahwa pola pikir merupakan aset terpenting yang dimiliki manusia
untuk membangun sebuah peradaban yang maju dan unggul, dari yang dulu merupakan penghuni
gua dan menjadi santapan empuk hewan lain, hingga kini menjadi puncak rantai makanan dan
makhluk superior dari seluruh makhluk hidup di muka bumi, tak lepas karena otak manusia yang
dapat berpikir jauh melebihi makhluk-makhluk lainnya.

Tak dapat dipungkiri bahwa pendidikan di sekolah-sekolah formal merupakan tombak utama bagi
manusia untuk membangun pola pikir yang progresif nan kritis. maka dirasa penting agar kita
melihat lebih dalam tentang sektor ini demi kemajuan umat manusia mendatang.

Terdapat berbagai dinamika perkembangan sistem pendidikan dunia, salah satunya pendidikan di
Indonesia. negara Indonesia mewajibkan belajar 12 tahun bagi warga negaranya, hal ini terbagi
menjadi tiga kelas pendidikan yakni jenjang SD, SMP, dan SMA. Sejak 70 tahun yang lalu, satu-
satunya cara untuk naik ke jenjang berikutnya misalkan dari SD ke SMP, dari SMP ke SMA, hanya
dapat ditempuh dengan mengikuti ujian nasional (UN) yang diadakan setahun sekali oleh
pemerintah. Namun baru-baru ini telah terjadi perubahan yang cukup fenomenal dan bisa dibilang
bersejarah, yakni mosi untuk tidak lagi menggunakan sistem ujian nasional atau sederhananya
menghapus sistem UN.

Hal ini tentunya memicu banyak terjadi perdebatan dari kalangan akademisi maupun masyarakat
pada umumnya, karena seperti yang kita tahu di atas hal ini telah lama dilakukan dan seperti
menjadi tradisi bagi pendidikan kita, namun menteri pendidikan kita, bapak nadiem Makarim,
dengan berani mengubah gagasan itu.

menurut saya hal ini menjadi dobrakan yang bagus, dan seakan memberi nuansa dan tantangan
yang baru bagi negara ini. Faktanya menurut data yang ada, pendidikan Indonesia tertinggal jauh
sekitar 128 tahun dari negara-negara maju. Di negara-negara maju basis penilaian siswa lebih banyak
diarahkan kepada kemampuan berproses daripada hasil, berbanding terbalik dengan sistem
pendidikan yang telah lama kita gunakan yakni yang lebih mengutamakan hasil dari pada proses.

Fakta kedua bahwa sistem ujian nasional yang terstandarisasi adalah sebuah metode yang cukup
"kasar" untuk menilai kemampuan siswa, seakan-akan kesuksesan kita dapat ditentukan hanya
dengan menjawab pilihan ganda yang tersedia, bila anda salah, maka anda akan gagal, dan bila anda
kebetulan benar, maka anda akan berhasil, tanpa memandang bagaimana konteks dan kondisi siswa
saat soal tersebut dikerjakan atau diselesaikan. Saya analogikan ke"kasar"an ujian terstandarisasi ini
seperti menentukan siapa yang paling pintar diantara monyet, ikan, gajah, dan burung dalam
kemampuannya untuk memanjat pohon. Adalah tidak benar untuk menyuruh seorang pelukis agar
menyelesaikan persoalan matematika yang sangat sulit, atau menyuruh seorang pesepak bola agar
menangani pasien rumah sakit.

Oleh karenanya metode ini memang harus ditinggalkan, seperti kata F.J. kelley, orang yang
menemukan ujian terstandarisasi ini sendiri, bahwa "metode ini terlalu kasar dan harus
ditinggalkan".
Dari pemaparan fakta-fakta di atas, tentunya semakin mendukung kebijakan penghapusan UN.
Namun bukan berarti penghapusan UN adalah tidak adanyanya suatu standar untuk menentukan
siswa lulus atau tidak dari sekolahnya, tentunya sistem pengganti UN tetap dibutuhkan sebagai tolak
ukur kemampuan siswa demi kelancaran pendidikan bagi siswa itu sendiri kedepannya.

Alternatif solusi yang dapat ditawarkan yakni dengan mengadakan sebuah sistem baru yang
menitikberatkan pada proses pemahaman siswa akan sebuah materi, memfokuskan penilaian pada
mata pelajaran yang memang diminati oleh siswa, serta mengutamakan 4k (berpikir kritis, kreatif,
kolaboratif, dan komunikatif) sebagai hal yang fundamental dalam sistem ujian kelulusan siswa.
Alternatif ini berangkat dari sistem pendidikan di negara Finlandia, pemegang sistem pendidikan
nomor 1 dunia. Tentunya alternatif ini perlu dikaji ulang dan dan disesuaikan dengan negara
indonesia karena tentunya ada perbedaan di sana sini, baik itu sumber daya manusia, dsb.

Anda mungkin juga menyukai